Anda di halaman 1dari 54

104

Direktorat Bina Gizi Masyarakat


dan Pusat Penelitian dan
Pengembangan gizi. Jakarta
Mien, K. M. et. Al. 1990. Komposisi
Zat Gizi Pangan Indonesia.
Dep. Kes. RI. Direktorat bina
Gizi. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi. Jakarta
Mulyadi. 1997. Akutansi Manajemen
Konsep Manfaat dan Rekayasa.
STIE YKPN. Yogyakarta
Muchtadi, D., T. R., Purwiyatino dan
A. Basuki. 1987. Teknologi
Pemasakan Ekstrusi. Pusat
Antar Universitas. IPB. Bogor
Schroeder, F. 1997. Food Packaging.
The AVI Publishing Company
Inc. West Port Connecticut.
United Staters Of Amerika.
Soekarto, S. T. 1985. Penilaian
Organoleptik untuk Industri
Pangan dan Hasil Pertanian.
PT. Bhratara Karya Aksara.
Jakarta
Sulistyowati, A. 2004. Membuat
Kripik Buah dan Sayur. Puspa
Swara, Anggota IKAPI.
Jakarta
Suprapti, L. M. 1997. Seputar
Penanganan Kedelai dalam
Industri dan Rumah Tangga.
Vidi Ariesta. Surabaya
Suratman. 2001. Studi Kelayakan
Proyek: Teknik dan Prosedur
Penyusunan Laporan. Edisi
pertama. J&J Learning.
Yogyakarta.
Sutojo, S., 1996, Studi Kelayakan
Proyek, Teori dan Praktek, PT.
Pustaka Binaman Pressindo,
Jakarta.
Urlich, Kart T. and Epinger, Steven
D. Eppinger . 2000 Perancangan
dan Pengembangan Produk.
Diterjemahkan oleh Azmi,
nora dan Iveline A. M. 2001
Salemba Teknika. Jakarta.
Van Arsdel, W. B., M. J. Coply, And
A. I. Morgan. 1973. Food
Dehydration, Methods and
Phenomena. Vol. 1. 2nd ed. The
AVI Publishing Company, Inc.
Westport. Connecticut
Vickers, Z. 1979. Crispness and
Crunchiness of Food in Food
Texture and Theologi.
Academic Press. London
Wang, H. L., Swain, E. W., dan
Kwolek, W. F. 1984. Effect Of
Soybean Varietas On The
Yield And Quality Of Tofu.
Cereal Chemistry. 60:245-248
Widyawati, W. 1996. Indentifikasi
Variabel yang Berpengaruh
Terhadap Tumbuh Kembang
Industri Tahu di Kota Kediri.
Skripsi Fak. Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang
1
DEWAN REDAKSI
PENANGGUNG JAWAB
TEGUH SARWO AJI,SP.,MMA
(Dekan Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan)
REDAKTUR
Ir. REKNA WAHYUNI, MP
PENYUNTING
HAPSARI TITI PALUPI, MP
MATHEUS NUGROHO, MP
Ir. ERNAWATI, MP
IKA ATSARI DEWI, MP
PENYUNTING AHLI
Prof.Dr. MOCH.SOCHIB (REKTOR Univ. Yudharta Pasuruan)
DENY UTOMO, MP
TATA USAHA
AMMA FAZIZAH, S.Sos
ALAMAT REDAKSI
Prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan
Jl. Yudharta 07 Pandean Sengonagung Purwosari Pasuruan
Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: suratfakultas@gmail.com
Media Informasi dan Komunikasi Ilmiah Teknologi Pertanian
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS YUDHARTA
PASURUAN
Jl. Yudharta 07 Sengonagung Purwosari Pasuruan
Telp/Fax. (0343) 611186, e-mail: suratfakultas@gmail.com
2 103
Apriantono, A. 2002. Pengaruh
Pengolahan Terhadap Nilai
Gizi Dan Keamanan Pangan.
Makalah ini disampaikan pada
Seminar Online Kharisma ke-2,
www. kharisma.com. tanggal
akses 15 April 2005
Asri, M. dan J. Suprihanto. 1986.
Manjemen Perusahaan Pende-
katan Operasional. BPFE.
Yogyakarta.
Atmosudirdjo, S. P. 1982. Beberapa
Pandangan Umum Tentang
Pengambilan Keputusan (Deci-
sions making). Ghalia Indonesia.
Jakarta
DeGarmo, E.P., W.G. Sullivan and
J.R. Canada. 1984. Engineering
Economy. Macmillan Publishing
Company. New York.
Fellow, P. 1990. Food Processing
Technology. Principles and
Practice. Ellis Horwood
Limited. West Sussex. England
________ . 1992. Dehydration dalam
Hui, Y. H. (ed.). 1992.
Encyclopedia of Food Science
and Technology. Vol. 1. pp. 556
575. John Willey & Sons, Inc.
New York.
Gruenwald, G., 1997. New Product
Development. NCT Business
Books, USA
Harris, R. S. Dan E. Karmas. 1989.
Evaluasi Gizi pada Pengolahan
Bahan Pangan. Terbitan ke-2.
Penerbit ITB. Bandung.
Husnan S. dan suwarsono. 1999. Studi
Kelayakan Proyek. Unit
Penerbit dan Percetakan (UPP)
AMP YKPN. Yogyakarta.
Indrasari, S., dan Darmardjati, D. S. !991.
Sifat Fisik dan Kimia Varietas
Kedelai dan Hubungannya
Dengan Rendemen Dan Mutu
Tahu. Media Penelitian
Sukamandi. 9: 43-49
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi
Minyak dan Lemak Pangan. UI-
Press. Jakarta.
Koswara, S. 1995. Teknologi
Pengolahan Kedelai. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta
Kotler, P. Alih Bahasa, Teguh H. dkk.
2002, Manajemem Pemasaran.
PT. Prenhallindo. Jakarta
Kusnadi, Nanang, S. Dan Jahroh. 1999.
Akutansi Biaya. Fakultas
Ekonomi Universitas Ahmad
Yani. Bandung
Luh, H. 1980. Rice Production and
Utillization. The Avi Publishing
Company. Inc. Westport.
Connecticut
Mangkusubroto, K. Dan Trisnadi, C. L.
1987. Analisa Keputusan
Pendekatan Sistem dalam
Manajemen Usaha Proyek.
Ganeca Exacta. Bandung
Mahmud, M. K., D. S. Slamet, R. R.
Apriantono dan Hermana. 1990.
Komposisi Zat Gizi Pangan
Indonesia. Dep. Kes. RI.
102
baku produksi, bahan pembantu, bahan
pengemas, utilitas, biaya penyusutan
peralatan, gaji tenaga kerja dan biaya
administrasi selama tiga bulan kerja.
Modal kerja yang digunakan
diasumsikan modal kerja sendiri tanpa
meminjam ke bank, sehingga aliran kas
bunga bank tidak diperhitungkan.
Kapasitas produksi pertahun
yang direncanakan adalah 384.000 ke-
masan dengan berat tiap kemasan
adalah 100 gram harga pokok penjual-
an (HPP) adalah Rp. 977,08 sedangkan
harga jualnya direncanakan Rp.
1400,00 dengan mark up sebesar 40%.
Jumlah produk yang terjual
diasumsikan sebesar 90% dari produk
yang diproduksi. Pada tahu pertama
pendapatan bersih yang diterima oleh
perusahaan sebesar Rp.
108.917.800,00.
Hasil analisa Break Even Point
(BEP) menunjukkan bahwa kapasitas
produksi yang direncanakan
memberikan keuntungan bagi
perusahan. Dengan kapasitas produksi
sebesar 384.000 kemasan per tahun di
dapat titik impas dengan memproduksi
tofu chip sebanyak 42517 Kemasan.
Payback Periode(PP) didapat pada 3
tahun 9 bulan 0hari dengan asumsi
tingkat produksi tetap dan harga stabil
pada tingkat inflasi 6,5 %.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
perhitungan yang telah dilakukan,
produk terpilih adalah S1T3 ( Tofu
Chips yang berbahan baku dari tahu
putih dengan suhu penggorengan
sebesar 200
o
C). yang akan
menghasilkan tofu chips dengan kadar
protein 20,57 % , kadar lemak 8,67 %,
kadar air 0,076 %, dan rendemen
sebesar 20,23 %. Produk S1T3
mempuyai nilai perlakuan tertinggi ini
menunjukan produk ini yang dipilih
oleh konsumen dengan skor 2,653.
Investasi awal yang dibutuhkan
untuk mendirikan industri tofu chips
dengan kapasitas produksi 128 kg per
hari adalah sebesar Rp.
139.160.950,00. Harga Pokok Produksi
(HPP) didapat sebesar Rp. 977,08 per
kemasan dengan berat 100 gram, harga
jual yang direncanakan sebesar Rp.
1400 dengan penambahan mark up
sebesar 40% , Break Even Point (BEP)
terjadi pada volume penjualan 42517
kemasan senilai Rp. 59.344.554,46.
Payback Periode (PP) adalah 3 tahun 9
bulan.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang umur simpan produk tofu
chips khususnya berkaitan dengan
kerenyahan produk yang dihubungkan
dengan jenis kemasan yang cocok
digunakan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonymous. 2003. Konsumsi Penduduk
Jawa Timur Tahun 2002 Ber-
dasarkan Data Modul Konsumsi
Survey Sosial Ekonomi Masional
(Susenas) 2002. BPS Prop. Jawa
Timur. Surabaya.
3
Vol. 1 No. 1, Januari 2011
DAFTAR ISI
Hapsari Titi Palupi PENGARUH PRE GELATINISASI TERHADAP
KARAKTERISTIK TEPUNG SINGKONG
Halaman 1
Rekna Wahyuni OPTIMASI PENGOLAHAN KEMBANG GULA JELLY
CAMPURAN KULIT DAN DAGING BUAH NAGA
SUPER MERAH (Hylocereus costaricensis) DAN
PRAKIRAAN BIAYA PRODUKSI
Halaman 15
Deny Utomo PEMANFAATAN IKAN GABUS (Ophiocephalus
striatus) MENJADI BAKSO DALAM RANGKA
PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DAN UPAYA
MENINGKATKAN NILAI EKONOMISNYA
Halaman 38
Rakhmad Wiyono STUDI PEMBUATAN SERBUK EFFERVESCENT
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
KAJIAN SUHU PENGERING, KONSENTRASI
DEKSTRIN, KONSENTRASI ASAM SITRAT
DAN Na-BIKARBONAT
Halaman 56
Ernawati PENGEMBANGAN PRODUK TAHU MENJADI TOFU
CHIPS (KAJIAN JENIS BAHAN BAKU, SUHU
PENGGORENGAN DAN BIAYA PRODUKSI)
Halaman 86
4 101
pengaruhnya terhadap biaya
produksi/satuan barang yang akan
dihasilkan dan kepastian apakah jenis
teknologi yang dipilih pernah
diterapkan secara berhasil ditempat lain
(Sutojo, 1996).
Proses Produksi
Produksi tofu chips
direncanakan dalam satu hari satu kali
proses, waktu kerja direncanakan 7
jam/hari per orang. Total waktu proses
yang dibutuhkan untuk memproduksi
sebanyak 128 kg tofu chips adalah
2032 menit atau 33, 86 jam (Peta
Proses Operasi: Gambar 4). Waktu
2032 menit tersebut terdiri dari 1850
waktu proses dan 180 menit waktu
delay dan 2 menit untuk storage.
Waktu terlama terdapat pada proses
pengeringan, yang membutuhkan
waktu 240 menit atau 4 jam.
Jumlah tenaga kerja yang
digunakan pada proses produksi tofu
chips ini dihitung berdasarkan pen-
dekatan lamanya waktu proses
produksi tofu chips yang diperlukan
dibagi dengan jam kerja yang tersedia,
sehingga jumlah tenaga kerja yang
diperlukan untuk proses produksi
sebanyak 5-6 orang.
ANALISIS BIAYA PRODUKSI
Analisis biaya produksi
dilakukan untuk mengetahui tingkat
kelayakan industri yang akan
direncanakan. Analisis biaya produksi
yang dilakukan pada perencanaan
industri tofu chips skala usaha kecil
menengah (UKM) ini meliputi biaya
produksi (BP), Break Even Point
(BEP) dan Payback Periods (PP).
Investasi awal dalam pendirian
industri tofu chips skala usaha kecil
menegah (UKM) ini adalah sebesar Rp.
139.160.950,00. Investasi awal di-
peroleh dari hasil penjumlahan modal
tetap dengan modal kerja selama tiga
bulan. Modal tetap yang direncanakan
Rp. 45.410.200,00 nilai ini diperoleh
dari penjumlahan dari biaya investasi
ruang produksi dan kantor, biaya
instalasi, biaya investasi peralatan
produksi, peralatan kantor dan sarana
tranportasi. Sedangkan kebutuhan
modal kerja selama tiga bulan adalah
Rp. 93.750.750,00 nilai ini diperoleh
dari hasil penjumlahan biaya bahan
Spesifikasi Mesin dan Peralatan Industri Tofu Chips
No Nama Mesin Jumlah Fungsi Spesifikasi
1 Bak Penampung 4 Mencampur adonan
Plastik 1 m,
t=0,45 m
2 Timbangan 1 Menimbang Kapasitas 100 kg
3 Sealer 1 Mengemas Impulse Sealer
4 Pres Hidrolik 1
Mengurangi kadar air
tahu
Kapasitas 5 kg
5 Pengering Rak 1 Mengeringkan Stainless steel, 4 pintu, 80 rak
6 Kompor 4 Pemanas Merk Hook 64 sumbu
7 Dandang 4 Mengukus Aluminium Gajah kap 20 L
8 Penggiling Roti 2 Memipihkan adonan Stainless Steel 6 skala
100
Kebutuhan Bahan Baku Selama Satu
Bulan
No Jenis Persediaan Jumlah
1 Tahu Putih 10000 kg
2 Tepung Trigu 375 kg
3 Tepung Tapioka 375 kg
Tabel diatas menunjukkkan
kebutuhan bahan baku yang digunakan
dalam industri tofu chips skala rumah
tangga dengan kapasitas produksi 128
kg. per hari dengan hari kerja efektif 25
hari untuk tiap bulannya
Kebutuhan Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan bagian
dari suatu industri yang penting,
mengingat tugas dari tenaga kerja yang
meliputi pengawasan dan pelaksanaan
produksi, mulai dari penyiapan bahan
baku, proses konversi sampai distribusi
produk jadi (Schroeder, 1997).
Industri tofu chips direncanakan
dalam skala usaha kecil menengah
(UKM), sehingga tenaga kerja yang
diperlukan tidak begitu banyak. Jumlah
tenaga kerja yang digunakan didasarka
pada peta proses operasi yang dapat
dilihat pada lampiran 17 Perencanaan
kebutuhan tenaga kerja ini didapat dari
total waktu produksi dibagi dengan
ketersediaan jam kerja.
Pada Tabel dapat dilihat bahwa
kebutuhan operasional perhari adalah
33,86 jam. Waktu kerja direncanakan 7
jam/hari per orang. Dengan demikian
industri ini membutuhkan 5-6 orang
tenaga kerja untuk kegiatan proses
produksi. Bagian administrasi dan
pemasaran masing-masing
membutuhkan satu orang tenaga kerja.
Tenaga kerja untuk proses produksi
direncanakan menggunakan sistem
kontrak sehingga upah diberikan
apabila proses produksi berlangsung
dan sebaliknya jika tidak produksi upah
tidak diberikan sedangkan tenaga kerja
pada bagian administrasi dan
pemasaran diberikan gaji tetap tiap
bulannya. Perhitungan biaya tenaga
kerja dalam produksi perlu dicatat
sebagai dasar untuk menetapkan upah
(Gitosumarmo, 1984).
Kebutuhan Mesin dan Peralatan
Produksi
Faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan jenis
teknologi antara lain jenis teknologi
yang diajukan harus cocok dengan
persyaratan yang diperlukan untuk
mencapai kapasitas produksi ekonomis
yang ditentukan, perhitungan jumlah
dana yang diperlukan untuk pembelian
mesin dan peralatan yang dibutuhkan,
Kebutuhan Tenaga Kerja
Proses
Waktu Proses
(Menit)
Penimbangan 50
Pengepresan 60
Pencampuran 90
Pemipihan 30
Pengukusan 180
Pengilingan 240
Pemipihan 240
Pengirisan 240
Pengeringan 480
Penggorengan 240
Penirisan 60
Pengemasan 122
Total
2032 (33,86
jam)
1
PENGARUH PRE GELATINISASI TERHADAP
KARAKTERISTIK TEPUNG SINGKONG
(Influence of Pre Gelatinization to Characteristics of Cassava Flour)
Hapsari Titi P, A. Zainul A, M. Nugroho
Abstrak: Selama ini tepung singkong masih terbatas penggunaannya, karena
secara umum dibatasi oleh sifat fisik dan kimia-nya. Tepung singkong
terbuat dari potongan ubi kayu yang telah kering. Tepung Pre gelatinisasi
adalah tepung yang mengalami proses gelatinisasi dengan perebusan
(parboiling) dan selanjutnya dikeringkan, sehingga memperbaiki kualitas,
sifat reologi dan pasta tepung. Tujuan penelitian adalah mempelajari
pembuatan dan karakteristik tepung singkong pre gelatinisasi dan pengaruh
suhu pre-gelatinisasi 100
0
C, 90
0
C, 80
0
C terhadap karakteristik tepung
singkong . Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yaitu A = Tanpa pre
gelatinisasi, B = Pre gelatinisasi pada suhu 100
0
C, C = Pre gelatinisasi pada
suhu 90
0
C, D = Pre gelatinisasi pada suhu 80
0
C.
Dari analisa statistik terdapat perbedaan nyata perlakuan tanpa pre
gelatinisasi dan pre gelatinisasi terhadap karakteristik kadar air, kadar HCN,
kadar amilosa, derajat putih, organoleptik, dan sifat amilografi. Perlakuan pre
gelatinisasi mampu menurunkan suhu dan waktu awal gelatinisasi, suhu dan
waktu gelatinisasi (saat granula pecah), viskositas dingin, dan viskositas
balik. Analisa statistik terhadap perlakuan suhu pre gelatinisasi 100
0
C, 90
0
C,
80
0
C memberikan pengaruh yang berbeda nyata, kadar amilosa, derajat putih,
dan penerimaan organoleptik (warna, kenampakan, dan aroma) terhadap sifat
amilografi.
Kata kunci : pre gelatinisasi, tepung singkong, sifat amilografi
Abstract: The use of cassava flour is still very limited until nowadays,
because it is constrained by its physical and chemical properties. Cassava
flour is made from dried cassava chips traditionally. Pre gelatinized cassava
flour is obtained from complete gelatinization process using parboiling
technique and then to be dried to improve their quality, rheology and pasting
behavior. The objective of the research is to study the production and
characteristic of pre gelatinized cassava flour and the influence of various
temperatures e.g. 100
0
C, 90
0
C, 80
0
C to cassava flour properties. This research
consists of 4 treatments, those are A = Non pre gelatinization, B = Pre
gelatinization at temperature of 100
0
C, C = Pre gelatinization at temperature
of 90
0
C, and D = Pre gelatinization at temperature of 80
0
C.
Statistical analysis reveal difference significant between non pre
2
gelatinization and pre gelatinization flour of water content, HCN content,
amylase content, whiteness, organoleptic attribute and the amilographic
characteristics. Pre gelatinization treatment will be able to decrease initial
temperature and time of gelatinization, peak time and temperature of
gelatinization, cold viscosity and set back viscosity. Statistical analysis of
various temperature of pre gelatinization i.e. 100
0
C, 90
0
C, 80
0
C showed
significant difference of amylase content, whiteness, and organoleptic
attribute and pasting behavior characteristics
Key words : pre gelatinization, cassava flour, amilograph properties
PENDAHULUAN
Tanaman singkong (Manihot
esculenta Crantz) banyak tumbuh di
Indonesia, karena tanaman ini
mempunyai sifat yaitu mudah tumbuh
di daerah tropis, tahan terhadap suhu
tinggi, hasil produksi besar dan tidak
mudah terserang hama dan penyakit.
Umbi singkong merupakan sumber
karbohidrat yang sangat tinggi,
sehingga mampu menyediakan energi
dalam jumlah yang cukup besar dan
rendah kadar lemaknya. Usaha
diversifiaksi pangan yang
diprogramkan pemerintah dengan tidak
menggantungkan terhadap bahan
pangan dari serealea (padi, jagung,
gandum) berpotensi mengangkat
potensi dari singkong.
Umbi singkong dapat dimanfaat-
kan dalam beberapa bentuk makanan
jadi atau setengah jadi (intermediate).
Pengolahan singkong menjadi tepung
dapat meningkatkan nilai tambah dan
kegunaan singkong, serta memperpan-
jang masa simpannya. Chuzel, Zakhia
and Cereda (1994) menyatakan bahwa
beberapa produk antara (intermediate)
singkong (chips, tepung, dan pati)
merupakan sumber nutrisi untuk
manusia dan ternak, serta bahan baku
berbagai macam industri makanan
seperti roti dan kerupuk. Singkong
mengandung komponen toksik dalam
bentuk glukosa sianogenik, tetapi
kadarnya dapat diturunkan atau
dihilangkan melalui beberapa proses
seperti perebusan, perendaman,
fermentasi dan pengeringan.
Tepung singkong terbuat dari
potongan ubi kayu yang telah kering
kemudian dihaluskan. Selama ini
tepung singkong masih terbatas
penggunaannya, karena secara umum
dibatasi oleh sifat fisik dan kimia-nya.
Pati pre gelatinisasi adalah pati yang
mengalami proses gelatinisasi dan
selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan
mengalami perubahan sifat fisik dan
sifat pati alami. Menurut Padmaja et.
al. (1996) modifikasi tepung secara pre
gelatinisasi dengan perebusan
(parboiling) dapat memperbaiki
karakteristik dari pasta tepung.
Temperatur merupakan salah satu
faktor penting yang mempengaruhi
proses pre gelatinisasi. Jika pati tidak
dipanaskan pada temperatur yang
99
dan kapasitas mesin serta peralatan
yang dimiliki perusahaan serta dengan
memperhatikan kualitas dan kuantitas
sumberdaya manusia dalam proses
produksi, kemampuan keuangan
perusahaan dan kemungkinan adanya
perubahan teknologi produksi di masa
yang akan datang.
Kapasitas produksi yang diren-
canakan didasarkan pada pertimbangan
skala usaha, kemampuan mesin dan
peralatan, sehingga ditetapkan ka-
pasitas produksi per hari 128 kg . Dari
hasil penelitian pendahuluan yang
telah dilakukan, diketahui rendemen
dari tofu chips yang telah dibuat adalah
sebesar 29,06 %. Sehingga
diperkirakan kebutuhan bahan baku
untuk satu hari kerja adalah 400 kg
tahu, 15 kg tepung tapioka, 15 kg
Tepung trigu, 3,6 kg garam, 0,74 kg
baking soda, 1,5 kg penyedap rasa, 3
kg bawang putih, dan 1,5 kg mrica.
Kebutuhan Bahan Baku
Bahan bahan yang digunakan dalam
industri tofu chips adalah :
a. Tahu Putih
Bahan baku ini dipilih berdasarkan
dari hasil penelitian lapang yang
menunjukkkan tofu chips yang
berbahan baku dari tahu putih lebih
banyak disukai daripada tofu chips
yang berbahan baku dari tahu takwa
kuning. Tahu putih ini didapatkan
dari industri pembuatan tahu yang
ada diberbagai wilayah jawa timur
khususnya di kota Malang dan kota
Kediri yang dikenal sebagai sentra
industri tahu yang cukup besar.
Bentuk tahu yang dipakai kubus
dengan ketebalan sekitar 3-4 cm,
struktur kenyal dengan kadar air
sekitar 37,5% dengan harga Rp.
2.000,00 per kg.
b. Tepung Trigu
Tepung trigu yang digunakan adalah
tepung trigu dengan merk dagang
segi tiga biru karena tepung trigu ini
memiliki kadar gluten yang rendah
sehingga akan meningkatkan
kerenyahan produk. Harga tepung
trigu dipasaran eceran Rp.
4.500,00 per kg.
c. Tepung Tapioka
Tepung tapika ditambahkan untuk
meningkatkan kerenyahan produk.
Tepung tapioka ini didapat dari
pasar dengan harga eceran Rp.
3.000,0 per kg.
Pada industri skala usaha kecil
menengah (UKM) ini persedianan
bahan baku tahu direncanakan
pengadaan tiap dua hari sekali karena
tahu memiliki umur simpan yang relatif
pendek, sedangkan tepung trigu dan
tepung tapioka direncanakan tiap bulan
atau 25 hari kerja. Pengadaan bahan
baku perlu direncanakan agar proses
produksi dapat berjalan lancar tanpa
terjadi kekurangan persediaan ataupun
kelebihan persediaan yang terlalu besar
(Asri dan Suprihanto, 1986). Jumlah
bahan baku yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan produksi
perbulan dapat dilihat pada Tabel .
98
kerenyahan produk dapat
dipertahankan dalam waktu yang
lama.
Perencanaaan Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi dari suatu
pabrik atau industri yang akan
didirikan, dapat dilakukan dengan dua
cara pendekatan. Pertama adalah
dengan memperkirakan tingkat per-
mintaan potensial terhadap produk
pada masa depan, sedangkan kedua
adalah dengan pendekatan terhadap
ketersediaan bahan bakunya.
Menurut Suratman (2001),
Konsep yang paling sederhana dalam
menentukan skala operasi (luas
produksi) adalah bergantung pada
kemungkinan perkembangan pangsa
pasar (market share) yang dapat diraih
Tahu 200 Kg
Dipres
Dicampur
Adonan 188,45 Kg
Diblanching
Digiling
Dipotong - Potong
Dikeringkan
Tofu Chips Mentah
134,33 Kg
Trigu 15 Kg Tapioka 15 Kg
Bumbu 10,34 Kg
Air 246Kg
Tahu menempel 4 Kg
Uap air 33,58 Kg
Digoreng
Tofu Chips Matang
128 Kg
Uap air 6,71 Kg
Adonan hilang 1.9 Kg
Adonan hilang 1.7 Kg
Uap air 18,84 Kg
Dikemas
Diagram Alir Massa Proses Pembuatan Tofu Chips
3
sesuai maka derajat pengembangan
granula pati tidak tepat dan tidak
memberikan sifat yang diinginkan.
Tujuan penelitian ini adalah
mempelajari karakteristik antara tepung
singkong yang dibuat dengan tanpa pre
gelatinisasi dan pre gelatinisasi; serta
mempelajari pengaruh temperatur pre
gelatinisasi terhadap karakteristik fisik,
kimia dan fungsional tepung singkong.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan mulai
bulan April sampai Juli 2007, di
labolatorium Teknologi Hasil Pertanian
Universitas Yudharta.
Bahan baku penelitian adalah
singkong varietas UJ berumur 8 bulan
yang diperoleh dari Balitkabi (Balai
Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian) Malang. Alat yang digunakan
adalah pemanas, termometer,
timbangan, pengiris singkong, alat
penepung, ayakan, loyang, oven,
maffel furnace, centrifuge,
Viscoamilograph, Colorimeter.
Penelitian ini menggunakan
rancangan percobaan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktor tunggal,
diulang 3 kali. Terdiri dari 4 perlakuan
yaitu A = Tanpa pre gelatinisasi, B =
Pre gelatinisasi pada suhu 100
0
C, C =
Pre gelatinisasi pada suhu 90
0
C, D =
Pre gelatinisasi pada suhu 80
0
C: Dari 4
perlakuan disusun 3 pembandingan
linier ortogonal kontras yaitu:
1. A vesus BCD,
berarti melihat apakah terdapat
perbedaan karakteristik tepung
singkong antara perlakuan tanpa pre
gelatinisasi dan pre gelatinisasi.
2. B versus C
Melihat apakah terdapat perbedaan
karakteristik tepung singkong antara
perlakuan suhu 100
0
C dan 90
0
C.
3. C versus D
Melihat apakah terdapat perbedaan
karakteristik tepung singkong antara
perlakuan suhu 90
0
C dan 80
0
C.
Pelaksanaan Penelitian meliputi :
1. Pembuatan tepung singkong tanpa
pre gelatinisasi :
a. Pencucian dan pengupasan
singkong
b. Pengirisan ukuran 1 cm
c. Pengeringan selama 24 - 36 jam
d. Penggilingan dan pengayakan
e. Tepung singkong
2. Pembuatan tepung singkong pre
gelatinisasi
a. Pencucian dan pengupasan
b. Pengirisan ukuran 1 cm
c. Pemanasan (parboiling) dalam
air, selama 10 menit (temperatur
80
0
C, 90
0
C, dan 100
0
C)
d. Pembuangan air (decanting)
e. Pengeringan selama 24 - 36 jam
f. Penggilingan dan pengayakan
g. Tepung singkong
Baku singkong dilakukan analisa
proksimat meliputi kadar air, serat
kasar, kadar lemak, kadar HCN, kadar
pati, kadar protein (AOAC, 1989).
Tepung singkong dilakukan analisa
pada kadar air, kadar pati, kadar
amilosa, kadar HCN, warna (whiteness
tester) pembanding BaS0
4
100%
(AOAC, 1989). Sfat amilografi tepung
singkong dianalisa menggunakan
Viscoamilograph untuk mengukur suhu
gelatinisasi, waktu gelatinisasi dan
viskositas. Analisa organoleptik
4
meliputi parameter warna, kenampakan
dan aroma (Larmond, 1984).
Analisis data dilakukan secara
statistik menggunakan analisis sidik
ragam (uji F) dengan selang
kepercayaan 5% dan 1%. Dan
dilakukan uji pembandingan linier
orthogonal kontras untuk
membandingkan antar perlakuan
(Sastrosupadi, 1999). Untuk
organoleptik menggunakan uji
acceptance (tingkat penerimaan) terdiri
15 panelis. Data yang diperoleh
dianalisis menggunakan analisis sidik
ragam (uji F) dan pembandingan linier
orthogonal kontras (Larmond, 1984).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Rerata kadar air tepung singkong
pada penelitian ini berkisar antara
11.9267 % sampai 14.7067 % (Gambar
1). Menurut Ananymous (2000) kadar
air tepung tapioka setelah pengeringan
berkisar antara 12-13%
Berdasarkan analisis ragam
(pembandingan linier ortogonal)
perlakuan pre gelatinisasi pada tepung
singkong memberikan penurunan kadar
air tepung secara nyata dibandingkan
tepung tanpa pre gelatinisasi.
Menurunnya kadar air pada tepung pre
gelatinisasi disebabkan karena
perlakuan pre gelatinisasi secara
parboiling (perebusan) memberikan
pemanasan yang menyebabkan
terjadinya penyerapan air dan
pembengkakan granula pati.
Pemanasan menyebabkan lemahnya
ikatan hidrogen dalam granula,
sehingga granula yang telah
membengkak memiliki ukuran yang
besar dan bersifat irreversibel. Ketika
dilakukan proses pengeringan tepung
yang telah tergelatinisasi, air mudah
lepas dari ikatan hidroksil sehingga
kadar air sedikit menurun. Menurut
Kenneth, Leon and J Peter (1991)
penggunaan panas yang terus
meningkat menyebabkan ikatan
hidrogen intermolukuler antara rantai
amilosa dan rantai cabang amilopektin
mulai melemah, sehingga granula pati
mengembang secara cepat. Granula
yang telah mengembang mempunyai
struktur yang lebih lunak dan bersifat
irreversibel.
Perlakuan pre gelatinisasi pada suhu
yang berbeda 80
0
C, 90
0
C, dan 100
0
C
tidak memberikan pengaruh yang nyata
pada kadar air tepung. Perlakuan
tersebut merupakan suhu dimana telah
terjadi proses gelatinisasi dan
pembengkakan granula. Berdasarkan
14.7076
12.8
11.9333 11.9267
0.0
5.0
10.0
15.0
1
Perlakuan
K
a
d
a
r

a
i
r

(
%
)
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 1. Grafik Rerata Kadar Air
Tepung Singkong
97
untuk menggurangi kadar minyak
goreng yang terserap pada saat
penggorengan, meningkatkan
kerenyahan bahan, dan juga
memperlama waktu simpan
produk.
i) Pengemasan
Pengemasan dilakukan dengan
menggunakan alumunium foil,
dengan pertimbangan bahan ini
mempuyai kekedapan udara yang
cukup tinggi, sehingga tekstur dan
Tahu + Terigu + Tapioka
(10 :1 :1)
Pengadukan
Pengadukan hingga rata
Pengadukan hingga kalis
Pengisian kedalam cetakan
Pengukusan, 100
o
C, 30 menit
Penggilingan adonan tebal 1 mm
Pemotongan bentuk segi empat
Ukuran 1,5x1 cm
Pengeringan Cabinet Dryer 4 jam
Penggorengan, Deep Frying,
180
o
C, 190
o
C, 200
o
C, 15 menit
Penirisan
pengemasan
Tofu Chips
Garam 2,5%
Air hangat ()
Pengadukan hingga larut
Baking soda 0,5%,
Merica 1%,
Bawang Putih 2%,
Penyedap rasa
Analisis :
- Kadar air
- Kadar Lemak
- Kadar Protein
- Rendemen
- Organoleptik
Diagram Alir Pembuatan Tofu Chips
96
bahan baku tahu takwa kuning) dan
terendah adalah 8,67 % (pada
penggorengan suhu 200
o
C, jenis bahan
baku tahu putih), sedangkan untuk
kadar air tertinggi adalah sebesar 0,152
% (pada penggorengan suhu 180
o
C
untuk jenis bahan baku tahu putih ) dan
terendah adalah 0.064 % (pada
penggorengan suhu 200
o
C, jenis bahan
baku tahu takwa kuning).
TEKNOLOGI PROCCESING
TOFU CHIPS
Gambaran Teknologi Proccesing Tofu
Chips
Teknologi yang digunakan
dalam pembuatan tofu chips relatif
sederhana, peralatan yang digunakan
juga tidak terlalu mahal dan sulit untuk
diperoleh, dan juga modal kerja yang
diperlukan tidak terlalu banyak,
sehingga produk ini tidak sulit untuk
dikembangkan pada skala usaha kecil
menengah (UKM). Tahapan proses
pembuatan tofu chips adalah sebagai
berikut :
a) Pecucian
Tahu yang akan digunakan sebagai
bahan baku dalam pembuatan tofu
chips, dicuci dan direndam dengan
tujuan untuk membersihkan bahan
dan untuk menghilangkan bau
asam pada tahu.
b) Penghancuran dan pengepresan
Proses ini bertujuan untuk
mengurangi kadar air pada bahan
baku tahu, mempermudah pada
perlakuan selanjutnya, mengurangi
jumlah penambahan tepung dan
meningkatkan kadar protein
produk
c) Pengadukan
Bahan baku tahu yang telah dipres
selanjutnya ditambah dengan
tepung terigu, tepung kaji dengan
perbandingan 1 : 10 untuk masing-
masing tepung, dan ditambah
bumbu sebagai penyedap rasa,
selanjutnya diaduk sampai
terbentuk adonan yang homongen.
d) Pengukusan
Pengukusan ini bertujuan untuk
membantu dalam proses gela-
tinisasi bahan. Pengukusan
merupakan unit operasi yang
bertujuan untuk mencapai
gelatinisasi pati yang sempurna
makanan (Luh, 1980).
e) Pengilingan dan Pemotongan
Adonan yang telah dikukus,
digiling menjadi lembaran-
lembaran tipis dengan ketebalan 1
mm, kemudian dipotong dengan
lebar 1,5 x 1,5 cm.
f) Pengeringan
Pengeringan dilakukan selama 18
jam pada suhu 50
o
C dengan tujuan
untuk menggurangi kadar air dan
kelembaban pada bahan. Tipe
pengering yang digunakan adalah
Pengering kabinet
(CabinetDrying).
g) Pengorengan
Tofu Chips yang masih mentah dan
sudah dikeringkan selama 4 jam
selanjutnya digoreng dengan
menggunkan Deep Frying. Suhu
penggorengan yang digunakan
dibagi menjadi 3 level yaitu : 180,
190, 200
o
C.
h) Penirisaan
Penirisan dilakukan dengan tujuan
5
analisis amilografi, tepung singkong
pre gelatinisasi telah mengalami
gelatinisasi pada suhu sekitar 80
0
C
(Tabel 1). Ikatan hidrogen melemah
sehingga rantai dan struktur pati
menjadi lebih lunak. Ikatan hidrogen
intramolekuler berfungsi
mempertahankan struktur integritas
granula pati. Proses pengeringan
kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi, akan memudahkan
terlepasnya air yang terikat didalam
granula pati.
Kadar HCN
Tepung singkong mempunyai rerata
kadar HCN ini berkisar antara 10.7833
ppm sampai 14.7860 ppm (Gambar 2).
Berdasarkan analisis ragam dan
perbandingan linier ortogonal perlaku-
an tepung secara pre gelatinisasi
memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kadar HCN, dibandingkan
dengan tepung singkong tanpa pre
gelatinisasi. Perlakuan pre gelatinisasi
menurunkan kadar HCN pada tepung
singkong, dibandingkan tepung
singkong tanpa pre gelatinisasi. Hal ini
disebabkan pada proses pembuatan
tepung dengan pre gelatinisasi melalui
tahap parboling (perebusan) pada suhu
80-100
0
C akan merusak aktivitas enzim
linamarase dan melarutkan asam
sianogenik. Proses selanjutnya yaitu
pembuangan air hasil perebusan
menurunkan dan menghilangkan asam
sianida.
Beberapa tahap proses pada
pembuatan tepung singkong akan
menurunkan HCN. Proses perebusan
dalam air mendidih selama 10 menit
akan merusak aktivitas enzim
linamarase dan melarutkan asam
hidrosianida. Proses pembuangan air
rebusan (decanting) menurunkan atau
menghilangkan kandungan sianida
(Balagopalan, 2002). Menurut Padmaja
et.al. (1996) HCN merupakan
komponen toksik yang terdapat dalam
singkong dalam bentuk glukosa
sianogenik. Seluruh cultivar singkong
mengandung HCN berkisar natara 10-
500 ppm. Keracunan yang serius terjadi
bila kandungan HCN melebihi batas
150 ppm.
Perlakuan pre gelatinisasi pada suhu
yang berbeda 80
0
C, 90
0
C, dan 100
0
C
tidak memberikan perbedaan yang
nyata pada kadar HCN tepung
singkong. Hal ini menunjukkan pada
suhu 80
0
C sudah dapat menurunkan
kadar HCN tepung singkong, walaupun
pemanasan pada suhu 90
0
C
memberikan kadar HCN terendah yaitu
10.7833 ppm. Tahapan proses pada
14.7876
11.1167
10.7833
11.3600
0.0
4.0
8.0
12.0
16.0
K
a
d
a
r


H
C
N

(
p
p
m
1900 Perlakuan
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 2. Grafik Rerata Kadar
HCN Tepung Singkong
6
pembuatan tepung singkong seperti
pemanasan menggunakan dan
pembuangana air rebusan (decanting)
melarutkan kandungan asam sianida.
Kadar Pati
Tepung singkong mempunyai rerata
kadar pati ini berkisar antara 76.7400%
sampai 81.3533% (Gambar 3).
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan pre gelatinisasi tidak
memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kadar pati tepung singkong,
dibandingkan dengan perlakuan tanpa
pre gelatinisasi. Berdasarkan
perbandingan linier ortogonal tepung
singkong dengan perlakuan yang
berbeda (pre gelatinisasi dan tanpa pr
gelatinisasi) mempunyai kadar pati
yang hampir sama. Kondisi ini
menunjukkan bahwa perlakuan pre
gelatinisasi tidak mempengaruhi
jumlah pati yang terdapat dalam tepung
singkong.
Berdasarkan analisis ragam dan
perbandingan linier ortogonal
perlakuan suhu pre gelatinisasi yang
berbeda yaitu 80, 90, 100
0
C tidak
memberikan pengaruh yang nyata pada
kadar pati tepung singkong. Tepung
singkong mempunyai kisaran kadar
pati dalam jumlah hampir sama.
Kadar Amilosa
Rerata kadar air amilosa
tepung singkong singkong berkisar
antara 20.3397 % sampai 21.7303 %
(Gambar 4.)
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan dan perbandingan linier
ortogonal pre gelatinisasi memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar
amilosa tepung dibandingkan tanpa pre
79.1000
81.3533
76.7400 80.4317
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
1
Perlakuan
K
a
d
a
r

P
a
t
i

(
%
)
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 3. Grafik Rerata Kadar Pati
Tepung Singkong
21.7303
20.7467
20.3397
20.6810
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
1
Perlakuan
K
a
d
a
r

A
m
i
l
o
s
a

(
%
)
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 4. Grafik Rerata Kadar
Amilosa Tepung Singkong
95
dan rendemen sebesar 29,06 %.
KUALITAS PRODUK
Karakteristik Tofu Chips yang
Dihasilkan
Kripik tahu (tofu chips) yang
dihasilkan berbentuk segi empat
dengan lebar 1,5 cm x 1,5 cm dengan
ketebalan 1 mm sedangkan
kenampakan visual produk relatif sama,
berwarna kuning kecoklatan.
Sedangkan tingkat kerenyahan produk
bervariasi antara satu dengan yang lain,
aroma produk memiliki aroma yang
khas seperti pada bahan bakunya.
Tofu chips Jika dibandingkan
dengan produk makanan ringan yang
lainnya mempuyai kelebihan memiliki
kandungan protein yang cukup tinggi.
Dari hasil penelitian terlihat kadar
protein yang terkandung bervariasi
untuk tiap jenis bahan baku yang
digunakan. Untuk tahu putih berkisar
antara 20,57 23,73 % sedangkan
untuk tahu takwa kuning berkisar
antara 22,43- 25,95 %.
Karakteristik Kimia Produk Tofu
Chips
Berdasarkan hasil analisa kimia
yang telah dilakukan terhadap produk
tofu chips diperoleh hasil sebagai
berikut :
Hasil uji kimia yang terlihat pada
Tabel diatas menunjukkan bahwa
peningkatan suhu penggorengan dapat
menyebabkan kadar protein, kadar
lemak produk menjadi turun. Suhu
yang tinggi pada pengolahan makanan
dapat menyebabkan terdenaturasinya
kandungan protein produk sehingga
menyebabkan menurunnya kandungan
protein bahan, hal ini sesuai dengan
pendapat Apriyanto (2002), yang
menyatakan kebanyakan protein
pangan terdenaturasi jika dipanasakan
pada suhu yang moderat (60-90
o
C)
selama satu jam atau kurang.
Dari data tersebut diatas
menunjukkan kadar protein tertinggi
adalah sebesar 25,95 % (pada
penggorengan suhu 180
o
C untuk jenis
bahan baku tahu takwa kuning) dan
terendah adalah 20,57 % (pada
penggorengan suhu 200
o
C, jenis bahan
baku tahu putih). Untuk kadar lemak
tertinggi adalah sebesar 16,03 % (pada
penggorengan suhu 180
o
C untuk jenis
Hasil Analisis Kimia Produk Tofu Chips
Perlakuan
Kadar
Protein
Kadar
Lemak Kadar Air
Tahu Putih, Suhu 180
o
C 23.73 12.4 0.152
Tahu Putih, Suhu 190
o
C 21.05 9.29 0.091
Tahu Putih, Suhu 200
o
C 20.57 8.67 0.076
Tahu Takwa, Suhu 180
o
C 25.95 16.03 0.136
Tahu Takwa, Suhu 190
o
C 24.74 11.03 0.108
Tahu Takwa, Suhu 200
o
C 22.43 9.26 0.064
94
0
1
2
3
4
5
S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3
Produk
S
k
o
r
Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis
Terhadap Kerenyahan Tofu Chips
Pada grafik diatas terlihat
penilaian panelis terhadap kerenyahan
tofu chips, rata- rata nilai kesukaan
berkisar antara 1,8 sampai 3,6, panelis
paling menyukai tofu chips pada
perlakuan pertama yaitu tofu chips
yang berbahan baku dari tahu putih dan
digoreng pada suhu 180
o
C. Panelis
memilih tofu chips yang dihasilkan
pada perlakuan pertama ini dengan
alasan suhu yang terlalu tinggi pada
proses penggorengan dapat
menyebabkan tingkat kehilangan kadar
air bahan terlalu banyak sehingga akan
dapat mempengaruhi rasa dan tingkat
kerenyahan produk. Panelis
beranggapan pada suhu 180
o
C tingkat
kerenyahan tofu chips sudah dapat
dicapai dengan baik
Pada makanan kering seperti
keripik, timbulnya bunyi disebabkan
adanya rongga antar sel yang kaku dan
rapuh yang berisi udara (Vickers,
1979). Selain itu, tingkat kerenyahan
berhubungan erat dengan kadar air
produk. Pada kadar air yang terlalu
tinggi menjadikan tekstur kurang
garing/tidak renyah (Muchtadi dkk.,
1987). Kerenyahan juga berhubungan
dengan daya patah. Daya patah
merupakan besarnya usaha yang
dilakukan untuk mematahkan produk.
Semakin rendah nilai daya patah maka
akan semakin meningkatkan nilai
kerenyahannya.
Produk Terbaik
Pemilihan alternatif Produk
terbaik dilakukan dengan menggunakan
metode Indeks Effektivitas. Menurut De
Garmo, Sullivan, and Canada (1984),
keuntungan penggunaan indeks
effektivitas adalah:
a. Dapat dipakai untuk alternatif yang
memiliki banyak kriteria. Masing-
masing kreteria atau atribut dapat
berbeda tingkat kepentingannya
(dinyatakan dengan bobot).
b. Mudah divisualisasikan dan cukup
sederhana.
Berdasarkan dari kuisioner
tingkat kepentingan kriteria yang
diberikan pada panelis, diperoleh hasil
bobot tertinggi pada kriteria rasa
dengan bobot 0,466 kemudian diikuti
kerenyahan dan warna produk memiliki
bobot yang sama yaitu 0,266.
Perhitungan pembobotan kriteria dapat
dilihat pada lampiran 4. Setelah
diketahui bobot tiap kriteria,
selanjutnya dilakukan perhitungan nilai
efektifitas untuk mendapatkan nilai
produk. Berdasarkan hasil perhitungan,
diperoleh nilai produk tertinggi pada
perlakuan S1T3 (Jenis Bahan Baku
Tahu Putih ; Suhu Penggorengan
200
o
C) yang akan menghasilkan tofu
chips dengan kadar protein 20,57 % ,
kadar lemak 8,67 %, kadar air 0,076 %,
7
74.1000 69.5667
71.3667
72.3000
0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
1
Perlakuan
D
e
r
a
j
a
t

P
u
t
i
h

(
%
)
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 5. Grafik Rerata Derajat
Putih Tepung Singkong
gelatinisasi. Perlakuan pre gelatinisasi
sedikit menurunkan kadar amilosa
tepung singkong. Hal ini disebabkan
ketika pati dipanaskan dalam air pada
temperatur gelatinisasi, energi panas
menyebabkan ikatan hidrogen pati
menjadi melemah. Ikatan yang lemah
memudahkan air masuk ke dalam
granula dan memungkinkan sedikit
melarutnya dan terjadi pertukaran
molekul amilosa menuju ke air.
Berdasarkan perbandingan
ortogonal perlakuan suhu pre
gelatinisasi 80, 90, dan 100
0
C tidak
memberikan perbedaan yang nyata
terhadap kadar amilosa tepung
singkong. Hal ini disebabkan suhu
yang digunakan pada perlakuan ini
merupakan suhu diatas suhu
gelatinisasi tepung singkong. Pada
kisaran temperatur tersebut proses
gelatinisasi pati telah berlangsung,
sehingga telah terjadi pertukaran
molekul amilosa ke air, dan pati masih
dalam fragmen yang melingkupi.
Annison dan Topping (2000)
menyatakan bahwa gelatinisasi terdiri
dari dua tahap proses yaitu suspensi
pati yang dipanaskan pada suhu 60-
70
0
C sebagian granula akan
mengembang. Ketika suhu dinaikkan
menjadi 90
0
C granula akan
mengembang seluruhnya dan
kehilangan bentuknya, meskipun pati
masih terdiri dari suatu fragmen yang
melingkupinya.
Derajat Putih
Rerata derajat putih tepung
singkong berkisar antara 69.5667%
sampai 74.100% (Gambar 5).
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan pre gelatinisasi memberikan
pengaruh yang sangat nyata
dibandingkan tanpa pre gelatinisasi dan
berdasarkan perbandingan ortogonal
terdapat perbedaan derajat putih tepung
pre gelatinisasi dan tanpa gelatinisasi.
Kondisi ini disebabkan oleh proses
pemanasan pada pre gelatinisassi akan
melarutkan beberapa komponen kimia
dalam tepung dan sel pati seperti gula,
amilosa, protein. Proses pengeringan
kembali pati yang tergelatinisasi
memungkinkan senyawa-senyawa
terlarut tersebut, seperti gula perduksi
dan protein bereaksi menghasilkan
pigmen berwarna coklat.
Berdasarkan perbandingan linier
ortogonal perlakuan pre gelatinisasi
pada suhu yang berbeda memberikan
pengaruh yang sangat nyata terhadap
derajat putih tepung singkong. Suhu
8
100
0
C memberikan nilai derajat putih
tepung yang lebih rendah dibandingkan
perlakuan pr gelatinisasi suhu 90
0
C,
dan pre gelatinisasi 80
0
C memberikan
derajat putih yang lebih tinggi
dibandingkan pre gelatinisasi pada
suhu 90
0
C. Kondisi ini disebabkan
semakin tinggi suhu pre gelatinisasi
akan semakin melarutkan komponen
kimia dalam sel, sehingga
memungkinkan gula dan protein untuk
bereaksi menghasilkan pigmen
berwarna coklat.
Kandungan utama singkong
adalah karbohidrat yang sebagian besar
merupakan pati, tetapi pada umumnya
sedikit mengandung protein.
Komponen kimia tepung singkong
adalah pati, serat, gula, lemak, protein
dan sejumlah kecil komponen lain
(Moorthy, Rickard and Blanshard,
1996). Menurut Anaymous (2000)
cairan dalam sel kaya akan kandungan
gula dan protein. Proses perusakan sel
menyebabkan larutan dalam sel akan
keluar berinteraksi dengan udara dan
kemudian bereaksi dengan oksigen
membentuk komponen warna. Menurut
Belitz and Groszh (1987) interaksi
komponen amino dan monosakarida,
yang diikuti dengan pelepasan air, akan
membentuk senyawa imine
intermediary atau N glikosida. N-
glikosida merupakan produk awal yang
selanjutnya dapat membentuk senyawa
Amadori (Amadori rearrangement)
Senyawa ini merupakan produk
intermediate, yang selanjunya
merupakan rangkaian dari reaksi
Maillard yaitu reaksi yang
menyebabkan warna coklat pada bahan
makanan.
Sifat Amilografi
Sifat amilografi dari tepung
singkong diukur menggunakan alat
Viscoamilograph. Sifat amilografi
meliputi suhu awal gelatinisasi, waktu
awal gelatinisasi, suhu gelatinisasi
(saat granula pecah), waktu gelatinisasi
(granula pecah), viskositas maksimum,
viskositas dingin, dan viskositas balik
(Tabel 1).
Suhu awal gelatinisasi adalah
Tabel 1. Sifat Amilografi Tepung Singkong
Perlakuan
Suhu Awal
Gel. (
O
C)
Waktu Awal
Gel. (Menit)
Suhu
Gel.
(
O
C)
Waktu
Gel.
(
O
C)
Visk.
Maks.
(Cp)
Visk.
50
O
C
(Cp)
Visk
Balik
(Cp)
A 67.40 10.00 90.30 16.00 3915.80 3046.40 -869.40
B 33.20 1.00 81.60 13.00 761.60 1395.20 633.60
C 30.00 1.00 80.30 13.00 1350.40 1676.80 326.40
D 30.10 1.00 86.90 15.00 2156.80 2556.80 400.00
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
93
luar dari bahan pangan sedangkan jenis
lemak yang digunakan berpengaruh
sangat kecil terhadap warna permukaan
bahan pangan (Ketaren, 1986).
Rasa
Penilaian terhadap rasa (flavour)
pada makanan, pada dasarnya tidak
hanya dirasakan oleh indera pencicip
saja. Rasa makanan tersebut,
merupakan campuran dari tanggapan
cicip, bau, dan yang ditimbulkan oleh
kesan-kesan lain seperti penglihatan,
sentuhan, dan pendengaran. Jadi, ketika
kita merasakan makanan, sebenarnya
kenikmatan tersebut diwujudkan
bersama-sama oleh kelima indera
(Soekarto, 1985). Pada Gambar di
bawah dapat dilihat data rata-rata
penilaian panelis terhadap rasa tofu
chips.
0
1
2
3
4
5
S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3
Produk
S
k
o
r
Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis
Terhadap Rasa Tofu Chips
Pada grafik diatas terlihat
penilaian panelis terhadap rasa tofu
chips, rata- rata nilai kesukaan
berkisar antara 2,2 sampai 3,2, panelis
paling menyukai rasa pada perlakuan
yang keenam yaitu tofu chips yang
berbahan baku dari tahu takwa yang
digoreng pada suhu 200
o
C. Tofu chips
yang dihasilkan pada perlakuan ini
disukai konsumen dengan alasan
bahwa kalau dilihat dari bahan
bakunya, tahu takwa sudah memiliki
rasa yang khas sedangkan tahu putih
tidak berasa, disamping itu suhu
pengorengan yang cocok dalam
pengolahan makanan akan dapat
meningkatkan cita rasa produk.
Menurut Fellow(2000), faktor utama
yang mempengaruhi warna, rasa dan
bau adalah jenis minyak goreng yang
digunakan, suhu penyimpanan minyak,
suhu dan lama penggorengan, ukuran,
kelembaban dan penampakan dari
makanan serta perlakuan setelah
penggorengan.
Kerenyahan
Kerenyahan suatu produk
makanan dapat dinilai berdasarkan
bunyi yang dihasilkan bila produk
dipatahkan. Biasanya untuk produk
yang semakin renyah akan
menghasilkan bunyi yang lebih nyaring
(Vickers, 1979). Kerenyahan pada
produk seperti keripik juga dapat
dirasakan ketika produk itu digigit.
Pada Gambar di bawah dapat dilihat
data rata-rata penilaian panelis terhadap
kerenyahan tofu chips.
92
menentukan penilaian seseorang
terhadap produk yang digoreng seperti
kripik adalah kenampakan (warna),
flavour (rasa dan aroma), dan tekstur
(kerenyahan). Data hasil pembobotan
kriteria yang telah dilakukan oleh
panelis pada produk tofu chips dapat
dilihat pada Tabel dibawah.
Dari Tabel diatas dapat dilihat
bobot tiap-tiap kriteria yang melekat
pada tofu chips antara lain yaitu warna
memiliki skor 0,26, rasa memiliki skor
0,46, kerenyahan memiliki skor 0,26,
disini terlihat kriteria rasa memiliki
bobot yang paling tinggi dan
selanjutnya diikuti oleh kerenyahan dan
warna produk. Hal ini karena panelis
memilih rasa sebagai kriteria produk
yang paling penting, dengan alasan
bahwa rasa merupakan indikasi awal
yang dapat dirasakan oleh indra
manusia untuk menilai suatu produk
makanan. Ada juga panelis yang
memberikan skor tertinggi pada warna
produk dengan alasan, konsumen akan
menilai suatu produk dari kenampakan
visual dulu, baru rasa dan kerenyahan
produk.
Uji Kesukaan Terhadap Kriteria
Warna
Warna merupakan respon mata
manusia terhadap sinar (Soekarto,
1985). Produk makanan dapat me-
mantulkan sinar, sehingga dapat dilihat
oleh mata manusia. Warna yang
ditimbulkan makanan dapat menim-
bulkan ketertarikan tersendiri bagi
konsumen untuk mengkosumsinya.
Pada Gambar dibawah dapat dilihat
data rata-rata penilaian panelis terhadap
warna tofu chips.
0
1
2
3
4
5
S1T1 S1T2 S1T3 S2T1 S2T2 S2T3
Produk
S
k
o
r
Grafik Rata-Rata Penilaian Panelis
Terhadap Warna Tofu Chips
Pada grafik diatas terlihat
penilaian panelis terhadap warna tofu
chips rata- rata nilai kesukaan berkisar
antara 2 sampai 3, panelis paling
menyukai warna pada perlakukan yang
kedua yaitu tofu chips yang berbahan
baku dari tahu putih malang, dan
digoreng pada suhu 190
o
C. ini
menunjukkan bahwa jenis bahan baku
dan suhu pengorengan sangat
berpengaruh terhadap warna tofu chips.
Bahan baku tahu putih malang bila
digoreng pada suhu 190
o
C, akan
menghasilkan warna putih kekuningan.
Kombinasi warna seperti ini yang
disukai oleh konsumen, hal ini karena
apabila suhu di turunkan akan
menghasilkan warna agak pucat dan
sebaliknya apabila suhu penggorengan
ditingkatkan akan menyebabkab
kegosongan dan menghasilkan warna
agak kecoklatan.
Timbulnya warna pada
permukaan bahan disebabkan oleh
reaksi browning artau reaksi maillard.
Tingkat intensitas warna tergantung
dari lama dan suhu menggoreng dan
juga komponen kimia pada permukaan
9
suhu pada saat ikatan mulai melemah
dan terjadinya pembengkakan granula
pati. Tepung singkong tanpa pre
gelatinisasi mempunyai suhu dan
waktu awal gelatinisasi yang tinggi
yaitu 67.40
O
C dan 10 menit. Perlakuan
pre gelatinisasi menurunkan suhu dan
waktu awal gelatinisasi. Perlakuan pre
gelatinisasi pada suhu 80
0
C, 90
0
C dan
100
0
C mempunyai kisaran suhu awal
yang hampir sama yaitu 33.20
0
C,
30.00
0
C, dan 30.10
0
C, dan waktu
gelatinisasi yang sama yaitu 1 menit
(Tabel 1). Kondisi ini menunjukkan
pada suhu tersebut tepung singkong pre
gelatinisasi mulai menyerap air dan
terhidrasi kembali pada kisaran suhu
30
0
C. Perlakuan pre gelatinisasi
merubah sifat dari tepung singkong,
Tepung yang mengalami pre
gelatinisasi memiliki kemampuan
menyerap air pada suhu yang lebih
rendah, dan ketika terjadi peningkatan
suhu maka proses pembengkakan dan
pecahnya granula lebih cepat terjadi.
Suhu gelatinisasi adalah suhu
pecahnya granula pati karena
pembengkakan granula setelah
melewati titik maksimum. Secara
umum perlakuan pre gelatinisasi akan
menurunkan suhu dan waktu
gelatinisasi. Pati singkong tanpa pre
gelatinisasi mempunyai suhu dan
waktu gelatinisasi tertinggi yaitu
90.30
0
C dan 16 menit. Waktu
gelatinisasi pada perlakuan suhu pre
gelatinisasi 80 dan 90
0
C mempunyai
waktu yang yang singkat yaitu 13
menit, dibandingkan pre gelatinisasi
100
0
C yang mempunyai waktu
gelatinisasi 15 menit. Penurunan waktu
gelatinisasi menunjukkan bahwa proses
gelatinisasi pati pada tepung pre
gelatinisasi lebih pendek dari pada
tanpa pre gelatinisasi. Perlakuan pre
gelatinisasi pada suhu 90 dan 100
0
C
mempunyai suhu gelatinisasi yang
paling rendah yaitu 80.30 dan 81.60
0
C.
Menurut Daramola dan Osanyinlusi
(2005) waktu gelatinisasi yang singkat
akan menurunkan biaya, sedangkan
suhu gelatinisasi yang rendah akan
mempersingkat proses pengolahan.
Tepung yang mengalami pre
gelatinisasi dengan perebusan atau
(parboling) telah mengalami perubahan
struktur ikatan dan bentuk granula.
Ikatan hidrogen antara amilosa dan
amilopektin melemah karena adanya
pemanasan awal. Gelatinisasi menga-
kibatkan dehidrasi dan konversi dari
bentuk amarphous amilosa ke bentuk
helik. Bentuk helik menjadi bagian
yang lemah dari kristal granula pati.
Menurut Zallie (1988) temperatur
gelatinisasi dipengaruhi oleh kuat
lemahnya ikatan di dalam granula.
Viskositas maksimum adalah
titik maksimum viskositas tepung
selama proses pemanasan. Viskositas
maksimum tepung singkong tanpa pre
gelatinisasi adalah 3915.80 Cp, yang
merupakan nilai tertinggi dibandingkan
dengan perlakuan lain. Menurut
Daramola dan Osanyinlusi (2005)
viskositas tinggi menunjukkan bahwa
tepung memiliki water binding
(pengikatan air) yang sangat tinggi.
Perlakuan pre gelatinisasi menurunkan
nilai viskositas tepung singkong,
dimana viskositas maksimum adalah
761.60 sampai 2156.80 Cp. Nilai
10
viskositas maksimum terendah dimiliki
oleh perlakuan pre gelatinisasi pada
suhu 100
0
C yaitu 761.60 Cp .
Perlakuan pre gelatinisasi mampu
mengubah puncak kurva amilograf
tepung singkong (Gambar 6). Tepung
singkong tanpa pre gelatinisasi
mempunyai puncak kurva yang
runcing, sedangkan perlakuan pre
gelatinisasi mampu merubah puncak
kurva menjadi tumpul. Pre gelatinisasi
80
0
C memberikan puncak kurva
amilograf yang lebih landail
dibandingkan suhu 90
0
C, dan pre
gelatinisasi 90
0
C mempunyai puncak
yang lebih landai dari pada pre
gelatinosasi 100
0
C. Tepung singkong
tanpa pre gelatinisasi mempunyai laju
ketahanan yang lebih rendah selama
proses pemanasan/ pengolahan.
Menurut Champbell et al. (1950) dalam
Muharram (1994) bentuk kurva
amilograph dapat tajam, sempit atau
lebar tergantung pada laju
pembengkakan dan ketahanan granula
pati terhadap kepecahan. Pati dengan
puncak tajam dan sempit membutuhkan
pengawasan yang ketat selama
pengolahan/pemanasan. Tepung
dengan puncak lebar atau plateu lebih
disukai karena menghasilkan
pembengkakan yang seragam.
Viskositas balik adalah tepung
singkong pre gelatinisasi 90
0
C
mempunyai viskositas balik yang
rendah yaitu 326.40 Cp. Viskositas
balik yang rendah menunjukkan bahwa
pasta tepung mempunyai stabilitas
melawan retrogradasi (Daramola dan
Osanyinlusi, 2005).
Warna
Rerata penerimaan warna tepung
singkong berkisar antara 2.6667
(netral) sampai 4.1333 (menerima).
(Gambar 7).
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan pre gelatinisasi memberikan
pengaruh yang sangat nyata
dibandingkan tanpa pre gelatinisasi.
Berdasarkan perbandingan linier
otogonal terdapat perbedaan tepung
singkong pre gelatinisasi dan tanpa pre
gelatinisasi. Pre gelatinisasi memberi-
kan penurunan tingkat penerimaan
panelis terhadap warna tepung
singkong, dibandingkan perlakuan
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 6. Kurva Amilografi
Tepung Singkong
91
cukup.
Potensi pasar makanan ringan
yang sangat besar tersebut terbagi atas
krupuk, emping dan snack, sedangkan
kripik sendiri oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) digolongkan kedalam
kategori krupuk. Dari potensi pasar
yang tersedia, tofu chips direncanakan
diproduksi dengan kapasitas produksi
38.400 kg per tahunnya atau sekitar
0,03 % dari potensi pasar yang tersedia.
Kapasitas produksi ditetapkan
berdasarkan pertimbangan ketersediaan
modal kerja dan fasilitas mesin dan
peralatan yang dimiliki oleh
perusahaan.
Segmen pasar yang dituju untuk
pertama kalinya hanya masyarakat
Jawa Timur dengan pertimbangan
sedikitnya biaya distribusi produk yang
diperlukan, karena daerah Jawa Timur
ini berdekatan dengan perusahaan yang
memproduksi produk
tofu chips yang
direncanakaan di kota
Malang, disisi lain
jumlah penduduk
Jawa Timur yang
relatif banyak se-
hingga daerah ini cu-
kup memenuhi untuk
dijadikan sebagai da-
erah awal untuk uji
coba produk tofu
chips sebelum mem-
produksi dengan ka-
pasitas produksi yang
lebih besar lagi. Hal
ini karena dalam
proses komersialisasi
perusahaan dapat me-
milih strategi geografis untuk mencapai
target pasar yang diinginkan (Kotler,
2002)
HASIL UJI KESUKAAN Tofu Chips
Pembobotan Kriteria
Pembobotan kriteria merupakan
tahapan untuk menentukan tingkat
kepentingan dari atribut-atribut yang
ada pada produk. Pada penelitian ini
atribut produk yang digunakan untuk
menilai atau menentukan produk
terpilih merupakan atribut-atribut yang
dapat dinilai dan dirasakan secara
langsung oleh indera manusia. Hal ini
disebabkan, secara umum konsumen
menggunakan indera yang dimilikinya,
untuk menilai dan memilih produk
makanan yang akan dikonsumsinya,
terutama terhadap produk-produk yang
baru dikenalnya. Menurut Budiman
(1985), beberapa sifat penting yang
Data Hasil Pembobotan Kriteria Tofu Chips
Parameter
Panelis
Warna Rasa Kerenyahan
Total
1 3 2 1 6
2 1 3 2 6
3 1 3 2 6
4 2 3 1 6
5 1 3 2 6
Total 8 14 8 30
Bobot 0.266667 0.466667 0.26666667 0
Keterangan :
Panelis 1. Pemilik industri tahu dan stik Mikimos Jl. Patimura 59
Panelis 2 Karyawan industri tahu dan stik Mikimos Jl. Patimura 59
Panelis 3. Pemilik industri tahu dan stik tinalan IV/47 Kediri
Panelis 4. Karyawan industri tahu dan stik tinalan IV/47 Kediri
Panelis 5. Pemilik Caprina Tlogomas Malang
90
cara sebagai berikut:
Kadar lemak (AOAC, 1975 dalam
Sudarmadji dkk, 1984).
Kadar air (AOAC, 1975 dalam
Sudarmadji dkk, 1984).
Kadar protein (AOAC, 1975 dalam
Sudarmadji dkk, 1984).
Rendemen (Suryant o, 2000).
Analisa Biaya Produksi
Analisis biaya produksi
dilakukan untuk mengetahui apakah
produk tofu chips terpilih, layak untuk
direncanakan dan dikembangkan
menjadi suatu industri. Analisis biaya
produksi dilakukan dengan
menggunakan Break Even Point (BEP)
dan Payback Periods (PP) (Mulyadi,
1997).
HASIL PENELITIAN
STUDI PENGEMBANGAN
PRODUK
Potensi Bahan Baku
Bahan baku merupakan elemen
yang sangat penting pada proses
produksi, ketersediaan dan kontinuitas
bahan baku sangat berpengaruh pada
proses produksi. Bahan baku industri
tofu chips di Jawa Timur menyebar
diberbagai daerah. Salah satu sentra
industri tahu yang besar dan dikenal
oleh masyarakat Jawa Timur adalah di
wilayah kota Kediri. Selain di kota
Kediri juga banyak terdapat di beragai
kabupaten yang ada di wilayah Jawa
Timur misalnya di kabupaten Malang
dan sekitarnya.
Bahan baku yang digunakan
pada industri tofu chips yang diren-
anakan adalah tahu putih Malang.
Menurut Badan Pusat Statistik di
wilayah Jawa Timur terdapat lebih dari
50 industri tahu yang menyebar di
wilayah kota Malang dan Surabaya.
Data di Desperindag kota Malang
menunjukkan pada tahun 2005,
terdapat 8 industri tahu formal dengan
kapasitas produksi 673.900 kg atau
setara dengan 673,9 ton per tahunnya.
sedangkan di wilayah kabupaten Kediri
sendiri terdapat 27 industri tahu formal
dengan kapasitas produksi total
7.991.900 potong/ bulan dan juga
terdapat industri tahu non formal
sebanyak 22 buah dengan kapasitas
produksi total 7.239.000 potong/ bulan.
(Disperindag, 2004).
Potensi Pasar
Pasar dari produk tofu chips
yang dituju adalah masyarakat yang
gemar mengkonsumsi makanan ringan
mulai dari anak-anak sampai dewasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) Jatim pada tahun 2002 tingkat
konsumsi per kapita untuk produk
makanan ringan yang digolongkan ke
dalam krupuk, emping, dan snack
mencapai 63 gram per kapita per
minggu atau 3,276 kg per kapita per
tahun. dengan jumlah penduduk Jawa
Timur sebanyak 34.783.640 jiwa
(2003), maka jumlah konsumsi
makanan ringan penduduk Jawa Timur
mencapai 113.951.205 kg per tahun
(Anonymous, 2003). Pasar yang cukup
luas tersebut memungkinkan untuk
menjadi dasar dalam pengembangan
makanan ringan yang mempuyai
kandungan nutrisi dan gizi bahan yang
11
4.1333
2.4667
3.3333
3.4677
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1
Perlakuan
R
e
r
a
t
a

K
e
n
a
m
p
a
k
a
n
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C,
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C,
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 8. Grafik Rerata
Kenampakan (Tekstur) Tepung
Singkong
tanpa pre gelatinisasi.
Perlakuan suhu pre gelatinisasi
yang berbeda memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap penerimaan
warna. Berdasarkan perbandingan
linier ortogonal pre gelatinisasi 80
0
C
memberikan perbedaan yang sangat
nyata dibandingkan perlakuan pre
gelatinisasi pada suhu 90
0
C. Pre
gelatinisasi 80
0
C meningkatkan skor
penerimaan warna 3.5333 (menerima)
daripada pre gelatinisasi 90
0
C yaitu
3.1333 (netral).
Tingkat penerimaan warna
berhubungan dengan nilai derajat putih
dari tepung singkong. Perlakuan tanpa
pre gelatinisasi mempunyai tingkat
penerimaan yang lebih tinggi
dibandingkan pre gelatinisasi karena
mempunyai derajat putih yang lebih
tinggi. Perlakuan pregelatinisasi secara
umum menurunkan derajat putih
tepung, walaupun dengan perlakuan
suhu yang berbeda akan mempengaruhi
nilai derajat putih tepung singkong.
Tepung singkong singkong tanpa
perlakuan pre gelatinisasi memberikan
kadar derajat putih tertinggi 74.100%,
sedangkan tepung dengan perlakuan
pre gelatinisasi 100
0
C memberikan
derajat putih terendah 69.5667%
(Gambar 5).
Kenampakan (Tekstur)
Rerata penerimaan kenampakan
(tekstur) tepung singkong berkisar
antara 2.4667 (tidak menerima) sampai
4.1333 (menerima) (Gambar 8).
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan pre gelatinisasi memberikan
pengaruh yang sangat nyata
dibandingkan tanpa pre gelatinisasi.
Berdasarkan perbandingan linier
ortogonal kontras pre gelatinisasi
memberikan perbedaan penerimaan
4.1333
2.6667
3.1333
3.5333
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1
Perlakuan
R
e
r
a
t
a

W
a
r
n
a

(
%
)
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 7. Grafik Rerata Warna
Tepung Singkong
12
kenampakan (tekstur) dibandingkan
perlakuan tanpa pre gelatinisasi, terjadi
penurunan tingkat penerimaan panelis
terhadap kenampakan (tekstur) tepung
singkong. Kondisi ini disebabkan
karena perlakuan pemanasan atau
parboiling pada menyebabkan
perubahan struktur dan ukuran granula.
Proses pre gelatinisasi mengakibatkan
granula pati mengembang, dan
mengalami perubahan bentuk,
meskipun tetap pada suatu lapisan atau
fragmen yang melingkupinya. Proses
pre gelatini asi ini bersifat ireversibel,
dimana pati yang telah mengalami
gelatinisasi tidak dapat kembali pada
kondisi semula. Menurut Light (1999)
pregelatinisasi merupakan salah satu
teknik modifikasi fisik yang dapat
mengatur ukuran partikel. Annison
dan Topping (2000) menyatakan bahwa
gelatinisasi terdiri dari dua tahap proses
yaitu suspensi pati yang dipanaskan
pada suhu 60-70
0
C sebagian granula
akan mengembang. Ketika suhu
dinaikkan menjadi 90
0
C granula akan
mengembang seluruhnya dan
kehilangan bentuknya, meskipun pati
masih terdiri dari suatu fragmen yang
melingkupinya.
Perlakuan suhu pre gelatinisasi
yang berbeda memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap penerimaan
kenampakan. Pre gelatinisasi 100
0
C
memberikan skor penerimaan terendah
yaitu 2.4667 (tidak menerima). Suhu
pre gelatinisaisi 90 dan 80
0
C
memberikan penerimaan yang lebih
baik. Pre gelatinisasi 80
0
C
meningkatkan skor penerimaan
kenampakan yaitu 3.4677 (netral).
Menurut Light (1999) dan Huang,
(1998) temperatur adalah faktor
penting pada proses pengolahan
(gelatinisasi) pati. Temperatur dan
waktu pengolahan (gelatinisasi) tepat,
akan memberikan derajat
pengembangan granula yang sesuai dan
memberikan sifat yang diinginkan.
Aroma
Rerata penerimaan aroma tepung
singkong berkisar antara 3.200 (netral)
sampai 3.8000 (menerima) (Gambar 9).
Berdasarkan analisis ragam
perlakuan tanpa pre gelatinisasi
memberikan pengaruh yang sangat
nyata dibandingkan perlakuan pre
gelatinisasi. Berdasarkan perbandingan
linier ortogonal terdapat perbedaan
penerimaan aroma tepung pre
gelatinisasi dan tanpa pre gelatinisasi.
3.8000
3.6000 3.2677
3.2000
0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
1
Perlakuan
R
e
r
a
t
a

A
r
o
m
a
A B C D
Keterangan:
A = Tepung Tanpa Pre gelatinisasi,
B = Tepung Pre Gelatinisasi 100
O
C,
C = Tepung Pre Gelatinisasi 90
O
C,
D = Tepung Pre Gelatinisasi 80
O
C
Gambar 9. Grafik Rerata Aroma
Tepung Singkong
89
direncanakan dilakukan oleh 5 orang
panelis ahli dari produsen makanan
ringan, antara lain yaitu Caprina
Malang, produsen stik dan tahu Tinalan
Kediri, produsen stik dan tahu Mikimos
Kediri. Uji yang dilakukan meliputi
rasa, warna, dan kerenyahan dengan
menggunakan metode Hedonic Scale
(Meilgard, 1999).
Pemilihan Produk terbaik
Perlakuan terbaik adalah
perlakuan dengan skor nilai tertinggi
dari derajat kepentingan produk yang
diharapkan oleh konsumen. Proses
pengambilan keputusan perlakuan
terbaik dilakukan dengan indeks
effektivitas (DeGarmo, dkk. 1987).
Prosedur perhitungan indeks
effektivitas adalah sebagai berikut:
a. Memberikan bobot nilai pada
masing-masing variabel dengan
angka relatif 0-1. bobot nilai yang
diberikan tergantung dari
kepentingan masing-masing
variabel yang hasilnya diperoleh
dari perlakuan.
b. Membagi variabel menjadi 2
kelompok,
1. Kelompok A terdiri dari
variabel-variabel yang makin
tinggi reratanya semakin baik,
meliputi kadar protein, kadar
lemak, rendemen.
2. Kelompok B terdiri dari
variable-variabel yang makin
tinggi reratanya semakin jelek
seperti kadar air
c. Mencari bobot normal dari masing-
masing parameter, yaitu bobot
parameter dibagi bobot total.
d.
e. Menghitung nilai effektivitas
dengan rumus:
Keterangan:
NE = Nilai Effektivitas
Np = Nilai Perlakuan
Ntj = Nilai Terjelek
Ntb = Nilai Terbaik
f. Untuk parameter dengan rerata
semakin besar semakin baik, maka
nilai terendah sebagai nilai terjelek
dan nilai tertinggi sebagai nilai
terbaik, demikian juga sebaliknya.
g. Menghitung nilai perlakuan (NP)
yang diperoleh dari hasil perkalian
bobot normal dengan nilai
effektivitas (NE).
NH = NP x Bobot
h. Menjumlahkan nilai hasil dari
semua parameter perlakuan yang
memiliki nilai hasil tertinggi adalah
perlakuan terbaik pada kelompok
parameter.
i. Perlakuan terbaik dipilih dari
perlakuan yang memiliki NP
tertinggi.
Analisa Kualitas
Analisis Kualitas yang dilakukan
meliputi kadar lemak, kadar air, kadar
protein, dan rendemen yang diperoleh.
Pelaksanaan pengamatan terhadap
parameter-parameter tersebut
dilaksanakan dengan menggunakan
Ntj Ntb
Ntj Np
NE

Bobot =
Nilai total tiap
Nilai total seluruh
88
Malang, BPS Kediri, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan
(Disperindag) kota Kediri, Disperindag
kota Malang. Caprina Malang,
produsen stik tahu Kediri dan studi
literature di perpustakaan Universitas
Brawijaya Malang mulai bulan Mei
Juli 2009.
Penelitian Eksperimental
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium Rekayasa Proses dan
Sistem Produksi, Jurusan Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya
Malang, pada bulan Mei sampai
dengan Juni 2009.
Metode Pelaksanaan Penelitian
Metode pelaksanaan penelitian
terbagi atas pembuatan tofu chips,
analisa kualitas, penerimaan konsumen,
produk terbaik, dan analisa kelayakan
finansial dari produk tofu chips terbaik.
Pembuatan Tofu Chips
Pembuatan tofu chips dilakukan
menggunakan 2 faktor. Faktor 1 terdiri
dari 2 level dan faktor 2 terdiri dari 3
level.
Faktor-faktor yang digunakan adalah:
Faktor I : Jenis Tahu
S
1
: Tahu Putih Malang
S
2
: Tahu Takwa Kediri
Faktor II : Suhu Penggorengan
T
1
: 180
o
C
T
2
: 190
o
C
T
3
: 200
o
C
Dari dua faktor tersebut dapat diperoleh
kombinasi perlakuan sebagai berikut:
S
1
T
1
: Tahu Putih Malang dan
Suhu Penggorengan
180
o
C
S
1
T
2
: Tahu Putih Malang dan
Suhu Penggorengan
190
o
C
S
1
T
3
: Tahu Putih Malang dan
Suhu Penggorengan
200
o
C
S
2
T
1
: Tahu Takwa Kediri dan
Suhu Penggorengan
180
o
C
S
2
T
2
: Tahu Takwa Kediri dan
Suhu Penggorengan
190
o
C
S
2
T
3
: Tahu Takwa Kediri dan
Suhu Penggorengan
200
o
C
Uji Kesukaan Produk
Untuk mengetahui tingkat
kesukaan terhadap produk tofu chips
dilakukan dengan menggunkanan uji
organoleptik. Uji organoleptik yang
Pe m b u a t a n T o f u C h i p s
U j i K e su k a a n P ro d uk
P ro d u k T e rb a i k
A n a l i si s K u a l i t a s
K e si m p u l a n
A n a l i si s B i a y a P ro d u k s i
Diagram Alir Penelitian
13
Perlakuan pre gelatinisasi memberikan
sedikit penurunan tingkat penerimaan
panelis terhadap aroma tepung
singkong.
Perlakuan suhu pre gelatinisasi
100
0
C memberikan pengaruh yang
nyata dibandingkan suhu 90
0
C,
sedangkan perlakuan pre gelatinisasi
90
0
C memberikan pengaruh yang tidak
nyata dibanding kan suhu 80
0
C. Pre
gelatinisasi pada suhu 90
0
C dan 80
0
C
memberikan tingkat penerimaan
terhadap aroma yang hampir sama
yaitu netral .
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan yang nyata
antara tepung singkong tanpa pre
gelatinisasi dan pre gelatinisasi
terhadap karakteristik kadar air,
kadar HCN, kadar amilosa dan
derajat putih. Begitupula dengan
penerimaan organoleptik, terdapat
perbedaan yang nyata antara
tepung singkong tanpa pre
gelatinisasi dan pre gelatinisasi
terhadap penerimaan warna,
kenampakan dan tekstur.
2. Pada sifat amilografi terdapat
perubahan karakteristik antara
tepung tanpa pre gelatinisasi dan
pre gelatinisasi. Perlakuan pre
gelatinisasi mampu menurunkan
suhu dan waktu awal gelatinisasi,
suhu dan waktu gelatinisasi (saat
granula pecah), viskositas dingin,
dan viskositas balik.
3. Perlakuan suhu pre gelatinisasi
(80
0
C, 90
0
C dan 100
0
C)
memberikan karakteristik yang
berbeda terhadap sifat amilografi,
kadar amilosa, derajat putih, dan
penerimaan organoleptik (warna,
kenampakan (tekstur), dan aroma).
4. Perlakuan pre gelatinisasi 90
0
C
merupakan perlakuan terbaik
dengan karakteristik kadar air
11,9333%; kadar HCN 10.7833
ppm.; kadar pati 76.7400%; kadar
amilosa 11.9267 %; derajat putih
71,3667%; suhu dan waktu awal
gelatinisasi 30
0
C selama 1 menit;
suhu dan waktu gelatinisasi 80
0
C
selama 13 menit; viskositas
maksimum 1350.40 Cp; viskositas
balik 326.40 Cp; organoleptik
warna netral (3.1333); organoleptik
kenampakan netral (3.3333); dan
tekstur netral (3.2677).
Saran
1. Perlu dipelajari tentang pengaruh
waktu dam suhu pre gelatinisasi
terhadap karakteristik tepung
singkong
2. Perlu dipelajari tentang penggunaan
tepung singkong pre gelatiniasai
pada bahan pangan seperti kue,
cake, kerupuk, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2000. Tapioca (Cassava)
Starch. International Starch
Institute Science Park, Aarhus.
Denmark
Anonymous. 2005. High Quality
Cassava Flour. Integrated
Cassava Project. Nigeria.
14
Annison, G and Topping D. L. 2000.
Nutritional Role of Resistant
Starch ; Chemical Structure vs
Physiology Fuction. J. Nutr.14.
p: 297-320.
AOAC. 1989. Official Methods of
Analysis of The Association of
Official Analytical Chemist. 25
th
Ed., Publisher AOAC Inc., US.
Balagopalan, C. 2002. Cassava
Utilization in Food, Feed and
Industry. Cassava : Biology
Production an Utilizion. p : 301-
318.
Belitz H., D. and W. Groszh . 1987.
Food Chemistry. Spinger-Verlag,
Berlin.
Chuzel, G.; N Zakhia, and M., P.,
Cereda. 1994. The Potential For
New Cassava Products in Brazil.
Cassava Flour and Starch:
Progress in Research and
Development p: 299-303.
Daramola, B., and Osanyinlusi, S., A.
2006. Production,
Characterization, and
Application of Banana (Musa
spp) Flour in Whole Maize.
African Journal of
Biotechnology Vol 5 (10) : 992-
995.
Huang, D. P. 1998. New Perspective
on Starch and Derivatives for
Snack Applications. National
Starch and Chemical Company
Bridgewater, New Jersey.
Light, M., Joseph. 1999. Modified
Food Starch : Why, What, Where
and How. The American
Association of Cereal Chemists,
Inc.
Moorthy, S.,N.; J. Rickard and J. M. V.
Blanshard. 1996. Influence of
Gelatinization Characteristics of
Cassava Starch and Flour on the
Textural Properties of Some
Food Product. Cassava Flour
and Starch: Progress in Research
and Development p: 150-154.
Muharam, S. 1992. Sifat Karakteristik
Fisiko-Kimia dan Fungsional
Tepung Singkong (Manihot
esculenta Crantz) dengan
Modifikasi Pengukusan,
Penyangraian dan Penambahan
GMS serta Aplikasinya dalam
Pembuatan Roti Tawar. Skripsi
FATETA-IPB, Bogor.
Padmaja, G.; C. Balagopalan; S.N.
Moorthy; and V., P., Potty. 1996.
Yuca Rava and Yuca Porridge :
The Funtional Properties and
Quality of Two Novel Cassava
Poducts. Cassava Flour and
Starch: Progress in Research and
Development p: 323-330.
Sastrosupadi, Adji. 1999. Rancangan
Percobaan Praktis Bidang
Pertanian. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta.
87
tekstur dari tahu kuning biasanya lebih
padat jika dibandingkan dengan tahu
putih biasa.
Produksi tahu dari tahun ketahun
mengalami peningkatan. Berdasarkan
penelitian Widyawati (1996), pada
tahun 1989, kotamadya Kediri
mempuyai 35 (tiga puluh lima)
perusahaan tahu. Jumlah ini terus
meningkat menjadi 54 perusahaan
dalam tahun 1992, demikian pula pada
perusahaan tahu merk Sari Lezat
POO, tahun 1989 mempuyai kapasitas
produksi 130.000 biji/ bulan, pada
tahun 1995 meningkat menjadi 300.000
biji/ bulan. Sedangkan di kota Malang
pada tahun 2005, terdapat 8 industri
tahu formal dengan kapasitas produksi
673.900 kg (Desperindag 2005).
Peningkatan kapasitas produksi tahu
tiap tahun memungkinkan untuk
dikembangkan menjadi produk olahan
lain, sehingga nilai ekonomis tahu
dapat meningkat dan pasar tidak
menggalami kejenuhan .
Alternatif baru dalam pengem-
bangan produk tahu adalah kripik.
Kripik adalah makanan ringan (snack
food) yang tergolong jenis makanan
crackers, yaitu makanan yang bersifat
kering, renyah (crispy), dan memiliki
kandungan lemaknya tinggi
(Sulistyowati, 2004). Produk kripik
sangat digemari oleh masyarakat.
Berdasarkan data BPS Jawa Timur
menyebutkan tingkat konsumsi per
kapita untuk produk makanan ringan
yang digolongkan ke dalam krupuk,
emping, dan snack di Jawa Timur pada
tahun 2002 mencapai 63 gram per
kapita per minggu (Anonymous, 2003).
Kripik tahu (tofu chips) mempuyai
kelebihan dibandingkan kripik lain
berdasarkan bahan bakunya, yaitu
memiliki kandungan protein dan lemak
yang tinggi.
Berdasarkan penjelasan tersebut
tahu memiliki peluang yang cukup
bagus untuk dikembangkan menjadi
kripik (tofu chips). Pada penelitian
pengembangan tahu menjadi produk
tofu chips ini ditekankan pada
bagaimana proses pengolahan tofu
chips ditinjau dari suhu pengorengan
dan bahan baku tahu yang digunakan,
karena diketahui suhu pengorengan
yang tinggi dapat menyebabkan
kandungan protein tahu dapat
terdenaturasi. Menurut Apriyanto
(2002), kebanyakan protein pangan
terdenaturasi jika dipanasakan pada
suhu yang moderat (60-90
o
C) selama
satu jam atau kurang dan bagaimana
analisis biaya produksinya.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan
merupakan gabungan dari penelitian
dengan metode deskriptif dan
eksperimental. Penelitian diskriptif
dilakukan untuk mengetahui lebih
lanjut mengenai tofu chips, potensi
bahan baku, tingkat penerimaan
konsumen dan potensi pasar. Penelitian
eksperimental dilakukan untuk
mendapatkan produk tofu chips yang
dapat diterima oleh konsumen.
Penelitian Deskriptif
Penelitian ini dilaksanakan di
sumber data sekunder seperti BPS kota
86
PENGEMBANGAN PRODUK TAHU MENJADI TOFU CHIPS (KAJIAN
JENIS BAHAN BAKU, SUHU PENGGORENGAN DAN BIAYA
PRODUKSI)
Ernawati
Abstrak: Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendapatkan tofu chips yang
baik dan disukai oleh konsumen berdasarkan pada pemilihan bahan baku dan
penggunaan suhu penggorengan yang tepat. serta mendapatkan gambaran
perencanaan produksi tofu chips ditinjau dari aspek finansial. Penelitian yang
dilakukan merupakan gabungan dari penelitian dengan metode deskriptif dan
eksperimental. Metode pelaksanaan penelitian meliputi : pembuatan tofu
chips, uji kesukaan produk, produk terbaik, analisis kualitas, dan analisis
finansial. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa tofu chips yang dibuat dengan
bahan baku tahu putih Malang, digoreng pada suhu 200
o
C, terpilih sebagai
produk terbaik dengan skor 2,653. Karakteristik produk terbaik yaitu
berwarna kuning kecoklatan, dan memiliki rasa yang khas seperti bahan
bakunya sedangkan karakteristik kimia produk adalah sebagai berikut kadar
protein 20,57%, kadar lemak 8,67, kadar air 0,0765 dan rendemen sebesar
29,06%. Investasi awal yang dibutuhkan untuk mendirikan industri tofu chips
dengan kapasitas produksi 128 kg per hari adalah sebesar Rp.
139.160.950,00. Harga Pokok Produksi (HPP) didapat sebesar Rp. 977,08 per
kemasan dengan berat 100 gram, harga jual yang direncanakan sebesar Rp.
1400 dengan penambahan mark up sebesar 40% , Break Even Point (BEP)
terjadi pada volume penjualan 42517 kemasan senilai Rp. 59.344.554,46.
Payback Periode (PP) adalah 3 tahun 9 bulan.
Kata kunci : pengembangan produk, tahu.
Tahu merupakan makanan
tradisional Indonesia yang banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
karena harganya relatif murah dan
memiliki kandungan gizi terutama
protein yang tinggi, yaitu 10,9 gram per
100 gram tahu (Mahmud, dkk. 1990).
Pola konsumsi masyarakat akan tahu
telah berkembang. Tahu tidak hanya
dikonsumsi sebagai lauk pauk,
melainkan telah berkembang menjadi
berbagai macam produk olahan seperti
stik tahu. Pengolahan menjadi produk
olahan lain sangat diperlukan karena
tahu memiliki daya simpan yang
rendah, disamping itu juga untuk
meningkatkan nilai ekonomisnya.
Terdapat dua macam jenis tahu
yaitu tahu putih dan tahu takwa kuning.
Kedua macam tahu tersebut dibedakan
berdasarkan cara pembuatannya. Pada
tahu takwa kuning ditambahkan kunyit
yang berfungsi sebagai pewarna dan
juga dapat berfungsi sebagai pengawet,
15
OPTIMASI PENGOLAHAN KEMBANG GULA JELLY
CAMPURAN KULIT DAN DAGING BUAH NAGA SUPER
MERAH (Hylocereus costaricensis) DAN PRAKIRAAN BIAYA
PRODUKSI
Rekna Wahyuni
Abstrak: Tujuan penelitian adalah menentukan jenis dan proporsi bahan
pengenyal pada pembuatan kembang gula jelly, mengetahui persentase kulit
buah naga super merah (Hylocereus costaricensis) yang optimal pada
pembuatan kembang gula jelly kulit buah naga merah untuk meningkatkan
kualitas kembang gula jelly yang dihasilkan dan mengetahui biaya produksi dan
kelayakan usaha pembuatan kembang gula jelly kulit buah naga merah
(Hylocereus costaricensis). Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Penelitian
tahap I terdiri dari 2 faktor (jenis dan persentase bahan pengenyal), faktor
pertama terdiri dari 2 level (tepung karaginan dan tepung agar-agar) dan faktor
kedua terdiri dari 4 level (2% ; 4% ; 6% ; dan 8% b/b). Analisa dilakukan
menggunakan uji Organoleptik hedonic scale (warna, aroma, rasa dan tekstur) .
Penelitian tahap II menggunakan Rancangan Acak Tunggal, dengan perlakuan
persentase menambahkan kulit buah naga super merah , terdiri dari 6 level (0
% ; 20 % ; 40 % ; 60 % ; 80 % dan 100 %). Data yang didapat dari penelitian
tahap I pada masing-masing variabel dianalisa dengan Uji Friedman. Perlakuan
terbaik dianalisa menggunakan metode indeks efektifitas deGarmo et al.,
(1984) yang dimodifikasi oleh Susrini (2003). Penelitian tahap II dianalisa
dengan uji F dan jika terdapat perbedaan dianalisa dengan Uji BNT 5%.
Pemilihan perlakuan terbaik menggunakan Indeks Efektifitas. Selanjutnya
perlakuan terbaik yang didapatkan dari uji Indeks Efektifitas diuji Analisa biaya
produksi dan kelayakan usaha dengan menggunakan Analisa Finansial. Hasil
penelitian didapatkan kombinasi perlakuan persentase kulit 100 % (tanpa
penambahan daging buah) dan bahan pengenyal berupa tepung karaginan 6%
b/b merupakan kombinasi yang paling baik dan memenuhi syarat mutu
kembang gula yang ditetapkan dalam SNI 3547.2-2008, dengan karakteristik
sebagai berikut: rerata kadar air 20.602% ; kadar abu 1.267% ; gula reduksi
20.700% ; serat kasar 1.428% ; antioksidan (DPPH) 6.493% serta rerata tingkat
kesukaan panelis terhadap rasa 3.900 ; warna 4.667 ; aroma 3.533 dan tekstur
4.100. Berdasarkan analisa prakiraan biaya produksi dan finansial didapatkan
pengolahan kembang gula kulit buah naga super merah layak diproduksi
dengan lokasi di wilayah Kabupaten Malang. Perhitungan BEP dicapai pada
volume penjualan 2.131 Kg atau senilai Rp. 83,918,794,00. Nilai payback
period dicapai pada 1 tahun 3 bulan 3 hari. Nilai Net Present Value (NPV)
sebesar Rp. 52.868.819,00. Nilai Profitability Index (PI) sebesar 1.575.
Kata kunci: kulit buah naga super merah, kembang gula jelly, karaginan,
serat, antioksidan
16
Kembang gula atau permen
sangat lekat dengan keseharian
masyarakat, bukan hanya anak-anak
tetapi juga remaja dan orang dewasa.
Kembang gula yang beredar di tengah
masyarakat terdiri dari dua jenis, keras
(hard candy) dan lunak (soft candy).
Perbedaan tersebut didasarkan pada
teksturnya. Kembang gula keras
adalah kembang gula yang teksturnya
padat dan dimakan dengan cara
menghisap. Kembang gula jenis ini
larut bersama air liur sementara
kembang gula lunak ditandai dengan
teksturnya yang lunak. Jenis kembang
gula ini bukan untuk dihisap
melainkan dikunyah.
Menurut SNI 3547.2-2008
kembang gula jelly termasuk dalam
kembang gula lunak. Kembang gula
lunak dibagi menjadi kembang gula
lunak bukan jelly dan kembang gula
lunak jelly. Kembang gula lunak jelly
adalah kembang gula bertekstur lunak ,
yang diproses dengan penambahan
komponen hidrokoloid seperti agar,
gum, pektin, pati, karaginan, gelatin
dan lain-lain yang digunakan untuk
modifikasi tekstur sehingga
menghasilkan produk yang kenyal,
harus dicetak dan diproses aging
terlebih dahulu sebelum dikemas.
Proses aging yaitu penyimpanan
produk dalam kondisi dan waktu
tertentu untuk mencapai karakter
produk yang diinginkan.
Pada dasarnya kandungan kalori
dalam satu butir kembang gula cukup
rendah, sekitar 20-30 kalori. Selain
kalori, kembang gula sebetulnya sama
sekali tidak memiliki kandungan gizi.
Padahal kelebihan kalori yang
dikonsumsi akan ditumpuk dalam
bentuk cadangan lemak yang
menyebabkan terjadinya kelebihan
berat badan. Kegemukan berkaitan erat
dengan penyakit kencing manis dan
gangguan jantung. Jadi sebetulnya
kembang gula termasuk golongan junk
food atau makanan sampah yang
miskin akan zat gizi (Anonymous,
2008b). Disamping itu flavour serta
gelatin yang digunakan dalam
pembuatan kembang gula jelly kerap
diragukan kehalalannya, karena sering
digunakan alkohol sebagai pelarut
flavor, dan gelatin didapatkan dari
jaringan tubuh binatang yang tidak
halal (Anonymous, 2008a).
Untuk menghilangkan anggapan
bahwa kembang gula adalah makanan
yang tidak sehat untuk dikonsumsi
maka perlu dibuat jenis kembang gula
yang mempunyai manfaat bagi
konsumen baik anak-anak, remaja,
maupun orang dewasa. Bahan yang
ditambahkan harus mempunyai nilai
nutrisi yang tinggi.
Bahan utama yang ditambahkan
dalam penelitian ini adalah karaginan
dan agar-agar yang berasal dari rumput
laut serta buah naga super merah
Hylocereus costaricensis yang kini
telah banyak dibudidayakan dan sangat
populer serta memiliki peluang besar
untuk disebarluaskan di Indonesia
(Sutomo, 2007).
Kembang gula jelly yang berasal
dari rumput laut mempunyai
karakteristik tertentu yaitu kekenyalan,
rasa manis yang cukup. Dengan
penambahan flavor dan pewarna seperti
85
Suhardi. 1997. Prosedur Analisa
Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sugiharto, A.R. 2004. Pengaruh Lama
Penyimpanan Temulawak Bentuk
Segar Dan Bubuk Terhadap
Aktivitas Antioksidan Dan
Antibakteri. Skripsi. FTP.
UNIBRAW. Malang.
Sukasedati, N., Sutrisno., L.K.
Darusman., M. Januwati., A.S.
Ranti., I. Batubara., dan E.I.
Kumala. 2004. Prosiding
Fasilitas Forum Kerjasama
Pengembangan Biofarmaka.
Yogyakarta.
Sumiaty, 1997. Minuman Berkhasiat
dari Temulawak (Curcuma
Xanthorriza). Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB. Bogor.
Suparti, W. 2000. Pembuatan Pewarna
Bubuk dari Ekstrak Angkak:
pengaruh Suhu, Tekanan dan
Konsentrasi Dekstrin. Tesis.
Program Pascasarjana.
Universitas Brawijaaya. Malang.
Susilowati., B. Subagjo., dan W.
Dyatmiko. 1999. Pengaruh Daya
Antimikroba Dari Rimpang
Curcuma Domestical Val.
Terhadap Bakteri Escherichia
Coli. Abstrae. Pusat Penelitian
Pengembangan Obat Tradisional.
Universitas Airlangga. Jakarta.
Susilo, A.O. 2005. Pembuatan Bubuk
Effervescent Dari Ekstrak Ubi
Ungu Jepang (Ipomoea batatas
var. Ayammurasaki). Skripsi.
FTP. Universitas Brawijaya.
Malang.
Sutjipto., Djumidi, dan J.R. Hutapea.
(1985). Pengaruh Waktu Dan
Pangeringan Dalam Tanur
Pemanas, dan Tabal Irisan
Terhadap Kadar Minyak
Menguap Rimpang Temulawak.
UNPAD. Bandung.
Taryono, E.M., Ramat, S. Dan Sardino,
A. 1987. Plasma Nuffah
Tanaman Temu-Temuan. Balai
Penelitian Rempah dan Obat.
Bogor. 3 (1) : 47.
Wahid, P., Soediarto. 1999.
Pembudidayaan Tanaman
Temulawak. Abstrae. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. Badan LitbangPertanian.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Wahono, T., 2006. Dasar-dasar Uji
Indrawi. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya
Malang.
Yitnosumarto, S. 1993. Percobaan,
Perancangan, Analisis dan
Interpretasinya. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
84
Effervescent Kunyit Putih).
Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Oehadian, H., M.E. Sjafiudin dan
Nuraini. 1999. Efek Anti Jamur
Dari Curcuma Xanthorrhizza
Roxb (Temulawak) Terhadap
Beberapa Jamur Golongan
Dermatophyta. UNPAD.
Bandung.
Ramlan, Aseng. 1999. Etnobotani
Marga Curcuma Di Jawa Barat.
Fakultas Matemtika Dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Unpad.
Reynolds, James E.F. 1982. Martindale
The Extra Pharmacopolia, Edition
Twenty Eigth. The
Pharmacentical Press. London.
Potter, N.W. 1973. Food Science. 2
th
.
The Avi Publishing Company,
Inc. New York. 156 185.
Pramono Suwijiyo, (1995). Kontrol
Efektifitas Berbagai Cara
Pembuatan Ekstrak Temulawak
Dilihat Dari Kandungan
Kurkumin Dan Minyak Atsirinya.
Abstrak. Fakultas Farmasi UGM.
Yogyakarta.
Prawira, L. 1996. Pemanis Rendah
Kalori: Aspartam. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan
Vol. VII (3). IPB. Bogor.
Purnomowati, S., A. Yoganingrum.
1997. Tinjauan Literatur
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb). Pusat
Dokumentasi Dan Informasi
Ilmiah, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Rukmana, R., 2000. Temulawak
Tanaman Rempah dan Obat.
Kanisius. Yogyakarta.
Setijadi, T. (1985). The Identification
of The Active Ingredients of
Curcuma Xanthorrhiza Rox and
Curcuma Longa Vahl. After
Extraction With Supercritical
Carbondioxide. PT. Darya Varia
Laboratoria. Bogor.
Sidik., Moeljono., A. Muhtadi., M.
Sirait., dan Moesdarsono. 1999.l
TEMULAWAK (Curcuma
xanthorrhiza Roxb.) Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam
Phytomedica. Jakarta.
Sirait, M., 1979. Materia Medika
Indonesia. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta.
Soewarno., T. Soekarto. 1985.
Penilaian Organoleptik. Bhatara
Karya Aksara. Bogor.
Sudarmadji, S., B. Haryono., dan
17
buah-buahan akan memiliki aroma dan
warna yang menarik. Keunggulan
kembang gula jelly rumput laut
(Anonymous, 2009a) adalah:
Kaya akan nutrisi bila dibandingkan
dengan produk sejenis di pasaran
yang mengandung bahan kimia.
Bahan/peralatan serta proses
pembuatannya cukup sederhana,
sehingga dapat dilakukan dalam
skala rumah tangga.
Memiliki bentuk, aroma serta warna
yang menarik sehingga dapat
menarik minat konsumen khususnya
bagi anak-anak.
Karaginan dan agar-agar adalah
produk olahan dari rumput laut. Bahan
tambahan ini membuat kembang gula
jelly menjadi lembut dan kenyal serta
mengandung serat yang tinggi
(Anonymous, 2008c). Menurut
Caturini (2009) pengolahan rumput laut
menjadi kembang gula jelly aneka rasa
ini, selain menyehatkan dan murah juga
menghasilkan keuntungan ekonomi di
pesisir pantai Jawa Timur.
Kembang gula jelly disukai
karena mempunyai rasa buah-buahan
yang segar dan warna yang cerah,
tetapi selama ini yang banyak
digunakan oleh produsen adalah berupa
perasa makanan atau flavour dan zat
pewarna buatan, sehingga kea-
manannya kurang dapat dipertang-
gungjawabkan. Penambahan juice
buah segar dan pewarna alami
merupakan alternatif yang sangat baik
untuk mengatasi permasalahan ini.
Salah satu buah yang memenuhi
kriteria ini adalah buah naga jenis super
merah (Hylocereus costaricensis)
karena mempunyai rasa yang manis,
segar, beraroma dan memiliki warna
yang merah terang tanpa harus diberi
zat pewarna tambahan lain sehingga
menghilangkan keraguan akan
berakibat buruk pada kesehatan
(Anonymous, 2007b).
Tanaman buah naga dalam satu
tahun bisa berbuah tiga kali, dan
produksinya bisa terus meningkat,
asalkan dirawat dengan baik .
Tanaman akan mulai berbuah pada
umur 11 - 17 bulan dan dalam sekali
tanam usianya bisa bertahan sampai 30
tahun. Pada tahun pertama, setiap
batang pohon bisa menghasilkan 1-2
kg, tahun kedua, bisa sampai 4 kg,
pada tahun ke tiga bisa mencapai 8 kg,
dan seterusnya bertambah setiap tahun.
Dari lahan seluas satu hektar bisa
ditanami 6.000 pohon (Rahmatillah,
2009).
Kota Malang dinilai cocok untuk
tanaman buah naga merah karena
berada 400-700 di permukaan laut.
Walaupun memiliki udara yang cukup
sejuk, namun sinar matahari yang
cukup merupakan modal untuk
pertumbuhan buah naga merah
(Anonymous, 2009e). Lahan yang
digunakan untuk budidaya buah naga
dapat ditumpang sari dengan tanaman
lainnya, yakni padi, semangka dan
sayur-sayuran (Anonymous, 2009d).
Luas lahan buah naga super
merah (Hylocereus costaricensis) di
Malang menurut Tulus Subagyo dalam
Anonymous (2009g) adalah sekitar 10
hektar tersebar di Malang Raya (kodya
Malang, Kabupaten Malang dan Kota
18
Batu), ditanami sekitar 40.000 batang
pohon naga super merah (Hylocereus
costaricensis) dimana setiap batang
menghasilkan 2 8 kg buah segar. Jadi
potensi buah naga super merah di
Malang Raya sekitar 80 320 ton per
tahun buah segar. Bila 10% saja diolah
menjadi produk makanan atau
minuman maka potensi dari kulitnya
(30 35% berat buah) sekitar 2,4 9,6
ton per tahun. Menurut Ridwan
Rahmatillah (2009) selain di Malang,
buah naga super merah juga
dikembangkan di Desa Purwodadi
Kabupaten Pasuruan Jawa Timur seluas
17 hektar sejak tahun 2003 sampai
tahun 2010, Jember, Lumajang, Batam
dan beberapa kota lain di Indonesia.
Menurut Saati (2009), kulit buah
naga berjumlah 30-35 % dari berat
buahnya dan seringkali hanya dibuang
sebagai sampah saja. Padahal hasil
penelitian menunjukkan kulit buah
naga merah (Hylocereus costaricensis)
mengandung antosianin yang dapat
merendahkan kadar kolesterol (Kanner
et al. 2001).
Menurut Li Chen Wu (2005)
daging dan kulit buah naga jenis super
merah (Hylocereus costaricensis)
sama-sama kaya polyphenol dan
sumber antioksidan yang baik . Bahkan
menurut studi yang dilakukannya
terhadap total phenolic konten,
aktivitas antioksidan dan kegiatan
antiproliferative, kulit buah naga merah
adalah lebih kuat inhibitor
pertumbuhan sel-sel kanker daripada
dagingnya.
Permasalahan yang timbul adalah
bagaimana caranya membuat kembang
gula jelly dari kulit buah naga super
merah (Hylocereus costaricensis) yang
layak untuk diproduksi serta berapakah
kandungan bahan pengenyal dan
persentase kulit buah naga super merah
yang optimal pada pembuatan kembang
gula jelly kulit buah naga super merah
sehingga memenuhi syarat mutu
kembang gula yang ditetapkan dalam
SNI 3547.2-2008.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada
bulan Maret 2010 sampai bulan Mei
2010 bertempat di Laboratorium
Rekayasa Teknologi Industri Pertanian
Universitas Brawijaya Malang dan
Laboratorium Teknologi Hasil
Pertanian Universitas Muhammadiyah
Malang.
Rancangan penelitian meliputi :
Penelitian Tahap I
Dengan meneliti pembuatan kembang
gula jelly dengan perlakuan macam dan
persentase bahan pengenyal. Metode
penelitian yang digunakan adalah Uji
Friedman dimana terdiri dari 2 faktor,
faktor pertama terdiri dari 2 level dan
faktor kedua terdiri dari 4 level.
Faktor pertama yaitu : Macam
Bahan Pengenyal (B) yang terdiri
dari :
B1 : Tepung Karaginan
B2 : Tepung Agar-agar
Faktor kedua yaitu persentase
Bahan Pengenyal (P) yang terdiri
dari :
P1 : 2% b/b
P2 : 4% b/b
83
I. Sudjono. 1999. Budidaya
Tanaman Temulawak (Curcuma
xanthorrhizza Roxb) Dan Prospek
Pengembangannya di Indonesia.
Abstrak. Jurusan Budidaya
Pertanian. Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran. Bandung.
Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan.
Gramedia pustaka Utama, Jakarta.
Fennema, O.R. 1976. Principles of
Foods Science. Marcel Dekker.
Inc. New York.
Ganiswarna, S.G. 1995. Farmakologi
dan Terapi Edisi IV. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Hadi, S. 1999. Manfaat Temulawak
Ditinjau Dari Segi Kedokteran.
Abstrak. Fakultas Kedokteran.
UNPAD. Bandung.
Hargono, D. 1985. Prospek
Pemanfaatan Temulawak.
Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional. Dirjen POM. Depkes
R.I. Jakarta.
Indriati A., 2001. Analisis Antioksidan
Pada Buah Jambu Mete
(Annarcardium occidentalle L.)
Tesis. Program Pascasarjana
Universitas Brawijaya Malang.
Kusumawardani, A.N. 2006. Kajian
Penambahan Antioksidan
Terhadap Mutu Simplesia
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb). Skripsi.
FATETA. IPB. Bogor.
Liang, O.B., Y. Apsarton, T. Widjaja,
dan S. Puspa. 1999. Beberapa
Aspek Isolasi, Identifikasi Dan
Penggunaan Komponen-
Komponen Curcuma xanthorrhiza
Roxb, Dan Curcuma domestica
Val. Abstrak. Pt Darya Varia
Laboratoria. Jakarta.
Majeed, M., V. Badinaev, U.
Shivakumar, R. Rajendran. 1995.
Curcuminoids: Antioksidant
Phytonutrients. NutriScience
Publishers Inc., New Jersey.
Muchtadi, D. 1977. Pengolahan Hasil
Pertanian II. IPB. Bogor.
Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba
dari Tanaman. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
http://www.kompas.com/Senyawa
Antimikroba. Akses 9 November
2006.
Nirbita, T. 2002. Uji Aktivitas
Antioksidan dan Antibakteri (
Esccheria coli dan Staphylococcus
aureus ) Kunyit putih dan Produk
Olahannya ( Bubuk dan
82
424, 591, 654. Departemen
Kesehatan. Republik Indonesia.
Jakarta.
Anonymous, 2002. Kajian Keamanan
Bahan Tambahan Pangan Pemanis
Buatan.
http://www.pom.go.id/nonpublic/
makanan/standart//News1.html.9.
Tanggal Akses 9 April 2007.
Anonymous, 2004. Prospek
Temulawak. Suara Merdeka edisi
24 Nopember 2004
http://www.suaramerdeka.com .
Tanggal akses 9 Juni 2006.
Anonymous, 2005. Bunga
Kecombrang, Deodoran Alami,
Dan Antimikroba. Suara Merdeka.
Cyber News. Nasional.
Anonymous, 2007. Asam Sitrat.
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia
bebas berbahasa Indonesia.
http://id.wikipedia.org/wiki /asam
sitrat. Tanggal akses 27 maret
2007.
Ansel, H. 1989. Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi. Edisi ke 4. UI
Press. Jakarta.
AOAC. 1990. Official Method of
Analysis of the Association of
Official of Analytical Chemist. 11
st
Edition. Washington.
Aref, M. 1987. Ilmu Meracik Obat
Berdasar Teori Dan Praktek.
Universitas Gajahmada Press.
Yogyakarta.
Arifin, Z., Kardiyono. 1985.
Temulawak Dalam Pengobatan
Tradisional. P.T. Air Mancur.
Jakarta.
Buckle, K.A. R.A, Edwars, G.H. Fleet
and M. Wotton., 1987. Terjemahan
Purnomo, H. dan Adiyono. Ilmu
Pangan. Universitas Indonesia
Prees. Jakarta.
Dart, R.K. 1996. Microbiology For
The Analytical Chemist. The
Royal Scociety of Chemistry. UK.
De Man, J.M. 1997. Kimia Makanan.
Penerjemah K. Padmawinata.
Penerbit ITB. Bandung.
Desroier, N.W. 1988. Teknologi
Pengawetan Pangan. (terjemaahan
Muchji Muljohardjo). UI Press.
Jakarta.
Dewi, A.K. 2000. Pengaruh Jenis Dan
Konsentrasi Bahan Pengisi
Terhadap Sifat fisik, Kimiawi Dan
Organoleptik Serbuk Effervescent
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb). Skripsi. FTP.
UNIBRAW. Malang.
Djakamihardja, S.P., Setyadiredja dan
19
P3 : 6% b/b
P4 : 8% b/b
Dari kedua faktor tersebut didapat 8
kombinasi perlakuan yaitu:
B
1
P
1
: Tepung Karaginan 2% b/b
B
1
P
2
: Tepung Karaginan 4% b/b
B
1
P
3
: Tepung Karaginan 6% b/b
B
1
P
4
: Tepung Karaginan 8% b/b
B
2
P
1
: Tepung Agar-agar 2% b/b
B
2
P
2
: Tepung Agar-agar 4% b/b
B
2
P
3
: Tepung Agar-agar 6% b/b
B
2
P
4
: Tepung Agar-agar 8% b/b
Penelitian Tahap II
Penelitian tahap kedua
merupakan lanjutan dari hasil
penelitian tahap I, dimana hasil yang
paling baik pada penelitian tahap
pertama merupakan dasar penelitian
tahap kedua. Pada penelitian tahap ke II
ini menggunakan Rancangan Acak
Tunggal, yaitu dengan menambahkan
kulit buah naga super merah ke dalam
sari buah naga super merah dengan
persentase yang berbeda yaitu
persentase kulit (K) yang terdiri dari :
K1 : 0 %
K2 : 20 %
K3 : 40 %
K4 : 60 %
K5 : 80 %
K6 : 100 %
Masing-masing perlakuan diulang
sebanyak tiga kali sehingga didapat 18
perlakuan
Analisa Data
Data yang didapat dari hasil
pengamatan setelah perlakuan
penelitian tahap I pada masing-masing
variabel dimasukkan dalam tabel untuk
dianalisa Uji Friedman. Perlakuan
terbaik dianalisa menggunakan metode
indeks efektifitas deGarmo et al.,
(1984) yang dimodifikasi oleh Susrini
(2003).
Sedangkan penelitian tahap II
dianalisa dengan uji F dan jika terdapat
perbedaan dianalisa dengan Uji BNT
5%. Pemilihan perlakuan terbaik
(penentuan titik optimum)
menggunakan Indeks Efektifitas
deGarmo et al., (1984) yang
dimodifikasi oleh Susrini (2003).
Selanjutnya perlakuan terbaik yang
didapatkan dari uji Indeks Efektifitas
diuji Analisa biaya produksi dan
kelayakan usaha dengan menggunakan
Analisa Finansial.
Analisa Biaya Produksi dan
Kelayakan Usaha
Analisa biaya produksi dan
kelayakan usaha dilakukan terhadap
perlakuan macam dan proporsi bahan
pengenyal serta persentase kulit buah
naga super merah (Hylocereus
costaricensis) yang terpilih. Kriteria-
kriteria kelayakan yang akan diukur
meliputi (Husnan dan Suwarsono,
1991) :
Net Present Value
Break Even Point (kg, Rp)
Profitability Indeks (PI)
Payback Period (PP)
Variabel yang diteliti adalah :
a. Biaya investasi
Parameternya adalah : Harga mesin,
peralatan, harga tanah dan
bangunan
b. Biaya Operasional
20
Parameternya adalah :
Harga bahan baku dan gaji
pekerja
Biaya penggunaan air, listrik,
telepon dan bahan bakar
c. Kelayakan Finansial
Parameternya adalah :
Harga bahan baku, harga mesin
dan peralatan
Biaya penggunaan air, listrik,
telepon dan bahan bakar
Harga tanah dan bangunan serta
gaji pekerja
HASIL PENELITIAN
Penelitian tahap I
Penelitian tahap I bertujuan
untuk menentukan jenis dan proporsi
bahan pengenyal yang optimal dalam
pembuatan kembang gula jelly.
Penelitian ini menggunakan 2 jenis
bahan pengenyal yaitu tepung
karaginan dan agar-agar serta 4 macam
proporsi bahan pengenyal yaitu 2% b/b,
4% b/b, 6% b/b, 8% b/b sesuai dengan
penelitian pendahuluan yang telah
dilakukan.
Pengamatan pada penelitian
tahap I meliputi uji organoleptik, rasa,
warna, aroma dan tekstur. Pendekatan
dengan penilaian organoleptik
dianggap paling praktis lebih murah
biayanya. Pengujian sensori (uji panel)
berperan penting dalam pengembangan
produk dengan meminimalkan resiko
dalam pengambilan keputusan. Panelis
dapat mengidentifikasi sifat-sifat
sensori yang akan membantu untuk
mendeskripsikan produk.
Uji organoleptik yang digunakan
adalah uji afektif (affective test).
Pengujian Afektif adalah menguji
kesukaan dan/atau penerimaan terhadap
suatu produk dan membutuhkan jumlah
panelis tidak dilatih yang banyak yang
sering dianggap untuk mewakili
kelompok konsumen tertentu
(Anonymous, 2006). Dalam penelitian
ini digunakan panelis tidak dilatih
sebanyak 30 orang dari berbagai
kalangan baik usia tingkat pendidikan,
gender maupun pekerjaan.
Rasa
Bahan pangan pada umumnya
tidak hanya memilki salah satu rasa
melainkan gabungan berbagai macam
rasa secara terpadu. Rasa lebih banyak
melibatkan panca indera yaitu lidah,
dengan lidah senyawa dapat dikenali
rasanya.
Hasil uji organoleptik menunjuk-
kan bahwa rerata ranking kesukaan
panelis terhadap rasa kembang gula
jelly berkisar antara 2,33 3,73.
Semakin tinggi rerata ranking kesukaan
panelis, maka tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa kembang gula jelly
semakin besar. Rerata ranking tingkat
kesukaan panelis terhadap rasa
kembang gula jelly ditunjukkan pada
Gambar 1.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap rasa kembang gula jelly
mempunyai nilai terendah 2,33
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung agar-agar 4% b/b dan 6% b/b,
sedangkan nilai tertinggi 3,73
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung karaginan 6% b/b.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa pembuatan
81
reabsorbsi, pH, rendemen, gula
reduksi dan antioksidan serbuk sari
temulawak.
2. Perlakuan konsentrasi dekstrin 20%
dan suhu pengering 50C
merupakan perlakuan terbaik tahap I
dari serbuk sari temulawak yang
memiliki karakteristik kadar air
10,11%; tingkat kecerahan (L*)
55,10; tingkat kemerahan (a*)
14,56; tingkat kekuningan (b*)
44,20; rendemen 24,63%; pH 5,63;
reabsorbsi air 2,78; kadar gula
reduksi 1,88% dan kadar
antioksidan 62,27% sedangkan
rerata tingkat kesukaan panelis
terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan
aroma 4,15
3. Pada tahap II, perlakuan konsentrasi
asam sitrat dan natrium bikarbonat
menunjukkan pengaruh sangat nyata
( = 0,01) terhadap kadar air,
intensitas kecerahan (L*),
kekuningan (b*), kelarutan dan
antioksidan. Pada parameter pH
memberikan pengaruh nyata ( =
0,05) sedangkan intensitas
kemerahan (a*) dan gula reduksi
tidak berpengaruh nyata
4. Perlakuan konsentrasi asam sitrat
10% dan natrium bikarbonat 20%
merupakan perlakuan terbaik tahap
II yang memiliki karakteristik kadar
air 7,48%; tingkat kecerahan (L*)
59,37; tingkat kemerahan (a*)
14,53; tingkat kekuningan (b*)
46,50; pH 5,33; kelarutan 88,17;
kadar gula reduksi 2,49% dan kadar
antioksidan 46,53%
Saran
1. Masih terdapat endapan dalam
minuman setelah serbuk
effervescent temulawak dilarutkan,
sehingga perlu adanya penelitian
lebih lanjut untuk meminimalkan
atau menghilangkan endapan yang
ada dengan memperkecil ukuran
bubuk partikel.
2. Masa simpan produk belum
diketahui secara pasti, sehingga
perlu penelitian lebih lanjut tentang
masa simpan produk dengan
beberapa macam bahan penstabil..
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003.
Khasiat Dan Manfaat Temulawak
Rimpang Penyembuh Aneka
Penyakit. Agromedia Pustaka.
Jakarta.
Agatha, 2006. Optimasi Formula
Granul Effervescent Ekstrak
Temulawak (Curcuma
xanthorrhiza Roxb) Dengan
Kombinasi Asam Sitrat , Asam
Tartrat (Aplikasi Metoda Desain
Faktorial). Intisari. Universitas
Sanata Drama. Yogyakarta.
Anonymous, 1985. Color Reader CR-
10 Operation Manual. Minolta,
Japan.
Anonymous, 1995. Farmakope
Indonesia, Edisi IV, 50, 338, 354,
80
20%, sedangkan rerata nilai kesukaan
panelis terhadap warna tertinggi
didapatkan dari kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat 15% dan
natrium bikarbonat 10% sebesar 5,00.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan konsentrasi asam sitrat
dan natrium bikarbonat memberikan
pengaruh nyata terhadap rerata
kesukaan panelis terhadap warna
effervescent temulawak. Kombinasi
perlakuan terbaik terhadap warna
diperoleh dari konsentrasi asam sitrat
20% dan natrium bikarbonat 10%.
Aroma
Hasil uji organoleptik me-
nunjukkan bahwa rerata nilai kesukaan
panelis terhadap aroma effervescent
temulawak mempunyai nilai rerata
terendah sebesar 2,60 yaitu pada
kombinasi perlakuan konsentrasi asam
sitrat 15% dan natrium bikarbonat
20%, sedangkan rerata nilai kesukaan
panelis terhadap aroma tertinggi
didapatkan dari kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat 10% dan
natrium bikarbonat 20% yaitu 4,64.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan konsentrasi asam sitrat
dan natrium bikarbonat memberikan
perbedaan nyata terhadap rerata
kesukaan aroma panelis. Kombinasi
perlakuan terbaik kesukaan aroma
panelis diperoleh dari penambahan
konsentrasi asam sitrat 10% dan
natrium bikarbonat 20%.
Pemilihan Perlakuan Terbaik
Hasil perhitungan perlakuan
terbaik pada tahap II untuk parameter
fisikokimia serbuk effervescent
temulawak yaitu dari kombinasi
perlakuan konsentrasi asam sitrat 10%
dan natrium bikarbonat 20% dengan
karakteristik sebagai berikut: kadar air
7,48%; tingkat kecerahan (L*) 59,37;
tingkat kemerahan (a*) 14,53; tingkat
kekuningan (b*) 46,50; pH 5,33;
kelarutan 88,17; kadar gula reduksi
2,49% dan kadar antioksidan 46,53%
Hasil perhitungan parameter
organoleptik didapatkan perlakuan
terbaik pada serbuk effervescent
temulawak dengan perlakuan terbaik
yang tidak sama dengan parameter
fisikokimia yaitu kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat 15% dan
natrium bikarbonat 10% dengan
karakteristik sebagai berikut: rerata
tingkat kesukaan panelis terhadap
warna 6,25; rasa 5,85 dan aroma 5,15.
Sehingga perlakuan terbaik dari tahap
II diambil dari data organoleptik karena
penilaian oleh panelis terhadap suatu
produk lebih diutamakan daripada
parameter fisikokimia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil
dari penelitian ini adalah:
1. Pada tahap I, perlakuan konsentrasi
dekstrin dan suhu pengering
menunjukkan pengaruh sangat nyata
( = 0,01) terhadap kadar air,
intensitas kecerahan (L*),
kemerahan (a*), kekuningan,
21
kembang gula jelly dengan dua jenis
bahan pengenyal (tepung karaginan
dan tepung agar-agar) serta dengan
empat variasi persentase (2% b/b, 4%
b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan
pengaruh nyata terhadap rerata
kesukaan rasa kembang gula jelly.
Kombinasi perlakuan terbaik tingkat
kesukaan rasa diperoleh dari
kembang gula jelly berbahan
pengenyal karaginan dengan
persentase 6% b/b.
Perbedaan rasa disebabkan
penggunaan bahan pengenyal yang
berbeda, masing-masing bahan
pengenyal memiliki sifat dan karakter
yang berbeda. Karaginan dan agar-agar
berasal dari rumput laut yang tidak
memiliki rasa khas, sehingga rasa
manis gula lebih tajam dan menonjol.
Warna
Warna merupakan indikator
yang pertama kali dilihat dan diamati
oleh konsumen karena warna
merupakan faktor kenampakan yang
langsung dapat dilihat oleh konsumen
(Kartika, 1988). Warna makanan dapat
menarik dan mempengaruhi selera
konsumen, sehingga dengan warna
dapat membangkitkan selera makan.
Bahkan warna juga dapat menjadi
petunjuk bagi kualitas dari makanan
yang dihasilkan.
Hasil uji organoleptik menunjuk-
kan bahwa rerata ranking kesukaan
panelis terhadap warna kembang gula
jelly berkisar antara 2,63 3,67.
Semakin tinggi rerata ranking kesukaan
panelis, maka tingkat kesukaan panelis
terhadap warna kembang gula jelly
semakin besar. Rerata ranking tingkat
kesukaan panelis terhadap warna
kembang gula jelly ditunjukkan pada
Gambar 2.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap warna kembang gula jelly
mempunyai nilai terendah 2,63
didapatkan dari bahan pengenyal
Gambar 1. Rerata kesukaan panelis terhadap rasa kembang gula jelly
22
tepung agar-agar 4% b/b dan 8% b/b,
sedangkan nilai tertinggi 3,67
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung karaginan 6% b/b, hal ini
dikarenakan kembang gula jelly yang
mempergunakan bahan pengenyal
tepung karaginan mempunyai warna
yang lebih jernih dibandingkan dengan
kembang gula jelly yang
mempergunakan bahan pengenyal
tepung agar-agar.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa pembuatan
kembang gula jelly dengan dua jenis
bahan pengenyal (tepung karaginan
dan tepung agar-agar) serta dengan
empat variasi persentase (2% b/b, 4%
b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan
pengaruh nyata terhadap rerata
kesukaan warna kembang gula jelly.
Kombinasi perlakuan terbaik tingkat
kesukaan warna diperoleh dari
kembang gula jelly berbahan
pengenyal karaginan dengan
persentase 6% b/b.
Warna merupakan hasil
pengamatan dengan penglihatan yang
dapat membedakan antara satu warna
dengan warna lainnya, cerah, buram,
bening, dan sebagainya. Salah satu sifat
kembang gula adalah memiliki warna
jernih, semakin jernih suatu produk
kembang gula jelly maka akan
menunjukkan kualitas yang semakin
baik, kembang gula jelly berbahan
pengenyal karaginan dengan
persentase 6% b/b lebih disukai
panelis karena memiliki tingkat
kejernihan yang paling baik.
Aroma
Aroma merupakan indikator
yang penting dalam industri pangan
karena dengan cepat dapat memberikan
hasil penilaian diterima atau tidaknya
produk tersebut. Aroma (odour)
meliputi berbagai sifat seperti harum,
amis, apek, busuk, dan sebagainya.
Gambar 2. Rerata kesukaan panelis terhadap warna kembang gula jelly
79
Semakin meningkat konsentrasi
asam sitrat maka kadar antioksidan
serbuk effervescent temulawak semakin
tinggi tetapi semakin tinggi natrium
bikarbonat maka kadar antioksidannya
semakin rendah. Konsentrasi asam
sitrat yang semakin banyak akan
melindungi senyawa antioksidan yang
ada pada serbuk effervescent
temulawak sehingga kadar
antioksidannya semakin tinggi, karena
antioksidan yang ada pada temulawak
(kurkuminoid) akan stabil pada pH
rendah. tetapi dengan semakin
meningkatnya natrium bikarbonat akan
dapat menurunkan kadar antioksidan
sehingga kadarnya rendah, karena
natrium bikarbonat bersifat basa dan
antioksidan temulawak (kurkuminoid)
tidak stabil pada pH basa.
Uji Organoleptik
Rasa
Hasil uji organo-
leptik menunjukkan bah-
wa rerata nilai kesukaan
panelis terhadap rasa
effervescent temulawak
mempunyai nilai terendah
3,15 didapatkan dari
kombinasi perlakuan
penambahan konsentrasi
asam sitrat 20% dan
natrium bikarbonat 10%
sedangkan nilai tertinggi
5,85 didapatkan dari
kombinasi perlakuan kon-
sentrasi asam sitrat 15%
dan natrium bikarbonat
10%.
Hasil analisis Uji
Friedman menunjukkan bahwa
kombinasi perlakuan konsentrasi
asam sitrat dan natrium bikarbonat
memberikan pengaruh nyata
terhadap rerata kesukaan rasa
effervescent temulawak. Kombinasi
perlakuan terbaik tingkat kesukaan
rasa diperoleh dari konsentrasi asam
sitrat 15% dan natrium bikarbonat 10%.
Warna
Hasil uji organoleptik menun-
jukkan bahwa rerata nilai kesukaan
panelis terhadap warna effervescent
temulawak semakin meningkat
rerata kesukaan panelis terhadap
warna dengan semakin
meningkatnya konsentrasi asam
sitrat dan natrium bikarbonat. Rerata
nilai kesukaan panelis terhadap warna
terendah adalah 2,12 yaitu pada
kombinasi perlakuan konsentrasi asam
sitrat 20% dan natrium bikarbonat
Tabel 11. Rerata Kadar Antioksidan Serbuk Sari
temulawak pada Berbagai Kombinasi
Perlakuan Konsentrasi Asam Sitrat dan
Natrium Bikarbonat
Konsentrasi
Asam Sitrat
(%)
Natrium
Bikarbonat
(%)
Kadar
Antioksidan
(%)
DMRT
(=0,01)
10
10
15
20
54,76
d
41,72
a
46,53
b
3,45
3,04
3,38
15
10
15
20
63,96
e
50,43
c
43,75
a
-
3,41
3,19
20
10
15
20
50,59
c
46,32
b
43,96
ab
3,43
3,34
3,27
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
pada uji Duncan 1%
78
Nilai kelarutan serbuk
effervescent temulawak cenderung naik
dengan semakin tingginya konsentrasi
asam sitrat dan natrium bikarbonat. Hal
ini disebabkan asam sitrat bersifat
higroskopis sehingga semakin tinggi
jumlah asam sitrat akan memperbesar
proporsi bahan yang dapat laut dalam
air. Selain itu juga dengan adanya
natrium bikarbonat akan bereaksi cepat
dengan asam sitrat yang dihasilkan
karbondioksida. Mohrle (1989)
menyatakan bahwa reaksi yang terjadi
pada larutan effervescent adalah reaksi
antara asam dan senyawa karbonat
untuk menghasilkan gas karbon-
dioksida yang memberikan efek
sparkle atau rasa seperti pada air soda.
Semakin tinggi konsentrasi
asam sitrat yang ditambahkan maka
kelarutan akan meningkat. Asam sitrat
mengandung air apabila bereaksi
dengan natrium bikarbonat yang
mengandung gas karbondioksida akan
menghasilkan natrium sitrat, air dan
akan terbentuk gas-gas karbondioksida
tiga kali lebih cepat yang dapat
membantu kelarutan, hal ini didukung
oleh Nugroho (1999) yang menyatakan
adanya gas-gas karbondioksida yang
dihasilkan mampu membantu kelarutan
tanpa melibatkan pengadukan manual
dengan syarat semua komponennya
sangat mudah larut dalam air.
Kadar Gula Reduksi
Rerata kadar gula reduksi serbuk
effervescent temulawak terendah
didapatkan dari perlakuan penambahan
konsentrasi asam sitrat 10% dan
natrium bikarbonat 10% dengan nilai
terendahnya adalah 2,46 sedangkan
rerata kadar gula reduksi serbuk
effervescent temulawak tertinggi
diperoleh dari perlakuan penambahan
konsentrasi asam sitrat 15% dan
natrium bikarbonat 20% dengan nilai
tertingginya adalah 2,58%.
Hasil analisis sidik ragam gula
reduksi menunjukkan bahwa perlakuan
konsentrasi asam sitrat dan natrium
bikarbonat serta interaksi antar kedua
perlakuan tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap kadar gula reduksi
serbuk effervescent temulawak
Penambahan asam sitrat dan natrium
bikarbonat diduga tidak menyebabkan
perubahan terhadap kandungan gula
reduksi serbuk effervescent temulawak
seperti reaksi fisik misalnya pemanasan
atau reaksi kimia yang menyebabkan
terjadinya perubahan gula reduksi.
Kadar Antioksidan
Hasil analisis sidik ragam kadar
antioksidan memberikan pengaruh
sangat nyata ( = 0,01) terhadap
kadar antioksidan serbuk effervescent
temulawak. Rerata kadar antioksidan
pada berbagai kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat dan natrium
bikarbonat ditunjukkan Tabel 11.
Tabel 11 menunjukkan bahwa
rerata kadar antioksidan serbuk
effervescent temulawak tertinggi
didapatkan dari kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat 15% dan natrium
bikarbonat 10% dengan nilai 63,96%,
sedangkan kadar antioksidan terendah
didapatkan dari kombinasi perlakuan
konsentrasi asam sitrat 10% dan natrium
bikarbonat 15% dengan nilai 41,72%.
23
Aroma atau bau sendiri sukar
untuk diukur sehingga biasanya
menimbulkan pendapat yang berlainan
dalam menilai kualitas aromanya
(Kartika 1988). Perbedaan pendapat
disebabkan tiap orang memiliki
perbedaan penciuman meskipun
mereka dapat membedakan aroma
namun setiap orang mempunyai
kesukaan yang berlainan.
Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa rerata ranking
kesukaan panelis terhadap aroma
kembang gula jelly berkisar antara 2,53
3,83. Semakin tinggi rerata ranking
kesukaan panelis, maka tingkat
kesukaan panelis terhadap aroma
kembang gula jelly semakin besar.
Rerata ranking tingkat kesukaan
panelis terhadap aroma kembang gula
jelly ditunjukkan pada Gambar 3.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap aroma kembang gula jelly
mempunyai nilai terendah 2,53
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung agar-agar 2% b/b dan 4% b/b,
sedangkan nilai tertinggi 3,83
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung karaginan 8% b/b, hal ini
dikarenakan kembang gula jelly dengan
bahan pengental tepung karaginan
mempunyai aroma yang lebih harum
dari pada tepung agar-agar dan tingkat
keharumannya bertambah seiring
dengan bertambahnya prosentase bahan
pengenyal yang digunakan.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa pembuatan
kembang gula jelly dengan dua jenis
bahan pengenyal (tepung karaginan
dan tepung agar-agar) serta dengan
empat variasi persentase (2% b/b, 4%
b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan
pengaruh nyata terhadap rerata
kesukaan aroma kembang gula jelly.
Kombinasi perlakuan terbaik tingkat
kesukaan aroma diperoleh dari kem-
bang gula jelly berbahan pengenyal
Gambar 3. Rerata kesukaan panelis terhadap aroma kembang gula jelly
24
karaginan dengan persentase 8% b/b.
Hal ini disebabkan karena aroma
tepung karaginan lebih harum
dibandingkan dengan aroma tepung
agar-agar sehingga mempengeruhi
kembang gula jelly yang dihasilkan.
Semakin besar persentase penam-
bahan tepung karaginan aroma yang
dihasilkan semakin harum dan
disukai.
Tekstur
Tekstur merupakan sensasi
tekanan yang dapat diamati dengan
melihat dan dirasakan pada waktu
digigit, dikunyah, ditelan ataupun
perabaan dengan jari (Kartika, 1988).
Tekstur secara langsung dapat dilihat
kenampakannya (dari luar) oleh
konsumen sehingga berpengaruh
terhadap penilaian diterima atau
tidaknya produk tersebut. Tekstur
(konsistensi) adalah hasil pengamatan
yang berupa sifat lunak, liat, keras,
halus, kasar, dan sebagainya.
Hasil uji organoleptik menunjuk-
kan bahwa rerata ranking kesukaan
panelis terhadap tekstur kembang gula
jelly berkisar antara 2,13 4,13.
Semakin tinggi rerata ranking kesukaan
panelis, maka tingkat kesukaan panelis
terhadap tekstur kembang gula jelly
semakin besar. Rerata ranking tingkat
kesukaan panelis terhadap tekstur
kembang gula jelly ditunjukkan pada
Gambar 4.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap tekstur kembang gula jelly
mempunyai nilai terendah 2,13
didapatkan dari bahan pengenyal
tepung agar-agar 2% b/b, sedangkan
nilai tertinggi 4,13 didapatkan dari
bahan pengenyal tepung karaginan 6%
b/b.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa pembuatan
kembang gula jelly dengan dua jenis
bahan pengenyal (tepung karaginan
dan tepung agar-agar) serta dengan
empat variasi persentase (2% b/b, 4%
Gambar 4. Rerata kesukaan panelis terhadap tekstur kembang gula jelly
77
temulawak juga semakin kuning.
Karlsen (1985), menyatakan bahwa
kurkumin stabil pada pH rendah, dalam
keadaan asam akan berwarna kuning
atau kuning jingga sehingga stabilitas
optimum kurkumin dipertahankan pada
pH kurang dari 7.
pH
Hasil analisis sidik ragam pH
menunjukkan bahwa pH serbuk
effervescent temulawak tertinggi
didapatkan dari perlakuan konsentrasi
asam sitrat 10% dengan nilai 5,28
sedangkan pH terendah didapatkan dari
perlakuan konsentrasi asam sitrat 20%
dengan nilai 5,20. Perlakuan asam sitrat
15% dan 20% tidak terdapat perbedaan
yang nyata tetapi pada perlakuan
konsentrasi asam sitrat 10% berbeda
dengan 2 perlakuan yang lain.
Semakin tinggi konsentrasi
asam sitrat yang ditambahkan maka
nilai pH serbuk effervescent temulawak
semakin rendah (cenderung asam).
Penurunan pH seiring dengan
meningkatnya konsentrasi asam sitrat.
Hal ini diduga karena ion H
+
dari asam
sitrat memberikan tambahan pada
effervescent temulawak sehingga pH-
nya turun. Ini sesuai dengan pernyataan
Lehninger (1996), bahwa semakin
banyak jumlah asam yang ditambahkan
maka akan semakin besar pula ion H
+
yang dilepaskan sehingga menurunkan
nilai pH.
Kelarutan
Rerata kelarutan serbuk
effervescent temulawak terendah
didapatkan dari perlakuan penambahan
konsentrasi asam sitrat 10% dan
natrium bikarbonat 10%
dengan nilai terendahnya
adalah 66,68, sedangkan rerata
kelarutan serbuk effervescent
temulawak tertinggi diperoleh
dari perlakuan penambahan
konsentrasi asam sitrat 10%
dan natrium bikarbonat 20%
dengan nilai tertingginya
adalah 88,17. Semakin tinggi
penambahan konsentrasi asam
sitrat dan natrium bikarbonat
maka kelarutan serbuk
effervescent temulawak akan
semakin tinggi.
Adapun Rerata
Kelarutan Serbuk Effervescent
Temulawak pada Berbagai
Kombinasi Perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rerata Kelarutan Serbuk
Effervescent Temulawak pada
Berbagai Kombinasi Perlakuan
Konsentrasi Asam Sitrat dan
Natrium Bikarbonat
Konsentrasi
Asam Sitrat
(%)
Konsentrasi
Natrium
Bikarbonat
(%)
Kelarutan
DMRT
(=0,01)
10
10
15
20
66,68
a
85,44
d
88,17
e
1,30
1,48
-
15
10
15
20
81,12
bc
81,85
c
85,20
d
1,43
1,45
1,47
20
10
15
20
80,19
b
80,82
b
84,28
d
1,37
1,40
1,46
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 1%
76
bikarbonat serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap Intensitas
warna serbuk effervescent temulawak.
Rerata kecerahan serbuk
effervescent temulawak yang dihasilkan
berkisar antara 58,47-60,23. Rerata
kemerahan serbuk effervescent temu-
lawak yang dihasilkan berkisar antara
14,03-14,63. Rerata kekuningan serbuk
sari temulawak yang dihasilkan
berkisar antara 45,20-46,90.
Tingkat kecerahan serbuk
effervescent temulawak terendah dida-
patkan dari perlakuan konsentrasi asam
sitrat 15% dan natrium bikarbonat 10%
dengan nilai 58,47 dan tertinggi adalah
dari perlakuan konsentrasi asam sitrat
20% dan natrium bikarbonat 20%
dengan nilai kecerahan 60,23.
Penambahan konsentrasi asam sitrat dan
natrium bikarbonat semakin tinggi maka
tingkat kecerahan serbuk effervescent
temulawak juga semakin meningkat,
karena warna asam sitrat dan natrium
bikarbonat cenderung putih sehingga
dengan adanya penambahan asam sitrat
dan natrium bikarbonat semakin banyak
maka tingkat kecerahan serbuk
effervescent temulawak juga semakin
meningkat.
Tingkat kekuningan (b*) serbuk
effervescent temulawak terendah
didapatkan dari perlakuan konsentrasi
asam sitrat 10% dan natrium bikarbonat
10% dengan nilainya adalah 45,20.
Sedangkan nilai tertinggi untuk
parameter tingkat kekuningan (b*)
serbuk effervescent temulawak dida-
patkan dari perlakuan konsentrasi asam
sitrat 15% dan natrium bikarbonat 15%
dengan nilainya 46,90. Semakin tinggi
konsentrasi asam sitrat yang
ditambakkan dan juga dengan semakin
meningkatnya natrium bikarbonat maka
tingkat kekuningan serbuk effervescent
temulawak juga semakin meningkat.
Semakin tinggi konsentrasi asam
sitrat dan natrium bikarbonat maka
tingkat kecerahan (L*) serbuk
effervescent temulawak juga semakin
tinggi (cerah), atau dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi konsentrasi asam
sitrat dan natrium bikarbonat maka
warna serbuk yang dihasilkan cen-
derung semakin putih. Hal ini
disebabkan karena konsentrasi asam
sitrat dan natrium bikarbonat yang
ditambahkan semakin banyak
menyebabkan kecerahannya semakin
tinggi (cerah) ditandai dengan nilai
kecerahannya lebih besar dari 50. Nilai
kecerahan mendekati 100 maka tingkat
kecerahannya semakin tinggi.
Demikian pula pada tingkat
kekuningan, semakin nilainya positif
kearah 100 maka tingkat kekuningannya
semakin tinggi.Warna kuning dari
serbuk effervescent temulawak
disebabkan karena kandungan kurcumin
dari temulawak. Karena dari asam sitrat
dan natrium bikarbonat sendiri berwarna
putih, oleh sebab itu dengan semakin
banyaknya konsentrasi yang ditam-
bahkan maka kecerahan serbuk sari
temulawak semakin meningkat dan
warna kuning dari serbuk effervescent
temulawak semakin meningkat.
Kurkumin stabil pada pH rendah,
sehingga dengan penambahan asam
sitrat yang semakin banyak menye-
babkan warna serbuk effervescent
25
b/b, 6% b/b dan 8% b/b) memberikan
pengaruh nyata terhadap rerata
kesukaan tekstur kembang gula jelly.
Kombinasi perlakuan terbaik tingkat
kesukaan tekstur diperoleh dari
kembang gula jelly berbahan
pengenyal karaginan dengan
persentase 6% b/b. Hal ini
disebabkan karena bahan pengenyal
tepung karaginan menghasilkan
tekstur kembang gula jelly yang lunak
dan bersifat seperti karet sedangkan
tepung agar-agar menghasilkan
tekstur kembang gula jelly yang lunak
tetapi rapuh sehingga kurang disukai.
Persentase karaginan 6 % b/b
dinilai pas oleh sebagian besar
panelis karena apabila persentase
ditambah menjadi 8 % b/b
menghasilkan kembang gula jelly
yang keras dan terlalu liat, apabila
dikurangi akan menghasilkan
kembang gula jelly yang terlalu
lembek dan berair.
Pemilihan alternatif terbaik
penelitian tahap I
Penentuan perlakuan terbaik
kembang gula jelly pada penelitian
tahap I dilakukan dengan menggunakan
metode indeks efektivitas (De Garmo,
Sullivan dan Canada, 1984). Metode ini
dilakukan pada parameter organoleptik
meliputi, rasa, warna, aroma dan
tekstur. Bobot parameter tertinggi
adalah rasa dengan bobot 0,475 diikuti
masing-masing tekstur 0,357 warna
0,244 serta aroma 0,181. Penilaian
perlakuan terbaik disajikan pada Tabel
1.
Hasil perhitungan (Lampiran 8)
menunjukkan kombinasi perlakuan
terbaik pada tahap penelitian I
pembuatan kembang gula jelly
diperoleh dari kembang gula jelly
berbahan pengenyal tepung karaginan
dengan persentase 6% b/b dengan
karakteristik sebagai berikut: rerata
tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
3,73 ; warna 3,67 ; aroma 3,80 dan
tekstur 4,13.
Penelitian tahap II
Penelitian tahap II bertujuan
untuk menentukan persentase
penambahan kulit buah naga super
Tabel 1. Penilaian perlakuan terbaik terhadap parameter organoleptik pada
kembang gula jelly perlakuan jenis dan persentase bahan pengenyal.
Kembang gula jelly Nilai Produk
Tepung Karaginan 2% b/b (B1P1) 0,478
Tepung Karaginan 4% b/b (B1P2) 0,735
Tepung Karaginan 6% b/b (B1P3) 1,354*
Tepung Karaginan 8% b/b (B1P4) 0,635
Tepung Agar-agar 2% b/b (B2P1) 0,048
Tepung Agar-agar 4% b/b (B2P2) 0,009
Tepung Agar-agar 6% b/b (B2P3) 0,047
Tepung Agar-agar 8% b/b (B2P4) 0,030
* = perlakuan terbaik
26
merah (Hylocereus costaricensis) yang
optimal dalam pembuatan kembang
gula jelly kulit buah naga super merah.
Penelitian ini menggunakan enam
variasi persentase kulit buah naga super
merah yaitu 0% ; 20% ; 40% ; 60% ;
80% dan 100%. Pengamatan pada
penelitian tahap II meliputi uji kimiawi
kadar air, kadar abu, gula reduksi,
kadar serat kasar serta antioksidan
(DPPH) serta uji organoleptik, rasa,
warna, aroma dan tekstur.
Kadar air
Kadar air merupakan syarat mutu
kembang gula jelly yang tercantum di
dalam SNI kembang gula No. 3547.2-
2008 bahwa kembang gula harus
memiliki kadar air maksimal 20 % b/b.
Rerata kadar air kembang gula jelly
kulit buah naga super merah pada
berbagai kombinasi perlakuan
persentase kulit buah naga super merah
yang dihasilkan berkisar antara 20,60 -
20,94%.
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa adanya pengaruh
yang sangat nyata antara persentase
bahan pengenyal 6% b/b dengan
persentase kulit buah naga super merah
(BNT 5%) terhadap kadar air. Rerata
nilai kadar air pada berbagai kombinasi
perlakuan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan uji BNT
5% kombinasi perlakuan terbaik kadar
air diperoleh dari bahan pengenyal
karaginan 6% b/b dengan penambahan
kulit buah naga sebesar 100% (100%
kulit tanpa penambahan daging buah
naga super merah) yaitu 20,60%
dengan hasil yang tidak berbeda nyata
dengan perlakuan penggunaan bahan
pengenyal karaginan 6% b/b dengan
penambahan kulit buah naga super
merah 80 % dan sangat berbeda nyata
dengan yang lain.
Menurut Winarno (1992) dalam
bahan makanan, air merupakan
komponen yang penting, karena air
dapat mempengaruhi penampakan,
tekstur, serta cita rasa makanan.
Disamping itu kandungan air didalam
bahan makanan ikut menentukan daya
tahan bahan tersebut.
Dari hasil pengujian kadar air
pada keenam sampel belum memenuhi
Tabel 2. Rerata Kadar Air (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
Kombinasi Perlakuan
Rerata
Kadar Air (%)
BNT 5%
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 20.94 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 20.84 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 20.81 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 20.77 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 20.66 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 20.60 a
0.0712
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%
75
organoleptik didapatkan perlakuan
terbaik pada serbuk sari temulawak
dengan perlakuan terbaik yang sama
dengan parameter fisikokimia yaitu
kombinasi perlakuan konsentrasi
dekstrin 20% dan suhu pengering 50
0
C
dengan karakteristik sebagai berikut:
rerata tingkat kesukaan panelis
terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan
aroma 4,15.
Penelitian Tahap II Serbuk
Effervescent Temulawak
Kadar Air
Hasil analisis sidik
ragam menunjukkan bahwa
adanya perbedaan konsentrasi
asam sitrat dan Natrium
bikarbonat serta interaksi
antar perlakuan memberikan
pengaruh sangat nyata (
= 0,01) terhadap kadar air
serbuk effervescent temu-
lawak. Rerata nilai kadar air
pada berbagai kombinasi
perlakuan ditunjukkan pada
Tabel 9.
Rerata kadar air serbuk
effervescent temulawak
terendah didapatkan dari
kombinasi perlakuan konsen-
trasi asam sitrat 10% dan
Natrium bikarbonat 10% dengan nilai
terendahnya adalah 4,86%, sedangkan
rerata kadar air serbuk effervescent
temulawak tertinggi diperoleh dari
kombinasi perlakuan konsentrasi asam
sitrat 20% dan Natrium bikarbonat 20%
dengan nilai tertingginya adalah 9,63%.
Semakin tinggi penambahan
konsentrasi asam sitrat dan natrium
bikarbonat maka kadar air dari serbuk
effervescent temulawak akan semakin
meningkat.
Perlakuan peningkatan
konsentrasi asam sitrat dan natrium
bikarbonat akan meningkatkan kadar
air serbuk effervescent temulawak. Hal
ini terjadi karena asam sitrat dan
natrium bikarbonat yang ditambahkan
bersifat higroskopis (mudah menyerap
uap air), sehingga dengan semakin
banyak asam sitrat dan natrium
bikarbonat yang ditambahkan maka
kadar air serbuk effervescent temu-
lawak akan semakin tinggi.
Intensitas Warna (Kecerahan/L*,
Kemerahan/a* dan Kekuningan/b*)
Hasil analisis sidik ragam
Intensitas warna (Kecerahan, Ke-
merahan, Kekuningan) menunjukkan
bahwa kombinasi perlakuan kon-
sentrasi asam sitrat dan natrium
Tabel 9. Rerata Kadar Air (%) Serbuk
Effervescent Temulawak pada
Berbagai Kombinasi Perlakuan Asam
Sitrat dan Natrium Bikarbonat
Konsentrasi
Asam Sitrat
(%)
Natrium
Bikarbonat
(%)
Kadar
Air (%)
DMRT
(=0,01)
10
10
15
20
4,86
a
6,37
b
7,48
c
0,21
0,22
0,22
15
10
15
20
7,77
d
8,02
e
8,03
e
0,23
0,23
0,23
20
10
15
20
8,57
f
8,72
f
9,63
g
0,24
0,24
-
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 1%
74
sentrasi dekstrin 20% dengan suhu
pengering 50
0
C.
Warna
Hasil uji organoleptik
menunjukkan bahwa rerata ranking
kesukaan panelis terhadap warna
serbuk sari temulawak akibat perlakuan
konsentrasi dekstrin dan suhu
pengering berkisar antara 4,05-5,55.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap warna serbuk sari te-
mulawak mempunyai kecenderung-
an semakin meningkat dengan
semakin meningkatnya konsentrasi
dekstrin dan peningkatan suhu
pengering. Rerata nilai kesukaan
panelis terhadap warna terendah adalah
4,05 yaitu pada kombinasi perlakuan
konsentrasi dekstrin 15% dan suhu
pengering 40C sedangkan rerata nilai
kesukaan panelis terhadap warna
tertinggi didapatkan dari kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin 20%
dengan suhu pengering 50
0
C sebesar
5,55.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa perlakuan kon-
sentrasi dekstrin dan suhu pengering
memberikan pengaruh nyata
terhadap rerata kesukaan panelis
terhadap warna serbuk sari temu-
lawak. Perlakuan terbaik kesukaan
panelis terhadap warna diperoleh
dari konsentrasi dekstrin 20% dengan
suhu pengering 50
0
C.
Aroma
Hasil uji organoleptik menun-
jukkan bahwa rerata ranking kesukaan
panelis terhadap aroma serbuk sari
temulawak akibat perlakuan konsen-
trasi dekstrin dan suhu pengering
berkisar antara 3,35-5,85.
Rerata nilai kesukaan panelis
terhadap aroma serbuk sari te-
mulawak mempunyai nilai rerata
terendah sebesar 3,35 yaitu pada
kombinasi perlakuan konsentrasi
dekstrin 15% dan suhu pengering 50C,
sedangkan rerata nilai kesukaan panelis
terhadap aroma tertinggi didapatkan
dari kombinasi perlakuan konsentrasi
dekstrin 10% dan suhu pengering 60C
yaitu 5,85.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengering memberikan per-
bedaan nyata terhadap rerata
kesukaan aroma panelis. Kombinasi
perlakuan terbaik kesukaan aroma
panelis diperoleh dari penambahan
konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu
pengering 60
0
C.
Pemilihan Alternatif Terbaik
Hasil perhitungan menunjuk-
kan perlakuan terbaik pada tahap I
untuk parameter fisikokimia dan
organoleptik serbuk sari temulawak
yaitu dari kombinasi perlakuan
konsentrasi dekstrin 20% dan suhu
pengering 50
0
C dengan karakteristik
sebagai berikut: kadar air 10,11%;
tingkat kecerahan (L*) 55,10; tingkat
kemerahan (a*) 14,56; tingkat
kekuningan (b*) 44,20; rendemen
24,63%; pH 5,63; reabsorbsi air 2,78;
kadar gula reduksi 1,88% dan kadar
antioksidan 62,27%
Hasil perhitungan parameter
27
syarat mutu kembang gula jelly yang
tercantum dalam SNI 3547.2-2008
yaitu maksimal 20%, hal ini
disebabkan karena proses pengeringan
yang dilakukan kurang maksimal
karena mempergunakan pengeringan
dengan sinar matahari. Jika ingin
mendapatkan hasil kadar air yang
optimal maka sebaiknya digunakan
pengering mekanis.
Kadar abu
Abu merupakan zat organik sisa
hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu ada hubungannya dengan
mineral suatu bahan. Mineral suatu
bahan merupakan garam organik
(garam-garam malat, oksalat, asetat,
pektat) dan garam anorganik (garam
fosfat, karbonat, klorida, sulfat dan
nitrat) (Fennema, 1996).
Rerata kadar abu pada berbagai
kombinasi perlakuan persentase pe-
nambahan kulit buah naga super merah
berkisar antara 1,11 1,27% .
Hasil analisis sidik ragam me-
nunjukkan bahwa adanya pengaruh
yang sangat nyata antara persentase
bahan pengenyal 6% b/b dengan
persentasse kulit buah naga super
merah (BNT 5%) terhadap kadar abu.
Rerata nilai kadar abu pada berbagai
kombinasi perlakuan ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan uji BNT
5% kombinasi perlakuan terbaik kadar
abu diperoleh dari bahan pengenyal
karaginan 6% b/b dengan penambahan
kulit buah naga sebesar 0% (tanpa
penambahan kulit buah naga super
merah) yaitu 1,11% dengan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
penggunaan bahan pengenyal karaginan
6% b/b dengan penambahan kulit buah
naga super merah 20% ; 40% ; 60% dan
sangat berbeda nyata dengan persentase
penambahan kulit 80% dan 100%.
Abu sendiri adalah hasil reaksi
unsur logam dengan oksigen, karena
logam masa jenis lebih besar maka
oksidanya tertinggal sebagai abu,
sementara oksida non logam misal CO2
karena ringan maka terbang sebagai
asap.
Dari hasil pengujian kadar abu
pada keenam sampel sudah memenuhi
syarat mutu kembang gula jelly yang
tercantum dalam SNI3547.2-2008 yaitu
Tabel 3. Rerata Kadar Abu (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
Kombinasi Perlakuan
Rerata
Kadar Abu (%)
BNT 5%
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 1.11 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 1.12 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 1.15 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 1.15 ab
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 1.22 bc
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 1.27 c
0.0704
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%
28
maksimal 3%.
Gula reduksi
Perbedaan kandungan gula
reduksi dalam variasi perlakuan
penelitian ini disebabkan oleh
perbedaan kadar gula pada daging dan
kulit buah naga super merah. Dalam
daging buah naga super merah
mengandung kadar gula yang cukup
tinggi yaitu mencapai 13-18 briks
(Anonymous.2008h).
Rerata kandungan gula reduksi
pada berbagai kombinasi perlakuan
persentase penambahan kulit buah naga
super merah berkisar antara 20,70% -
20,72%.
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa adanya pengaruh
yang sangat nyata antara persentase
bahan pengenyal 6% b/b dengan
persentase kulit buah naga super merah
(BNT 5%) terhadap kandungan gula
reduksi. Rerata nilai gula reduksi pada
berbagai kombinasi perlakuan
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan uji BNT
5% kombinasi perlakuan terbaik gula
reduksi diperoleh dari bahan pengenyal
karaginan 6% b/b dengan penambahan
kulit buah naga sebesar 100% yaitu
20,70% dengan hasil yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan penggunaan
bahan pengenyal karaginan 6% b/b
dengan penambahan kulit buah naga
super merah 80 % dan 60% dan sangat
berbeda nyata dengan persentase
penambahan kulit lainnya.
Pada dasarnya reaksi inversi
sukrosa menjadi gula reduksi adalah
reaksi hidrolisis. Menurut Risvan
Kuswurj (2009) dalam Sugar
Technology and Research, kerugian
dari gula invert antara lain, mudah
menyebabkan produk menjadi basah,
afinitas dalam air tinggi, memberikan
efek karamelisasi, menyebabkan warna
menjadi kecoklatan.
Dari hasil pengujian kadar gula
reduksi pada keenam sampel sudah
memenuhi standar mutu kembang gula
jelly yang tercantum dalam SNI
3547.2-2008 yaitu maksimal 25%.
Kadar serat kasar
Kandungan serat buah naga
Tabel 4. Rerata Gula reduksi (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
Kombinasi Perlakuan
Rerata
Gula reduksi (%)
BNT 5%
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 20.72 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 20.72 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 20.71 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 20.71 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 20.70 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 20.70 a
0.00499
Keterangan :Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%
73
interaksi antar perlakuan memberikan
pengaruh sangat nyata ( = 0,01)
terhadap kadar antioksidan serbuk sari
temulawak. Rerata kadar antioksidan
pada berbagai kombinasi perlakuan
konsentrasi dekstrin dan suhu
pengering ditunjukkan pada Tabel 8.
Rerata kadar antioksidan ser-
buk sari temulawak tertinggi didapatkan
dari kombinasi perlakuan konsentrasi
dekstrin 20% dan suhu pengering 40C
dengan nilai 63,13%, sedangkan kadar
antioksidan terendah didapatkan dari
kombinasi perlakuan konsentrasi
dekstrin 10% dan suhu pengering 60C
dengan nilai 30,23%.
Semakin meningkat konsentrasi
dekstrin maka kadar antioksidan serbuk
sari temulawak semakin tinggi tetapi
semakin tinggi suhu pengeringan maka
kadar antioksidannya semakin rendah.
Konsentrasi dekstrin yang semakin
banyak akan melindungi senyawa
antioksidan yang ada pada serbuk sari
temulawak sehingga kadar
antioksidannya semakin tinggi. Fungsi
bahan pengisi dekstrin akan melindungi
senyawa antioksidan serbuk sari
temulawak, tetapi dengan
semakin meningkatnya suhu
pengering akan dapat
merusak struktur antioksidan
sehingga kadarnya rendah.
Uji Organoleptik
Rasa
Hasil uji organolep-
tik menunjukkan bahwa
rerata ranking kesukaan
panelis terhadap rasa sari
temulawak akibat perlakuan
konsentrasi dekstrin dan
suhu pengering berkisar
antara 3,20-5,95.
Rerata nilai kesu-
kaan panelis terhadap rasa
serbuk sari temulawak mempunyai
nilai terendah 3,20 didapatkan dari
kombinasi perlakuan penambahan kon-
sentrasi dekstrin 15% dan suhu
pengering 40C sedangkan nilai ter-
tinggi 5,95 didapatkan dari kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan
suhu pengering 50C.
Hasil analisis Uji Friedman
menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengering memberikan pe-
ngaruh nyata terhadap rerata ke-
sukaan rasa serbuk sari temulawak.
Kombinasi perlakuan terbaik tingkat
kesukaan rasa diperoleh dari kon-
Tabel 8. Rerata Kadar Antioksidan Serbuk
Sari temulawak pada Berbagai
Kombinasi Perlakuan Konsentrasi
Dekstrin dan Suhu Pengering
Konsentrasi
Dekstrin
(%)
Suhu
Pengering
(C)
Kadar
Antioksidan
(%)
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
52,37
e
43,67
bc
30,23
a
1,95
1,84
1,75
15
40
50
60
60,12
g
54,35
f
48,06
d
1,98
1,96
1,92
20
40
50
60
63,13
i
62,27
hi
44,36
c
-
1,99
1,88
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan 1%
72
rendemen yang dihasilkan juga akan
semakin tinggi.
Gula Reduksi
Hasil analisis sidik ragam gula
reduksi diketahui terdapat pengaruh
sangat nyata ( = 0,01) antara
konsentrasi dekstrin, suhu pengering
dan interaksi antar kedua perlakuan.
Rerata nilai gula reduksi pada berbagai
kombinasi perlakuan ditunjukkankan
pada Tabel 7.
Rerata kadar gula reduksi
serbuk sari temulawak terendah
didapatkan dari perlakuan penambahan
konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu
pengering 40
0
C dengan nilai
terendahnya adalah 1,45%, sedangkan
rerata kadar gula reduksi serbuk sari
temulawak tertinggi diperoleh dari
perlakuan penambahan konsentrasi
dekstrin 20% dengan suhu pengering
60
0
C dengan nilai tertingginya adalah
2,23%. Semakin tinggi penambahan
konsentrasi dekstrin maka kadar gula
reduksi dari serbuk sari temulawak
akan semakin tinggi dan semakin tinggi
suhu pengeringan maka kadar gula
reduksi serbuk sari temulawak juga
akan semakin tinggi.
Penambahan konsentrasi
dekstrin akan menyebabkan pening-
katan kadar gula reduksi serbuk sari
temulawak, karena sema-
kin tinggi konsentrasi
dekstrin maka gugus
hidroksi reaktifnya juga
semakin banyak dan
gugus hidroksi reaktif itu
menunjukkan sifat pe-
reduksi. Winarno (1991)
menyatakan bahwa, ada
tidaknya sifat pereduksi
dari suatu molekul gula
ditentukan oleh ada ti-
daknya gugus hidroksil
(OH) bebas yang reaktif.
Peningkatan suhu
pengering juga akan
mempengaruhi peningkat-
an gula reduksi dari ser-
buk sari temulawak. Hal
ini disebakan karena semakin tinggi
suhu maka pemecahan dekstrin
menjadi gula-gula reduksi akan
semakin banyak dan gula reduksi
menunjukkan kadar dari gula reduksi.
Kadar Antioksidan
Hasil analisis sidik ragam pH
menunjukkan bahwa konsentrasi
dekstrin dan suhu pengering serta
Tabel 7. Rerata Kadar Gula Reduksi (%) Serbuk
Sari temulawak pada Berbagai Kombinasi
Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan Suhu
Pengering
Konsentrasi
Dekstrin (%)
Suhu
Pengering
(C)
Kadar
Gula
Reduksi
(%)
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
1,45
a
1,56
b
1,71
cd
0,04
0,40
0,40
15
40
50
60
1,60
b
1,93
f
2,16
g
0,40
0,40
0,40
20
40
50
60
1,72
d
1,88
e
2,23
h
0,40
0,40
-
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan 1%
29
mencapai 0,7-0,9 gram per 100 gram
daging buah dan sangat baik untuk
menurunkan kadar kolesterol. Di dalam
saluran pencernaan, serat akan
mengikat asam empedu (produk akhir
kolesterol) yang kemudian dikeluarkan
bersama tinja. Dengan demikian,
semakin tinggi konsumsi serat, semakin
banyak asam empedu dan lemak yang
dikeluarkan oleh tubuh.
Rerata kadar serat kasar pada
berbagai kombinasi perlakuan per-
sentase penambahan kulit buah naga
super merah berkisar antara 1,06%
1,43%.
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa adanya pengaruh
yang sangat nyata antara persentase
bahan pengenyal 6% b/b dengan
persentase kulit buah naga super merah
(BNT 5%) terhadap kadar serat kasar.
Rerata nilai kadar serat kasar pada
berbagai kombinasi perlakuan ditun-
jukkan pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan uji BNT
5% kombinasi perlakuan terbaik kadar
serat kasar diperoleh dari bahan
pengenyal karaginan 6% b/b dengan
penambahan kulit buah naga sebesar
100% sebesar 1,43% dengan hasil yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
penggunaan bahan pengenyal karaginan
6% b/b dengan penambahan kulit buah
naga super merah 80 % dan 60% dan
sangat berbeda nyata dengan persentase
penambahan kulit 20% dan 0%.
Dari hasil pengujian kadar serat
kasar pada keenam sampel diketahui
bahwa kadar serat kasarnya lebih tinggi
dari pada serat yang terkandung dalam
daging buah naga super merah segar
yaitu 0,7 -0,9 gram per 100 gram
daging buah naga super merah, hal ini
disebabkan adanya penambahan serat
kasar dari bahan tambahan lainnya
yaitu tepung karaginan yang
merupakan sumber serat yang tinggi.
Kadar air bahan juga berpengaruh
terhadap tingginya serat kasar yang
diuji dimana kadar air daging buah
naga super merah segar adalah 82,5
83,0 gram per 100 gram daging buah
sedangkan kadar air kembang gula jelly
kulit buah naga super merah adalah
Tabel 5. Rerata Kadar Serat Kasar (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
Kombinasi Perlakuan
Rerata
Kadar Serat Kasar
(%)
BNT 5%
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 1.06 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 1.24 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 1.40 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 1.41 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 1.42 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 1.43 c
0.05783
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%
30
20,602 - 20,944 gram per 100 gram
kembang gula jelly kulit buah naga
super merah.
Menurut Goldberg (1994)
kandungan serat pada buah naga juga
sangat berguna dalam sistem
pencernaan. Serat pangan (dietary
fiber) mampu memperpendek transit
time, yaitu waktu yang dibutuhkan
makanan sejak dari rongga mulut
hingga sisa makanan dikeluarkan
dalam bentuk feses. Di dalam saluran
pencernaan serat akan mengikat asam
empedu (produk akhir kolesterol) dan
kemudian dikeluarkan bersama fases.
Dengan demikian, semakin tinggi
konsumsi serat, semakin banyak asam
empedu dan lemak yang dikeluarkan
oleh tubuh. Disebutkan pula bahwa
serat pangan sangat baik untuk
mencegah penyakit diabetes melitus,
jantung, stroke, kanker, dan penyakit
kardiovaskular lainnya. Sayangnya,
konsumsi serat di Indonesia saat ini
masih sangat rendah, yaitu sekitar 10
gram per orang per hari. Padahal,
konsumsi serat pangan yang dianjurkan
adalah 20-30 gram per orang per hari.
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa
yang akan menghambat atau menunda
proses oksidasi substrat pada
konsentrasi yang rendah (Vaya dan
Aviram, 2001). Secara umum,
antioksidan mengurangi kecepatan
reaksi inisiasi pada reaksi berantai
pembentukan radikal bebas dalam
konsentrasi yang sangat kecil, yaitu
0,01% atau bahkan kurang (Madhavi et
al., 1995). Karakter utama senyawa
antioksidan adalah kemampuannya
untuk menangkap radikal bebas
(Prakash et al., 2001).
Pengujian aktivitas antioksidan
dalam penelitian ini menggunakan
metoda efek penangkapan radikal
bebas DPPH (Diphenyl Picryl
Hydrazil) yang prinsipnya adalah
penangkapan hidrogen dari antioksidan
oleh radikal bebas. Dalam hal ini
DPPH menjadi sumber radikal bebas,
untuk dipertemukan dengan ekstrak
kembang gula jelly kulit buah naga
super merah yang menjadi antioksidan.
Rerata kadar antioksidan
(DPPH) pada berbagai kombinasi
perlakuan persentase penambahan kulit
buah naga super merah berkisar antara
6,49% 6,91% .
Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa adanya pengaruh
yang sangat nyata antara persentase
bahan pengenyal 6% b/b dengan
persentase kulit buah naga super merah
(BNT 5%) terhadap kadar antioksidan.
Rerata nilai kadar antioksidan pada
berbagai kombinasi perlakuan
ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan uji BNT
5% kombinasi perlakuan terbaik kadar
antioksidan diperoleh dari bahan
pengenyal karaginan 6% b/b dengan
penambahan kulit buah naga sebesar
0% (tanpa penambahan kulit buah naga
super merah) sebesar 6,91% dengan
hasil yang sangat berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya
71
ini adalah dekstrin maka sisa asam akan
semakin banyak menyebabkan nilai pH
serbuk sari temulawak akan semakin
menurun.
Rendemen
Hasil analisis sidik ragam
rendemen menunjukkan bahwa
konsentrasi dekstrin dan suhu
pengering serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap rendemen
serbuk sari temulawak. Rerata
rendemen pada berbagai kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengering ditunjukkan pada Tabel
6.
Rerata rendemen serbuk sari
temulawak terendah didapatkan dari
perlakuan penambahan konsentrasi
dekstrin 10% dengan suhu pengering
40
0
C dengan nilai terendahnya adalah
14,025%, sedangkan rerata rendemen
serbuk sari temulawak tertinggi
diperoleh dari perlakuan penambahan
konsentrasi dekstrin 20% dengan suhu
pengering 60
0
C dengan nilai
tertingginya adalah 26,21%. Semakin
tinggi penambahan konsentrasi dekstrin
maka rendemen serbuk sari temulawak
akan semakin tinggi dan semakin tinggi
suhu pengering maka rendemen serbuk
sari temulawak juga akan semakin
tinggi.
Nilai rendemen serbuk sari
temulawak cenderung naik dengan
semakin tingginya konsentrasi dekstrin.
Hal ini karena semakin tinggi
konsentrasi bahan pengisi dalam hal ini
dekstrin yang ditambahkan
maka konsentrasi sari
temulawak cair semakin
sedikit. Kenaikan
konsentrasi dekstrin yang
ditambahkan dapat me-
ningkatkan rendemen dan
densitas kamba tepung
instan sari buah nanas
(Warsiki, 1995).
Rendemen serbuk
sari temulawak semakin
meningkat dengan mening-
katnya konsentrasi bahan
pengisi yang semakin besar.
Hal ini diduga semakin
banyak bahan pengisi yang
ditambahkan maka jumlah
total padatan dalam serbuk sari
temulawak semakin tinggi sehingga
meningkatkan jumlah rendemen.
Master (1979) menyatakan bahwa
semakin tinggi total padatan pada
bahan yang dikeringkan maka
Tabel 6. Rerata Rendemen (%) Serbuk Sari
temulawak pada Berbagai Kombinasi
Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan
Suhu Pengering
Konsentrasi
Dekstrin
(%)
Suhu
Pengering
(C)
Rendemen
(%)
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
14,02
a
15,79
b
16,90
c
0,38
0,40
0,41
15
40
50
60
16,95
c
18,10
d
20,09
e
0,41
0,42
0,42
20
40
50
60
22,29
f
24,63
g
26,21
h
0,43
0,43
-
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan 1%
70
tertingginya adalah 4,07%. Semakin
tinggi penambahan konsentrasi dekstrin
maka reabsorpsi serbuk sari temulawak
akan semakin tinggi dan semakin tinggi
suhu pengering maka reabsorpsi serbuk
sari temulawak juga akan semakin
tinggi.
Nilai reabsorpsi serbuk sari
temulawak cenderung naik dengan
semakin tingginya konsentrasi dekstrin.
Hal ini disebabkan semakin tinggi
konsentrasi bahan pengisi dalam hal ini
dekstrin yang ditambahkan maka gugus
hidroksil yang terkandung dalam
serbuk sari temulawak akan semakin
banyak dan reabsorpsinya juga akan
semakin tinggi. Gugus hidroksil dalam
jumlah banyak dapat meningkatkan
kemampuan dalam meningkatkan air
dalam senyawa tersebut (Alexander,
1992 dalam Puspaningrum, 2003).
pH
Hasil analisis sidik ragam pH
(Lampiran 18) menunjukkan bahwa
konsentrasi dekstrin dan suhu
pengering serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap pH serbuk
sari temulawak. Rerata pH pada
berbagai kombinasi perlakuan kon-
sentrasi dekstrin dan suhu pengering
ditunjukkan pada Tabel 5.
Rerata pH serbuk
sari temulawak tertinggi
didapatkan dari kombi-
nasi perlakuan konsen-
trasi dekstrin 10% dan
suhu pengering 40C
dengan nilai 6,03, se-
dangkan pH nilai
terendah didapatkan dari
kombinasi perlakuan
konsentrasi dekstrin
20% dan suhu penge-
ring 40C dengan nilai
5,57.
Semakin tinggi
konsentrasi dekstrin
yang ditambahkan maka
nilai pH serbuk sari
temulawak semakin ren-
dah. Hal ini diduga karena sisa asam
pada dekstrin akibat proses hidrolisis
dengan asam atau enzim. Thomas and
Alusell (1997) menyatakan bahwa
dekstrin an produk sejenisnya dibuat
dengan hidrolisis pati dengan
pemanasan dan asam atau enzim. Oleh
karena itu semakin tinggi konsentrasi
bahan pengisi yang ditambahkan dalam
Tabel 5. Rerata pH Serbuk Sari temulawak pada
Berbagai Kombinasi Perlakuan Konsentrasi
Dekstrin dan Suhu Pengering
Konsentrasi
Dekstrin (%)
Suhu
Pengering
(C)
pH
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
6,03
d
5,67
ab
5,77
c
-
0,13
0,13
15
40
50
60
5,63
a
5,67
abc
5,70
bc
0,12
0,13
0,13
20
40
50
60
5,57
a
5,63
ab
5,67
abc
0,12
0,13
0,13
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama
pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada
uji Duncan 1%
31
Gambar 6. Bobot Parameter Penelitian Tahap II Kembang Gula Jelly Kulit Buah
Naga Super Merah
Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa semakin besar persentase
penambahan kulit buah naga super
merah maka aktivitas antioksidannya
semakin menurun, dimana DPPH
tertinggi pada perlakuan tanpa
penambahan kulit dan nilai terendah
pada perlakuan tanpa penambahan
daging buah. Hal ini membuktikan
bahwa kandungan antioksidan pada
kulit lebih rendah daripada daging
buahnya meskipun perbedaanya sangat
kecil.
Hasil riset Agricultural Research
Service (ARS), United States
Department of Agriculture (USDA)
Tabel 6. Rerata Kadar Antioksidan (%) pada Berbagai Kombinasi Perlakuan
Kombinasi Perlakuan
Rerata Kadar
Antioksidan (%)
BNT 5%
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 0% 6.91 a
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 20% 6.85 b
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 40% 6.79 c
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 60% 6.68 d
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 80% 6.56 ed
Karaginan 6% b/b g dengan kulit buah naga 100% 6.49 e
0.0679
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BNT 5%
32
Tabel 7. Penilaian perlakuan terbaik terhadap parameter kimiawi dan
organoleptik pada kembang gula jelly kulit buah naga super merah
perlakuan persentase penambahan kulit buah naga super merah.
Kembang gula jelly kulit buah naga super merah Nilai Produk
Persentase Kulit 0% 0.458
Persentase Kulit 20% 0.481
Persentase Kulit 40% 0.472
Persentase Kulit 60% 0.386
Persentase Kulit 80% 0.462
Persentase Kulit 100% 0.542*
* = perlakuan terbaik
dalam Pratomo (2007), buah naga
berdaging merah mengandung total
fenolat 1.076 /mol gallic acid
equivalents (GAE)/g puree. Aktivitas
antioksidan mencapai 7,59 /mol trolox
equivalents (TE)/g puree. Sedangkan
yang berdaging putih Hylocereus
undatus mengandung total fenolat 523
/mol GAE/g dan aktivitas antioksidan
2,96 /mol TE/g.
Pemilihan alternatif terbaik
penelitian tahap II
Penentuan perlakuan terbaik
kembang gula jelly kulit buah naga
super merah pada penelitian tahap II
dilakukan dengan menggunakan
metode indeks efektivitas (De Garmo,
Sullivan dan Canada, 1984). Metode ini
dilakukan pada parameter kimiawi
meliputi uji kadar air, kadar abu, gula
reduksi, kadar serat kasar serta
antioksidan (DPPH) serta uji
organoleptik, rasa, warna, aroma dan
tekstur. Bobot parameter tertinggi
adalah rasa dengan bobot 0.186 diikuti
masing-masing tekstur 0.171 ; warna
0.157 ; antioksidan (DPPH) 0.116 ;
serat kasar 0.094 ; aroma 0.091 ; gula
reduksi 0.078 ; kadar air 0.064 dan
kadar abu 0.042. Bobot parameter
disajikan pada Gambar 6.
Sedangkan penilaian perlakuan terbaik
kembang gula jelly kulit buah naga
super merah disajikan pada Tabel 7.
Hasil perhitungan menunjukkan
kombinasi perlakuan terbaik pada
penelitian tahap II pembuatan kembang
gula jelly kulit buah naga super merah
diperoleh dari kembang gula jelly kulit
buah naga super merah dengan
persentase penambahan kulit sebesar
100% dengan karakteristik sebagai
berikut: rerata kadar air 20.602% ;
kadar abu 1.267% ; gula reduksi
20.700% ; serat kasar 1.428% ;
antioksidan (DPPH) 6.493% serta
rerata tingkat kesukaan panelis
terhadap rasa 3.900 ; warna 4.667 ;
aroma 3.533 dan tekstur 4.100.
Analisis Finansial
Analisis finansial dilakukan
untuk mengetahui tingkat kelayakan
unit pengolahan pembuatan produk
kembang gula jelly kulit buah naga
69
dekstrin sendiri berwarna putih, oleh
karena itu dengan semakin banyaknya
konsentrasi yang ditambahkan maka
kecerahan serbuk sari temulawak
semakin meningkat dan warna kuning
dari sari temulawak semakin rendah.
Semakin tinggi suhu
pengering maka kece-
rahan/L* serbuk sari temu-
lawak semakin turun dan
tinggkat kekuningan dan
kemerahan semakin mening-
kat. Ini disebakan karena
dengan adanya peningkatan
suhu pengering dari 40C ke
50C dan 60C akan lebih
cepat memacu proses
pencoklatan nonenzimatis
(reaksi maillard). Pada
pengeringan suhu 60C akan
cepat memacu proses
pencoklatan pada bubuk sari
temulawak sehingga dihasil-
kan warna lebih coklat keku-
ningan daripada pengeringan
suhu 40C dan 50C.
Labuza (1982) menyatakan
bahwa suhu mempunyai pengaruh yang
lebih besar terhadap pencoklatan
nonenzimatis, dimana setiap kenaikan
suhu sebesar 10C kecepatan proses
pencoklatan meningkat antara 4-8 kali.
Menurut Desrosier (1988), Yeo and
Shibamoto (1991) menyatakan bahwa
suhu tinggi menyebabkan reaksi
pencoklatan dari gula dan asam amino
(reaksi maillard) makin meningkat yang
berpengaruh terhadap warna dan flavor
yang tidak diinginkan pada bahan
makanan.
Reabsorpsi
Hasil analisis sidik ragam
reabsorpsi menunjukkan bahwa
konsentrasi dekstrin dan suhu
pengering serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap reabsorpsi
serbuk sari temulawak. Rerata
reabsorpsi pada berbagai kombinasi
perlakuan konsentrasi dekstrin dan
suhu pengering ditunjukkan pada Tabel
4.
Rerata reabsorpsi serbuk sari
temulawak terendah didapatkan dari
perlakuan penambahan konsentrasi
dekstrin 10% dengan suhu pengering
40
0
C dengan nilai terendahnya adalah
1,28%, sedangkan rerata reabsorpsi
serbuk sari temulawak tertinggi
diperoleh dari perlakuan penambahan
konsentrasi dekstrin 20% dengan suhu
pengering 60
0
C dengan nilai
Tabel 4. Rerata Reabsorpsi Serbuk Sari
temulawak pada Berbagai Kombinasi
Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan
Suhu Pengering
Konsentrasi
Dekstrin
(%)
Suhu
Pengering
(C)
Reabsorpsi
(%)
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
1,28
a
2,46
bc
3,35
d
0,16
0,18
0,18
15
40
50
60
2,30
b
2,67
c
3,96,
ef
0,17
0,18
-
20
40
50
60
2,36
bc
2,78
cd
4,07
f
0,17
0,18
0,17
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang
sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan 1%
68
semakin rendah ini disebabkan karena
kecepatan pengeringan akan semakin
meningkat dengan semakin mening-
katnya suhu pengering. Desrosier
(1988) menyatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pengeringan
produk pangan beberapa diantaranya
adalah suhu pengeringan yang
digunakan, lama pengeringan (waktu),
metode pengeringan dan sifat dan
bentuk bahan.
Intensitas Warna (Kecerahan/L*,
Kemerahan/a* dan Kekuningan/b*)
Hasil analisis sidik ragam
Intensitas warna (kecerahan, ke-
merahan, kekuningan) menunjukkan
bahwa perlakuan konsentrasi dekstrin
dan suhu pengering serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap ketiganya
serbuk sari temulawak. Rerata ke-
cerahan serbuk sari temulawak yang
dihasilkan berkisar antara 54,00-60,10.
Rerata kemerahan serbuk sari te-
mulawak yang dihasilkan berkisar
antara 13,23-15,45. Rerata kekuningan
serbuk sari temulawak yang dihasilkan
berkisar antara 42,37-46,53.
Tingkat kecerahan serbuk sari
temulawak terendah didapatkan dari
perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan
suhu pengering 60C dengan nilai 54,00
dan tertinggi adalah dari perlakuan
konsentrasi dekstrin 10% dan suhu
pengering 40C dengan nilai kecerahan
60,10. Penambahan konsentrasi dekstrin
semakin tinggi maka tingkat kecerahan
serbuk sari temulawak juga semakin
meningkat, karena warna dekstrin
cenderung putih sehingga dengan
adanya penambahan dekstrin yang
banyak maka tingkat kecerahan serbuk
sari temulawak juga semakin me-
ningkat.
Tingkat kemerahan dan ke-
kuningan serbuk sari temulawak
terendah didapatkan dari perlakuan yang
sama yaitu konsentrasi dekstrin 10%
dan suhu pengering 40C dengan
nilainya berturut-turut adalah 13,23 (a*)
dan 42,37 (b*). Sedangkan nilai
tertinggi untuk parameter tingkat
kemerahan dan kekuningan sari te-
mulawak juga didapatkan dari perlakuan
yang sama yaitu konsentrasi dekstrin
20% dan suhu pengering 60C dengan
nilainya berturut-turut 15,45 (a*) dan
46,53 (b*). Semakin tinggi konsentrasi
dekstrin yang ditambakkan dan juga
dengan semakin meningkatnya suhu
pengering maka tingkat kemerahan dan
kekuningan serbuk sari temulawak juga
semakin meningkat.
Semakin tinggi konsentrasi
dekstrin, tingkat kecerahan (L*) serbuk
sari temulawak cenderung semakin
tinggi (cerah), sedangkan tingkat
kemerahan/a* dan tingkat keku-
ningan/b* serbuk sari temulawak
cenderung semakin rendah atau dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi dekstrin maka warna serbuk
yang dihasilkan cenderung semakin
putih dan sedikit kuning-kemerahan.
Hal ini disebabkan karena konsentrasi
dekstrin yang ditambahkan semakin
banyak menyebabkan kecerahannya
semakin cerah dan agak sedikit kuning.
Wara kuning dari bubuk sari temulawak
disebabkan karena kandungan kurcumin
dari remulawak. Karena dari bubuk
33
Tabel 8. Ringkasan hasil analisis finansial kembang gula jelly kulit buah naga
super merah dengan kapasitas 10 Kg/hari.
No. Komponen Jumlah (Rp)
1 Biaya Tetap selama 1 tahun (FC) 60,615,120
2 Biaya Tidak Tetap selama 1 tahun (VC) 31,490,537
3 Total Biaya Produksi selama 1 tahun (TC) 92,105,657
4 Jumlah Produksi selama 1 tahun (kg) Q 2,880
5 Biaya tidak tetap selama 1 tahun per kg (VC per kg) 10,934
5 HPP (Rp)= TC/Q 31,981
6 Mark Up (53,90%) 7,394
7 Harga Jual (Rp) (P) 40,000
8 BEP (unit) 2,131
9 BEP (Rp) 83,918,794
super merah. Analisis finansial
meliputi analisis kebutuhan modal,
biaya operasional, analisis Break Event
Point (BEP), dan analisis kelayakan
investasi yang meliputi perhitungan
Payback Periode, Net Present Value,
dan Profitability Index. Ringkasan hasil
analisis finansial solusi optimal dapat
dilihat pada Tabel 8.
Biaya Produksi
Total biaya produksi selama 1
tahun kembang gula jelly kulit buah naga
super merah adalah sebesar Rp.
92,105,657,- dengan perincian biaya
tetap (fixed cost) sebesar Rp.
60,615,120,- dan biaya tidak tetap
(variable cost) sebesar Rp.
31,490,537,- . Perhitungan biaya
produksi dilakukan dalam periode 1
tahun yang merupakan jumlah
keseluruhan dari biaya tetap dan biaya
tidak tetap dalam 1 tahun yang
melibatkan biaya bahan baku, biaya
tenaga kerja dan biaya overhead pabrik
(Husnan dan Sudarsono, 1994).
Harga Pokok Produksi (HPP)
Harga Pokok Produksi (HPP)
sebesar Rp. 31,981,-/Kg. Harga jual
yang dihitung di tingkat produsen ke
pengecer sebesar Rp. 40,000,-/Kg
dengan asumsi pengambilan mark up
sebesar 53,90% dari setiap produk unit
yang terjual. Menurut Fatchi (2004),
besarnya mark up di tingkat produsen
langsung ke konsumen sebesar 20%,
jika melalui agen sampai ke pengecer
besarnya mark up 50%, dan bila
pengecer menjual produk ke konsumen
akhir mark up yang ditentukan sebesar
70%. Sehingga diperkirakan pengecer
menjual produk ke konsumen akhir
dengan mark up 70%, maka
diperkirakan harga produk sampai ke
konsumen sebesar Rp 55,000,- /Kg.
Harga jual di tingkat konsumen ini jika
dibandingkan dengan produk sebanding
yang ada di pasaran, maka harga
produk kembang gula kulit buah naga
super merah hasil penelitian relatif
lebih murah dimana harga produk
sejenis yang dijual curah di pasaran
34
mempunyai harga Rp. 77,000,-/Kg.
Break Event Point (BEP)
Break Event Point (BEP)
merupakan titik impas, dimana nilai
penjualan atau pendapatan sama
dengan total biaya. Analisis BEP
tersebut merupakan cara untuk
mengetahui volume penjualan minimal
agar suatu usaha tidak mengalami
kerugian tetapi juga belum memperoleh
laba (laba sama atau dengan 0). BEP
sangat sensitif terhadap perubahan fixed
operating cost, variable operating cost
per unit dan harga jual per unit hasil
produksi perusahaan. Hasil perhitungan
BEP menunjukkan bahwa titik balik
pokok akan dicapai pada volume
penjualan 2.131 Kg atau senilai Rp.
83,918,794,-. Apabila perusahaan telah
mencapai angka penjualan tersebut di
atas, maka dapat diartikan bahwa
perusahaan telah mencapai titik dimana
perusahaan tidak mengalami kerugian
maupun memperoleh keuntungan.
Payback Period (PP)
Payback Period merupakan
metode yang digunakan untuk
mengukur kecepatan pengembalian
modal investasi yang dinyatakan dalam
tahun. Hasil perhitungan pada
menunjukkan bahwa nilai payback
period dicapai pada 1 tahun 3 bulan 21
hari. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam jangka waktu tersebut nilai
investasi usaha sebesar Rp.
91,873,996,- telah kembali. Lama
payback period lebih pendek daripada
umur proyek yang direncanakan yaitu
selama 5 tahun, sehingga dapat
dikatakan proyek ini layak untuk
dilaksanakan.
Net Present Value (NPV)
Nilai Net Present Value (NPV)
bernilai positif atau lebih besar dari nol,
yaitu sebesar Rp. 52.868.819,-, dengan
demikian unit usaha industri kembang
gula kulit buah naga super merah layak
dilaksanakan.
Profitability Index (PI)
Nilai Profitability Index (PI)
bernilai positif atau lebih besar dari nol,
yaitu sebesar 1.575, dengan demikian
unit usaha industri kembang gula kulit
buah naga super merah layak
dilaksanakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kombinasi perlakuan terbaik
berdasarkan indeks efektifitas pada
penelitian tahap I diperoleh dari
kombinasi perlakuan B1P3 yaitu
kembang gula jelly dengan bahan
pengenyal tepung karaginan dengan
persentase 6 % b/b dengan nilai
produk 1,354 yang memiliki
karakteristik sebagai berikut: rerata
tingkat kesukaan panelis terhadap rasa
3,73 ; warna 3,67 ; aroma 3,80 dan
tekstur 4,13.
Pada tahap II, berdasarkan indeks
efektifitas kombinasi perlakuan bahan
pengenyal tepung karaginan 6% b/b
dengan campuran kulit buah naga super
merah tanpa tambahan daging buahnya
(kulit 100%) merupakan perlakuan
terbaik dengan nilai produk 0.542 yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
67
adanya perbedaan konsentrasi dekstrin
dan suhu pengering serta interaksi antar
perlakuan memberikan pengaruh sangat
nyata ( = 0,01) terhadap kadar air
serbuk sari temulawak. Rerata nilai
kadar air pada berbagai kombinasi
perlakuan ditunjukkankan pada Tabel
3.
Rerata kadar air serbuk sari
temulawak terendah didapatkan dari
perlakuan penambahan konsentrasi
dekstrin 20% dengan suhu pengering
60
0
C dengan nilai terendahnya adalah
8,54%, sedangkan rerata kadar air
serbuk sari temulawak tertinggi
diperoleh dari perlakuan penambahan
konsentrasi dekstrin 10% dengan suhu
pengering 40
0
C dengan nilai
tertingginya adalah 13,88%. Semakin
tinggi penambahan konsentrasi dekstrin
maka kadar air dari serbuk sari
temulawak akan semakin rendah dan
semakin tinggi suhu pengeringan maka
kadar air serbuk sari temulawak juga
akan semakin rendah.
Penambahan konsentrasi
dekstrin akan menurunkan kadar air
serbuk sari temulawak. Hal ini terjadi
karena pada konsentrasi bahan pengisi
yang ditambahkan semakin
banyak atau lebih tinggi
maka perbandingan
konsentrasi ekstrak sari
temulawak cair akan lebih
rendah sehingga kadar air
dari bahan akan semakin
rendah. Selain itu adanya
penambahan konsentrasi
bahan pengisi dekstrin yang
semakin meningkat akan
mengikat air yang ada pada
sari temulawak sehingga
kadar airnya semakin
rendah. Menurut Warsiki
(1995), mengemukakan
bahwa kenaikan
konsentrasi dekstrin dari 5-
15% akan menurunkan
kadar air, meningkatkan
rendemen dan densitas kamba tepung
instan sari buah nanas. Ditambahkan
oleh Al Kahtani dan Hassan (1990)
dalam Puspaningrum (2003),
penambahan bahan pengisi akan
meningkatkan jumlah total padatan
dalam bahan sehingga jumlah air pada
bahan yang dikeringkan akan semakin
sedikit.
Peningkatan suhu pengering juga
akan menurunkan kadar air serbuk sari
temulawak, karena semakin tinggi suhu
pengering maka kadar air bahan akan
Tabel 3. Rerata Kadar Air (%) Serbuk Sari
Temulawak pada Berbagai Kombinasi
Perlakuan Konsentrasi Dekstrin dan
Suhu Pengering
Konsentrasi
Dekstrin
(%)
Suhu
Pengering
(C)
Kadar
Air (%)
DMRT
(=0,01)
10
40
50
60
13,88
g
13,13
f
12,37
e
-
0,30
0,29
15
40
50
60
12,11
de
11,80
c
10,32
b
0,29
0,29
0,28
20
40
50
60
11,98
cd
10,11
b
8,54
a
0,29
0,27
0,26
Keterangan : Angka rerata yang diikuti dengan huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 1%
66
Aspartam dapat digunakan untuk
semua jenis gula rendah kalori
misalnya untuk kegemukan dan
diabetes karena kandungan kalorinya
yang rendah dan tidak menyebabkan
kelainan gigi seperti karies. Penelitian
toksikologi aspartam oleh Joint Expert
Committee for Food Additives dan
WHO menetapkan nilai Acceptable
Daily Intake (AID) untuk aspartam
sebesar 40 mg/hari (Susilo.2005)
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di
Laboratorrium Pengolahan Hasil Balai
Besar Diklat Tanaman Pangan dan
Tanaman Obat, Laboratorium Pengo-
lahan Hasil Pertanian Fakultas Tek-
nologi Pertanian UNIBRAW Malang,
Laboratorium MIPA UNIBRAW
Malang. Dilaksanakan pada bulan April
sampai dengan Juli 2007.
Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang
digunakan dalam Penelitian Tahap I
(Pembuatan Sari Temulawak) dan
Penelitian Tahap II (Pembuatan
Serbuk Effervescent Temulawak)
menggunakan Rancangan Acak Ke-
lompok (RAK). Perlakuan terdiri dari
dua faktor, masing-masing faktor
terdiri dari tiga level dengan 3 kali
ulangan.
Variabel Pengamatan Penelitian
Tahap I
Uji aktivitas antioksidan, Kadar
Air, Gula Reduksi, Intensitas Warna,
Rendemen, pH, Reabsorpsi dan Uji
organoleptik
Variabel Pengamatan Penelitian
Tahap II
Uji aktivitas antioksidan,
Intensitas Warna, Kadar Air, Kelarutan
Kecerahan, pH, Gula Reduksi, dan Uji
organoleptik.
Analisa Data
Data yang didapat dari hasil
pengamatan setelah perlakuan
penelitian tahap I dan tahap II pada
masing-masing variabel dimasukkan ke
dalam tabel untuk dilakukan analisa
Inferensial dengan uji F metode Sidik
Ragam (ANOVA), jika kombinasi
perlakuan terjadi interaksi (diterima
H
1
), maka dilakukan uji lanjut dengan
uji perbandingan Duncan 1 %
Data hasil organoleptik dikaji
menggunakan uji kesukaan terhadap
warna, rasa, bau dan tektur yang meng-
gunakan Uji Friedman. Sedangkan pe-
milihan perlakuan terbaik meng-
gunakan metode Indeks efektifitas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tahap I Sari Temulawak
Pengamatan pada penelitian
Tahap I meliputi kadar air, gula
reduksi, aktivitas antioksidan, ren-
demen, pH, reabsorpsi, kecerahan,
intensitas warna merah (a+), intensitas
warna kuning (b+) serta uji orga-
noleptik yang terdiri dari rasa, warna
dan aroma.
Kadar Air
Hasil analisis sidik ragam
(Lampiran 13) menunjukkan bahwa
35
rerata kadar air 20.602% ; kadar abu
1.267% ; gula reduksi 20.700% ; serat
kasar 1.428% ; antioksidan (DPPH)
6.493% serta rerata tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa 3.900 ; warna
4.667 ; aroma 3.533 dan tekstur 4.100.
Perhitungan BEP dicapai pada
volume penjualan 2.131 Kg atau senilai
Rp. 83,918,794,-. Nilai payback period
dicapai pada 1 tahun 3 bulan 21 hari.
Nilai Net Present Value (NPV) sebesar
Rp. 52.868.819,-. Nilai Profitability
Index (PI) sebesar 1.575 dengan
demikian unit usaha industri kembang
gula jelly kulit buah naga super merah
layak dilaksanakan.
Saran
Perlu dikaji penelitian lebih
lanjut tentang pembuatan sirup kulit
buah naga super merah (Hylocereus
costaricensis) sehingga kontinuitas
bahan baku dapat terjaga dan kapasitas
produksi dapat ditingkatkan sepanjang
tahun mengingat buah naga super
merah termasuk dalam buah musiman.
DAFTAR RUJUKAN
Anonymous. 2002. Genetic resource
and conservation. Durio-
A.Bibiographic Review. http://
www.ipgri.cgiar.org.region/expo
/publication/durio.htm. 4
Agustus, 2009.
__________. 2004. Manfaat Rumput
Laut dan Algae. Artikel
Seaweed.
http://rumputlaut.org/datalama/ar
tikel/Manfaat%20Rumput%20La
ut%20dan%20Algae.pdf. Akses
12 Desember 2009.
__________. 2007a. Permen Jelly.
Teknologi Pangan dan
Agroindustri. Vol. 1. Nomor 10.
Jurusan Teknologi Pangan dan
Gizi IPB. Bogor.
__________. 2007b. Hylocereus
polyrhizus Buah Naga. Jabatan
Pertanian Sabah. Unit
Perkhidmatan Pengembangan
Pertanian .Pejabat Pertanian
Tawau.
Afrianto, E dan E, Liviawati, 1989.
Budidaya Rumput Laut dan
Cara Pengolahannya. Bhatara.
Jakarta.
Angkasa, Wisman Indra, Heri Purwoto,
Jana Anggadiredja. 2008.
Teknik Budidaya Rumput
Laut.
http://kenshuseidesu.tripod.com.
Akses 10 Desember 2009.
AOAC, 1990. Association of Official
Analytical Chemist Official
Methods of Analysis food
composition. 15
th
edition. Vol
II. Agricultural chemical;
Contaminants; Drugs.
Apriadji, W.H. 2002a. Makanan juga
bisa berfungsi sebagai obat.
Sedap Sekejap Edisi 7/II: 72
Apriadji, W.H.2002b. Manfaat sehat
food combining. Sedap Sekejap
Edisi7/III:70
A/S Kobenhvs Pektifabrik, 1978.
36
Carrageenan. Lilleskensved.
Denmark
Aslan, L.M 1991. Seri Budi Daya
Rumput laut.
Kanisius.Yogyakarta
Aslan, L.M 1998. Seri Budi Daya
Rumput laut.
Kanisius.Yogyakarta
Astawan, Made. 2007a. Agar-agar
Pencegah Hipertensi dan
Diabetes.
http://askara09.wordpress.com.
Akses 14 Oktober 2009.
Djadmika, Eko. 1988. Pembuatan
Minuman Berkarbon Sari
Lidah Buaya (Aloe Vera).
Institut Pertanian Bogor.
DKP. 2008. Dorong Rumput Laut
Sebagai Sumber Pangan Dan
Energi. Siaran Pers No.
66/PDSI/X/2008
http://www.dkp.go.id Akses 23
Juli 2009
Doty MS. 1985. Eucheuma alvarezii
sp.nov (Gigartinales,
Rhodophyta) from Malaysia.
Di dalam: Abbot IA, Norris JN
(editors). Taxonomy of Economic
Seaweeds. California Sea Grant
College Program. p 37 45.
Escribano, J., Pedreo, M.A., Garcia-
Carmona, F. & Muoz, R. 1998.
Characterization of the
Antiradical Activity of
Betalains from Beta Vulgaris
L. Roots. Phytochemical
Analysis 9: 124-127.
Evy Syariefa. 2009. Merah super.
Trubus Majalah Pertanian
Indonesia : Gao-Xi, A. and Wan,
R. 2004. Study in producing
piytaya ice cream. China-Dairy
industry 32 (10): 9-11.
Glicksman M. 1983.. Gum
Technology in the Food
Industry. New York: Academic
Press. p 214- 224.
Goldberg, I. 1994. Functional Foods.
Chapman & Hall. London,
Englan duiseley and Renn, 1977
Halimah Abdullah Sani, Asmazila .B,
Muhammad Azam. A & Isma
Illyani. I. 2009. Keberkesanan
Ekstrak Hylocereus polyrhizus
Merendahkan Lipid Serum
dan Aras MDA-TBAR Hati
Tikus Teraruh
Hiperkolesterolemia (
Effectiveness of Hylocereus
polyrhizus Extract in
Decreasing Serum Lipids and
Liver MDA-TBAR Level in
Hypercholesterolemic Rats).
Sains Malaysiana 38(2)(2009):
271279.
Hambali,Erliza 2004. Membuat
Aneka Olahan Rumput Laut.
Penebar
Swadaya . Jakarta.
Hellebust JA, Cragie JS. 1978.
Handbook of Phycological
Methods. London:Cambridge
University Press. p 54-66.
65
digunkan soda kue dengan aktifitas
cepat karena memiliki kelarutan yang
tinggi dalam air dingin, sehingga
pelepasan karbondioksidanya juga
cepat (Winarno, 1997). Sedangkan
soda kue dengan aktifitas lambat
banyak digunakan sebagai bahan
pengembang dalam adonan roti atau
biskuit.
Pada pembuatan effervescent
temulawak yang dilakukan oleh Zuhroh
(2001), penggunaan Na-bikarbonat
505 merupakan hasil yang terbaik.
Wardiningrum (2001) menggunakan
Na-bikarbonat 32% pada pembuatan
effervescent mengkudu.
Asam Sitrat
Asam sitrat adalah asam dengan
3 gugus karboksil, berbentuk granula
atau bubuk putih, tidak berbau dan
meniliki karakteristik rasa asam,
dengan rumus C
6
H
8
O
7.
Asam sitrat merupakan asidulan
pangan yang mempunyai fungsi
bervariasi. Industri makanan dan
minuman kebanyakan mengkonsumsi
asidulan untuk mempertegas flavour
dan warna. Hui (1992), lebih lanjut
menyebutkan fungsi lain asam sitrat
adalah mengontrol keasaman dengan
beberapa alasan. Pengontrolan pH yang
tepat akan mempercepat pertumbuhan
mikroba dan bertidak sebagai pengawet
serta membantu zat antioksidan
terjadinya reaksi pencoklatan. Jumlah
asam sitrat yang ditanbahkan pada
minuman tidak berkarbonasi tergantung
flavour produk dengan
mempertimbangkan hasil evaluasi ke-
sukaan konsumen.
Asam sitrat digunakan sebagai
asidulan pertama dalam minuman
terkarbonasi dan minuman bubuk yang
memberikan rasa jeruk yang tajam.
Asam sitrat yang digunakan dalam
effervescent umumnya dalam bentuk
monohidrat digunakan sebagai sumber
asam dalam pembuatan serbuk atau
tablet effervescent karena memiliki
kelarutan yang tinggi dalam air dingin,
mudah didapat dalam bentuk granular
atau serbuk (Reynold, 1982)..
Pada pembuatan serbuk
effervescent beras kencur, Husna
(2003) menyimpulkan bahwa peng-
gunaan asam sitrat 50% memberikan
hasil yang terbaik. Wardiningrum
(2001), menyimpulkan bahwa
penggunaan asam sitrat 32% mem-
berikan hasil terbaik pada pembuatan
effervescent mengkudu.
Aspartam
Aspartam adalah dieptil metil
ester yang terdiri dari dua asam amino,
yaitu fenil alanin dan asam aspartat.
Senyawa ini mudah larut dalam air dan
sedikit terlarut dalam alkohol dan tidak
larut dalam lemak atau minyak
(Reynolds, 1982).
Aspartam memiliki rasa manis
160 sampai 200 kali sukrosa, tidak ada
rasa pahit atau after teste yang
serinng terdapat pada pemanis buatan.
Satu gram aspartam setara dengan 200
gram gula. Aspartam paling stabil pada
suasana asam lemah yaitu antara pH 3-
5 pada suhu 25
o
C (Anonymous 2002).
Aspartam terdekomposisi jika
mendapat perlakuan panas sehingga
intensitas rasa manisnya berkurang .
64
Effervescent
Garam effervescent
merupakan garam atau serbuk kasar
sampai kasar sekali mengandung unsur
obat dalam campuran kering biasanya
terdiri dari bahan obat, asam tartrat,
asam sitrat, dan sodium bikarbonat
(Agatha, 2006).
Menurut Ansel (1989), granula
adalah gumpalan-gumpalan partikel
kecil yang dibuat dengan melembabkan
serbuk yang diinginkan lalu
melewatkannya pada celah ayakan
dengan ukuran lubang sesuai dengan
ukuran granula yang dihasilkan.
Reaksi yang terjadi pada
pelarutan effervescent adalah reaksi
antara senyawa asam dan senyawa
karbonat untuk menghasilkan gas
karbondioksida yang memberikan efek
sparkle atau rasa seperti air soda.
Reaksi ini dikehendaki terjadi secara
spontan ketika effervescent di-
larutkan dalam air. Ansel (1989),
menambahkan, larutan dengan kar-
bonat yang dihasilkan menutupi rasa
garam atau rasa yang tidak diinginkan
dari zat obat. Formula garam
effervescent resmi yang ada unsur
pembentuk effervescent terdiri dari
53% sodium karbonat, 28% asam
tartrat, dan 19% asam sitrat.
Minuman dalam bentuk serbuk
ini memiliki keunggulan yaitu
kestabilan produk dan massanya lebih
kecil serta bisa memenuhi permintaan
dalam skala yang besar (Susilo, 2005).
Natrium Bikarbonat
Senyawa karbonat yang banyak
digunakan dalam formulasi
effervescent adalah garam karbonat
kering karena kemampuannya meng-
hasilkan karbondioksida. Garam
karbonat tersebut antara lain Na-
bikarbonat, Na-karbonat, K-bikarbonat,
Na-seskuikarbonat dan lain-lain. Na-
bikarbonat (NaHCO
3
) dipilih sebagai
senyawa karbondioksida dalam sistem
effervescent karena harganya murah
dan bersifat larut sempurna dalam air.
Ansel (1989), menambahkan bahwa
Na-bikarbonat bersifat non higroskopis
dan tersedia secara komersial mulai
dari bentuk bubuk sampai bentuk
granular dan mampu menghasilkan
52% karbondioksida.
Na-Bikarbonat (NaHCO
3
) me-
rupakan serbuk kristal berwarna putih
yang mampu menghasilkan kar-
bondioksida. Na-bikarbonat memiliki
berat molekul 84,01 (tiap gramnya
mengandung 11,9 mmol natrium), Na-
bikarbonat anhidrat terkonversi pada
suhu 250-300
o
C, pada RH di atas 85%
akan cepat menyerap air dari
lingkungannya dan menyebabkan
dikomposisi dengan hilangnya
karbondioksida dapat mengalami
dekomposisi karena adanya panas yaitu
pada suhu diatas 120
o
C (Reynolds
1982)
Na-Bikarbonat sering disebut
sebagai soda kue, terdapat dua macam
soda kue yaitu soda kue dengan
aktifitas cepat (aktifitas tinggi) dan
soda kue dengan aktifitas lambat
(aktifitas ganda). Perbedaan antara
keduanya adalah pada mudah tidaknya
komponen asam larut dalam air dingin.
Untuk produk-produk effervescent
37
Hidayat Nur, Ken Ikaristiana, 2006.
Membuat Permen Jelly. Trubus
Agrisarana. Surabaya.
Kumalaningsih, Sri, 2006,
Antioksidan Alami Penangkal
Radikal Bebas. Trubus
Agrisarana. Surabaya.
Langseth, Lilian. 1995. Oxidant,
Antioxidant, and Disease
Prevention. International Life
Science Institute press. Belgium.
Li Chen Wu, Hsiu-Wen Hsu, Yun-
Chen Chen, Chih-Chung Chiu,
Yu-In Lin and Annie Ho . 2005.
Antioxidant And
Antiproliferative Activities Of
Red Pitaya . Department of
Applied Chemistry, National
Chi-Nan University, Nomor 1
University Road, Puli, Nantou,
545 Taiwan
38
PEMANFAATAN IKAN GABUS (Ophiocephalus striatus)
MENJADI BAKSO DALAM RANGKA PERBAIKAN GIZI
MASYARAKAT
DAN UPAYA MENINGKATKAN NILAI EKONOMISNYA
Deny Utomo, Rekna Wahyuni, Rakhmad Wiyono
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan proporsi
ikan gabus dan tepung tapioka yang tepat sehingga diperoleh bakso ikan gabus
yang berkualitas baik secara fisik, kimia dan organoleptik serta mengetahui
aspek kelayakan finansial produksi bakso ikan gabus skala industri kecil.
Hasil penelitian tahap I menunjukkan perlakuan terbaik adalah
perlakuan tapioka 70% dan ikan gabus 30% dengan kadar air 49,27%, kadar
abu 10,365 mg/100 g, tekstur 13,05 N, kadar pati 18,805%, kadar lemak
1,7675%, kadar protein 22,8275%, kesukaan : warna 5,95 (mendekati suka),
kekenyalan 5,35 (antara agak suka sampai suka), aroma 6,4 (antara suka
sampai sangat suka) dan rasa 5,45 (antara agak suka sampai suka).
Hasil penelitian tahap II menghasilkan perhitungan aspek finansial
produk bakso ikan gabus skala industri kecil yang berkapasitas produksi 118
kg bakso ikan gabus / hari layak secara finansial dengan kriteria-kriteria
sebagai berikut: PBP sebesar 4,941 tahun, Net BC ratio= 1,223 , RCR = 1,372,
NPV (pada suku bunga pinjaman 15%) = Rp. 8.659.111,91, IRR = 16,53% ,
BEP = 4.851,86 unit atau Rp. 37.775.000,08 atau 6,9%.
Kata Kunci : Bakso Ikan Gabus
PENDAHULUAN
Ikan merupakan sumber pangan
hewani yang sudah dikenal berbagai
lapisan masyarakat di berbagai belahan
negara. Di Indonesia, ikan merupakan
sumber protein yang banyak dikon-
sumsi saat ini, mengingat sumber
protein hewani lain seperti daging sapi
sangat mahal yaitu Rp. 50.000/kg,
sedangkan daging ayam yang relatif
lebih murah banyak ditakuti ma-
syarakat karena merebaknya kasus flu
burung.
Mahalnya harga-harga produk
pangan sumber protein hewani
dibarengi meningkatnya kasus gizi
buruk di Indonesia menyebabkan
perlunya mencari alternatif sumber
protein yang murah. Alternatif sumber
protein hewani yang saat ini
memungkinkan untuk dikembangkan
adalah ikan gabus (Ophiocephalus
striatus) atau di Jawa dikenal sebagai
ikan kutuk. Ikan gabus merupakan
ikan yang banyak terdapat secara alami
di sungai-sungai dan bendungan serta
63
enolisable stiril keton mampunyai
kontribusi yang nyata pada sifat
antioksidan kurkumin.
Aktivitas antioksidan
temulawak segar lebih tinggi
dibandingkan temulawak bubuk
sebelum dilakukan penyimpanan
masing-masing 57,10% dan 43,10%
kedua bentuk temulawak tersebut
memiliki aktivitas antioksidan lebih
tinggi dibandingkan antioksidan
sintesis BHT 1% sebesar 34,49%.
Setelah penyimpanan selama 15 hari,
temulawak segar dengan penyimpanan
5 hari mempunyai aktivitas antioksidan
tertinggi sedangkan temulawak bubuk
dengan lama penyimpanan 15 hari
memiliki aktivitas terendah masing-
masing sebesar 51,37% dan 16,22%
(Sugiarto, 2004).
Dekstrin
Dekstrin merupakan
polisakarida yang dihasilkan dari
hidrolisis pati yang diatur oleh enzim-
enzim tertentu atau hidrolisis oleh
asam, berwarna putih sampai kuning.
Pada pembuatan dekstrin, rantai
panjang pati mengalami pemutusan
oleh enzim atau asam menjadi dekstrin
dengan molekul yang lebih pendek,
yaitu 6-10 unit glukosa, dengan rumus
molekul (C
6
H
10
O
5
)n. Berkurangnya
panjang rantai menyebabkan terjadinya
perubahan sifat dari pati yang tidak
larut dalam air menjadi dekstrin yang
mudah larut dalam air, memiliki
kekentalan lebih rendah dibandingkan
pati (Reynold, 1982).
Arief, (1987), mengemukakan
bahwa struktur molekul dekstrin
berbentuk spiral, sehingga molekul-
molekul flavor yang terperangkap di
dalam struktur spiral helix. Dengan
demikian penambahan dekstrin dapat
menekan kehilangan komponen
volatile selama proses pengolahan.
Dekstrin mempunyai viskositas
yang relatif rendah, sehingga
pemakaian dalam jumlah banyak
masih diijinkan. Hal ini justru akan
menguntungkan jika pemakaian
dekstrin ditujukan sebagai bahan
pengisi (filler) karena dapat
meningkatkan berat produk yang
dihasilkan (Warsiki, 1995).
Dekstrin dapat digunakan pada
proses enkapsulasi, untuk melindungi
senyawa volatile, melindungi senyawa
yang peka terhadap oksidasi atau
panas, karena molekul dari dekstrin
stabil terhadap panas dan oksidasi .
Dekstrin dapat melindungi stabilitas
flavor selama pengeringan dengan
menggunakan spray dryer (Suparti,
2000).
Warsiki, (1995),
mengemukakan bahwa kenaikan
konsentrasi dekstrin dari 5-15% akan
meningkatkan rendemen, densitas
kamba, penurunan kadar air, total
padatan terlarut serta gula pereduksi
tepung instan sari buah nanas. Wijaya,
(1995) dalam Suprapti (2000),
menyarankan penggunaan dekstrin
sebesar 1,5% pada pembuatan pewarna
bubuk dari daun suji dan daun pandan.
Konsentrasi dekstrin 12,5 % akan
memberikan perlakuan terbaik pada
pembuatan bubuk sari buah sirsak
menggunakan metode foam-mat
drying (Suryanto, 2000).
62
Kandungan Temulawak
Kandungan Zat yang terdapat
pada rimpang temulawak terdiri atas
pati, abu, serat, dan minyak atsiri.
Temulawak mengandung zat kuning
yang disebut kurkumin dan minyak
atsiri. Minyak atsirinya mengandung
phelandrin, kamfer, borneol,
xanthorrhozol, tumerol dan sineal.
Berkat kandungan kurkukmin dan
minyak atsiri tadi diduga penyebab
berkashiatnya temulawak (Susilo,
2005).
Rimpang temulawak segar
mengandung air sekitar 75 %. Selain
itu mengandung minyak atsiri, lemak
(fixed oil), zat warna, protein, resin,
selulosa, pati, mineral zat-zat
penyebab rasa pahit (Afifah, 2003).
Menurut Sumiati (1997), rimpang
temulawak dengan kadar air 10 %
memiliki komposisi yang terdiri atas
pati, lemak, kurkukmin, serat kasar,
protein, mineral dan minyak atsiri.
Komposisi rimpang temulawak
kering dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Rimpang
Temulawak Kering (kadar air
10 %)
Komposisi Kadar (%)
Pati
Lemak (fixed oil)
Minyak atsiri
Abu
Mineral
Serat kasar
Protein
Kurkumin
58.24
12.10
4.90
4.90
4.29
4.20
2.90
1.55
Sumber : Sumiati (1997)
Menurut Sidik, (1999),
menyatakan bahwa rimpang temulawak
kering mengandung 12 % kadar air, 7
- 30 % minyak atsiri, 37 - 61 %
karbohidrat dan 1 - 4 % kurkumin.
Minyak atsiri temulawak terdiri dari
40 komponen yang sebagian besar
terdiri dari kurkumin 41,4 % dan
xanthorrhizol 21,5 % Kedua zat
tersebut merupakan ciri khas minyak
atsiri temulawak
Antioksidan
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak
temulawak ternyata mempunyai efek
antioksidan. Sidik, (1999) mengukur
antioksidan dari jenis rimpang temu-
temuan dengan metoda Tiosianat dan
metoda Tiobarbituric Acid (TBA)
dalam sistem air-alkohol. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan ekstrak
temulawak ternyata lebih besar
dibandingkan dengan aktivitas tiga
jenis kurkuminoid diperkirakan
terdapat dalam temulawak. Jadi, diduga
ada zat lain selain ketiga kurkuminoid
tersebut yang mempunyai efek
antioksidan.
Berikut ini beberapa hasil
penelitian tentang zat aktif kurkumin
yang terdapat dalam tumbuhan
Kurkuma jenis lainnya. Dilaporkan
bahwa secara invitro, efek antioksidan
terjadi karena kurkumin berlaku
sebagai penangkap oksigen bebas dan
hidroksil bebas. Majeed, (1995)
menyatakan bahwa kurkumin lebih
aktif dibandingkan dengan vitamin E,
beta karotin, asam lipoat, dsb.
Selanjutnya dibuktikan bahwa gugus
fenol, metoksil, 1,3 diketon dan
39
belum pernah dibudidayakan. Nilai gizi
ikan gabus cukup tinggi, yaitu protein
sebesar 42% , lemak 1,7 %, dan juga
mengandung berbagai mineral dan
vitamin A; dengan demikian ikan gabus
sangat potensial untuk dikembangkan
dalam industri pangan.
Pengolahan ikan gabus perlu
dilakukan untuk lebih meningkatkan
nilai komersial ikan gabus dan
memperpanjang umur simpan.
Berbagai teknologi pengolahan produk
ikan telah banyak dilakukan, antara lain
pembuatan nuggets, berbagai jenis
sosis, abon maupun bakso; namun
pengolahan ikan yang relatif paling
sederhana, murah, tidak membutuhkan
bahan-bahan kimia tambahan dan
mudah dilakukan oleh rumah tangga
adalah bakso. Bakso juga merupakan
jenis makanan yang sudah umum
dikenal baik dikota bahkan di pelosok-
pelosok pedesaan, terjangkau oleh
berbagai kalangan ekonomi dan
digemari oleh berbagai lapisan usia;
berbeda dengan nuggets dan sosis yang
selama ini lebih dikenal sebagai produk
pangan untuk kalangan menengah
keatas.
Untuk memperoleh produk bakso
ikan gabus yang berkualitas dan disukai
konsumen, maka proses pembuatan
bakso harus diperhatikan. Faktor yang
terutama sangat mempengaruhi kualitas
bakso adalah jumlah penambahan
tapioka, oleh karena itu perbandingan
proporsi ikan dan tepung tapioka yang
tepat perlu diteliti sehingga didapatkan
bakso ikan gabus yang berkualitas baik
dari karakteristik fisik, kimia dan
tentunya disukai konsumen.
Kelayakan finansial produksi
bakso ikan gabus skala rumah tangga
pun perlu dikaji apakah mengun-
tungkan atau tidak, mengingat bahwa
pada saat ini tingkat inflasi dan suku
bunga selalu naik turun dan usaha skala
rumah tangga biasanya sangat rentan
terhadap perubahan-perubahan ter-
sebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus)
Ikan gabus merupakan ikan
karnivora yang suka memakan hewan
lain yang lebih kecil, seperti cacing,
udang, ketam, plankton dan udang
renik (Djuhanda, 1981).
Jenis-jenis ikan keluarga
Ophiocephalus adalah ikan gabus,
tomang, kerandang, yang hampir
ditemukan di seluruh wilayah
Indonesia.
Suprayitno (2006) Protein ikan
gabus segar mencapai 25,1%,
sedangkan 6,224 % dari protein
tersebut berupa albumin. Jumlah ini
sangat tinggi dibanding sumber protein
hewani lainnya. Albumin merupakan
jenis protein terbanyak di dalam plasma
yang mencapai kadar 60 persen dan
bersinergi dengan mineral Zn yang
sangat dibutuhkan untuk perkembangan
sel maupun pembentukan jaringan sel
baru seperti akibat luka dan
penyembuhan luka akibat operasi.
Selain itu, kadar lemak ikan gabus
relatif rendah dibandingkan kadar
lemak jenis-jenis ikan lain (tongkol
24,4% dan lele 11,2% lemak)
memungkinkan umur simpan ikan
gabus lebih panjang karena
40
kemungkinan mengalami ketengikan
lebih lama.
Bakso
Bakso adalah salah satu bentuk
olahan restrukturisasi daging yang
merupakan produk pangan berbentuk
bola atau yang lain, yang diperoleh
dari campuran daging / ikan yang telah
dihaluskan dengan cara digiling (kadar
daging/ikan minimal 50%) dan pati
atau serealia dengan atau tanpa
penambahan bahan-bahan kimia lain
serta bahan tambahan makanan yang
diijinkan (SNI, 1995).
Menurut Hardoko (1994) daging
ikan sebagai bahan utama pembuatan
bakso merupakan sumber protein
myofibril yang membentuk gel.
Sedangkan pati yang ditambahkan
berfungsi sebagai pembentuk sekaligus
memperbaiki adonan, meningkatkan
daya ikat air dan memperbaiki tekstur.
Kriteria mutu untuk tekstur
bakso adalah tekstur kompak, elastis,
tidak ada serat daging, tidak ada duri
dan tulang, tidak basah berair dan
rapuh (Wibowo, 1999). Proses
pengikatan ini merupakan suatu reaksi
yang dipengaruhi oleh pemanasan,
karena daging dalam keadaan segar
(Hardoko, 1994).
Proses pembuatan bakso ikan
meliputi: pencucian ikan segar,
pemisahan daging ikan dari duri dan
jerohan, penggilingan, penirisan,
pencampuran dengan tepung tapioka
dan bumbu-bumbu yaitu bawang
putih, merica, gula, garam, MSG yang
telah dihaluskan; kemudian pencetakan
berbentuk bola, perendaman dalam air
hangat 40
o
C 15 menit, perebusan
sampai mengapung (matang) dan
penirisan (Wibowo, 1999).
Tepung Tapioka
Pengolahan ubi kayu (Manihot
esculenta, Crantz) menjadi tepung
tapioka dalam industri makanan
Indonesia sebesar 19,7 % dari total
industri (Anonim, 2006).
Jones dan Amos (1967) dalam
Saraswati (1986) mengatakan bahwa
pati yang berasal dari ubikayu yaitu
tapioka merupakan bahan dasar
pembuatan kerupuk. Penggunaan
tapioka dalam pembuatan kerupuk
didasarkan atas kemampuan daya
kembang yang tinggi dibandingkan
dengan jenis tepung lainnya. Tapioka
mengandung amilosa 17% dan
amilopektin 83% dengan ukuran
granula 3-3,5 mikron, dengan nisbah
amilosa-amilopektin cukup tinggi
sehingga proses penyerapan air selama
pemasakan juga meningkat.
METODE PENELITIAN
Rancangan Percobaan
Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental dengan satu
variable bebas yaitu proporsi
penambahan tepung tapioka dan tujuh
variable tergantung yaitu kadar pati,
kadar protein, kekenyalan, warna,
tekstur, aroma dan rasa. Rancangan
pecobaan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok factor tunggal.
Prosedur Penelitian
a. Analisis proksimat daging ikan
gabus
61
Temulawak mengandung minyak atsiri
seperti limonina yang mengharumkan,
sedangkan kandungan flavonoida-nya
berkasiat menyembuhkan radang,
minyak atsiri juga bisa membunuh
mikroba. Kurkumin yang terdapat pada
rimpang tumbuhaan ini bermanfaat
sebagaai acnevulgaris, disamping
sebagai anti inflamasi, antioxidan, anti
hepototoksik (anti keracunan empedu)
dan anti tumor (Sidik, 1999).
Ramuan untuk menyembuhkan
kanker dapat dikonsumsi jika penyakit
ini masih dalam stadium dini, namun
bila tak kunjung ada perubahan atau
tanda membaik setelah minum ramuan
obat selama dua bulan , sebaiknya
berkonsultasi dengan dokter. Mangan,
(2004) ramuan untuk mengobati kanker
dapat dikonsumsi segera setelah
menjalani operasi pengangkatan
kanker dan radiasi. Hal ini di-
maksudkan untuk memutus rantai sel
kanker yang mungkin masih tertinggal.
Sementara itu, jika menjalani
pengobatan dengan kemoterapi, ra-
muan diminum dua minggu sejak
kemoteri dilakukan.
Jika dokter memberi obat,
ramuan sebaiknya diminum dua jam
sebelum atau sesudah mengkonsumsi
obat dari dokter. Rimpang temulawak
mengandung kurkumin dan mono-
destmetoksi kurkumin yang bersifat
anti tumor. Temulawak juga berkasiat
menghilangkan rasa nyeri dan sakit
karena kanker. Ekstrak temulawak
sangat dianjurkan untuk dikonsumsi
guna mencegah penyakit hati, terma-
suk hepatitis B yang menjadi salah
satu factor resiko timbulnya kanker
hati. Disamping itu, juga terbukti bisa
menurunkan kadar colesterol dalam
darah dan sel hati. Semua kasiat itu
berkat adanya kandungan kurkumin,
yakni zat yang berguna untuk menjaga
dan menyehatkan hati atau lever atau
istilah medisnya hepatoprotektor.
(Hadi, 1985). Tanaman khas Indonesia
satu ini memiliki potensi yang luar
biasa untuk dikembangkan sebagai
tanaman obat. Bahkan konon, tanaman
ini memiliki keunggulan setara dengan
ginseng Korea. Tidak heran, banyak
orang menganggap, temulawak sebagai
ginsengnya Indonesia.
Tanaman obat jenis temulawak
ternyata dapat mencegah terjadinya
berbagai berbagai macam penyakit
seperti kolesterol, jantung koroner,
stroke dan rematik. Karena temulawak
mengandung senyawa aktif kurkumin
yang mempunyai aktifitas sebagai
antioksidan dan imunostimulator /
imunomodulator. Aktivitas imono-
modulator dari kurkumin dapat
meningkatkan daya tahan tubuh
terhadap serangan penyakit sehingga
tidak mudah sakit. Kurkuminnoid
sebagai sekumpulan senyawa yang
terdapat dalam temulawak telah
terbukti secara cepat dapat menurunkan
kadar SGPT dan SGOT pada penderita
hepatitis (Sampurno, 2005).
Masyarakat dianjurkan tidak
menkonsumsi temulawak melebihi 1
ons per hari karena dikawatirkan akan
menimbulkan efek samping. Masya-
rakat dianjurkan mengkonsumsi temu-
lawak tiga kali sehari dengan takaran
1/3 ons untuk sekali minum (Kerti,
2005).
60
cm dan lebar antara 10 18 cm.
Tanaman temulawak membentuk
rimpang induk bulat panjang dengan
anak rimpang sebanyak 3 7 buah.
Permukaan luar rimpang berkerut dan
berwarna coklat kuning sampai coklat
sedangkan bidang irisannya berwarna
coklat kuning buram, melengkung tidak
beraturan/tidak rata, sering dengan
tonjolan melingkar pada batas antara
silinder pusat dengan korteks
(Syamsudin, 1999).
Bunga muncul dari camping
batang, berbentuk bulir bulat meman-
jang dengan panjang antara 9-23 cm
dan lebar 4-6 cm. Daun pelindung
bunga banyak dan panjangnya melebihi
atau sama dengan mahkota bunga,
berbentuk bulat telur sungsang sampai
bentuk jorong berwarna merah, ungu
atau putih. Wahid, (1999), kelopak
bunga berwarna putih dan mahkota
bunga berbentuk tabung dengan
panjang keseluruhan 4-5 cm. Tabung
berwarna putih atau kuning, berukuran
2 2,5 cm Benang sari berwana
kuning muda dengan ukuran panjang
12 16 mm, lebar 10 15 mm,
tangkai sari panjang 3 4,5 mm, lebar
2,5 4,5 mm. Kepala sari berwarna
putih, panjang 6 mm, tangkai putik
panjang 3 7 mm, buah berbulu
panjang 20 mm.
Potensi dan Produksi Temulawak
Tanaman temulawak merupakan
salah satu tanaman obat yang mem-
punyai prospek cerah untuk dikem-
bangkan. Anonymous, (2004), eksport
temulawak Indonesia th 2003 sebesar
5,452 juta dolar AS dengan volume
9,149 ton. Pengembangan tanaman
temulawak di Indonesia sangat
potensial karena didukung dengan
jumlah produksi rimpang temulawak
yang mengalami peningkatan sejak
2001 - 2002. Jumlah prosi rimpang
temulawak pada tahun 1998 - 2002
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Produksi Rimpang
Temulawak
Tahun Jumlah produksi (kg)
1998 11.559400
1999 4.615.800
2000 5.674.100
2001 6.089.077
2002 7.173.513
Sumber : BPS di dalam Statistika Pertanian
(2003).
Khasiat Rimpang Temulawak
Tumbuhan temulawak secara
empirik banyak digunakan sebagai
obat dalam bentuk tunggal maupun
campuran untuk mengatasi saluran
pencernaan, gangguan aliran getah
empedu, sembelit, radang rahim,
kencing nanah, kurang nafsu makan,
obesitas, radang lambung, cacar air,
ambeien, perut kembung, memulihkan
kesehatan sehabis melahirkan (Afifah,
2003).
Komposisi kimia dari rimpang
temulawak adalah protein pati sebesar
29 - 30 persen, kurkumin 1 - 2 %, dan
minyak atsiri 6 - 10 persen. Daging
buah rimpang temulawak mempunyai
kandungan senyawa kimia antara lain
berupa fellandrean dan tumerol atu
yang sering disebut minyak menguap.
Kemudian minyak atsiri, kamfer,
glukosida, foluymetik karbinol.
41
Ikan gabus dicuci bersih dan
diambil sample daging secukupnya
untuk dilakukan analisis proksimat
yang meliputi: kadar air, kadar protein,
kadar lemak, tekstur, kadar pati dan
kadar abu. Masing-masing analisis
dilakukan tiga kali (triplo) untuk
memperoleh nilai rata-rata ( x ) dan
simpangan baku (S
d
).
b. Pembuatan bakso ikan gabus
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan
dengan melakukan analisis
karakteristik kimia yaitu kadar pati dan
kadar protein; karakteristik fisik yaitu
kekenyalan dan karakteristik
organoleptik yaitu kesukaan terhadap
warna, tekstur, aroma dan rasa. Data
yang meliputi karakteristik kimia dan
fisik diperoleh dari laboratorium,
sedangkan data karakteristik
organoleptik diperoleh dari pengisian
skor kesukaan oleh panelis minimal 20
orang. Skala nilai kesukaan mulai dari
1 (sangat tidak suka ) sampai 7 (sangat
suka).
Analisis Data
Analisis ragam dilakukan untuk
mengetahui adanya pengaruh perlakuan
perbandingan proporsi daging ikan dan
tepung tapioka terhadap kadar pati,
kadar protein, kekenyalan , warna,
tekstur, aroma dan rasa.
Apabila dari hasil analisis ragam
terdapat pengaruh perlakuan maka
dilanjutkan dengan Uji Beda Duncan
(Duncan Multiple Range Test) terhadap
data kuantitatif ( kadar protein, kadar
pati dan kekenyalan) untuk mengkaji
perlakuan mana yang berbeda nyata.
Untuk parameter-parameter ber-
sifat kualitatif yaitu kesukaan warna,
tekstur, aroma dan rasa dilakukan
analisis ragam dengan metode
Friedman (Basker, 1988).
Pengambilan Keputusan
Pengambilan Keputusan dilaku-
kan untuk menentukan perlakuan mana
yang terbaik dengan mempertimbang-
kan ke tujuh variable tergantung
tersebut. Metode pengambilan
keputusan yang dipergunakan adalah
Metode Indeks Efektivitas (De Garmo,
1980).
Analisis Kelayakan Finansial dan
Analisis Sensitivitas
Analisis kelayakan finansial
dilakukan terhadap perlakuan proporsi
ikan gabus dan tepung tapioka yang
terpilih berdasarkan tahap 5 diatas.
Kriteria-kriteria kelayakan finansial
yang akan diukur meliputi (Husnan dan
Suwarsono, 1991) :
- Net Present Value
- Break Even Point (kg, Rp)
- Internal Rate of Return
- Payback Period
Sedangkan analisis sensitivitas
dilakukan untuk mengetahui pengaruh
perubahan-perubahan variabel eksogen
(asumsi-asumsi) terhadap keputusan
investasi, yaitu sampai seberapa jauh
variabel-variabel eksogen tersebut
(naik/turun) dapat ditolerir tanpa
merubah keputusan investasi. Variabel-
variabel eksogen yang dipertim-
bangkan:
1. penurunan penerimaan penjualan
42
2. Kenaikan Biaya Operasional
3. Penurunan Penerimaan dan
Kenaikan Biaya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Kadar air bakso ikan gabus
berkisar antara 46,72% (tapioka 90%
dan ikan gabus 10%) hingga 53,21%
(tapioka 40% dan ikan gabus 60%).
Grafik hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kadar air bakso ikan dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa
semakin rendah
proporsi tapioka
dan semakin
tinggi ikan gabus
menyebabkan
makin tingginya
kadar air bakso,
dengan mengikuti
pola persamaan
linear y = 1,1705x
+ 45,546.
koefisien regresi
sebesar 94,98%
menunjukkan
bahwa perlakuan
proporsi ikan
gabus dan tapioka
mempunyai
pengaruh besar
terhadap kadar air
bakso ikan
Tabel 1 me-
nunjukkan rerata
kadar air akibat
perlakuan pro-
porsi ikan gabus
dan tapioka.
Tabel 1 menunjukkan bahwa
kadar air bakso tertinggi adalah akibat
perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus
60%, sedangkan kadar air terendah
adalah akibat perlakuan Tapioka 90% -
ikan gabus 10% dan tidak berbeda nyata
dengan perlakuan Tapioka 80% - ikan
gabus 20%. Tampak pada Tabel 3
bahwa makin rendah kadar tapioka dan
makin tinggi ikan gabus menyebabkan
makin tinggi kadar air bakso. Hal ini
berkaitan dengan proses gelatinisasi pati
yang terkandung dalam tapioka dan
pembentukan ikatan silang antara pati
dengan protein
yang telah
mengalami de-
naturasi. Eskin
et al. (1971)
dalam Wibowo
(1999) me-
nyatakan bah-
wa reaksi gela-
tinisasi pati dan
denaturasi pro-
tein menyebab-
kan air terpe-
rangkap dalam
matriks kom-
pleks pati-pro-
tein, sedangkan
gelatinisasi pati
tersebut terjadi
pada suhu re-
latif tinggi (le-
bih dari 60
o
C)
menyebabkan
granula pati
membengkak
terisi air. De
y = 1,1705x + 45,546
R
2
= 0,9498
42
44
46
48
50
52
54
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
a
d
a
r

a
i
r

(
%
)
kadar air
Linear (kadar air)
Gambar 1. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kadar air
Tabel 1. Kadar Air Bakso Ikan Gabus
Perlakuan Kadar Air
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 46,7175c
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 48,1975bc
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 49,27b
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 49,51b
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 50,9525b
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 53,21a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
59
menjadi bentuk anhydraus dengan
pemanasan diatas 74
o
C (Anonymous,
2007). Asam sitrat sering digunakan
sebagai sumber asam dalam pembuatan
serbuk atau tablet effervescent karena
memiliki kelarutan yang tinggi dalam
air dingin, mudah didapat dalam bentuk
granular atau serbuk.
Na-Bikarbonat (NaHCO
3
) meru-
pakan serbuk kristal putih yang mampu
menghasilkan karbondioksida. Na-
Bicarbonat memiliki berat molekul
84,01 (tiap gramnya mengandung
11,9 mmol natrium). Na-Bicarbonat
anhidrat terkonversi pada suhu 250
0
C-
300
0
C, pada RH di atas 85 % akan
menyerap air dari lingkungannya dan
menyebabkan dekomposisi dengan
hilangnya karbondioksida (Reynolds,
1989). Pada pembuatan effervescent
mengkudu yang dilakukan oleh
Wardiningrum (2001), penggunaan
Na-Bicarbonat (NaHCO
3
) 32%
merupakan hasil yang tebaik. Pada
pembuatan effervescent ubi jalar ungu
digunakan Na-Bicarbonat (NaHCO
3
)
10 %.
Sejauh ini penelitian pembuatan
serbuk effervescent dari temulawak
dengan menggunakan kombinasi kajian
suhu pengering, dekstrin, asam sitrat
dan Na-Bicarbonat (NaHCO
3
) belum
banyak diungkapkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) termasuk famili Zingberaceae.
Temulawak satu famili dengan anggota
temu-temuan lainnya, yakni temu hitam
(Curcuma aeruginosa), kunyit
(Curcuma domestica Val.), kencur
(Kaempferia galanga) dan jahe
(Zingiber officinale Rosc). Di
sepanjang daerah tropis dan subtropis,
famili Zingiberaceae terdiri dari 47
genus dan 1400 spesies (Afifah, 2003).
Temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb) merupakan tanaman asli
Indonesia yang tumbuh liar di hutan-
hutan beberapa pulau di Indonesia
seperti Jawa, Madura, Maluku,
Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara
Temulawak sering kali dikaitkan
dengan kehadiran suku jawa. Dengan
meluasnya penggunaan temulawak,
saat ini sudah dilakukan
pembudidayaan terutama di Pulau jawa
(Rukmana, 2000).
Tumbuhan temulawak menyukai
lingkungan lembab terlindung, se-
hingga sering tumbuh di hutan jati atau
hutan bambu. Tanaman temulawak
merupakan tanaman hutan, namun
dapat tumbuh ditempat yang agak
cerah (Ramlan, 1999). Temulawak
dapat ditanam pada tanah yang agak
berpasir sampai tanah berat bertekstur
liat, dan dapat tumbuh pada ketinggian
5 - 1.500 meter diatas permukaan laut
(Hargono, 1985).
Temulawak termasuk tananaman
berbatang semu basah, berwarna hijau
atau coklat gelap, membentuk rumpun
yang tingginya bervariasi. Ada yang
mencapai 0,5 2,5 m tergantung
keadaan lingkungan tumbuhnya. Da-
unnya melebar panjang mirip daun
pisang dan tiap tanaman mempunyai
daun antara 2 9 helai, berwarna hijau
atau coklat keunguan terang sampai
gelap dengan ukuran panjang 31 84
58
penggunaannya sebagai sumber bahan
pangan, bahan baku industri, atau
bahan baku obat dapat dibedakan atas
beberapa fraksi, yaitu : fraksi pati,
fraksi kurkuminoid, dan fraksi minyak
atsiri (Sidik, 1999).Pada saat ini telah
banyak perusahaan obat tradisional
yang memproduksi jamu dalam bentuk
ekstrak, sehingga sedikit demi sedikit
akan menggantikan sebagian jamu
bentuk serbuk (terikut ampasnya) yang
dikatakan kurang efisien. Perusahaan
obat tradisional melakukan penyarian
bahan dengan cara menggodog
rajangan dan serbuk bahan dengan air
panas. Hal ini akan menyebabkan
gugus aktif bahan penyusun jamu
yang tersari kurang efektif (Pramono,
1999). Oleh karena itu dicari teknik
pengolahan yang tidak banyak
merusak gugus aktif.Serbuk
effervescent merupakan alternatif
pengembangan produk minuman
ringan yang menarik dan memberikan
variasi dalam penyajian minuman
tradisional juga praktis dalam
penyimpanan dan transportasi
dibanding minuman ringan biasa
dalam bentuk cair.
Keunggulan serbuk effervescent
dibanding minuman serbuk biasa
adalah kemampuan untuk
menghasilkan gas karbondiksida (CO
2
)
yang memberikan rasa segar seperti
pada air soda. Kartika (2000), adanya
gas tersebut akan menutupi rasa pahit
serta mempermudah proses
pelarutannya tanpa melibatkan
pengadukan secara manual, dengan
syarat semua omponennya bersifat
sangat mudah larut dalam air.
Komponen penyusun minyak atsiri
antara lain, Germakron berbentuk
kristal jarum tidak berwarna
mempunyai bobot molekul 218, rumus
molekul C
15
H
22
O. dengan titik leleh 53
55
o
C (Sidik, 1999). Oleh karena itu,
pengolahan rimpang temulawak
diperlukan perlakuan suhu pengeringan
di bawah titik leleh, untuk mem-
pertahankan gugus aktif temulawak
yang merupakan salah satu penentu
kualitas produk.
Teknologi pengeringan yang
mudah diterapkan dan murah yaitu
metode foam-mat draying.
Penambahan bahan pengisi seperti
dekstrin diperlukan dalam pembuatan
bubuk sari temulawak dengan metode
foam-mat draying, dengan tujuan untuk
mempercepat pengeringan dan
mencegah kerusakan akibat panas,
melapisi komponen flavour,
meningkatkan total padatan, dan
memperbesar volume (Murtala, 1999).
Penggunaan pengeringan dengan suhu
502
0
C dan penambahan dekstrin
12,5% menghasilkan produk terbaik
pada pembuatan bubuk sari buah sirsak
(Suryanto, 2000) Teknologi
pengeringan ini, diharapkan dapat
mendukung pengembangan temulawak
menjadi bentuk bubuk sari temulawak
yang berkualitas.
Dalam minuman terkarbonasi
dan minuman bubuk asam sitrat dapat
memberikan rasa jeruk yang tajam.
Asam sitrat yang digunakan dalam
effervescent umumnya dalam bentuk
monohidrat didapatkan dari kristalisasi
asam sitrat dalam air dingin bentuk
monohidrat tersebut dapat diubah
43
y = 0,0599x + 10,178
R
2
= 0,9245
10
10,1
10,2
10,3
10,4
10,5
10,6
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
a
d
a
r

a
b
u

(
%
)
kadar abu
Linear (kadar abu)
Gambar 2. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kadar abu
Mann (1997) menyatakan bahwa
adanya molekul-molekul protein yang
tinggi dalam bahan makanan akan
mengikat uap air dengan baik; hal ini
karena kemampuan ikat air dari asam
amino rantai samping yaitu
hidrokarbon. Hal ini mengakibatkan
bakso dengan proporsi ikan gabus yang
lebih tinggi menghasilkan bakso
dengan kadar air yang lebih tinggi pula.
Kadar Abu
Kadar abu bakso ikan gabus
berkisar antara 10,205% (tapioka 90%
dan ikan gabus
10%) hingga
10,5175% (ta-
pioka 40% dan
ikan gabus
60%). Grafik hu-
bungan antara
perlakuan pro-
porsi tapioka dan
ikan gabus de-
ngan kadar abu
bakso ikan dapat
dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2
menunjukkan
bahwa semakin
rendah proporsi
tapioka dan se-
makin tinggi
ikan gabus me-
nyebabkan ma-
kin tingginya
kadar abu bakso,
dengan meng-
ikuti pola persa-
maan linear y =
0,0599x + 10,178. koefisien regresi
sebesar 92,45% menunjukkan bahwa
perlakuan proporsi ikan gabus dan
tapioka mempunyai pengaruh besar
terhadap kadar abu bakso ikan. Tabel 2
menunjukkan rerata kadar abu akibat
perlakuan proporsi ikan gabus dan
tapioka.
Tabel 2 menunjukkan bahwa
kadar abu bakso tertinggi adalah akibat
perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus
60% meskipun tidak berbeda dengan
Tapioka 50% - ikan gabus 50% maupun
Tapioka 60% - ikan gabus 40%,
sedangkan ka-
dar abu teren-
dah adalah
akibat perlaku-
an Tapioka
90% - ikan
gabus 10%.
Tampak
pada Tabel 2
bahwa makin
rendah kadar ta-
pioka dan ma-
kin tinggi ikan
gabus menye-
babkan makin
tinggi kadar
abu bakso. Hal
ini berkaitan de-
ngan kandung-
an alami mine-
ral yang ter-
kandung dalam
ikan gabus.
Hadiwiyoto
(1993) menya-
Tabel 2. Kadar Abu Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Kadar
Abu
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 10,205b
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 10,34ab
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 10,365ab
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 10,39a
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 10,51a
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 10,5175a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda
pada taraf 5%
44
takan bahwa ikan gabus mengandung
beberapa mineral yaitu Zinc sebesar
1,74 mg/100 g, Besi 0,9 mg/100 g,
Kalsium 62,0 mg/100 g dan Fosfor 176
mg/100 g.
Tekstur
Tekstur bakso ikan gabus berkisar
antara 10,05 N (tapioka 90% dan ikan
gabus 10%)
hingga 17,025 N
(tapioka 40%
dan ikan gabus
60%). Grafik hu-
bungan antara
perlakuan pro-
porsi tapioka
dan ikan gabus
dengan tekstur
bakso ikan dapat
dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3
menunjukkan
bahwa semakin
rendah proporsi
tapioka dan
semakin tinggi
ikan gabus me-
nyebabkan
makin tingginya
tekstur bakso,
dengan
mengikuti pola
persamaan linear
y = 1,5293x +
8,46. koefisien regresi sebesar 96,49%
menunjukkan bahwa perlakuan
proporsi ikan gabus dan tapioka
mempunyai pengaruh besar terhadap
tekstur bakso ikan. Tabel 3
menunjukkan rerata tekstur akibat
perlakuan proporsi ikan gabus dan
tapioka.
Tabel 3 menunjukkan bahwa tekstur
bakso tertinggi adalah akibat perlakuan
Tapioka 40% - ikan gabus 60%
meskipun tidak berbeda dengan Tapioka
50% - ikan
gabus 50%, se-
dangkan teks-
tur terendah a-
dalah akibat
perlakuan Ta-
pioka 90% -
ikan gabus
10% dan tidak
berbeda de-
ngan Tapioka
80% - ikan
gabus 20%.
Tampak pada
Tabel 3 bahwa
makin rendah
kadar tapioka
dan makin
tinggi ikan
gabus menye-
babkan makin
tinggi tekstur
bakso, atau
bakso makin
kenyal sehing-
ga butuh ener-
gi lebih besar
untuk mene-
kannya. Hal ini berkaitan dengan
pembentukan matriks antara pati dan
protein selama proses pemasakan. Pada
matriks terebut terdapat ikatan silang
y = 1,5293x + 8,46
R
2
= 0,9649
8
10
12
14
16
18
20
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
t
e
k
s
t
u
r

(

N
)
tekstur
Linear (tekstur)
Gambar 3. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
tekstur
Tabel 3. Tekstur Bakso Ikan Gabus
Perlakuan Tekstur
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 10,05d
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 10,95d
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 13,05c
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 15,425b
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 16,375ab
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 17,025a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda
pada taraf 5%
57
perlakuan konsentrasi dekstrin 20% dan suhu pengering 50C
merupakan perlakuan terbaik tahap I dari serbuk sari temulawak yang
memiliki karakteristik kadar air 10,11%; tingkat kecerahan (L*)
55,10; tingkat kemerahan (a*) 14,56; tingkat kekuningan (b*) 44,20;
rendemen 24,63%; pH 5,63; reabsorbsi air 2,78; kadar gula reduksi
1,88% dan kadar antioksidan 62,27% sedangkan rerata tingkat
kesukaan panelis terhadap warna 5,55; rasa 5,95 dan aroma 4,15.
Hasil penelitian pada Tahap II menunjukkan bahwa kombinasi
perlakuan konsentrasi asam sitrat 10% dan natrium bikarbonat 20%
merupakan perlakuan terbaik tahap II yang memiliki karakteristik
kadar air 7,48%; tingkat kecerahan (L*) 59,37; tingkat kemerahan (a*)
14,53; tingkat kekuningan (b*) 46,50; pH 5,33; kelarutan 88,17; kadar
gula reduksi 2,49% dan kadar antioksidan 46,53%.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kombinasi perlakuan
terbaik pada Tahap I yaitu, konsentrasi dekstrin 20% dan suhu
pengering 50C dan Tahap II yaitu, konsentrasi asam sitrat 10% dan
natrium bikarbonat 20%. Saran dari penelitian ini perlu dilakukan
analisa kadar kurkuminoid sebagai senyawa antioksidan aktif yang
terdapat dalam temulawak.
Kata Kunci : Serbuk effervescent, Temulawak
PENDAHULUAN
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb), merupakan tumbuhan asli
Indonesia. Dari sekitar 70 jenis
Curcuma yang tersebar di kawasan
Asia Selatan. Asia Tenggara sampai ke
Australia Utara, tidak kurang 20 jenis
tumbuh di Indonesia. Rimpang ini
paling banyak digunakan sebagai bahan
baku obat tradisional. Di samping itu,
rimpang tanaman ini juga merupakan
salah satu bahan eksport yang cukup
potensial. Kebutuhan akan temulawak
dari tahun ketahun semakin meningkat
dengan berkembangnya perusahaan
obat tradisional di Indonesia
(Yoganingrum, 1997).
Sebagai obat tradisional telah
diketahui manfaatnya oleh nenek mo-
yang sejak jaman dahulu, temulawak
paling umum dipakai ramuan jamu
untuk tambah nafsu makan, gangguan
hati, penyakit kuning malaria, tambah
nafsu makan, pegal-pegal dan sembelit
baik berupa air perasan maupun air
rebusan. Hadi (1999), telah mem-
buktikan khasiatnya melalui teknik
ilmu pengetahuan modern baik oleh
ilmuwan dalam maupun luar negeri.
Hasil-hasil penelitian membuktikan
bahwa temulawak mempunyai berbagai
macam khasiat, yaitu : sebagai
analgesik, antibakteri, antidiabetik,
antidiare, antiinflamasi, antihepatotok-
sik, insektisida dan lain-lain.
Kandungan kimia rimpang
temulawak yang memberi arti pada
56
STUDI PEMBUATAN SERBUK EFFERVESCENT
TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb)
KAJIAN SUHU PENGERING, KONSENTRASI DEKSTRIN,
KONSENTRASI ASAM SITRAT
DAN Na-BIKARBONAT
Rakhmad Wiyono
ABSTRACT
Abstract:This research aimed to get the combination of drying temperature
and dextrin concentration against the quality of temulawaks essence, and the
combination between citric acid and Na- Bicarbonate treatment against
temulawaks effervescent powder quality.
The result of the first step shows that the treatment combination
between 20% of dextrin concentration and 50C of drying temperature which
is the best treatment of the first step from temulawaks powder essence that
has characteristics on 10.11% of water content, ( L*) 55.10 of brightness
level, (a*) 14.56 of redness level, ( b*) 44.20 of yellowness level, 24.63% of
rendement, 5.63 of pH; 2.78 of water re-absorption; 1.88% of sugar content
reduction; 62.27% antioxidant content, 5.55 obtains panellists assessment
against color, 5.95 of taste, and 4.15 of aroma.
The result of the second step shows that the treatment combination
between 10% citric acid and 20% Na-bicarbonate that is the best treatment of
the second step that has characteristics on 7.48% of water content, (L*) 59.37
of brightness level, (a*) 14.53 of redness level, (b*) 46.50 of yellowness
level, 5.33 of pH, 88.17 of dissolving rate, 2.49% of sugar content reduction,
and 46.53% of antioxidant content.
The conclusion of this research is the best treatment combination
on the first step is 20% of dextrin concentration and 50C drying temperature,
while at the second step is 10% citric acid concentration and 20% Na-
bicarbonate. The advice of this research is its necessary to analyze the
curcuminoid content as an active antioxidant compound in temulawak.
Key word : Effervescent powder, temulawak
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kombinasi suhu
pengeringan dan konsentrasi dekstrin terhadap kualitas sari
temulawak dan kombinasi perlakuan asam sitrat dan Na-Bicarbonat
terhadap kualitas serbuk effervescent temulawak.
Hasil penelitian pada Tahap I menunjukkan bahwa kombinasi
45
antara protein yang telah terdenaturasi
dan pati yang mengalami gelatinisasi.
Muchtadi dkk (1988) menyatakan bahwa
ikatan saling silang antara pati dan
protein merupaka ikatan ionik dan
kovalen sehingga membentuk tekstur
yang kuat, sedangkan gelatinisasi pati
tanpa adanya protein membentuk
jembatan hidrogen yang lebih ikatannya
lebih lemah dan berakibat pda tekstur
yang lebih lunak (Hardoko, 1994).
Kadar Pati
Kadar pati bakso ikan gabus
berkisar antara 22,65 % (tapioka 90%
dan ikan gabus 10%) hingga 14,7%
(tapioka 40%
dan ikan gabus
60%). Grafik
hubungan antara
perlakuan pro-
porsi tapioka
dan ikan gabus
dengan kadar
pati bakso ikan
dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4
menunjukkan
bahwa semakin
rendah proporsi
tapioka dan se-
makin tinggi
ikan gabus me-
nyebabkan ma-
kin tingginya
kadar pati bak-
so, dengan
mengikuti pola
persamaan line-
ar y = -1,4108x + 23,427. koefisien
regresi sebesar 95,79% menunjukkan
bahwa perlakuan proporsi ikan gabus
dan tapioka mempunyai pengaruh besar
terhadap kadar pati bakso ikan. Tabel
4 menunjukkan rerata kadar pati akibat
perlakuan proporsi ikan gabus dan
tapioka.
Tabel 4 menunjukkan bahwa
kadar pati bakso terrendah adalah
akibat perlakuan Tapioka 40% - ikan
gabus 60%, sedangkan kadar pati
tertinggi adalah akibat perlakuan
Tapioka 90% - ikan gabus 10%.
Tampak pada Tabel 4 bahwa makin
rendah kadar tapioka dan makin tinggi
ikan gabus menye-
babkan makin ren-
dah kadar pati bak-
so, sebaliknya ma-
kin tinggi kadar
tapioka dan makin
rendah kadar ikan
gabus menyebab-
kan makin ting-
ginya kadar pati
yang diperoleh. Hal
ini karena tapioka
memang meru-
pakan sumber pati
(amilum) yang ber-
asal dari singkong,
sehingga makin
banyak proporsi
pati mengakibatkan
makin tingginya
kadar pati.
Saraswati menya-
takan bahwa kan-
dungan karbohidrat
Tabel 4. Kadar Pati Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Kadar
Pati
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 22,6525d
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 19,8975c
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 18,805bc
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 17,8825b
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 17b
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 14,7a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
y = -1,4108x + 23,427
R
2
= 0,9579
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
p
a
t
i

(
%
)
pati
Linear (pati)
Gambar 4. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus
dengan kadar pati
46
(yaitu pati) dalam tapioka adalah
sebesar 88,2 g per 100 g bahan.
Kadar Lemak
Kadar lemak bakso ikan gabus
berkisar antara 1,535 % (tapioka 90%
dan ikan gabus 10%) hingga 1,9825 %
(tapioka 40% dan ikan gabus 60%).
Grafik hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kadar lemak
bakso ikan dapat
dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5
menunjukkan bah-
wa semakin ren-
dah proporsi tapi-
oka dan semakin
tinggi ikan gabus
menyebabkan ma-
kin tingginya ka-
dar lemak bakso,
dengan mengi-
kuti pola per-
samaan linear y
= 0,0828x +
1,4948. koefisien
regresi sebesar
96,58 % menun-
jukkan bahwa
perlakuan pro-
porsi ikan gabus
dan tapioka mem-
punyai pengaruh
besar terhadap ka-
dar lemak bakso ikan. Tabel 5
menunjukkan rerata kadar lemak
akibat perlakuan proporsi ikan gabus
dan tapioka.
Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar
lemak bakso tertinggi adalah akibat
perlakuan Tapioka 40% - ikan gabus
60%, sedangkan kadar lemak tertinggi
adalah akibat perlakuan Tapioka 90% -
ikan gabus 10%. Tampak pada Tabel 5
bahwa makin rendah kadar tapioka dan
makin tinggi ikan gabus menyebabkan
makin tinggi kadar lemak bakso,
sebaliknya makin tinggi kadar tapioka
dan makin ren-
dah kadar ikan
gabus me-
nyebabkan ma-
kin rendahnya
kadar lemak
yang diperoleh.
Hal ini karena
ikan gabus, seba-
gaimana kelom-
pok ikan pada u-
mumnya, me-
mang mengan-
dung lemak, se-
bagaimana dinya-
takan oleh Hadi-
wiyoto (1993)
bahwa kandung-
an lemak ikan
gabus adalah se-
besar 2,7 g /
100 g bahan. Se-
dangkan tapioka
juga mengan-
dung lemak na-
mun relatif lebih
sedikit yaitu 0,5 g / 100 g bahan
(Saraswati, 1986) sehingga kandungan
lemak ikan jelas lebih berpengaruh ter-
hadap kadar lemak bakso.
y = 0,0828x + 1,4948
R
2
= 0,9658
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2
2,1
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
l
e
m
a
k

(
%
)
lemak
Linear (lemak)
Gambar 5. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabusdengan
kadar lemak
Tabel 5. Kadar Lemak Bakso Ikan
Gabus
Perlakuan
Kadar
Lemak
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 1,535d
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 1,6925c
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 1,7675bc
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 1,8425b
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 1,8875b
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 1,9825a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
55
(Kamaboko) dari Daging Ikan
Tengiri dengan Tepung
Gandum dan Tepung Sagu.
Buletin Ilmiah Perikanan.
Faperik Unibraw Malang, III :
p.63-72.
Saraswati, 1986. Pembuatan Keripik
Ikan Tengiri. PT. Bharata
Karya Aksara. Jakarta.
SNI. 1995. Bakso Ikan. Dewan
Standarisasi Nasional. Jakarta.
Sudarminto dan Yuwono,
2002.Analisis Karakteristik
Fisik Bahan Pangan. Jurusan
THP Fakultas Teknologi
Pertanian Univ. Brawijaya.
Malang
Suprayitno, E. 2003. Potensi Serum
Albumin dari Ikan Gabus.
Kompas Cyber Media
4 Januari 2003.
Wibowo,S. 1999. Pembuatan Bakso
Ikan dan Bakso Daging. Pen.
Swadaya. Jakarta.
54
riabel naik dengan perincian berikut :
Maka diperoleh kriteria-kriteria kela-
yakan finansial sebagai berikut: Pay-
back Period 17,846 tahun (tidak layak
karena lebih dari usia guna proyek),
Net BC rati o= -0,163 (tidak layak ka-
rena lebih kecil dari 1), RCR = 1,204
(layak karena bernilai >1), IRR =
bernilai negatif sehingga tidak layak,
NPV pada suku bunga 15% sebesar Rp.
-1.050.161.569,18, BEP = 5.664,75
unit atau Rp. 89.172.697,25 atau
8,00%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini
adalah:
- perlakuan proporsi tapioka dan
daging ikan gabus berpengaruh
terhadap kadar air, kadar abu, tekstur,
kadar protein, kadar lemak, kadar
pati, kesukaan : warna, kekenyalan,
aroma dan rasa.
- Perlakuan terbaik adalah perlakuan
tapioka 70% dan ikan gabus 30%
dengan kadar air 49,27%, kadar abu
10,365 mg/100 g, tekstur 13,05 N,
kadar pati 18,805%, kadar lemak
1,7675%, kadar protein 22,8275%,
kesukaan : warna 5,95 (mendekati
suka), kekenyalan 5,35 (antara agak
suka sampai suka), aroma 6,4 (antara
suka sampai sangat suka) dan rasa
5,45 (antara agak suka sampai suka).
- Kapasitas produksi 118 kg bakso
ikan gabus / hari layak secara
finansial dengan kriteria-kriteria
sebagai berikut: PBP sebesar 4,941
tahun, Net BC ratio= 1,223 , RCR =
1,372, NPV (pada suku bunga
pinjaman 15%) = Rp.
8.659.111,91, IRR = 16,53% , BEP =
4.851,86 unit atau Rp. 37.775.000,08
atau 6,9%.
Saran
Saran bagi hasil penelitian ini
adalah:
- perlu diteliti upaya reduksi aroma
ikan gabus, karena aroma ikan gabus
lebih tajam dibandingkan dengan
aroma ikan-ikan lainnya baik dengan
perlakuan fisik ataupun kimia
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 1997. Buku Pedoman
Pengenalan Sumber
Perikanan Air Tawar. Dinas
Perikanan Propinsi Dati I
Jatim. Surabaya
AOAC. 1990. Official Methods of
Analysis of the Association of
Official Analytical Chemists.
Association of Official
Analytical Chemists,
Washington D.C.
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan.
Armico. Bandung.
Gaspersz, V. 1992. Teknik Analisis
dalam Penelitian Percobaan.
Tarsito. Bandung
Hadiwiyoto, 1993 Teknologi
Pengolahan Hasil Perikanan
Jilid I. Pen. Liberty. Jogjakarta
Hardoko, 1994. Pembuatan Fish Cake
47
Kadar Protein
Kadar protein bakso ikan gabus
berkisar antara 20,3025 % (tapioka
90% dan ikan gabus 10%) hingga
27,205 % (tapioka 40% dan ikan gabus
60%). Grafik hubungan antara
perlakuan proporsi tapioka dan ikan
gabus dengan kadar protein bakso ikan
dapat dilihat
pada Gambar 6.
Gamb
ar 6
menunjukkan
bahwa semakin
rendah proporsi
tapioka dan
semakin tinggi
ikan gabus me-
nyebabkan ma-
kin tingginya
kadar protein
bakso, dengan
mengikuti pola persamaan linear y =
1,3503x + 18,675. koefisien regresi
sebesar 98,39 % menunjukkan bahwa
perlakuan proporsi ikan gabus dan tapi-
oka mempunyai pengaruh besar
terhadap kadar
protein bakso
ikan. Tabel 8
menunjukkan
rerata kadar
protein akibat
perlakuan pro-
porsi ikan gabus
dan tapioka.
Tabel 6
menunjukkan
bahwa kadar
protein bakso
tertinggi adalah
akibat perlakuan Tapioka 40% - ikan
gabus 60%, sedangkan kadar protein
tertinggi adalah akibat perlakuan
Tapioka 90% - ikan gabus 10%
meskipun tidak berbeda dengan
Tapioka 80% - ikan gabus 20%.
Tampak pada
Tabel 6 bahwa
makin rendah kadar
tapioka dan makin
tinggi ikan gabus
menyebabkan ma-
kin tinggi kadar
protein bakso, se-
baliknya makin
tinggi kadar tapi-
oka dan makin
rendah kadar ikan
gabus menyebab-
kan makin ren-
dahnya kadar
protein yang diperoleh. Hal ini karena
ikan gabus, sebagaimana kelompok ikan
pada umumnya, memang merupakan
sumber protein, sebagaimana dinyata-
kan oleh Hadi-
wiyoto (1993)
bahwa kandungan
protein ikan gabus
adalah sebesar
25,2 g / 100 g ba-
han. Suprayitno
(2003) menya-
takan bahwa
dalam protein ikan
gabus terkandung
albumin yang cu-
kup tinggi. Se-
dangkan tapioka
y = 1,3503x + 18,675
R
2
= 0,9839
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
a
d
a
r

p
r
o
t
e
i
n

(
%
)
protein
Linear (protein)
Gambar 6. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kadar protein
Tabel 6. Kadar Protein Bakso Ikan
Gabus
Perlakuan
Kadar
Protein
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 20,3025e
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 21,1325e
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 22,8275d
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 23,92c
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 25,0175b
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 27,205a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
48
juga mengandung protein namun relatif
lebih sedikit yaitu 1,1 g / 100 g bahan
(Saraswati, 1986) sehingga kandungan
protein ikan jelas lebih berpengaruh
terhadap kadar protein bakso.
Kesukaan Kekenyalan
Kesukaan kekenyalan bakso ikan
gabus berkisar antara 3,15 yaitu antara
agak tidak suka hingga ragu-ragu
(tapioka 90% dan ikan gabus 10%)
hingga 6,05 yaitu antara suka hingga
sangat suka (tapioka 40% dan ikan
gabus 60%). Grafik hubungan antara
perlakuan proporsi tapioka dan ikan
gabus dengan
Kesukaan
kekenyalan
bakso ikan dapat
dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7
menunjukkan bah-
wa semakin ren-
dah proporsi
tapioka dan
semakin tinggi
ikan gabus me-
nyebabkan ma-
kin tingginya ke-
sukaan terhadap
kekenyalan bak-
so. Kesukaan ke-
kenyalan tampak
semakin mening-
kat apabila pro-
porsi tapioka me-
nurun dan pro-
porsi ikan gabus
ditingkatkan.
Tabel 9 me-
nunjukkan jumlah rangking kesukaan
kekenyalan akibat perlakuan proporsi
ikan gabus dan tapioka. Tapioka 60% -
ikan gabus 40% dan Tapioka 40% -
ikan gabus 60% memiliki skor
kesukaan kekenyalan yang hampir
sama.
Tabel 7 menunjukkan bahwa
kesukaan kekenyalan bakso tertinggi
adalah akibat perlakuan Tapioka 40% -
ikan gabus 60%, dan tidak berbeda
dengan Tapioka 60% - ikan gabus
40%, sedangkan kesukaan kekenyalan
terendah adalah akibat perlakuan
Tapioka 90% - ikan gabus 10%
meskipun tidak
berbeda dengan
Tapioka 80% -
ikan gabus 20%.
Tampak
pada Tabel 7 bah-
wa makin rendah
kadar tapioka dan
makin tinggi ikan
gabus menyebab-
kan makin tinggi
kesukaan keke-
nyalan bakso, se-
baliknya makin
tinggi kadar ta-
pioka dan makin
rendah kadar ikan
gabus menyebab-
kan makin ren-
dahnya kekenyal-
an yang dipero-
leh. Kesukaan
terhadap keke-
nyalan makin
tinggi apabila da-
ging ikan gabus
kekenyalan
0
1
2
3
4
5
6
7
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
e
s
u
k
a
a
n

k
e
k
e
n
y
a
l
a
n
kekenyalan
Gambar 7. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kesukaan kekenyalan
Tabel 7. Kekenyalan Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Jumlah
rangking
kesukaan
kekenyalan
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 22.5c
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 41.5c
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 74.5b
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 107.0a
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 73.5b
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 101.0a
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
53
4. Usia guna proyek 10 tahun
5. Tidak ada persediaan produk,
semua langsung dijual begitu
produk jadi
6. Lokasi perusahaan dekat sungai
yang menghasilkan ikan gabus, di
desa Pager, Pasuruan
7. Wilayah pemasaran adalah daerah-
daerah sekitar Pasuruan.
8. Kapasitas produksi 118 kg bakso
ikan gabus / hari dalam kemasan
berisi 500 gram.
9. Pinjaman bank sebesar 70% dari
total modal
10. Suku bunga pinjaman 15% per
tahun
11. Suku bunga deposito 9% per tahun
12. Harga jual naik 4%/tahun mulai
tahun ke 3
13. Penjualan 80% tahun ke 1, 90%
tahun ke2 dan 100% tahun ke 3-10
14. Pengeluaran /tahun naik 4%
15. Rendemen sebesar 98,33% (berat
produk 118
kg dibagi de-
ngan berat
bahan baku
yaitu baku
ikan gabus 50
kg dan
tapioka 70
kg)
Hasil per-
hitungan Harga
Pokok Produksi
sebesar Rp.
4.202,25 / 500
gram dan harga
jual sebesar Rp
6.093,27 dengan
mengambil ke-
untungan 45%. PBP sebesar 4,941
tahun (layak karena kurang dari 10
tahun), Net BC ratio = 1,223 (layak
karena <1), RCR = 1,372 (layak karena
<1), NPV =Rp.8.659.111,91 IRR =
16,53% (layak karena lebih besar dari
suku bunga deposito), BEP = 4.851,86
unit atau senilai Rp. 37.775.000,08
atau 6,9%.
Apabila asumsi penjualan
diturunkan, yaitu penjualan sebesar
70% tahun ke 1, 80% tahun ke-2 dan
95% tahun ke 3 -10, maka Payback
Period menjadi 8,1 tahun (lebih kecil
dari usia guna proyek tetapi pada
kenyataannya terlalu lama karena pada
umumnya suatu usaha kecil
mengharapkan dalam kurun waktu
paling lama setengah dari usia guna
proyek, modal sudah kembali), Net
BCR = 0,45 (tidak layak karena
bernilai <1), RCR = 1,289 (layak
karena bernilai >1), IRR bernilai
negatif sehingga
tidak layak,
NPV pada suku
bunga 15%
sebesar
Rp.563.490.522,
36 (bernilai ne-
gatif sehingga
tidak layak)
sedangkan BEP
= 4.851,86 unit
atau Rp.
37.775.000,08
atau 6,9%.
Apabila
biaya produksi
naik, yaitu
biaya-biaya va-
Tabel 11. Kenaikan Biaya Produksi
Jenis
Unit/
produksi
Harga
Satuan
(Rp)
ikan gabus (kg) 50 7.000,00
tapioka (kg) 70 5.000,00
garam (kg) 1 1.500,00
bawang putih (kg) 3 8.000,00
merica bubuk (kg) 0,5 6.000,00
bawang merah (kg) 3 7.000,00
air (liter) 300 75
minyak tanah
(liter) 10 2.800,00
plastik sablon
kapasitas 500 g 236 275
bensin (liter) 5 4.800,00
tenaga kerja 4 27.500,00
pemasaran 1 22.500,00
52
flavor yang tidak terlalu kuat, sedangkan
ikan gabus yang terlalu banyak meng-
hasilkan flavor ikan yang kuat sehingga
megurangi selera panelis.
Pengambilan Keputusan
Analisis pengambilan keputusan menggu-
nakan metode Indeks Efektivitas. Pertim-
bangan penggunaan metode tersebut
adalah:
1. Karena bakso ikan sudah umum
dikonsumsi sehingga panelis dapat
menentukan bobot kepentingan.
2. Perlakuan berpengaruh terhadap
semua parameter yang ada baik
untuk parameter fisikokimia dan
parameter organoleptik, sehingga
mengindikasikan bahwa terdapat
parameter yang lebih penting dan
kurang penting.
Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan metode Indeks
Efektivitas, maka diperoleh bahwa
perlakuan terbaik untuk parameter
organoleptik adalah tapioka 70% dan
ikan gabus 30% dengan nilai hasil
tertinggi yaitu sebesar 0,914498.
Sedangkan perlakuan terbaik untuk
parameter fisikokimia adalah tapioka
40% dan ikan gabus 60% dengan nilai
hasil tertinggi sebesar 0,719048.
Perlakuan tapioka 70% dan ikan
gabus 30% menghasilkan kadar air
49,27%, kadar abu 10,365 mg/100 g,
tekstur 13,05 N, kadar pati 18,805%,
kadar lemak 1,7675%, kadar protein
22,8275%, kesukaan : warna 5,95
(mendekati suka), kekenyalan 5,35
(antara agak suka sampai suka), aroma
6,4 (antara suka sampai sangat suka)
dan rasa 5,45 (antara agak suka sampai
suka). Perlakuan tapioka 40% dan ikan
gabus 60% menghasilkan kadar air
53,21 %, kadar abu 10,5175 mg/100
g, tekstur 17,025 N, kadar pati 14,7%,
kadar lemak 1,9825%, kadar protein
27,205%, kesukaan : warna 4,95
(mendekati agak suka), kekenyalan
6,05 (mendekati suka), aroma 3,1
(cenderung agak tidak suka) dan rasa
3,25 (cenderung agak tidak suka).
Berdasarkan hal diatas ternyata
bahwa kandungan gizi bakso akibat
perlakuan tapioka 40% dan ikan gabus
60% lebih tinggi daripada perlakuan
tapioka 70% dan ikan gabus 30%,
namun ternyata panelis lebih menyukai
bakso akibat perlakuan tapioka 70%
dan ikan gabus 30%. Karena bakso
ikan gabus direncanakan akan
diproduksi dalam suatu skala usaha
(merupakan teknologi terapan) maka
yang lebih diutamakan adalah kesukaan
panelis yang mewakili konsumen.
Meskipun kandungan gizi sangat bagus
namun jika konsumen tidak suka, maka
tentunya suatu produk pangan tidak
layak secara finansial untuk diproduksi.
Dengan demikian perlakuan terbaik
yang dipilih adalah perlakuan tapioka
70% dan ikan gabus 30%.
Kelayakan Finansial
Analisis kelayakan finansial
didasarkan pada beberapa asumsi
berikut:
1. Usaha bakso ikan gabus merupakan
usaha skala kecil
2. Kapasitas bahan baku ikan gabus
50 kg / hari dan tapioka 70 kg/ hari
3. Waktu produksi 25 hari kerja /
bulan atau 300 hari kerja / tahun
49
yang ditambahkan makin banyak
karena teksturnya padat, sedangkan
tapioka yang makin tinggi disertai ikan
yang makin rendah menyebabkan
kesukaan kekenyalan menurun karena
tekstur bakso lebih lembek dan lengket,
kurang padat. Fungsi daripada tapioka
sebenarnya adalah filler sekaligus
binderuntuk
membantu
terbentuknya
tekstur bakso
(Wibowo,
1999), apabila
tidak ada
tapioka sama
sekali maka saat
dipanaskan bak-
so akan pecah
sedangkan apa-
bila tapioka ter-
lalu banyak ma-
ka terjadi penye-
rapan air yang
berlebih oleh
tapioka saat pe-
manasan sehing-
ga bakso jadi
lembek. Secara
kimiawi, dengan
adanya pencam-
puran daging
ikan dengan ta-
pioka pada pro-
porsi yang tepat
maka akan ter-
bentuk matriks
kompleks pro-
tein pati se-
lama proses pe-
manasan, di-
mana pada saat itu terjadi peristiwa
gelatinisasi pati dan denaturasi protein
yang selanjutnya kedua komponen
saling membentuk ikatan silang
(Hardoko, 1994).
Kesukaan Warna
Kesukaan warna bakso ikan
gabus berkisar
antara 4,95 yaitu
cenderung agak
suka (tapioka
40% dan ikan
gabus 60%)
hingga 5,95
cenderung suka
(tapioka 70% dan
ikan gabus 30%
dan tapioka 60%
dan ikan gabus
40%). Grafik
hubungan antara
perlakuan
proporsi tapioka
dan ikan gabus
dengan kesukaan
warna bakso ikan
dapat dilihat pada
Gambar 8.
Gambar 8
menunjukkan bah-
wa kesukaan war-
na tertinggi ada-
lah perlakuan Ta-
pioka 70% - ikan
gabus 30% dan
Tapioka 60% -
ikan gabus 40%.
Tapioka yang
cenderung tinggi
masih lebih di-
4
4,5
5
5,5
6
6,5
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
e
s
u
k
a
a
n

w
a
r
n
a
warna
Gambar 8. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kesukaan warna
Tabel 8. Warna Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Jumlah
rangking
kesukaan
warna
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 73.0b
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 66.0b
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 90.5a
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 90.5a
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 51.0bc
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 49.0c
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
50
sukai warnanya daripada ikan gabus
yang terlalu tinggi. Tabel 8
menunjukkan jumlah rangking kesukaan
warna akibat perlakuan proporsi ikan
gabus dan
tapioka.
Tampak
pada Tabel 8
bahwa Tapioka
70% - ikan gabus
30% dan Tapioka
60% - ikan gabus
40% lebih disukai
warnanya dari-
pada perlakuan
lainnya. Namun
perlakuan dengan
tapioka cenderung tinggi dan ikan
gabus rendah masih lebih disukai
warnanya daripada perlakuan dengan
ikan gabus tinggi dan tapioka rendah.
Hal ini karena tapioka cenderung tinggi
dan ikan gabus rendah menghasilkan
bakso dengan warna yang cenderung
pucat / terang, sedangkan perlakuan
dengan ikan gabus tinggi dan tapioka
rendah menghasilkan bakso berwarna
abu-abu gelap.
Bakso akibat
perlakuan Ta-
pioka 70% - ikan
gabus 30% dan
Tapioka 60% -
ikan gabus 40%
menghasilkan
warna yang relatif
bagus, mendekati
warna bakso pada
umumnya yaitu
abu-abu terang.
Terbentuknya
warna keabu-abuan ini karena adanya
reaksi pencoklatan non enzimatis
antara asam amino dengan gula reduksi
pada suhu pemanasan yang relatif
tinggi (Sa-
raswati. 1986),
dalam penelitian
ini bahan-bahan
tersebut terkan-
dung dalam ba-
han-bahan bak-
so, baik daging
ikan gabus, tapi-
oka maupun bum-
bu-bumbu yang
ditambahkan.
Kesukaan Aroma
Kesukaan aroma bakso ikan
gabus berkisar antara 3,1 yaitu
cenderung agak tidak suka (tapioka
40% dan ikan gabus 60%) hingga 6,4
yaitu antara suka hingga sangat suka
(tapioka 70% dan ikan gabus 30%).
Grafik hubungan antara perlakuan pro-
porsi tapioka dan ikan gabus dengan
Kesukaan aroma
bakso ikan dapat
dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9
menunjukkan
bahwa kesukaan
aroma tertinggi
adalah perlakuan
Tapioka 70% -
ikan gabus 30% .
Bakso dengan
kadar apioka
yang cenderung
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
6,5
7
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
e
s
u
k
a
a
n

a
r
o
m
a
aroma
Gambar 9. Hubungan perlakuan proporsi
tapioka dan ikan gabus dengan kesukaan
aroma
Tabel 9. Aroma Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Jumlah
rangking
kesukaan
aroma
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 81.5b
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 93.0ab
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 104.0a
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 73.0bc
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 44.5c
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 24.0d
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%
51
tinggi masih lebih disukai aromanya
daripada basko dengan kadar ikan gabus
yang terlalu tinggi. Tabel 9 menunjukkan
jumlah rangking kesukaan aroma akibat
perlakuan proporsi ikan gabus dan
tapioka.
Tabel 9 menunjukkan Tapioka 70%
- ikan gabus 30% lebih disukai
warnanya daripada perlakuan lainnya,
sedangkan proporsi ikan gabus yang
terlalu tinggi lebih tidak disukai
aromanya. Hal ini karena aroma ikan
gabus cenderung tajam (amis) sehingga
beberapa panelis terutama yang kurang
suka aroma ikan
akan membe-
rikan skor ren-
dah.
Kesukaan Rasa
Kesukaan
rasa bakso ikan
gabus berkisar
antara 3,25 yaitu
antara agak tidak
suka hingga ra-
gu-ragu (tapioka
40% dan ikan
gabus 60%)
hingga 5,55 yai-
tu antara agak
suka hingga su-
ka (tapioka 60%
dan ikan gabus
40%). Grafik hu-
bungan antara
perlakuan pro-
porsi tapioka dan
ikan gabus de-
ngan Kesukaan
rasa bakso ikan
dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 menunjukkan bahwa
kesukaan rasa tertinggi adalah per-
lakuan Tapioka 60% - ikan gabus 40%.
Bakso dengan kadar tapioka yang
cenderung tinggi masih lebih disukai
rasanya daripada bakso dengan kadar
ikan gabus yang terlalu tinggi. Tabel 10
menunjukkan jumlah rangking kesu-
kaan rasa akibat perlakuan proporsi
ikan gabus dan tapioka.
Tampak pada Tabel 10 bahwa
Tapioka 60% - ikan gabus 40% lebih
disukai rasanya meskipun tidak berbeda
dengan perlakuan
Tapioka 70% -
ikan gabus 30%
maupun Tapioka
90% - ikan gabus
10%, sedangkan
proporsi ikan gabus
yang terlalu tinggi
lebih tidak disukai
rasanya. Cita rasa
merupakan
kombinasi antara
rasa, flavor dan
rangsangan mulut
(Soekarto, 1985).
Rasa bakso ikan
gabus akiba perla-
kuan Tapioka 60%
- ikan gabus 40%,
perlakuan Tapioka
70% - ikan gabus
30% maupun Ta-
pioka 90% - ikan
gabus 10% adalah
asin, sedikit manis
akibat adanya ikan
gabus dengan
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
5,5
6
T90G10 T80G20 T70G30 T60G40 T50G50 T40G60
perlakuan
k
e
s
u
k
a
a
n

r
a
s
a
rasa
Gambar 10. Hubungan antara perlakuan
proporsi tapioka dan ikan gabus dengan
kesukaan rasa
Tabel 10. Rasa Bakso Ikan Gabus
Perlakuan
Jumlah
rangking
kesukaan
rasa
Tapioka 90% - ikan gabus 10% 85.5ab
Tapioka 80% - ikan gabus 20% 56.0b
Tapioka 70% - ikan gabus 30% 99.5a
Tapioka 60% - ikan gabus 40% 103.0a
Tapioka 50% - ikan gabus 50% 40.0bc
Tapioka 40% - ikan gabus 60% 36.0c
Keterangan: Angka yang didampingi huruf
yang sama menunjukkan tidak
berbeda pada taraf 5%

Anda mungkin juga menyukai