PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sejak lahir hingga menjelang ajal, manusia tidak pernah statis, manusia selalu
mengalami perubahan, baik yang bersifat evolutif (progressive), maupun involutif
(retrograde). Perubahan yang dialami manusia merupakan integrasi dari berbagai
perubahan struktur dan fungsi, karena itu perubahan ini tergantung pada hal-hal yang
dialami sebelumnya dan akan mempengaruhi hal-hal yang terjadi sesudahnya.
Dalam konteks psikologi ada 2 (dua) macam perubahan, yaitu:
1. Pertumbuhan,
diartikan
sebagai
perubahan
yang
bersifat
kuantitatif
yang
muncul.
Sedangkan
Soemantri
(2005)
berpendapat,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a)
b)
c)
d)
2)
b.
c.
1)
2)
3)
4)
d.
1)
kasar. Otot-otot besar dan sebagian atau seluruh anggota tubuh digunakan anak untuk
melakukan gerakan tubuh.
Perkembangan motorik halus, merupakan perkembangan gerakan anak yang
menggunakan otot-otot kecil atau sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan
pada aspek ini dipengaruhi oleh kesempatan anak untuk belajar dan berlatih. Misalnya
kemampuan menulis, menggunting, menyusun balok, dan menggaruk.
Perkembangan emosi
Perkembangan pada aspek ini meliputi kemampuan anak untuk mencintai,
merasa nyaman, berani, gembira, takut, marah, serta bentuk-bentuk emosi lainnya.
Pada aspek ini anak sangat dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungan baik
keluarga atau orang lain di sekitarnya. Emosi yang berkembang akan sesuai dengan
impuls emosi yang diterimanya. Misalnya, jika anak mendapatkan curahan kasih
sayang, maka mereka akan belajar menyayangi.
Perkembangan kognitif
Pada aspek kognitif, perkembangan anak terlihat pada kemampuannya dalam
menerima, mengolah, dan memahami informasi-informasi yang sampai kepadanya.
Kemampuan kognitif berkaitan dengan perkembangan bahasa (lisan maupun isyarat),
memahami kata dan berbicara, serta kemampuan intelektual lainnya seperti berhitung
dan asosiasi.
Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) perkembangan kognitif dibagi dalam
empat tahap. Yaitu:
Sensori motor (usia 0 2 tahun)
Dalam tahap ini perkembangan panca indra sangat berpengaruh dalam diri anak.
Keinginan terbesarnya adalah untuk menyentuh atau memegang, karena didorong oleh
keinginan untuk mengetahui reaksi dari perbuatannya. Dalam usia ini mereka belum
mengerti motivasi dan senjata terbesarnya adalah menangis.
Pra-operasional (usia 2 7 tahun)
Pada usia ini anak cenderung egosentris sehingga terkesan pelit, karena ia tidak bisa
melihat dari sudut pandang orang lain. Memiliki kecenderungan untuk meniru orang
di sekelilingnya. Pada usia ini mereka sudah mulai mengerti motivasi, namun belum
mengerti cara berfikir sistematis dan rumit.
Operasional kongkrit (usia 7 12 tahun)
Saat ini anak mulai meninggalkan egosentrisnya dan dapat bermain dalam kelompok
dengan aturan kelompok atau kerjasama. Anak sudah dapat dimotivasi dan mengerti
hal-hal yang sistematis.
Operasional formal (usia 12 tahun ke atas)
Mereka sudah dapat memahami konsep dan mampu berfikir analitis, baik secara
konkrit maupun abstrak.
Perkembangan psikososial
Aspek psikososial berkaitan dengan kemampuan anak untuk berinteraksi
dengan lingkungannya. Misalnya kemampuan anak untuk menyapa dan bermain
bersama teman-teman sebayanya. Menurut Erickson (dalam Hurlock, 1999)
perkembangan psikososial yang dipengaruhi oleh lingkungan ada empat tahap, yaitu:
Trust mistrust (usia 0 1 tahun)
Tahap pertama ini adalah tahap perkembangan rasa percaya diri. Fokusnya terletak
pada panca indra sehingga mereka sangat memerlukan sentuhan dan pelukan.
2)
Otonomi/mandiri malu/ragu-ragu (usia 2 3 tahun)
Tahap ini merupakan tahap pemberontakan anak, atau masa nakalnya anak. Contonya
mereka akan sering sekali bergerak dan berlari, dan kenakalannya ini tidak dapat
dicegah karena ini adalah masa pengembangan motorik dan mental, sehingga yang
diperlukan justru mendorong dan memberikan tempat untuk mengembangkan motorik
dan kognitifnya. Pada saat ini anak-anak juga sangat terpengaruh oleh orang-orang
penting di sekitarnya.
3)
Inisiatif rasa bersalah (usia 4 5 tahun)
Pada tahap ini anak akan bertanya tentang banyak hal, sehingga terkesan cerewet.
Pada usia ini juga mereka mengalami pengembangan inisiatif/ide, sampai pada hal-hal
fantasi. Mereka senang mendengarkan cerita.
4)
Industri/rajin inferioriti (usia 6 -11 tahun)
Anak usia ini sudah mengerjakan tugas-tugas sekolah, termotivasi untuk belajar, tetapi
masih memiliki kecenderungan untuk kurang hati-hati dan menuntut perhatian.
a.
b.
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
bimbingan untuk menguasainya. Motivasi. Kesehatan yang baik dan tidak ada cacat
tubuh. Tingkat kecerdasan yang tinggi. kreativitas
4. Tahapan Perkembangan Anak
Tahapan perkembangan anak yang dikemukakan para ahli berbeda-beda tetapi
tidak ada pertentangan, karena tahapan tersebut bertitik tolak pada perbedaan budaya
dari masing-masing ahli. Menurut Hurlock (1999) tahapan perkembangan anak dibagi
empat: Masa bayi neonatal (0 2 minggu), Masa bayi (2 minggu 2 tahun), Awal
masa kanak-kanak (2 tahun 6 tahun), dan Akhir masa kanak-kanak (6 tahun 13
tahun). Beberapa ahli sepakat bahwa tahapan perkembangan anak secara garis besar
dibagi dalam tiga tahap, yaitu: Infancy toddlerhood (usia 0 3 tahun), Early
childhood (usia 3 6 tahun), dan Middle childhood (usia 6 11 tahun).
4)
5)
6)
7)
8)
sosial dan menghadapi kondisi baru selama masa kanak-kanak kurang mempersiapkan
diri untuk menghadapi keadaan-keadaan tersebut. Ketidakstabilan emosi juga
disebabkan karena dampak dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan
harapan sosial baru. Misalnya masalah percintaan. Pola emosi pada masa remaja
menurut Gesell dkk (dalam Hurlock, 1999) pada masa usia 14 tahun emosinya
seringkali mudah marah, mudah dirangsang, dan cenderung meledak, tidak berusaha
mengendalikan perasaannya dan pola pengungkapan amarahnya biasanya dengan
menggerutu, tidak mau bicara, dengan suara keras mengkritik orang yang
menyebabkan marah, apalagi jika ia diperlakukannya seperti anak kecil atau perlakuan
tidak adil. Kematangan emosi pada remaja: jika pada akhir masa remaja sudah tidak
meledakkan emosinya dihadapan orang lain melainkan menunggu saat yang tepat
dengan cara-cara yang lebih tepat dan dapat diterima.
Untuk mencapai kematangan emosi remaja harus belajar memperoleh
gambaran tentang situasi-situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Caranya:
Membicarakan berbagai masalah pribadinya dengan orang lain, karena keterbukaan
perasaan tentang masalah pribadi berkaitan dengan rasa aman dalam hubungan sosial.
Belajar menggunakan katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya, caranya latihan
fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis.
Penyesuaian diri, yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya. Perubahan dalam perilaku sosial,
pengelompokan sosial baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, dalam
dukungan dan penolakan sosial serta dalam seleksi pemimpin. Hurlock dan Beninoff
menjelaskan pengaruh kelompok sebaya. Kelompok sebaya merupakan dunia nyata
kawula muda yang menyiapkan panggung dimana ia dapat menguji dirinya sendiri dan
orang lain. Di dalam kelompok sebaya ia merumuskan dan memperbaiki konsep
dirinya. Di sinilah ia dinilai oleh orang lain yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak
dapat melaksanakan sanksi-sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindarinya.
Kelompok sebaya memberikan sebuah dunia tempat kawula muda dapat melakukan
sosialisasi dalam suasana dimana nilai-nilai yang berlaku bukanlah nilai-nilai yang
ditetapkan oleh orang dewasa melainkan oleh teman-teman seusianya. Di dalam
masyarakat sebaya inilah remaja memperoleh dukungan untuk memperjuangkan
emansipasi dan di situ pulalah ia dapat menemukan dunia yang memungkinkannya
bertindak sebagai pemimpin apabila ia mampu melakukannya. Maka dari itu,
kelompok sebaya merupakan hiburan utama bagi anak belasan tahun.
d. Perubahan dalam Perilaku Sosial
Perubahan sikap dan perilaku sosial yang paling menonjol adalah hubungan
heteroseksual. Perubahan singkat yang radikal, yaitu dari tidak menyukai lawan jenis
menjadi lebih menyukai teman dari lawan jenis. Kesempatan untuk melibatkan diri
dalam berbagai kegiatan sosial maka akan meningkatkan wawasan sosial dan semakin
banyak partisipasi sosial maka akan semakin besar kompetensi sosial remaja.
Misalnya dalam melakukan pembicaraan, olah raga, dan permainan yang populer,
sehingga meningkatkan kepercayaan diri remaja.
e. Perubahan Moral
Salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai remaja dalam
mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dan kemudian mau membentuk
perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus berkembang, diawasi, didorong,
dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan
mengganti konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip
moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan
berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang
remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri yang sebelumnya menjadi tanggung
jawab orang tua dan guru.
f. Minat Seks dan Perilaku Seksual
Untuk menguasai tugas perkembangan yang penting dalam pembentukan
hubungan-hubungan baru dan yang lebih matang dengan lawan jenis, dan dalam
memainkan peran yang tepat dengan seksnya. Remaja harus memperoleh konsep yang
dimiliki ketika masih kanak-kanak. Dorongan untuk melakukan hal ini datang dari
tekanan-tekanan sosial tetapi terutama dari minat remaja pada seks dan
keingintahuannya tentang seks. Jadi tugas perkembangan yang pertama berhubungan
dengan seks yang harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru dan lebih
matang dengan lawan jenis. Remaja yang fungsi seksualnya sudah mulai matang
diharapkan dapat mengembangkan minat terhadap lawan jenis serta melibatkan
kegiatan yang memenuhi unsur lawan jenis.
Meningkatnya minat pada seks ini menyebabkan remaja selalu berusaha
mencari lebih banyak informasi mengenai seks. Sumber informasi biasanya sedikit
dari orang tua. Remaja mencari lewat sekolah, teman, buku, atau mengadakan
percobaan dengan masturbasi dll.
g. Perubahan Kepribadian
Pada awal masa remaja, mereka sudah menyadari sifat-sifat yang baik dan
buruk dan mereka menilai sifat-sifat ini sesuai dengan sifat teman-teman mereka.
Remaja juga sadar akan peran kepribadian dalam hubungan-hubungan sosial dan oleh
sebab itu mereka terdorong untuk memperbaiki kepribadian mereka, misalnya dengan
membaca buku atau tulisan-tulisan tentang hal ini.
Banyak kondisi dalam kehidupan remaja yang turut membentuk pola
kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri. Hal ini ada kaitannya dengan
perubahan fisik dan psikologis yang terjadi selama masa remaja.
h. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi konsep diri remaja.
1)
Usia kematangan, remaja yang lebih awal matang diperlakukan seperti orang yang
hampir dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan, sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan baik.
2)
Penampilan diri, penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah
diri, meskipun perbedaan yang ada menambah daya tarik fisik.
3)
Kepatutan seks, dalam penampilan diri, minat, dan perilaku membantu remaja
mencapai konsep diri yang baik.
4)
Nama dan julukan, remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompok
menilai namanya buruk.
5)
Teman-teman sebaya, (1) konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan
tentang konsep teman-teman tentang dirinya, (2) ia berada dalam tekanan untuk
mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui kelompok.
6)
Kreativitas, remaja yang sejak anak-anak didorong kreatif dalam bermain dan tugas
akademis, akan memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya.
7)
Cita-cita, jika remaja memiliki cita-cita yang tidak realistis akan menimbulkan
kegagalan karena akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi bertahan
dengan menyalahkan orang lain.
1)
2)
3)
4)
5)
peran seks yang diakui, terus menerus memikirkan masalah seks, kehamilan sebelum
menikah dan pernikahan sebelum dapat mencari nafkah dianggap sebagai tanda-tanda
ketidakmatangan.
3. Perilaku moral, pelanggaran terhadap aturan-aturan dan hukum, dan pelanggaranpelanggaran norma masyarakat adalah tanda-tanda ketidakmatangan perilaku moral,
seperti kenakalan remaja, dan sikap dan anti sosial.
4. Hubungan keluarga, ketidakmatangan dalam keluarga sering ditunjukkan oleh
adanya pertengkaran dengan anggota, kemudian hal ini akan meluas dengan
mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang di luar rumah.
5. Akibat ketidakmatangan, remaja yang mengetahui bahwa sikap dan perilakunya
dianggap tidak matang oleh kelompok sosial dan menyadari bahwa orang lain
memandangnya tidak mampu menjalankan peran dewasa yang baik, akan
mengembangkan sikap dan perilaku yang rendah diri. Yang pada akhirnya cenderung
menganggap dirinya sendiri tidak berharga dan merenung atau bahkan mencoba
bunuh diri.
j. Tanda-tanda remaja tidak mampu menyesuaikan diri
Tidak bertanggung jawab (mengabaikan pelajaran untuk bersenang-senang).
Sikap yang sangat agresif dan sangat yakin pada diri sendiri.
Perasaan tidak aman (sehingga patuh pada standar-standar kelompok)
Merasa ingin pulang bahwa jauh dari lingkungan yang dikenal
Perasaan menyerah.
Sering menghayal untuk menyambangi ketidakpuasan dalam kehidupan seharihari.
7.
Mundur ke tingkat perilaku sebelumnya agar disenangi diperhatikan.
8.
Menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, proyeksi, berkhayal
dll.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
beberapa kelainan perkembangan otak (www.puterakembara.com) atau double handicap dengan retardasi mental
(Handojo, 2006). Seorang anak dapat dikatakan termasuk autisme, jika memiliki hambatan perkembangan dalam
tiga aspek. Yaitu hambatan dalam interaksi sosial-emosional, dalam komunikasi timbal-balik, dan minat yang
terbatas disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan, dan gejala-gejala tersebut sudah terlihat sebelum usia
tiga tahun (siegel, 1996).
2. Faktor penyebab autisme
Banyak ahli sepakat bahwa pada otak anak yang mengalami gangguan autisme terdapat kelainan.
Kelainan otak atau neuro anatomis tersebut terjadi di tiga lokasi, yaitu di lobus patietalis, cerebellum, dan sistem
limbik. Jadi penyandang gangguan autisme disebabkan karena adanya kelainan pada ketiga lokasi otak tersebut.
Letak posisi dari otak yang mengalami kelainan tersebut berkaitan dengan hambatan-hambatan yang dialami oleh
anak autis. Handojo (2006) menyatakan bahwa 43 % anak autis mengalami kelainan di lobus parietalis, yang
mengakibatkan anak cuek dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya. Adapun anak autis yang mengalami
kelainan di cerebellum(otak kecil), sering mengalami gangguan pada keseimbangan sorotonin dan dopamin yang
berkaitan dengan impuls. Akibatnya mengalami hambatan dalam sistem sensori, daya ingat, berpikir, belajar
bahasa, dan proses perhatian. Sedangkan posisi otak pada sistem limbik berkaitan dengan
fungsihipokampus dan amygdala yang mengontrol sistem agresi dan emosi.
Adapun faktor penyebab yang diduga menjadi pemicu kelainan neuro anatomis tersebut sampai saat ini
belum dapat dipastikan, tetapi beberapa yang diduga kuat antara lain; faktor genetik atau keturunan, infeksi virus
dan jamur, kekurangan nutrisi dan ogsigenasi, serta akibat polusi udara, air, dan makanan. Berbagai faktor
penyebab kerusakan neuro anatomis tersebut diduga terjadi selama proses kehamilan sang ibu serta pada saat
proses melahirkan. Pada masa kehamilan terjadi infeksi virus atau karena obat-obatan yang dikonsumsi ibunya
mengakibatkan kerusakan pada otak anak, atau karena kecelakaan dan trauma ketika melahirkan akibat
pendarahan atau menghirup cairan.
3. Mengenal gangguan autisme
Secara umum perilaku autis pada anak mengalami dua gangguan, yaitu gangguan dalam hubungan
interpersonal dan gangguan dalam komunikasi. Perilaku autistik juga digolongkan dalam dua jenis, yaitu perilaku
yang eksesif (berlebihan) dan perilaku yang defisit (berkekurangan). Yang termasuk perilaku eksesif adalah
hiperaktif dan tantrum, berupa menjerit, menyepak, menggigit, mencakar, dan memukul. Dalam perilaku eksesif
juga sering dijumpai perilaku self abuse(menyakiti diri sendiri). Sedangkan perilaku defisit ditandai dengan
gangguan bicara, perilaku sosial yang kurang sesuai (ex, naik ke pangkuan ibu bukan untuk kasih sayang tapi
meraih kue), defisit sensoris sehingga dikira tuli, bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat, misalnya tertawa
dan menangis tanpa sebab serta melamun.
Enam gejala pokok autisme menurut Power (1983) dapat dijadikan standar untuk mengetahui adanya
gangguan autisme atau tidak pada anak, meliputi hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi (bicara dan
bahasa), perilaku emosi, pola bermain, gangguan sensoris, dan perkembangan yang terlambat atau tidak normal.
Penampakan gejala tersebut muncul sebelum umur tiga tahun. Hal ini juga didukung oleh Handojo (2006) yang
mengemukakan beberapa indikator autisme:
a.
Bahasa atau komunikasi; ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan bahasa atau isyarat tubuh, jarang
memulai komunikasi. Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat bicara.
Lancar menirukan bicara orang lain, tetapi sulit berbicara dari diri sendiri (inisiatif komunikasi). Menggunakan katakata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
tubuh dan hanya dalam waktu singkat.
b.
Hubungan dengan orang lain dan lingkungan; tidak responsif, tidak ada senyum sosial dan tidak ada kontak mata.
Bermain repetitif (diulang-ulang) marah atau tidak menghendaki perubahan-perubahan dan berkembangnya
rutinitas yang kaku. Anak autis lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak
tertarik untuk berteman, tidak bereaksi terhadap isyarat-isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti
misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum. Mampu menggambar rinci, tetapi tidak dapat
mengkancing baju.
c.
Respon terhadap rangsangan indera; terkadang seperti tuli, panik terhadap suara-suara tertentu dan menarik diri
ketika disentuh. Cenderung sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa lidah dari
mulai ringan sampai berat.
Menurut DSM-IV (Diagnostic and Statictic Manual IV) gangguan autisme didiagnosis berdasarkan:
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial (minimal harus ada dua manifestasi). (1) Perilaku non verbal: tidak
ada kontak mata, ekspresi muka kurang hidup, sikap & gerak tubuh tidak ekspresif. (2) Kegagalan dalam
berhubungan dengan anak sebaya sesuai dengan perkembangannya. (3) Tidak dapat merasakan apa yang
dirasakan orang lain (kurang empati). (4) Kurangnya hubungan sosial dan emosional.
b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi (minimal satu gejala): (1) Bicara terlambat atau bahkan sama
sekali tidak berkembang (tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain). (2) Jika bisa bicara
tidak dipakai untuk berkomunikasi, (3) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang, (4) Cara
bermain kurang bervariasi, kurang imaginatif, dan kurang bisa meniru.
c. Suatu pola yang dipertahankan & diulang-ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan (minimal satu gejala): (1)
Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan. (2) Terpaku pada satu
kegiatan ritual atau rutin yang tidak ada gunanya. (3) Terdapat gerakan-gerakan aneh yang khas berulang-ulang.
(4) Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.
d. Sebelum usia tiga tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam: (1) Interaksi sosial. (2) Bicara
dan berbahasa. (3) Cara bermain yang kurang variatif
Dahulu autisme dianggap sebagai gangguan seumur hidup, tetapi kini ternyata autisme masa kanakkanak ini dapat dikoreksi. Tata laksana koreksi harus dilakukan pada usia sedini mungkin, sebaiknya jangan
melebihi 5 tahun karena di atas usia ini perkembangan otak anak akan sangat melambat. Usia paling ideal adalah
2-3 tahun, karena pada usia ini perkembangan otak anak berada pada tahap paling cepat. Di samping itu lama
terapi yang rata-rata 2-3 tahun, dapat mempersiapkan anak untuk memasuki sekolah reguler sesuai dengan
umurnya. Oleh karena itu diagnosa harus ditegakkan sedini mungkin, artinya anak harus segera dikonsultasikan
kepada psikolog, psikiater anak atau langsung ke center autis berpengalaman.
Untuk deteksi dini menurut Handojo (2006) sebaiknya orang tua waspada terhadap gejala-gejala berikut;
anak usia 30 bulan belum bisa bicara untuk komunikasi, hiperaktif dan cuek dengan orang tua dan orang lain,
tidak bisa main dengan teman sebayanya, dan ada perilaku aneh yang sering diulang-ulang. Karakteristik
penyandang autisme, pada umumnya selektif berlebihan terhadap rangsang, kurangnya motivasi untuk
menjelajahi lingkungan baru, kurangnya respon stimulasi diri sehingga menganggu integrasi sosial, respon unik
terhadap reinforcement (imbalan). Sejak lahir sampai dengan umur 24-30 bulan anak-anak yang mengalami
autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan bicara,
bermain dan berteman (bersosialisasi).
B. ADHD (HIPERAKTIVITAS)
Hiperaktivitas adalah masalah yang paling sering dikeluhkan oleh orang tua dan pendidik. Istilah ini
begitu lazim di masyarakat, namun dalam pemahaman yang tidak sepenuhnya tepat, biasanya hiperaktivitas
disamakan dengan banyak bergerak. Padahal tidak semua anak yang banyak bergerak dapat dikategorikan
hiperaktif. Oleh sebab itu pemahaman yang komprehensif perlu dilakukan, karena anak yang hiperaktif sangat
berbeda dengan anak yang overaktif atau aktif. Anak yang aktif dan overaktif adalah anak normal yang memiliki
kecenderungan menjadi cerdas. Sedangakan anak hiperaktif menunjukkan adanya disfungsi neurologis. Adapun
angka prevalensi hiperaktivitas di Indonesia sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi diyakini kasus
gangguan ini banyak dialami di lingkungan masyarakat. Hal ini terbukti oleh banyaknya keluhan orang tua
terhadap pendidik di berbagai sekolah serta kunjungan orang tua ke dokter dengan keluhan anaknya hiperaktif
(Yuniar, 1992).
1. Pengertian ADHD (hiperaktivitas)
ADHD dapat diterjemahkan dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau GPPH,
orang sering menyebutnya dengan anak hiperaktif (perilaku motorik yang berlebihan). Gejala ADHD sekilas mirip
dengan autisme, tetapi dengan kemampuan komunikasi dan interaksi sosial yang lebih baik pada tahap tertenu
setelah mengalami terapi yang efektif anak autisme mirip dengan ADHD. Silver (1996) mendeskripsikan
hiperaktifitas sebagai aktivitas anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hiperaktivitas merupakan suatu
terminologi yang mencakup beberapa kelainan perilku, yang meliputi; perasaan gelisah, gangguan perhatian,
perasaan yang meletup-letup, aktivitas yang berlebihan, suka membuat keributan, membangkang dan destruktif
yang menetap (Tailor, 1989). ADHD mencakup gangguan pada tiga aspek, yaitu sulit memusatkan perhatian,
hiperaktivitas dan impulsivitas. Ciri-ciri anak hiperaktif biasanya menunjukkan aktivitas yang terus bergerak,
memainkan jari/kaki saat duduk, sulit duduk diam dalam waktu lama, berlarian atau memanjat berlebihan yang
tidak sesuai situasi, atau berbicara berlebihan. Impulsivitas ditampilkan dalam perilaku yang langsung menjawab
sebelum pertanyaan selesai, sulit menunggu giliran, suka menginterupsi/mengganggu orang lain.
2. Faktor penyebab ADHD (Hiperaktivitas)
Penyebab gangguan hiperaktivitas secara pasti belum dapat dijelaskan secara pasti, dari beberapa
refrensi dapat disimpulkan beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab antara lain faktor genetik,
perkembangan otak saat kehamilan, pada saat pranatal dan trauma saat natal, faktor kecerdasan, disfungsi
metabolisme, serta ketidakteraturan hormonal. Di samping itu faktor lingkungan fisik, sosial budaya dan pola asuh
orang tua, guru serta orang-orang berpengaruh di sekitarnya ikut mempengaruhi munculnya gangguan
hiperaktivitas anak.
3. Mengenal ADHD (Hiperaktivitas)
Anak yang hiperaktif sering bermain dengan jari tangan, tidak bisa duduk diam pada saat anak lain
duduk manis, ia akan berlari dan memanjat berlebihan. Pada anak yang telah remaja tampak selalu gelisah dan
tidak dapat beristirahat. Jika temannya tenang dan menyimak di kelas, maka anak GPPH akan menjadi
penganggu. Semua bukan karena kemauannya sendiri, tetapi disebabkan suatu dorongan yang tidak
diketahuinya.
Gejala GPPH menurut Diagnostic and Statistical mannual of mental disorder terdapat tiga gejala utama,
Yaitu:
a. Inatensivitas tidak ada perhatian, tidak menyimak: (1) gagal menyimak hal yang rinci, (2) kesulitan bertahan
pada satu aktivitas, (3) tidak mendengarkan ketika diajak bicara, (4) sering tidak mengikuti instruksi, (5) kesulitan
mengatur jadwal tugas dan kegiatan, (6) sering menghindari tugas yang menuntut perhatian lama, (7) sering
kehilangan barang yang dibutuhkan untuk tugas, (8) sering beralih perhatian oleh stimulus dari luar, dan (8) sering
pelupa dalam kegiatan sehari-hari.
b. Impulsivitas (tidak sabaran) baik motorik, verbal maupun kognitif: (1) sering menjawab sebelum pertanyaan
selesai, (2) sering kesulitan menunggu giliran, (3) sering memotong atau menyela orang lain, (4) sembrono dalam
bertindak tanpa pikir panjang, (5) sering berteriak di kelas, (6) tidak sabaran, (7) usil, suka menganggu anak lain,
(8) permintaannya harus segera dipenuhi, (8) mudah frustrasi dan putus asa.
c. Hiperaktivitas, atau tidak bisa diam: (1) Sering menggerakkan kaki atau tangan, dan menggeliat, (2) Sering
meninggalkan tempat duduk di kelas, (3) Sering berlari dan memanjat, (4) Mengalami kesulitan melakukan
kegiatan dnegan tenang, (5) Sering bergerak seolah diatur oleh motor penggerak, (6) Sering bicara berlebihan
C. AGRESIVITAS
1. Pengertian Agresivitas
Agresivitas adalah suatu tindakan yang dapat menyakiti atau melukai orang lain. Biasanya dilakukan
dengan menendang atau memukul, memaki dengan kata-kata kasar, memfitnah, dan mengertak serta menganggu
orang lain. Pada umumnya, setiap anak mempunyai dorongan agresif dan dorongan-dorongan tersebut timbul
sejak kecil dan muncul pada perbuatan seperti di atas. Anak pada usia 4-5 tahun umumnya memperlihatkan
tingkah laku agresif, meskipun orang tua merasa tidak suka dan marah melihat anaknya bertingkah laku agresif
tetapi tidak berusaha untuk mengetahui penyebab anak sampai bertingkah laku agresif terhadap temannya (sobur,
2003). Menurut Chaplin (1981) agresi adalah reaksi terhadap frustrasi, berupa serangan, tingkah laku bermusuhan
terhadap orang atau benda. Agresivitas memiliki makna kecenderungan untuk menyerang sesuatu yang
dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (Sitanggang, 1994).
Secara umum agresi merupakan kemarahan yang meluap-luap dan serangan secara kasar dengan jalan yang
tidak wajar, akibat kegagalan dalam usahanya menyelesaikan masalah.
2. Faktor penyebab agresi
Anak yang melakukan tindakan agresi seringkali dilakukan karena dua alasan. Pertama, dilakukan
semata-mata untuk menyerang atau melawan individu lain. Biasanya ditandai dengan kemarahan dan keinginan
untuk menyakiti orang lain. Kedua, dilakukan sebagai sikap mempertahankan diri terhadap sesuatu yang
menurutnya mengancam, walaupun hal itu bukan sebuah ancaman. Apapun alasan tindakan agresi yang
dilakukan anak adalah sebuah gangguan yang harus segera diatasi, agar tidak menimbulkan berbagai hambatan
psikologis lainnya serta tidak merugikan orang lain. Beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya perilaku
agresi anak adalah hasil meniru dari orang tua karena pola asuh atau kondisi hubungan orang tua yang tidak
sehat, serta imitasi dari model lainnya di lingkungan seperti televisi dan teman sebaya.
Beberapa hal yang sering menyebabkan munculnya agresivitas pada anak adalah pengalaman dalam
keluarga yang bersifat destruktif, berupa penolakan, disiplin yang keras tapi tidak konsisten, frustrasi karena orang
tua tidak rukun, serta orang tua kurang memberikan bimbingan dan lain sebagainya (Supratiknya, 1995). Pola
asuh orang tua serta kondisi lingkungan yang kurang kondunsif menjadi faktor utama yang dapat membentuk
gangguan perilaku agresif pada anak. Karena jika pola asuh dan lingkungan dimana anak tinggal sering
mempertontonkan tindakan agresif baik verbal maupun non verbal, maka kemungkinan untuk ditiru semakin besar,
apalagi di sisi lain orang tua tidak melarang tindakan tersebut atau bahkan ayah ibunya sering terlibat tindakan
agresivitas sehingga dapat ditiru oleh anak.
3. Mengenal perilaku agresi
Pada dasarnya untuk mengenal perilaku agresif tidak sulit untuk dikenali, karena hampir setiap individu
pernah melakukan perilaku agresif walaupun kadarnya kecil sekalipun. Hal yang menjadi masalah adalah jika
perilaku ini menjadi kebiasaan, karena ini bersifat tidak sehat secara mental dan fisik, sehingga hal ini
menimbulkan efek yang negatif, baik secara jasmani maupun rohani, apalagi terhadap orang lain. Sifat agresi
dapat menganggu ketenangan batin seseorang serta mengotori kesehatan jiwanya. Gangguan perilaku agresif
dan antisosial merupakan gangguan umum yang terjadi pada anak-anak. Anak yang agresif mengalami kesulitan
dalam kemampuan kognisi sosial, keterampilan sosial, dan kesulitan penyesuaian diri (Ronen, 1993).
Ketidakmampuannya untuk melakukan interaksi sosial yang sehat dengan teman sebayanya khususnya dan
lingkungan sekitarnya, telah memicu munculnya perilaku agresif. Hal ini dikarenakan anak tidak memiliki pilihan
solusi dari sikap yang terbaik dalam merespon lingkungannya. Anak hanya mampu melakukan tindakan agresi
baik verbal (cacian) maupun non verbal (memukul, mencubit, maupun melempar dengan sesuatu) sebagai bentuk
tindakan yang dia pelajari dan pahami dalam merespon lingkungan sosialnya. Anak kekuranganan refrensi sikap
positif dalam berinteraksi dan berhubungan dengan lingkungan. Gangguan ini kadang-kadang juga disebut
sebagai gangguan perilaku asosial dan mirip dengan kasus kepribadian psikopatik pada orang dewasa. Ciri-cirinya
sulit tidur, suka berkelahi, menunjukkan sikap bermusuhan, tidak patuh, agresif baik verbal maupun behavioral,
senang membalas dendam, senang merusak, suka berdusta, mencuri, dan sering mengalami temper tantrum alias
mengamuk. Jika gangguan ini dialami remaja dan orang dewasa maka kecenderungan lain akan muncul, seperti
agresif seksual dan berbagai perilaku merusak seperti vandalisme, dan mungkin sampai ke pembunuhan.
D. RETARDASI MENTAL
Retardasi mental adalah fungsi intelektual umum di bawah rata-rata disertai dengan ketidakmampuan
beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan, yang muncul selama masa pertumbuhan. Hasil pengukuran inteligensi,
IQ-nya kurang dari 70 dan tidak memiliki keterampilan sosial atau menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan
usianya. Retardasi mental ditemukan pada anak 5 - 6 tahun, puncaknya pada golongan remaja usia 15 tahun.
Selama masa kanak-kanak awal, mereka yang menderita retardasi mental ringan relatif terlihat normal.
Kekurangannya baru nampak ketika masuk sekolah, yaitu usia 5 - 6 tahun hingga usia belasan tahun. Sesudah
usia sekolah, banyak diantara mereka mampu menyesuaikan diri di tengah masyarakat seperti menjadi buruh atau
pegawai rendahan, dan tidak lagi tampak keterbelakangan mentalnya.
1. Mengenal retardasi mental
Retardasi mental digolongkan berdasarkan tingkat kecerdasan atau hasil dari tes inteligensi. Tes
inteligensi sendiri lazim dimaksudkan untuk mengukur kemungkinan keberhasilan orang dalam akademik. Maka
dari itu, pembagian tingkat retardasai mental pada dasarnya merupakan pembagian tingkat kemampuan mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan formal di sekolah. Selain itu pembagian tingkat retardasi terebut memang
mengandung penilaian tentang kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan, khususnya menyangkut
kemandiran dan tanggung jawab sosial.
a. Retardasi mental ringan, Penderita ini memiliki IQ antara 52-67 dan meliputi bagian terbesar populasi
retardasi mental. Sesudah dewasa IQ mereka setara dngan anak berusia 8-11 tahun. Penyesuaian sosial mereka
hampir setara dengan remaja normal, namun kalah dalam hal imajinasi, kreativitas dan kemampuan membuat
penilaian-penilaian. Mereka educable dapat dididik. Artinya jika kasus mereka diketahui sejak dini dan selanjutnya
mendapat pendampingan dari orang tua serta mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar
mereka mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai skill akademik dan keterampilan kerja
sederhana dan dapat menjadi warga masyarakat yang mandiri.
b. Retardasi mental sedang. Golongan ini memiliki IQ antara 36-51. Setelah dewasa IQ mereka setara dengan
anak usia 4-7 tahun, secara fisik mereka kelihatan aneh dan memiliki beberapa cacat fisik. Koordinasi motoriknya
tampak buruk, sehingga gerakan kaki, tangan maupun tubuhnya tidak luwes. Ada yang agresif menunjukkan sikap
bermusuhan terhadap orang yang belum pernah kenal. Lamban dalam belajar dan kemampuan membentuk
konsep sangat terbatas, tapi mereka dapat dilatih. Artinya jika sedini mungkin mereka terdeteksi dan dilakukan
penanganan yang tepat, maka mereka dapat cukup mandiri dalam mengurus dirinya sendiri, termasuk bisa
produktif secara ekonomis.
c. Retardasi mental berat. Golongan ini memiliki IQ 20-35, mereka sering disebut dependent retarded atau
penderita lemah mental yang tergantung. Perkembangan motorik dan bicaranya sangat terbelakang, sering
disertai dengan gangguan penginderaan dan motorik. Mereka dapat dilatih untuk menolong diri sendiri secara
terbatas. Dapat juga dilatih melakukan tuhas-tugas yang sederhana, sedangkan untuk hal-hal yang lebih komplek
mereka sangat tergantung pada pertolongan orang lain.
d. Retardasi mental sangat berat. Golongan ini memiliki IQ kurang dari 20. Mereka sering disebut life support
retarded, golongan lemah mental yang perlu disokong secara penuh agar dapat bertahan hidup. Kemampuan dan
adaptasinya sangat terbatas. Biasanya memiliki cacat tubuh yang berat dan mengalami patologi pada sistem
syaraf pusat, sehingga pertumbuhan mereka sangat terhambat. Sering mengalami kejang-kejang, ketulian, dan
kelainan tubuh lainnya. Kesehatannya cenderung buruk dan rentan terhadap penyakit, sehingga biasanya tidak
berumur panjang. Kalaupun mampu bertahan hidup, mereka sepenuhnya harus dirawat.
Keempat penggolongan retardasi mental tersebut, memiliki karakteristik tersendiri. Golongan keempat
dan ketiga sering memiliki kemampuan istimewa di bidang yang tidak menuntut berpikir abstrak, misalnya
mengingat seri angka pada uang kertas yang pernah dilihatnya, menyebutkan nama hari dan tanggal dalam tahun
tertentu, atau berbakat dalam cabang seni tertentu. Mereka sering disebut idiot savant, artinya orang dungu
namun berkeahlian, tetapi jumlahnya tidak banyak.
2. Faktor penyebab retardasi mental
Kasus retardasi mental kebanyakan disebabkan oleh kondisi biologis tertentu yang menimbulkan
disfungsi organik pada otak dan berakibat menghambat seluruh pertumbuhan. Beberapa kondisi biologis
penyebab retardasi mental, adalah:
a. Faktor genetik kromosom
Kelainan kromosom tertentu dapat mengakibatkan kelainan metabolik yang kemudian mempengaruhi
pertumbuhan otak yang melahirkan retardasi mental. Kelainan kromosom ini dipicu oleh usia kedua orang tuanya
yang sudah tergolong lanjut. Misalnya, sindrom down atau mongolisme. Jenis retardasi mental ini ditemukan
oleh Langdon Down pada tahun 1886. Tingkat retardasi mental mentalnya berkisar antara sedang sampai berat.
Disebut mongolism sebab penderitanya sering bermata sipit mirip orang mongol. Simtom-simtom lainnya; kelopak
mata tebal, wajah lebar dan hidung pesek lebar, belakang kepala lebar, lidah besar disertai garis-garis lubang
yang dalam, leher pendek dan lebar, tangan pendek dan lebar, jari-jari tangan pendek dan tebal, mampu
mepelajari aneka keterampilan untuk menolong diri sendiri, dan dapat menguasai aneka keterampilan sosial,
keterampilan manual rutin sehinga dapat membantu tugas-tugas rumah tangga, biasanya memiliki sikap lembut
dan menyenangkan.
b. Faktor genetik selain kromosom
Kretinisme dan jenis kelainan pada kepala akibat kelainan tengkorak adalah macam retardasi mental
karena faktor selain kromosom. Biasanya disebabkan karena kekurangan tiroid dan yodium, kelainan bawaan,
atau trauma fisik waktu lahir serta infeksi virus. Pada kasus kretenisme, penderita menunjukkan simtom-simtom;
tubuh pendek atau cebol dan serba tebal, lengan, kaki, dan tubuh bengkok, kepala besar, kelopak mata tebal, kulit
kering, tebal, dan dingin, hidung lebar dan pesek, telinga lebar, perut buncit, secara seksual tidak matang, lamban
berpikir, retardasi mentalnya berkisar sedang dan berat.
Untuk kasus retardasi mental organik yang disebabkan karena kelainan tengkorak dibagi menjadi tiga.
Yaitu makrosefalus, mikrosefalus, dan hidrosefalus. Pada makrosefalus dengan simtom utama berupa kepala
yang membesar, volume dan berat otak berlebih mendesak tengkorak dan mengakibatkan kerusakan otak dan
menimbulkan retardasi mental. Pada mikrosefalus,pertumbuhan otak terhambat, tengkorak tidak tumbuh secara
optimal, simtomnya; kepala kecil, badan kecil dan pendek, retardasi mental berkisar antara sedang sampai berat,
perkembangan bahasa sangat terhambat, kapasitas mental sangat terbatas. Pada hidrosefalus,
cairan serebrospinal di tengkorak berlebihan yang menyebabkan kerusakan otak dan membesarnya tengkorak.
Simtomnya; kepala bagian atas membesar, sering kejang, penglihatan, pendengaran dan kemampuan intelektual
rusak, retardasi mental berkisar berat dan sangat berat. Faktor-faktor lainnya yang dapat memicu terjadinya
retardasi mental adalah infeksi dan keracunan, prematuritas dan trauma fisik waktu lahir, mal nutrisi dan sebabsebab lainnya. Faktor-faktor ini menyumbang terjadinya retardasi mental ketika anak dalam kandungan maupun
ketika sudah dilahirkan.
Usia di bawah tiga tahun, ciri dan kebiasaan menangis, mnggigit, menendang, memukul-mukulkan tangan,
menahan nafas dan melempar barang.
2)
Usia 3-4 tahun, menghentak-hentak kaki, berteriak-teriak, meninju, membanting pintu, mengkritik dan merengek.
3)
Usia 5 tahun ke atas, memaki dan menyumpah, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja dan
mengancam.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya tantrum, diantaranya adalah sebagai berikut:
a)
Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu, setelah anak tidak berhasil meminta terhadap sesuatu yang
diinginkan, maka anak menggunakan sikap tantrumnya.
b)
Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri. Keterbatasan bahasa, dalam mengungkapkan secara pasti anak
tantrum cenderung frustrasi.
c)
Pola asuh orang tua, cara mengasuh anak yang tidak benar juga menyebabkan perilaku tantrum muncul pada
anak. Terlalu dimanjakan atas keinginannya, terlalu didominasi orang tua dalam mengambil sikap sehingga
dibatasi ruang gerak anak, orang tua tidak konsisten melakukan keterbukaan sikap otoriter serta tidak pula
bersikap apatis dan patologis.
2. SOMNAMBULISME
Istilah ini berasal dari kata latin somnis yang berarti tidur, dan ambulare yang berarti berjalan-jalan.
Bentuknya biasanya penderita pergi tidur biasa, tetapi selang 2-3 jam kemudian bangkit, turun dari tempat tidur,
dan jalan-jalan. Selama jalan-jalan penderita mungkin juga melakukan aktivitas tertentu yang cukup kompleks, lalu
kembali ke tempat tidur. Keesokan paginya penderita biasanya sedikitpun tidak mengetahui apa yang terjadi
dengan dirinya di malam sebelumnya. Selama berjalan-jalan mata anak dapat dalam keadaan terbuka penuh atau
setengah terbuka, serta dapat menghindari penghalang. Anak juga dapat mendengar dan menanggapi perintah
orang lain. Serangan gangguan ini biasanya berlangsung selama kira-kira 15 30 menit. Penyebabnya
kecemasan atau ketakutan penderita untuk menghadapi situasi tertentu yang telah atau akan terjadi.
3. GANGGUAN EMOSI
Gangguan emosi biasanya berupa gangguan cemas. Pada kasus gangguan cemas penderita
menunjukkan gejala-gejala: diliputi rasa takut yang tidak realistik, terlalu peka, terlalu sadar diri, mengalami banyak
mimpi buruk, cemas secara kronis, kurang percaya diri, kurang matang (pemalu, sensitif, nervous, pengalah,
mudah takut atau putus asa, khawatir, dan mudah menangis), dan sangat tergantung khususnya pada orang tua.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut: secara konstitutif mereka memang sangat peka,
merasa tidak aman karena mengalami sakit berat, kecelakaan, atau trauma-tarauma psikologis lainnya,
efek modeling terhadap orang tua yang memiliki sifat pencemas, dan over protected, orang tua gagal memberikan
bimbingan yang semestinya atau pernah mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan dalam pergaulan.
e. Enuresis. Enuresis adalah perilaku mengompol di atas usia 3 tahun, bisa di siang hari tetapi umumnya malam
hari. Biasanya terjadi antara dua sampai lima kali seminggu. Penyebabnya dapat karena proses belajar yang
salah, kekurang matangan kepribadian, atau hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga sehingga
menimbulkan kecemasan dalam dir penderita.
f. Enkopresis. Enkopresis dalam bahasa jawa ngebrok, adalah ketidakmampuan anak untuk mengendalikan hajat
buang air besar. Biasanya terjadi pada anak usia di atas tiga tahun atau pada usia 4-12 tahun. Kasus ini lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki daripada perempuan. Gangguan ini akan meningkat jika anak mengalami
stres, dan umumnya anak tidak menyadari apa yang sedang dialaminya.
g. Gigit-gigit kuku. Gangguan ini lazim ditemukan dikalangan penggagap dan anak normal yang sedang cemas
atau stres. Pada usia yang lebih tua gangguan ini ditemukan lebih banyak pada anak laki-laki daripada
perempuan. Gangguan ini mudah muncul dalam situasi yang mencemaskan, sebagai usaha untuk mengurangi
kecemasannya.