Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Anak Prasekolah


Awal masa kanak-kanak, selain mendapat sebutan masa yang
menyulitkan, masa bermain, disebut pula masa aesthetis, yaitu masa
berkembangnya rasa keindahan. Hal ini karena masa prasekolah, panca indera
anak sedang dalam keadaan peka, sehingga perlu dilatih dengan berbagai
permainan yang menarik, yang indah, karena anak senang dengan permainan
yang indah. Para pendidik, memberi sebutan usia prasekolah, karena belum
mempunyai kewajiban mengikuti sekolah formal.
Anak prasekolah mempunyai sifat pembangkang, senang menentang,
sulit diatur, maka orang Jawa menyebut kondisi itu sebagai kemratu-ratu,
yang artinya sifatnya seperti ratu yang senang memerintah. Orang psikolog
menyebutnya tempertantrum, yang artinya luapan kemarahan. Pada masa anak
prasekolah, emosi anak sangat kuat, ditandai dengan tantrum (luapan
kemarahan), ketakutan yang hebat, iri hati.
Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara tiga sampai lima
tahun (Whaleys & Wong, 2000). Anak prasekolah adalah pribadi yang
mempunyai potensi berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang
dan dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal.
Tertunda atau terhambatnya pengembangan potensi-potensi itu akan
mengakibatkan timbulnya masalah. Usia prasekolah diantara usia 3 (tiga)

sampai 5 (lima) tahun bertujuan membantu meletakkan dasar ke arah


perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang
diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan
untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya.
Snowman dalam Patmonodewo (1995) menemukan ciri-ciri anak
prasekolah atau TK, diantaranya:
1. Ciri-ciri fisik
Anak prasekolah mempergunakan ketrampilan gerak dasar (berlari,
berjalan, memanjat, melompat, dan sebagainya) sebagai bagian dari
permainan mereka. Mereka masih sangat aktif, tetapi lebih bertujuan dan
tidak terlalu mementingkan untuk bisa beraktivitas sendiri.
2. Ciri sosial
Pada umumnya anak dalam tahapan ini memiliki satu atau dua
sahabat, tetapi sahabat ini cepat berganti. Kelompok bermainnya
cenderung kecil dan tidak terlalu teroganisir secara baik, tetapi mereka
mampu berkomunikasi lebih baik dengan anak lain. Anak lebih menikmati
permainan situasi kehidupan nyata, dan dapat bermain bersama dengan
saling memberi serta menerima arahan. Perasaan empati dan simpati
terhadap teman juga berkembang, mampu berbagi dan bergiliran dengan
inisiatif mereka sendiri, anak menjadi lebih sosialis.
3. Ciri emosional
Anak terdorong mengekspresikan emosinya dengan bebas dan
terbuka. Sikap marah sering diperlihatkan dan iri hati pada anak

prasekolah sering terjadi. Mereka seringkali memperebutkan perhatian


guru dan berebutan makanan atau mainannya.
4. Ciri kognitif
Anak prasekolah umumnya terampil dalam berbahasa. Sebagian
besar dari mereka senang berbicara dan sebagian lagi menjadi pendengar
yang baik. Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat,
kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Anak mampu menangani
secara lebih efektif dengan ide-idenya melalui bahasa, dan mulai mampu
mendeskripsikan

konsep-konsep

yang

lebih

abstrak.

Mereka

menyesuaikan dan mengubah konsep secara konstan. Contoh, konsep


mereka mengenai waktu menjadi semakin luas. Mereka bisa memahami
hari, minggu, bahkan bulan.

Masa prasekolah merupakan periode kritis untuk efektivitas upaya


upaya pencegahan dan penanganan tumbuh kembang anak. Berbagai jenis
perkembangan anak dengan berbagai derajatnya sering kali dapat terlihat pada
anak prasekolah. Oleh karena itu, orang tua perlu deteksi dini terhadap
gangguan pada anak untuk dapat segera memberikan rujukan kepada tenaga
professional seperti dokter tumbuh kembang anak, psikologi, ataupun perawat
untuk menangani masalah anak.
Masalah perilaku pada anak pra sekolah banyak terjadi karena tugastugas perkembangan pada suatu periode tertentu tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan

masalah

anak.

Mittman

dalam

Nakita

(1981;

2008)

mengemukakan beberapa masalah umum yang terjadi pada anak pada usia
prasekolah:
1. Tidak patuh
Ada 3 bentuk ketidakpatuhan: melakukan instruksi tapi terpaksa,
tidak mau melakukan instruksi, atau sengaja melakukan yang bertolak
belakang dengan instruksi.
Penyebab perilaku tidak patuh antara lain : pola pengasuhan yang
serba membolehkan atau terlalu disiplin, pola pengasuhan yang tidak
konsisten, orang tua yang mengalami stres, ataupun anak terlalu pandai.
2. Tempertantrum
Tempertantrum merupakan kemarahan yang meledak-ledak yang
berupa hilangnya kontrol diri berbentuk menjerit-jerit, memaki, merusak
barang, dan berguling-guling di lantai. Anak yang lebih kecil biasanya
muntah atau mengompol, ada juga yang menyerang orang lain dengan
menyepak dan memukul.
Tempertantrum sering terjadi pada anak usia prasekolah terutama
2-4 tahun ketika anak pertama kali berusaha menunjukkan negativisme
dan kemandiriannya. Setelah lebih besar (5-12 tahun) anak sudah bisa
mengutarakan pikirannya secara verbal sehingga tempertantrum akan
berkurang.
Penyebab tantrum karena reaksi instingtif saat frustrasi, diserang
atau keinginan tidak terpenuhi, meniru, ketidakmampuan mengutarakan isi
hati secara komunikatif.

10

3. Agresif: verbal atau fisik


Perilaku agresif adalah perilaku yang dapat menimbulkan luka
pada diri sendiri atau orang lain. Agresi bisa berupa agresi fisik seperti
memukul, menyepak, melempar, mendorong, meludahi, dan lain-lain.
Agresi psikis seperti memanggil nama dengan tidak hormat, mengejek,
memerintah, memberi label, bertengkar, dan mengancam.
Anak yang agresif cenderung impulsif, mudah marah, tidak
matang, sukar menerima kritik dan mudah frustrasi. Penyebabnya antara
lain karena frustrasi datam kehidupan sehari-hari atau karena pengaruh
daya khayal anak. Anak yang sering menonton film-film agresif cenderung
lebih agresif daripada anak lain pada umumnya.
4. Menarik diri
Anak yang menarik diri tidak mau terlihat dalam kontak sosial
dengan teman-temannya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh masalah lain
seperti kesulitan bersekolah, gangguan kepribadian, dan masalah-masalah
emosional. Namun bisa juga terjadi anak-anak yang terlalu pandai atau
terlalu kreatif seringkali mengalami masalah ini. Cara berpikir yang
berbeda membuat teman-teman seusianya tidak dapat menerima mereka
sehingga ia terkucilkan.
Anak-anak menarik diri disebabkan oleh rasa takut terhadap orang
lain,

kurangnya

keterampilan

sosial

seperti

antri,

berbagi,

menyumbangkan ide, atau orang tua yang tidak suka pada teman
sebayanya.

11

5. Impulsif
Anak yang impulsif bertindak secara spontan secara mendadak,
memaksa, dan tidak sengaja. Ia tidak memikirkan akibat dari tindakannya.
Anak usia prasekolah masih wajar jika menunjukkan beberapa perilaku
impulsif mengingat kematangan kognitif dan emosinya masih belum
berkembang sepenuhnya. Namun untuk kasus-kasus yang ekstrim,
impulsivitas dapat disebabkan oleh penyebab organik, kecemasan (karena
cemas tidak dapat berpikir rasional), dan pengaruh budaya atau
pengasuhan.
6. Terlalu aktif
Anak yang terlalu aktif biasanya masih bisa mengikuti kegiatan
belajar, namun pada saat tertentu ia menjadi sangat aktif dan jika ditelusuri
penyebabnya bisa dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
seperti kondisi emosi, kejenuhan belajar, dan kebutuhan akan perhatian
anak. Sedangkan faktor eksternal karena manajemen kelas yang kurang
baik, pelajaran kurang menantang, ataupun karena karakteristik guru.
7. Kurang mampu berkonsentrasi
Beberapa anak kurang mampu berkonsentrasi. Anak yang kurang
mampu berkonsentrasi bisa karena mengalami Gangguan Pemusatan
Perhatian (attention deficit disorder), tetapi juga ada kemungkinan
disebabkan oleh faktor emosional ataupun terlalu banyak minat.
Penyebab kurangnya perhatian antara lain karena gangguan
perkembangan syaraf, temperamen, gangguan perseptual (penglihatan atau

12

pendengaran), tidak dapat membedakan antara figur dan latar belakang


(misalnya tidak dapat membedakan mana suara yang bising atau mana
suara guru), tidak dapat memahami keurutan seringkali bingung dan
menjadi tampak seperti tidak memperhatikan. Kecemasan dan rasa tidak
aman, kurangnya kernatangan emosi juga dapat menjadi penyebab
kurangnya kemampuan untuk memusatkan perhatian.
8. Suka melamun
Melamun merupakan kegiatan yang wajar pada anak-anak.
Melamun menjadi masalah ketika dilakukan pada saat yang tidak tepat.
Jika anak melamun sampai tidak dapat memperhatikan instruksi guru dan
melaksanakan tugasnya maka melamun menjadi masalah.
Kegiatan melamun berlebihan dapat terjadi ketika realita
kehidupan anak tidak memuaskan sehingga lebih memilih berkhayal
daripada memikirkan kenyataannya.
9. Egois
Anak yang egois hanya peduli dengan dirinya sendiri, hanya
berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Anak
usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih
terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya
adalah satu.
Penyebab perilaku egois dapat dikarenakan berbagai ketakutan,
seperti takut dekat dengan orang lain, takut ditolak, dan takut perubahan.
Anak yang banyak merasakan ketakutan seringkali memandang berbagai

13

perubahan dalam hidupnya sebagai sesuatu yang mengancam dirinya. Ia


memandang segala sesuatu dari sudut pandangnya dan memahami sudut
pandang orang lain dianggap sebagai suatu perubahan yang menakutkan.
10. Terlalu tergantung
Perilaku ketergantungan meliputi mencari perhatian, kasih sayang
ataun bantuan dari orang lain secara berlebihan. Ciri-ciri terlalu tergantung
antara lain: sering merengek, menangis, sering menyela pembicaraan
orang tua, menuntut orang lain membantunya melakukan sesuatu padahal
sebenarnya ia bisa melakukannya, tidak punya inisiatif, lebih menunggu
bantuan orang dewasa, memerlukan kedekatan fisik, suka mencari
perhatian atau mengharapkan orang tua sering mengawasinya, berbicara
dengannya, melihat apa yang telah dibuatnya. Setelah usia 4 tahun jika
anak masih menangis ketika ditinggal ibunya berarti bahwa ia
menunjukkan perilaku ketergantungan.
Penyebab perilaku ketergantungan adalah adanya penguatan dari
orangtua, rasa bersalah orang tua, pola pengasuhan yang permisif, mencari
perhatian orang tua, perasaan egois, dan perasaan ditolak.

B. Perilaku Tempertantrum
1. Pengertian Tempertantrum
Definisi tantrum menurut Kamus Perkembangan Anak adalah
luapan kemarahan atau kekesalan, dan bisa terjadi pada semua orang.
Namun,

saat

orang

membicarakan

tantrum,

mereka

biasanya

14

membicarakan mengenai satu hal spesifik, yaitu luapan kemarahan yang


dilakukan anak kecil. Tempertantrum (untuk selanjutnya disebut tantrum)
sering kali muncul pada anak prasekolah. Tingkah laku ini biasanya
mencapai titik terburuk sekitar usia 18 bulan hingga tiga tahun, dan
kadang masih banyak dijumpai pada anak usia lima sampai enam tahun
(Purnamasari, 2005).
Tantrum adalah ekspresi yang lebih sering diungkapkan masa
kanak-kanak jika dibandingkan dengan rasa takut. Alasannya adalah
karena rangsangan yang menimbulkan rasa marah lebih banyak. Pada anak
usia dini anak-anak mengetahui bahwa kemarahan merupakan cara yang
efekif untuk memenuhi keinginan mereka.
Frekuensi dan intensitas kemarahan yang dialami setiap anak
berbeda-beda.

Sebagian

anak

dapat

melawan

rangsangan

yang

menimbulkan marah secara lebih baik dibandingkan dengan anak lainya.


Kemampuan melawan rangsangan marah pada anak bervariasi, yang
tergantung pada kebutuhan, kondisi fisik dan emosi anak serta usia anak
(Hurlock, 1997).
Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi
berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak dengan ciriciri sebagai berikut: (Ferdinand, 2008)
1. Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
2. Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
3. Lambat beradaptasi terhadap perubahan.

15

4. Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.


5. Mudah terprovokasi, mudah merasa marah.
6. Sulit dialihkan perhatiannya.
Ledakan kemarahan (tempertantrum) secara normal menurun
dengan bertambahnya usia, seperti dijelaskan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1 Ledakan Kemarahan (temper tantrum)


(J. Macfarlane, L. Allen, and M.P., Honzik : A development study
of behavior problems of normal children between twenty-one months
and fourteen years dalam Hurlock, 1997)
Reaksi tantrum secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
golongan besar: impulsif dan ditekan (Hurlock, 1997).
a. Reaksi impulsif
Reaksi impulsif biasanya disebut agresi. Reaksi ini dapat berupa reaksi
fisik atau kata-kata, dan dapat ringan atau kuat. Ledakan kemarahan
yang kuat (tempertantrum) adalah khas pada anak kecil. Anak tidak

16

ragu-ragu melukai orang lain dengan cara apapun. Ekspresi marah


yang impulsif lebih umum dibandingkan dengan reaksi yang ditahan.
Reaksi impulsif muncul lebih awal dan lebih tidak dapat diterima
secara sosial. Sebagian besar reaksi marah yang impulsive bersifat
menghukum ke luar (extrapunitive), artinya bahwa reaksi itu
ditunjukkan kepada orang lain. Sebagian reaksi marah bersifat
menghukum ke dalam (intrapunitive), artinya bahwa anak anak
mengarahkan reaksi mereka kepada diri sendiri.
b. Reaksi yang ditekan
Reaksi yang ditekan selalu berada di bawah pengendalian atau ditekan.
Anak-anak mungkin meninjau diri sendiri, yang karenanya mereka
berusaha untuk tidak menyalahkan orang lain. Mereka mungkin
menjadi masa bodoh, memperlihatkan ketidakacuhan, atau kurang
keberanian.

Perilaku

semacam

ini

disebut

impunitive

atau

membebaskan dari hukuman. Anak mungkin menganggap bahwa


perlawanan adalah sia-sia, bahwa lebih baik mereka merasa frustasi
atau

menyembunyikan

kemarahan

daripada

mengekspresikan

kemarahan. Reaksi marah ditunjukkan dengan cara bersikap menderita,


cemberut, mengasihi diri sendiri, atau mengancam.
2. Manifestasi Tantrum
Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Berikut adalah beberapa
contoh perilaku tantrum menurut tingkatan usia (Ferdinand, 2008) :

17

a. Di bawah usia 3 tahun


Pada anak usia 3 tahun tantrum termanifestasi dalam perilaku
menangis, menggigit, memukul, menendang, menjerit, dan melempar
barang.
b. Usia 3-4 tahun
Pada anak usia 3-4 tahun tantrum termanifestasi dalam perilaku seperti
perilaku anak usia 3 tahun ditambah, menghentak-hentakkan kaki,
berteriak-teriak, dan merengek.
c. Usia 5 tahun ke atas
Pada anak usia 5 tahun keatas tantrum termanifestasi dalam perilaku
seperti kategori anak usia dibawah 3 tahun, 3-4 tahun ditambah
memaki, menyumpah, memukul kakak, adik atau teman, mengkritik
diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja, dan mengancam.
3. Jenis Jenis Tantrum Pada Anak
Menurut Stanley Turecki, M.D dalam Naila (2009) seorang psikiatris
anak dan keluarga yang juga diplomat dari The American Board of
Psychiatry and Neurology, membagi tantrum menjadi dua jenis, yaitu:
a. Manipulatif tantrum
Manipulatif tantrum yaitu tantrum akibat kemauan anak tidak dituruti.
Misalnya anak minta dibelikan permen di supermarket tetapi tidak
dituruti orang tua. Anak menjadi tantrum karena tidak dituruti
keinginannya. Orang tua merasa malu karena perilaku anak tersebut,

18

dan terpaksa membelikan permen. Anak akan salah persepsi dan


menganggap bahwa jika dia tantrum, keinginan anak akan terpenuhi.
b. Temperamental tantrum
Temperamental tantrum yaitu tantrum karena temperamen anak tidak
dipahami. Misalnya anak yang tantrum karena disuruh mandi saat anak
masih asyik bermain boneka. Anak tidak bisa dipaksa melakukan
kegiatan yang tidak diinginkanya. Akan tetapi orang tua tidak mengerti
kondisi anak, dan tetap memaksa anak. Akhirnya anak akan tantrum
agar orang tua bisa memahami anak.
Begitu pentingnya orang tua memahami temperamen anak. Hal ini
karena kesehatan anak bukan hanya fisik, tetapi juga psikis. Jika
temperamen anak tidak dipahami orangtuanya, anak bisa mengalami
stress hingga depresi yang sepertinya sakit secara fisik, tetapi jika
diperiksakan dokter tidak menemukan apapun diagnosa apapun. Itu
sebabnya, para dokter anak yang memahami temperamen anak, bisa
memberikan saran dan nasehat bagi para orang tua anak tersebut.
4. Faktor Faktor Tantrum
Ada berbagai faktor penyebab yang mempengaruhi anak sehingga anak tak
mampu mengendalikan emosinya dan menjadi tantrum. Diantaranya
adalah faktor fisiologis, faktor psikologis dan faktor orang tua dan faktor
lingkungan (Lyness, 2009).
a. Faktor Fisiologis
Penyebab fisiologis dapat muncul ketika anak merasa lelah karena
bermain, mengantuk, lapar atau ketika anak sedang sakit. Pada saat ini

19

anak menjadi kesal karena kebutuhannya tidak terpenuhi sedangkan


anak belum mampu mengungkapkannya secara lisan kepada orang tua.
Emosi anak memuncak ketika orang tua tidak mampu memahami apa
yang dibutuhkannya. Akhirnya anak menjadi marah, dan menangis.
b. Faktor Psikologis
Penyebab psikologis dapat terjadi karena anak mengalami kegagalan
dalam melakukan sesuatu dan menjadi emosi akibat kegagalan
tersebut. Keadaan ini dapat semakin parah jika orang tua atau keluarga
anak selalu membandingkan kemampuan anak dengan orang lain.
Demikian juga orang tua yang memiliki tuntutan tinggi terhadap anak
akan memicu kejengkelan dan menjadi kemarahan yang tidak
terkendali.
c. Faktor Orang Tua
Cara orang tua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan
tantrum. Anak yang dimanjakan dan selalu mendapatkan yang
diinginkan, bisa tantrum ketika permintaannya ditolak. Bagi anak yang
terlalu dilindungi dan didominasi oleh orang tuanya, anak bisa menjadi
bereaksi menentang dominasi orang tua dengan perilaku tantrum.
Orang tua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa
menyebabkan anak tantrum.
d. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan juga turut berperan dalam menciptakan tantrum
pada anak. Lingkungan keluarga maupun lingkungan luar rumah sama

20

besar pengaruhnya. Tantrum yang paling sering terjadi adalah ketika


anak melihat orang tuanya mengungkapkan kemarahannya secara
negatif, maka akan terekam pada anak dan membayangi pikiran anak.
Lingkungan luar rumah juga mempengaruhi anak tantrum. Anak yang
terbiasa melihat tetangga marah-marah, maka akan mempengaruhi
perkembangan emosi anak pula.
5. Mencegah Terjadinya Tantrum
Temper tantrum dapat dicegah dengan cara sederhana dan
bijaksana. Misalnya dengan memberi kesempatan pada anak untuk
bermain dan mengekspresikan keinginannya secara wajar. Jika belum
mampu mengungkapkan secara lisan usahakan agar anak mampu
mengungkapkan dengan isyarat. Orang tua harus memahami apa yang
menjadi kebutuhan anak, jangan terlalu mengekang namun berikan
kepercayaan bahwa anak mampu bermain dan bergaul dengan baik.
Kemampuan anak dalam mengungkapkan keinginan baik dengan
isyarat maupun lisan bisa dilatih sedikit demi sedikit. Dan ketika anak
sudah terlatih dalam hal ini, maka tempertantrum tidak akan terjadi. Begitu
juga saat anak sudah bisa diajak berkomunikasi, berikan pengertian dan
penjelasan kepada anak dari hati ke hati. Berbicara dengan ucapan yang
lembut dan tegas akan membuat anak tenang dan tidak merasa seperti
dimarahi. Anak yang sudah terbiasa berkomunikasi dengan baik biasanya
mudah mengerti dan memahami.

21

Namun bila suatu anak kita mengalami tempertantrum di tempat


umum, hal yang mesti dilakukan adalah menjaga emosi. Mungkin kita
akan merasa malu dilihat oleh banyak orang, tetapi bertindak gegabah dan
memarahi anak dengan emosi tidak terkendali akan membuat kita lebih
malu lagi.
Untuk menjadi orang tua yang baik salah satu cara diantaranya
adalah menghindari kekerasan dengan anak. Orang tua yang sering marah
dihadapan anak akan terekam dalam pikiran anak. Keadaan yang demikian
dapat berpengaruh pada perkembangan emosi anak (Meadow, 2002).
6. Menangani Anak yang Sedang Mengalami Tantrum
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge:
1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa tantrum adalah
suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari
proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif
dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode
tantrum pasti berakhir (Ferdinand, 2008).
Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah
bahwa dengan tantrum anak ingin menunjukkan independensinya,
mengekpresikan

individualitasnya,

mengemukakan

pendapatnya,

mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa


mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit.
Namun demikian bukan berarti bahwa tantrum sebaiknya harus
dipuji dan disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan tantrum

22

berkuasa

(dengan

memperbolehkan

anak

mendapatkan

yang

diinginkannya setelah ia tantrum) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman


yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orang tua sudah
menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan
agresif. Sebaiknya orang tua memberikan pendekatan positif pada anak,
misalnya dengan memberikan pujian, dan penghargaan yang lebih banyak
dibandingkan hukuman (Meadow, 2009).
Menurut Aliza (2005), jika tantrum tidak bisa dicegah dan tetap
terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orang tua
adalah :
a. Memastikan segalanya aman
Jika tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang
aman untuk melampiaskan emosi. Selama tantrum (di rumah maupun
di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang
membahayakan dirinya. Jika selama tantrum anak menyakiti teman
maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari teman tersebut dan
jauhkan diri orang tua dari anak.
b. Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar
tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak
marah pada anak.
c. Tidak mengacuhkan tantrum anak
Selama tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak
berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak

23

menghentikan tantrumnya, karena anak tidak akan menanggapi /


mendengarkan. Usaha menghentikan tantrum seperti itu, anak akan
semakin lama tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Cara yang
terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir
jika orang tua tidak berusaha menghentikannnya dengan rayuan atau
paksaan.
d. Jika perilaku tantrum dari menit ke menit bertambah buruk dan tidak
berakhir, selama anak tidak memukul-mukul, peluk anak dengan rasa
cinta
7. Menangani Anak Pasca Tantrum
Saat tantrum anak sudah berhenti, seberapa pun parahnya ledakan
emosi yang telah terjadi tersebut, janganlah diikuti dengan hukuman,
nasihat-nasihat, teguran, maupun sindiran. Anak jangan diberikan hadiah
apapun, dan anak tetap tidak boleh mendapatkan apa yang diinginkan (jika
tantrum terjadi karena menginginkan sesuatu). Orang tua tetap tidak
memberikan apa yang diinginkan anak, orang tua akan terlihat konsisten
dan anak akan belajar bahwa ia tidak bisa memanipulasi orangtuanya.
Berikanlah rasa cinta dan rasa aman kepada anak. Ajak anak,
membaca buku atau bermain sepeda bersama. Tunjukkan kepada anak,
sekalipun ia telah berbuat salah, sebagai orang tua tetap mengasihinya.
Setelah tantrum berakhir, orang tua perlu mengevaluasi mengapa
sampai terjadi tantrum. Apakah benar-benar anak yang berbuat salah atau
orang tua yang salah merespon perbuatan/keinginan anak. Evaluasi juga

24

anak tantrum apakah karena anak merasa lelah, frustrasi, lapar, atau sakit.
Berpikir ulang ini perlu, agar orang tua bisa mencegah tantrum berikutnya
(Hames, 2005).
Jika anak yang dianggap salah, orang tua perlu berpikir untuk
mengajarkan kepada anak nilai-nilai atau cara-cara baru agar anak tidak
mengulangi kesalahannya. Kalau memang ingin memberi nasihat, jangan
dilakukan setelah tantrum berakhir, tapi lakukan ketika keadaan sedang
tenang dan nyaman bagi orang tua dan anak. Waktu yang tenang dan
nyaman adalah ketika tantrum belum dimulai, bahkan ketika tidak ada
tanda-tanda akan terjadi tantrum. Saat orang tua dan anak sedang gembira,
tidak merasa frustrasi, lelah dan lapar merupakan saat yang ideal.

C. Pola Asuh Orang Tua


1. Pengertian Pola Asuh
Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan
orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan
anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk
menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk
kepada pendidikan umum yang ditetapkan. Pengasuhan terhadap anak
berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi
tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan,
mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu
mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat.

25

Mengasuh anak dapat menjadi sesuatu yang menantang, tetapi


membutuhkan waktu dan energi ekstra, dan strategi-strategi baru untuk
mengasuh anak yang sulit dikendalikan secara efektif. Belajar cara-cara
baru mengasuh anak mungkin sulit dilakukan, tetapi orang tua harus
berusaha mencurahkan usaha untuk mengurusi anak (Drew, 2006).
2. Tipe Pola Asuh
Pola asuh orang tua mempengaruhi seberapa baik anak membangun nilainilai dan sikap-sikap anak yang bisa dikendalikan. Baimruind, pakar
perkembangan anak telah mengelompokkan pola asuh kedalam empat tipe:
bisa diandalkan, otoriter, permisif, dan campuran (Drew, 2006).
a. Pola Asuh Bisa Diandalkan
Orang tua yang bisa diandalkan menyeimbangkan kasih sayang
dan dukungan emosional dengan struktur dan bimbingan dalam
membesarkan anak-anak mereka. Orang tua tipe ini memperlihatkan
cinta dan kehangatan kepada anak. Mereka harus mendengarkan secara
aktif dan penuh perhatian, serta menyediakan waktu bertemu yang
positif secara rutin dengan anak. Orang tua tipe bisa diandalkan
membiarkan

anak

untuk

menentukan

keputusan

sendiri

dan

mendorong anak untuk membangun kepribadian.


Orang tua yang bisa diandalkan menyadari bahwa beberapa
sikap yang sulit dikendalikan pada anak pasti diimbangi dengan sikap
positif. Seseorang anak keras kepala yang sering membantah juga
dapat menjadi anak yang gigih, fokus, dan selalu menuntaskan tugas
mereka. Intinya, pola asuh yang bisa diandalkan melibatkan ras hormat

26

kepada anak sebagai individu unik yang bisa diterima dan dicintai
bahkan ketika anak bersikap tidak normal.
Anak-anak dari orang tua yang bisa diandalkan cenderung
memiliki kebanggaan diri yang sehat, hubungan positif dengan
sebayanya, percaya diri, dan sukses. Anak-anak ini juga memiliki
masalah emosional yang lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak
yang dibesarkan dengan tipe pola asuh lain. Anak mampu mengatasi
stres dengan baik, berjuang mencapai tujuan, dan mengendalikan diri
terhadap amarah.
b. Pola Asuh Otoriter
Orang tua otoriter menekankan batasan dan larangan di atas
respon positif. Orang tua sangat menghargai anak yang patuh terhadap
perintah orang tua dan tidak melawan. Orang tua tipe ini cenderung
untuk menentukan peraturan tanpa berdiskusi dengan anak terlebih
dahulu. Mereka tidak mempertimbangkan harapan-harapan dan
kehendak hati anak. Hukuman sebagai penegak kedisiplinan dan
amarah diterapkan pada tipe orang tua otoriter.
Penelitian telah menunjukkan bahwa anak dari orang tua
otoriter bisa menjadi pemalu, penuh ketakutan, menarik diri, dan
berisiko terkena depresi. Anak bisa menjadi sulit membuat keputusan
untuk diri anak karena sudah biasa diperintah apa yang harus
dikerjakan.

27

c. Pola Asuh Permisif


Orang tua tipe permisif tidak memberikan struktur dan batasan
yang tepat bagi anak. Orang tua tipe ini cenderung mempercayai
bahwa ekspresi bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah
penting bagi perkembangan psikologis. Orang tua menyembunyikan
ketidaksabaran, kemarahan, atau kejengkelan pada anak. Ketika orang
tua menentukan peraturan, batasanya cederung tidak jelas dan
diterpkan secara tidak konsisten,
Anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua tipe permisif
biasanya menjadi anak yang manja. Anak cenderung menuntut, kurang
percaya diri, dan kurang bisa mengendalikan diri. Anak senang bila
keinginan dipenuhi, tetapi mudah marah ketika keinginannya tidak
dipenuhi.

d. Pola asuh campuran


Pola asuh campuran orang tua tidak konsisten dalam mengasuh
anak. Orang tua terombang-ambing antara tipe bisa diandalkan,
otoriter, atau permisif. Orang tua mungkin menghadapi sikap anak dari
waktu ke waktu dengan cara berbeda. Contohnya, orang tua bisa
memukul anaknya ketika anak menolak perintah orang tua, pada
kesempatan lain orang tua mengabaikan anak bila anak melanggar
perintah orang tua.

28

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh


Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah
(Edward, 2006):
a. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalamannya
sangat berpengaruh dalam mengasuh anak.
b. Lingkungan
Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak
mustahil jika lingkungan juga ikut mewarnai pola-pola pengasuhan
yang diberikan orang tua terhadap anak.
c. Budaya
Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oelh
masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat
disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut
dianggapnya berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang
tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan
baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam
mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam
memberikan pola asuh terhadap anaknya.

29

D. Kerangka Teori

Faktor fisiologis:
1. Lelah
2. Mengantuk
3. Lapar
4. Sakit
Faktor psikologis
1. Kegagalan anak
2. Tuntutan orang tua

Perilaku Tantrum

Faktor orang tua:


1. Pola asuh orang tua
Faktor lingkungan:
1. Lingkungan keluarga
2. Lingkungan luar
rumah

Skema 2.2 Kerangka Teori


(Sumber : Lyness, 2009 & Ferdinand, 2008)

E. Kerangka Konsep
Variabel Independen

Variabel Dependen

Pola Asuh Orang Tua

Perilaku Tantrum

Skema 2.3 Kerangka Konsep

30

F. Variabel Penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Variabel Independen
Variabel

independen pada penelitian ini adalah pola asuh. Pola asuh

merupakan sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen (variabel


terikat), yaitu tempertantrum. Dapat dikatakan bahwa pola asuh adalah
variabel yang mempengaruhi variabel tantrum.
2. Variabel Dependen
Variabel dependen pada penelitisn ini adalah tempertantrum, variabel
tersebut dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel pola asuh
(Nursalam, 2003).

G. Hipotesis
Hipotesa penelitian ini adalah Ada hubungan antara pola asuh orang tua
dengan perilaku tempertantrum pada anak prasekolah.

31

Anda mungkin juga menyukai