PENDAHULUAN
kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Insiden pada anemia meningkat karena penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia
in Early Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya
anemia adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40%
pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4,
dan lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium. 2
Hubungan antara gagal ginjal kronik dengan anemia sudah diketahui sejak
awal abad 19. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin
turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat
apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
mencapai stadium akhir, anemia relative akan menetap. Anemia pada Gagal
Ginjal Kronis terutama diakibatkan oleh berkurangnya produksi Eritropoietin.
Eritropoetin merupakan hormon yang dapat merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi sel darah merah. Anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronis
biasanya jenis normokrom normositer dan non regeneratif. Anemia merupakan
kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien
GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah aktifitas fisiologis
sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal 4
2.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena
tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan
kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas,
bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya
berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur
keluar dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena Renalis, saraf, pembuluh
limfatik, dan ureter.4 Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis (setinggi
vertebra lumbalis II). Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, sehingga arteri
renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari
masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan
dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis
kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang
menjadi
membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramidpiramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis
yang
tersusun
pararel
dalam
korteks.
Arteriol
interlobularis
ini
bercabang-cabang
membentuk
arterior
sistem
eferen
yang
mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagibagi menjadi baji segitiga yang disebut
dan duktus
papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus
pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis
ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor
bersatu membentuk kaliks
mayor,
yang
selanjutnya
bersatu
sehingga
urinaria. Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic
junction lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 2834 cm menuju kandung
kemih. Dinding dari kaliks, pelvis dan urter
yang
berkontraksi secara teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih. 5,6
6. Duktus koligentes
Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan menerima cairan dan
zat terlarut dari tubulus distal. Duktus koligens berjalan dari dalam berkas
medulla menuju ke medulla. Setiap duktus pengumpul yang berjalan ke arah
medulla akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal.
luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit,
yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga
terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Membrana basalis
membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada
satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk
lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian
terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrane
basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan
3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi
glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur
darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan
struktur yang membatasi
lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari
sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang
berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai
kerangka jaringan penyokong.
c. Aparatus Jukstaglomerolus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan
penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan
ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan
pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan
sel JG yang menyekresi renin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor
ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi
renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol
aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan
merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut
disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume
ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan
oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang
sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme
kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yang dapat
berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada
tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida ( NaCl)
dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus
proximal) kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan
peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan
sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF
yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan
pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh
yang diberikan oleh penurunan volume ECF yaitu menekan sekresi renin. Faktor
lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang
merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA,
angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain
yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan
natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone
antidiuretik (ADH), hormone adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida
(dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ),
dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi
berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.
2.1.2. Fisiologi Ginjal8,36
1.1.1. Fisiologi Ginjal
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
(1)
filtrasi glomerulus
10
filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan
masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus
yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke
kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama
yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi,
penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR.
Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat
mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat
dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf
11
simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi
perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi
dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus
setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per
hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.
(2)
reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam tubulus (lumen
tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke
jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif
karena sel sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa
dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui
transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif
dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di
sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea
direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini
merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :
a.
Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b.
Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di
tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus
distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada
yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk
reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
12
c.
Reabsorpsi Air
Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari
H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa
henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus
distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d.
Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan
positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan
reabsorpsi Na
e.
Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan
dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di
duktus pengumpul
f.
Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian
di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian
ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus
kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus
pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.
g.
13
(3)
sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke
dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan
ion ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di
sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga
dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke
dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan
dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh
hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah
terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai
tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan
tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk
eksresikan sebagai urin.
14
15
a.
kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
1) kelainan neurologis
2) terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urine, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test).
b.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat
kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/
menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
2.2.2. Epidemiologi
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di
Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per
1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah
berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di
Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta
penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun. Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun. Di
negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
juta/tahun. 10
2.2.3. Etiologi10
Secara umum, penyebab gagal ginjal kronik adalah karena penyakit ginjal
instrinsik, yaitu adanya kerusakan pada glomeruler. Gagal ginjal iatrogenik
meningkat dengan meningkatnya prevalensi diabetes dan gangguan multisistem
yang bervariasi yang membutuhkan terapi jangka panjang. Hipertensi sekarang
diketahui sebagai penyebab awal gagal ginjal kronik. Diabetes dan hipertensi ini
bertanggung jawab sampai dua pertiga kasus terjadinya gagal ginjal kronik.
Beberapa kondisi lain juga dapat mempengaruhi ginjal, antara lain penyakit ginjal
16
17
Hiperfiltrasi Gomelurus
Peningkatan premeabilitas
glomelulr
Peningkatan RAAS
Tubulointerstitial fibrosis
Penurunan laju filtrasi
glomelurus
Retensi cairan
dan natrium
edema
Gangguan
eksresi
potasium
Gangguan
eksresi asam
hiperkalemia
Asidosis
metabolik
Gangguan
keseimbangan
kalsium/fosfat
CKD- MBD
(Chronic
Kidney
Desease
Mineral Bone
Disorder
Defisiensi
eritropoetin
Gangguan
eritropoesis
anemia
18
2.2.5. Klasifikasi13,35
Outcome merugikan pada gagal ginjal kronik sering dapat dicegah atau
ditunda kemunculannya melalui deteksi dan terapi secara dini. Stadium awal pada
gagal ginjal kronik dapat dideteksi melalui test laboratorium rutin. danya gagal
ginjal kronik harus ditetapkan berdasarkan pada tingkat kerusakan ginjal dan
penurunan fungsi ginjal (Glomerular Filtration Rate / GFR). Stadium penyakit
didasarkan pada tingkat fungsi ginjal, dan sebagai diagnosis, berdasarkan
klasifikasi dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative: Clinical Guideline for
Chronic Kidney Disease (NKF/K-DOQI), sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit:
Derajat
LFG (ml/mnt/1,73m2)
Penjelasan
90
60-89
30-59
15-29
Gagal Ginjal
<15
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi:
Penyakit
Penyakit ginjal
diabetes
19
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
AER
A1
< 30
ACR
mg/mmol
<3
A2
A2
30-300
>300
3-30
30-300
Penjelasan
mg/g
<30
30-300
>300
Normal
sampai
meningkat ringan
Meningkat sedang
Meningkat berat
meliputi
kelainan-kelainan
berbagai
organ
seperti:
kelainan
20
belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil
asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialysis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi.
Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala
21
psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching
sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian
terjun menjadi koma.
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi
mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.
8. Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak factor turut memegang
peranan seperti keseimbanga natrium, aktivitas system rennin angiotensin
aldosteron, , aktivitas system saraf simpatis, dan factor hemodinamik lainnya
seperti cardiac output dan hipokalsemia.
Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP)
dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi
tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure
(COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan
pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus
vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feed-back
mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal
tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan.
Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur tekanan
darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan
normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia,
mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur
22
tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah
arteriol.
2.2.7 Diagnosis20,30,37
Pendekatan diagnosis Gagal Ginjal Kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan
yang
23
Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin dan
radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati faal ginjal yang
sebenarnya.
b. Etiologi penyakit ginjal kronik (PGK)
i. Analisis urin rutin
ii. Mikrobiologi urin
iii. Kimia darah
iv. Elektrolit
v. Imunodiagnosis
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).
24
b)
c)
d)
e)
f)
Biopsi
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada
ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.
2.2.8. Penatalaksanaan4,33
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.
25
Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat. Kecepatan
dipantaupada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obatobatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat
LFG (ml/menit/1,73m2)
Rencana tatalaksana
90
Terapi
penyakit
dasar,
kondisi
memperkecil
risiko
kardiovaskular
2
60 89
30-59
15-29
< 15
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari,
dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi
26
malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan
lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal.
Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein Overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hyperfosfatemia.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
27
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/l.
b. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30g%,
meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.
28
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus.
29
adalah,
pengendalian
diabetes,
pengendalian
hipertensi,
2.2.9 Komplikasi14,38
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
-
Hiperkalemia
Asidosis metabolik
30
2.2.10 Prognosis14,38
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat
lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
31
< 33%) pada wanita premenopouse dan pasien pubertas, dan Hb <12.0 g/dL
(hematocrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita postmenopouse.
Menurut Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin(Hb) pada
anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita. Target Hb
yang diharapkan pada anemia karena GGK adalah 11 g/dL dengan TSat >20%
untuk terapi menggunakan ESAs.13,14
2.3.2 Jenis Anemia33,34
Dibawah ini adalah algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium mengenai gambaran morfologik dengan melihat indeks
eritrosit atau hapusan darah tepi.
ANEMIA
Anemia hipokromik
mikrositer
Anemia
normokromik
normositer
Anemia
makrositer
32
1.
<27 pg, pada gambaran mikroskop didapatkan sel darah merah yang lebih pucat
dan berbentuk kecil dari sel darah merah biasa (gambar.1) Anemia hipokromik
mikrositer terjadi anemia defisiensi besi, thalasemia mayor, anemia akibat
penyakit kronik, dan anemia sideroblastik. Pada anemia hipokromik mikrositer,
nilai besi serum perlu dinilai. Pada nilai serum besi yang menurun jika TIBC
meningkat, feritin menurun, dan cadangan besi di sumsum tulang negatif maka
perlu dipikirkan adanya anemia defisiensi besi.
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
Besi serum
normal
menurun
Feritin normal
TIBC
TIBC
FERITIN
FERITIN
Elektroforesis
Besi sumsum tulang
negatif
Ring sideroblast
dalam sumsum tulang
Hb
Hb A2 HbF
Anemia akibat
penyakit kronik
Thalasemia beta
Anemia siderobastik
Namun pada keadan serum besi yang normal disertai feritin normal, perlu
dilakukan pemeriksaan elektroforesis Hb untuk menentukan apakah penderita
33
mengalami thalasemia beta. Pada keadaan ini perlu juga dilakukan pemeriksaan
untuk melihat ring sideroblast dalam sumsum tulang yang menandakan adanya
anemia sideroblastik.
2.
27-34 pg. Anemia normokromik normositer terjadi pada anemia pasca perdarahan
akut, anemia aplastik, anemia hemolitik didapat, anemia akibat penyakit
kronik,anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik, dan
anemia pada keganasan hematologik.
Selain menilai serum besi, retikulosit perlu dinilai dalam menentukan
adanya anemia normokromik normositer. Bila retikulosit meningkat perlu digali
mengenai perdarahan akut dan tanda hemolisis yang lanjutkan dengan
pemeriksaan tes coomb. Bila tes coomb negatif dan terdapat riwayat keluarga
maka perlu dipikirkan adanya hemaglobinopati. Bila tes coomb positif maka perlu
dipikirkan adanya AIHA yang dialami pasien.
34
35
ANEMIA NORMOKROMIK
NORMOSITER
Retikulosit
Meningkat
Tanda
hemolisis
positif
Normal/menurun
Sumsum
Tulang
Riwayat
Perdarahan
Akut
Displastik
Hipoplastik
Infiltrasi
Normal
Tes coomb
negatif
Tumor ganas
hematologi
(leukimia,mielo
ma)
positif
Riwayat
keluarga positif
Anemia
aplastik
Enzimopati,
Membranopati
Anemia pada
leukimia
akut/mieloma
Limfoma
kanker
Anemia
mieloptisik
Penyakit kronik
Anemia pada
GGK Penyakit
Hati Kronik
Hipotiroid
penyakit kronik
AIHA
Anemia pasca
perdarahan akut
Faal ginjal
Faal tiroid
Hemaglobinopati
Anemia mikroangiopati
obat/parasit
Faal hati
3. Anemia makrositer
Anemia makrositer terjadi apabila nilai MVC >95 fl. Pada
gambaran
mikrosko
didapatakan
eritrosit
yang
lebih
besar
36
ANEMIA MAKROSITER
Retikulosit
Meningkat
Normal/Menurun
Sumsum tulang
Riwayat Perdarahan
akut
Megaloblastik
Anemia Pasca
Perdarahan
akut
B12 serum
rendah
Anemia
Defisiensi besi
Non Megaloblastik
Asam folat
rendah
Anemia Defisiensi
asam folat
Faal Tiroid
Anemia pada
Hipotiroidisme
Faal hati
Anemia Defisiensi
Besi/asam folat
dalam terapi
Anemia pada
penyakit hati
Displastik
Sindrom
mielodisplastik
37
Hemolisis
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
38
yang hidup pada uremia. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat
oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat
menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan
gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis
sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel
darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang, yang dapat menyebabkan
hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena
pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat
disebabkan karena proses patologik
lainnya seperti
splenomegali
atau
b.
Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor
39
c.
Penghambatan eritropoesis
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel
40
yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan
PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal
ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis
tetapi
juga
menghambat
ketidakspesifikkan,
granulopoesis
leukopenia,
dan
dan
trombopoesis.
trombositopenia
bukan
Karena
merupakan
karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm
sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan
efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,
peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat
anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada
eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut
bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada
gagal ginjal.
d.
Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan
41
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah
merah pada sumsum tulang.15
Selain mekanisme diatas, defisiensi besi juga diduga merupakan salah satu
penyebab terjadinya anemia pada gagal ginjal kronik. Tiga mekanisme penting
yang dapat terjadi pada pasien GGK dengan anemia defisiensi besi adalah :
42
b . Kehilangan darah
Beberapa faktor berperan dalam kehilangan darah seperti sisa darah dalam
dialiser dan blood tubing pada setiap akhir dialisis,seringnya melakukan
pemeriksaan darah,perdarahan saluran cerna tersembunyi,dan hilangnya darah
dari tempat fungsi jarum saat hemodialisis. Kira-kira 1-3 gram besi akan hilang
pertahun akibat keadaan ini. K-DOQI menyarankan pemberian 25-100 mg besi
perminggu untuk mengganti kehilangan darah ini.
43
Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis anemia pada GGK:
1. Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC)
Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah (mean
corpuscular hemoglobin [MCH], mean corpuscular volume [MCV], mean
corpuscular hemoglobin consentration [MCHC], jumlah sel darah putih, dan
jumlah platelet.
2. Reticulosyte count
Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum matang
menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat memperkirakan jumlah dan
persentase retikulosit di sirkulasi darah. Normalnya, reticulosyte count berkisar 12% dari sel darah merah di sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia, retikulosit
dalam jumlah yang lebih besar dilepaskan ke darah sehingga menaikkan jumlah
dan persentasenya.
44
45
2.3.6. Penatalaksanaan
Sebelum tahun 1990, management anemia terdiri atas terapi androgen, suplemen
besi, suplemen vitamin, dan transfusi darah berulang. Namun, pengobatan
tersebut belum cukup berhasil mendukung perbaikan anemia. Kemudian,
pengobatan modern menggunakan ESA yang dikombinasikan dengan suplemen
besi untuk terapi anemia yang lebih adekuat.
1. Asam folat
Asam folat eksogen dibutuhkan tubuh untuk sintesis nukleoprotein dan
pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat bekerja dengan menstimulasi
produksi sel darah merah, sel darah putih, dan platelet.22 Asam folat diberikan
46
pada pasien GGK terutama yang menjalani terapi hemodialisis. Pada saat
hemodialisis terjadi kehilangan asam folat sehingga perlu diberikan suplemen
asam folat ini.23
2. Vitamin B12
Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis, dan
sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel
darah merah melalui aktivasi koenzim asam folat. Agar dapat berefek asam folat
berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu tetrahidrofolat, dalam proses inilah
dibutuhkan Vitamin B12. Tubuh mengalami peningkatan kebutuhan vitamin B12
terjadi pada kondisi kehamilan, tirotoksisitas, anemia hemolitik, pendarahan, serta
penyakit hati dan ginjal.22
3. Dialisis
Dialisis adalah tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal
sebagai bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan
kualitas hidup yang optimal yng terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis.
Hemodialisis (HD) maupun peritonial dialisis (PD) yang adekuat dapat
memperbaiki lama hidup eritrosit sehingga dapat mempertahankan hematokrit
pada tingkat yang lebih baik dibandingkan jika tanpa dialysis.23
4. Steroid anabolik
Pemberian steroid anabolik ini dapat berpengaruh langsung pada sumsum tulang
untuk produksi sel darah merah, selain itu juga mampu merangsang produksi
eritropoietin lewat hati dan jaringan ginjal yang masih tersisa. Namun, pengobatan
ini memiliki banyak kerugian, diantaranya menimbulkan virilisasi, gangguan faal
hati, dan beberapa efek samping lain.22
47
5. Suplementasi Eritropoetin32
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1.
Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a.
b.
2.
3.
Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a.
b.
Hiperkoagulasi
c.
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat
beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
1.
2.
b.
b.
c.
48
d.
e.
f.
g.
b.
Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata
dapat menimbulkan efek samping diantaranya:
a.
hipertensi:
-
pasien
mungkin
membutuhkan
terapi
antihipertensi
atau
b.
Kejang:
-
yang
tidak
terkontrol. Terkadang
pemberian
EPO
49
Respon EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht
yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa
penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia,
defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan
mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
50
6. Terapi besi 32
a. Pengkajian status besi
1. Anemia dengan status besi cukup : bila didapatkan kadar Hb 10 g/dL,
hematokrit 30%, saturasi transferin > 20% dan kadar feritin serum > 100 ng/L
2. Anemia defisiensi besi absolute : bila didapatkan saturasi transferin < 20% dan
kadar feritin serum < 100 ng/L
3. Anemia defisiensi besi fungsional : bila didapatkan saturasi transferin < 20%
dan kadar feritin serum 100 ng
Berbagai faktor menentukan bentuk suplementasi zat besi yang akan diberikan
pada penderita GGK yang menjalani hemodialisis. Pemberian secara oral
merupakan cara yang mudah dan paling murah untuk diberikan dan terutama
bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO, dengan dosis minimal
200 mg besi elemental/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari. Absorbsi besi
dipengaruhi oleh makanan, karena itu diberikan diantara makan.Walaupun
absorpsi zat besi pada pasien hemodialisis normal,beberapa peneliti mendapatkan
terapi zat besi per oral tidak dapat memperbaiki cadangan zat besi sumsum tulang.
Pasien hemodialisis yang diberikan suplementasi zat besi per oral cadangan besi
sumsum tulangnya berkurang dan tidak cukup untuk mengatasi defisiensi zat besi.
Disamping itu pemberian zat besi peroral sering menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa keluhan gastritis, kejang perut, obstipasi dan diare yang
sulit ditoleransi oleh penderitA . Pemberian zat besi parenteral bermanfaat untuk
terapi dan pencegahan defisiensi zat besi pada pasien-pasien hemodialisis yang
secara efektif mengisi cadangan zat besi sumsum tulang.
51
Pemberian preparat besi parenteral diindikasikan pada keadaan : (1) untuk koreksi
defisiensi zat besi yaitu bila kadar feritin serum awal < 100 ng/ml, terutama bila
penderita akan mendapat terapi eritropoietin, (2) untuk keadaan defisiensi zat besi
fungsional, dimana pemberian eritropoietin memberikan respon suboptimal atau
tidak berespon sama sekali, (3) untuk keadaan defisiensi zat besi tetapi preparat
besi per oral tidak dapat ditoleransi oleh penderita.
Terapi zat besi parenteral untuk mengatasi anemi defisiensi besi dibagi atas terapi
besi fase koreksi dan terapi pemeliharaan besi.
1. Terapi besi fase koreksi
-
Iron sucrose :
Bila dapat ditoleransi 100 mg diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip
iv dalam waktu paling cepat 15 menit. Cara lain dapat disuntikkan iv atau
melalui venous blood line tanpa diencerkan secara pelan-pelan, paling
cepat dalam waktu 15 menit.
52
b.
Iron dextran :
- 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% diberikan 1-2
jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang setiap HD
(2x seminggu) samapi 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg.
- Iron dextran dapat diberikan secara intramuscular, disuntikkan pada
region gluteus kuadran luar atas dengan teknik Z track injection. Dosis uji
coba 0,5 ml im.
b.
Iron gluconate :
Cara pemberian sama dengan iron dextran dengan dosis 125 mg setiap HD
(2x seminggu) sampai 8 kali atau dosis mencapai 1000 mg
c.
Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi
d.
Bila status besi cukup lanjutkan dengan terapi fase pemeliharaan. Bila
status besi belum cukup ulangi terapi besi fase koreksi.
2.
a.
b.
Target terapi : Feritin serum > 100 ng/L - < 500 ng/L
Saturasi transferin > 20% - < 40%
c.
Dosis :
IV : Iron sucrose : maksimum 100 mg / minggu
Iron dextran : 50 mg / minggu
Iron gluconate : 31,25 125 mg / minggu
IM : Iron dextran : 80 mg / minggu
Oral : 200 mg besi elemental 2-3 x / hari
d.
53
- Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi
dosis pemeliharaan.
- Bila feritin serum > 500 mg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
- Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mg/L dan
saturasi transferin < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan
dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
-Pada pasien dengan iron overload ( feritin serum > 500 mg/L ) dapat
diberikan asam askorbat intravena dosis tinggi yaitu 300 mg setiap dialysis
selama 8 minggu.
7.
Transfusi darah
Transfusi darah adalah pemindahan darah atau komponen darah dari donor
kepada resipien. Komponen tersebut meliputi komponen seluler dan
humural yang telah dipisahkan maupun sebagai plasma utuh. Transfusi
darah sangat efektif dalam menaikkan kadar Hb. Untuk pengobatan
anemia yang bersifat kronik, penggunaan transfusi darah ini sebaiknya
dihindari untuk meminimalisasi resiko terkait penggunaannya.20 Pada
orang dewasa, pemberian satu kantong darah dapat menaikkan kadar Hb
sebesar 1g/dL dan Hct sekitar 3%. Pemberian transfusi ini memiliki
banyak resiko, diantaranya reaksi akibat tranfusi, rentan penularan
hepatitis B dan C serta AIDS, supresi eritroid pada sumsum tulang,
hemosiderosis dan berpotensi terjadi medical error .
23
54
Tidak
memungkinkan
untuk
dilakukan
terapi
menggunakan
eritropoietin.
Transfusi darah diberikan ketika dengan pemberian terapi ESA tidak
efektif seperti pada keadaan hemoglobinopathies, bone marrow failure,
ESA resistance dan penggunaan ESA lebih banyak kerugian daripada
keuntungan disebabkan kondisi pasien.20
3) Pengobatan anemia pada situasi klinik yang mendesak. Contoh: terjadi
hemorragi (pendarahan akut), pada unstable coronary artery disease dan
pada tindakan dialisis. Transfusi darah dapat diberikan secara bertahap
bersamaan dengan waktu hemodialisis untuk menghindari kelebihan
cairan.27 Dalam memutuskan penggunaan terapi anemia tidak hanya
didasarkan pada kadar Hb saja namun juga memperhatikan gejala yang
muncul.20 Target kadar hemoglobin pada anemia adalah Hb 7g/dL, ketika
kadar Hb pasien berada pada kadar tersebut terapi transfusi darah
dikatakan efektif dan efisien.15,27 Anemia GGK bersifat kronis sehingga
tubuh melakukan kompensasi dengan berbagai mekanisme, sehingga pada
Hb diatas 7/8 saat kondisi istirahat pasien sudah tidak mengalami gejala
dan namun akan nampak gejala saat beraktivitas. Kadar hemoglobin
optimum (transport oksigen terbesar pada kondisi energi terkecil) adalah
pada Hb 10 mg/dL (HCT=30).
55
BAB III
KESIMPULAN
World Health Organization mendefinisikan anemia jika konsentrasi Hb
dibawah 13.0 g/dL pada pria dan wanita postmenopause, serta dibawah 12.0 g/dL
pada wanita premenopause. European Best Practice Guidelines manajemen
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik mendefinisikan keadaan anemia jika
konsentrasi Hb < 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria usia dibawah 70
tahun dan 12.0 g/dL pada pria usia lebih dari 70 tahun. Sedangkan menurut
National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) menetapkan pasien mengalami anemia jika Hb <11.0 g/dL (hematocrit
< 33%) pada wanita premenopouse dan pasien pubertas, dan Hb <12.0 g/dL
(hematocrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita postmenopouse.Menurut
Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin(Hb) pada anemia adalah
<13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita.
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal
kronis. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun
kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian
memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe
normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti
defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanisme utama yang
terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium. Selain itu, kehilangan darah dan defisiensi besi
juga diduga turut berperan dalam mekansme terjadinya anemia pada gagal ginjal
kronik. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
perhitungan retikulosit, level feritin serum, saturasi transferin serum (TSAT) , dan
kadar besi. Feritin serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi
tubuh. Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL
56
dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO.
Sebelum tahun 1990, management anemia terdiri atas terapi androgen, suplemen
besi, suplemen vitamin, dan transfusi darah berulang. Namun, pengobatan
tersebut belum cukup berhasil mendukung perbaikan anemia. Kemudian,
pengobatan modern menggunakan ESA yang dikombinasikan dengan suplemen
besi untuk terapi anemia yang lebih adekuat.