Anda di halaman 1dari 2

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau

menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri adalah gejala penyakit atau
kerusakan yang paling sering. Walaupun sering berfungsi untuk mengingatkan, melindungi
dan sering memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan,
kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit luar
mukosa yang membatasi jaringan dan juga banyak organ dalam bagian luar tubuh peka
terhadap rasa nyeri, tetapi ternyata terdapat juga organ yang tak mempunyai reseptor nyeri,
seperti misalnya otak. Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik
melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan
kerusakan jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri (Katzung 2010).
Semua senyawa nyeri (mediator nyeri) seperti histamine, bradikin, leukotrien, dan
prostaglandin merangsang reseptor nyeri (nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di kulit,
mukosa serta jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain reaksi radang dan kejangkejang. Nociceptor ini juga terdapat di seluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari
tempat ini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron
dengan sangat banyak sinaps via medulla spinalis, medulla oblongata dan otak tengah. Dari
thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, tempat impuls dirasakan
sebagai nyeri (Roberts 2007).
Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan
dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan
suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan
jaringan khususnya. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan
ketergantungan pada pemakai. Untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri
tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat
dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor
nyeri tidak menerima rangsang nyeri (Astuti 2007).
Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetika) turunan NSAID,
atau Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obat analgetika adalah
golongan obat antiinflamasi (antiradang), dan beberapa jenis obat golongan ini memiliki pula
sifat antipiretik (penurun panas), sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik.
Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berada di
golongan ini adalah parasetamol, tetapi antalgin lebih banyak sifat analgetiknya. Antalgin
adalah derivat metansulfonat dari amidopirina yang bekerja terhadap susunan saraf pusat
yaitu mengurangi sensitivitas reseptor rasa nyeri dan mempengaruhi pusat pengatur suhu
tubuh. Tiga efek utama adalah sebagai analgesik, antipiretik dan anti-inflamasi (Tan et al
2002).
Ketoprofen juga merupakan NSAID dengan efek antiinflamasi, analgesik, dan
antipiretik. Ketoprofen sering diresepkan untuk meringankan rasa sakit, nyeri,
pembengkakan, dan kekakuan yang disebabkan oleh osteoartritis (radang sendi disebabkan
oleh kerusakan pada selaput sendi) dan rheumatoid arthritis (arthritis yang disebabkan oleh
pembengkakan selaput sendi). Ketoprofen juga digunakan untuk meredakan nyeri, termasuk

nyeri haid (nyeri yang terjadi sebelum atau selama periode menstruasi. Ketoprofen untuk
swamedikasi yang digunakan untuk meringankan nyeri ringan dan nyeri dari sakit kepala,
periode menstruasi, sakit gigi, nyeri otot, dan sakit punggung, dan mengurangi demam.
Ketoprofen dalam kelas obat yang disebut NSAID. Ia bekerja dengan menghentikan produksi
suatu zat tubuh yang menyebabkan rasa sakit, demam, dan peradangan (Tan et al 2002).

Astuti P. 2007. Sistem Saraf dan Otot. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Katzung BG. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik (Basic Clinical Pharmacology). Alih
Bahasa: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
Salemba Medika.
Roberts A. 2007. Roles for inhibition: studies on networks controlling swimming in young
frog tadpoles. A Journal of J Comp Physiol A (2008) 194:185193.
Tan HT, R Kirana. 2002. Obat-Obat Penting Edisi Kelima Cetakan Kedua. Jakarta:
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai