Anda di halaman 1dari 6

Wanita Berkerudung Hitam

Oleh : Adilla Putri


Kata mereka diriku selalu di manja
Kata mereka diriku selalu di timang
Oo.. bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada didalam hatiku

Begitulah bait lagu yang aku dengar dari radio tua milik Ko Achun, seorang Tionghoa
yang menjadi bosku di bengkel ini. Sepotong bait lagu Bunda itu mengingatkan aku pada
sosok emak di kampung. Sudah lama aku tidak memberi kabar pada emak. Pikiranku terbang
sejenak mengingat masa kecilku di kampung bersama emak dan kakakku yang sekarang telah
dipanggil oleh Allah karena penyakit Lupus yang dideritanya. Kalian tahu apa itu penyakit
Lupus kawan? Lupus adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Kakakku
meninggal di usianya yang masih terbilang muda, 8 tahun. Dan ketika itu aku masih berumur
5 tahun. Aku teringat, setiap hari emak mengajari kami banyak hal. Walaupun emak adalah
single parent, tapi bagi kami emak adalah sosok yang luar biasa. Sejak abah meninggal, emak
tak ingin menikah lagi. Padahal tak sedikit yang melamar emak setelah abah pergi. Maklum
saja, emak adalah sosok wanita yang lembut dan tentunya memiliki wajah yang cantik.
Pikiranku terus melayang, mengingat saat-saat indah bersama kakak dan emak di
sawah belakang rumah. Setiap sore, lepas sholat ashar, emak selalu memeriksa buku kami di
bawah pohon mangga. Emak akan melihat apakah hari itu kami dapat nilai baik atau bahkan
mendapat nilai buruk. Namun demikian, kami berdua tak pernah takut akan momen seperti
itu. Justru kami menantikan saat itu, sebab emak akan senyum-senyum sendiri melihat hasil
belajar aku dan kakak setiap hari. Dan kami tentu sangat bahagia melihat emak tersenyum,
karena aura wajah emak akan memancar bak putri aurora dalam negeri dongeng.
Suatu ketika emak mengatakan padaku bahwa aku berbakat menjadi seorang penulis.
Sebab, kata emak tulisanku indah sekali. Tapi ketika itu aku hanya senyum-senyum
kegirangan tanpa mengerti apa yang dimaksudkan emak kepadaku. Hampir setiap memeriksa
buku Bahasa Indonesia, emak mengatakan demikian. Perlahan aku mulai mencoba
memahami maksud emak dan rajin bertanya pada guru di sekolah tentang hal tulis-menulis.
Sampai-sampai aku katakan pada kakak dan emak, aku ingin menjadi seorang penulis
terkenal. Aku akan membahagiakan kakak dan emak, dan aku akan melakukan apapun yang
membuat kakak dan emak bahagia. Semangatku tak sampai disitu, aku juga sering menulis di
majalah dinding sekolah bahkan sampai aku tamat dari bangku SMA, tulisanku sering dimuat

di surat kabar. Tetapi semua harapanku hancur ketika suatu hal terjadi menimpa keluarga
kecilku.
Tahun 1990 ketika aku berusia 5 tahun, kakak ku tersayang pergi meninggalkan dunia
ini untuk selama-lamanya. Kami sangat terpukul dengan musibah itu, terutama emak yang
belakangan hari menjadi sakit-sakitan. Sejak kepergian kakak, emak lebih banyak diam.
Rutinitas kami setiap hari di bawah pohon mangga tak pernah terjadi lagi. Banyak sekali
biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan emak, bahkan sawah kami satu-satunya
peninggalan abah pun dijual untuk membiayai pengobatan emak. Setelah kondisi emak
membaik, aku meminta izin kepada emak untuk pergi ke kota mencari rezeki. Awalnya emak
tak mengizinkan aku pergi, tapi aku tetap bersikeras agar emak memberi izin padaku.
Akhirnya, dengan berat hati emak membiarkan anak lelakinya ini pergi ke kota tanpa modal
apapun.
Mak, aryo pergi dulu, emak jaga diri baik-baik ya. Kalau terjadi apa-apa sama emak,
beritahu tetangga ya mak ucap aryo sambil memeluk emaknya erat
Kamu hati-hati di daerah orang ya nak, jangan lupakan emak. Emak minta maaf,
gara-gara emak kamu tidak bisa kuliah, dan karena emak juga kamu harus mencari nafkah,
maafkan emak, ucap emak sambil terisak
Emak tenang saja, aku akan baik-baik disana. Masalah kuliah, nanti-nanti kan bisa
mak, yang penting emak harus selalu doakan Aryo, Aryo pergi dulu Assalamualaikum ,
ucapku lirih sambil berlalu meninggalkan emak yang masih berusaha menahan hasratnya
untuk membiarkan aku tetap bersamanya. Aku berjalan dan terus berjalan, dan akhirnya
ketika ku lihat ke belakang emak berada dalam satu titik, pertanda aku telah jauh dari rumah.
Aku pergi ke kota untuk mengadu nasib. Berharap inilah jalan terbaik yang diberikan
oleh Allah Swt kepadaku. Setelah memantapkan hatiku untuk meninggalkan desaku yang
kucinta ini, aku pergi naik bus menuju kota.
***
Pukul 07.30 WIB
Bus yang aku tumpangi tiba di kota. Aku terbangun akibat suara riuh diluar bus yang
begitu menggangguku. Setelah itu aku turun dan menulusuri pasar yang dipenuhi banyak
pasang mata yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kepalaku masih terasa pusing.
Akhirnya aku putuskan untuk duduk di depan sebuah bengkel mobil. Aku memperhatikan
pekerja di bengkel itu sambil sesekali melihat orang berlalu lalang. Tidak terasa sudah
berjam-jam aku duduk di depan bengkel itu. Akhirnya sang pemilik bengkel, yang
belakangan aku tahu namanya, memanggilku.

Oe lihat lu dari tadi duduk didepan bengkel oe, lu mau apa? Ia bertanya dengan
sinis
Maaf ko, saya hanya numpang istirahat. Saya tidak tahu mau pergi kemana. Saya
baru datang dari kampung, kataku dengan perasaan malu
Oke, kalau begitu lu mau kerja sama oe? Kalau lu mau, lu bisa tinggal disini. Kata
pemilik bengkel dengan ramah
Serius ko? aku terperanjat
Emang lu lihat oe sedang bercanda? kata Ko Achun
Saya mau ko, terima kasih banyak atas kebaikan hati ko pada saya. Jadi kapan saya
mulai bekerja ko? jawabku cepat
Sekarang juga lu sudah bisa bekerja, kenalkan Oe pemilik bengkel ini. Lu boleh
panggil oe Ko Achun. Ia memperkenalkan diri sambil menjabat tanganku yang gemetaran
Saya Aryo ko, senang bertemu dengan Ko Achun. Aku tak kuasa menahan rasa
bahagia.
Oke kamu bisa ganti pakaian disana. Ko Achun menunjukkan ruangan di sudut
bengkel
Aku bergegas menuju ruangan yang dimaksud Ko Achun dengan perasaan bahagia.
Aku sangat bersyukur atas karunia Allah pagi itu. Semua berkat doa emak untukku. Dan aku
tak akan pernah melupakannya.
***
Hampir setahun sudah aku bekerja di bengkel milik Ko Achun. Jabatanku pun tidak
lagi menjadi pekerja. Sekarang posisiku menjadi kepala pekerja di bengkel Ko Achun. Ini
berkat kinerjaku yang bagus, kata Ko Achun suatu hari, sehingga ia memberi kepercayaan
kepadaku untuk memanage bengkel miliknya yang sekarang semakin maju dan besar.
Kalian tahu kawan, hampir setahun juga aku tidak pernah memberi kabar kepada
emak tentang kondisiku di kota. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Yang aku tahu aku
mengirim uang untuk emak melalui Pak Uji, tetangga kami yang bekerja di kota. Ia akan
memberi uang pemberianku kepada emak sebulan sekali. Tetapi, setelah sepotong bait lagu
Bunda yang aku dengar sayup-sayup dari ruanganku tadi, rasanya aku telah durhaka pada
emak. Bagaimana tidak, dulu sebelum aku pergi aku katakan pada emak bahwa aku akan
membahagiakannya . Tapi apa nyatanya? Hanya uang yang aku kirim untuk emak. Aku baru
sadar, uang tidaklah cukup untuk membuat hati menjadi bahagia. Tetapi perhatian dan kasih
sayanglah yang sangat emak butuhkan saat ini. Betapa jahatnya aku pada emak!, batinku.
Selasa pagi, tepat pukul 06.00 WIB, aku berangkat menuju desa tercinta. Di sepanjang
perjalanan aku melihat-lihat, rasanya sudah lama sekali aku tidak melewati jalan-jalan ini,
membuatku semakin tidak sabar untuk bertemu emak. Bus yang ku naiki berlari lebih
kencang saat batinku semakin menggebu-gebu untuk bertemu emak. Seolah-olah ia
mengetahui hasratku sudah tidak tertahan untuk bertemu dengan emakku tersayang. Setelah
memakan waktu lebih kurang 9 jam, akhirnya aku tiba di desaku tercinta. Keadaannya telah

banyak berubah, dan pastinya semakin membaik. Mulai dari jalan-jalan yang sudah mulai
diaspal, jembatan yang sudah diperbaiki dan kulihat ada taman bacaan disana, entah siapa
yang berbaik hati membangunnya untuk anak-anak di desaku. Ku percepat langkahku untuk
sampai ke rumah. Sesampainya dirumah, aku cukup terperanjat melihat kondisi rumahku.
Keadaanya berubah drastis. Seingatku, keadaan rumah waktu aku tinggalkan biasa-biasa saja,
tetapi kenapa sekarang begitu indah? Dipenuhi banyak bunga dan buku disana.
Keterkejutanku tidak habis sampai disitu, bahkan ketika aku masuk ke rumah, aku melihat
ada seorang wanita berkerudung hitam, berperawakan tinggi semampai, berkulit putih bersih
bak putri salju, dengan senyum manis merekah dibibirnya ketika aku mengucapkan
Assalamualaikum.
Ini pasti mas Aryo, kedatangan mas sudah ditunggu-tunggu oleh emak hampir
setahun. Pasti emak bahagia sekali melihat kedatangan mas dirumah ini. Katanya sambil
tersenyum.
Kamu siapa? Kenapa kamu tahu namaku, emakku, dan kenapa juga kamu berada
dirumahku? bertubi-tubi pertanyaan yang ku lemparkan padanya.
Saya Mardha, mahasiswi Fakultas Kedokteran yang sedang mengabdi di desa ini
mas. Kebetulan ketika saya tiba disini, emaklah orang pertama yang mengajak saya tinggal
dirumahnya. Saya sangat kagum pada emak, sebab itu saya disini mas. Setiap hari emak
bercerita tentang Mas Aryo. Kata emak, ia sangat bangga pada mas. Sebab Mas Aryo tidak
melupakan emak hingga sekarang, ia juga bangga pada Mas Aryo sebab tulisan mas sering
dimuat di koran. Emak juga mengatakan ia telah mengumpulkan tulisan-tulisan Mas Aryo
yang pernah dimuat di surat kabar. Wah kalau emak tau Mas Aryo sudah pulang pasti emak
senang sekali. Karena sudah lama emak ingin bertemu dengan mas. Jelas wanita
berkerudung hitam itu.
Lalu dimana emak sekarang? Kenapa aku tidak melihatnya dari tadi? kataku cepat
Emak sekarang ada di rumah baca, jawabnya
Oiya, rumah baca itu didirikan oleh siapa? Dan kenapa emak berada disana?, kali
ini aku bertanya dengan senyum
Setelah saya tinggal disini, emak pernah bercerita pada saya bahwa ia suka sekali
membaca. Tetapi ia tak punya banyak uang untuk membeli buku. Selain itu emak juga pernah
bercerita bahwa ia ingin anak-anak disini memiliki hobi yang sama dengannya, agar orang
desa itu tidak ketinggalan pengetahuannya dibanding orang kota. Jadi, menanggapi cerita
emak akhirnya saya dirikan taman baca itu. Alhasil emak sangat bahagia, dan setiap hari
selepas pekerjaannya selesai, emak selalu duduk disana, membaca apa saja yang membuat

hatinya senang. Saya sangat kagum pada emak, diusianya yang terbilang tidak muda lagi, ia
masih memiliki semangat luar biasa untuk menuntut ilmu. Saya jadi malu sebagai mahasiswi,
yang tidak memiliki semangat seperti emak. Mardha tersipu malu
Baiklah, saya mau bertemu emak sekarang, terima kasih atas penjelasannya Mardha,
saya senang bertemu kamu, kemudian aku berlalu meninggalkan Mardha yang masih
tersenyum melihatku.
Sesampainya di rumah baca, aku melihat sosok wanita separuh baya yang sedang
asyik membaca buku. Ku tatap emak dalam, dan tiba-tiba mataku memanas. Air mata tidak
terbendung lagi, dan akhirnya tumpah ke pipi ku. Aku terharu melihat sosok luar biasa
disudut ruangan yang sedang membaca itu.
Emak, Aryo pulang mak! kataku terisak
Aryo? Engkau Aryo anakku? Kau sudah pulang nak. Alhamdulillah Emak
memelukku erat. Ia menangis melihat kehadiranku yang tidak ia duga
Mak, maafkan Aryo. Aryo sudah lama tidak pulang melihat emak, maafkan Aryo
mak, aku bersujud dihadapan emak. Kali ini aku memang benar-benar merasa bersalah pada
emak. Aku bersimpuh dihadapan emak, memohon maaf padanya.
Bangkitlah nak, kau tidak salah apa-apa. Justru aku bangga padamu nak. Kau
mewujudkan impianku menjadi seorang penulis. Kau anak yang luar biasa Aryo, kata emak
sambil terus memelukku.
Apa maksud emak? Aku mulai tidak faham
Kau ingat nak, dahulu aku sering mengatakan padamu kau berbakat menjadi penulis.
Itu karena cita-citaku tidak tersampaikan nak. Suatu hal telah menyebabkan aku gagal
menjadi penulis. Oleh sebab itu, aku ingin anakku yang menjadi penulis. Dan kaulah
orangnya nak. Kau telah menjadi penulis, emak menyampaikannya dengan menggebu-gebu.
Tapi mak, Aryo hanya menulis di surat kabar, tidak lebih, aku mencoba membuat
emak tenang
Tidak nak, kau bukan penulis surat kabar biasa, tunggu sebentar, emak lalu pergi
meninggalkan aku yang masih bingung dengan perkataan emak. tidak berapa lama kemudian,
ku lihat emak kembali ke hadapanku dengan membawa beberapa buah buku.
Ini nak, inilah bukti bahwa kau bukan penulis surat kabar biasa, kata emak dengan
bangga
Lalu dengan perasaan super bingung aku melihat buku itu satu persatu. Kulihat nama
pengarang dibuku-buku itu. Ah, betapa terkejutnya aku. Ternyata itu buku karanganku.

Emak, siapa yang menjadikan tulisan-tulisan ini menjadi buku?, kataku tidak
percaya
Emak tidak menjawab, kemudian datang perempuan berkerudung hitam itu ke
hadapan kami.
Saya yang menerbitkannya mas, tetapi atas keinginan emak, ucap Mardha seraya
terseyum. Manis sekali.
Terima kasih Mardha, terima kasih emak, aku tak mampu lagi berkata apa-apa. Aku
sangat beruntung memiliki emak yang luar biasa. Emak yang penuh dengan kasih sayang dan
dedikasi yang tinggi. Tiada yang paling berharga di dunia ini bagiku, selain emak.
Sore itu, aku habiskan waktu di rumah baca bersama emak dan Mardha. Aku benarbenar merasa sangat beruntung memiliki emak yang luar biasa, dan bertemu Mardha, wanita
cantik dan sholehah yang pernah ku temui selama hidupku. Wanita berkerudung hitam itulah
yang membuat semuanya menjadi berbeda. Dia telah banyak membantu aku dalam menjaga
emak, dan dia pula lah yang membuat emak sehat dari penyakitnya. Ah, betapa beruntungnya
lelaki yang bisa mendapatkan hati wanita semulia itu. Dalam diam, di sela-sela pembicaraan
kami bertiga, ada rasa yang tidak biasa didalam hatiku ketika memandang Mardha. Hatiku
seolah berkata, dia lah wanita yang aku cari selama ini. Semoga saja, batinku.
***

Anda mungkin juga menyukai