Anda di halaman 1dari 28

BAB I

ILUSTRASI KASUS
Identitas
Nomor catatan medis

: 00549561

Nama

: Tn.Restu

Umur

: 18 tahun

Pekerjaan

:-

Alamat

: Citarik

Status pernikahan

: Belum menikah

Agama

: Islam

Pendidikan terakhir

: SMA

Suku

:-

Tanggal masuk ruangan : 16 Desember 2014


Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien, Tn. Ismat pada tanggal 16 Desember
2014.
Keluhan Utama

Nyeri dan pegal pada daerah kemaluan sejak

Pasien pernah mengeluh pernah keluar

3 bulan yang lalu

Keluhan Tambahan

benjolan pada skrotum 1 tahun yang lalu kemudian menghilang

Riwayat Penyakit sekarang

Pasien datang ke RSUD Karawang tanggal 16 Desember 2014 dengan keluhan nyeri
dan pegal pada daerah kemaluan sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan hilang
timbul terutama timbul saat berolahraga dan berdiri lama. Riwayat pada trauma pada
daerah tersebut (-) , mual (-), muntah (-). BAB dan BAK normal. Pasien mengaku
pernah keluar benjolan pada daerah skrotum 1 tahun yang lalu, benjolan tidak nyeri,
timbul saat berdiri dan menghilang sendiri saat berbaring. Pasien tidak memiliki
riwayat minum alcohol dan merokok dan rajin berolahraga

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah menjalani operasi apapun sebelumnya.


1

Diabetes mellitus, penyakit jantung, hipertensi, asma, riwayat alergi


obat dan makanan disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit keluarga

Riwayat anggota keluarga menderita keluhan yang sama (-) Riwayat


hipertensi, diabetes mellitus, asma, alergi makanan dan obat-obatan
serta keganasan dalam keluarga juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku rajin berolahraga, tidak minum alcohol, kebiasaan


merokok disangkal . Tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan
tidak ada makanan yang menjadi pantangan bagi pasien.
Dari hasil anamnesis kami menyimpulkan dalam klasifikasi ASA 1
Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: compos mentis

Status gizi

: TB 170 cm
BB 65 kg

Tanda vital
Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 78 x/menit

Suhu

: 36,5 C

Pernapasan

: 18 x/menit

Status Generalis
Kepala

: normocefali, simetris, deformitas (-)

Mata

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Mulut

: score mallapati 1

Leher

: KGB tidak teraba membesar. Jarak tiroidmental

kurang lebih 8cm


Thorax : Jantung
Paru
Abdomen

: BJ I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)


: SN vesikuler, wheezing -/-, ronki -/: Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
(+) titik Mc Burney, nyeri lepas (-) titik Mc Burney,
2

Defense muscular (-), timpani, bising usus (+) normal,


psoas sign (-), Refator sign (-)
Ekstremitas

: akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada


edema pada keempat ekstremitas.

Pemeriksaan Penunjang
(Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Desember 2014)
Hematologi
-

Hemoglobin

: 16 g/dL

Leukosit

: 9,69 x 103/ul

Trombosit

: 289 x 103/ul

Hematokrit

: 44,8 %

GDS

: 87 mg/dL

Ureum

: 28,9 mg/dL

Creatinin

Kimia

: 0.92 mg/dL

Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dinyatakan Tn.
Ismat 18 tahun menderita Varicocel, ASA-1. Rencana akan dilakukan operasi ligasi
vena spermatika interna dengan anestesi regional.

Pre operasi :
-

Cek persetujuan operasi


Pasien puasa 11 jam pre-operatif
Cek dan persiapan obat dan alat anestesi
Infus RL 20 tpm
Tanda vital : TD 110/70 mmHg, Nadi 78x/menit , Suhu : 36,5 C, RR : 18
x/menit

Intra Operatif :

Pasien masuk ruang operasi, di posisikan di atas meja operasi, pasang alat
monitoring.

Pasien diminta untuk duduk dengan posisi badan lurus kepala menunduk.
Kemudian diberikan obat lewat spinal bupivacaine 20 mg dengan jarum spinal
ukuran 27 pada L3-L4. Kemudian pasien diberikan O 2 sebanyak 2 liter/m

dengan menggunakan nasal kanul oksigen untuk maintenance.


Selama tindakan operasi berlangsung tekanan darah dan nadi senantiasa
dikontrol setiap 10 menit sebagai berikut :

Menit ke-

TD

Pulse

Sp O2

10

90/46

54

100

20

90/44

50

100

30

80/42

48

100

40

100/53

62

100

50

105/58

68

100

60

110/73

70

100

Selama operasi diberikan :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

RL 500 ml pada pukul 10.40 WIB dengan pemberian 60 tpm


Hes 500 ml pada pukul 11.10 WIB dengan pemberian 60 tpm
Injeksi Efedrin HCl 5 mg i.v.
Injeksi Sulfas Atrophine 0,50 mg i.v
Injeksi Ranitidine 50 mg i.v
Injeksi Ondansentron 4 mg i.v
Injeksi Tramadol 50 mg i.v
Injeksi Ketorolac 30 mg i.v
Injeksi phetidine 30 mg i.v

Post-Operatif :
Operasi berakhir pada pukul 11.40 WIB.
Selesai operasi pasien masih dalam kondisi sadar kemudian pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan, pasien segera diberi bantuan O2 kanul 2 lt/m,
melanjutkan pemberian cairan dan di observasi terus pernapasan, tekanan darah serta
nadi setiap 10 menit. Lalu pasien di kembalikan ke ruang bangsal Pangkalan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi Regional
2.2.1 Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya(1,3). Tetapi pasien tetap sadar(1,3).
2.2.2 Keuntungan Anestesia Regional
1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.
2.2.3 Kerugian Anestesia Regional
1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2.

Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3.

Sulit diterapkan pada anak-anak.

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.


5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
2.2.4 Pembagian Anestesi/Analgesia Regional(4)
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.

2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.

2.3 BLOK SENTRAL


Neuroaksial blok (spinal dan epidural anestesi) akan menyebabkan blok
simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi dan
volume obat anestesi lokal).
2.3.1 Anastesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal
ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulit
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang

epidural durameter ruang subarachnoid.

Indikasi(4):
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah

7. Pada

bedah

abdomen

dikombinasikan v

atas

dan

bawah

pediatrik

biasanya

dengan anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut(4):


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif(4):
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal(4)
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan

menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau


pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1.

Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2.

Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.

Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)

Peralatan analgesia spinal(4)


1.

Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.

2.

Peralatan resusitasi

3.

Jarum spinal
Jarum

spinal

dengan

ujung

tajam

(ujung

bambu

runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil


(pencil point whitecare)

Anastetik lokal untuk analgesia spinal(4)


Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.0031.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik.
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik
biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)

3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,


dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

Teknik pelaksanaan Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Dengan persiapan tempat lengkap
dengan alat manajement jalan napas dan resusitasi tersedia. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat.
1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika
visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
dipersiapkan untuk spinal anestesi. Setelah dimonitor, tidurkan pasien
misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak
untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien
membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,
misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko
trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

Gambar 3. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus


4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik
biasa semprit 5 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak
sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke
bawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang,
mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal secara
kontinyu dapat dimasukan kateter.
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit ligamentum
flavum dewasa 6cm

10

Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa
dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
6. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

7. Tentukan Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis


Krista iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau
diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.

11

Tabel.ketinggian letak anestesi menurut prosedur pembedahan.


Level

Prosedur Pembedahan

T4-5(nipple)

Abdomen bagian atas

T6-8(xiphoid)

Pembedahan intenstinal(termasuk apendik

perlvis ginekologik, ureter dan pembe


pelvis renalis
T10(umbilicus)

TUR, obstetric-vaginalis, operasi panggul.

L1(inguinal ligament)

TUR(jika

tidak

ada

distensi

bul

pembedahan pada paha.amputasi kak


bawah, dan lain sebagainya
L2-3( lutut ke bawah)

Pembedahan pada kaki

S2-5(perineal)

Pembedahan perineal, hemoroidektom


dilatasi anal dan lain sebagainya.

Faktor yang mempengaruhi ketinggian blok(2,3)


a. Umur : pada usia tua, penyebabaran obat anestesia lokal lebih ke
cephalad akibat ruang subarachnoid dan epidural menjadi lebih kecil
dan terjadi penurunan progresif jumlah cairan cerebrospinal.
b. Tinggi badan : makin tinggi pasien, makin panjang medula spinalisnya
dan volume cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga
pasien memerlukan dosis yang lebih besar daripada yang pendek.
c. Berat badan : pada pasien gemuk terjadi penurunan volume cairan
serebrospinal berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural, sehingga memengaruhi penyebaran obat anestesia lokal
dalam ruang subarachnoid.

12

d. Jenis kelamin : jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap


penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal sepanjang
semua faktor yang mempengaruhi adalah tetap.
e. Tekanan intraabdominal : peningkatan tekanan intraabdominal sering
dikaitkan dengan peningkatan penyebaran obat anestesia lokal dalam
ruang subarachnoid.
f. Anatomi kolumna vertebralis
memengaruhi

penyebaran

obat

lekukan
anestesi

kolumna
lokal

vertebralis

dalam

ruang

subarachnoid, pada posisi supine obat anestetik hiperbarik akan banyak


berkumpul di T4-T8 (tempat terendah), sedangkan hipobarik akan
berkumpul di L2-L4. Kelainan anatomi seperti skoliosis dan kifosis
akan mempengaruhi penyebaran obat anestetik karena terdapat
kelainan

pada

kelengkungan

kolumna

vertebralis.

g. Tempat penyuntikan : penyuntikan obat pada ketinggian L2-L3 atau


L3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah kranial, sedangkan
penyuntikan pada L4-5 karena bentuk vertebra memudahkan obat
berkumpul di daerah sakral.
h. Kecepatan penyuntikan : makin cepat penyuntikan obat makin tinggi
tingkat analgesia yang tercapai.
i. Dosis : makin besar dosis makin besar intesitas hambatan dan makin
cephalad level anestesinya.
j. Berat jenis : penyebabaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik
selama dan sesudah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien.
k. Posisi pasien sebelum dan sesudah penyuntikan : posisi duduk akan
menyebabkan penyebaran dominan ke sakral jika dikombinasikan
dengan anestetik hiperbarik sebaliknya dengan hipobarik. Dengan

13

posisi lateral dekubitus larutan hiperbarik akan menyebabkan blok


unilateral pada sisi bawah sebaliknya pada larutan hipobarik. Posisi
headown dan supine sesudah penyuntikan obat akan menyebabkan
penyebaran ke arah cephalad dengan larutan hiperbarik sebaliknya
dengan larutan hipobarik.
l. Konsentrasi larutan : pada umumnya intesitas analgesia meningkat
dengan bertambah pekatnya larutan obat anestesia lokal.
Manuver valsava : mengejan akan meninggikan tekanan cairan
cerebrospinalis, sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila
dilakukan oleh pasien segera setelah penyuntikan obat ke dalam ruang
subarachnoid.
Komplikasi tindakan anestesi spinal(4) :
1. Hipotensi berat
Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah
dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml
sebelum tindakan.
2. Bradikardia
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok
sampai T-2
3. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas
4. Trauma pembuluh saraf
5. Trauma saraf
6. Mual-muntah
7. Total spinal atau blok spinal tinggi.
Komplikasi pasca tindakan(4)
1. Transient Neurological Symptoms(TNS)
2. Postdural Puncture Headache(PdPH)
3. Retensio urine
4. Nyeri punggung
5. Meningitis
6. Pruritus
7. Post operative nausea and vomiting(PONV)
14

8. Menggigil pasca anestesi spinal.


2.3.2 Anestesia Epidural(4)
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada diantara ligamentum
flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan dibagian
posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik di lokal diruang epidural bekerja langsung pada akar
saraf spinal yang terletak dilateral.Awal kerja anestesi epidural lebih lambat
dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blockade sensorik-motorik juga
lebih lemah.

Indikasi anastesia epidural


1. Pembedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah
2. Tatalaksana nyeri pada saat persalinan
3. Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
pendarahan
4. Tambahan pada anesthesia umum ringan karena penyakit tertentu
pasien.
Keuntungan epidural dibandingkan spinal :

15

1. Bisa segmental
2. Tidak terjadi headache post op
3. Hypotensi lambat terjadi
4. Dapat mengatasi post op paint
Kerugian epidural dibandingkan spinal :
1. Teknik lebih sulit
2.

Jumlah obat anestesi lokal lebih besar

3.

Reaksi sistemis

Komplikasi anestesi / analgesi epidural(4) :


1.

Blok tidak merata

2.

Depresi kardiovaskular (hipotensi)

3.

Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)

4.

Mual muntah

Teknik anestesia epidural (4):


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang
subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.

16

3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:


a) jarum ujung tajam (Crawford)
b) jarum ujung khusus (Touhy)
4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang
paling populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.
a) Teknik hilangnya resistensi
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml. Setelah
diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural
ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau NaCl disuntikkan
perlahan dan terputus-putus. Sembari mendorong jarum epidural
sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang
disusul hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada
dalam ruang epidural, lakukan uji dosis.
b) Teknik tetes tergantung
Teknik ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai
terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong
jarum epidural perlahan secara lembut sampai terasa menembus
jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnyatetes NaCl
ke ruang epidural. Setelah yakin, lakukan uji dosis.
5. Uji dosis
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis
berulang (kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml
yang sudah bercampur adrenalin 1: 200.000.
Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak
jarum sudah benar

17

Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke


ruANg subarakhnoid karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar,
suntikkan anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai
tercapai dosis total.
3.3.3. Anestesia Kaudal(4)
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup
oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan
antara

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum,

dan

ligamentum flavum.Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum


terminale dan kantong dura.
Indikasi
Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula
paraanal.
Teknik
1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala
lebih rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita
hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan
dan kiri dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan
ketiga tonjolan tersebut diperoleh hiatus sakralis.
5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis,
tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setela diyakini masuk

18

kanalis sakralis, ubah jarum jadi 45 0-600 dan jarum didorong sedalam
1-2 cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat
sambil meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji
apakah cairan masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

2.3.4 Efek Fisiologis Neuroaxial Block


1. Efek Kardiovaskuler:
-

Akibat dari blok simpatis , akan

terjadi penurunan tekanan darah

(hipotensi). Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal , 26 dermatom diatas level blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi
block pada level yang sama.
Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk
mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan
spinal/epidural anestesi, dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi
dengan pemberian cairan dan vasopressor seperti efedrin.
-

Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber
di T1-T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai cardiac arrest.

2. Efek Respirasi:
-

Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan
menyebabkan terjadinya respiratory arrest.

19

Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan


gangguan gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi
dan ekspirasi.

3. Efek Gastrointestinal:
-

Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan


hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan
oleh simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen
karena kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.

2.4 BLOK PERIFER


Blok perifer adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara
menyuntikan obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio
tertentu, yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
temporer(5,6).
Blok Pleksus brakhialis
Anestesi yang di injeksikan di sekitar pleksus brakialis yang menghasilkan
analgesia dan bahkan anesthesia di anggota gerak atas (7). Pleksus ini di blockade
dengan

empat

pendekatan

yang

berbeda

interkalenus,

supraklavikularis,

infraklavikularis atau aksilaris(7)


Blok analgesia regional intravena
Merupakan blok yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestetik lokal ke
dalam vena yang telah dieksangunasi secara tertutup baik pada ekstrimitas superior
maupun ekstrimitas inferior.
Anestesi lokal lainnya
1.
Anastesi topikal
Tindakan anastesi lokal dengan cara menempatkan obat anestetika lokal
dengan cara antara lain oles, semprot atau tetes pada permukaan mukosa
2.

atau jaringan atau pada rongga tubuh.


Anastesi Lokal Infiltrasi
Infiltrasi/suntikan obat anestetik lokal pada daerah yang akan di ekplorasi.

Beberapa anastetik lokal yang sering digunakan :


1. Kokain dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas.
Lama kerja 2-30 menit.

20

2. Prokain untuk infiltrasi larutan: 0,25-0,5%, blok saraf: 1-2%, dosis


15mg/kgBB dan lama kerja 30-60 menit.
3. Lidokain konsentrasi efektf minimal 0,25%, infiltrasi, mula kerja 10 menit,
relaksasi otot cukup baik. Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi
larutan.
4. Bupivakain konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat
dibanding lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.

BAB III
ANALISA KASUS
Pasien bernama Tn. Restu usia 18 tahun datang ke RSUD Karawang tanggal
16 Desember 2014 dengan keluhan nyeri dan pegal pada daerah kemaluan sejak 3
bulan yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul terutama timbul saat berolahraga
dan berdiri lama. Riwayat pada trauma pada daerah tersebut (-) , mual (-), muntah (-).
BAB dan BAK normal. Pasien mengaku pernah keluar benjolan pada daerah skrotum
1 tahun yang lalu, benjolan tidak nyeri, timbul saat berdiri dan menghilang sendiri
21

saat berbaring. Pasien tidak memiliki riwayat minum alkohol dan merokok dan rajin
berolahraga.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg normal,
pemeriksaan status generalis masih dalam batas normal dan pemeriksaan status
urologis masih dalam batas normal.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan hasil
laboratorium darah dalam batas normal sehingga kami menyimpulkan Tn. Restu 18
tahun menderita varicocele
Selama pembedahan pasien mendapat obat anestesi regional bupivacaine
spinal 20 mg, Ranitidin 50 mg, Ondansentron 4 mg, Tramadol 50 mg, Ketorolac
30mg, Pethidine 30 mg, efedrin HCl 20 mg dan Sulfas Atrofin 0,50 mg . Cairan yang
didapatkan oleh pasien adalah 500cc ringer laktat dan 500cc Hes.
Decain (Bupivikain), sangat populer disebut dengan Marcaine. Ikatan dengan
HCL mudah larut dalam air. Sangat stabil dan dapat diautoclaf berulang. Potensinya
3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali lidokain. Sifat hambatan sensorisnya
lebih dominan dibandingkan hambatan sensorisnya. Jumlah obat yang terikat pada
saraf lebih banyak dibandingkan dengan yang bebeas dalam tubuh. Dikeluarkan dari
dalam tubuh memalui ginjal sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian besaar
dalam bentuk metabolitnya. Penggunanaan klinik dapat digunakan dosis 12mg/kbBB.
Selama pembedahan pada menit ke 10 hingga menit ke 30 pasien mengalami
hipotensi sehingga diberikan Ephedrine. Hipotensi pada pasien dapat disebabkan oleh
efek dari anestesi regional dimana terjadi vasodilatasi akibat blok simpatis yang
menyebabkan terjadinya penurunan venous return. Hal ini dapat dicegah dengan
memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml (pre-loading) sebelum
tindakan untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan
spinal/epidural anestesi, dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi dengan
pemberian cairan dan vasopressor seperti Ephedrine. Efedrin HCl merupakan obat
dengan kandungan ephedrine. Ephedrine dengan nama kimia Benzenemethanol, -[1(methylamino)ethyl] merupakan vasokonstriktor yang bekerja pada reseptor - dan
yang menstimulasi peningkatan cardiac output dan menurunkan motilitas usus. Dosis
lazim dewasa untuk pemberian IM adalah : 25 -50 mg ( range 10- 50 mg). Jika masih
dibutuhkan, pemberian dosis kedua sebesar 50 mg IM atau dosis 25 mg IV.Untuk
pemberian IV injeksi langsung, dosis 5 -25mg dapat diberikan secara perlahan.Jika
22

diperlukan, untuk mendapat dosis respon yang diinginkan, dosis tambahan IV yang
diperlukan dapat diberikan dalam waktu 5 - 10 menit.Dosis dewasa parenteral tidak
melebihi 150 mg dalam 24 jam. Anak-anak dapat menerima 2-3 mg/kg atau 67-100
mg/m2 secara subkutan, IM atau IV setiap hari dalam 4 -6 dosis terbagi 3.
Sedangkan bradikardi yang juga terjadi pada menit ke 10-30 dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau dapat pula karena terjadi akibat blok sampai
T-2. Hal ini dapat disertai dengan hipotensi atau hipoksia dan diatasi dengan
pemberian Sulfas atrophine. Sulfas atropin merupakan obat golongan antikolinergik
yang bekerja memblokade neotransmiter asetilkolin dengan cara inhibisi kompetitif.
Obat ini menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi menurunkan tonus otot
polos di saluran cerna, saluran kemih dan sebagainya. Efek yang diinginkan dari obat
ini antara lain antisialagog (mengurangi sekresi jalan nafas), efek sedasi & amnesik
dan pencegahan refleks bradikardi.
Mual-mual yang dirasakan pasien selama operasi dapat diakibatkan dari
komplikasi penggunaan anestesi regional, hal ini diatasi dengan pemberian
Ondansentron dan Ranitidin HCL. Ondansetron merupakan antagonis selektif
reseptor 5-HT3 menghambat mual dan muntah post operatif, karena agen sitotoksik,
maupun radiasi. Penanganan mual dan muntah pasca-operasi: Vomceran injeksi
dapat diberikan secara intravena atau intramuskular tanpa pengenceran. injeksi
diberikan sebagai dosis tunggal 4 mg secara intramuskular atau melalui injeksi
intravena lambat tidak kurang dari 30 detik (sebaiknya antara 2-5 menit), segera
sebelum induksi anastesi atau diberikan segera pasca-operasi apabila pasien
mengalami mual dan muntah.
Ranitidine HCL suatu penghambat aktivitas histamin yang kompetitif dan
reversible pada reseptor H2 histamin, termasuk reseptor pada sel sel lambung dan
bukan suatu zat antikolinergik yang bekerja menghambat sekresi asam lambung
melalui penghambatan kompetitif terhadap histamine pada reseptor H2 sel sel
parietal. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk
menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 3694 mg/mL. Kadar
tersebut bertahan selama 68 jam. Dengan dosis ntermittent bolus : 50 mg (2 mL)
tiap 6 8 jam.
Pada post opertif pasien juga diberikan Ketorolax dan Tramadol untuk
mengurangi nyeri post-operatif . Ketorolax tromethamine merupakan suatu analgesik
23

non-narkotik. Obat ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan


aktivitas antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesik yang
bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiat. Dosis untuk
bolus intravena harus diberikan selama minimal 15 detik. Ketorolac ampul tidak
boleh diberikan secara epidural atau spinal. Mulai timbulnya efek analgesia setelah
pemberian IV maupun IM kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai
dalam 1 hingga 2 jam. Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis
sebaiknya disesuaikan dengan keparahan nyeri dan respon pasien. Lamanya terapi :
Pemberian dosis harian multipel yang terus-menerus secara intramuskular dan
intravena tidak boleh lebih dari 2 hari karena efek samping dapat meningkat pada
penggunaan jangka panjang. Dosis awal Ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg
diikuti dengan 1030 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan. Harus diberikan dosis
efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk orang dewasa
dan 60 mg untuk orang lanjut usia.
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada resptor
mu dan kelemahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan
secara oral, i.m atau i.v dengan dosis 50-100 mg dan dapat diulanh setiap 4-6 jam
dengan dosis maksimal 400 mg per hari
Selama operasi pasien juga mengeluhkan mengigil. Rasa menggigil dapat
terjadi akibat hipoterimia atau efek dari obat anestesi. Hipotermia terjadi akibat suhu
ruangan yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi yang dingin dan biasanya
akibat obat anestetik inhalasi. Terapi yang diberikan berupa Clopedin (Pethidin)
adalah narkotik sintesis dengan rumus kimia etil-1-metil-4-fenilpiperidin-4-karboksit.
Petidin bekerja pada reseptor opioid diotak dan medula spinalis. Kekuatan
analgesinya antara 1/7-1/10 morfin. Analgesi timbul 15-20 menit sesudah pemberian
intramuskular, kadar puncaknya plasma tercapai dalam waktu 15-60 menit. Lama
kerja sekitar 2-4 jam. Metabolisme di hati dan diekresi di ginjal. Efek samping obat
adalah pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Pada dosis tinggi
menyebabkan depresi nafas, tremor, konvulsi, koma dan kematian. Dosis dan cara
pemberian pada orang dewasa 1 mg/kbBB dan pemberian untuk mengatasi rasa
menggigil 20-25 mg/dl
24

Ringer laktat adalah larutan steril dari kalsium klorida, natrium klorida,
kalium klorida, dan natrium laktat dalam air untuk injeksi.Injeksi ringer laktat tidak
boleh mengandung antimikroba, dan kecepatan pemberiannya tidak boleh lebih dari
300 ml/jam. Indikasi pemberian ringer laktat adalah untuk menambah kadar
elektrolit yang diperlukan tubuh.
HES ( Hydroxyetyl Straches) merupakan cairan koloid yang fungsinya dapat
menggantikan cairan intravaskular. Cairan ini memiliki berat molekul besar sehingga
tidak akan keluar dari membran kapiler dan tetap berada dalam pembuluh darah.
Hetastrach sangat efektif sebagai plasma ekspander sehingga dapat mengembalikan
volume plasma secara lebih efektif dan efesien dari pada kristaloid karena larutan
koloid mengekspansi volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan
kristaloid dan cairan .
Pemberian Cairan

Kebutuhan cairan basal (BB= 65 kg)


M: 10kgBB x 4cc = 40
10kgBB x 2cc = 20
35 kgBB x 1cc = 35
----------+
95 ml/jam
Kebutuhan cairan intraoperasi (operasi sedang)
o O
: 6 x 65 kg = 390 ml/jam
Kebutuhan cairan saat puasa dari pukul 24.00 (11 jam)
o P
: 11 x 95 ml/jam = 1045 ml
o Di ruangan sudah diberi cairan RL 500 ml
o Jadi kebutuhan cairan puasa sekarang = 1045 500 = 545 ml
Pemberian cairan pada jam pertama operasi
o Kebutuhan basal + kebutuhan intraoperasi + 50% x kebutuhan cairan
puasa = 95 + 390 + 272,5 = 757,5 ml (756 ml)
Kebutuhan cairan selama operasi (60 menit) = 756 ml
Cairan yang masuk selama operasi
Cairan Ringer Laktat pertama diberikan pada pukul 10.40 dan Ringer Laktat
yang kedua diberikan pada pukul 11.10. Jadi total cairan yang masuk selama
operasi adalah 1000 cc.
Allowed Blood Loss
- 20 % x EBV = 20 % x (55 x 65) = 715 ml

Jumlah cairan keluar

25

Darah di 3 kassa sedang= 3 x 20 ml = 60 ml


Tidak perlu dilakukan transfusi darah karena jumlah cairan keluar tidak melebihi nilai
allowed blood loss pasien. Pasien diberikan cairan kristaloid atau koloid sebanyak:
Kristaloid: 3 x perdarahan = 3 x 60= 180.
Cairan Operasi 60 menit = 756 ml
Kebutuhan cairan selama operasi + cairan yang harus diberikan sebagai pengganti
perdarahan 756 ml + 180 ml = 936 ml.

BAB IV
KESIMPULAN
Pasien, Tn. Restu 18 tahun

menderita Varicokel. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


Pasien dirawat di Ruang Pangkalan RSUD Karawang ini mendapatkan
perawatan yang sesuai dengan kondisi pasien.Pemasangan alat-alat yang dibutuhkan
untuk memonitor kondisi pasien seperti tensimeter, oksimetri, selang oksigen sudah
terpasang. Tindakan pemberian obat-obat anestesi sudah sesuai dengan indikasi,
serta administrasi cairan sudah sesuai dengan kebutuhan pasien

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Boulton TB, Blogg CE. 1994. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC
2. Dobson, MB. 1994. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Petunjuk Anestesiologi: Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
4. Miller RD. 2000. Anesthesia. Edisi Kelima. Chruchill Livingstone. Philadelphia
5. Morgan, E. 2006. Clinical Anesthesiology. Edisi Keempat. McGraw-Hill Company
6. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
7. Mulroy MF. 1996. Regional Anesthesia, An Illistrated Procedural Guide. Edisi
Kedua. Boston: Little Brown Company
8. Robyn Gymrek, MD. 2010. Regional Anesthesia at www.emedicine.com
9. Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC

27

28

Anda mungkin juga menyukai