Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) berdasarkan National Kidney Foundation


(NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative(KDOQI). Guidelines update
tahun 2002adalah kerusakan ginjal >3 bulan, berupa kelainan struktural ginjal,
dapat atau tanpa disertai penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang ditandai
dengan kelainan patologi dan adanya pertanda kerusakan ginjal, dapat berupa
kelainan laboratorium darah atau urine atau kelainan radiologi. LFG
<60mL/menit/1,73 m2 selama> 3 bulan, dapat disertai atau tanpa disertai
kerusakan ginjal.1
Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika
Serikat,dari 340.000 orang pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun
2010. Pada penelitannya, Bliwise dkk menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap
tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima terapi hemodialisis dengan tingat
kematian tiap tahunnya sekitar 20%. Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi
di Indonesia, diperkirakan insiden GGK berkisar 100-150/juta penduduk dan
prevalensinya 200-250/juta penduduk pada tahun 2005. Anemia merupakan
komplikasi GGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal
dibandingkan komplikasi GGK lainnya dan pada hampir semua pasien GGK.
Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara
bermakna dari GGK. Adanya anemia pada pasien dengan GGK dapat dipakai
sebagai prediktor risiko terjadinya kejadian kardiovaskular dan prognosis dari
penyakit ginjal sendiri.1
Anemia merupakan manifestasi klinik penurunan sel darah merah pada
sirkulasi dan biasanya ditandai dengan penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb).
Anemia didefinisikan dari National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes
Quality Initiative (NKF/K-DOQI) sebagai konsentrasi hemoglobin (Hb) yang

kurang dari 13,5 g/dL pada laki-laki dewasa dan kurang dari 12 g/dL pada wanita
dewasa. Insiden pada anemia meningkat karena penurunan Glomerular Filtration
Rate (GFR). Sebuah studi populasi National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) dari National Institutes of Health and Prevalence of Anemia
in Early Renal Insufficiency (PAERI) menyebutkan bahwa insiden terjadinya
anemia adalah kurang dari 10% pada gagal ginjal kronik stadium 1 dan 2, 20-40%
pada gagal ginjal kronik stadium 3, 50-60% pada gagal ginjal kronik stadium 4,
dan lebih dari 70% pada gagal ginjal kronik stadium. 2
Hubungan antara gagal ginjal kronik dengan anemia sudah diketahui sejak
awal abad 19. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin
turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh. Anemia akan lebih berat
apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah
mencapai stadium akhir, anemia relative akan menetap. Anemia pada Gagal
Ginjal Kronis terutama diakibatkan oleh berkurangnya produksi Eritropoietin.
Eritropoetin merupakan hormon yang dapat merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi sel darah merah. Anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronis
biasanya jenis normokrom normositer dan non regeneratif. Anemia merupakan
kendala yang cukup besar bagi upaya mempertahankan kualitas hidup pasien
GGK. Anemia yang terjadi dapat mengganggu sejumlah aktifitas fisiologis
sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal 4
2.1.1 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri karena
tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12 sedangkan
kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior kutub atas,
bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medial nya
berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur

yang masuk atau

keluar dari ginjal melalui hilus adalah Arteria dan Vena Renalis, saraf, pembuluh
limfatik, dan ureter.4 Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis (setinggi
vertebra lumbalis II). Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah, sehingga arteri
renalis kanan lebih panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang
sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari
masing-masing ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan
dari garis tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis
kanan. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang
menjadi

arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya

membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramidpiramid tersebut. Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis
yang

tersusun

pararel

dalam

korteks.

Arteriol

interlobularis

ini

selanjutnya membentuk arteriol aferen. Masing-masing arteriol aferen akan


menyuplai

ke rumbai-rumbai kapiler yang disebut glomerolus (jamak :

glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk


kemudian

bercabang-cabang

membentuk

arterior

sistem

eferen

yang

jaringan portal yang

mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular. Medula terbagibagi menjadi baji segitiga yang disebut

piramid. Piramid-piramid tersebut

dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tersebut

tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus


pengumpul

dan duktus

nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus

papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak duktus
pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung pelvis
ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks minor
bersatu membentuk kaliks

mayor,

yang

selanjutnya

bersatu

sehingga

membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem


pengumpul ginjal. Ureter

menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika

urinaria. Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic
junction lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 2834 cm menuju kandung
kemih. Dinding dari kaliks, pelvis dan urter

mengandung otot polos

yang

berkontraksi secara teratur untuk mendorong urine menuju kandung kemih. 5,6

Gambar 1. Potongan ginjal manusia menunjukkan pembuluh darah utama yang


menyuplai darah ke ginjal dan skema mikrosirkulasi pada setiap
nefron (Sumber: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton dan Hall)

2.1.1.1 Struktur mikroskopi ginjal7


a. Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
yang sama. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler yaitu glomerulus dan
komponen tubulus, keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Nefron terdiri dari beberapa bagian yaitu :
1. Glomerulus
2. Kapsula bowman
Kapsula bowman merupakan suatu pelebaran nefron yang dibatasi oleh epitel
yang menyelubungi glomerulus untuk mengumpulkan zat terlarut yang difiltrasi
oleh glomerulus.
3. Tubulus kontortus proksimal
Cairan yang difiltrasi akan mengalir ke tubulus kontortus proksimal. Letak
tubulus ini didalam korteks ginjal, panjangnya 14 mm dengan diameter 50-60nm.
Bentuknya berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus yang berjalan
kearah medulla, yaitu ansa henle.
4. Ansa henle
Ansa henle merupakan nefron pendek yang memiliki segmen yang tipis yang
membentuk lengkung tajam berbentuk hufuf U. Bagian pars desendens dari ansa
henle terbentang dari korteks ke bagian medulla, sedangkan pars asendens
berjalan kembali dari medulla ke arah korteks ginjal.
5. Tubulus distal
Setelah melewati ansa henle, maka akan berlanjut ke bagian nefron tubulus distal.
Tubulus kontortus distal lebih pendek dari tubulus proksimal dan bagian tubulus
distal ini berkelok-kelok di bagian korteks dan berakhir di duktus koligens.

6. Duktus koligentes
Duktus koligens merupakan saluran pengumpul yang akan menerima cairan dan
zat terlarut dari tubulus distal. Duktus koligens berjalan dari dalam berkas
medulla menuju ke medulla. Setiap duktus pengumpul yang berjalan ke arah
medulla akan mengosongkan urin yang telah terbentuk ke dalam pelvis ginjal.

Gambar 2. Penampang satu kesatuan nefron (Sumber: Buku Ajar Fisiologi


Kedokteran Guyton dan Hall)7
b. Korpuskular Ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula
bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman
atau ruang kapsular. Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel
parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel
visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian

luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit,
yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga
terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Membrana basalis
membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada
satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk
lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian
terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan membrane
basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel visceralis merupakan
3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus. Membran filtrasi
glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur
darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus merupakan
struktur yang membatasi
lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang terdiri dari
sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk jaringan yang
berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga berfungsi sebagai
kerangka jaringan penyokong.

c. Aparatus Jukstaglomerolus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan
penting dalam mengatur pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan
ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.

Aparatus jukstsglomerolus (JGA) terdiri dari 3 macam sel:


1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular ( yang memproduksi dan menyimpan
renin)
pada dinding arteriol averen.
2. Makula densa tubulus distal.
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.

Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai dengan
pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel lacis dan
sel JG yang menyekresi renin. Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor
ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi
renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol
aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan
merangsang sel JG untuk melepaskan renin dari granula tempat renin tersebut
disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel mioepitelialnya secara khusus mengikat
arteriol aferen, juga bertindaksebagai transducer tekanan perfusi ginjal. Volume
ECF atau volume sirkulasi efektif (ECV) yang sangat menurun menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang sirasakan sebagai penurunan regangan
oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang
sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme
kontrol kedua untuk pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yang dapat
berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada
tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida ( NaCl)
dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus
proximal) kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan
peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi perubahan
sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan volume ECF
yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan
pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh
yang diberikan oleh penurunan volume ECF yaitu menekan sekresi renin. Faktor
lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang
merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-adrenergik dalam JGA,
angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain
yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium dan
natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin, hormone
antidiuretik (ADH), hormone adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida
(dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ),

dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi
berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.
2.1.2. Fisiologi Ginjal8,36
1.1.1. Fisiologi Ginjal
Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan
ekskretorik yaitu :
(1)

filtrasi glomerulus

Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam


kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus
yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai
membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki
lubang lubang dengan banyak pori pori besar atau fenestra, yang membuatnya
seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di
tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara
glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural,
sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun
protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati
pori pori diatas, pori pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan
albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan
sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir
juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos
untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan
memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di
dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah

10

filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan
masuk ke dalam lumen kapsula bowman.

Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah
kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus
yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke
kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama
yang menghasilkan filtrasi glomerulus.

GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi,
penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR.
Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat
mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat
dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.

Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena


tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus.
Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR.
Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal
melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi
terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat
peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh
konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam
glomerulus.

Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf

11

simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi
perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi
dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus
setiap hari untuk GFR rata rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per
hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.

(2)

reabsorpsi tubulus

Merupakan proses perpindahan selektif zat zat dari bagian dalam tubulus (lumen
tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke
jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport aktif dan pasif
karena sel sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa
dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui
transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif
dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di
sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea
direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini
merupakan zat zat yang direabsorpsi di ginjal :
a.

Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.

b.

Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di
tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus
distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada
yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk
reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.

12

c.

Reabsorpsi Air
Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus. Dari
H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa
henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus
distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.

d.

Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang bermuatan
positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan
reabsorpsi Na

e.

Reabsorpsi Kalium
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40% kalium akan
dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di
duktus pengumpul

f.

Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi sebagian
di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi. Sebagian
ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus
kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus
pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.

g.

Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium


Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40%
direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa
henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon
paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di
tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam
urin.

13

(3)

sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat zat dari darah kapiler peritubulus ke
dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan
ion ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di
sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga
dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke
dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan
dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh
hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah
terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai
tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan
tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk
eksresikan sebagai urin.

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar


ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :8
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk
Na+, Cl-, K+, HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan
dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini

14

dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan


garam dan H2O
4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh, dengan
menyesuaikan pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan
tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk produk sisa (buangan) dari
metabolisme tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika
dibiarkan menumpuk, zat zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama
bagi otak
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah
pada makanan, pestisida, dan bahan bahan eksogen non-nutrisi
lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

2.2. Gagal Ginjal Kronik


2.2.1. Definisi
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup
lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi glomerular kurang dari 50 mL/min.
Selanjutnya Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Kriteria penyakit ginjal
kronik adalah sebagai berikut9 :

15

a.

kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan struktural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), dengan manifestasi:

1) kelainan neurologis
2) terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urine, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test).
b.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat
kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/
menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

2.2.2. Epidemiologi
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di
Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per
1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah
berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di
Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta
penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun. Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun. Di
negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
juta/tahun. 10
2.2.3. Etiologi10
Secara umum, penyebab gagal ginjal kronik adalah karena penyakit ginjal
instrinsik, yaitu adanya kerusakan pada glomeruler. Gagal ginjal iatrogenik
meningkat dengan meningkatnya prevalensi diabetes dan gangguan multisistem
yang bervariasi yang membutuhkan terapi jangka panjang. Hipertensi sekarang
diketahui sebagai penyebab awal gagal ginjal kronik. Diabetes dan hipertensi ini
bertanggung jawab sampai dua pertiga kasus terjadinya gagal ginjal kronik.
Beberapa kondisi lain juga dapat mempengaruhi ginjal, antara lain penyakit ginjal

16

polikistik, penyakit lupus dan penyakit lainnya yang mempengaruhi sistem


kekebalan tubuh, sumbatan yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal,
tumor atau pembesaran kelenjar prostat, dan infeksi saluran kencing berulang.9
2.2.4. Patofisiologi4,30
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal
ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan
hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya,
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal
Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik,
nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

17

Penurunan jumlah nefron

Hiperfiltrasi Gomelurus
Peningkatan premeabilitas
glomelulr

Peningkatan RAAS

Peningkatan filtrasi protein


dan makromelekul

Remodelling pada nefron

Tubulointerstitial fibrosis
Penurunan laju filtrasi
glomelurus

Retensi cairan
dan natrium

edema

Gangguan
eksresi
potasium

Gangguan
eksresi asam

hiperkalemia

Asidosis
metabolik

Gangguan
keseimbangan
kalsium/fosfat
CKD- MBD
(Chronic
Kidney
Desease
Mineral Bone
Disorder

Gambar 3. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Defisiensi
eritropoetin

Gangguan
eritropoesis
anemia

18

2.2.5. Klasifikasi13,35
Outcome merugikan pada gagal ginjal kronik sering dapat dicegah atau
ditunda kemunculannya melalui deteksi dan terapi secara dini. Stadium awal pada
gagal ginjal kronik dapat dideteksi melalui test laboratorium rutin. danya gagal
ginjal kronik harus ditetapkan berdasarkan pada tingkat kerusakan ginjal dan
penurunan fungsi ginjal (Glomerular Filtration Rate / GFR). Stadium penyakit
didasarkan pada tingkat fungsi ginjal, dan sebagai diagnosis, berdasarkan
klasifikasi dari Kidney Disease Outcome Quality Initiative: Clinical Guideline for
Chronic Kidney Disease (NKF/K-DOQI), sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit:
Derajat

LFG (ml/mnt/1,73m2)

Penjelasan

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

Gagal Ginjal

<15

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi:
Penyakit

Tipe Mayor ( contoh )

Penyakit ginjal
diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit ginjal non


diabetic

Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi


sistemik,obat, neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis

19

kronik,batu,obstruksi, keracunan obat)


Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada
transplantasi

Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Derajat Albuminuria (K-DIGO)


Kategori

AER

A1

< 30

ACR
mg/mmol
<3

A2
A2

30-300
>300

3-30
30-300

Penjelasan
mg/g
<30
30-300
>300

Normal
sampai
meningkat ringan
Meningkat sedang
Meningkat berat

2.2.6. Gambaran Klinik Gagal Ginjal Kronik4,29


Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks,

meliputi

kelainan-kelainan

berbagai

organ

seperti:

kelainan

hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan


neuropsikiatri:
1. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien gagal ginjal
kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau
penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.
2. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal
ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntahmasih

20

belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus
sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini
akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien
penyakit ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari
mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil
asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun
anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome
akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada
beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau.
4. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa
merupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialysis.
6. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi.
Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala

21

psikosis. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitching
sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian
terjun menjadi koma.
7. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif pada penyakit ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi
mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik
terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.
8. Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak factor turut memegang
peranan seperti keseimbanga natrium, aktivitas system rennin angiotensin
aldosteron, , aktivitas system saraf simpatis, dan factor hemodinamik lainnya
seperti cardiac output dan hipokalsemia.
Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma (VP)
dan volume cairan ekstraselular (VCES). Ekspansi VP akan mempertinggi
tekanan pengisiaan jantung (cardiac filling pressure) dan cardiac output pressure
(COP). Kenaikan COP akan mempertinggi tonus arteriol (capacitance) dan
pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus
vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik (feed-back
mechanism) sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati batas normal
tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan.
Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga (buffer) yang mengatur tekanan
darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan darah selalu dipertahankan
normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia,
mekanisme penyangga dari sinus karotikus tidak berfungsi lagi untuk mengatur

22

tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah
arteriol.
2.2.7 Diagnosis20,30,37
Pendekatan diagnosis Gagal Ginjal Kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut:
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Menentukan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan

yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,


perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. Pada gagal ginjal kronik, gejala
gejalanya berkembang secara perlahan. Pada awalnya tidak ada gejala sama
sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dari pemeriksaan
laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama kelamaan
akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti:

23

Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik

Kelainan kulit : uremic frost dan gatal di kulit

Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya


konsentrasi menurun, insomnia, gelisah

Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema

2. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai
sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin dan
radionuklida (gamma camera imaging) hampir mendekati faal ginjal yang
sebenarnya.
b. Etiologi penyakit ginjal kronik (PGK)
i. Analisis urin rutin
ii. Mikrobiologi urin
iii. Kimia darah
iv. Elektrolit
v. Imunodiagnosis
c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal
(LFG).

24

3. Pemeriksaan penunjang diagnosis


a)

Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio opak

b)

Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa


melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c)

Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi

d)

Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,


korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi

e)

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

f)

Biopsi
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati
normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan
bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan
mengevaluasi hasil terapi yang sudah diberikan. Kontraindikasi pada
ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas,
dan obesitas.

2.2.8. Penatalaksanaan4,33
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran
ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan
histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

25

Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak bermanfaat. Kecepatan

penurunan LFG perlu

dipantaupada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien.
Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obatobatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit
dasarnya Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai
dengan derajatnya, dapat dilihat di tabel dibawah ini.
Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya
Derajat

LFG (ml/menit/1,73m2)

Rencana tatalaksana

90

Terapi

penyakit

dasar,

kondisi

komormid, evaluasi perburukan fungsi


ginjal,

memperkecil

risiko

kardiovaskular
2

60 89

Menghambat perburukan fungsi ginjal

30-59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15-29

Persiapam untuk terapi pengganti ginjal

< 15

Terapi penggantian ginjal.

a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/mnt, sedangkan
diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein
diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari,
dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi

26

malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan
lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan
melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui ginjal.

Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan
protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.

Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein Overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah
dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein
juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu
berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah
terjadinya hyperfosfatemia.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan
utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.

27

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral


Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/l.

b. Anemia
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal
yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan
darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi
terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 g% atau hematokrit 30g%,
meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding Capacity), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, Pemberian


eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini,
status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam
mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan
cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan perburukan fungsi ginjal.

28

c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus.

K-DIGO merekomendasikan pemberian obat antihipertensi untuk menjaga


tekanan darah agar tetap konsisten 140 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan
90 mmHg untuk tekanan darah diastolik pada penderita penyakit ginjal kronik
baik dengan atau tanpa diabetes dan dengan eksresi albumin urin < 30 mg/24 jam
yang memilki tekanan darah sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Pada
penderita penyakit ginjal kronis baik dengan ataupun tanpa diabetes melitus dan
dengan ekskresi albumin > 30 mg/24 jam yang memilki tekanan darah sistolik
140 mmHg dan diastolik 90 mmHg, KDIGO merekomendasikan pemberian
obat antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah sistolik sampai 130 mmHg
dan tekanan darah diastolik sampai 80 mmHg.

29

Obat antihipertensi lini pertama yang direkomendasikan ialah obat golongan


ACE-Inhibitor atau ARB.

g. Kelainan sistem kardiovaskular


Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi
terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45%
kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular.
Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi terhadap penyakit
kardiovaskular

adalah,

pengendalian

diabetes,

pengendalian

hipertensi,

pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia,


dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis dan
transplantasi ginjal.

2.2.9 Komplikasi14,38
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
-

Hiperkalemia

Asidosis metabolik

Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )

Kelainan hematologi (anemia)

Penyakit tulang dan mineral pada penyakit ginjal kronis

30

2.2.10 Prognosis14,38
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka panjangnya
buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang dilakukan
sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu sendiri.
Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai tingkat
lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.

2.3. Anemia pada Gagal Ginjal Kronik


2.3.1. Definisi
Anemia merupakan sekelompok gangguan yang ditandai dengan penurunan
hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen oleh darah. Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi
sebagai alat transportasi oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Hb tersusun
dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan unit beta) dan
heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi
hemoglobin bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut oksigen
darah (dalam arteri) berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang
kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin
mengangkut 1,34 mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar
Hb bukan jumlah sel darah merah, sehingga pada penetapan status anemia jumlah
total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit.12
World Health Organization mendefinisikan anemia jika konsentrasi Hb
dibawah 13.0 g/dL pada pria dan wanita postmenopause, serta dibawah 12.0 g/dL
pada wanita premenopause. European Best Practice Guidelines manajemen
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik mendefinisikan keadaan anemia jika
konsentrasi Hb < 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria usia dibawah 70
tahun dan 12.0 g/dL pada pria usia lebih dari 70 tahun. Sedangkan menurut
National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) menetapkan pasien mengalami anemia jika Hb <11.0 g/dL (hematocrit

31

< 33%) pada wanita premenopouse dan pasien pubertas, dan Hb <12.0 g/dL
(hematocrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita postmenopouse.
Menurut Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin(Hb) pada
anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita. Target Hb
yang diharapkan pada anemia karena GGK adalah 11 g/dL dengan TSat >20%
untuk terapi menggunakan ESAs.13,14
2.3.2 Jenis Anemia33,34
Dibawah ini adalah algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium mengenai gambaran morfologik dengan melihat indeks
eritrosit atau hapusan darah tepi.

ANEMIA

Hapusan darah tepi dan indeks


eritrosit (MCV,MCH,MCHC)

Anemia hipokromik
mikrositer

Anemia
normokromik
normositer

Anemia
makrositer

Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normokromik


normositik karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis
eritropoetin.16,17,21 Namun, terkadang dapat terjadi anemia hipokromik atau
anemia hiperkromik. Anemia hipokromik terjadi karena adanya defisiensi zat
besi, sedangkan anemia hiperkromik terjadi karena adanya kekurangan asam
folat.21

32

1.

Anemia hipokromik mikrositer


Anemia hipokromik mikrositer terjadi apabila bila MCV <80 fl dan MCH

<27 pg, pada gambaran mikroskop didapatkan sel darah merah yang lebih pucat
dan berbentuk kecil dari sel darah merah biasa (gambar.1) Anemia hipokromik
mikrositer terjadi anemia defisiensi besi, thalasemia mayor, anemia akibat
penyakit kronik, dan anemia sideroblastik. Pada anemia hipokromik mikrositer,
nilai besi serum perlu dinilai. Pada nilai serum besi yang menurun jika TIBC
meningkat, feritin menurun, dan cadangan besi di sumsum tulang negatif maka
perlu dipikirkan adanya anemia defisiensi besi.
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
Besi serum

normal

menurun

Feritin normal
TIBC

TIBC

FERITIN

FERITIN

Elektroforesis
Besi sumsum tulang
negatif

Besi sumsum tulang


positif

Ring sideroblast
dalam sumsum tulang

Hb

Hb A2 HbF

Anemia defisiensi besi

Anemia akibat
penyakit kronik

Thalasemia beta

Anemia siderobastik

Tabel 5. Algoritme pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer34

Namun pada keadan serum besi yang normal disertai feritin normal, perlu
dilakukan pemeriksaan elektroforesis Hb untuk menentukan apakah penderita

33

mengalami thalasemia beta. Pada keadaan ini perlu juga dilakukan pemeriksaan
untuk melihat ring sideroblast dalam sumsum tulang yang menandakan adanya
anemia sideroblastik.

Gambar 4. Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer34

2.

Anemia normokromik normositer


Anemia normokromik normositer terjadi apabila MCV 80-95 fl dan MCH

27-34 pg. Anemia normokromik normositer terjadi pada anemia pasca perdarahan
akut, anemia aplastik, anemia hemolitik didapat, anemia akibat penyakit
kronik,anemia pada gagal ginjal kronik, anemia pada sindrom mielodisplastik, dan
anemia pada keganasan hematologik.
Selain menilai serum besi, retikulosit perlu dinilai dalam menentukan
adanya anemia normokromik normositer. Bila retikulosit meningkat perlu digali
mengenai perdarahan akut dan tanda hemolisis yang lanjutkan dengan
pemeriksaan tes coomb. Bila tes coomb negatif dan terdapat riwayat keluarga
maka perlu dipikirkan adanya hemaglobinopati. Bila tes coomb positif maka perlu
dipikirkan adanya AIHA yang dialami pasien.

34

Gambar 5. Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia


normokromik normositer34

Pada pasien dengan retikulosit meningkat atau menurun, maka perlu


dilanjutkan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Bila terdapat hipoplastik pada
sumsum tulang, diagnosis anemia aplastik perlu dipikirkan. Bila terdapat tumor
ganas, perlu dipikirkan anemia pada leukimia akut atau mieloma. Pada anemia
mieloplastik, pemeriksaan sumsum tulang didapatkan infiltrasi limfe yang ganas.
Namun bila pemeriksaan sumsum tulang tidak terdapat kelainan, maka perlu
diperiksa faal hati, ginjal, dan tiroid. Hal ini bertujuan untuk mengetahui anemia
pada penyakit kronik yang disebabkan oleh gangguan organ tersebut.

35

ANEMIA NORMOKROMIK
NORMOSITER

Retikulosit

Meningkat

Tanda
hemolisis
positif

Normal/menurun

Sumsum
Tulang

Riwayat
Perdarahan
Akut
Displastik

Hipoplastik

Infiltrasi

Normal

Tes coomb

negatif

Tumor ganas
hematologi
(leukimia,mielo
ma)

positif

Riwayat
keluarga positif
Anemia
aplastik

Enzimopati,
Membranopati

Anemia pada
leukimia
akut/mieloma

Limfoma
kanker

Anemia
mieloptisik

Penyakit kronik

Anemia pada
GGK Penyakit
Hati Kronik
Hipotiroid
penyakit kronik

AIHA

Anemia pasca
perdarahan akut

Faal ginjal
Faal tiroid

Hemaglobinopati

Anemia mikroangiopati
obat/parasit

Faal hati

Anemia pada sindrom


mielodisplastik

Tabel 6. Algoritme diagnosis anemia normokromik normositer34

3. Anemia makrositer
Anemia makrositer terjadi apabila nilai MVC >95 fl. Pada
gambaran

mikrosko

didapatakan

eritrosit

yang

lebih

besar

dibandingkan ukuran normal. Anemia makrositer sering terjadi pada

36

anemia defisiensi asam folat, B12 termasuk anemia pernisiosa.


Algoritme diagnosis anemia makrositer dapat dilihat pada tabel 7.

ANEMIA MAKROSITER

Retikulosit

Meningkat

Normal/Menurun
Sumsum tulang

Riwayat Perdarahan
akut
Megaloblastik

Anemia Pasca
Perdarahan
akut

B12 serum
rendah

Anemia
Defisiensi besi

Non Megaloblastik

Asam folat
rendah

Anemia Defisiensi
asam folat

Faal Tiroid
Anemia pada
Hipotiroidisme

Faal hati

Anemia Defisiensi
Besi/asam folat
dalam terapi

Anemia pada
penyakit hati
Displastik

Tabel 7. Algoritme diagnosis anemia makrositer34

Sindrom
mielodisplastik

37

Gambar 6. Gambaran eritrosit pada anemia makrositer

2.3.3. Patogenesis Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik


Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada
gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan
penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses
sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.
a.

Hemolisis
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien

hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan


variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup
berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah
merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup
yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal
ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal.
Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan
enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa
phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena
itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui
dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada darah
akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah

38

yang hidup pada uremia. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat
oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat
menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism merupakan
gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis
sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel
darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang, yang dapat menyebabkan
hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena
pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat
disebabkan karena proses patologik

lainnya seperti

splenomegali

atau

mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan


hipertensi maligna.

b.

Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor

lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon


eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin
yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal
yang memproduksi eritropoetin. Hormon eritropoietin merupakan faktor
pertumbuhan hematopoietik yang memacu pembentukan sel darah merah.
Eritropoietin meningkatkan produksi retikulosit dan pelepasan dini retikulosit dari
sumsum tulang. Lokasi utama pembentukan eritropoietin pada orang dewasa
adalah ginjal. Sejumlah kecil juga dihasilkan oleh hati di beberapa hepatosit dan
di sel fibroblastoid, hati merupakan lokasi produksi utama eritropoietin pada fetus
dan neonates. Di ginjal, eritropoietin dibuat di sel fibroblastoid tipe I pada
interstitium peritubular pada korteks dan medula bagian luar. Normalnya ginjal
memproduksi eritropoietin pada tingkat dasar yang rendah, namun meningkat
akibat adanya anemia atau penurunan tekanan O2 arteri, dua situasi yang
meneyabkan hipoksia jaringan.

39

Eritropoietin diproduksi ketika gennya ditranskripsi pada suatu prosesyang


melibatkan faktor transkripsi H1F1 (hypoxia-inducible factor 1 alpha). Produksi
faktor transkripsi ini meningkat pada keadaan defisiensi oksigen. Ketika kadar
oksigen rendah, protein factor transkripsi H1F1 berikatan dengan gen
eritropoietin untuk mengingkatkan ekspresinya. Namun, saat kadar oksigen
normal, enzim prolyl hydroxylase domain (PHD) yang bersifat oxygen-dependent
menambahkan gugus hidroksil ke residu prolin pada protein H1F1. Hidroksi
prolin ini dikenali oleh protein VHL (von Hippel-Lindau) yang dalam bentuk
kompleks dengan protein lain, dapat melekatkan gugus ubiquitin ke H1F1,
memicu dekstruksinya oleh proteasom. Jadi, pada saat kadar oksigen normal,
H1F1 didegradasi dengan cepat, namun ketika kadar oksigen rendah, hidroksilasi
prolin tidak terjadi dan H1F1 menjadi stabil dan dapat mengaktivasi gen
eritropoietin.
Kekurangan EPO pada penyakit ginjal kronis bisa menjadi respon
fungsional terhadap turunnya laju filtrasi glomerulus. Teorinya adalah bahwa selsel penghasil EPO sendiri mungkin tidak hipoksia, jika filtrasi glomerulus rendah
reabsorbsi natrium menjadi rendah, reabsorbsi natrium adalah penentu utama
konsumsi oksigen dalam ginjal. Dalam keadaan ini mungkin ada lokal relative
kelebihan oksigen yang bisa turut mengatur produksi EPO. Selain itu penyakit
ginjal kronik juga sering menyebabkan perubahan interstitial dan sel yang
memproduksi eritropoietin tipe I menjadi lebih miofibroblastoid dengan
kemampuan memproduksi EPO yang lebih lemah.

c.

Penghambatan eritropoesis
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel

prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari


eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia
yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada
pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya
meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang
meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi

40

yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan
PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal
ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis
tetapi

juga

menghambat

ketidakspesifikkan,

granulopoesis

leukopenia,

dan

dan

trombopoesis.

trombositopenia

bukan

Karena

merupakan

karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm
sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan
efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,
peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat
anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada
eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut
bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada
gagal ginjal.

d.

Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan

gagal ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium


akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan
pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia
mikrositik yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien
hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah
oleh intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi
terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada
eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan
metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya

41

sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah
merah pada sumsum tulang.15

Selain mekanisme diatas, defisiensi besi juga diduga merupakan salah satu
penyebab terjadinya anemia pada gagal ginjal kronik. Tiga mekanisme penting
yang dapat terjadi pada pasien GGK dengan anemia defisiensi besi adalah :

a . Absorpsi besi yang tak normal


Absorpsi besi pada saluran cerna diatur oleh jumlah besi tubuh dalam pool, kadar
EPO dan kecepatan eritropoiesis. Absorpsi besi terjadi diduodenum dan jejunum
proksimal yang dipengaruhi oleh asupan makanan, faktor-faktor intraluminal,
aktifitas eritropoiesis, kapasitas fungsional dari sel mukosa usus dan jumlah besi
dalam jaringan penyimpanan. Dengan restriksi daging yang banyak mengandung
heme,maka jumlah besi yang diabsorpsi akan berkurang. Disisi lain dengan
adanya eritropoiesis yang meningkat atau dengan berkuranganya cadangan besi
tubuh akan menginduksi peningkatan absorpsi besi. Telah dibuktikan pula dengan
tehnik ferrokinetik,ambilan besi oleh sel mukosa usus akan berkurang secara
bermakna pada pasien GGK terutama pada dialysis
.

Gambar 7. Homeostasis besi terganggu pada penyakit ginjal kronik (CKD)

42

Homeostasis besi dikaitkan dengan absorbs besi di duodenum dan recycle


dari sel darah merah senescent. Besi yang terikat dengan hemoglobin disimpan di
hepatosit dan makrofag pada system retikuloendotelial. Besi dikirim ke eritrosit
dewasa oleh protein transferin, yang mengangkut baik besi yang diabsorbsi
maupun yang dilepaskan dari makrofag (terutama dari sel darah merah senescent)
Homeostasis besi terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alas an yang
belum diketahui, mungkin malnutrisi, tingkat transferin pada penyakit ginjal
kronik adalah setengah sampai sepertiga dari tingkat normal. Sehingga
mengurangi kapasistas system pengankutan besi.28

b . Kehilangan darah
Beberapa faktor berperan dalam kehilangan darah seperti sisa darah dalam
dialiser dan blood tubing pada setiap akhir dialisis,seringnya melakukan
pemeriksaan darah,perdarahan saluran cerna tersembunyi,dan hilangnya darah
dari tempat fungsi jarum saat hemodialisis. Kira-kira 1-3 gram besi akan hilang
pertahun akibat keadaan ini. K-DOQI menyarankan pemberian 25-100 mg besi
perminggu untuk mengganti kehilangan darah ini.

c. Defisiensi besi fungsional


Adalah keadaan dimana besi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan untuk
eritropoiesis bila diberikan pemberian EPO dari luar (rHu EPO).Hal ini terjadi
karena terdapat blokade pada sistem retikulo-endotelial yang disebabkan oleh
adanya infeksi atau inflamasi. Infeksi dan inflamasi akan menginduksi pelepasan
sitokin dalam sirkulasi seperti Interleukin 1 , Tumor necrosis factor A (TNF-A)
dan interleukin 6. Sitokin sitokin ini menyebabkan berkurangnya produksi EPO
endogen atau menurunkan kepekaan sel prekursor eritroid terhadap EPO endogen
atau eksogen.

43

2.3.4. Manifestasi klinik anemia


Tanda dan gejala anemia tergantung pada onset, penyebab, dan individu. Anemia
pada GGK memiliki gejala sebagai berikut: rasa lelah, letih, pusing, nafas pendek,
intoleransi dingin.16,17,18
Anemia yang terjadi dalam jangka waktu yang lama akan berakibat pada banyak
hal. Diantaranya menyebabkan kenaikan cardiac output untuk mengimbangi
turunnya kapasitas oksigen yang dibawa darah yang akan menyebabkan naiknya
stroke volume dan denyut jantung, terjadinya penurunan fungsi kognitif,
hiperprolaktinemia, defisiensi hormon pertumbuhan, kerusakan pada hormon
seks, dan terjadinya pendarahan.17

2.3.5. Diagnosis Anemia


Pasien GGK dengan GFR <60 mL/min/1.73 m2 harus dievaluasi terhadap
kemungkinan terjadinya anemia dengan melihat pada level hemoglobin. Menurut
Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin (Hb) pada anemia adalah
<13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita.

Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis anemia pada GGK:
1. Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC)
Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah (mean
corpuscular hemoglobin [MCH], mean corpuscular volume [MCV], mean
corpuscular hemoglobin consentration [MCHC], jumlah sel darah putih, dan
jumlah platelet.
2. Reticulosyte count
Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum matang
menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat memperkirakan jumlah dan
persentase retikulosit di sirkulasi darah. Normalnya, reticulosyte count berkisar 12% dari sel darah merah di sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia, retikulosit
dalam jumlah yang lebih besar dilepaskan ke darah sehingga menaikkan jumlah
dan persentasenya.

44

3. Level feritin serum


Feritin merupakan parameter untuk menilai cadangan besi tubuh. Jika kurang dari
100 g/L menandakan butuh suplemen besi. Pada ACD (anemia chronic disease)
konsentrasinya normal atau meningkat.
4. Saturasi transferin serum (TSAT)
Jika terjadi penurunan menjadi <20% maka menunjukkan adanya kekurangan
besi.
5. Kadar besi
Pada IDA (iron deficiency anemias/ anemia karena kekurangan besi) dan ACD
(anemia chronic disease/ anemia penyakit kronik) konsentrasinya rendah. 16,19,20

Pasien anemia dengan GGK sebaiknya rutin melakukan pengecekan anemia,


demikian juga pasien GGK yang tidak menderita anemia. Frekuensi pemeriksaan
anemia:
1. Pada pasien GGK tanpa anemia: satu tahun sekali pada pasien GGK stadium 3,
dua kali dalam setahun untuk pasien GGK non dialisis stadium 4-5, dan setiap tiga
minggu pada pasien GGK stadium 5 dengan hemodialisis atau peritoneal dialysis.
2. Pada pasien GGK dengan anemia yang tidak sedang mendapatkan terapi ESA:
setiap tiga bulan pada pasien dengan GGK non dialisis stadium 3-5 dan pada
GGK dengan peritoneal dialisis stadium 5, setiap bulan pada pasien GGK dengan
hemodilisis stadium 5.
3. Pasien GGK dengan anemia yang menggunakan terapi ESA: pemeriksaan Hb
setiap bulan saat fase inisisasi ESA, setiap tiga bulan sekali pada pasien tahap
pemeliharaan dengan GGK non dialisis, dan setiap bulan pada pasien tahap
pemeliharaan untuk GGK dengan dialisis stadium 5. 20\

45

Gambar 8 . Pemeriksaan anemia pada pasien penyakit ginjal kronis.

2.3.6. Penatalaksanaan
Sebelum tahun 1990, management anemia terdiri atas terapi androgen, suplemen
besi, suplemen vitamin, dan transfusi darah berulang. Namun, pengobatan
tersebut belum cukup berhasil mendukung perbaikan anemia. Kemudian,
pengobatan modern menggunakan ESA yang dikombinasikan dengan suplemen
besi untuk terapi anemia yang lebih adekuat.

1. Asam folat
Asam folat eksogen dibutuhkan tubuh untuk sintesis nukleoprotein dan
pemeliharaan eritropoiesis normal. Asam folat bekerja dengan menstimulasi
produksi sel darah merah, sel darah putih, dan platelet.22 Asam folat diberikan

46

pada pasien GGK terutama yang menjalani terapi hemodialisis. Pada saat
hemodialisis terjadi kehilangan asam folat sehingga perlu diberikan suplemen
asam folat ini.23

2. Vitamin B12
Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis, dan
sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel
darah merah melalui aktivasi koenzim asam folat. Agar dapat berefek asam folat
berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu tetrahidrofolat, dalam proses inilah
dibutuhkan Vitamin B12. Tubuh mengalami peningkatan kebutuhan vitamin B12
terjadi pada kondisi kehamilan, tirotoksisitas, anemia hemolitik, pendarahan, serta
penyakit hati dan ginjal.22

3. Dialisis
Dialisis adalah tindakan medis pemberian pelayanan terapi pengganti fungsi ginjal
sebagai bagian dari pengobatan pasien gagal ginjal dalam upaya mempertahankan
kualitas hidup yang optimal yng terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis.
Hemodialisis (HD) maupun peritonial dialisis (PD) yang adekuat dapat
memperbaiki lama hidup eritrosit sehingga dapat mempertahankan hematokrit
pada tingkat yang lebih baik dibandingkan jika tanpa dialysis.23

4. Steroid anabolik
Pemberian steroid anabolik ini dapat berpengaruh langsung pada sumsum tulang
untuk produksi sel darah merah, selain itu juga mampu merangsang produksi
eritropoietin lewat hati dan jaringan ginjal yang masih tersisa. Namun, pengobatan
ini memiliki banyak kerugian, diantaranya menimbulkan virilisasi, gangguan faal
hati, dan beberapa efek samping lain.22

47

5. Suplementasi Eritropoetin32
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO
1.

Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a.

Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi


transferin > 20%

b.

Tidak ada infeksi yang berat

2.

Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap EPO

3.

Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada keadaan:
a.

Hipertensi tidak terkendali

b.

Hiperkoagulasi

c.

Beban cairan berlebih/fluid overload

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang cukup. Terdapat
beberapa kriteria pengkajian status besi pada Gagal ginjal Kronis:
1.

Anemia dengan status besi cukup

2.

Anemia defisiensi besi:


a.

Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

b.

Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100


mcg/L, Saturasi Transferin < 20 %.

5.1 Terapi Eritropoietin Fase koreksi:


Tujuan:
Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai.
a.

Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x


seminggu selama 4 minggu.

b.

Target respon yang diharapkan :


Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4
minggu.

c.

Pantau Hb,Ht tiap 4 minggu

48

d.

Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO sampai target


Hb tercapai (> 10 g/dL)

e.

Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%

f.

Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu,


turunkan dosis 25%

g.

Pemantauan status besi:


Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan suplemen
sesuai dengan panduan terapi besi.

5.2. Terapi EPO fase pemeliharaan


a.

Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12 g/dL).


Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa
status besi setiap 3 bulan

b.

Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi
cukup) maka dosis EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin ternyata
dapat menimbulkan efek samping diantaranya:

a.

hipertensi:
-

tekanan darah harus dipantau ketat terutama selama terapi


eritropoetin fase koreksi

pasien

mungkin

membutuhkan

terapi

antihipertensi

atau

peningkatan dosis obat antihipertensi


-

peningkatan tekanan darah pada pasien dengan terapi eritropoietin


tidak berhubungan dengan kadar Hb.

b.

Kejang:
-

Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase koreksi

Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang cepat dan tekanan


darah

yang

tidak

terkontrol. Terkadang

menghasilkan respon yang tidak adekwat.

pemberian

EPO

49

Respon EPO tidak adekwat bila pasien gagal mencapai kenaikan Hb/Ht
yang dikehendaki setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu. Terdapat beberapa
penyebab respon EPO yang tidak adekwat yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan penyebab tersering)
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC, SLE,AIDS)
c. Kehilangan darah kronik
d. Malnutrisi
e. Dialisis tidak adekwat
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1 reseptor antagonis)
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa, intoksikasi alumunium,
hemoglobinopati seperti talasemia beta dan sickle cell anemia,
defisiensi asam folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan
mielofibrosis, hemolisis, keganasan).

Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan terapi


penunjang yang berupa pemberian:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. Vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia defisiensi besi
fungsional yang mendapat terapi EPO
e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang
diakibatkan terapi besi intravena
g. Preparat androgen (2-3 x/minggu)
a. Dapat mengurangi kebutuhan EPO
b. Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada pasien dengan gangguan
fungsi hati
c. Tidak dianjurkan pada wanita

50

6. Terapi besi 32
a. Pengkajian status besi
1. Anemia dengan status besi cukup : bila didapatkan kadar Hb 10 g/dL,
hematokrit 30%, saturasi transferin > 20% dan kadar feritin serum > 100 ng/L
2. Anemia defisiensi besi absolute : bila didapatkan saturasi transferin < 20% dan
kadar feritin serum < 100 ng/L
3. Anemia defisiensi besi fungsional : bila didapatkan saturasi transferin < 20%
dan kadar feritin serum 100 ng

b. Suplementasi zat besi pada penderita GGK yang menjalani hemodialisa


Suplementasi preparat besi dapat diberikan sebagai (1) profilaksis, untuk
mengurangi risiko berkembangnya defisiensi zat besi, (2) terapi defisiensi besi
absolute, (3) terapi defisiensi zat besi fungsional, yaitu keadaan dimana cadangan
besi cukup tetapi saturasi transferin < 20%, keadaan ini biasa dijumpai pada
penderita-penderita yang telah mendapat eritropoietin.

Berbagai faktor menentukan bentuk suplementasi zat besi yang akan diberikan
pada penderita GGK yang menjalani hemodialisis. Pemberian secara oral
merupakan cara yang mudah dan paling murah untuk diberikan dan terutama
bermanfaat pada pasien yang tidak mendapat terapi EPO, dengan dosis minimal
200 mg besi elemental/hari dalam dosis terbagi 2-3 kali/hari. Absorbsi besi
dipengaruhi oleh makanan, karena itu diberikan diantara makan.Walaupun
absorpsi zat besi pada pasien hemodialisis normal,beberapa peneliti mendapatkan
terapi zat besi per oral tidak dapat memperbaiki cadangan zat besi sumsum tulang.
Pasien hemodialisis yang diberikan suplementasi zat besi per oral cadangan besi
sumsum tulangnya berkurang dan tidak cukup untuk mengatasi defisiensi zat besi.
Disamping itu pemberian zat besi peroral sering menimbulkan keluhan
gastrointestinal berupa keluhan gastritis, kejang perut, obstipasi dan diare yang
sulit ditoleransi oleh penderitA . Pemberian zat besi parenteral bermanfaat untuk
terapi dan pencegahan defisiensi zat besi pada pasien-pasien hemodialisis yang
secara efektif mengisi cadangan zat besi sumsum tulang.

51

Pemberian preparat besi parenteral diindikasikan pada keadaan : (1) untuk koreksi
defisiensi zat besi yaitu bila kadar feritin serum awal < 100 ng/ml, terutama bila
penderita akan mendapat terapi eritropoietin, (2) untuk keadaan defisiensi zat besi
fungsional, dimana pemberian eritropoietin memberikan respon suboptimal atau
tidak berespon sama sekali, (3) untuk keadaan defisiensi zat besi tetapi preparat
besi per oral tidak dapat ditoleransi oleh penderita.

Terapi zat besi parenteral untuk mengatasi anemi defisiensi besi dibagi atas terapi
besi fase koreksi dan terapi pemeliharaan besi.
1. Terapi besi fase koreksi
-

Dosis uji coba (test dose) :


Dilakukan sebelum mulai terapi besi dengan cara :

Iron sucrose : 20-50 mg (1-2,5 ml) diencerkan dengan 50 ml NaCL 0,9%


drip iv, dalam waktu paling cepat 15 menit

Iron dextran : 25 mg diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% drip iv, dalam


waktu 30 menit

Terapi besi fase koreksi :


- Tujuan : untuk koreksi anemi defisiensi besi absolute dan fungsional, sampai
status besi cukup yaitu feritin serum mencapai > 100 ng/L dan saturasi
transferin> 20%
- Cara :
a.

Iron sucrose :
Bila dapat ditoleransi 100 mg diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip
iv dalam waktu paling cepat 15 menit. Cara lain dapat disuntikkan iv atau
melalui venous blood line tanpa diencerkan secara pelan-pelan, paling
cepat dalam waktu 15 menit.

52

b.

Iron dextran :
- 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9% diberikan 1-2
jam pertama HD melalui venous blood line. Cara ini diulang setiap HD
(2x seminggu) samapi 10 kali atau dosis mencapai 1000 mg.
- Iron dextran dapat diberikan secara intramuscular, disuntikkan pada
region gluteus kuadran luar atas dengan teknik Z track injection. Dosis uji
coba 0,5 ml im.

Terapi besi fase koreksi :


Bila feritin serum 30 mg/L : 6 x 100 mg dalam 4 minggu
Bila feritin serum 31 - < 100 ng/L : 4 x 100 mg dalam 4 minggu
a.

Terapi besi fase pemeliharaan : 80 mg tiap 2 minggu

b.

Iron gluconate :
Cara pemberian sama dengan iron dextran dengan dosis 125 mg setiap HD
(2x seminggu) sampai 8 kali atau dosis mencapai 1000 mg

c.

Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi

d.

Bila status besi cukup lanjutkan dengan terapi fase pemeliharaan. Bila
status besi belum cukup ulangi terapi besi fase koreksi.

2.

Terapi besi fase pemeliharaan

a.

Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis selama


terapi EPO

b.

Target terapi : Feritin serum > 100 ng/L - < 500 ng/L
Saturasi transferin > 20% - < 40%

c.

Dosis :
IV : Iron sucrose : maksimum 100 mg / minggu
Iron dextran : 50 mg / minggu
Iron gluconate : 31,25 125 mg / minggu
IM : Iron dextran : 80 mg / minggu
Oral : 200 mg besi elemental 2-3 x / hari

d.

Status besi diperiksa setiap 3 bulan

53

- Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi besi
dosis pemeliharaan.
- Bila feritin serum > 500 mg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
- Bila pemeriksaan ulang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mg/L dan
saturasi transferin < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan
dosis 1/3-1/2 sebelumnya.
-Pada pasien dengan iron overload ( feritin serum > 500 mg/L ) dapat
diberikan asam askorbat intravena dosis tinggi yaitu 300 mg setiap dialysis
selama 8 minggu.

7.

Transfusi darah
Transfusi darah adalah pemindahan darah atau komponen darah dari donor
kepada resipien. Komponen tersebut meliputi komponen seluler dan
humural yang telah dipisahkan maupun sebagai plasma utuh. Transfusi
darah sangat efektif dalam menaikkan kadar Hb. Untuk pengobatan
anemia yang bersifat kronik, penggunaan transfusi darah ini sebaiknya
dihindari untuk meminimalisasi resiko terkait penggunaannya.20 Pada
orang dewasa, pemberian satu kantong darah dapat menaikkan kadar Hb
sebesar 1g/dL dan Hct sekitar 3%. Pemberian transfusi ini memiliki
banyak resiko, diantaranya reaksi akibat tranfusi, rentan penularan
hepatitis B dan C serta AIDS, supresi eritroid pada sumsum tulang,
hemosiderosis dan berpotensi terjadi medical error .

23

Resiko lain adalah

terjadinya overload zat besi karena penggunaan transfusi dalam jangka


waktu berbulan-bulan hingga hitungan tahun akan menyebabkan
terjadinya ketergantungan terhadap supply sel darah merah dari luar.20

Transfusi darah hanya diberikan dalam keadaan yang benar-benar perlu


dan penggunaannya pun sangat dibatasi untuk menghindari resiko yang
timbul akibat transfusi. Kriteria digunakannya terapi ini diantaranya:

54

1) Ketika kadar Hb <7g/dL atau ketika anemia kronik menunjukkan gejala


yang parah. Pada kadar Hb 6, gejala anemia muncul saat istirahat seperti
dypsneu, lelah, CHF dan terjadi penurunan nilai Hb secara progresif.20
Nilai Hb <5g/dL merupakan kondisi yang dapat memicu gagal jantung dan
kematian.12 Transfusi darah bisa dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dL
apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis
dan laboratorium. Transfusi darah tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dL,
kecuali pada indikasi tertentu seperti penyakit yang membutuhkan
kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif
kronik berat dan jantung iskemik berat).
2)

Tidak

memungkinkan

untuk

dilakukan

terapi

menggunakan

eritropoietin.
Transfusi darah diberikan ketika dengan pemberian terapi ESA tidak
efektif seperti pada keadaan hemoglobinopathies, bone marrow failure,
ESA resistance dan penggunaan ESA lebih banyak kerugian daripada
keuntungan disebabkan kondisi pasien.20
3) Pengobatan anemia pada situasi klinik yang mendesak. Contoh: terjadi
hemorragi (pendarahan akut), pada unstable coronary artery disease dan
pada tindakan dialisis. Transfusi darah dapat diberikan secara bertahap
bersamaan dengan waktu hemodialisis untuk menghindari kelebihan
cairan.27 Dalam memutuskan penggunaan terapi anemia tidak hanya
didasarkan pada kadar Hb saja namun juga memperhatikan gejala yang
muncul.20 Target kadar hemoglobin pada anemia adalah Hb 7g/dL, ketika
kadar Hb pasien berada pada kadar tersebut terapi transfusi darah
dikatakan efektif dan efisien.15,27 Anemia GGK bersifat kronis sehingga
tubuh melakukan kompensasi dengan berbagai mekanisme, sehingga pada
Hb diatas 7/8 saat kondisi istirahat pasien sudah tidak mengalami gejala
dan namun akan nampak gejala saat beraktivitas. Kadar hemoglobin
optimum (transport oksigen terbesar pada kondisi energi terkecil) adalah
pada Hb 10 mg/dL (HCT=30).

55

BAB III
KESIMPULAN
World Health Organization mendefinisikan anemia jika konsentrasi Hb
dibawah 13.0 g/dL pada pria dan wanita postmenopause, serta dibawah 12.0 g/dL
pada wanita premenopause. European Best Practice Guidelines manajemen
anemia pada pasien penyakit ginjal kronik mendefinisikan keadaan anemia jika
konsentrasi Hb < 11.5 g/dL pada wanita, 13.5 g/dL pada pria usia dibawah 70
tahun dan 12.0 g/dL pada pria usia lebih dari 70 tahun. Sedangkan menurut
National Kidney Foundations Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative
(K/DOQI) menetapkan pasien mengalami anemia jika Hb <11.0 g/dL (hematocrit
< 33%) pada wanita premenopouse dan pasien pubertas, dan Hb <12.0 g/dL
(hematocrit < 37%) pada pria dewasa dan wanita postmenopouse.Menurut
Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin(Hb) pada anemia adalah
<13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita.
Anemia merupakan salah satu dari gejala klinik pada penyakit ginjal
kronis. Anemia pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun
kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dan hal ini menjadi lebih parah dengan semakian
memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Anemia pada gagal ginjal merupakan tipe
normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang memperberat seperti
defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Terdapat 3 mekanisme utama yang
terlibat pada patogenesis anemia pada gagal ginjal, yaitu : hemolisis, produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, dan penghambatan respon dari sel prekursor
eritrosit terhadap eritropoetin. Proses sekunder yang memperberat dapat terjadi
seperti intoksikasi aluminium. Selain itu, kehilangan darah dan defisiensi besi
juga diduga turut berperan dalam mekansme terjadinya anemia pada gagal ginjal
kronik. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap,
perhitungan retikulosit, level feritin serum, saturasi transferin serum (TSAT) , dan
kadar besi. Feritin serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi
tubuh. Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL

56

dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif maupun dengan EPO.
Sebelum tahun 1990, management anemia terdiri atas terapi androgen, suplemen
besi, suplemen vitamin, dan transfusi darah berulang. Namun, pengobatan
tersebut belum cukup berhasil mendukung perbaikan anemia. Kemudian,
pengobatan modern menggunakan ESA yang dikombinasikan dengan suplemen
besi untuk terapi anemia yang lebih adekuat.

Anda mungkin juga menyukai