Anda di halaman 1dari 16

ASUHAN KEPERAWATAN PADA

GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN : KUSTA


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III Semester VII Tahun Ajaran 2012 2013

Disusun oleh :
Kelompok 1
Ali Nuriman

NIM 1420109002

Atik Kusmiati

NIM 1420109007

Wartini

NIM 1420109030

Eka Utami

NIM 1420109040

Yoka Indriana

NIM 1420109035

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS GALUH
CIAMIS
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul: ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN
SISTEM INTEGUMEN : KUSTA.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan
dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak
untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.

Ciamis, Desember 2012

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I : TEORITIS..................................................................................................
1.1. Definisi......................................................................................................
1.2. Patofisiologi...............................................................................................
1.3. Patogenesis................................................................................................
1.4. Etiologi......................................................................................................
1.5. Manifestasi Klinis......................................................................................
1.6. KlasifikasiKomplikasi...............................................................................
1.7. Penatalaksanaan medis..............................................................................
1.8. Komplikasi.................................................................................................
1.9. prognosis....................................................................................................
BAB II : PROSES KEPERAWATAN.....................................................................
2.1 Pengkajian...................................................................................................
2.2 Diagnosa keperawatan ...............................................................................
2.3 Intervensi dan Rasional...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

BAB I
TEORITIS
1.1 Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh
lainnya. (Depkes RI, 1998).
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi
Mikobakterium leprae. (Mansjoer Arif, 2000).
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf

tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas, sistem endotelial, mata,otot, tulang, dan testis ( djuanda, 4.1997 ).
Kusta adalah penyakit menular pada umunya mempengaruhi kulit dan
saraf perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas (COC,
2003).
Jadi penulis simpulkan bahwa Penyakit kusta adalah penyakit menular
yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
1.2 Patofisiologi
Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated
immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang
kearah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kearah lepromatosa. M.
leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah
akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena
respon imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
1.3 Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi
lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel
makrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann
jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan
makrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpulan sistem imun seluler tinggi makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak
jaringan.
Tipe TT ; fase sistem imun seluler tinggi makrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis makrofag, terjadi

sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel
dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Timbulnya penyakit pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber
penularan, kuman kusta, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan iklim.
Sumber penularan adalah kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari
pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur
berobat.
Bila seseorang terinfeksi M. leprae sebagian besar (95%) akan sembuh
sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30%
bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh.
Insiden tinggi pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab.
Insiden penyakit kusta di Indonesia pada Mret 1999 sebesar 1,01 per 10.000
penduduk.
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada
orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25 35
tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10 12 tahun.
1.4 Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat
obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti
mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf
pusat. Masa membelah diri Mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa
tunasnya antara 40 hari sampai 40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok
dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan dan BTA.
1.5 Manifestasi klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa:
makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan

gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi


sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
1.6 Klasifikasi
Klasifikasi menurut WHO (1995) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Pause Basiler (PB) : I, TT, BT
b. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
Perbedaan antara kusta Pause Basiler (PB) dengan Multi Basiler (MB)
menurut WHO :
No
1.

Kelainan pada kulit dan


hasil pemeriksaan
Bercak (makula)
a. Jumlah
b. Ukuran
c. Distribusi
d. Konsistensi
e. Batas
f. Kehilangan

Pause Basiler

Multi Basiler

a. 1-5
a. Banyak
b. Kecil dan besar
b. Kecil-kecil
c. Unilateral
atau c. Bilateral,

rasa

bercak
g. Kehilangan

bilateral asimetris
simetris
d. Kering dan kasar
e. Tegas
d. Halus, berkilat
pada
f. Selalu ada dan e. Kurang tegas
f. Biasanya tidak
jelas
jelas, jika ada

berkemampuan
berkeringat,

terjadi
berbulu

rontok pada bercak

g. Bercak
berkeringat,

tidak
ada

bulu rontok pada


bercak

yang

pada
sudah

lanjut
g. Bercak masih
berkeringat,
bulu

tidak

rontok
2.

Infiltrat
a. tidak ada

a. Kulit

a. Ada, kadangkadang

b. Membrana

mukosa

tersumbat perdarahan di

b. Tidak pernah ada

tidak

ada
b. Ada, kadangkadang

tidak

hidung

ada

3.

Ciri Hidung

central

healing a. Punched

penyembuhan
b.
c.
d.
e.

ditengah

4.
5.

out

lesion
Medarosis
Ginecomasti
Hidung pelana
Suara sengau

Nodulus

Tidak ada

Kadang-kadang

Penebalan syaraf tepi

ada
Lebih sering terjadi Terjadi pada yang
dini, asimetris

lanjut

biasanya

lebih dari 1 dan


6.

Deformitas cacat

Biasanya

7.

Apusan

terjadi dini
BTA negatif

simetris
asimetris Terjadi

pada

stadium lanjut
BTA positif

1.7 Penatalaksanaan Medis


a. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO
1995 sebagai berikut:
1. Tipe PB (Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a) Rifampisin 600mg/bulan diminum didepan petugas
b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah
selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis

lesinya masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan


RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure
dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB (Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600mg/bulan diminum didepan petugas
b) Klofazimin 300mg/bulan diminum didepan petugas dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis
lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998)
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
Dosis untuk anak:
1. Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun :
a) Bulanan 100mg/bulan
b) Harian 50mg/2kali/minggu
Umur 11-14 tahun :
a) Bulanan 100mg/bulan
b) Harian 50mg/3kali/minggu
2. DDS : 1-2mg/Kg BB
3. Rifampisin : 10-15mg/Kg BB

Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal
rifampisin 600mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi
diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat
alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.
Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
b. Perawatan Umun

Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.


Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
1. Perawatan mata dengan lagophthalmos
a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu
2. Perawatan tangan yang mati rasa
a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tandatanda luka, melepuh
b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
c)
d)
e)
f)

setengah jam
Keadaan basah diolesi minyak
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

3. Perawatan kaki yang mati rasa


a) Penderita memeriksa kaki tiap hari
b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam
c) Masih basah diolesi minyak
d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
e) Jari-jari bengkok diurut lurus
f) Kaki mati rasa dilindungi
4. Perawatan luka
a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
b) Luka dibalut agar bersih
c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas
5. Tanda penderita melaksanakan perawatan diri:
a) Kulit halus dan berminyak
b) Tidak ada kulit tebal dan keras
c) Luka dibungkus dan bersih
d) Jari-jari bengkak menjadi kaku
1.8 Prognosis
Setelah program terapi obat, biasanya prognosis baik, yang paling sulit
adalah manajemen gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan

dan kaki. Ini membutuhkan kerjasama dengan tenaga ahli seperti neurologis,
ortopedik, ahli bedah, oftalmologis, dan rehabilitasi.
1.9 Komplikasi
Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah
kerusakan urat saraf tepi, kecacatan, terjadinya kerontokan alis mata,
menebalnya cuping telinga, kadang-kadang terjadi hidung pelana akibat dari
kerusakan tulang rawan hidung, pada bentuk yang parah bisa terjadi wajah
singa (faces leonina).
BAB II
PROSES KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anakanak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan.
Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta
adalah dari golongan ekonomi lemah.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada
saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam
ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.
c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (Mikobakterium Leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
e. Riwayat Psikososial
Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita
morbus hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan
beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,

sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien
mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan.

f. Pola Aktivitas Sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan.
g. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi
berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah
karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
1. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada
bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
3. Sistem persarafan
a) Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/
mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki
dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/ hilangnya reflek kedip.
b) Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh
dan lama-lama

ototnya

mengecil

(atropi) karena

tidak

dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan


akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat
dirapatkan (lagophthalmos).

c) Kerusakan fungsi otonom


Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4. Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5. Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi.
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik.
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan

dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.


2.3 Intervensi dan Rasional
a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria :
1. Menunjukkan regenerasi jaringan
2. Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan
kondisi sekitar luka.
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses
inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.

Rasional : Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada


jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan
adakah penyebaran pada jaringan sekitar.
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi.
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat

proses

penyembuhan.
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang.
Kriteria :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.

Intervensi :
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
Rasional : Memberikan informasi untuk membantu

dalam

memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien.
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.
Rasional : Dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Atur posisi senyaman mungkin.
Rasional : Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri.
5. Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan rasa nyeri.
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi
dan aktivitas dapat dilakukan.
Kriteria :
1. Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2. Kekuatan otot penuh

Intervensi :
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
Rasional : Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.
Rasional : Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif.
Rasional : Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/sendi.
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan
periode istirahat.
Rasional : Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap
aktifitas.
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada
latihan.
Rasional : Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan.
d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan

dengan

ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria :
1. Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2. Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
Intervensi :
1. Kaji makna perubahan pada pasien.
Rasional : Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal.
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri.
Rasional : Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa
yang terjadi membantu perbaikan.
3. Berikan harapan dalam parameter

situasi

individu,

jangan

memberikan kenyakinan yang salah.


Rasional : Meningkatkan perilaku positif dan memberikan
kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas.
4. Berikan penguatan positif.

Rasional : Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku


koping positif.
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.
6. Rasional : Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan
respon yang lebih membantu pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Depkes, 1998, Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-XII,
Depkes Jakarta.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi II, EGC. Jakarta, 1995.
Simposium Penyakit Kusta, FKUA Surabaya.
Marrilyn, Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai