Anda di halaman 1dari 65

Cermin

Dunia Kedokteran
1994

International Standard Serial Number: 0125 913X

93. Kesehatan
Penerbangan
Juni 1994

Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan Sukotjo Danusastro
18. Aspek Kesehatan Bandar Udara Suroso Wirosoekarto
22. Kesiapan Kesehatan Penumpang Airline Yusbar Mira, Bintarti
Sampurna, Lukman Hakim
28. Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembina Kesehatan Penerbangan
Hartono
31. Peranan UNS dalam Kedokteran Dirgantara A.A. Subiyanto,
Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro
34. Prospek Penelitian Biomedik di Luar Angkasa Pratiwi Sudarmono
37. Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status
(SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection - 5a. the
clinical management of diseases that may produce SADIS with
lymphocyte predominance RA Handoyo, Anggraeni Inggrid
Handoyo
47. Staple Food Based Oral Rehydration Solutions Sukwan Handali, Hao Liying, Martha Kombong, Ata Naiun
49. Sindrom Hemolitik Uremia laporan kasus Nuchsan mar Lubis
51. Sindrom Guillain-Barre dan Typhus Abdominalis laporan kasus
A. Munandar
53. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif laporan kasus Suhardjo, Wasisdi Gunawan
56. Distribusi Geografis Pola Resistensi Salmonella terhadap Khloramfenikol dan Antibiotik Pilihan Lainnya di Daerah Jakarta dan
Palembang Pudjarwoto Triatmodjo
60. Informasi Obat : Clamobit, Motipep
62. Abstrak
64. RPPIK

Barangkali belum banyak di antara para sejawat yang menyadari bahwa


masalah kesehatan dalam dunia penerbangan mempunyai aspekaspek
khusus, baik yang mengenai para awak/personilnya, maupun bagi para
awam yang menikmati pelayanan penerbangan tersebut. Hal ini perlu
diperhatikan mengingat akan makin banyak di antara kita yang
menggunakan jasa penerbangan, baik orang sehat maupun orang sakit yang
karena sesuatu hal perlu dipindahkan ke tempat lain melalui udara; dalam
hal ini pengaruh ketinggian dan lingkungan yang khas perlu diperhitungkan.
Hal-hal tersebut merupakan topik pembahasan Cermin Dunia Kedokteran
edisi ini, yang sebelumnya telah didiskusikan di Seminar Ksehatan
Penerbangan yang berlangsung di Surakarta pada tanggal 30 Oktober 1993.
Artikel lain yang melengkapi edisi ini ialah mengenai penggunaan
bahan makanan biasa sebagai upaya rehidrasi oral dan beberapa laporan
kasus.
Selamat membaca,
Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

Cermin
Dunia Kedokteran
1995

International Standard Serial Number: 0125 913X

KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PEMIMPIN USAHA
Rohalbani Robi

REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo

Staf Ahli Menteri Kesehatan,


Departemen Kesehatan RI,
Jakarta.

Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam


Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

PELAKSANA
Sriwidodo WS

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo


Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.

Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno


SKM, MScD, PhD.
Bagian Periodontologi
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia, Jakarta

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
Surabaya.

Prof. Dr. R. Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.

DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta,

Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort


Laboratorium Ortodonti
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

Dr. B. Setiawan Ph.D


DR. Ranti Atmodjo

Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto


Zahir MSc.
Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS


Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai
aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut.
Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk
diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang
berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia
yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak
dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak
berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.
Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/
folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih
disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat
bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan


yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan
pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated
Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted
to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh:
Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London:
William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72.
Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10.
Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih,
sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran,
Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510
P.O. Box 3117 Jakarta.
Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu
secara tertulis.
Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai
dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis


dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat
kerja si penulis.

English Summary
GUILLIAN-BARRE
SYNDROME
AND TYPHUS ABDOMINALIS
A. Munandar
Neurology
Unit,
Jakarta, Indonesia.

Husada

Hospital,

Guillain-Barre syndrome is very


rarely seen as a cause of muscle
weakness in typhoid fever. The
author reports a case of GuillainBarre syndrome in a typhoid
fever patient, adding to a same
case previously reported by
Chanamugam.
Cermin Dunia Kedokt. 1994; 93:5152
am

CLINICAL FEATURE
OF ACUTE
ANTERIOR UVEITIS IN HLA-B27
POSITIVE : CASE REPORT
Suhardjo, Wasisdi Gunawan
Department of Ophthalmology, Faculty
of Medicine University of GadJah Mada,
Jogjakarta, Indonesia

There is a strong relationship


between acute anterior uveitis
and ankylosing spondylitis, especially in the presence of HLA-B27.
The HLA-B27 positive acute anterior uveitis patients showed the
following characteristics: younger
age at onset, high male to female ratio, severe ocular symptoms during activity, and frequent
association with sero-negative
spondyloarthropathies.
A 34 years-old female suffered
from acute anterior uveitis, arthri4

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

tis coxae-sacroiliaca, and HLAB27 positive were reported. The


main symptoms were blurred
vision, ciliary injection, photophobia; fibrin in anterior chamber, and low back pain. Tissue
typing for HLA-B27 antigen was
positive. The patient have severe
acute inflammatory, with low
back pain.
The patient was controlled with
topical steroid, systemic steroid,
and sulfas atropine drops.
Cermin Dunia Kedokt. 1994;93:5355
s/wrg

GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION OF
SALMONELLA RESISTANCE TOWARDS CHLORAMPHENICOL AND
OTHER ANTIBIOTIC IN JAKARTA
AND PALEMBANG
Pudjarwoto Triatmodjo
Communicable
Diseases
Research
Centre, Health Research and Development Board, Department of Health,
Jakarta, Indonesia.

Resistance of Salmonella towards five kinds of antibiotics was


studied. Salmonellae were isolated from patients with gastroenteritis in Jakarta area and from
patients with typhoid fever in
Palembang area. The resistance
test was performed in vitro using
the disk diffusion method (KirbyBauer, 1966). Disk potencies were
30 ug each for chloramphenicol,
kanamycin and tetracycline, 10
ug for ampicillin and 25 ug for
cotrimoxazole.

The results showed that in


Jakarta area the lowest resistance
were against cotrimoxazole (5%)
and against kanamycin (12,5%).
The resistance towards chloramphenicol, ampiclllin and tetracycline were higher, reaching
20% and over, signifying that for
Jakarta area co-trimoxazole.and
kanamycin and ampicillin (resistance = 0%), while for co-trimoxazole, chloramphenicol and
tetracycyline
the
resistance
were varied from 5,0% to 6,6%.
This study showed that 5% of
the Samonella isolates from
Jakarta area were multiresistant
towards all five antibiotics tested,
while In Palembang area 5% of
the Salmonella isolated were
multiresistant towards chloramphenicol and co-trimoxazole,
and 1,6% were multiresistant
towards chloramphenicol and
tetracycline.
Cermin Dunla Kedokt. 1994; 93: 5659
ssz/olh

Artikel
Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan
Dr. H. Sukotjo Danusastro, DSKP, MBA
Perkespra Pusat, Jakarta

ABSTRAK
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja
dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya. Akan
tetapi manusia sejak zaman dahulu ingin terbang seperti burung dan akhirnya berhasil
terbang dengan balon pada abad ke-18.
Sejak abad tersebut dunia penerbangan berkembang sangat pesat baik jarak tempuh,
kecepatan, ketinggian dan daya angkat maupun kegiatannya. Keberhasilan ini telah dapat
meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun bukannya tanpa risiko karena manusia
memang tidak terbiasa tinggal di ketinggian.
Untuk menghadapi hal tersebut maka Ilmu Kesehatan harus mengembangkan diri
untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan bagi tubuh manusia dan cara-cara penanggulangannya. Maka lahirlah Ilmu Kesehatan Penerbangan sebagai salah satu cabang
Ilmu Kesehatan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.
Faktor-faktor ketinggian yang mempengaruhi faal tubuh manusia adalah menurunnya tekanan udara, tekanan parsiil oksigen, suhu udara dan gaya berat dan lain-lain. Di
samping itu manouvre penerbangan dapat mengganggu faal tubuh seperti faal sistem
kardio-vaskuler, sistem pernapasan, penglihatan, keseimbangan, pendengaran dan lainlain.
Karena itu mempelajari aspek aerofisiologi dalam penerbangan adalah penting agar
kita dapat mencegah dan mengatasi pengaruh buruk penerbangan. Dengan demikian kita
dapat memanfaatkan udara bagi penerbangan dengan selamat, nyaman, aman dan cepat.

PENDAHULUAN
Umum
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat. Sebagai
makhluk daratan manusia telah terbiasa dan menyesuaikan diri
untuk hidup di lingkungan daratan atau pada, atmosfer yang
paling rendah. Namun sejak zaman dahulu manusia ingin terbang
seperti burung, suatu hal di luar kebiasaannya. Setelah melalui
Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.

perjuangan tanpa kenal lelah dan gigih akhirnyapada abad ke-18


manusia dapat terbang dengan balon, diikuti dengan keberhasilan terbang dengan pesawat terbang. Bahkan sekarang manusia
telah berhasil mengarungi ruang angkasa luar.
Dewasa ini banyak orang-orang yang memilih profesinya
dalam penerbangan, yang berbeda dengan kebiasaan hidupnya di
darat. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi atau risiko-

risiko yang harus dihadapinya. Namun demikian merekapun


menginginkan keamanan dalam menjalankan tugasnya ini, sehingga Ilmu Kesehatan harus membuka cabangnya untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan. Hal ini menyebabkan
lahirnya Ilmu Kesehatan Penerbangan, yang dilandasi oleh
Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.
Ilmu Kesehatan Penerbangan atau Aviation Medicine akhirakhir ini berkembang menjadi Ilnpu Kesehatan Penerbangan dan
Ruang Angkasa atau Aerospace Medicine, karena perkembangan teknologi penerbangan yang memungkinkan menerbangkan
orang ke ruang angkasa.
SEJARAH ILMU KESEHATAN PENERBANGAN
Pada abad ke 13 dua saudara Montgolfier berhasil membuat
balon yang dapat terbang dengan membawa muatan. Balon yang
pertama ini diterbangkan di Versaille, Perancis, tanggal 19 September 1963 dengan muatan ayam, bebek dan kambing dan dapat
mencapai ketinggian 1.500 kaki. Sebulan kemudian diadakan
penerbangan balon lagi yang membawa penumpang manusia,
yaitu Pilatre de Rozier, seorang apoteker, dan Marquis di Arlandes. Percobaan ini berhasil dengan selamat.
Pada tanggal 23 November 1784, seorang dokter Amerika
John Jeffries tertarik akan penerbangan dan ingin mengetahui
susunan dan sifat atmosfer bagian atas. Ia melakukan penerbangan dengan balon, dengan membawa termometer, hydrometer,
barometer dan elektrometer, sampai ketinggian 9.250 kaki. Dalam penerbangan ini ia mencatat adanya perubahan suhu di ketinggian dari + 51F menjadi 28,5F,, sedangkan tekanan udara
menurun dari 30 inci Hg menjadi 21,25 inci Hg.
Pada tahun 1862, Claisher dan Coxwell terbang dengan
balon sampai setinggi 29.000 kaki dengan tujuan yang sama. Di
samping itu mereka melakukan observasi pada dirinya sendiri.
untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang akan terjadi
pada ketinggian. Selama terbang, Clasher mengalami gejalagejala aneh pada tubuhnya, yaitu tajam penglihatan dan pendengaran menurun, kedua belah anggota badan menjadi lumpuh
dan akhirnya jatuh pingsan. Coxwell juga mengalami kejadian
yang serupa, hanya sebelum pingsan berusaha menarik tali pengikat katup balon guna menurunkan balonnya. Usaha ini hampir
gaga!, karena kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi, sehingga dia menarik tali tadi dengan menggigitnya. Dari pengalaman kedua orang ini dapat diambil kesimpulan bahwa terbang
tinggi dapat membahayakan jiwa manusia.
Paul Bert, seorang ahli ilmu faal Perancis, sangat tertarik
dengan kejadian tadi dan pada tahun 1874 mengadakan percobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah untuk
melihat perubahan apa yang dapat terjadi pada ketinggian atau
tempat yang tekanan udaranya kecil. Dari salah satu basil percobaan-percobaannya didapatkan adanya hipoksia atau kekurangan oksigen pada ketinggian yang dapat diatasi dengan pemberian oksigen pada penerbangan. Hasil penelitian Paul Bert ini
dipraktekkan oleh Sivel dan Groce Spinelli, yang terbang sampai
18.000 kaki dengan menggunakan kantong oksigen tanpa mengalami gangguan.
Pada tahun 1875, Sivel dan Groce-Spinelli melakukan pe-

nerbangan lagi bersama Tissander, yang juga menggunakan kantong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini mencapai ketinggian 28.000 kaki dan berakhir dengan kematian
Sivel dan Groce-Spinelli karena hipoksia sedang Tissander hanya
pingsan saja. Tissander membuat catatan yang sangat lengkap
tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerbangan
ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria
sebelum hipoksia dan oksigen tidak mencukupi untuk penerbangan tinggi.
Dengan munculnya pesawat terbang, bertambahlah kesukaran dan bahaya penerbangan yang dapat mengancam jiwa
penerbang. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang
tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah,
telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi; sebagian besar
ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang
menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang
timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada perang dunia pertama; kira-kira 90%
kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau kurang tahan uji terhadap bahaya penerbangan.
Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbangan mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga
perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini
dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Penerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu
Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa.
RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA
Ruang lingkup naskah ini meliputi fisiologi penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan kelainan-kelainan yang timbul dalam tubuh manusia akibat
penerbangan, dan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Pendahuluan
2. Atmosfer
3. Pengaruh ketinggian pada faal tubuh
4. Pengaruh percepatan dan kecepatan terhadap tubuh
5. Pengaruh penerbangan pada alat keseimbangan
6. Pengaruh penerbangan pada alat penglihatan
7. Penutup
ATMOSFER
Pengertian
Atmosfer adalah selubung gas atau campuran gas-gas, yang
menyelimuti bumi. Campuran gas-gas ini disebut udara. Di atas
atmosfer disebut ruang angkasa. Ruang angkasa adalah ruang
dimana tidak ada lagi udara, bila masih ada udara atau gas maka
daerah itu masih atmosfer, karena molekul gas yang sangat
ringan dapat terlepas dari gaya tarik bumi dan beredar ke ruang
angkasa. Oleh karena itu dibuat perjanjian tentang batas antara
atmosfer dan ruang angkasa. Batas ini di Rusia, menurut A.A.
Lavikov adalah 3.000 km, sedang di Amerika, menurut Armstrong adalah 6.000 mil.
Susunan Atmosfer
Susunan atmosfer pada zaman dahulu berbeda dengan su-

sunan atmosfer pada zaman sekarang. Susunan atmosfer pada


zaman dahulu, yaitu pada saat pembentukan atmosfer, terdiri dari
gas-gas Hidrogen, Amoniak, Methan, Helium dan uap air dan
disebut protoatmosfer. Dengan berbagai perubahan terjadilah
atmosfer seperti sekarang ini, yang disebut neoatmosfer dan
selanjutnya kita sebut atmosfer. Gas-gas pada neoatmosfer terdiri dari : Nitrogen dengan prosentase 70,09%, Oksigen dengan
prosentase 20,95%, Argon 0,93%, Karbon Dioksida 0,03% dan
sisanya terdiri dari gas-gas yang sangat kecil jumlahnya, yaitu
Helium, Neon, Hidrogen dan Xenon.
Pembagian Atmosfer Berdasar Sifat-sifatnya
Berdasarkan sifat-sifatnya atmosfer dapat dibagi menjadi 4
(empat) lapisan, yaitu :
1) Lapisan Troposfer
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tipis dan terletak
dari permukaan bumi sampai ke ketinggian 1012 km.
Sifat-sifat troposfer pada umumnya adalah: suhu berubahubah, makin tinggi suhu makin rendah, arah dan kecepatan
angin berubah-ubah, ada uap air dan hujan, serta ada turbulensi.
Oleh karena sifat troposfer yang sering berubah-ubah ini, maka
sebenarnya tempat ini kurang ideal untuk penerbangan; tetapi
pada kenyataannya banyak penerbangan dilakukan di lapisan ini,
sehingga kemungkinan bahaya penerbangan menjadi lebih besar.
2) Lapisan Stratosfer
Lapisan stratosfer terbentang di atas lapisan troposfer sampai ke ketinggian 5080 km. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh
lapisan tropopause.
Sifat-sifat stratosfer ialah: suhu tetap walaupun ketinggian
berubah yaitu 55C, tidak ada uap air dan turbulensi. Oleh
karena sifat-sifat stratosfer lebih stabil dibandingkan dengan
troposfer, maka stratosfer ini sebenarnya adalah tempat yang
ideal untuk kegiatan penerbangan.
3) Lapisan lonosfer
Lapisan ionosfer terbentang dari atas stratosfer sampai ke
ketinggian antara 600-1.000 km. Pada lapisan ini udara sangat
renggang dan terjadi reaksi fotokhemis dan fotoelelektris, sehingga atom-atom dan molekul-molekul gas ada yang menerima
muatan listrik, menjadi ion-ion. Oleh karena pembentukan ionion inilah maka terjadi panas yang tinggi sehingga suhu udara di
sini sampai 2.000C.
4) Lapisan Eksosfer
Lapisan Eksosfer adalah lapisan atmosfer yang paling atas,
di sini gas-gas tidak kontinu lagi hubungan molekulnya; atomatom dan molekul-molekulgas membentuk pulau-pulau udara
yang satu sama lain dipisahkan oleh ruang hampa. Oleh karena
sifat inilah maka lapisan ini dibedakan dengan ketiga lapisan di
atas.
Ketiga lapisan atmosfer yang berada di bawah eksosfer
disebut pula atmosfer, sedang eksosfer disebut outer atmosfer
(Tabel 1).

Pembagian Atmosfer Berdasarkan Ilmu Faal


Atmosfer juga dapat dibagi dalam 3 (tiga) daerah berdasar'kan ilmu faal, yaitu :

Tabel 1.

Skema Pembagian Atmosfer

Atmospheres
Space
Outer
Inner

Spheres
Exosphere
Ionosphere

Layers

Atomic
F (F1 + F2)
E
F
Stratosphere Upper Mixing
Warm
Isothermal
Troposphere Advertion
Ground
Bottom

Aproximate Height (mis)


Above 1.200
600 to 1.200
250 to 600
95 to 250
60 to 95
30 to 60
30 to 50
15 to 30
8 to 15
1.2 to 8
6 ft to 1.2 miles
0 to 6 ft

1) Physiological Zone
Daerah ini terbentang dari permukaan bumi sampai ke
ketinggian 10.000 kaki. Di daerah ini orang praktis tidak mengalami perubahan faal tubuhnya, kecuali daya adaptasi gelapnya
saja yang memanjang bila berada pada ketinggian lebih dari
5.000 kaki.
2) Physiological Defficient
Di daerah ini orang akan mengalami kekurangan fisiologi
atau mengalami kelainan faal tubuh berupa hipoksia, tetapi
masih dapat ditolong dengan pemberian oksigen saja. Daerah
ini terbentang dari ketinggian 10.000 kaki sampai 50.000 kaki.
3) Space equivalent zone
Atmosfer di atas 50.000 kaki dinamakan space equivalent
zone, karena di sini orang akan mengalami hipoksia berat dan
canapertolongan atau perlindungan sama seperti di ruang angkasa.
OZONOSFER
Di samping lapisan-lapisan atmosfer di atas, kita mengenal
suatu lapisan dalam atmosfer yang disebut ozonosfer karena
mengandung banyak gas ozone. Lapisan ini terbentang antara
ketinggian 12 km sampai 70 km dan yang terbanyak ozonenya
berada pada ketinggian antara 45 km sampai 55 km. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ozonosfer adalah payung bumi
terhadap sinar ultra violet.
Tekanan Atmosfer
Seperti benda-benda lain, gas juga mempunyai berat. Berat
1 meter kubik udara pada permukaan laut dengan tekanan 760
mmHg dan suhu 0C adalah 1.293 gram. Oleh kanena berat udara
inilah maka tiap permukaan atau bidang di dalam atmosfer menerima teknan, yang besarnya sesuai dengan berat udara yang
ada di atasnya. Tekanan inilah yang disebut tekanan atmosfer
atau tekanan barometer bila diukur untuk tiap sentimeter persegi.
Padapermukaan laut tekanan ini besarnyasama dengan 1,033 kg/
cm2. Telah dilakukan pengukuran tekanan atmosfer ini pada
garis lintang 45 pada permukaan laut dan suhu 0C pada luas
permukaan 1 cm2. Hasilnya sama dengan tekanan satu kolom air
raksa setinggi 760 milimeter dengan penampang dan suhu yang
sama. Oleh kanena itu 760 mmHg ini disebut 1 atmosfer. Satu
atmosfer juga sering dinyatakan dengan 14,7 PSI (pound per
Square Inch). Tekanan satu atmosfer ini juga sering digunakan

untuk menyatakan tekanan pada permukaan laut. Makin tinggi


makin kurang tekanan udaranya, karena jumlah udara yang
berada di atasnya makin kurang pula. Jadi tekanan barometer
mengecil bila ketinggian bertambah (Tabel 2).
Tabel 2.

Tekanan Barometer pads Ketinggian

Tinggi (Km)

16

32

48

64

80

Tekanan (Atm)

0,1

0,01

0,00

0,0001

0,00001

Tekanan Parsiil Gas


Gas-gas yang menyusun udara mempunyai berat sendiri,
sehingga mempunyai tekanan masing-masing pula. Tekanan
tiap-tiap gas ini disebut tekanan parsiil gas itu. Jadi tekanan
barometer adalah jumlah tekanan parsiil gas-gas yang berada di
udara. Cara menghitung tekanan parsiil gas :
PxB
P =
100
P = Tekanan parsiil suatu gas
C = Prosentase gas tersebut
B = Tekanan barometer
Oksigen adalah unsur terpenting untuk kehidupan manusia.
Prosentase oksigen dalam udara sampai ke ketinggian 110 km
adalah tetap, yaitu sekitar 21%. Maka mudahlah bagi kita untuk
menghitung tekanan parsiil oksigen dalam udara pada beberapa
ketinggian. Misalnya : pada permukaan laut P02 = 159 mmHg,
pada ketinggian 6 km PO2 = 74 mmHg. Tekanan parsiil oksigen
ini penting diketahui untuk menjelaskan masalah hipoksia.
Atmosfer Standar
Karena sifat-sifat atmosfer sering berubah-ubah, terutama
bagian bawah, maka perlu diadakan suatu perjanjian mengenai
sifat-sifat atmosfer yang tetap pada tiap ketinggian. Ketentuanketentuan ini merupakan suatu daftar dan disebut susunan
atmosfer standard. Tabel 3 merupakan susunan atmosfer standard yang digunakan di Amerika.
Tabel 3.

USA Standard Atmosphere

Ketinggian (kaki)
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
20.000
22.000
24.000
26.000
28.000
30.000
32.000
34.000
35.000
36.000
38.000
40.000

Tekanan (mmHg)

Temperatur (C)

760,0
706,0
656,3
609,3
564,4
522,6
483,3
446,4
411,8
379,4
349,1
370,8
294,4
269,8
246,9
225,6
205,8
187,4
175,9
170,4
154,9
140,7

15,0
11,0
7,1
3,1
0,8
4,8
8,9
12,7
16,7
20,7
24,6
28,6
32,5
36,5
40,5
44,4
48,4
52,4
55,0
55,0
55,0
- 55,0

42.000
44.000
46.000
48.000
50.000
52.000
54.000
56.000
58.000
60.000

127,9
116,3
105,7
96,05
87,30
79,34
72,12
65,55
59,58
54,15

55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0

Suhu Atmosfer
Semakin tinggi kita naik semakin rendah temperatumya.
Pada lapisan atmosfer bagian bawah, berlaku suatu ketentuan,
bahwa suhu akan menurun 2C setiap kita naik 300 m ke atas
atmosfer. Pada lapisan stratosfer suhu telah menjadi sekitar
55C.
Pada lapisan ionosfer terjadi reaksi pembentukan ion, sehingga suhu pada lapisan ini naik menjadi 2.000C.
Jelas bahwa pada penerbangan tinggi dengan menggunakan
pesawat yang ada pada dewasa ini, yang terpenting adalah
problem penurunan suhu sehingga perlu dilengkapi dengan alat
pemanas.
Radiasi
Radiasi di atas atmosfer berasal dari matahari atau dari
planet-planet lain. Radiasi ini berupa gelombang-gelombang
elektromagnetik. Bumi kita diselubungi oleh suatu atmosfer
yang dapat menahan atau mengabsorbsi sinar-sinar radiasi tersebut, sehingga sampai di permukaan bumi tidak lagi membahayakan. Lapisan ozon mempunyai daya untuk mengabsorbsi
sinar ultra violet sehingga jumlah kecil saja dari sinar tersebut
yang sampai di permukaan bumi; di samping itu atmosfer juga
memantulkan kembali radiasi dari beberapa gelombang elektromagnetik.
Jadi intensitas radiasi akan makin meningkat bila kita naik
ke atas atmosfer, sedangkan radiasi yang intensitasnya tinggi
membayakan tubuh manusia.
Magnit Bumi dan Sabuk Radiasi
Bumi memiliki magnit yang kutub-kutubnya berada di utara
dan selatan. Akibat adanya magnit bumi ini, maka radiasi yang
berbentuk partikel bermuatan listrik akan bergerak mengikuti
garis medan magnit, sehingga terbentuklah daerah yang intensitas radiasinya sangat tinggi. Dr. James A Van Allen menemukan
sabuk radiasi yang intensitasnya sangat tinggi ini yang terkenal
dengan nama Van Allen Belt. Intensitas radiasi ini demikian
besarnya sehingga dapat mematikan manusia yang berada di
tempat tersebut. Van Allen Belt ini mengganggu gelombang
radio yang dipakai untuk komunikasi ke planit lain.
Sabuk radiasi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu inner belt
dan outer belt. Di belahan bumi bagian barat, batas bawahnya
antara 500 600 km, sedang di belahan bumi sebelah timur batas
bawahnya pada ketinggian 1.600 km. Batas luar sabuk ini antara
7.000 km 10.000 km.
Di atas daerah kutub bumi didapatkan daerah yang bebas
dari sabuk radiasi ini. Oleh karenanya penerbangan ruang angkasa akan lebih aman bila keluar dari atmosfer bumi melalui

daerah kutub.
Hukum Gas
Hukum gas berguna untuk menjelaskan gangguan fisiologi
pada penerbangan. Hukum gas yang penting adalah :
1) Hukum Difusi Gas
Hukum difusi gas ini penting untuk menjelaskan pernapasan, baik pernapasan luar maupun dalam. Hukum ini mengatakan
bahwa gas akan berdifusi dari tempat yang bertekanan parsiilnya
tinggi menuju ke tempat yang tekanan parsiilnya rendah. Sedang
kecepatan berdifusi ini ditentukan oleh besarnya selisih tekanan
parsiil tersebut dan tebalnya dinding pemisah.
2) Hukum Boyle
Hukum ini penting untuk menjelaskan masalah penyakit
dekompresi. Hukum Boyle ini mengatakan bahwa apabila volume suatu gas tersebut berbanding terbalik dengan tekanannya.
P.V = C

P
V
C

=
=
=

Pressure atau tekanan


Volume atau isi
Constant atau tetap

3) Hukum Dalton
Hukum ini penting untuk menghitung tekanan parsiil gas
dalam suatu campuran gas, misalnya menghitung tekanan parsiil
oksigen dalam udara pernapasan pada beberapa ketinggian guna
menjelaskan masalah hipoksia. Hukum ini mengatakan bahwa
tekanan total suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan
parsiil gas-gas penyusun campuran tersebut.
pt = P1 + P2 + .. + Pn
Pt = Tekanan total campuran gas
P1, P2 dan seterusnya adalah tekanan parsiil masing-masing gas.

4) Hukum Henry
Hukum ini penting untuk menjelaskan penyakit dekompresi, seperti bends, chokes, dan sebagainya yang dasarnya
adalah penguapan gas yang larut.
Hukum ini mengatakan bahwa jumlah gas yang larut dalam
suatu cairan tertentu berbanding lurus dengan tekanan parsiil gas
tersebut pada permukaan cairan itu.
A
P

Al x P2 = A2 x P2
= jumlah gas yang larut
= Tekanan parsiil gas pada permukaan cairan.

5) Hukum Charles
Hukum ini penting untuk menjelaskan tentang turunnya
tekanan oksigen atau berkurangnya persediaan oksigen bila isi
tetap, maka tekanan gas tersebut berbanding lurus dengan suhu
absolutnya. Jadi bila kita membawa oksigen dalam botol pada
penerbangan tinggi, suhunya akan lebih rendah, maka tekanan
gas tersebut akan menurun pula. Atau dengan kata lain persediaan
oksigen akan berkurang.
Bila isi tetap :
P1 : P2 =
P1 = Tekanan semula
P2 = Tekanan yang baru
T1 = Suhu absolut mula-mula
T2 = Suhu absolut kemudian

T1 : T2

PENGARUH KETINGGIAN PADA FAAL TUBUH

Umum
Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang
dapat merugikan faal tubuh khususnya dan kesehatan pada
umumnya, yaitu :
1) Perubahan atau mengecilnya tekanan parsiil oksigen di
udara. Hal ini dapat mengganggu faal tubuh dan menyebabkan
hipoksia.
2) Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer. Hal ini
dapat menyebabkan sindrom dysbarism.
3) Berubahnya suhu atmosfer.
4) Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation)
maupun dari kosmos lain (cosmic radiation).
Dari keempat perubahan ini yang akan dibahas adalah
masalah hipoksia dan dysbarism. Masalah pengaruh perubahan
suhu hanya dibahas secara umum karena akan lebih banyak
dibahas pada masalah survival dan masalah bail out. Sedang
masalah radiasi tidak dibahas di sini, karena pengaruhnya pada
penerbangan biasa kurang berarti dan hanya penting dibicarakan
bila kita membahas masalah penerbangan ruang angkasa.
Hipoksia
Pengertian :
Hipoksia adalah keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk
menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara pada
ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun
atau mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara
pernapasan akan berakibat terjadinya hipoksia.
Sifat-sifat hipoksia :
1) Tidak terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu
bahwa bahaya hipoksia ini telah menyerangnya.
2) Tidak memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering
memberikan rasa gembira (euphoria) pada permulaan serangannya, kemudian timbul gejala-gejala lain yang lebih berat sampai
pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian.
Macam hipoksia
Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam,
yaitu .
1) Hypoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsiil oksigen dalam paru-paru atau karena
terlalu tebalnya dinding paru-paru. Hypoxic-Hypoxia inilah yang
sering dijumpai pada penerbangan, karena seperti makin tinggi
terbang makin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan
parsiil oksigennyapun akan makin kecil.
2) Anaemic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang disebabkan karena
berkurangnya hemoglobin dalam darah baik kanena jumlah darahnya sendiri yang kurang (perdarahan) maupun karena kadar
Hb dalam darah menurun (anemia).
3) Stagnant-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya
bendungan sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak
lancar, maka jumlah oksigen yang diangkut dari paru-paru menuju sel persatuan waktu menjadi kurang. Stagnant hipoksia ini
sering terjadi pada penderita penyakit jantung.
4) Histotoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran
pemapasan dalam.

Gejala-gejala hipoksia
Gejala yang timbul pada hipoksia sangat individual, sedang
berat ringannya gejala tergantung pada lamanya berada di daerah
itu, cepatnya mencapai ketinggian tersebut, kondisi badan orang
yang menderitanya dan lain sebagainya.
Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan,
yaitu :
1) Gejala-gejala Obyektif, meliputi :
a) Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terusmenerus
b) Frekuensi nadi dan pernapasan naik
c) Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi
d) Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif misalnya
memasukkan paku ke dalam lubang yang sempit
e) Cyanosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru
f) Lemas
g) Kejang-kejang
h) Pingsan dan sebagainya.
2) Gejala-gejala Subyektif, meliputi :
a) Malas
b) Ngantuk
c) Euphoria yaitu rasa gembira tanpa sebab dan kadang-kadang timbul rasa sok jagoan. Rasa ini yang harus mendapat perhatian yang besar pada awak pesawat, karena euphoria ini banyak
membawa korban akibat tidak adanya keseimbangan lagi antara
kemampuan yang mulai mundur dan kemauan yang meningkat.
Pembagian hipoksia berdasarkan ketinggian
Gejala-gejala hipoksia yang timbul ditentukan oleh ketinggian tempat orang tersebut berada. Ketinggian ini dapat
dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1) The Indifferent Stage, yaitu ketinggian dari sea level sampai
ketinggian 10.000 kaki. Biasanya yang terganggu oleh hipoksia
di daerah ini hanya penglihatan malam dengan daya adaptasi
gelap terganggu. Pada umumnya gangguan ini sudah mulai nyata
pada ketinggian di atas 5.000 kaki; oleh karena itu pada latihan
terbang malam para awak pesawat diharuskan memakai oksigen
sejak di darat.
2) Compensatory Stage, yaitu ketinggian dari 10.000 sampai
15.000 kaki.
Pada daerah ini sistem peredaran darah dan pernapasan telah
mengadakan perubahan dengan menaikkan frekuensi nadi dan
pernapasan, menaikkan tekanan darah sistolik dan cardiac output untuk mengatasi hipoksia yang terjadi. Pada daerah ini sistem
saraf telah terganggu, oleh karena itu tiap awak pesawat yang
terbang di daerah ini harus menggunakan oksigen.
3) Disturbance Stage, yaitu ketinggian dari 15.000 kaki sampai
20.000 kaki.
Pada daerah ini usaha tubuh untuk mengatasi hipoksia
sangat terbatas waktunya, jadi pada daerah ini orang tidak akan
dapat lama tanpa bantuan oksigen. Biasanya tanda-tanda serangan hipoksia ini tidak terasa hanya kadang-kadang saja timbul rasa
malas, ngantuk, euphoria dan sebagainya, sehingga tahu-tahu
orang tersebut menjadi pingsan.
Gejala-gejala obyektif antara lain pandangan menjadi menyempit (tunnel vision), kepandaian menurun, judgement ter-

ganggu. Oleh karena itu pada daerah ini merupakan keharusan


mutlak seluruh awak pesawat maupun penumpang untuk menggunakan oksigen.
4) Critical Stage, yaitu daerah dari ketinggian 20.000 kaki
sampai 23.000 kaki.
Pada daerah ini dalam waktu 3 5 menit saja orang sudah
tidak dapat menggunakan lagi pikiran dan judgement lain tanpa
bantuan oksigen.
Time of Useful Consciousness (TUC)
Adalah waktu yang masih dapat digunakan bila kita menderita serangan hipoksia pada tiap ketinggian; di luar waktu itu
kita akan kehilangan kesadaran. Waktu itu berbeda-beda pada
tiap ketinggian, makin tinggi waktu itu makin pendek. TUC ini
juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan seseorang
terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak
pesawat agar mereka dapat mengetahui berapa waktu yang tersedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada ketinggian
tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki =10
menit, 25.000 kaki = 5 menit, 28.000 kaki = 2,53 menit, 30.000
kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 1 menit, 40.000 kaki = 15
detik dan 65.000 kaki = 9 detik.
Pengobatan hipoksia
Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian
oksigen secepat mungkin sebelum terlambat, karena bila terlambat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai ke kematian.
Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan
masker oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman
yaitu di bawah 10,000 kaki.
Pencegahan hipoksia
Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara
mulai dari penggunaan oksigen yang sesuai dengan ketinggian
tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan penggunaan
pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksigen pada penerbangan, pengukuran pressurized cabin, mengikuti ketentuan-ketentuan dalam penerbangan dan sebagainya.
Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya
bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya
tersebut.
Dysbarism
Pengertian
Menurut Adler yang dimaksud dengan dysbarism adalah
semua kelainan yang terjadi akibat berubahnya tekanan sekitar
tubuh, kecuali hipoksia. Banyak istilah yang telah digunakan
orang untuk memberi nama sindrom ini seperti penyakit dekompresi, aeroembolisme, aeroemphysema dan sebagainya. Tetapi
istilah dysbarism lebih tepat karena istilah-istilah tidak mencakup keseluruhan pengertian atau seluruh kejadian.
Di samping hipoksia masalah dysbarism juga termasuk
masalah yang penting dalam ilmu faal penerbangan. Dysbarism
ini telah sejak abad ke XVII dibicarakan orang dan sampai sekarangpun masih ramai didiskusikan karena etiologinya atau
patofisiologinya belum dapat dijelaskan secara sempuma. Banyak teori yang timbul tetapi selalu saja ada kelemahannya.
Pembagian dysbarism

Dysbarism dibagi menjadi dua golongan, yaitu :


1) Sebagai akibat pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh.
Golongan ini sering juga disebut : pengaruh mekanis pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh atau pengaruh mekanis
akibat perubahan tekanan sekitar tubuh.
2) Sebagai akibat penguapan gas-gas yang terlarut dalam tubuh. Kelompok ini kadang-kadang jul;a disebut penyakit dekompresi, sehingga kadang-kadang mengaburkan pengertian penyakit dekompresi yang digunakan orang untuk istilah pengganti
dysbarism.
Pengaruh Mekanis Gas-gas dalam Rongga Tubuh
Berubahnya tekanan udara di luar tubuh akan mengganggu
keseimbangan tekanan antara rongga tubuh yang mengandung
gas dengan udara di luar. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa
sakit sampai terjadinya kerusakan organ-organ tertentu.
Rongga tubuh yang mengandung gas adalah :
1. Traktus Castro Intestinalis
Gas-gas terutama berkumpul dalam lambung dan usus besar.
Sumber gas-gas tersebut sebagian besar adalah dani udara yang
ikdt tertelan pada waktu makan dan sebagian kecil timbul dari
proses pencernaan, peragian atau pembusukan (dekomposisi
oleh bakteri). Gas-gas tersebut terdiri dani O2, CO2, metan, H2S
dan N2 (bagian terbesar).
Apabila ketinggian dicapai dengan perlahan, maka perbedaan antara tekanan udara di luar dan di dalam tidak begitu besar
sehingga pressure equalisation yaitu mekanisme penyamanan
tekanan berjalan dengan lancar dengan jalan kentut atau melalui
mulut. Gejala-gejala yang dirasakan adalah ringan yaitu rasa
tidak enak (discomfort) pada perut. Sebaliknya apabila ketinggian dicapai dengan cepat atau terdapat halangan dalam saluran
pencernaan maka pressure equalisation tidak berjalan dengan
lancan, sehingga gas-gas sukar keluar dan timbul rasa discomfort
yang lebih berat. Pada ketinggian di atas 25.000 kaki timbul rasa
sakit perut yang hebat; sakit perut ini secara reflektoris dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah secara drastis, sehingga
jatuh pingsan.
Tindakan preventif agar tidak banyak terkumpul gas dalam
saluran pencernaan, meliputi :
a) Dilarang minum bir, air soda dan minuman lain yang mengandung gas CO2 sebelum terbang.
b) Makanan yang dilarang sebelum terbang adalah bawang
merah, bawang putih, kubis, kacang-kacangan, ketimun, semangka dan chewing gum.
c) Tidak dibenarkan makan dengan tidak teratur, tergesa-gesa
dan sambil bekerja.
Tindakan regresif bila gejala sudah timbul, adalah :
a) Ketinggian segera dikurangi sampai gejala-gejala ini hilang.
b) Diusahakan untuk mengeluarkan udara dani mulut atau
kentut
c) Banyak mengadakan gerakan.
2. Telinga
Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan dalam
telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan di luar tubuh,
sehingga akan terjadi aliran udara dani telinga tengah ke luar

tubuh melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian terjadi dengan cepat, maka usaha mengadakan keseimbangan tidak
cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga
tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat merobekkan selaput gendang. Kelainan ini disebut aerotitis atau
barotitis. Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu ketinggian berkurang, bahkan lebih sering terjadi karena pada waktu
turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan
di luar sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah,
sedang muara tuba eustachii di tenggorokan biasanya sering
tertutup sehingga menyukarkan aliran udara.
Bila ada radang di tenggorokan lubang tuba Eustachii makin
sempit sehingga lebih menyulitkan aliran udana melalui tempat
itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya banotitis menjadi lebih
besar. Di samping itu pada waktu turun udara yang masuk ke
telinga tengah akan melalui daerah radang di tenggorokan, sehingga kemungkinan infeksi di telinga tengah sukar dihindarkan.
Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah :
a) Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar
tidak terlalu besar selisih tekanan antana udana luan dengan
telinga tengah.
b) Menelan ludah pada waktu pesawat udana naik agar tuba
Eustachii terbuka dan mengadakan gerakan Valsava pada waktu
pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan
hidung kemudian meniup dengan kuat.
c) Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit
saluran pernapasan bagian atas.
d) Penggunaan pesawat udana dengan pressurized cabin.
Tindakan represif pada kelainan ini adalah :
a) Bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan :
1) Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil
menelan ludah berulang-ulang sampai hilang gejalanya.
2) Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat diturunkan kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi.
b) Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan :
1) Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava berulang sampai gejalanya hilang.
2) Bila usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali
sampai rasa sakit hilang, kemudian datar lagi untuk sementara.
Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat diturunkan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava .
terus menerus.
Post Flight Ear Block
Ada kejadian seperti barotitis tadi pada waktu selesai terbang tinggi saat penerbangnya sedang tidur pada malam
harinya. Banotitis demikian disebut post flight ear block dan
terjadi kanena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus
selamapenerbangan sampai ke bumi, sehingga udana yang masuk
ke telinga tengah kaya akan oksigen. Oksigen ini akan diserap
oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup
sehingga tekanan udara luan menimbulkan rasa sakit.
3. Sinus Paranasalia
Muara sinus paranasalis ke rongga hidung pada umumnya
sempit. Sehingga bila kecepatan naik atau turun sangat besar,
maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga sinus dan udara

luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit di sinus
yang disebut aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang
selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi pada waktu
naik maupun turun dengan prosentase yang sama. Pada keadaan
radang saluran pernapasan bagian atas, kemungkinan terjadinya
aerosinusitis makin besar. Aerosinusitis ini lebih jarang bila
dibandingkandengan aerotitis, karena bentuk saluran penghubung
dengan udara luar.
4. Gigi
Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam
gigi, tetapi pada gigi yang rusak kemungkinan terjadi kantong
udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada
proses aerotitis dan aerosinusitis di atas, pada kantong udara di
gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit. Rasa sakit ini
disebut aerodontalgia. Patofisiologi aerodontalgia ini masih
belum jelas.
Pengaruh Penguapan Gas yang Larut dalam Tubuh
Dengan berkurangnya tekanan atmosfer bila ketinggian
bertambah, gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan
tubuh akan keluar sebagian dari larutannya dan timbul sebagai
gelembung-gelembung gas sampai tercapainya keseimbangan
baru. Mekanismenya adalah sesuai dengan Hukum Henry. Pada
kehidupan sehari-hari peristiwa ini dapat dilihat pada waktu kita
membuka tutup botol yang bersisi limun, air soda atau bir yaitu
timbul gelembung-gelembung gas.
Gelembung-gelembung gas yang timbul dalam tubuh
manusia bila tekanan atmosfer berkurang sebagian besar terdiri
dari gas N2. Gejala-gejala pada penerbang baru timbul pada
ketinggian 25.000 kaki. Semakin cepat ketinggian bertambah,
semakin cepat pula timbul gejala. Pada ketinggian di bawah
25.000 kaki gas N2 masih sempat dikeluarkan oleh tubuh melalui
paru-paru. Gas tersebut diangkut ke paru-paru oleh darah dari
scl-sel maupun jaringan tubuh. Timbulnya gelembung-gelembung ini berhenti bila sudah terdapat keseimbangan antara tekanan udara di dalam dan tekanan udara di luar. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat Hukum Henry dan Hukum Graham.
Gelembung-gelembung ini memberikan gejala karena urat-urat
saraf di dekatnya tertekan olehnya, di samping itu tertekan pula
pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitarnya.
Menurut sifat dan lokasinya, gejala-gejala ini terdiri atas :
1) Bends
Bends adalah rasa nyeri yang dalam dan terdapat di sendi
serta dirasakan terus-menerus, dan umumnya makin lama makin
bertambah berat. Akibatnya penerbang atau awak pesawat tak
dapat sama sekali bergerak karena nyerinya. Sendi yang terkena
umumnya adalah sendi yang besar seperti sendi bahu, sendi lutut,
di samping itu juga sendi yang lebih kecil seperti sendi tangan,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki, tetapi lebih jarang.
2) Chokes
Chokes adalah rasa sakit di bawah tulang dada yang disertai
dengan batuk kering yang terjadi pada penerbangan tinggi,
akibat penguapan gas nitrogen yang membentuk gelembung di
daerah paru-paru. Chokes lebih jarang terjadi bila dibandingkan
dengan bends, tetapi bahayanya jauh lebih besar, karena dapat

menganqam jiwa penerbang.


3) Gejala-gejala pada kulit
Gejala-gejala pada kulit adalah perasaan seperti ditusuktusuk dengan jarum, gatal-gatal, rasa panas dan dingin, timbul
bercak kemerah-merahan dan gelembung-gelembung pada kulit.
Gejala-gejala ini tidak memberikan gangguan yang berat, tetapi
merupakan tanda bahaya atau tanda permulaan akan datangnya
bahaya dysbarism yang lebih berat.
4) Kelainan pada sistem syaraf
Jarang sekali terjadi dan bila timbul mempunyai gambaran
dengan variasi yang besar yang kadang-kadang saja memberikan
komplikasi yang berat. Yang sering diketemukan adalah kelainan penglihatan dan sakit kepala yang tidak jelas lokasinya.
Dapat pula timbul kelumpuhan sebagian (parsiil), kelainan penginderaan, dan sebagainya.
PENGARUH PERCEPATAN DAN KECEPATAN PADA
PENERBANGAN TERHADAP TUBUH
Umum
Benda di udara apabila dilepaskan akan jatuh bebas karena
pengaruh gaya tank bumi. Demikian pula dengan tiap benda
yang berada dalam keadaan diam di permukaan bumi ini, akan
jatuh bebas ke arah pusat bumi apabila tidak ada tanah tempat
benda tersebut bersandar. Kekuatan yang bekerja pada massa
benda kita kenal sebagai berat benda. Berat flap benda dalam
keadaan diam dipengaruhi oleh gaya tarik bumi sebesar 1 g.
Percepatan atau akselerasi karena gaya tarik ini adalah sebesar
10 m/detik.
Apabila sebuah benda dari keadaan diam lalu bergerak,
maka karena adanya percepatan yang bekerja pada benda tersebut, akan terjadi gaya lain pada benda tadi yang arahnya berlawanan dengan arah percepatan penggeraknya. Hal ini disebabkan karena kelembaman benda tersebut seperti hukum
inertia dari Newton. Misalnya kita di dalam mobil yang tidak
bergerak kemudian sekonyong-konyong mobil tersebut dilarikan dengan cepat, maka akan terasa badan kita terlempar ke
sandaran belakang. Sebaliknya bila kita berada pada mobil yang
bergerak cepat mendadak berhenti, maka badan kita akan terlempar ke depan.
Macam Akselerasi
Dalam penerbangan dijumpai macam-macam akselerasi
yang terbagi atas :
1) Akselerasi Liniair
Akselerasi liniair terjadi apabila ada perubahan kecepatan
sedang arah tetap, misalnya terdapat pada take off, catapult take
off, rocket take off, mengubah kecepatan dalam straight and level
flying, crash landing, ditching, shock waktu parasut membuka
atau pada saat landing.
2) Akselerasi Radiair (Sentripetal)
Akselerasi radiair terjadi apabila ada perubahan arah pada
gerak pesawat sedang kecepatan tetap, misalnya pada waktu
turun, loop dan dive.
3) Akselerasi Angulair
Akselerasi angulair apabila ada perubahan kecepatan dan

arah pesawat sekaligus, misalnya pada roll dan spin.


Gaya
Akibat akselerasi timbul gaya yang sama besar akan tetapi
berlawanan arahnya (reactive force) yang dikenal sebagai gaya
G. Gaya G ini dinyatakan dengan satuan G. Besar tiap-tiap gaya
G yang bekerja pada awak pesawat diukur dengan gaya tarik
bumi.
Pengaruh gaya G pada tubuh dibagi berdasarkan arahnya
terhadap tubuh, karena toleransi tubuh terhadap gaya G ini
tergantung pada arah tersebut di samping lamanya pengaruh G
tersebut bekerja. Ada 3 gaya G, yaitu :
1) Gaya G-transversal
Adalah gaya.G yang arahnya memotong tegak lurus sumbu
panjang tubuh, jadi dapat dari muka ke belakang atau sebaliknya dan dapat pula dari samping ke samping.
2) Gaya G-Positif
Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kepala ke
kaki.
3) Gaya G-Negatif
Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kaki ke
kepala.
Akibat Gaya G pada Badan
Manusia sejak dalam kandungan telah biasa dengan pengaruh gaya tarik bumi sebesar 1 g. Hal ini berarti bahwa alat-alat
rongga badan khususnya jantung dan pembuluh darah telah
menyesuaikan diri dengan pengaruh tersebut. Tiap gaya G lebih
besar atau lebih kecil dari 1 g akan mengakibatkan gejala-gejala
pada tubuh manusia yang masih dapat diatasi apabila masih
dalam batas-batas toleransi badan.
Akibat gaya G badan tergantung pada macam gaya G tersebut. Secara rinci akibat gaya G tersebut adalah :
1) Gaya G-Positif
Akibat gaya G-positif pada badan dapat dirasakan apabila
kita mengadakan pull-up atau dive. Pada saat pull-up terasa oleh
si penerbang badannya tertekan pada tempat duduk karena berat
badannya bertambah. Si penerbang kelihatan seperti orang tua
karena pipinya tertarik ke bawah.
Makin besar gaya G yang mempengaruhinya makin besar
perubahan pada mata. Pada+2 G sampai +3 G lantang pandangan
menciut (tubular sight). Pada +3 G sampai +4,5 G penglihatan
menjadi tampak remang (grey out) dan pada +4 sampai +6 G
semuanya tampak gelap (black out), akan tetapi si penerbang
masih sadar. Apabila keadaan ini diteruskan dan gaya G bertambah selama lebih dari 3 detik, maka ia akan pingsan. Hal ini
disebabkan karena untuk memompa darah ke otak, jantung harus
mengeluarkan gaya lebih besar daripada gaya yang biasanya
dikeluarkan untuk mengalahkan kolom darah (+30 cm). Akibatnya
ialah bahwa suplai oksigen ke mata dan otak sudah demikian
kurangnya sehingga terjadi hipoksia akut. Bila keadaan ini berlangsung terlalu lama, maka akan sangat membahayakan jiwa si
penerbang.
2) Gaya G-Negatif
Pada gaya G-negatif tubuh manusia kurang besar toleransinya, artinya dengan G-negatif yang kecil saja tubuh akan men-

derita bila dibandingkan dengan G-positif. G-negatif ini terjadi


pada penerbangan misalnya pada waktu steep climbing mendadak
level flight. Di sini darah akan terlempar ke arah otak, sehingga
jumlah darah dalam otak meningkat dan tekanannyapun meningkat. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa sakit kepala
sampai pecahnya pembuluh darah di otak bila G-negatif tersebut
sangat besar dan lama. Pada G-negatif sebesar 2 sampai 2,5 G
akan terjadi gejala red out, yaitu penglihatan menjadi merah
semua. Gerakan-gerakan lain yang menghasilkan G-negatif pada
penerbangan adalah pada waktu mengadakan outside loop, outside turn nose over yang tajam kemudian dive, dan bila eject
dengan ejection seat dari bawah pesawat.
3) Gaya G-Transversal
Toleransi tubuh manusia terhadap gaya G transversal sangat
besar, oleh karena itu pada peluncuran pesawat ruang angkasa
dengan roket, posisi awak pesawat diusahakan agar gaya G yang
timbul pada pelontaran roket tadi menjadi gaya G-transversal
pada tubuh.
Meningkatkan Ketahanan Tubuh
Cara meningkatkan ketahanan terhadap gaya G-transversal
tidak diperlukan karena ketahanan kita sendiri sudah cukup
besar, sedang usaha peningkatan ketahanan terhadap gaya Gnegatif tidak ada. Oleh karena itu usaha peningkatan terhadap
gaya hanya mengenai gaya G-positif saja, yaitu :
a) Membungkukkan kepala ke arah dada agar jarak jantung ke
mata menjadi lebih pendek, sehingga jantung masih mampu
memompa darah ke otak.
b) Mengejan atau berteriak agar tekanan dalam perut meningkat,
sehingga penumpukan darah (blood storage) dalam traktus
digestivus berkurang dan menambah darah yang akan diedarkan
ke otak.
c) Menggunakan G-suit atau anti G-suit, yang prinsip kerjanya
mengadakan penekanan pada bagian bawah tubuh (paha, betis
dan perut) pada waktu ada gaya G-positif yang menyerang tubuh.
Hal ini juga akan mengurangi penimbunan darah di bagian
bawah tubuh sehingga meningkatkan aliran darah ke otak.
PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT KESEIMBANGAN
Umum
Penerbangan dapat pula mempengaruhi alat keseimbangan
awak pesawat sehingga dapat membahayakan jiwa. Kelainan
yang timbul pada penerbangan ini biasanya berbentuk ilusi atau
disorientasi sehingga dikenal sebagai ilusi penerbangan atau
juga disebut spatial disorientation tetapi kadang-kadang dinamakan pula pilot's vertigo.
Spatial disorientation atau pilot's vertigo adalah suatu
fenomena yang sejak dulu merupakan bahaya dalam penerbangan. Khususnya bagi seorang penerbang militer yang harus melaksanakan tugas penerbangan yang cukup kompleks dalam
kondisi cuaca apapun. Fenomena ini merupakan suatu masalah
yang tidak boleh dianggap enteng.
Dengan mengetahui mekanisme pilot's vertigo maupun
macam ilusi yang dapat dialami oleh seorang penerbang di-

harapkan dapat diambil langkah-langkah pencegahan demi


keamanan dan keselamatan penerbang, pesawat dan orang lain.
Fungsi alat-alat keseimbangan
Manusia makhluk darat dapat menjaga keseimbangan
badannya karena dilengkapi dengan tiga alat/sistem : Sistem
Vestibuler, Sistem Visuil dan Sistem Proprioseptif. Selama
manusia masih berhubungan dengan bumi seperti berjalan, berlari, melompat dan lain-lain maka ketiga sistem tersebut berfungsi secara adekuat dan alat-alat keseimbangan bekerja secara
cermat dan efektif. Akan tetapi apabila ia meninggalkan bumi
dan terbang, alat-alat tersebut dapat membuat kesalahan-kesalahan, karena impuls-impuls yang tidak lagi adekuat. Kesalahan
tersebut dapat menimbulkan ilusi dan sering mengakibatkan
spatial disorientation.
1) Alat Vestibular, mempunyai 3 bagian :
a) Tip canalis semicularis (saluran berisi endolymph) yang
tegak lurus satu sama lain pada bidang-bidang horisontal, vertikal dan tranversal. Pada muara tiap-tiap saluran ada suatu pelebaran dengan di dalamnya sel-sel berambut. Rambut-rambut
tersebut berhimpun menjadi (cupula) dan merupakan reseptor
sensorik. Karena gerakan dan aliran endolymph, cupula ikut
bergerak sesuai arah aliran. Tiap gerakan/akselerasi angulair
(roll, pitch, yaw) menimbulkan impuls mekanis pada otak dan
melaporkan bahwa sedang ada gerakan rotasi dari kepala.
b) Utriculus dan Sacculus berisi reseptor sensorik yang dapat
menerima impuls mekanis akibat gerakan/akselerasi linear.
Reseptor terdiri dari membran otolith yang berisi butir-butir
kalsium karbonat. Membran ini ada di atas lapisan sel-sel berambut dengan rambut-rambutnya dalam masa clan membran.
Gravitasi maupun akselerasi linear dapat menggerakkan membran otolith dan dengan demikian rambut-rambut sel berambut.
Impuls ini diterima dan diteruskan lewat syaraf vestibular ke
otak.
c) Cochlea. Alat ini digunakan untuk proses pendengaran.
Pola akselerasi di udara adalah berbeda daripada di bumi,
misalnya akselerasi di udara biasanya tidak segera diikuti
dengan deselerasi seperti terjadi di bumi.
2) Sistem visuil, adalah alat terpenting dalam menjaga keseimbangan. Dengan menggunakan penglihatan, kita dapat menentukan lokasi dan posisi suatu obyek dalam ruangan. Dengan
adanya visual horizon seorang penerbang masih dapat mengadakan orientasi walaupun terjadi ilusi-ilusi akibat persepsi yang
salah dari alat vestibular maupun priprioseptif. Di udara sistem
visuil adalah orientation sense yang paling dapat dipercaya dan
dengan melalui sistem tersebut, si penerbang dapat menginterprestasikan instrumen pesawat.
3) Sistem proprioseptif, adalah reseptor sensorik yang mengadakan respons terhadap tekanan atau tarikan pada jaringan
tubuh. Reseptor ini terdapat dalam jaringan antara lain kulit dan
sendi, dan dapat dirasakan di bagian-bagian badan apabila duduk,
berdiri atau berbaring. Sistem proprioseptif ini dikenal sebagai
body sense atau seat of the pants sense.
Mekanisme Ilusi
1) Grave Yard Spin dan Grave Yard Spiral

Pada waktu masuk ke dalam spin, maka setelah 15 20 detik


kecepatan endolymph dalam saluran semisirkuler telah sama
dengan kecepatan dinding saluran, sehingga cupula (reseptor)
kembali pada keadaan istirahat. Pada waktu pesawat keluar dari
spin, cupula akan bergerak dengan arah yang berlawanan sehingga seolah-olah terjadi spin untuk kedua kalinya dengan arah
berlawanan. Dengan mengadakan koreksi maka pesawat masuk
spin kembali dengan arah semula. Pada grave yard spiral tidak
ada spin tetapi banked down.
2) Coriolis Illusion
Ini terjadi apabila endolymph dari satu set saluran semisirkuler kiri telah mencapai kecepatan yang sama dengan dinding
saluran, kemudian ada gerakan dari satu set lainnya dalam
dinding bidang yang lain dari set pertama. Akibatnya ialah suatu
perasan seolah-olah badan berputar dalam bidang di luar bidang
tersebut misalnya bila ada gerakan yawing dengan kecepatan
yang konstan, maka dengan gerakan pitching dari kepala akan
terasa seolah-olah badan mengalami roll.
Coriolis illusion paling berbahaya dan biasanya terjadi
sewaktu dalam manuver yang relatif rendah.
3) Oculo Gyral Illusion
Dalam ilusi ini terlihat suatu obyek di muka mata seolaholah bergerak. Hal ini akibat rangsangan pada saluran semisirkuler dan dapat terjadi waktu grave yard spin, grave yard
spiral dan coriolis illusion.
4) Oculo Grave Illusion
Ilusi ini analog dengan oculo gyral illusion bukan akibat
rangsangan dari saluran semisirkuler tetapi rangsangan pada
otolith. Ilusi terjadi pada waktu terbang datar dengan high
performance air craft dengan kecepatan akselerasi yang tinggi
sehingga menimbulkan rasa seolah-olah pesawat dalam nose-up
attitude. Bila penerbang mengadakan koreksi, maka ia akan dive
dengan akibat crash. Ilusi ini sering terjadi bila terbang malam
atau dalam cuaca buruk, dan tidak terjadi bila di luar ada visual
reference yang adekuat.
5) Elevator Illusion
Ilusi ini juga terjadi akibat makin besarnya gaya gravitasi
seperti waktu akselerasi ke atas. Hal ini mengakibatkan suatu
refleks bola mata ke bawah sehingga kelihatan seolah-olah panel
instrumen dan hidung pesawat naik ke atas.
6) The Keans
Ini adalah ilusi vestibuler yang sering terjadi karena saluran
semisirkuler tidak dapat mendeteksi akselerasi angular di bawah
ambang (2,5/detik). Misalnya pada terbang instrumen mengadakan roll ke kiri tanpa dirasakan karena kecepatannya di
bawah ambang. Bila ia mengadakan roll ke kanan ia merasakan
pesawatnya dalam keadaan roll ke kanan walaupun sebenarnya
datar. Hal ini dapat dilihat dalam sikap badannya.
7) Autokinesis
Sebuah titik cahaya dalam ruangan yang cukup gelap setelah
dipandang beberapa detik akan kelihatan seolah-olah bergerak.
Fenomena ini dikenal sebagai autokinesis effect dan dapat menyebabkan kekeliruan bila terbang formasi malam hari.
8) Kacau antara bumi dan langit
Bila terbang malam dan cukup gelap maka lampu-lampu

landasan dilihat sebagai bintang-bintang. Hal ini membahayakan karena horizon yang diterimanya kelihatan lebih rendah dari
horizon yang sesungguhnya. Akibatnya pesawat akan diarahkan
ke bawah.
9) Permukaan bumi atau awan
Terbang di atas daerah yang tidak rata (di atas kaki gunung)
atau awan yang miring permukaannya mengakibatkan terbang
tidak lurus dan tidak datar.
10) Seat of the pants sense
Bila pesawat membelok maka arah gaya sentrifugal dan
gravitasi selalu menuju ke arah lantai pesawat. Dengan demikian
si penerbang dengan pressure sensors tersebut sukar mengetahui
mana bawah. Di samping itu perasaan ini dapat menguatkan
oculogravic illusion yang terjadi akibat akselerasi linear pada
high performance aircraft.
Tindakan Pencegahan
1) Indoktrinasi kepada para penerbang berupa ceramah, demonstrasi dan film mengenai fenomena tersebut untuk mengurangi kecelakaan pesawat karena spatial disorientation.
2) Mengubah kedudukan alat peralatan dalam panel instrumen
sedemikian rupa sehingga memerlukan gerakan-gerakan kepala
yang ekstrim.
3) Beberapa latihan terbang seperti instrumen take off and night
formation rejoin dipandang cukup membahayakan dan tidak
diadakan lagi.
Mabuk Udara
Mabuk udara adalah sebagian dari motion sickness yang
disebabkan oleh penerbangan. Mabuk udara ini terjadi karena
pengaruh Gaya G yang kecil tetapi terjadi secara berulang-ulang
yang menyerang alat keseimbangan. Jadi sebenarnya mabuk
udara termasuk kelainan akibat pengaruh penerbangan pada alat
keseimbangan. Sekitar 16% penerbang selama belajar terbang
pernah mengalami mabuk udara ini dan sekitar 5% siswa penerbang mengalami secara berulang-ulang. Mabuk udara ini akan
menurun dengan pengalaman dan peningkatan kepercayaanpada
diri sendiri. Mabuk udara juga dialami oleh awak pesawat yang
lain dan para penumpang pesawat angkut.
Gejala mabuk udara adalah pusing, sakit kepala, perasaan
tidak enak pada lambung, mual, muntah-muntah, pucat dan sebagainya. Berat ringannya gejala ini tergantung pada kepekaan
seseorang terhadap rangsangan pada alat keseimbangan. Gejala
ini akan memberat bila orang tersebut telah lelah, kurang sehat,
gangguan pencernaan, mencium bau-bauan yang tidak enak,
alkoholism atau takut terbang. Sebaliknya gejala ini dapat melihat benda-benda di luar pesawat sebagai titik pengenal.

PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT PENGLIHATAN


Pengaruh Hipoksia
Pengaruh hipoksia pada alat penglihatan di siang hari baru
terlihat pada penerbangan setinggi 10.000 kaki, dan akan bertambah sampai batas 16.000 kaki; setelah itu tidak dapat diimbangi lagi oleh tubuh dan akan menyebabkan terjadinya

gangguan-gangguan. Pengaruh tersebut meliputi :


1) Gangguan terhadap koordinasi otot-otot mata
Koordinasi otot mata tidak sempurna lagi terutama waktu
melihat jauh, kedua sumbu bola mata tidak sejajar lagi sehingga
terjadi keadaan yang disebut heterophoria. Kalau sumbu membentuk sudut di depan mata disebut esophoria, dan sebaliknya
disebut exophoria.
Menurut percobaan Powell dalam Decompression Chamber,
pada ketinggian 5.000 6.000 meter dalam waktu 2 3 menit
untuk penglihatan jauh akan terjadi esophoria, dan pada penglihatan dekat exophoria. Kelainan ini progesif sehingga dapat
menyebabkan mata juling (heterotropia). Dalam keadaan ini
benda-benda dilihat ganda (double). Pada esophoria yang ringan
maka penafsiran jarak tidak tepat lagi, yaitu terlalu dekat (jarak
10 m ditafsirkan 8 m). Bahayanya ialah pada waktu akan
landing penerbang mengalami kesukaran dalam menafsirkan
jarak antara pesawat dan landasan. Pesawat yang diperkirakan
akan touch (menyentuh bumi) sebenarnya masih harus menempuh jarak yang tertentu untuk betul-betul sampai di landasan
hingga terjadi keadaan overshoot.
2) Gangguan terhadap daya konvergensi dan akomodasi
Daya konvergensi akan berkurang dengan terjadinya
gangguan pada koordinasi otot-otot mata seperti disebut di atas.
Daya akomodasi orang berumur 20 23 tahun pada ketinggian
5.500 meter adalah : hipoksia derajat sedang tidak memberikan
pengaruh pada daya akomodasi bila daya akomodasinya tidak
melebihi 3 dioptri dan makin besar kemampuan akomodasi
makin sensitif orang itu terhadap kekurangan oksigen. Karena
itu penerbang yang menderita hypermetropia atau presbyopia
sedapat mungkin menghindarkan penerbangan yang memerlukan oksigen.
3) Gangguan terhadap pengenalan warna (color vision)
Daya mengenal warna sudah berkurang pada ketinggian
3.000 meter. Keadaan ini disebut : hypoxia astenopia chromatica,
yang akan menghilang setelah menghirup oksigen atau kembali
ke tanah.
Pengaruh Percepatan
Seperti diketahui pada penerbangan aerobatik ataupun
combat, penerbang dapat mengalami pengaruh gaya baik Gpositif ataupun G-negatif. Pengaruh kedua macam percepatan
tersebut adalah :
1) Pengaruh G-positif terhadap alat penglihatan
Kalau penerbang mengadakan pull up maka penerbang
akan mengalami suatu G-positif. Otak dan mata kekurangan
darah. Dengan talc adanya supply darah dapat terjadi gangguan
yaitu penglihatan abu-abu yang disebut grey-out atau kalau G
lebih besar dan terjadi kebutaan total disebut black out. G positif
sebesar 3,5 4 G menyebabkan kehilangan pandangan perifer
yang kemudian disusul dengan grey-out. Pada G-positif sebesar
+4 +6, 5 G terjadi black out.
2) Pengaruh G-negatif terhadap alat penglihatan
Kalau seorang penerbang membuat dive maka penerbang
ini akan mengalami G-negatif; tekanan (gaya) tambahan akan
bekerja dengan arah dari perut menuju ke kepala. Akibatnya
pembuluh darah di mata penuh dengan darah yang mengakibatkan

penglihatan menjadi merah atau disebut red-out. Biasanya Gnegatif sebesar 2,0 2,5 telah menyebabkan red-out.
Pengaruh sinae niatahari
1) Sinar ultra violet
Sinar ini terdapat banyak di pinggir pantai dan di lereng
pegunungan. Sinar ini tidak menembus ke bagian dalam mata
(oculus interior). Di dalam alat ini, sinar itu sebagian besar
diserap dan sebagian kecil direfleksikan (dipantulkan). Sinar
yang diserap ini kemudian menimbulkan reaksi pada alat tersebut di atas dengan gejala : Beberapa jam setelah penyinaran
akan timbul gejala peradangan : pengeluaran air mata yang
abnormal, mata menjadi merah dan sakit dengan akibat sukar
dibuka kelopaknya, banyak keluar kotoran dan dari luar mata
nampak membengkak.
Pengobatan keadaan ini adalah :
a) Jauhkan diri dari sinar matahari yaitu dengan tinggal di
dalam kamar cukup gelap untuk beberapa hari.
b) Memakai kaca mata hitam untuk beberapa hari atau sampai
gejala-gejala hilang sama sekali.
c) Kalau perlu diberi salep antibiotika. Biasanya penyembuhan sangat cepat dan tidak akan menimbulkan kelainan-kelainan
pada mata (reversibel).
2) Sinar infra merah
Sinar ini tersebar di angkasa, dan intensitasnya makin dekat
dengan matahari makin tinggi. Sinar ini dapat menembus masuk
ke dalam mata bagian dalam (oculus interior), sehingga kerusakan yang diakibatkan terutama pada alat mata bagian dalam
yaitu : lensa dan retina. Adanya reaksi panas dari sinar infra
merah menyebabkan protein dalam lensa dan retina menggumpal
dan terjadi katarak (kekeruhan lensa) kalau kerusakan pada
lensa, dan retinitis kalau kerusakan pada retina. Penyinaran yang
lama (berhari-hari atau berminggu-minggu bergantung kepada
intensitas sinar) baru akan menimbulkan reaksi seperti tersebut
di atas. Dan kalau reaksi tadi sudah timbul biasanya akan dapat
disembuhkan lagi (irreversibel).
Karena hal-hal tersebut di atas maka awak pesawat perlu
diperlengkapi dengan alat yang dapat meniadakan atau mengurangkan sinar yang dapat masuk ke dalam mata tadi (alat proteksi). Mata sendiri sebetulnya sudah mempunyai alat itu yaitu:
diafragma; proteksi dari luar yang dapat diadakan adalah kacamata atau dalam penerbangan sunvisor pada helmet penerbang.
Karena keduanya menyaring sinar maka kita sebut filter. Ada
beberapa macam filter, tetapi yang banyak digunakan adalah
colored dan neutral filter.
Colored filter hanya meneruskan sinar yang warnanya sesuai dengan filter itu dan meneruskan sebagian kecil sinar yang
lain. Sebagai contoh : RAYBAN 3 meneruskan : 25% visible
rays, 5% sinar ultra violet, 10% sinar infra merah. Untuk ini di
belakang kaca tadi diberi lapisan chromium atau nikel untuk
merefleksikan pengaruh panas tadi, sehingga terdapat perasaan
sejuk pada mata.
Sifat neutral filter terhadap sinar ultra violet dan inframerah
seperti pada colored filter, keuntungannya adalah tak menyebabkan perubahan warna, contoh : RAYBAN G-15; filter ini

banyak dipakai di USAF.


Night Vision
Dalam retina terdapat dua macam sel penerima (reseptor)
yaitu : Rod dan cone atau batang dan kerucut. Tugas rod adalah
: penglihatan malam dan penglihatan global (bukan detail) atau
penglihatan dengan kontras. Tugas cone : penglihatan siang hari,
penglihatan detail dan membedakan warna. Sel batang terutama
terdapat pada bagian pinggir retina sedang kerucut pada bagian
tengah retina, sehingga pada malam hari bagian tengah retina
merupakan bintik buta dan bagian pinggir merupakan bagian
yang penting untuk penglihatan.
Dalam rod terdapat rhodopsin dan dalam cone terdapat
jodopsin. Jumlah zat yang terdapat pada masing-masing sel ini
mempengaruhi sensitivitas sel-sel tersebut, dan dipengaruhi oleh
intensitas sinar yang masuk ke dalam mata. Kalau dari kamar
yang terang masuk ke dalam kamar yang gelap maka untuk
beberapa waktu (detik) kita akan buta atau sama sekali tidak
melihat. Baru setelah beberapa menit kita dapat mengadakan
orientasi apa yang ada dalam kamar itu. Waktu antara masuk ke
dalam kamar dan melihat dengan jelas bentuk apa yang ada
dalam kamar itu disebut waktu adaptasi. Waktu adaptasi ini
akan lengkap setelah kira-kira 2 jam. Selama adaptasi berlangsung terbentuk rhodopsin dengan perlahan-lahan di dalam
rod, yang jumlahnya mencapai maksimal setelah kita berada
dalam ruangan gelap tadi selama 2 jam.
Rhodopsin yang terbentuk di atas akan luntur atau terurai
apabila ada sinar yang masuk ke dalam mata, kecuali sinar merah
yang tidak menyebabkan penguraian ini.
sinar
>
Rhodopsin
Retinin + Protein
<
gelap

Vitamin A
Vitamin A sangat penting dalam pembentukan rhodopsin, sehingga tidak adanya vitamin A dalam makanan atau dalam darah
akan mengganggu pembentukan rhodopsin.
Pada keadaan hipoksia, reaksi di atas juga akan dipengaruhi
yaitu menjadi lebih lambat. Akibatnya daya penglihatan malam
akan menurun. Pada ketinggian 1000 meter daya penglihatan
malam menurun 5% dan pada 5.000 m menurun 40%. Juga merokok 3 batang berturut-turut dapat menurunkan daya penglihatan malam sampai 25%.
Karena itu para penerbang harus mematuhi peraturan untuk
terbang malam, yaitu :
a) Makanan penerbang harus cukup mengandung vitamin A,
bila perlu diberi tambahan pil vitamin.
b) Sebelum terbang dalam harus dites daya adaptasinya dalam
gelap dengan adaptometer.
c) Pada hari akan terbang malam, tidak boleh merokok atau
minum minuman keras.
d) Sebelum terbang malam harus mengadakan adaptasi selama
30 menit dalam tempat gelap atau ruangan dengan penyinaran

lampu merah.
e) Lampu-lampu dalam cockpit dan instrumen harus merah
agar tidak mengganggu adaptasi yang telah ada.
PENUTUP
Telah dibahas berbagai aspek Ilmu Faal dalam penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan Ruang Angkasa (Aerospace Medicine). Dalam makalah ini
hanyadibahas pokok-pokoknya sajadan belum mencakup seluruh
permasalahan Aerofisiologi.
Dengan mengetahui berbagai aspek Aerofisiologi dalam
kegiatan penerbangan maka diharapkan dapat dengan mudah
memahami problema yang dihadapi para penerbang, awak pesawat
lain maupun para penumpang khususnya di bidang kesehatan.
Untuk selanjutnya kita mampu melakukan upaya-upaya pencegahan dan-pertolongan atas pengaruh buruk penerbangan pada
tubuh manusia.
Dengan demikian kitadapat memanfaatkan udara (atmosfer)

untuk berbagai kegiatan penerbangan dengan aman, nyaman


dan cepat, yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan
kesejahteraan.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

AFM 160-5. Physiological technician's Training Manual. Department of the


Air Force, Washington D.C., 1968.
AFP 161-16. Physiology of Flight. Department of the Air Force, Washington
D.C., 1968.
AFP 161-18. Flight Surgeon Guide. Department of The Air Force, Washington D.C. , 1968.
Armstrong HG. Aerospace Medicine. The Williams and Wilkins Baltimore;
1961.
Davidovic, Vaazduhoplovna Fiziologija. Osnovi Vazduhoplovne Medicine,
Beograd. 1965.
Dhenin. Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. The Tri-Med
Bokks Limited, London, 1978.
Direktorat Kesehatan TNI-AU. Buku Pedoman Dokter Penerbangan TNIAU. Jakarta, 1990.
Harding M. Aviation Medicine. The British Medical Association, London,
1968.

Aspek Kesehatan Bandar Udara


Dr. Suroso Wirosoekarto
Departemen Perhubungan Republik Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Bandar Udara (bandara) merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala
penjuru dunia yang datang dan pergi dengan pesawat udara, dan juga tempat berkumpulnya banyak orang yang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang
operasi penerbangan yang lancar, aman dan nyaman. Sehubungan dengan hal tersebut
perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya suatu gawat darurat penerbangan, gawat
darurat medik, gawat darurat karena bencana alam, atau suatu kecelakaan kerja. Masalah
hygiene dan sanitasi di bandara harus diperhatikan dan ditangani sungguh-sungguh
karena bandara adalah pintu gerbang suatu negara.
Masalah yang juga penting di bandara adalah yang berhubungan dengan gangguan
kesehatan karena lingkungan kerja, yaitu karena bising,gelombang mikro, debu radioaktif, dan bahan-bahan kimia yang terdapat di bandara.
Akhirnya masalah penanggulangan dan penyelidikan kecelakaan pesawat udara yang
terjadi di bandara dan sekitarnya, dan selanjutnya sering melalui bandana diangkut
penumpang yang sakit untuk berobat ke kota atau negara.lain; semua ini perlu ditangani.

PENDAHULUAN
Dengan perkembangan dunia penerbangan dan mobilitas
manusia serta barang yang makin tinggi, maka fungsi bandara
(bandara udara) makin bertambah penting. Di daerah-daerah
penerbangan perintis, bandara masih sederhana, tetapi di kotakota besar sudah berkembang menjadi besar dan canggih karena
merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru
dunia, dan tempat berkumpulnya banyak orang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang aman dan nyaman. Untuk itu dalam pengoperasiannya suatu bandana harus menyediakan fasilitas medik untuk
dapat menanggulangi gawat darurat penerbangan, gawat darurat
medik, atau gangguan kesehatan lainnya. Lagipula untuk memMakalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.

bed kemudahan pada calon penumpang dan pengunjung, di


bandara disediakan kafetaria, restoran, coffee-shop, duty-free
shop, kantor pos, bank, money changer dsb. Dan di bandara
internasional selalu ada kantor/petugas C.I.Q. (Custom, Immigration-Quarantine). Akibat hal-hal di atas timbul masalah
hygiene dan sanitasi di bandara yang harus ditangani sungguhsungguh, sebab suatu bandara internasional adalah pintu gerbang
suatu negara. Masalah hygiene dan sanitasi di bandana berhubungan erat dengan penyebaran penyakit menular dan juga
dengan keselamatan penerbangan.
Di samping masalah-masalah tersebut di atas, sering melalui bandana seorang pasien ingin berobat ke rumah sakit yang,
besar di kota lain, bahkan ke luar negeri. Ini menimbulkan

masalah, karena tidak semua orang sakit boleh diangkut dengan


pesawat udara (pesawat dari airline).

tersebut, misalnya toilet untuk orang cacat, lift khusus, conveyor


belt dsb(10) .

DEFINISI BANDAR UDARA


Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation
Organization) : Airpot is a defined area on land or water
(including any buildings, installations, and equipment) intended
to be used either wholly or in part for arrival, departure, and
movements of aircrafts.
Menurut PT (persero) Angkasa Pura : Bandar Udara, ialah
lapangan udara, termasuk segala bangunan dan peralatan yang
merupakan kelengkapan minimal untuk menjamin tersedianya
fasilitas bagi angkutan udara untuk masyarakat.
Air base : Pangkalan Udara
Air field : Lapangan Udara
Aerodrome : Airport

KLASIFIKASI BANDAR UDARA


Di Indonesia ada lima klas bandar udara, yaitu :
1) Bandar Udara klas I
2) Bandar Udara klas II
3) Bandar Udara klas III
4) Bandar Udara klas IV
5) Bandar Udara klas V
Dasar dari pembagian ini diantaranya ialah : jumlah penumpang
dan pergerakan pesawat per tahun, jenis pesawat yang terbesar
yang mendarat dsb.

PEMILIHAN LOKASI UNTUK SUATU BANDAR UDARA


Untuk membangun suatu bandar udara harus dipilih lokasi yang cocok. Lokasi ini harus memenuhi beberapa kriteria(9),
yaitu :
1) Dekat dengan sumber lalu lintas
2) Bebas dari rintangan
3) Masih tersedia lahan untuk perluasan/perpanjangan landasan
4) Kecocokan medan di sekitarnya untuk pendaratan
5) Kondisi metereologis
6) Biaya konstruksi dan pemeliharaan
7) Hubungannya dengan airways yang ada.
Kriteria-kriteria tersebut tidak selalu sama pentingnya,
misalnya jarak dengan sumber traffic tidak begitu penting bila
bandar udara yang akan dibangun nanti hanya untuk refueling
atau untuk overnight stop (tidak menurunkan penumpang).
Di samping kriteria tersebut juga perlu diperhatikan major
sanitary conditions, yaitu :
1) Jaraknya ke pemukiman penduduk
2) Jaraknya ke daerah nyamuk berkembang biak, terutama
rawa atau genangan air yang tidak mengalir
3) Keberadaan serangga, binatang-binatang kecil dan tikus
4) Arab angin sepanjang tahun yang dapat membawa nyamuk
dari tempat jauh
5) Sifat persediaan air, terutama sumbernya, status kontaminasi dan debitnya yang cukup
6) Dalamnya dan sifat permukaan air tanah
7) Drainage daerah itu berlangsung secara alami atau melalui
saluran buatan.
Semua masalah sanitasi ini harus dianalisis lebih dahulu
sebelum pembangunan bandar udara dimulai, hal ini untuk
mengindari kesulitan-kesulitan baru atau tambahan selama proses
konstruksi bandar udara sedang berjalan. Juga perlu diperhatikan
bahwa tidak semua penumpang itu sehat, tetapi ada orang cacat,
orang tua, wanita hamil dan anak-anak. Maka dalam membangun
suatu bandar udara harus dibuat fasilitas untuk orang-orang

PEMBAGIAN WILAYAH BANDAR UDARA


Dalam rangkapengamanan dan menin gkatkan keselamatan
wilayah bandar udara dibagi menjadi beberapa area, yaitu :
a) Public Area
b) Non-Public Area
c) Restricted Public Area
d) Air Side
e) Land-Side
Definisi dari istilah-istilah tersebut di atas terdapat dalam
Peraturan dan Tata Tertib Bandar Udara, Surat Keputusan nomor : SKEP/100/IX/1985, yaitu :
PublicArea/DaerahPublik ialah : bagian bandar udara yang
terbuka untuk umum.
Non Public Area/Daerah Bukan Publik ialah : bagian dari
bandar udara yang tertutup untuk umum.
Air-Side/Sisi udara ialah : bagian dari bandar udara untuk
operasi pesawat udara dan segala fasilitas penunjangnya yang
merupakan Daerah Bukan Publik.
Land-Side/Sisi darat ialah : bagian dari bandar udara yang
terbuka atau terbatas untuk umum.

FASILITAS-FASILITAS DI BANDAR UDARA


Sesuai dengan fungsinya bandar udara harus menyediakan:
a) Fasilitas yang berhubungan langsung dengan penerbangan,
yaitu landasan pacu, taxiway, apron, tower (ATC), peralatan
navigasi, seperti radar, VASI, VOR, ILS, dsb.
b) Fasiltas penunjang operasi penerbangan, yaitu :
Terminal dengan isinya : kantor, cafetaria, restoran, checkin counter, duty free shop, dsb.
PKP-PK (Pemadam Kebakaran dan Pertolongan Kecelakaan
Penerbangan).
Fasilitas Medik : Airport Medical Center, First Aid Room.
c) Kantor C.I.Q. pada bandar udara internasional, yang artinya :
C = Custom (Bea Cukai)
I = Immigration (Imigrasi)
Q = Quarantine (Karantina, termasuk hewan dan tanaman)
Jadi di bandar udara internasional terdapat dua unit kesehatan,
yaitu :
I. Unit Kesehatan yang berasal dari Departemen Kesehatan,

yaitu KKP (Kantor Kesehatan Pelabuhan, dulu Dinas Karantina)


yang tugas utamanya adalah mencegah keluar/masuknya penyakit menular lewat bandar udara.
II. Unit Kesehatan berasal dari Ditjen Perhubungan Udara,
Departemen Kesehatan, seperti di Bandar Udara Soekarno-Hatta;
unit ini disebut Seksi Kesehatan PT (Persero) Angkasa Pura II;
tugas utamanya adalah : menanggulangi dan mencegah terjadinya kecelakaan penerbangan dan meningkatkan keselamatan
penerbangan aviation safety).
MASALAH-MASALAH KESEHATAN DI BANDAR
UDARA
Bandar Udara yang beroperasi selama 24 jam terus menerus
akan dihadapkan pada masalah-masalah sebagai berikut :
a) Gawat Darurat Bandar Udara
b) Hygiene dan Sanitasi di Bandar Udara
c) Keselamatan dan Kesehatan Kerja
d) Kedokteran Penerbangan (Aviation Medicine)
A) Gawat Darurat Bandar Udara
Gawat Darurat Bandar Udara dapat digolongkan menjadi(7):
1) Gawat Darurat yang melibatkan pesawat, yaitu :
a) Kecelakaan pesawat udara di bandar udara
b) Kecelakaan pesawat udara di sekitar bandar udara
c) Insiden pesawat udara dalam penerbangan
d) Insiden pesawat udara di darat
e) Sabotase, termasuk ancaman bom
f) Pembajakan
2) Gawat Darurat yang tidak melibatkan pesawat yaitu :
a) Kebakaran bangunan
b) Sabotase, termasuk ancaman born
c) Bencana alam
3) Gawat Darurat Medik
B) Hygiene dan sanitasi di bandar udara
Pemeliharaan dan peningkatan hygiene dan sanitasi di
bandar udara akan menyangkut empat masalah (3,4,8,9), yaitu :
a) Penyediaan air (water supply)
b) Kebersihan makanan (food hygiene)
c) Pembuangan sampah dan kotoran (waste disposal)
d) Pemberantasan serangga/binatang yang dapat menularkan
penyakit (vector control)
Hygiene dan sanitasi di bandar udara harus ditangani dengan
sungguh-sungguh, karena bila tidak, dapat membahayakan keselamatan penerbangan.
C) Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari di bandar udara
para petugas dihadapakn kepada hal-hal yang dapat merugikan
kesehatannya. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
a) Bising (noise)
b) Bahan kimia
c) Debu/bahan radioaktif dan Sinar-X, dsb.
d) Gelombang mikro, terdapat pada radar
e) Keadaan yang berbahaya

f)

Polusi udara
Sehubungan dengan hal-hal tersebut perlu diselenggarakan
program KKK (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) untuk
mencegah timbulnya penyakit akibat kerja(2,3,4,5,9).
a) Bising (noise)
Bising yang terdapat di bandar udara terutama berasal dari
mesin pesawat jet yang mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas besar, yaitu 90-110 db atau lebih. Akibat bising yang paling
penting adalah menurunnya pendengaran, dan dapat terjadi tuli
permanen (sensoric deafness). Hampir 15% dari awak darat
airline mengalami gangguan ini secara tak langsung. Dalam
hubungannya dengan pesawat tersebut karyawan dibagi dalam
golongan, yaitu(3,6) :
Golongan I : Mereka yang bekerja dekat sekali dengan
pesawat (kurang dari 8 meter) selama runs up.
Golongan II : Mereka yang relatif dekat (8 - 50 m) pesawat,
misalnya maintenance personnel, starting crew, dan trouble line
personnel.
Golongan lII : Mereka yang kadang-kadang harus bekerja
tidak jauh dari pesawat (50 - 120 m), misalnya pramugari darat,
personel kargo, dsb.
Menurut tingkatan bising (noise level) daerah sekitar pesawat
dibagi menjadi 4 zone yaitu :
Zone A : Daerah dengan tingkatan bising antara 150 dB.
Zone ini jangan dimasuki sama sekali.
Zone B : Daerah dengan tingkatan bising antara 135 - 150
dB. Di daerah ini orang harus berusaha sesingkat mungkin, dan
harus memakai earmuff.
Zone C : Daerah dengan tingkatan bising antara 115 - 135
dB. Semua orang yang bekerja di sini harus memakai earmuff.
Bila hanya sebentar boleh memakai ear-plug.
Zone D : Daerah dengan tingkatan bising antara 100 - 115
dB. Mereka yang bekerja di sini harus mekakai ear-plug terus
menerus.
Untuk mencegah/mengurangi akibat gangguan bising perlu
dilakukan Hearing Conservation Program, dengan cara :
Pemeriksaan Audiometris secara berkala pada karyawan
tersebut di atas.
Dilakukan usaha-usaha pencegahannya , di antaranya ialah
memakai :
a) Helmet : Dipakai bila bekerja dekat sekali dengan pesawat
yang run-up; diperkirakan sebagian bising diserap oleh tulangtulang kepala, jadi perlu helmet.
b) Ear-muff : Dibuat dari plastik atau karet dengan ukuran
small, medium dan large.
Golongan I memakai helmet dan earplug, golongan II
memakai ear-muff, golongan III cukup memakai ear-plug.
Dalam pemeriksaan audiometri, dibuat Base-Line Audiogram untuk frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 c/s,
yang terpenting adalah frekuensi 500, 1000, dan 2000 cis. Bila
ada seorang dengan hearing loss 15 dB atau lebih, perlu dibuat
audiogram ulangan setelah 48 jam bebas dari bising. Pemeriksaan
audiometris secara berkala pada karyawan yang terpapar bising,
dilalukan tiap 2 - 4 tahun sekali.

b) Bahan Kimia
Para personil darat dihadapkan pada bahan kimia, seperti
bahan bakar (bensin, bensol, avtur) minyak hidrolik, larutan
desinfektans, insektisid dsb. Bahan-bahan tersebut dapat me nyebabkan dermatitis kontak, dan bila tertelan atau terhirup
dapat terjadi intoksikasi yang membahayakan(3,6). Oleh karena
itu perlu dicegah dengan cara :
Memakai sarung tangan dan pakaian kerja, bila perlu
masker.
Disediakan tempat cuci tangan, kamar mandi dan kamar
ganti pakaian.
Ventilasi kerja harus baik.
Penyuluhan tentang Kesehatan Kerja.
Pemeriksaan kesehatan berkala (1 - 2 tahun sekalai).
c)

Gelombang Mikro (Microwave)


Dalam pengoperasian Radar digunakan gelombang mikro.
Gangguan yang ditimbulkan gelombang ini akan dirasakan terutama oleh teknisi Radar, jarang pada operator Radar. Gelombang
mikro dapat merusak lensa mata dan terjadilah katarak, atau
dapat juga merusak kelenjar testis, akibatnya adalah kemandulan. Oleh karena hal-hal tersebut perlu dilakukan usaha pencegahannya.
d) Debu/Bahan Radioaktif dan Sinar-X
Petugas ground-handling kadang-kadang harus menangani
muatan yang berisi bahan radioaktif. Bila terjadi kebocoran
dalam pengepakan dapat membahayakan sekitarnya. Dan pesawat
udara secara berkala di R untuk mengetahui keretakan pada
bagian-bagiannya. Kedua radiasi ini dapat membahayakan kesehatan dan perlu dilakukan usaha pencegahannya.
Keadaan yang berbahaya
Petugas teknik pesawat sering harus bekerja di atas sayap
pesawat. Mereka dapat jatuh dan terjadi kecelakaan kerja (ini
hanyalah salah satu contoh).
f) Polusi udara di Bandar Udara
Terjadi karena asap yang keluar dari mesin pesawat, kendaraan ground handling, dan mobil yang lalu lalang. Juga hembusan yang kuat (jet blast) yang keluar dari exhaust pesawat
menyebabkan debu beterbangan; ini akan menambah tingkat
polusi yang sudah ada.

Udara; tetapi bila seorang pilot asing kebutuhan yang lisensi yang
dipunyai habis masa berlakunya, maka Dokter Penerbangan di
bandar udara dapat melakukannya.
2) Penanggulangan/Pencegahan Kecelakaan Pesawat
Udara.
Kecelakaan pesawat paling sering terjadi di bandar udara
atau sekitarnya, yaitu pada waktu landing atau take off. Menjadi
tugas dokter atau team medis di bandar udara untuk memberi
pertolongan pada korban, dan bersama team investigasi dari
Ditjen Perhubungan Udara mengadakan penyelidikan tentang
setelah kecelakaan, dan mengadakan identifikasi korban. Biasanya bandar udara terletak jauh (20 - 30 km) dad kota, maka
bandar udana harus menyediakan fasilitas medis dan protap
(prosedur tetap) untuk penanggulangan kecelakaan tersebut(7).
3) Pengangkutan Orang Sakit Lewat Udara dengan Pesawat
Udara
Tidak semua penumpang pesawat sehat; ada yang cacat
atau sakit untuk berobat ke kota/negara lain yang mempunyai
fasilitas medis lebih lengkap. Untuk itu dokter Penerbangan
harus tabu orang sakit yang boleh dan yang tidak boleh diangkut
dengan pesawat udara komersial(11).
Bandar udara harus menyediakan beberapa ambulance untuk menjemput pasien dari pesawat terus mengantarkannya ke
rumah sakit, atau sebaliknya. Ambulance dari RS/Unit Kesehatan lain tidak diperbolehkan masuk ke daerah parkir (apron),
dengan alasan :
Keamanan dan keselamatan
Pengemudi ambulance dari luar belum mengenal daerah dan
kode-kode di apron.
Knalpot ambulance dari luar tidak memakai saringan.

e)

KEDOKTERAN PENERBANGAN (Aviation Medicine)


Di bandar udara terdapat banyak masalah yang termasuk
dalam Kedokteran Penerbangan. Oleh karena hal tersebut, bandar udara merupakan salah satu tempat yang baik bagi Dokter
Penerbangan (Flight Surgeon) untuk mempraktekkan ilmunya,
dan pejabat Kepala Seksi Kesehatan di bandar udara sebaiknya
seorang Dokter Penerbangan(5).
Masalah-masalah tersebut diantaranya ialah :
1) Petugas ATC
Sesuai dengan ICAO Annex 1 dan CASR (1) semua awak
pesawat dan petugas ATC (Air Traffic Control) harus diperiksa
kesehatannya secara berkala untuk mendapatkan/memperbahat<ui lisensinya. Ini menjadi wewenang Ditjen Perhubungan

KEPUSTAKAAN
1.

CASK (Civil Aviation Safety Regulation) - Part 10 : Pilot Licence - Part


29 : Medical standards.
2. Committee on Aerospace Medicine. Physicians Guide to Airport Medicine.
JAMA (Feb. 13) 1967;
3. Ditjen Perhubungan Udara. Petujunjuk-petunjuk tentang Kesehatan Pelabuhan Udara.
4. Siegel S. Airport Health Problems. Dept. of Health, Education, and Welfare, Washington DC. May 7, 1963.
5. Reighart L. Medical Service at Airport. Boston, USA.
6. IATA (International Air Transport Association). Medical Manual. April 13
1970.
7. ICAO (International Civil Aviation Organization). Airport Service, Airport
Emergency Planning, Doc 9137-AN.898 Part 7, First Ed, 1980.
8. Bailey J. Guide to Hygiene and Sanitation in Aviation, Geneva : WHO,
1977.
9. Mc. Farland. Human Factors In Air Transportation. First Mc Graw-Hill
Book Co 1953, pp. 593 - 632. 405 - 483.
10. Mohler RS et al. Airport Medical Design Guide. Aerospace Medicine
(August) 1972; pp 903 - 911.
11. Wirosoekarto, S. Pengakutan Orang Sakit Lewat Udara. Medika 1980; 6
(7):401 - 7.

Kesiapan
Kesehatan Penumpang Airline
Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim
Garuda Indonesia, Jakarta

ABSTRAK
Bepergian dengan menggunakan pesawat udara komersial merupakan cara yang
cepat, efisien, aman dan menyenangkan. Akan tetapi bagi pasien-pasien tertentu, naik
pesawat udara berarti membuka kemungkinan menerima risiko medis tambahan, yang
kadang-kadang tidak disadari baik oleh pasien maupun dokter mereka. Masalah ketinggian yang menyebabkan hipoksi dan dekompresi, masalah ergonomi, kelelahan,
irama sirkadian, stress sejak keberangkatan hingga mendarat kembali adalah sebagian
dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko medis. Untuk itu dikenal beberapa
pertimbangan yang akan menentukan apakah seseorang/pasien cukup fit untuk terbang
sebagai penumpang pesawat airline/sipil, atau haruskah ia diperlakukan secara khusus.
Dalam makalah ini dikemukakan data pasien yang menggunakan penerbangan
Garuda Indonesia dengan penatalaksanaan medis khusus sesuai dengan ketentuan
IATAFitness for Air Travel.
Kata Kunci : fitness - penerbangan - IATA.

PENDAHULUAN
Teknologi pembuatan pesawat terbang modern berkembang
pesat sekali dalam dekade 90-an, sejalan dengan itu industri jasa
penerbangan juga menunjukkan pertumbuhan dengan semakin
banyak rute penerbangan dibuka dan penambahan frekuensi penerbangan. Kemajuan teknologi memungkinkan waktu tempuh
dipersingkat, sehingga bepergian dengan menggunakan pesawat
udara komersial sekarang ini semakin cepat, aman, efisien dan
menyenangkan.
Pada umumnya orang yang bepergian dengan pesawat udara
mempunyai kesehatan yang cukup baik. Terhadap mereka, penerbangan dapat dikatakan tidak mengakibatkan gangguan yang
bermakna. Akan tetapi dengan pesatnya perkembangan industri.
jasa penerbangan, meningkat pula jumlah orang sakit, lemah dan
Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30
Oktober 1993.

cacat yang bepergian dengan pesawat udara komersial; banyak


di antara mereka yang mengadakan perjalanan untuk memperoleh pengobatan, maupun pasien yang sengaja ditransportasikan
lewat udara. Sedangkan mereka yang berusia lanjut atau mempunyai kelemahan fisik, memilih perjalanan udara karena singkatnya waktu terbang akan sangat mengurangi kelelahan, di
samping itu pada umumnya perusahaan penerbangan memberikan pelayanan khusus bagi mereka.
Selama penerbangan pesawat terbang merupakan suatu
tempat dengan lingkungan khusus yang dapat mempengaruhi
kenyamanan dan kesehatan pasien tertentu. Efek dari ketinggian,
masalah ergonomik, variasi iklim, perubahan zona waktu (irama
sirkadian) dan faktor-faktor fisik serta fisiologis lainnya harus
diperhatikan. Selain itu juga perlu dipertimbangkan adanya ke-

terbatasan ruang dan fasilitas dalam kabin, stress fisik dan mental
selama menunggu pada saat keberangkatan dan kedatangan, kelelahan dalam perjalanan, dan estetika penempatan pasien dalam
kabin. Adanya orang sakit dalam pesawat terbang-memerlukan
penanganan yang tepat untuk memberikan kenyamanan yang
maksimal bagi pasien dan meminimalkan timbulnya gangguan
bagi penumpang lain. Beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum diputuskan apakah seorang yang sakit boleh melakukan
perjalanan melalui udara.
IATA (International Air Transport Association) memberlakukan ketentuan tentang keadaan pasien yang diperkenankan
untuk terbang dengan pesawat terbang komersial, dan sebagai
salah satu anggota IATA, Garuda Indonesia menggunakan formulir MEDIF (Medical Information Form for Air Travel) yang
mengacu pada ketentuan tersebut. Pengambilan keputusan bahwa
seorang pasien dapat mengikuti penerbangan Garuda dengan
segala persyaratannya, ditentukan oleh Pusat Kesehatan dan
Pelayanan Medis Garuda Indonesia.
PERSYARATAN PENGANGKUTAN PENUMPANG
SAKIT
Perusahaan penerbangan komersial tidak dapat menerbangkan penumpang sakit atau cacat dalam penerbangan berjadual,
apabila dengan mengangkut mereka akan menimbulkan kerugian/gangguan pada penumpang sehat. Juga tidak diperkenankan
mengangkut orang sakit yang sikap dan tingkah lakunya dapat
membahayakan atau menimbulkan ketegangan pada penumpang lainnya. Selain itu karena kondisi fisik dan fisiologik selama penerbangan dapat mempengaruhi bahkan memperburuk
kondisi pasien dengan penyakit tertentu, maka perusahaan penerbangan mempunyai hak untuk memutuskan dapat tidaknya
seorang calon penumpang yang sakit/cacat, ikut dalam penerbangan mereka.
Pada prinsipnya penilaian didasarkan atas pertimbangan
fisiologis dan fisik, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh
unit kesehatan perusahaan penerbangan atau dokter yang ditunjuk perusahaan. Informasi lengkap tentang keadaan klinis
calon penumpang yang sakit diperlukan untuk pengambilan keputusan dapat tidaknya ditransportasikan dengan pesawat udara,
apakah memerlukan pendamping tenaga medis; di samping itu
untuk merencanakan persiapan alat yang harus disediakan misalnya stretcher case, kursi roda, oksigen, makanan khusus dan lainlain.
Dokter yang menangani pasien yang akan ditransportasikan
pesawat Gamda harus mengisi formulir MEDIF dalam rangkap
3 (tiga), kemudian dokter perusahaan akan memeriksa dan
memutuskan dapat tidaknya pasien diangkut dengan pesawat
terbang. Sekaligus ditentukan pula peralatan yang dibutuhkan
untuk mengangkut pasien, serta kebutuhan adanya pendamping,
apakah cukup pendamping dari keluarga ataukah diperlukan
tenaga medis.
Kadang-kadang calon penumpang yang sakit boleh terbang
tanpa persyaratan tertentu (seperti penumpang sehat) atau diperbolehkan mengikuti penerbangan dengan syarat-syarat tertentu,

sesuai dengan kondisinya. Akan tetapi tidak jarang dokter perusahaan memutuskan penundaan pengangkutan calon penumpang yang sakit demi keselamatannya, sampai kondisinya dianggap memungkinkan untuk mengikuti penerbangan.
Perencanaan yang baik sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan bagi pengangkutan penumpang yang sakit, oleh
karena itu pembukuan untuk penumpang sakit yang akan ikut
dengan penerbangan Garuda minimal harus dilakukan 2 (dua)
hari sebelum tanggal keberangkatan. Sewaktu mengurus pembukuan, harus membawa formulir MEDIF yang telah disetujui
dan disahkan oleh Pusat Kesehatan dan Pelayanan Medis Garuda
Indonesia bila di Jakarta atau dokter langganan Perusahaan bila
di daerah.
Pada waktu check-in, formulir MEDIF yang telah disetujui
harus diserahkan bersama tiket calon penumpang yang sakit,
karena pesawat dan pimpinan awak kabin harus mengetahui
keberadaan serta kondisi penumpang sakit yang ikut dalam
penerbangan mereka.
FASILITAS YANG DAPAT DISEDIAKAN
Fasilitas khusus untuk pengangkutan penumpang sakit/
cacat/lemah dapat disediakan oleh perusahaan penerbangan,
akan tetapi harus tersedia cukup waktu untuk mempersiapkannya. Fasilitas tersebut antara lain adalah kursi roda, stretcher,
oksigen selama perjalanan, diet khusus untuk penderita kencing
manis, diet rendah kholesterol, diet rendah garam dan lain-lain.
Tabung oksigen di pesawat terdapat balk di kokpit maupun di
kabin, yang jumlahnya berbeda-beda tergantung tipe pesawat,
dan untuk keadaan damrat medik tersedia doctor's kit.
Fasilitas yang tidak dapat disediakan adalah fasilitas untuk
perawatan khusus, seperti EKG, defibrilator, alat infus. Tenaga
medis yang akan mendampingi penumpang sakit sampai saat ini
masih harus diusahakan sendiri oleh penumpang.
PRINSIP PENILAIAN KESEHATAN CALON PENUMPANG
A. Pertimbangan Fisiologik
Lingkungan selama penerbangan pada umumnya tidak
mengakibatkan gangguan yang bermakna pada penumpang sehat, akan tetapi untuk penumpang yang lemah/cacat atau sedang
menderita penyakit dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Penyebab terjadinya perubahan fisiologik selama penerbangan antara lain adalah :
1) Akselerasi dan deselerasi
Gaya akselerasi dan deselerasi yang terjadi pada waktu
lepas landas dan mendarat bukan merupakan gangguan untuk
penumpang sehat dan penerbangan komersial (airline). Bagi
penumpang yang duduk, gaya yang bekerja adalah pada arah
abdomen-punggung dan sedikit pada arah kepala-kaki sehingga
mudah ditoleransi; akan tetapi bagi penumpang sakit yang harus
berbaring, maka gaya yang bekerja terjadi sepanjang sumbu
badan, sehingga efeknya cukup bermakna.
Bila kepala terletak di arah depan pada saat lepas landas, dan
pesawat dalam posisi climbing akan terjadi venous pooling, yang

dapat mengakibatkan penurunan output jantung; hal ini mungkin


membahayakan pasien-pasien dengan kondisi tertentu.
Untuk menghindari hal tersebut, posisi yang dianjurkan kepala di arah belakang, sehingga bila ditakutkan terjadi gangguan
pada kepala akibat gaya akselerasi ke kepala, dengan mudah
dapat diatasi dengan meninggikan letak kepala dan badannya.
2) Masalah ketinggian dan perubahan tekanan udara
Pasien pada umumnya tidak diperkenankan terbang kalau
penyakitnya akan memburuk bila terpapar lingkungan yang
hipoksik atau tekanan udara yang rendah. Semakin tinggi dari
permukaan laut, tekanan udara akan semakin rendah.
Pesawat terbang modern pada umumnya beroperasi pada
ketinggian di antara 25.000 kaki 40.000 kaki dengan tekanan
dalam kabin yang dipertahankan agar setara dengan tekanan
pada ketinggian antara 5.000 kaki 7.000 kaki, sistem kabin
bertekanan pada umumnya dapat mengatasi masalah fisiologis
yang timbul pada ketinggian tersebut.
Pada ketinggian 6.000 kaki tekanan parsial oksigen di
alveoli akan turun dari 103 mmHg menjadi 77 mmHg, dan
saturasi oksigen akan turun 3%. Penurunan tekanan parsial
oksigen ini tidak akan mengganggu penumpang yang relatif
sehat, namun dapat mengganggu penumpang penderita penyakit
yang peka dengan keadaan hipoksia seperti beberapa penyakit
jantung (gagal jantung, infark miokard), anemia berat, gangguan
sirkulasi darah otak, fungsi paru yang kurang baik dan lain-lain.
Pasien dengan bronkitis kronik, emfisema, bronkiektasis dan
korpulmonale, mungkin membutuhkan O2 tambahan selama
penerbangan. Bila waktu penerbangan lama, pemberian O2
murni dilakukan di kabin, sehingga mungkin dapat dipilih cara
oximetri-telinga sebagai cara melakukan kontrol selama penerbangan.
Terbang dengan tekanan udara kabin yang setara dengan
ketinggian 6.000 kaki juga berarti berada pada lingkungan
dengan tekanan udara kurang lebih 610 mmHg. Hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya volume gas di dalam ronggarongga tubuh sesuai dengan Hukum Boyle; 100 ml gas akan
mengembang menjadi 130 ml.
Keadaan ini akan mengganggu penumpang dengan penyakit THT seperti sinusitis, radang telinga tengah, terutama bila
banyak lendir di dalam saluran, yang akan menghambat terjadinya penyesuaian tekanan udara. Demikian juga mereka
yang menderita penyakit gigi, penyakit saluran pencernaan,
pneumotoraks, dapat terganggu karena mengembangnya gas
dalam rongga tubuh.
3) Rasa takut dan cemas
Banyak orang yang mempunyai rasa takut atau merasa
cemas dengan perjalanan udara. Sebagian memang pada dasarnya takut naik pesawat udara, mereka yang bila dibebaskan untuk
memilih, pilihan mereka adalah tidak mengadakan perjalanan
atau perjalanan dengan kendaraan darat.
Awak pesawat dilatih untuk mengenali, memperkirakan
serta menangani penumpang yang takut atau cemas. Biasanya
dengan tindakan persuasi sudah berhasil. Penumpang yang
mempunyai kecemasan berlebihan sebaiknya meminum obat
penenang sebelum terbang.

4) Perbedaan waktu dan irama sirkadian


Problem yang terjadi karena penerbangan jarak jauh adalah
kelelahan dan gangguan irama sirkadian karena perbedaan
waktu. Dalam penerbangan dari timur ke barat dan sebaliknya,
dalam beberapa jam akan dilampaui beberapa zona waktu, sehingga sikluskehidupan sehari-hari akan mengalami perubahan.
Apabila perbedaan waktu di tempat baru dan di tempat asal
mencapai 12 jam, diperlukan waktu kurang lebih satu minggu
untuk penyesuaian dan bila perjalanan dari barat ke timur, waktu
penyesuaian akan lebih lama dibandingkan bila terbang dari
timur ke barat. Gangguan yang timbul adalah kurang tidur
karena perbedaan waktu tidur, dan gangguan pencernaan karena
perbedaan waktu makan.
5) Stress
Stress dapat timbul selama dalam perjalanan, baik stress
fisik maupun mental, yang terjadi sewaktu menunggu keberangkatan atau di ruang kedatangan karena ruangan tunggu
yang kurang nyaman, penundaan jadual penerbangan, fasilitas
yang terbatas selama perjalanan serta perubahan lingkungan/
cuaca/zona waktu.
B. Pertimbangan Fisik
1) Masalah Ergonomik
Ruangan yang tersedia di pesawat sangat terbatas sehingga
menyulitkan posisi pasien yang karena sakitnya masih bisa
duduk, tetapi memerlukan tempat yang longgar, seperti kaki
yang digips, lutut yang tidak dapat ditekuk dan lain-lain.
Di dalam pesawat sebenarnya terdapat beberapa tempat
duduk yang lebih longgar dari tempat lainnya, seperti di deretan
paling depan dari kelas ekonomi, dan di dekat pintu darurat.
Akan tetapi tempat duduk deretan paling depan tersebut biasanya
diberikan kepada ibu yang membawa bayi, sedangkan peraturan
keselamatan penerbangan melarang ditempatkannya seorang
penumpang sakit di depan pintu darurat. Oleh karena itu penumpang yang memerlukan tempat yang lebih longgar harus
mempergunakan stretcher atau duduk di first class.
2) Pemakaian stretcher
Penumpang sakit yang tidak dapat duduk, atau yang sakitnya
cukup berat dan mengharuskannya untuk berbaring, dapat diangkut dengan menggunakan stretcher. Untuk pemasangan
stretcher diperlukan sembilan tempat duduk dan ruangan stretcher
tersebut dipisahkan dari tempat duduk penumpang dengan
menggunakan tirai.
Penumpang yang sakit cukup berat harus diantar oleh tenaga
kesehatan (dokter atau perawat), karena awak kabin tidak dilatih
untuk memberikan perawatan/pengobatan penumpang sakit.
Selain itu sebagai pengelola makanan, mereka tidak diperbolehkan memegang peralatan yang dipergunakan penumpang sakit.
PENYAKIT/KEADAAN YANG PERLU PERTIMBANGAN MEDIK
IATA melaporkan bahwa dari 120 perusahaan penerbangan
(airline), selama tahun 19771984 telah terjadi 577 kematian
penumpang dalam penerbangan. Umumnya mereka adalah penumpang yang tampak sehat, dan meninggal aldbat serangan

jantung. Dari 17 juta penumpang yang diangkut oleh British


Airways selama kurun waktu 19791980, telah terjadi 1063
medical accident, 8 di antaranya termasuk major accident.
Sedangkan 1 dari 350 penumpang yang diangkut oleh British
Airways dilaporkan adalah mereka yang mempunyai cacat/
kelemahan fisik (disability). The American Medical Services
memperkirakan 4647 kematian penumpang per tahun terjadi
di Amerika.
Oleh karena itu penilaian kondisi calon penumpang yang
sakit untuk dapat diizinkan melakukan perjalanan dengan pesawat udara sangat penting untuk mencegah terjadinya medical
emergency maupun kematian selama penerbangan.
Penyakit atau keadaan yang memerlukan pertimbangan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat), yaitu :
1) Penyakit yang diperberat oleh perjalanan udara
Perjalanan dengan pesawat terbang mengakibatkan keadaan
yang akan memperberat penyakit, yaitu hipoksia karena berkurangnya suplai oksigen, dan terjadinya pengembangan gas di
dalam rongga tubuh.
Yang akan diperberat oleh kondisi hipoksia adalah penyakit
jantung, paru-paru, kelainan darah, kencing manis, gangguan
sistem saraf, epilepsi dan lain-lain. Sedangkan yang diperberat
oleh karena terjadinya pengembangan gas dalam rongga tubuh
antara lain adalah sinusitis, radang telinga tengah, gangguan
pencernaan, pneumotoraks, TBC paru dengan kavitas dan sebagainya.
Penyakit Kardiovaskuler
Gagal jantung yang tidak terkontrol dan infark miokard
yang terjadi kurang dari 6 minggu, adalah kontraindikasi untuk
terbang. Penumpang dengan penyakit tekanan darah tinggi yang
berat, diperkenankan mengadakan perjalanan dengan pesawat
udara bila yang bersangkutan minum obat dan sebaiknya tidak
mengadakan perjalanan jauh/lama, karena hipoksia akan menaikkan tekanan darah.
Penderita angina pektoris berat sebaiknya juga tidak melakukan perjalanan udara dan bila terpaksa harus disediakan
oksigen selama perjalanan. Pasien dengan cardiac reserve yang
buruk membutuhkan penilaian yang teliti sebelum diizinkan
terbang. Sebagai petunjuk praktis dapat dikatakan bahwa pasien
yang dapat berjalan sejauh 80 m dan naik 1012 anak tangga
tanpa gejala sesak nafas, diperkenankan menjadi penumpang
pesawat terbang.
Penyakit saluran pernafasan
Penderita penyakit pm-pm dengan kapasitas vital kurang
dari 50% seperti pada pneumonia, bronkhiektasis, emfisema,
fibrosis atau keganasan, dapat mengalami hipoksia pada ketinggian rendah, misalnya 5.000 kaki; Oleh karena itu harus
tersedia oksigen selama perjalanan. Pasien asma yang tidak
dalam serangan atau dalam keadaan terkontrol tidak dilarang
untuk terbang, namun bila masih memproduksi banyak sputum
sebaiknya tidak diperkenankan terbang, karena selain akan mempengaruhi ventilasi paru, hal tersebut juga akan mengganggu
penumpang lain.
Pada umumnya, pasien dengan dispnu saat istirahat tidak

diperkenankan terbang. Pasien dengan toleransi rendah terhadap


latihan (dispnu setelah berjalan 50 m) memerlukan penilaian
lebih lanjut dengan uji fungsi paru. Pasien pasca operasi rongga
dada, sebaiknya baru diperkenankan terbang setelah 3 minggu
pasca operasi karena adanya bahaya ekspansi udara di rongga
dada yang dapat menambah kerusakan jaringan paru-paru. Karena alasan yang sama, pasien pneumotoraks tidak diperkenankan terbang, sampai gambaran radiologik menunjukkan pengembangan paru.
Penyakit darah
Pasien dengan anemia berat, biasanya bila kadar Hb di
bawah 7,5 g/100 ml (50%, atau jumlah sel darah merah kurang
dari 2,5 juta per mm3, merupakan kontraindikasi untuk terbang.
Penderita leukemia selain karena keadaan anemia juga cenderung
mengalami perdarahan; karena itu penderita penyakit ini hanya
diperkenankan terbang dalam upaya mendapatkan pengobatan.
Penyakit kencing manis
Penyakit kencing manis tidak diperkenankan terbang apabila kadar gula darah puasa melebihi 250 mg/100 ml, atau
memakai insulin lebih dari 50 unit per hari.
Penyakit susunan saraf pusat
Pasien yang belum genap 3 minggu mengalami serangan
stroke atau infark serebral akut, tidak diijinkan terbang. Dan
karena pasien seperti ini sering confused, maka sebaiknya ada
yang mendampingi.
Adanya udara dalam rongga kepala (karena patah tulang kepala) merpakan kontraindikasi untuk terbang, tetapi penderita
trauma kepala, tumor otak pada umumnya diijinkan terbang
dengan perhatian khusus dan persiapan oksigen.
Pasien epilepsi sebaiknya dinaikkan dosis obatnya 24 jam
sebelum terbang, mengingat kemungkinan timbulnya serangan
akibat faktor hipoksia, hiperventilasi, kelelahan dan stress.
Penyakit saluran pencernaan
Setidaknya dibutuhkan waktu 10 hari, sebelum pasien yang
baru mengalami operasi abdomen diperbolehkan terbang. Waktu
ini dapat diperpanjang apabila ada komplikasi ileus paralitik.
Pasien pasca operasi besar seperti pemotongan usus, baru
dapat diizinkan melakukan perjalanan melalui udara 6 minggu
setelah operasi. Perdarahan di saluran cerna dapat aktif selama
penerbangan, sehingga sebaiknya pasien dilarang terbang sebelum 3 minggu pasca perdarahan terakhir. Pasien dengan
ileostomi atau kolostomi perlu membawa dressing lebih banyak
selama penerbangan, karena kantong kolostomi akan terisi lebih
cepat.
Penyakit THT
Pasien yang baru mengalami operasi telinga tengah, sebaiknya tidak terbang sampai rongga telinga tengah kering dan luka
teratasi dengan baik. Penderita gangguan sinus, infeksi kronis
hidung dan radang telinga tengah sebaiknya menunda perjalanan
dengan pesawat terbang.
Cidera patah tulang
Pasien patah tulang dengan gips sebaiknya tidak terbang
bila pada daerah yangcedera tersebut masih edema, karena udara
yang terjebak di dalamnya akan mengembang dan dapat menim-

bulkan nyeri. Patah tulang belakang dan sendi panggul harus


mendapat perhatian khusus, karena goncangan pesawat sewaktu
lepas landas atau mendarat akan mempengaruhi pasien.
2) Penyakit menular atau yang membahayakan kesehatan
penumpang lain
Secara umum perusahaan penerbangan tidak diperkenankan
mengangkut seseorang yang menderita penyakit menular, termasuk penyakit karantina, karena risiko terjadinya penularan
kepada penumpang lain.
3) Pasien yang ofensif (eenderung menyerang) atau mengganggu penumpang lain
Penumpang yang kondisi medis dan perilakunya ofensif,
penderita penyakit jiwa dengan perilaku yang mengganggu harus
diberi preparat penenang dan disertai pendamping. Penderita
psikosis akut merupakan kontra indikasi terbang; psikosis dalam
episode tenang apabila menunjukkan gejala agresif harus diikat
di tempat duduknya. Calon penumpang yang mabuk minuman
keras tidak diperbolehkan naik pesawat terbang.
4) Keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan
khusus
Kehamilan
Hamil tua merupakan kontra indikasi untuk perjalanan dengan pesawat terbang, dan setiap ibu hamil tentu tidak akan
pernah membayangkan untuk melahirkan di pesawat terbang.
Karena alasan tersebut, dan adanya risiko terjadinya kelahiran
prematur akibat stress fisiologik dan psikologik dari lamanya
waktu penerbangan, batas usia kehamilan yang masih diperkenankan dalam penerbangan jarak jauh adalah kehamilan kurang
dari 36 minggu, untuk primi gravida; sedangkan batas untuk
multi gravida adalah 32 minggu. Untuk penerbangan jarak dekat
(domestik), tidak ada pembatasan usia kehamilan bagi primi
gravida, sedangkan batas usia kehamilan yang masih diperkenankan bagi multi gravida adalah 36 minggu. Semua kondisi di
atas masih disertai catatan bahwa kehamilannya normal, dan
riwayat persalinan terdahulu juga normal.
Bayi
Bayi yang lahir cukup bulan, tidak mempunygi kelainan
jantung dan sistim pernafasan, umumnya mempunyai toleransi
yang cukup baik terhadap perjalanan melalui udara. IATA dalam
buku petunjuk pengangkutan penumpang sakit menetapkan umur
7 (tujuh) hari sebagai batas diijinkannya bayi naik pesawat
terbang. Pada waktu pesawat turun, sebaiknya bayi dalam keadaan terbangun dan diberi minum, untuk mencegah terjadinya
barotitis media.
Orang lanjut usia
Tidak ada kontra indikasi untuk melakukan perjalanan udara
karena faktor usia saja, karena toleransi orang tua sehat terhadap
masalah ketinggian adalah sama dengan orang berusia lebih
muda.
Kasus-kasus terminal
Calon penumpang yang sakit berat dan tidak akan bertahan
sampai dengan akhir perjalanan, tidak dapat diangkut dengan
pesawat terbang. Apabila pasien tersebut sampai meninggal di

pesawat akan menimbulkan kesulitan administratif, di samping


terganggunya jadual penerbangan. Selain itu juga mengakibatkan stres pada awak pesawat serta penumpang lainnya.
DATA PENUMPANG GARUDA DENGAN PERTIMBANGAN MEDIK KHUSUS SESUAI KETENTUAN
IATA SELAMA TAHUN 1991 1992
Dalam kurun waktu tahun 1991 dan 1992, jumlah penumpang sakit/cacat/lemah yang terbang dengan Garuda Indonesia
setelah mendapat izin dengan penatalaksanaan medik khusus,
sesuai ketentuan IATA adalah 208 orang dan 189 orang.
Yang paling banyak dijumpai adalah kasus Penyakit Susunan Syaraf Pusat (26%). Hampir setengahnya adalah yang
menderita kelainan akibat stroke hemorhagik (12%). British
Airways melaporkan keadaan yang sama, bahwa kasus yang paling sering dijumpai adalah masalah medik yang berhubungan
dengan gangguan Susunan Syaraf Pusat.
Penumpang dengan penyakit saluran cerna, termasuk tumor
intra abdomen, tercatat sebagai kasus terbanyak nomor dua, yaitu
14%. Sedangkan kasus penyakit jantung dan pembuluh darah,
penyakit saluran nafas, dan pasien dengan stadium lanjut keganasan, jumlahnya kira-kira sama yaitu sekitar 8%. Yang paling sedikit adalah kasus gangguan jiwa, hanya 0,5%.
Penanganan untuk penumpang hamil selama dua tahun
jumlahnya 30 kasus (7,5%), akan tetapi lebih dari setengah dari
kasus yang dijumpai ternyata calon penumpang dengan usia
kehamilan krang dari 32 minggu (16 kasus), yang sebetulnya
tidak memerlukan pertimbangan khusus. Jumlah kasus dengan
usia kehamilan 32 36 minggu adalah 12, dan hanya satu kasus
diketahui usia kehamilannya lebih dari 36 minggu.
Lebih dari setengah penumpang sakit yang mengadakan
perjalanandenganGarudadiangkutdenganstretcher, yaitu sekitar
63% kasus menggunakan kursi roda, dan sisanya dapat duduk
biasa. Dari sejumlah 397 penumpang sakit yang terbang, 367
di antaranya harus didampingi (92%). Pendampingnya adalah
keluarga sendiri (49%), perawat (25%), dokter (18%), dokter dan
perawat (4%), dokter dengan keluarga (1%), serta sisanya didampingi oleh perawat dan keluarga. Penumpang sakit yang harus diangkut dengan stretcher semuanya membutuhkan tenaga
medis sebagai pendamping baik dokter, perawat, bahkan kadang-kadang kedua-duanya.
KESIMPULAN
Garuda Indonesia telah mentransportasikan penumpang sakit/cacat/lemah sesuai dengan ketentuan IATA. Dengan prosedur yang telah dilaksanakan selama ini, kasus-kasus yang minta
izin untuk terbang umumnya memang kasus yang harus mendapatkan pertimbangan medik khusus, kecuali kasus kehamilan
yang berusia kurang dari 32 minggu.
KEPUSTAKAAN
1. Adi Asmono. Ilmu Kesehatan Penerbangan. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Garuda Indonesia, 1988. pp 103-116.
2. Spoor DH. The Passenger and the Patient in Flight. In de Hart (ed) :

Fundamentals of Aerospace Medicine. Philadelphia: Lea & Febiger, 1985,


pp 595610.
3. Harding RM, Mills FJ. Aviation Medicine. 2nd ed Br Med J 1983, 2054.
4. Dhenin SG. Aviation Medicine, Health and clinical aspects. Trimed Book
limited, London, 1978.

Lampiran 1. Data Penggunaan Form IATA Penumpang Garuda Selama


Tahun 1991 dan 1992
Golongan Penyakit
I. Penyakit Susunan Saraf
1. Stroke hemorhagik
2. Stroke non hemorhagik
3. Kelumpuhan
4. Tumor otak
5. Hidrosefalus
6. Pasca Peradangan Otak

2.

20

15

13

13

15

28

VII. Penyakit Tulang, Sendi & Otot

13

VIII. Penyakit Diabetes Mellitus dengan Penyulit


a. Berupa kelainan pembuluh darah, ginjal,

15

b.

Patah tulang lainnya

saraf
Infeksi/Gangren

23
4
16
9
1
2

25
9
6
5
1
2

48
13
22
14
2
4

55

48

103

2
4
6
2
1

2
1
4

4
5
10
2
2

19

12

31

10

10

20

3
6
6
1

5
5
7
1

8
11
13
2

26

28

54

10
3
I
1

9
1

19
4
1
1

Jumlah
Jumlah PenumPenum- pang
pang Harus Doctor
Sakit Didam- (D)
pingi

18

18

36

'91 '92 '91 '92 '91 '92 '91

'92 '91 '92 '91 '92 '91 '92 '91 '92

Penyakit Ginjal & Saluran Kemih


1. Kegagalan Ginjal

208 189 193 174 41 26 53

40

2.
3.
4.
5.

3
2
2
1

4
1

7
3
2
1

II. Penyakit Jantung & Pembuluh Darah


1. Gagal Jantung
2.
3.
4.
5.
6.

Infark Miokard
Insufisiensi koroner
Hipertnsi
Penyakit Jantung Kongenital
Aneurisma Aorta

III.
1.

Penyakit Saluran Cerna


Tumor Intra Abdomen
a. Hepatoma
b.
2.
3.
4.

Tumor
Sirosis Hepatis
Pasca Operasi Laparatomi
Ulkus Lambung

IV. Penyakit Saluran Nafas


1. Asma Bronkhial
2.
3.

4.

V.

1991 1992 Total

VI. Patah Tulang


1. Patah tulang Kolumna Vertebralis

14

Penyakit Paru Obstruktif Menahun


Keganasan
a. Karsinoma Paru
b. Karsinoma Nasofaring
c. Karsinoma Laring
Efusi Pleura

Hipertrof/Karsinoma Prostat
Sindrom Nefrotik
Karsinoma Ginjal
Pasca Transplantasi Ginjal

10

17

IX. Manula dengan Kelemahan

X.

18

17

35

XI. Kehamilan

14

16

30

XII. Gangguan Jiwa

XIII. Lain-lain
(Combustio, Trauma, Post Operasi lain, dll).

12

11

23

208

189

397

Keganasan Lain/Stadium Lanjut

Total

Lampiran 2. Data Angkutan Penumpang Sakit Garuda Selama Periode


Tahun 1991 dan 1992
Cara Pengangkutan
Jumlah

Stretcher
Case

Wheel
Chair

Sitting Case
Accompanied

1991

1992

1991

1992

1991

1992

1991

1992

208

189

132

117

42

41

34

31

Escorted by
Nurse
(N)

Other
(O)

93 86

D+N

12

Only the man who knows much can know how little he knows

D+O

N+O

Lakespra Saryanto
sebagai Pusat Pembinaan
Kesehatan Penerbangan
Kol. Kes. Dr. Hartono P. DSKP
Perkespra Pusat, Jakarta

ABSTRAK
TNI Angkatan Udara sebagai pembina berbagai aspek kedirgantaraan nasional pada
tahun 1965 telah mendirikan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa
(Lakespra), yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
kegiatan penerbangan. Lembaga ini didirikan selain untuk menghadapi perkembangan
ilmu dan teknologi kedirgantaraan saat itu, juga disiapkan untuk mengantisipasi perkembangan yang akan timbul dalam dekade berikutnya.
Pimpinan Lembaga yang pertama adalah Alm. Dr. Saryanto, yang selanjutnya nama
beliau diabadikan pada sebutan resmi Lembaga Kesehatan Penerbangan ini.
Tugas pokok dari Lakespra Saryanto adalah membina kesehatan awak pesawat dan
petugas khusus TM-AU, agar mereka dapat tetap sehat serta fit untuk menjalankan tugastugas terbangnya. Dalam perkembangan selanjutnya Lembaga ini ternyata tidak saja
berfungsi dalam pembinaan kesehatan penerbangan di lingkungan TM-AU, tetapi juga
dalam lingkup ABRI maupun Nasional pada umumnya.
Bidang-bidang tugas yang selama ini dilaksanakan meliputi antara lain : seleksi
calon maupun anggota awak pesawat, Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA),
Rehabilitasi medik awak pesat, pemeliharaan dan peningkatan kesempatan jasmani,
penelitian dan pengembangan kesehatan penerbangan serta pendidikan di bidang kesehatan penerbangan.
Lakespra Saryanto juga aktif dalam membina kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan Kedirgantaraan misalnya : Aerosport (FASI), Tim Pendaki Gunung, Human
Engineering IPTN, Evakuasi Medik Udara dan lain-lain.
PENDAHULUAN
TNI Angkatan Udara sebagai Pembina Kedirgantaraan Nasional pada tahun 1985 telah mendirikan Lembaga Kesehatan
Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA), yang bertujuan untuk mewadahi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
penanganan masalah-masalah kesehatan dalam dunia penerbangan. Lembaga ini dipimpin pertama kali oleh almarhum dr.
Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.

Saryanto, yang namanya kemudian diabadikan pada nama 1embaga ini menjadi Lakespra Saryanto. Lembaga ini berperan aktif
dalam menangani berbagai masalah kesehatan penerbangan di
lingkungan TNI-AU/ABRI maupun lingkup Nasional pada
umumnya.
Secara organisatoris Lakespra Saryanto merupakan satuan
pelaksana pusat Direktorat Kesehatan TNI-AU, yang mem-

punyai tugas pokok untuk membina kesehatan awak pesawat


serta petugas khusus matra udara lainnya. Termasuk dalam pembinaan ini adalah upaya pemeliharaan dan peningkatan kesaptaan jasmani seluruh anggotaTNl-AU. Dalam program pembinaan
awak pesawat ini, Lakespra Saryanto menyelenggarakan uji
badan baik yang bersifat seleksi maupun periodik, Indoktrinasi
dan Latihan Aerofisiologi (ILA), serta program rehabilitasi
medik terhadap kelainan-kelainan yang berhubungan dengan
tugas penerbangan.
Sebagai suatu lembaga ilmiah Lakespra Saryanto juga melaksanakan berbagai pendidikan, latihan, penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan serta teknologi
kesehatan penerbangan, baik yang diselenggarakan secara mandiri maupun bekerjasama dengan instansi-instansi ilmiah yang
terkait misalnya FKUI, IPTN dan lain-lain.
ORGANISASI
Struktur organisasi Lakespra Saryanto ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kasau No. Kep/20/III/1985 tanggal 11
Maret 1985, yang tertuang dalam bentuk Pokok-pokok Organisasi dan Prosedur Lakespra Saryanto.
Secara garis besar susunan organisasi yang telah ditetapkan
adalah sebagai berikut :
a. Eselon Pimpinan
b. Eselon Pembantu Pimpinan, yang terdiri dari :
1. Sekretaris lembaga
2. Kelompok Ahli
c. Eselon Pelaksana, yang terdiri dari :
1. Laboratorium Aerofisiologi
2. Laboratorium Penunjang
3. Aeroklinik
4. Klinik Kesamaptaan Jasmani
TUGAS POKOK DAN FUNGSI
Tugas pokok Lakespra Saryanto adalah membina awak
pesawat dan petugas khusus matra udara TNI-AU/ABRI serta
memelihara dan meningkatkan kesamaptaan jasmani anggota
TM-AU dalam rangka menunjang terlaksananya tugas-tugas
operasional penerbangan dengan sebaik-baiknya. Dalam pelaksanaan tugas pokok tersebut, Lakespra Saryanto menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a) Uji badan calon anggota awak pesawat
b) ILA bagi awak pesawat dan petugas khusus matra udara
c) Rehabilitasi medik awak pesawat dan petugas khusus matra
udara
d) Pemeliharaan dan peningkatan kesamaptaan jasmani anggota TM-AU
e) Pendidikan di bidang Kesehatan Penerbangan
f) Penelitian dan pengembangan ilmu Kesehatan Penerbangan
g) Kegiatan Pusat Rujukan Diagnostik bagi jajaran Kesehatan
TNI-AU.
KEGIATAN LAKESPRA SARYANTO
Lakespra Saryanto sejak tahun 1965 hingga saat ini telah
melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam lingkup pembinaan

kesehatan awak pesawat TNI-AU/ABRI maupun nasional, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
penerbangan yang terjadi. Kegiatan tersebut meliputi aspek
seleksi media calon awak pesawat, retensi awak pesawat, ILA,
Pendidikan di bidang kesehatan Penerbangan serta upaya-upaya
lainnya yang berkaitan dengan dukungan terhadap unsur manusia
dalam rangka mewujudkan keamanan serta keselamatan penerbangan.
Uji Badan
Kegiatan ini dilaksanakan terhadap calon maupun anggota
awak pesawat dan petugas khusus matra udara lainnya, dalam
rangka program seleksi, retensi serta pemeriksaan atas indikasi
medik maupun non medik seperti misalnya : pasca kecelakaan
pesawat, pasca perawatan rumah sakit dan lain-lain.
Pada tahun 1985 Lakespra Saryanto telah mendapat suatu
kehormatan dari pemerintah yang berupa kepercayaan untuk
memeriksa dan melakukan seleksi terhadap para calon Antariksawan Indonesia, dalam program penerbangan Space Shuttle.
ILA
Kegiatan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi ditujukan
terhadap penerbang, awak pesawat lain maupun petugas khusus
matra udara yang memerlukan penyegaran dan pemantapan
pengetahuan di bidang Aerofisiologi. Pengetahuan ini sangat
penting dalam rangka menghadapi dampak-dampak fisiologi
penerbangan selama menjalankan tugasnya sehari-hari.
Lakespra Saryanto juga telah berperan aktif dalam memberikan dukungan sarana, fasilitas, tenaga ahli maupun program
ahli tenaga kesehatan penerbangan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan di suatu ketinggian,
misalnya : tim pendaki gunung, tim terjun payung, tim olah raga
gantolle dan lain-lain.
Rehabilitasi Medik
Merupakan upaya pemulihan medik terhadap awak pesawat
yang mengalami gangguan-gangguan fisik maupun psikologis,
sebelum mereka ditugaskan terbang kembali secara cepat dan
aman. Upaya ini tidak terbatas pada aspek pemulihan jasmaniah
saja tetapi juga menyangkut aspek kejiwaan/psikologi serta perubahan/pemantapan perilaku yang diperlukan sesuai dengan
tugas-tugasnya sebagai awak pesawat.
Pemeliharaan dan Peningkatan Kesamaptaan Jasmani
Merupakan upaya untuk mewujudkan tingkat kesegaran
jasmani yang setinggi-tingginya dari para awak pesawat, agar
mereka senantiasa nampak memikul beban tugas fisik yang
cukup berat dalam tugasnya sehari-hari di angkasa raya.
Upaya ini diwujudkan dalam bentuk program-program latihan aerobik maupun non-aerobik (weight training) terhadap
awak pesawat dan anggota lainnya, dalam rangka mencapai
kesamaptaan pada sistem otot/rangka tubuh.
Pendidikan di bidang Kesehatan Penerbangan
Sebagai lembaga ilmiah Lakespra Saryanto menyelenggarakan fungsi-fungsi peningkatan kualifikasi dan profesionalisme
di bidang Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa dalam
bentuk pelaksanaan sekolah, kursus, penataran dan temu ilmiah

bagi petugas medik maupun paramedik. Kegiatan pendidikan


rutin yang hingga kini dilaksanakan di Lakespra Saryanto, antara
lain :
a) Pendidikan S-2 Kedokteran Penerbangan
b) Sekolah Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa (Sekespra)
c) Sekolah Perawat Udara (Sewatud)
d) Penataran Kesehatan Penerbangan
e) Kursus Aerophysiological Training Operator
f) Membantu satuan TNI-AU/ABRI dan instansi pemerintah
maupun non pemerintah, dalam menyelenggarakain pendidikan
yang berkaitan dengan masalah Kesehatan Penerbangan.
Penelitian dan Pengembangan
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di bidang Litbang ini
meliputi antara lain :
a) Upaya Litbang di bidang keamanan dan keselamatan penerbangan khususnya pengkajian terhadap unsur Manusia dan
pengaruh Lingkungan Penerbangan.
b) Membantu Satuan-satuan TNI-AU/ABRI dan instansi lainnya dalam menyelenggarakan Litbang yang berkaitan dengan
bidang Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa.
c) Melaksanakan uji coba terhadap kegiatan-kegiatan medik
dalam penerbangan, yang dapat disimulasikan dengan bantuan
peralatan/fasilitas Aerofisiologi yang dimiliki oleh Lakespra
Saryanto.
d) Membantu satuan-satuan TNI-AU/ABRI dan instansi lainnya dalam menyelenggarakan uji coba terhadap peralatan keamanan dan keselamatan penerbangan, dengan menggunakan
peralatan/fasilitas Aerofisiologi yang dimiliki oleh Lakespra
Saryanto.
Kegiatan Pusat Rujukan Diagnostik
Kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan dalam menjalankan
fungsinya sebagai Pusat Rujukan Diagnostik ini, Lakespra
Saryanto melakukan tugas-tugas :
a) Konsultasi dan Evaluasi Medik terhadap awak pesawat dan
petugas khusus matra udara yang mengalami permasalahan kesehatan, yang tidak dapat ditangani oleh satuan-satuan bawah.
b) Evaluasi Medik terhadap kasus-kasus khusus yang membutuhkan kebijaksanaan waiver dari Pimpinan TNI-AU.
c) Evaluasi Medik terhadap kelainan-kelainan di bidang kesehatan yang tidak dapat didiagnosis secara tuntas di fasilitasfasilitas kesehatan TNI-AU di daerah.
PERALATAN KESEHATAN MATRA DIRGANTARA
Beberapa peralatan kesehatan khas matra dirgantara yang
saat ini dimiliki oleh Lakespra Saryanto adalah antara lain :
a) Human centrifuge
Merupakan sarana pelatihan dan seleksi terhadap awak
pesawat dalam hal simulasi gaya G (G forces) yang biasa mereka
hadapi dalam manuver-manuver aerobik pesawat tempur. Alat
ini dapat menghasilkan gaya sentrifugal terhadap tubuh manusia
sampai dengan 8G (8 kali gaya tarik bumi).
b) Altitude Chamber

Alat ini disebut juga decompression chamber yang merupakan sarana pelatihan dan seleksi awak pesawat dalam hal
simulasi kondisi atmosfir di suatu ketinggian, yang ditandai
dengan menurunnya tekanan udara, kandungan oksigen, kelembaban dan suhu udara. Altitude chamber ini dapat mensimulasikan kondisi atmosfir hingga ketinggian 35.00040.000 kaki.
c)

Basic Orientation Trainer (BOT)


Merupakan sarana pelatihan awak pesawat untuk mengenali
keterbatasan-keterbatasan alat keseimbangan yang dimiliki
manusia, khususnya dalam menginterprestasi gerakan-gerakan
pesawat di udara serta ilusi-ilusi yang dapat timbul akibat salah
persepsi alat keseimbangan tersebut.
d) Night Vision Trainer (NVT)
Merupakan sarana pelatihan awak pesawat untuk pemahaman tentang mekanisme fisiologik proses penglihatan baik
siang maupun malam hari. Khusus untuk penglihatan malam,
alat ini dapat mendemonstrasikan keterbatasan-keterbatasan
kemampuan mata dalam keadaan gelap.
Selain itu dengan menggunakan alat ini, awak pesawat dapat dilatih untuk membiasakan diri dengan cara-cara yang tepat
untuk melihat obyek di malam hari secara efektif dan efisien.
e)

Ejection Seat Trainer


Merupakan sarana pelatihan awak pesawat dalam mensimulasikan gerakan dan mekanisme bekerjanya kursi lontar pada
pesawat-pesawat tempur.
Melalui pelatihan ini diharapkan penerbang sudah percaya
diri apabila suatu saat berada dalam keadaan darurat harus melontarkan dirinya ke luar pesawat, dengan menggunakan kursi
pelontar pada pesawat tempur.

f)

Oxy Fault Trainer


Alat ini digunakan untuk melatih awak pesawat dalam menanggulangi gangguan-gangguan pada sistem pernafasan oksigen di pesawat terbang, sehingga apabila penerbang tersebut
mengalami kejadian yang sebenarnya tidak akan sempat membahayakan keselamatan jiwanya.

g) Positive Pressure Breathing Rig


Alat ini merupakan sarana pelatihan awak pesawat dalam
membiasakan diri bernafas melalui peralatan oksigen di dalam
pesawat, dengan tekanan positif pada maskernya. Hal ini harus
dilakukan apabila penerbang tempur menjalankan tugas terbang
tinggi (high altitude flying) yaitu sekitar 40.000 kaki, sehingga
untuk menghindari keadaan hipoksia penerbang tersebut perlu
diberikan aliran oksigen 100% dengan tambahan tekanan
dalam masker f 2 mmHg dibandingkan dengan tekanan udara
di luar masker.
PENUTUP
Diuraikan secara ringkas peranan Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembinaan Kesehatan Penerbangan dalam Lingkungan Nasional, yang dirinci dalam tugas pokok, fungsi dan
kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Lakespra Saryanto sejak
tahun 1965 hingga saat ini.

Peranan UNS
dalam Kedokteran Dirgantara
A.A. Subiyanto, Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup
Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian pada
Masyarakat perlu tanggap dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tuntutan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Untuk menghadapi abad 21 yang penuh
dengan perkembangan yang menakjubkan, antara lain termasuk
kemajuan dalam kedirgantaraan, maka dirasa sudah sangat
mendesak adanya usaha untuk mengantisipasi era kemajuan
teknologi kedirgantaraan dengan menyiapkan anak didik suatu
pemberian bekal ilmu Kedokteran Dirgantara agar alumninya
dapat bekerja secara paripurna di berbagai medan tugas.
Penggunaan jasa transportasi udara menjadi semakin memasyarakat akibat dari basil pembangunan nasional yang semakin merata, yang menuntut mobilisasi anggota masyarakat
yang semakin cepat. Di samping itu adanya kemajuan penggunaan pesawat tempur oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia yang semakin canggih baik dalam kecepatan maupun kemungkinan adanya manuver-manuver udara yang semakin dapat
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan baik pengguna jasa
penerbangan maupun penerbangnya sendiri. Selain itu, sudah
merupakan fakta sejarah bahwa Indonesia telah mulai memasuki era penerbangan ruang angkasa dengan terpilihnya calon
antariksawan Indonesia yang telah lulus seleksi dan telah menjalani pendidikan di Amerika Serikat. Hal ini selayaknya menjadi- motivator bagi akademisi di Indonesia untuk ikut mengambil saham terutama dari segi sumber daya manusianya.
Makalah ini telah dibacakan pada: SeminarKesehatan Penerbangan,
Surakarta 30 Oktober 1993.

B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirasa sudah
saatnya Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret menyusun kurikulum tentang matra kemiliteran yang meliputi matra
kepolisian, darat, laut dan khususnya udara (kedokteran penerbangan). Untuk itu perludiidentifikasi permasalahan yang ada
yang merupakan kendala dan keterbatasan baik sumber daya
manusia maupun prasarana yang sudah dimiliki institusi Fakultas Kedokteran.
Menurut pendapat penulis terdapat beberapa kendala yang
harus dipertimbangkan dan dicari solusinya, yaitu :
1) Keterbatasan sumber daya manusia
Sangat disadari bahwa muatan kurikulum matra kemiliteran
khususnya matra kepolisian, laut dan udara merupakan bidang
baru bagi kurikulum kedokteran di Indonesia umumnya dan di
Fakultas Kedokteran UNS khususnya, di mana staf pengajar di
Fakultas Kedokteran belum memiliki kemampuan untuk
mengampunya.
2) Keterbatasan alokasi waktu
Mengingat kurikulum di Fakultas Kedokteran sudah sangat
padat, terdapat kendala yaitu dengan disusunnya kurikulum
matra militer akan mengalami kesulitan alokasi waktu yang
diperlukan untuk memberikan mata ajaran kematraan tersebut.
3) Keterbatasan kualitas mahasiswa
Untuk menyiapkan mata ajaran matra kemiliteran yang
ideal diperlukan kesiapan fisik, mental dan intelektual serta
bakat mahasiswa. Padahal sistem seleksi calon mahasiswa yang
selama ini dijalankan hanya berdasarkan tes kemampuan kogni-

tif melalui tes tertulis ujian masuk perguruan tinggi (UMPTN)


yang tentunya akan mengabaikan kemampuan calon mahasiswa
dari aspek mental, fisik maupun bakat yang dimiliki mereka.
4) Keterbatasan prasarana
Mengingat penyelenggaraan pendidikan yang ideal harus
mencakup bidang kognitif, afektif dan psikomotor, maka diperlukan prasarana yang diperfukan untuk memenuhi tuntutan
tersebut. Selama ini di Fakultas Kedokteran UNS belum pernah
menyelenggarakan sebagian besar mata ajaran matra kemiliteran tersebut, khususnya kesehatan penerbangan sehingga institusi
ini belum memiliki sebagian besar prasarana dan sarana yang
diperlukan guna menunjang penyelenggaraan pendidikan bidang
tersebut.
C. Tujuan
Untuk menghadapi permasalahan di atas, khususnya dalam
bidang kesehatan penerbangan, maka Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret perlu menyusun strategi guna mengatasi kendala dan keterbatasan yang ada.
STRATEGI PEMECAHAN
A. Solusi keterbatasan sumber daya manusia
Fakultas Kedokteran UNS memiliki 203 tenaga pengajar
yang terdiri 62% tenaga pasca sarjana dan delapan persen tenaga
Doktor, namun belum mempunyai tenaga yang mempunyai
kualifikasi kedokteran penerbangan. Untuk itu dalam jangka
pendek dapat dilakukan kerjasama dengan TNI Angkatan Udara
yang kebetulan mempunyai lokasi pusat pendidikan yang dekat
dengan UNS yaitu di Panasan Surakarta dan Maguwo Yogyakarta untuk memberikan bantuan tenaga pengajar yang ahli
dalam kedokteran penerbangan. Dalam jangka panjang Fakultas
Kedokteran UNS perlu mengadakan program pengiriman tenaga
pengajar untuk dididik dal am bidang kedokteran penerbangan
ke pusat-pusat pendidikan baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.
B. Solusi keterbatasan alokasi waktu
Penyelenggaraan pendidikan di Fakultas Kedokteran UNS
selama ini memerlukan 203 satuan kredit semester (SKS) dalam
12 semester terdiri dari 149 SKS program Strata-1 dan 54 SKS
program profesi dokter. Dari program Strata-1 terdapat mata
ajaran Kewiraan yang mendapat alokasi waktu dua SKS dan
dari program profesi dokter terdapat mata ajaran Kedokteran
Komunitas/Praktek belajar Lapangan yang mempunyai alokasi
waktu alokasi waktu tiga SKS.
Berdasarkan pertimbangan alokasi waktu tersebut, maka
penyelenggaraan mata ajaran matra militer khususnya kesehatan
penerbangan dapat diselenggarakan dengan dua alternatif :
1) Menggunakan sebagian waktu dari alokasi lima SKS tersebut yang merupakan porsi dari mata ajaran Kewiraan dan Kedokteran Komunitas dengan distribusi pemberian dalam bentuk
teori sebanyak dua SKS pada program Strata-1 dan dalam bentuk
kemampuan afektif 'dan psikomotor diberikan pada program
profesi sebanyakl2 SKS.
2) Muatan mata ajaran kesehatan penerbangan didistribusikan

ke masing-masing laboratorium yang terkait, seperti Lab. Fisiologi Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
sebagainya tanpa mengganggu atau,mengubah alokasi SKS yang
telah berlangsung. Tentunya pilihan ini akan mempunyai keterbatasan dalam pemberian ranah afektif dan psikomotor dan
hanya terbatas pada ranah kognitif saja.
C. Solusi keterbatasan mahasiswa
Persyaratan yang harus dimiliki mahasiswa yang mendapatkan mata ajaran kedokteran penerbangan tentunya berbeda
dengan mahasiswa yang dipersiapkan hanya sebagai tenaga
medis "konvensional", mengingat intensitas dan ekstensitas pekerjaan yang akan dihadapi para lulusan dokter penerbangan.
Dari keterbatasan masukan calon mahasiswa di Fakultas
Kedokteran UNS dalam bidang kesamaptaan intelektual, mental, fisik dan bakat yang sesuai dengan tuntutan persyaratan yang
spesifik yang harus dipenuhi untuk mengikuti pendidikan kedokteran penerbangan, maka penulis mempunyai usulan dua
alternatif :
1) Meningkatkan passing grade yang harus dilewati oleh para
calon mahasiswa yang memasuki Fakultas Kedokteran UNS,
agar dapat terseleksi calon-calon mahasiswa yang benar-benar
memiliki basic qualification yang diperlukan yang meliputi bidang kemampuan intelektual, mental, fisik dan bakat. Sehingga
di samping tes tertulis masih perlu diadakan tes kesamaptaan
fisik, psikotes maupun tes bakat.
2) Dari calon mahasiswa yang diterima melalui UMPTN
diseleksi lagi oleh Fakultas Kedokteran untuk mendapatkan
calon mahasiswa yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan kedokteran penerbangan.
Penulis berpendapat bahwa dari dua alternatif tersebut di
atas, alternatif yang kedualah yang lebih mudah dilaksanakan
meskipun hanya akan mendapatkan sebagian kecil mahasiswa.

D. Keterbatasan sarana dan prasarana


Untuk mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan kedokteran penerbangan, maka dalam jangka pendek
dapat ditempuh kerjasama dengan TNI Angkatan Udara yang
tentunya sudah memiliki fasilitas yang memadai guna pelaksanaan pendidikan.
Menurut pendapat penulis, berdasarkan kendala pada butirbutir di atas, maka penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan
dengan tiga pilihan, yaitu :
1) Mata ajaran tersebut merupakan mata ajaran wajib yang
harus diikuti seluruh mahasiswa kedokteran. Hal ini tentunya
akan memberikan beberapa konsekuensi, antara lain pemberian
materi yang sangat terbatas, beban mahasiswa yang semakin
berat temtama bagi mahasiswa yang tidak memenuhi persyaratan yang akan berakibat tujuan pendidikan yang sesuai kurikulum sukar tercapai.
2) Mata ajaran ini merupakan mata ajaran pilihan yang diambil berdasarkan bakat dan minat mahasiswa. Hanya mahasiswa yang sudah lolos dari seleksi saja yang dapat mengikuti

program ini.
3) Mata ajaran dapat dipilah menjadi mata ajaran yang elementer dan lanjutan. Bagi seluruh mahasiswa diwajibkan mengikuti
mata ajaran yang elementer. Sedang bagi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti mata ajaran lanjutan yang lebih lengkap.
PELAKSANA PENDIDIKAN
Penanggung jawab mata ajaran yang berkaitan dengan kesehatan penerbangan dipegang oleh Dekan atau Pembantu Dekan
bidang akademis dan pelaksanaannya dapat diampu oleh Biro
Koordinasi Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNS
yang sudah terbentuk sejak awal berdirinya UNS. Sedang
pengampu mata ajaran tersebut dapat diberikan oleh staf pengajar yang sesuai dengan cabang ilmu yang sesuai dengan kedokteran penerbangan. Menurut penulis laboratorium yang
mempunyai kaitan dengan mata ajaran ini adalah dari Laboratorium Fisiologi, Ilmu Kesehatan Masyarakat/Kedokteran Kerja,
Mata, THT, Penyakit Dalam dan Patologi.
BIDANG MATA AJARAN KESEHATAN PENERBANGAN
Kurikulum disusun dengan memuat tujuan pendidikan yang
meliputi :
1) Hasil keluaran program S 1 Fakultas Kedokteran UNS
mempunyai wawasan luas, sehingga dapat memberikan konsultasi kepada masyarakat khususnya pada instansi seperti TNI
Angkatan Udara, perusahaan penerbangan, Lapan, Metereologi
& Geofisika dan sebagainya maupun pribadi pengguna jasa
penerbangan tentang pengaruh penerbangan baik terhadap penumpang pesawat terbang maupun bagi awak pesawat.
2) Lulusan mempunyai kesamaptaan baik pengetahuan, mental dan fisik bila mereka memasuki dinas matra militer khususnya yang berkaitan dengan penerbangan.
3) Dapat menjadi embrio bila kondisi atau keadaan membutuhkan dibukanya spesialisasi kedokteran penerbangan.
Berdasarkan tujuan pendidikan di atas dan mengacu pada
masukan Soleh Nugroho dari Mabes TNI-AU, maka kelompok
mata ajaran yang perlu diberikan di Fakultas Kedokteran UNS
adalah :
1. Kedokteran Penerbangan Dasar
Meliputi bidang :

a. Sejarah Kesehatan Penerbangan


b. Dasar-dasar Aerodinamika
c. Sifat-sifat Atmosfir
d. Akselerasi Pesawat Terbang
e. Fungsi Alat Keseimbangan dalam Penerbangan
f. Fungsi Alat Penglihatan dalam Penerbangan.
2. Kedokteran Penerbangan Terapan
Meliputi bidang :
a. Pengaruh Hipoksia dan H iperventilasi terhadap Tubuh
b. Efek Dekompresi terhadap Tubuh
c. Pengaruh Gaya Gravitasi terhadap Manusia
d. Kebisingan dan Vibrasi
e. Disorientasi dalam Penerbangan
f. Evakuasi Aeromedik
g. Pertolongan dan Penelitian Kecelakaan Pesawat.
3. Kedokteran Komunitas Penerbangan
Meliputi bidang :
a. Self Imposed Stress dalam Dunia Penerbangan
b. Pembinaan Gizi Awak Pesawat
c. Pembinaan Kesamaptaan Jasmani awak Pesawat
d. Program Kesehatan dalam Menunjang Keamanan dan
Keselamatan Penerbangan.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.

Darmono SS, Yudiono KS. Pamudji S, Rahardjo, Sadono. Perguruan Tinggi


Se-Jawa Tengah, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1986.
Fakultas Pascasarjana Unpad. Buku Panduan Program Magister dan Doktor,
BP Unpad, Bandung, 1984.
Guilbert JJ,. Educational Handbook for Health Personnel, World Health
Organization, Geneva, 1977.
Nugraha S. Bahan Masukan dari Bidang Kedokteran Penerbangan dalam
Lokakarya Penyusunan Kurikulum Pendidikan S-1 Unibraw Mata Ajaran
Kedokteran Militer, Seminar dan Lokakarya Kesehatan Penerbangan,
Malang, 1993.
Konsorsium Ilmu Kesehatan. Pola Pengembangan Praktek Belajar
Lapangan Pendidikan Dokter Indonesia, Jakarta, 1983.
Rencana Pengembangan Staf Akademik Fakultas Kedokteran
Negeri Se-Indonesia Tabun 1988/1989 1998/1999, Jakarta, 1990.
Pola Pengembangan Staf Akademik Fakultas Kedokteran,
Jakarta, 1992.
Universitas Sebelas Maret. Rencana Induk Pengembangan Akademik
1980-1990, Surakarta, 1980.
Buku Pedoman Fakultas Kedokteran, Program D3 Hiperkes
dan Kesempatan Kerja, Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta, 1993.

One's eyes is what one is, one's mouth is what one becomes

Prospek Penelitian Biomedik


di Luar Angkasa
Dr. Pratiwi Sudarmono, PhD
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI

ABSTRAK
Semenjak manusia bercita-cita menaklukkan ruang angkasa perhatian yang khusus
telah ditujukan kepada berbagai aspek terpenting yaitu perubahan biomedik yang akan
dialami oleh seseorang saat ia berada di luar angkasa. Pengaruh yang paling besar adalah
dari kondisi mikroorganik dan berbagai pengaruh lingkungan hidup yang sangat sulit
untuk disimulasi di bumi.
Kondisi mikrogravitasi menyebabkan terjadinyaperubahan fisiologikpada berbagai
organ seperti sistim homeostasis, sistim kardiovaskuler, sistim muskulo skeletal dan sebagainya. Kini kondisi mikrogravitasi dianggap menjadi suatu variabel yang penting
untuk memahami sistim transport ion dan energi dari sel, untuk memantau proses
diferensiasi pada embrio, untuk memahami mekanisme kerja obat dan sebagainya. Penerbangan luar angkasa melalui pesawat ulang alik dengan program space-lab dan spacestationnya kini diarahkan sebagai misi ilmiah murni, antara lain untuk penelitian biomedik ini.

PENDAHULUAN
Bila kita naik sampai ketinggian lebih dari 110 km dari
permukaan bumi, maka pengaruh kondisi luar angkasa sudah
mulai terasa. Mikrogravitasi merupakan faktor yang sangat bermakna, terutama bila dilihat pengaruhnya pada kehidupan jangka
panjang di luar angkasa. Namun justru mikrogravitasi merupakan kondisi yang paling sulit disimulasi dibumi. Karena kendala
tersebut, penelitian-penelitian untuk melihat efek mikrogravitasi
harus dilakukan dalam pesawat ulang alik, space-lab atau spacestation di ruang angkasa.
Penelitian biomedik di luar angkasa biomedik di luar angkasa
sekarang dirasakan sama pentingnya dengan penelitian ilmu lain.
Penelitian biomedik ada yang langsung dikaitkan dengan fisiologi manusia, namun banyak pula yang merupakan penelitian
ilmu kedokteran dasar seperti penelitian mikrobiologi, biologi
Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.

sel, genetika, embriologi, biologi molekuler dan sebagainya.


Dalam makalah ini akan diuraikan berbagai aspek penelitian
kedokteran/biomedik dan biologi yang menjadi minat dari para
peneliti saat ini.
SISTIM MUSKULOSKELETAL
Telah diketahui beberapa kelainan dalam sistim muskuloskeletal pada para astronot yang kembali dari ruang angkasa.
Ditemukan.adanya indikasi kelainan metabolisme ion kalsium,
kelemahan otot-otot motorik dan kelainan pada persendian.
Topik penelitian yang kini dilakukan baik oleh NASA maupun
Rusia dal am stasiun ruang angkasa MIR meliputi hal-hal sebagai
berikut :
a) Metabolisrne kolagen jaringan kulit dan tulang tikus selama
7 hari penerbangan luar angkasa.

b) Komposisi jaringan tulang menit pada kondisi hipokinesia.


C) Pengukuran kadar kalsium dengan mikro elektroda pada
darah para astronot.
d) Analisis susunan jaringan periosteal pada tibia tikus,
e) Pembentukan tulang pada biakan jaringan tulang embrio di
tinjau dari perubahan biokimiawi dan karakteristik ultrastruktural.
f) Peranan vitamin D dalam diferensiasi awal dari pembentukan osteoklast.
g) Peranan dari hilangnya beban pada tulang menimbulkan
hilangnya induksi untuk penyusunan jaringan tulang baru.

SISTIM VESTIBULER
Space adaptation syndrome adalah gejala yang paling sering
dialami oleh para astronot; bahkan menjadi suatu sindrom yang
paling ditakuti karena menyebabkan tidak dapat bekerja dengan
layak dalam pesawat ulang alik atau stasiun ruang angkasa. Berbagai upaya medikamentosa dan berbagai latihan untuk melatih
adaptasi vestibuler sudah dicoba dengan berbagai inovasi dan
modifikasi, tetapi ternyata masih kurang meyakinkan karena
jumlah sampel masih sedikit. Diketahui bahwa fungsi vestibuler
yang sangat menentukan keseimbangan, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gerak bola mata, refleks vestibulo-spinal,
adanya zat metabolik yang berfungsi sebagai vestibulo protector,
lancarnya hemodinamika dalam sistim vestibuler dan sebagainya.
Di bumi dapat dilakukan experimental motion sickness yang
sedikit banyak akan memberikan informasi yang tepat tentang
sekuens dari motions sickness tersebut. Keringat yang berlebihan,
kunang-kunang, rasa mual, pusing, muntah dan disorientasi
merupakan urutan kejadian yang terjadi pada motion sickness.
Penelitian saat ini yang dikerjakan oleh space lab dan space
station antara lain :
1) Monitoring respons vestibuler terhadap akselerasi.
2) Pengukuran komparatif terhadap stabilitas-visual di bumi
dan di luar angkasa.
3) Penggunaan electro-oculographic signal conditiner dengan
rotating chair.
SISTIM KARDIOVASKULER
Fungsi sistim kardiovaskuler mengalami berbagai penyimpangan antara lain karena dalam kondisi mikrogravitasi terjadi
perubahan hemodinamika darah. Dengan hilangnya tekanan
perifer, darah dan cairan tubuh cenderung terkumpul di bagian
proksimal tubuh, menyebabkan rangsangan pada pusat homeostatis di otak dan ekskresi cairan lewat urine terjadi dengan cepat.
Oleh karena itu pada saat-saat awal seorang ada di ruang angkasa,
diperlukan minum minimal 2 liter untuk menjaga keseimbangan
cairan. Lagipula, karena tonus perifer hilang, jantung tidak
mengalami hambatan dalam pemompaan, sehingga denyut jantung melemah namun masih cukup efisien.
Berbagai komputer model dirancang untuk memahami
hemodinamika di ruang angkasa. Komputer model yang dikembangkan para ahli bertujuan untuk melakukan simulasi di bumi
dengan mengubah variabel-variabel seperti volume darah, per-

ubahan ion, tonus otot, jantung dan sebagainya. Penelitian saat


ini yang mendapatkan perhatian antara lain :
a) Pengaruh kondisi tanpa bobot pada fungsi jantung paru.
b) Pengaruh kondisi tanpa bobot pada fungsi cairan.
c) Pengaruh penerbangan ruang angkasa pada eritrokinetik
manusia.
d) Perubahan-perubahan pada deconditioning jantung.

METABOLISME DAN ENDOKRIN


Perubahan faal sel tubuh manusia seringkali menyebabkan
adanya perubahan metabolisme dan endokrin; atau sebaliknya.
Perubahan metabolisme yang terjadi seringkali dapat menerangkan patofisiologi dari suatu kelainan dalam penerbangan luar
angkasa. Sedangkan perubahan endokrin sangat erat hubungannya dengan perubahan perilaku, terutama bila penerbangan dilakukan dalam waktu lama.
Penelitian yang dikembangkan antara lain :
a) Patofisiologi mineral loss selama spaceflight.
b) Metabolisme protein selama spaceflight.
c) Perubahan endokrin dan metabolit pada diri para astronot.
d) Magnetic resonance imaging setelah penerbangan luar
angkasa.
e) Penelitian metabolit dalam urine.
f) Metalisme vitamin D dan demineralisasi tulang.
Masih banyak lagi topik yang menarik untuk diteliti di luar
angkasa. Space-lab dan space station menyediakan berbagai
device yang memungkinkan dilakukannya penelitian tersebut.
Di NASA, penelitian ini ditampung oleh suatu tim yang bergabung dalam Life Sciences Project Division yang melibatkan diri
sejak perencanaan sampai evaluasi dari seluruh penelitian life
sciences di bumi maupun di luar angkasa. Dua topik yang kini
sedang berlangsung merupakan topik utama dari LSDP yaitu Life
Sciences space biology project dan Extended Duration Crew
Operations. Aktivitas LSDP ini nantinya akan terus dilanjutkan
bila Space Station Freedom selesai. Space Station Freedom
merupakan space station yang dirancang bersama oleh 4 negara
yaitu Amerika Serikat, European Space Agency, Jepang dan
Kanada.
Berbagai kalangan ilmiah dari perguruan tinggi dan industri
ikut berpartisipasi dalam penelitian luar angkasa, baik sebagai
expertise investigator maupun penyandang dana. Setiap tahun
dilakukan review oleh LSDP untuk menentukan urutan prioritas,
validitas, aktualitas dari usulan-usulan penelitian yang masuk.
Usulan penelitian tersebut seringkali mengajukan pula berbagai
modifikasi dan inovasi alat-alat baru atau suatu sistim baru untuk
space station agar para astronot dapat lebih mudah dan lebih
nyaman tinggal di S.S. Freedom. LSDP tidak saja menampung
usulan penelitian biomedik, namun juga penelitian pada sel
hewan, sel tanaman, penelitian kimiawi, fisika dan sebagainya.
Sejak space lab I diluncurkan pada November 1093, sudah
banyak basil penelitian yang dianalisis; sehingga informasi dan
penemuan baru dapat dikaji sebagai hal yang sangat berharga
untuk kepentingan umat manusia, baik dalam kehidupannya di
bumi maupun di luar angkasa.

KEPUSTAKAAN
3.
1.
2.

Life Science Project Division. Johnson Space Center, NASA, USA.


SAE Technical Paper Series, The Engineering Society for Advancing Mobility Land, Sea. Air and Space, USA.

4.

19881989 NASA Space/Gravitational Biology Accomplishments. NASA


Technical Memorandum 4160, 1990.
USSR Space Life Sciences Digest, NASA Contractor Report 3922 (24),
1989.

Various Types of Specific Acquired


Deficient Immune Status (SADIS) following
Various Kinds of Microbial Infection 5a. the clinical management of diseases
that may produce SADIS with lymphocyte
predominance
R.A. Handojo*, Anggraeni Inggrid Handojo**
* The Indonesian Association of Pulmonologists, Malang, Indonesia
** The TB Center of Surabaya, Indonesia
Diseases that may produce SADIS may have lymphocyte
predominance or lymphocyte depletion. There are three categories of diseases that in the advanced stage may produce SADIS
(fig. 1), i.e.:
Fig. 1. Three categories of specific
(SADIS)
the Tb-type of SADIS
Category I
brought about by:
Bacteria
:
:
DNA-viruses :
RNA-virus
:
Category 2
the Lk-type of SADIS
brought about by:
DNA-virus
:
RNA-viruses :
Category 3
the Lp-type of SADIS
brought about by:
RNA-viruses :
bacterium
:

acquired deficient immune status

M. tuberculosis
H. pylori
HBV, lPV, HSV-2, EBV
HCV.
EBV
HTLV-I, HTLV-II.
HTLV-III (HIV-1), HIV-2
M. leprae.

1) Diseases that may progress to the tuberculosis-type (Tbtype) of SADIS, comprising diseases caused by the tubercle
bacillus, the Helicobacter pylori, the hepatitis B virus (HBV), the
hepatitis C virus (HCV), the human papilloma virus (HPV), the
herpes simplex virus type 2 (HSV-2) and the Epstein Barr virus
(EBV).
2) Diseases that may produce the leukemia-type (Lk-type) of
SADIS, comprising a disease caused by the EBV, and diseases
caused by the human T-cell lymphotrope virus type I (HTLV-I)
and the human T-cell lymphotrope virus type II (HTLV-II).
3) Diseases that may progress to the leprosy-type (Lp-type) of
SADIS, comprising diseases caused by the human immunodeficiency virus type I (HIV-1), the human immunodeficiency virus
type II (HIV-2) and a disease caused by the leprosy bacillus.
The Tb-type of SADIS has primary solid malignancy as

disease expression that is located in an organ of the host, e.g. the


lung (bronchogenic carcinoma), the nasopharynx (nasopharynx
carcinoma), the liver (primary hepatocellular carcinoma) and the
cervix of the uterus (cervix carcinoma). The existence of Tlymphocyte predominance is a characteristic of the Tb-type of
SADIS. In addition, there is a predominance of the cellular
immune system in comparison to the humoral immune system
(fig. 2).
Fig. 2. Some characteristics of the three types of SADIS
Type of
SADIS
Tb-type
Lk-type
Lp-type

Disease
expression
primary malignancy
(epithelial carcinoma)
primary malignancy
(leukemia, NHL,***
Hodgkin's dis.)
AIDS, opportunistic
malignancy
KK-type leprosy

Lymphocytes

CMIS*
HIS**

predominance

>1

predominance

>1

depletion

<1

depletion

<1

Note:
CMIS : cell mediated immune system
HIS : humoral immune system
NHL
: non-Hodgkin's lymphoma

The Lk-type of SADIS has primary hematologic malignancy


as disease expression that is located in tissues of organs of the
host, e.g. in lymph nodes (malignant lymphoma) and in bone
marrow (leukemia). Lymphocyte predominance which is based
on neoplastic proliferation of lymphocytes, is a characteristic of
the Lk-type of SADIS. There is also predominance of the cellular
immune system when compared to the humoral immune system
(fig. 2).
The Lp-type of SADIS that is brought about by HIV-1 has
the acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) as disease

manifestation. It is characterized by the emergence of opportunistic infections and the development of opportunistic malignancies as well. The Lp-type of SADIS which is caused by the
leprosy bacillus has the lepromatous leprosy (LL-leprosy) as
disease manifestation which is characterized by the existence of
primary clinical resistance to antileprosy chemotherapy. It has
neither primary nor opportunistic malignancy as disease expression. In addition, it is characterized by the absence of opportunistic infection. There is lymphocyte depletion in both diseases.
Predominance of the humoral immune system in comparison to
the cell mediated immune system is found in the Lp-type of
SADIS (fig. 2).
The specific immune spectrum and the specific immunologic characteristics of a disease that in its Advanced stage may
produce SADIS, constitute the specific immunologic fingerprint
of the disease. Determination of the immunologic fingerprint of
diseases following infection with the causative pathogens that
can bring about the development of SADIS, may provide rational
basis for the proper tackling and solving of problems that may
arise in the fight against the causative organisms. Knowledge of
immunologic fingerprints not only enables the diagnosis of the
related disease to be made more accurately but also provides a
more rational basis for effective clinical management to be based
on.
Diseases of the same category of SADIS may have identical
or almost identical principles of clinical management. In addition, knowledge of immunologic fingerprint has substantially
broadened our knowledge and understanding of the pathways
through which the disease may progress or regress. Achievement
of a defined knowledge of clinical management of diseases that
have undergone long-term and thorough tackling and solving of
the related problems, such as tuberculosis and leprosy, may serve
as rational paradigm for effective clinical management to be set
up in aid of other diseases that may produce the same category of
SADIS.
I) THE CLINICAL MANAGEMENT OF DISEASES
THAT MAY PRODUCE THE TB-TYPE OF SADIS
Based on the characteristics of the immunologic fingerprint,
the principles of the clinical management of diseases that may
produce the Tb-type of SADIS are divided into the following:
A) The clinical management of diseases that emerge as disease
expression of the acute (L-type) and the chronic type (K-type)
immune status (fig. 3).
1) The institution of "the early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expression is of the L-type or K-type
immune status.
2) The enhancement of the "early kill" of microbial pathogens
through the concomitant use of immunomodulators during the
early phase of anti-microbial chemotherapy when disease
expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy.
The institution of immunotherapy with BCG following
cessation of a successful anti-microbial chemotherapy for the

Fig. 3.

The clinical management of diseases that may bring about development of Tb-type SADIS

Purpose: Back to basic which means back to the L-type immune status
Prevailing Immune Status
L-type

K-type

early kill of microbial


pathogen thru specific
antimicrobial chemotherapy

early kill of microbial


pathogen thru specific
antimicrobial chemotherapy
augmentation of early
kill of microbial
pathogen thru
immunomodulator
stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG

KK-type
(Tb-type SADIS)
early kill of microbial
pathogen thru:
surgery
chemotherapy
radiotherapy
stabilization of cure
thru specific antimicrobial chemotherapy (when available)
stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG.

stabilization of the cure when disease expression is of the K-type


immune status at start of chemotherapy.
B) The clinical management of diseases that emerge as disease
expression of the KK-type immune status (Tb-type of SADIS)
(fig. 3).
1) The institution of the "early kill" of microbial antigen
through the advent of:
1.1. surgical resection of the lesion.
1.2. cytotoxic chemotherapy.
1.3. radiotherapy,
for the regression of immune status from the KK-type to the Ktype or even further to the L-type immune status.
2) The enhancement of the "early kill" of microbial pathogen
through the use of specific anti-microbial chemotherapy for the
stabilization of the cure following achievement of complete
remission of the lesion.
3) The inoculation of BCG as immuno-therapy for the stabilization of the cure following the achievement of complete remission of the lesion when specific anti-microbial chemotherapy
is not available.
A1) The institution of the "early kill" of microbial antigen
through the advent of specific anti-microbial chemotherapy.
The tubercle bacillus is the prototype of microbial pathogens
that can bring about the Tb-type of SADIS. The advent of
adequate anti-TB chemotherapy is crucial in the fight against the
tubercle bacilli before the disease may progress to disease manifestation of the Tb-type of SADIS.
Anti-TB chemotherapy has anti-microbial activity and has
the added advantage of being able to induce regression of
immune status from the K-type to the L-type aiming at the
achievement of better protective immunity. The "early kill" of
tubercle bacilli through the use of adequate anti-microbial
chemotherapy is essential for the achievement of a successful
result at end of treatment. Anti-tuberculosis drugs exert bactericidal activity only during a treatment period of six months(1).

During this period, killing of tubercle bacilli and regression of


immune status take place. Prolongation of chemotherapy using
the same treatment regimen produce enhancement of protective
capacity without further anti-microbial activity of the drugs(1).
Enhancement of protective immunity is based on the augmentation of bactericidal activity of the macrophage through further
regression of immune status to the L-type.
The advent of anti-Helicobacterpylori drugs such as tetracycline hydrochloride or amoxicillin, metronidazole and colloidal
bismuth subcitrate, known as the triple therapy, has been shown
to be effective for the institution of the "early kill" of Helocobacter pylori when disease expression is of the L-type or K-type
immune status. A treatment regimen consisting of colloidal
bismuth subcitrate, tetracylin hydrochloride and metronidazole
has been shown to eradicate Helicobacter pylori infection in 91%
of an Australian dyspeptic population (quoted from : Asian
Medical News; Medical Tribune International vol. 12, October 2,
1990).
Current anti-ulcer regimen using drugs usually termed the
HZ receptor antagonists, now designated as immunomodulators,
have been successful but the ulcer recurrence is an inconvenient
and sometimes a serious problem(2). Almost 80% of duodenal
ulcer patients caused by Helicobacter pylori that healed following the advent of H2-receptor antagonists for the duration of
46 weeks, developed relapse within one year, but if an antimicrobial regimen consisting of colloidal bismuth subcitrate,
metronidazole plus amoxicillin or tetracycline hydrochloride
(triple therapy) is used as well to control Helicobacterpylori, the
relapse rate is reduced to less than 10% if it is completely
eradicated(3,4,5). Two weeks treatment using triple therapy is
adequate to achieve eradication of Helicobacter pylori in most
patients(2).
The result of treatment using interferon and aciclovir in
patients suffering from chronic hepatitis B, revealed that both
drugs are effective for the institution of the "early kill" of HBV,
when disease expression is of the K-type immune status. The
result of anti-viral treatment in 12 patients suffering from chronic
hepatitis B conducted in 1985 revealed that combination therapy
of interferon and aciclovir appeared to be obviously more effective than when interferon or aciclovir was given as monotherapy(6). Alpha-interferon has a favourable effect on viral
replication and on the levels of liver enzymes in 2550% of
selected patients with chronic hepatitis B virus infection(7,8).
Active viral replication of HBV is characterized by the persistent
presence of HBs-Ag, HBe-Ag and HBV-DNA-polymerase in
blood.
The presence of HBs-Ag only indicates the emergence of
virus-latency; anti-HBe-antibody may also be encountered. During
the latent phase of virus elimination, HBs-Ag is no longer
detectable in blood; anti-HBs-antibody and anti-HBe-antibody
may be encountered(9). Anti-viral treatment in chronic hepatitis B
patients is exclusively meaningful when active viral replication
exists which can be confirmed by a positive result of HBs-Ag and
HBe-Ag test(9). Combination of interferon plus aciclovir may
induce a state of virus-latency in 80% of chronic HBe-Ag

positive patients(6); some may even be cuffed(10). The accelerated


seroconversion of HBe-Ag coincides with the improvement of
clinical, biochemical and histological parameters(10).
Based on the result of a study on the efficacy of interferon
given to 18 patients suffering from clinically apparent cirrhosis
of the liver related to chronic hepatitis B, Hoofnagle et al.(11)
pointed out that it is quite reasonable to treat patients with
cirrhosis of the liver due to chronic hepatitis B with alphainterferon. During treatment for the duration of average 12
weeks, HBe-Ag and hepatitis B-virus-DNA disappeared from
blood in 12 patients. One to 14 months following cessation of
treatment, hepatitis B-virus-DNA was encountered again in 6 of
them. The other 6 patients in whom hepatitis B-virus-DNA was
no longer found, remission was achieved in all of them. During
a follow-up period of 4.2 years, no signs of cirrhosis were
encountered(11).
At present, there are no uniformly effective drugs against
infection with HCV, an RNA-virus. Clinical drug trials have
shown that treatment using recombinant interferon-alpha for six
months can normalize liver function in up to 46% of patients.
However, the relapse rate following cessation of successful
therapy is high (up to 51%)(12).
Treatment with interferon-alpha has a favourable effect on
serum liver enzyme activities and on the histologic abnormalities
in approximately 50% of patients with chronic hepatitis C(13,14).
There is correlation of the response to treatment and the decrease
of the number of hepatitis C-RNA in serum(15). Alpha-interferon
and beta-interferon, derived respectively from leukocyte and
from fibroblast, are produced in the body of the host as natural
response to viral infection. They have a very broad spectrum of
anti-viral activity(16). Gamma-interferon is produced by T-lymphocyte following antigen specific and non-specific activation
and is a lymphokine or cytokine with immunomodulating capacity(17).
Anti-viral chemotherapy must have the capacity to stop
replication of virus, termed the virustatic action, in infected cells
without bringing about the development of radical alteration in
the normal metabolism of cell. A virologic aspect that deserves
attention is that available drugs are in general effective against
viruses which are replicating and not effective against viruses
which are not replicating in the cell of the host, the latter being
encountered in latent herpes virus infection(16).
An initial episode of herpes genitalis is a good indication for
anti-microbial treatment with aciclovir(16) . Aciclovir has a selective virustatic action. This action is based on the inhibition of the
viral DNA-polymerase which is essential for the replication of
the viral DNA. The herpes simplex virus type 1 (HSV-1) and the
herpes simplex virus type 2 (HSV-2) are sensitive and the
varicella zoster virus (VZV) is moderately sensitive to aciclovir
in vitro(10). There is some activity of aciclovir against the EBV(16).
The cytomegalovirus (CMV) is insensitive to aciclovir(10,16).
Aciclovir is not effective against latent herpes virus infection(10,16) and has only a marginal therapeutic effect on recurrent
herpes infection of the skin and mucoid membrane, provided it is
employed in the early phase of the disease(10). The most striking

characteristic of herpes viruses is that they persist in the body of


the host following infection(10) . Aciclovir shortens the duration of
viral shedding, the time for the achievement of cure, the duration
of symptoms, and inhibits the development of new lesions during
treatment of patients suffering from herpes genitalis(16).
Treatment using aciclovir doesn't have influence on the rate
of development and the severity of herpes genitalis relapses.
Foscarnet (phosphonoformate) inhibits the DNA-polymerase of
herpes virus(18). It is mainly used in immunocompromised patients with resistent HSV and VZV infections to aciclovir and
with resistent CMV infection to ganciclovir(16). An synergistic
anti-CMV-effect in vitro of ganciclovir and foscarnet has been
reported(19,20). Casuistic reports and observations revealed
encouraging results of treatment with the above combination(21,22).
A2) The enhancement of the early kill of microbial pathogen
through the advent of immuno-modulators.
The "early kill" of microbial pathogens through the use of
adequate anti-microbial chemotherapy can be augmented by the
use of immuno-modulators, such as cimetidine, isoprinosine and
levamisole. The advent of cimetidine concomitantly during the
early phase of anti-TB chemotherapy accelerate the incidence of
sputum negativity(23). Immuno-modulators enhance the microbicidal activity of the macrophage. When given in the absence of
anti-microbial chemotherapy, immuno-modulators may delay
the progression of immune status from the K-type to the KK-type
(SADIS). It is intriguing to speculate that immuno-modulators
have the capacity of an immuno-biological response modifier.
They likely have the capacity to modify immune status from the
prevailing one to a previous one from which it has progressed or
regressed. Immuno-modulator as a therapeutic adjunct in the
administration of anti-microbial chemotherapy has to be given
during the early phase of chemotherapy or even preceding the
commencement of chemotherapy. When given following
cessation of a successful anti-microbial chemotherapy, immunomodulator may have a deleterious effect on the outcome of
chemotherapy; it may accelerate the development of relapse
following cessation of successful chemotherapy.
It can be expected that the concomitant use of immunomodulator and specific anti-microbial chemotherapy in patients
suffering from diseases that can produce the Tb-type of SADIS
in their chronic stage (K-type immune status), may accelerate the
regression of immune status from the K-type to the L-type. This
implies that in patients with gastric ulceration due toHelicobacter
pylori infection, healing of ulcer will be accelerated.
The use of immuno-modulator in patients with chronic
hepatitis can be expected to delay the progression of chronic
hepatitis to the development of malignancy.
A3) The stabilization of cure through the advent of immunotherapy.
Inoculation of BCG for the purpose of immunotherapy
following cessation of a successful anti-tuberculosis chemotherapy in patients with chronic tuberculosis, gives rise to further
regression of immune status from the K-type to the L-type,
resulting in the generation of better protective immunity for

better stabilization of the cure achieved at end of chemotherape(24).


Inoculation of BCG as immunotherapy has to be carried out
following cessation of a successful anti-TB chemotherapy. When
given preceding the commencement of chemotherapy, inoculation of BCG may have a deleterious effect on the prevailing
immune status as was evidenced by the development of a downgrading reaction in the immune spectrum of tuberculosis, resulting in a further deterioration of protective immunity(25). When
given during the implement of anti-TB chemotherapy, BCG will
be killed by the anti-microbial activity of the anti-TB drugs.
The result of specific immunotherapy with BCG for the
enhancement of protective immunity achieved at end of a
successful anti-TB chemotherapy, opens new prospects for the
investigation whether inoculation of BCG as non-specific
immunotherapy can enhance protective immunity achieved at
end of a successful anti-microbial chemotherapy in patients with
chronic disease due to for instance theHelicobacterpylori or the
hepatitis B virus infection.
B1) The institution of the "early kill" of microbial pathogen
through the mechanism of regression of the KK-type immune
status.
The existence of an optimally functioning immune defense
system is a conditio sine qua non for the proper functioning of
anti-microbial activity of anti-tuberculosis drugs.
Progression of the K-type immune status which has chronic
TB as disease expression to the KK-type immune status which
has primary localized malignancy as disease manifestation, is
characterized by the existence of a defective immune defense
system especially related to cell mediated immunity.
Anti-TB chemotherapy is no longer effective when employed to tuberculosis patients during the advanced stage of the
disease that have primary malignancy as disease expression.
(unpublished data). It is like doing shadow boxing; much energy
is spent without ever hitting the opponent.
Based on its localized character, clinical management of
primary malignancy as disease manifestation of the TB-type of
SADIS, whatsoever is the causative pathogen, should aim at the
achievement of rapid complete remission of the lesion, i.e.
through the implement of surgical resection of the malignancy as
far as it is still operable, curable and resectable. The principal
advantage of surgery over radiotherapy or cytotoxic chemotherapy lies in the absence of the development of seccundary
malignancy. Lymphocyte predominance is a characteristic of the
Tb-type of SADIS. Clinical management of primary malignancy
as disease expression of the TB-type of SADIS, no matter what
the causative organism may be, should aim at the achievement of
a complete remission of the malignancy through normalization
of the prevailing lymphocyte predominance by way of the advent
of immuno-suppressive medication especially when the disease
is no longer resectable or operable. Immuno-suppression through
the advent of radiotherapy and/or the use of cytotoxic chemotherapy are eligible tools for the normalization of the lymphocyte
predominance.
Radiotherapy remains a localized form of treatment for what

is usually a disease that tends to disseminate. Its principal


advantage over surgery is the preservation of structure and
function of treated organs(26). It is unlikely that a malignancy with
a mass greater than 5 cm in diameter can be sterilized by radiotherapy(27). Radiation induces profound lymphopenia in lymphoid organs and in the general circulation as well. In addition,
it suppresses most immuno-competent cell function(28). X-ray
irradiation has a toxic effect on proliferating and intermitotic
cells as well and has the effect of cycle-nonspecific drugs in
addition. The great majority of immunologically competent
lymphocytes are in the intermitotic phase of the proliferaring
cycle. Consequently, radiotherapy may reduce the number of
blood or tissue lymphocytes and may cause a generalized depletion of immunologically competent cells(28).
Cytotoxic chemotherapy is not selectively toxic for competent lymphocytes but is potentially capable of killing any cell that
has the capacity to replicate(28). Based on their capacity to kill
cells in different phases of the mitotic cycle, cytotoxic drugs can
act as phase-nonspecific drugs, cycle-specific drugs and cyclenonspecific drugs. As cycle-nonspecific drugs, cytotoxic drugs
are equally toxic to both proliferating and intermitotic cells(28).
Consequently, reduction of the number of lymphocytes or even
lymphocyte depletion may be the outcome of therapy as a great
deal of the immuno-competent lymphocytes are in an intermitotic phase of the proliferating cycle. In general, cytotoxic
chemotherapy and radiotherapy are given separately and in
sequence(29) .
Corticosteroids are important adjuncts to the advent of
immuno-suppressive therapy using cytotoxic chemotherapy
and/or radiotherapy. The production of cytotoxic T-lymphocytes
from the non-cytotoxic precursor cells is diminished by corticosteroids in vitro and in vivo as wellm. Corticosteroids appear to
stop the T-helper cells from secreting T-cell growth factor by an
indirect effect. They actively preclude macrophages from secreting interleukin-1 which is known to interact with the T-helper
cells that subsequently elaborate T-cell growth factor(30). Consequently, based on their effect on cell mediated immunity,
corticosteroids reduce the number of lymphocytes. The effect of
corticosteroids on humoral immunity is less profound. Chronic
administration of the drug decreases IgG synthesis, while shortcourse treatment doesn't dampen primary or secondary antibody
responses(30).
The achievement of complete response to radiotherapy
and/or cytotoxic chemotherapy as is based on the acievement of
complete remission of the disease is a good prognostic sign.
Achievement of complete remission of pathologic lesion following surgical resection or following immuno-suppressive medication through the advent of radiotherapy and/or cytotoxic chemotherapy means the achievement of cure which implies the achievement of immune status inherent in healthy naturally infected
individuals or in healthy BCG-vaccinated individuals in the
immune spectrum of tuberculosis.
B2) The enhancement of the early kill of microbial pathogen
through the use of anti-microbial chemotherapy.

The institution of specific anti-microbial chemotherapy when


available following the achievement of complete remission of
malignancy through the advent of surgery, cytotoxic chemotherapy and/or radiotherapy, is essential for the stabilization of
cure, the mechanism of which is based on the eradication of the
remaining causative microbial pathogens.
Beside its killing effect on the remaining causative microbial
pathogens, anti-microbial chemotherapy has the added advantage of being able to bring about a further shift of the position of
immune status in the immune spectrum of the disease from that
of healthy subjects following natural infection to that of subjects
following vaccination.
B3) Stabilization of the cure following complete remission of
malignant lesion through the advent of immuno-therapy.
When specific anti-microbial chemotherapy is not available
or when the causative pathogen is not known, inoculation of BCG
as immuno-therapy is the eligible alternative measure for the
stabilization of cure. Immuno-therapy through the advent of
BCG is aimed at bringing about further shift of the immune status
that has taken place from the KK-type to the K-type following
complete remission of malignant lesions through the advent of
surgery, radiotherapy or cytotoxic chemotherapy. In other words,
immuno-therapy with BCG following complete remission of
malignant lesions through the advent of surgery, radiotherapy
and/or cytotoxic chemotherapy, may bring about a further shift of
the position of immune status in the immune spectrum of the
disease from that of healthy individuals following natural infection to that of healthy individuals following vaccination.
In cancer therapy, immuno-therapy is usually employed
after chemotherapy and radiotherapy. Non-specific systemic
immuno-stimulation can be carried out using agents such as
BCG, with the aim of general stimulation of immunologic
responsiveness.
Bacillus Calmette Guerin (BCG) is a viable attenuated strain
of M. bovis obtained by progressive reduction of virulence via
culture medium enriched with beef bile). It is a whole bacillus
vaccine. Bacillus Calmette Guerin acts mainly by stimulating the
reticulo-endothelial system, i.e. the activation of T-cell and
lymphokine production and the activation of macrophage. It also
stimulates natural killer cells which can kill different malignant
cells non-specifically and without previous sensitization(31). It is
possible that macrophages activated by BCG are more active
killer cells and are more efficient in cleaning antigens or antigenantibody complexes, or are capable of inducing active participation of other cells of the immune system in the fight against
proliferating tumor cells(31). Bacillus Calmette Guerin appears to
enhance the production of stem cells, as was measured by
hematopoietic colony formation. In addition, some investigators
have made the suggestion that BCG cross-reacts immunologically with hepatoma, melanoma and leukemic cells. Immunotherapy with BCG is employed as adjuvant treatment following
cytoreductive treatment of measurable cancer in order to destroy
micrometastasis and the residual tumor cells(31).

II. THE CLINICAL MANAGEMENT OF DISEASES


THAT MAY PRODUCE THE LK-TYPE OF SADIS.
(FIG. 4).
Fig. 4. The clinical management of diseases that may bring about development of Lk-type SADIS
Purpose: Back to basic which means back to L-type immune status
Prevailing Immune Status
L-type

K-type

Early kill of microbial


pathogen thru specific
antimicrobial chemotherapy

Early kill of microbial


pathogen thru specific
antimicrobial chemotherapy
Augmentation of early
kill of microbial
pathogen thru
immunomodulator
Stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG.

KK-type
(Lk-type SADIS)
Early kill of microbial .
pathogen thru:
chemotherapy
radiotherapy
Stabilization of cure
thru specific antimicrobial chemotherapy (when available)
Stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG.

Like in patients with the Tb-type of SADIS, there is Tlymphocyte predominance in patients with the Lk-type of SADIS.
There is also predominance of the cellular immune system when
compared to the humoral immune system (fig. 2).
Based on the characteristics of the immunologic fingerprint
and its resemblance to the Tb-type of SADIS, the principles of
clinical management of diseases that may produce the Lk-type of
SADIS are the following:
A) The clinical management of diseases that emerge as disease
manifestation of the acute (L-type) and chronic (K-type) immune
status.
1) The institution of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expresion is of the L-type or the K-type
immune status.
2) The augmentation of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of immuno-modulators during
the early phase of anti-microbial chemotherapy when disease
expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy.
3) The institution of immuno-therapy following cessation of a
successful anti-microbial chemotherapy for the stabilization of
the cure when disease expression is of the K-type immune status
at start of chemotherapy.
B) The clinical management of diseases that emerge as disease
expression of the KK-type immune status (Lk-type of SADIS).
1) The institution of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of:
1.1. cytotoxic chemotherapy
1.2. radiotherapy
for the regression of immune status from the KK-type to the Ktype or even further to the L-type immune status.
2) The enhancement of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the use of specific anti-microbial chemo-

therapy for the stabilization of the cure following achievement of


complete remission of the disease.
3) The inoculation of BCG as immuno-therapy for the stabilization of the cure following achievement of complete remission
of the disease when specific anti-microbial chemotherapy is not
(yet) available.
A. The clinical management of diseases that emerge as
disease manifestation of the acute (L-type) and the chronic
(K-type) immune status (fig. 4).
Achievement of cure following EBV-infection occurs spontaneously in general in the course of 46 weeks. In some of the
patients symptomsa may persist during months or years; these
patients are considered as suffering from chronic persistent
EBV-infection. Most striking is the presence of antibodies against
EBV-early antigen (EBV-EA) ofteen in high titers(32). There is
hitherto still no effective drug available for the "early kill" of
EBV during the acute and the chronic stage of the disease.
According to Lange and Van der Noordam, aciclovir has some
activity against EBV.
Of the herpes viruses, the herpes simplex virus type 1 (HSV1) and the herpes simplex virus type 2 (HSV-2) are sensitive to
concentrations of aciclovir; the Epstein Barr virus and the cytomegalovirus (CMV) are not sensitive to aciclovir. The VaricellaZoster-virus (VZV) is moderately sensitive to aciclovir(11).
Aciclovir is a selective virustaticum. The drug is active following
conversion into aciclovir-triphosphate which takes place in the
cell that is infected with the virus. Aciclovir is much easier bound
to viral thymidine-kinase than to thymidine-kinase of the host.
The action of aciclovir-triphosphate is based on inhibition of the
viral DNA-polymerase which is essential for the viral DNA
replication. It is important to note that aciclovir is not effective in
latent viral infection(10).
No effective drugs are hitherto available for the "early kill"
of HTLV-I and HTLV-H during the acute and chronic stage of the
disease. In a small group of Japanese patients suffering from
HTLV-I infection in the chronic stage of the disease (tropical
spastic paraparesis), improvement has been observed following
treatment with corticosteroids(32). In other group of patients, this
favourable response of treatment was not confirmed(3,4).
The result of analysis on the significance of the mobility of
the spectrum of the pattern of tuberculin reaction in the immune
spectrum of tuberculosis related to the use of immuno-modulator(23), opens new prospects for the investigation whether immunomodulators given to subjects with chronic disease caused by
EBV, HTLV-I or HTLV-II can accelerate the achievement of
spontaneous cure or delay the progression of the immune status
of chronic disease (K-type) to the Lk-type of SADIS.
On the basis of the result of the advent of immuno-therapy
with BCG in tuberculosis patients following the achievement of
successful result of chemotherapy(24), it is intriguing to speculate
that immuno-therapy with BCG given to subjects with chronic
disease caused by EBV, HTLV-I or HTLV-H following the
achievement of successful result of chemotherapy using effective drugs that hopefully will be made available, may stabilize the
achievement of cure.

B. The clinical management of diseases that emerge as


disease expression of the KK-type immune status (Lk-type of
SADIS) (fig. 4).
Unlike in patients with the Tb-type of SADIS, in patients
with the Lk-type of SADIS, primary malignancy as disease
manifestation of SADIS is located in tissues of various organs of
the host and tends to have a disseminated rather than a localized
character. Surgical resection of the disease is in general not
indicated as an effort to achieve complete remission of the lesion.
In patients with the adult T-cell leukemia as disease expression
of the Lk-type of SADIS due to HTLV-I, the result of treatment
with cytostatica is in general bad; remission is not observed or
only of short duration (quoted from: S. Daenan; Nederl. Tijdschr.
v. Geneesk. 1984, 128, 957-960). Aggressive treatment is considered necessary, but the "classical" combination regimens have
very little influence on the survival. Usually there is only a
response of short duration. Deoxycoformycine (DCF) has been
given to a petient with the adult T-cell leukemia with good result.
Complete remission was observed.
Other cytostatics for further eradication of the abnormal Tcell (a combination of high dosage corticosteroids, cytarabine,
vincristine, doxorubicine and cyclophosphamide) were administered following the achievement of complete remission in an
effort to "consolidate: this effect. A bone marrow aplasia developed following the use of the above combination treatment.
There was no development of relapse during a follow-up period
of 12 months and the patient remained in good health without
specific treatment (quoted from: S. Daenen, Nederl. Tijdschr. v.
Geneesk. 1984, 128, 957-960).
Treatment with interferon can be considered on the basis of
the probable viral genesis(35). Deoxycoformycine (DCF) inhibits
specifically the adenosinedeaminase which leads to cumulation
of deoxyadenosine and deoxyadenosine triphosphate that are
toxic for the cell. A peculiar effect of the drug is that only
lymphocytes, in particular T-lymphocytes, are sensitive to DCF
(quoted from: S. Daenan: Nederl. Tijdschr. v. Heneesk. 1984.
128, 957-960).
Patients suffering from the hairy cell leukemia with splenomegaly and pancytopenia should be treated by splenectomy.
Chemotherapy should be reserved for those patients that fail to
respond to splenectomy or that exhibit development of relapse
after a transient response to splenectomy(36).
The non-Hodgkin's lymphomas are a heterogenous group of
malignancies which primarily involve lymphoid tissues. Radiotherapy and/or chemotherapy are useful tools of management in
patients with NHL. A suitable lymph node, which emerges as a
single palpable lymph node, should be identified and the whole
node removed at operation with the minimum of trauma(37). In
cases with single site involvement of bowel, i.e. at the ileocaecal
junction or the stomach, resection with bowel anastomosis is
indicated(37). Histopathologic diagnosis is of essential importance for the choice of treatment and the prognosis of patients
with NHL. New diagnostic and therapeutic developments in the
last decades have shown that more patients with NHL can be
cured(38). Beside histopathologic examination, immuno-pheno

typifying has also to be done in order to know whether the NHL


is of the B- or the T-cell origine(39).
Patients in stage I or II are treated with radiotherapy on the
affected lymph node station or on the affected lymph node
stations (the socalled involved field radiation therapy(39,40). The
disease-free 5-10 year survival is 60% and 50% respectively(41).
This latter group of patients are likely cured(39). The involved
field radiotherapy is hitherto the only curative treatment modality in patients with low grade non-Hodgkin's lymphoma in
stage I or II(39). Young age-group (< 40-60 year) and/or small
tumor mass are thereby the most important favourable prognostic
factors. More extensive radiotherapy, i.e. on more lymph node
stations, or combination therapy with chemotherapy, has not led
to an obvious improvement of the chance for the achievement of
cure(39).
In patients with stage III and IV NHL, the follicular lymphoma is very sensitive to chemotherapy(39,40). In 50-60% of
patients, complete remission is achieved and in 10-30% a good
partial remission is achieved with cytostatics like chlorambucil,
cyclophosphamide, or a combination therapy with cyclophosphamide, vincristine and prednison (CVP). The advantage
of the combination treatment is that remission is achieved earlier
in the course of treatmentm. The median duration of remission
is 2-3 years and afterwards treatment of relapse cases with the
socalled second line chemotherapy leads to remission of 23
years duration in 60-70% of the patients(42). The mean duration
of survival in patients with low grade NHL in stage III or IV is 7
years.
Although the results of some investigations reveal a higher
remission-percentage and prolongation of disease-free interval,
the total survival duration with more intensive chemotherapy
does not appear to be prolonged(43). Of much influence on the
prognosis is whether or not histologic transformation to a higher
degree of malignancy has taken place. In the course of the disease
this transformation occurs in 3040% of the patients. The
prognosis hereafter is bad. Despite aggressive chemotherapy,
the median duration of survival is only 1 year(39). Long term treatment with interferon-alpha appears to lead to remission in 40%
of patients with follicular lymphoma@3>
At the moment examinations are done in several clinical
investigations to know whether addition of interferon-alpha to
conventional chemotherapy leads to improvement of the result of
treatment(39). Chemotherapy is given to almost every patient
suffering from NHL located in the pancreas. Complete remission
during a minimal follow-up period of 18 months was observed in
50% of patients under treatment with chemotherapy as was
reported by de Jong et al.(44).
Treatment of NHL of intermediate and high grade malignancy consists primarily of combination chemotherapy. In
some treatment schedule, radiotherapy is added as consolidation
treatment, but its additive value has still to be confirmed in an at
random investigation(45,46). Patients with localized intermediate
grade lymphoma may be put under treatment with radiotherapy
alone, but apart from the large cell lymphomas, the risk of relapse
is high(37).

Patients with stage IIIV large cell lymphoma are at present


treated intensively with combination chemotherapy. Complete
remission rate as high as 80% or more have been reported and as
many as 40% of patients are cured(37). Patients with stage I
(1020% of all patients with an intermediate or high grade NHL)
can for the greater part (8090%) be cured with a limited number
of CHOP-courses (cyclophosphamide, doxorubicine, vincristine,
prednison) followed by involved field radiotherapy(45,46).
In stage IIN, a remission percentage of 4060% is
observed with the standard treatment CJOP. With this treatment,
30% of all patients may be cured(47).
Hodgkin's disease (HD) is a multifocal disease(48). The
disease begins in a single lymph node followed by dissemination
to adjacent lymph nodes and then to other organs in a fairly
consistent pattern(49). There are the lymphocyte predominance
and the lymphocyte depletion type in HD. Lymphocyte predominance type is observed in younger patients, is usually limited in
extent and has an excellent prognosis. Most investigators feel that
the lymphocyte-infiltrate found in HD lesion represents the
cellular immune response against the tumor and correlates with
a more favourable prognosis.
Lymphocyte depletion type is at the opposite end of the
spectrum, usually presenting with wide-spread disease and
constitutional symptoms and having a poor prognosis(50).
Depletion of lymphocyte is comparatively rare in HD(51,52).
Progression from lymphocyte predominance to lymphocyte
depletion is associated with worse prognosis(53). The prognosis of
patients suffering from HD is markedly better than that of
patients suffering from NHL as was based on survival chances(54).
There is no standard treatment in patients with HD(55).
Radiotherapy is used in patients with HD; chemotherapy is at
least a component of treatment for advanced disease(52). Since the
advent of radiotherapy and chemotherapy for treatment of patients suffering from HD, the prognosis is impressively improved; 70% of the patients under treatment may even make
recovery(51).
Both chemotherapy and radiotherapy eradicate the disease
under certain circumstances. At present time, the best approach
to treatment is to use either radiotherapy or combination chemotherapy alone in the appropriate stage(48). Radiotherapy and
chemotherapy are also recommended for treatment of HD(56). For
most patients with early HD (stages I-IIA), radiotherapy to a
mantle field remains the treatment of choice. Approximately
70% of patients will be cured using radiotherapy alone. Patients
in whom relapse develops are put under treatment with chemotherapy(52).
It is unlikely that a tumor with a mass greater than five
centimeter in diameter can be sterilized and the dose of radiation
would have to be very high(57). Patients with bulky mediastinal
lymph node enlargement are usually treated with chemotherapy
initially as are patients with advanced HD, many older patients
and those with B symptoms or unfavourable histology(52).
Approximately 30% of patients have B symptoms as defined by
the Ann Arbor staging classification. B-symptoms include night
sweat, unexplained weight loss of more than 10% in 6 months

before diagnosis and fever of more than 38C with no obvious


infection(52).
Patients with advanced HD (stages IIB-IVB) should be put
under treatment with chemotherapy. Evidence reported by a
number of clinical trials now suggests, that adriamycin containing combinations should have a role in the primary treatment of
advanced HD. Adriamycin, bleomycin, vinblastine and dacarbazine (ABVD) have been used alone or in combination with
MOPP (mustine, vincristine, procarbazine, prednisolon) by a
number of centers, and existing data suggest that this may be
associated with improved cure rates(52).
On account of the prolonged survival in patients that have
been put under treatment, late adverse reaction due chemotherapy may emerge, especially the development of neoplasia,
in particular the hematologic malignancies(51).
Since the application of the megavolt apparatus and later the
polychemotherapy it is possible to obtain spectacular response
percentages, resulting in 8090% disease-free interval in the
early stages(58,59) and 6070% in the advanced stages of the
disease(60). A child with HD should be treated primarily with
chemotherapy(61).
Radiotherapy in children has important disadvantages.
Radiotherapy in the period of growth and development appears
to be able to bring about growth disturbances of the tissue under
treatment which results in misformation. Besides, secondary
tumor may develop following radiotherapy.
In a study on the efficacy of cytostatic therapy alone without
additional radiotherapy in children with HD of all stages,
Behrendt(61) has given to children with small (less than 4 cm)
lymph node tumors cytostatic therapy according to MOPP
scheme. Children with initially big (more than 4 cm) lymph node
tumors have been given the same cytostatic therapy plus involved
field radiotherapy as complementary therapy. The result of the
study revealed that of the 16 children treated with chemotherapy
alone, survival was 100% during follow-up periods ranging from
27 to 123 months (median 74 months). Recurrence-free survival
in this group of children amounted to 87.5%. The survival of the
14 children given additional radiotherapy amounted to 93%
during follow-up periods ranging from 26 to 92 months (median
58 months). Recurrence-free survival in this group of children
amounted to 85%. Behrendt(61) made the conclusion that a child
with HD should be treated primarily with chemotherapy.
The achievement of complete remission of disease manifestations of the Lk-type of SADIS means the achievement of
cure and the regression of immune status from the KK-type to the
K-type or even to the L-type, resulting in the augmentation of the
microbicidal activity of the macrophage. Like in the Tb-type of
SADIS, it can be expected that in the Lk-type of SADIS specific
chemotherapy against the causative organism (when available)
may be given following the achievement of complete remission
of the disease with chemotherapy and/or radiotherapy in order to
stabilize the cure. When specific chemotherapy against the
causative organism is not available, inoculation of BCG as
immuno-therapy may then be contemplated.
Bacillus Calmette Guerin was first tried by Mathd and

coworkers in patients that suffer from acute lymphocytic leukemia.


The attempt was based on the experimental observation that
drugs were not able to kill all the tumor cells and that other means,
such as immuno-therapy, were therefore considered necessary to
kill the residual leukemic cells(31). Bacillus Calmette Guerin was
found to be effective in leukemic mice if the number of residual
malignant cells did not exceed 105 (31). The rationale behind the
above finding must be based not on the direct killing effect of
BCG but on the effect of BCG on the bactericidal effect of the
macrophage. Patients receiving weekly doses of BCG by
scarification for a total duration of 5 years following complete
remission of acute lymphocytic leukemia through the advent of
chemotherapy and radiotherapy (of the central nervous system)
appear to have responded best since 7 of 20 (35%) are still in
remission 19 years after initiation of treatment. In contrast, only
21 of 269 children (17.8%) receiving maintenance chemotherapy
alone survive for more than five years(31).
Immuno-therapy with intradermal BCG (approximately 106
viable bacilli) following radiotherapy in patients with lymphoma
(stage IA and stage IIA) give rise to a lower incidence of relapses
and longer duration of remission(31).

14.

15.

16.
17.

18.
19.

20.

REFERENCES
1.

2.
3.
4.
5.
6.

7.

8.
9.
10.
11.

12.

13.

Wibisono J. The duration of augmentation of protective immunity during


anti-tuberculosis chemotherapy. Joint International Congress, 2nd Asian
Pacific Society of Respirology, 5th Indonesian Association of Pulmonologists.1990, 233 (Abstract).
Douglas Piper, Adrian Lee. Duodenal ulcer triple therapy for eradication
of Helicobacter pylori. Medical Progr 1993; 20: 79.
Marshal BJ et al. Prospective double blind trial of duodenal ulcer relapse
after eradication of Campylobacter pylory. Lancet 1988; 2: 1437. Quoted
from: Douglas Piper, Adrian Lee, Med Progr 1933; 20: 79.
George LL et al. Cure of duodenal ulcer after eradication of Helicobacter
pylori. Med J Austral 1990, 153, 145. Quoted from: Douglas Piper, Adrian
Lee. Med Progr 1993; 20: 79.
Rauws EAJ, Tytgat GNJ. Eradication of Helicobaeterpylori cures duodenal
ulcer. Lancet 1990, 1: 1233. Quoted from: Douglas Piper, Adrian Lee.
Med Progr 1993; 20: 79.
Schalm SW, Heytink RA, Buuren HR van, Man RA de. Aciclovir enhances
the antiviral effect of interferon in chronic hepatitis B. Lancet 1985; 1:
35860. Quoted from: Schalm SW: Nederl Tijdschr v Geneesk 1987; 131:
120911.
Thomas HC. Treatment of hepatitis B viral infection. In: Zuckerman AJ.
Viral hepatitis and liver disease. Ndw York, Liss, 1988, 81722. Quoted
from: Lange JMA, Van der Noordaa J: Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992,
136: 95864.
Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. Antiviral agents and viral diseases of
man. New York: Raven Press. 1990; 41559. Quoted from: Lange JMA,
Van der Noordaa J: Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Schalm SW. Antivirale therapie bij chronische hepatitis B; een wens of een
werkelijkheid? Nederl Tijdschr v Geneesk, 1987; 131: 120911.
Van der Veen J. Voorlopige plants bepaling van het nieuwe virustaticum
aciclovir. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1986; 130: 2469.
Hoofnagle JH, Bisceglie AM di, Waggoner JG, Park Y. Interferon-alpha
for patients with clinically apparent cirrhosis due to chronic hepatitis B.
Gastro-enterology 1993; 104: 111621. Quoted from: Hart W. Nederl
Tijdschr v Geneesk, 1993; 137: 17367 (Referaat).
Davis GL, Balart LA, Schiff ER et al. Treatment of chronic hepatitis C
with recombinant interferon-alpha; a multicenter randomized controlled
trial. N Engl J Med 1989; 321: 15016. Quoted from: Lim Che Kit et al.
JAMA, 1993; 9: 79 (Editorial).
Davis GL, Balart LA, Schiff ER et al. Treatment of chronic hepatitis C with
recombinant interferon-alpha; a multicenter randomized controlled trial.

21.

22.

23.
24.

25.

26.
27.
28.

29.
30.
31.

32.
33.

N Engl J Med 1989; 321: 1501-6. Quoted from: Lange JMA en Van der
Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Di Bisceglie AM, Martin P, Kassiandes C et al. Recombinant interferonalpha therapy for chronic hepatitis C; a randomized, double-blind, placebocontrolled trial. N Engl J Med 1989; 321: 1506-10. Quoted from: Lange
JMA en Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Shindo M, Di Bisceglie AM, Cheung Let al. Decrease in serum hepatitis V
viral DNA during alpha-interferon therapy for chronic hepatitis C Ann
Intern Med, 1991; 115: 7004. Quoted from: Lange JMA en Van der
Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Lange JMA, Van der Noordaa J. Ontwikkeling en plants bepaling van
antivirale middelen. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Nokta MA, Reichman RC, Pollard RB: Pathogenesis of viral infection. In:
Galasso GJ, Whitley RJ, Merigan TC eds. Antiviral agents and diseases of
man. New York: Raven Press, 1990; 4985. Quoted from: Lange JMA,
Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Oberg B: Antiviral effects of phosphonoformate. Pharmacol Ther 1983,19:
387415. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Freitas VR, Fraser-Smith EB, Matthews TR. Increased efficacy of ganciclovir in combination with foscarnet against cytomegalovirus and herpes
simplex type 2 in vitro and in vivo. Antiviral Res. 1989; 12: 20512.
Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1992; 136: 95864,
Manischewitz JF, Quinnan Jr GV, Lane HC, Wittek AE. Synergistic effect
of ganciclovir and foscarnet on cytomegalovirus replication in vitro.
Antimicrobial Agents Chemotherapy 1990; 34: 3335. Quoted from:
Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136:
95864.
Nelson MR, BarterG, Hawkins D, Gazzard BG. Simultaneous treatment of
cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338:
250. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Coker RJ, Tomlinson D, Hooner P, Migdal C, Harris JRW. Treatment of
cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338'
5745. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Lusiana. Pengaruh penggunaan immuno-modulator dan immuno-therapy
terhadap keberhasilan pengobatan. Pam 1987; 12: 247.
Lusiana Djunaedi, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin
reaction may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with
BCG. Joint International Congress, 2nd Asian Pacific Soc of Respirologists, 5th Indonesian Association of Pulmonologists 1990; 234 (Abstract).
Liunanda S, Handojo RA, Liunanda D. A down-grading reaction in the
immune spectrum of tuberculosis observed following intradermal inoculation of BCG in healthy infected individuals. Joint International Congress,
2nd Asian Pacific Society of Respirologists, 5th Indonesian Association of
Pulmonologists 1990, 154 (Abstract).
Brada M, Robinson MH. Radiotherapy. Medicine Internat 1991; 4: 383441.
Spiro SG. Lung Cancer, presentation and treatment. Medicine Internat
1991; 4: 3798804.
Webb DR, Winkelstein A. Immuno-suppression, Immuno-potentiation and
anti-inflammatory drugs. In: Basic and Clinical Immunology, 4th Ed. Eds:
DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Edition.
Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 27292.
Grattan (Ben) Mead. Principles of Medical Oncology. Medicine Internat
1991; 4: 38247.
Strom TB. Clinical transplantation. In: Basic and Clinical Immunology,
4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 18997.
Fudenberg HH, Wybran J. Experimental Immuno-therapy. In: Basic and
Clinical Immunology, 4th Ed. Eds: Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,
Wells JV. Maruzen Asian Ed. Lange Medical Publ, Maruzen Asia (Pte)
Ltd, page 71834.
Kulberg BJ, Van der Meer JWM, Bolk JH. Het zal wel een virus zijn
Nederl Tijdschr v Geneesk, 1988; 132: 1935.
Osame M, Matsumoto M, Usuku K et al. Chronic progressive myelopathy
associated with elevated antibodies to human T-lymphotropic virus type I
and adult T-cell leukemia-like cells. Ann Neurol 1987; 21: 11722. Quoted
from: Portegies P, Goudsmit J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135:

1302-6.
34. Portegies P, Goudsmit J. Humaan T-cell lymphotroop virus type I (HTLV
I) als oorzaak van progressive myelopathie. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1991; 135: 1302-6.
35. Nieweg HO, De Wolf J. Lymphoma malignum en virus. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1984; 128: 961-2.
36. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and Clinical Immuno
logy, 4th Eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Edition, Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97.
37. Michael Whitehouse. Non-Hodgkin's lymphomas. Medicine Internat 1991;
4: 3878-81.
38. Tweet JG van den. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over
wegingen bij de "working formulation". Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990;
134: 2327-30. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr
v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
39. Hagenbeek A, Mellink WAM. De behandeling van het non-Hodgkin
lymfoom, anno 1991; is meer beter? Nederl Tijdschry Geneesk, 1991; 135:
2213-7.
40. Ossenkoppele GJ, Huygens PC, Langenhuysen MMAC. Stadidring van het
non-Hodgkin lymfoom; resultaten bij 221 patienten. Nederl Tijdfschr v
Geneesk, 1986; 130: 1016-9.
41. Laurence TS, Urba WJ, Steinberg SM et al. Retrospective analysis of stage
I and II indolent lymphomas at the National Cancer Institute. Internal J
Radiat Oncol Biol Phys 1988; 14: 417-24. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
42. Lister TA. The management of follicular lymphoma. Ann Oncol, 1991; 2:
131-5. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
43. Gilewski TA, Richards JM. Biologic response modifiers in non-Hodgkin's
lymphomas. Semin Oncol 1990; 17: 74-8. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
44. de Jong RS, Damen RMPC, Westerveld BD, Nelis GF. Twee patienten met
non-Hodgkin lymfoom gelokaliseerd in het pancreas. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 432-4.
45. Longo DL, Glatstein E, Duffey PL et al. Treatment of localized aggressive
lymphomas with combination chemotherapy followed by involved field
radiation therapy. J Clinic Oncol, 1989; 7: 1295-302. Quoted from:
Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135:
2213-7.
46. Jones SE, Miller TP, Connors JM. Long term follow-up and analysis for
prognostic factors for patients with limited-stage diffuse large cell lym
phoma treated with initial chemotherapy with or without adjuvant radio
therapy. J Clinic Oncol 1989; 7: 1186-91. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.

47. Coltman CA, Dahlberg S, Jones SE et al. CHOP is curative in thirty percent
of patients with large cell lymphoma; a twelve-year South-West Oncology
Group follow-up. In: Skarin AT ed. Advances in cancer chemotherapy.
New York: NY Park Row 1986; 71-7. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink
WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
48. Ultman JE, Vincent T, DeVito JR. Hodgkin's disease and other lymphomas.
In: Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th Eds. Eds: Petersdorf,
Adams, Braunwald, Isselbacher, Martin, Wilson. Taipen: Mei YaPubl Inc.
New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1983; 751-65.
49. Govan ADT, Macfarlane PS, Callender R. Pathology illustrated (2). Edin
burg, London, Melbourne, New York: Churchill Livingstone, 1981.
50. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and clinical Immuno
logy, 4th eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97.
51. Coleman NC, Williams CJ, Flint A et al. Hematologic neoplasia in patients
treated for Hodgkin's disease. N Engl J Med 1977; 297: 1249-52. Quoted
from: Soesan M. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1987; 131: 1140-1.
52. Mead G (Ben). Hodgkin's disease. Medicine Int 1991; 4: 3875-7.
53. Dorreen MS. Hodgkin's disease. Medicine Int 1987; 2: 1667-70.
54. van den Tweel JG. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over
wegingen bij de working formulation. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990;
134: 2327-30.
55. Mauch P, Larson D, Osteen R et al. Prognostic factors for positive surgical
staging in patients with Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1990; 8: 257-65.
Quoted from: Noordijk, Kluin-Nekemans. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1990; 134: 2423-25.
56. Hancock SL, Cox RS, McDougall IR. Thyroid disease after treatment of
Hodgkin's disease. N Engl J Med 1991; 225: 599-605. Quoted from: Gittay
EJ, Schuurman B. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2400 (Referaat).
57. Spiro SG. Lung cancer; presentation and treatment. Medicine Int 1991; 4:
3798-804.
58. Carde P, Burgers JMV, Henry-Amar M et al. Clinical stages I and II
Hodgkin's disease; a specifically tailored therapy according to prognostic
factors.. Clin Oncol 1988; 6: 239-52. Quoted from: Noordijk, Kluin
Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-25.
59. Rosenberg SA, Kaplan HS. The evolution and summary results of the
Stanford randomized clinical trials of the management of Hodgkin's disease
1962-1984. Intemat J Radiat Oncol Biol Phys, 1985; 11: 5-23. Quoted
from: Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134:
2423-5.
60. Longo DL, Young RC, Wesley M et al. Twenty years of MOPP therapy
for Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1986; 4: 1285-306. Quoted from:
Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-5.
61. Behrendt H. De ziekte van Hodgkin bij kinderen; behandeling, resultaten
met of zonderradiotherapie. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1986; 130: 865-8.

Kegiatan Ilmiah
August 1618, 1994 7th ASEAN Congress of Plastic and Reconstructive Surgery
Bangkok
Information : Congress Secretariat,
Dept of Plastic Surgery, Siriraj Hospital,
Bangkok 10700, Thailand.

Staple Food Based


Oral Rehydration Solutions
Sukwan Handall*, Hao Llying*, Martha Kombong**, Ata Nalun***
* District Health Office, PO Box 108, Wamena 99501
** Irian Jaya Training, World Vision International, Wamena
*** Regional Health Laboratory, Jayapura

INTRODUCTION
Diarrhea is still one of the major killers of children under five
in the Central Highlands of Irian Jaya. One of the causes of this
high mortality is related to the delay of the treatment for the
dehydrated children.
To overcome this problem, Sugar Salt Solution (SSS) and
even WHO-UNICEF Oral Rehydration Salt Solution (ORS)
have been used for home-based treatment for early diarrhea with
or without dehydration. Unfortunately, these solutions do not
shorten the duration of diarrhea and/or decrease stool's volume
and do not encourage parents to rely on these solutions only(1-6).
Rice-based oral rehydration solution was developed in some
countries and the benefits of this solution have been proven by
several studies(1-6). Unfortunately, rice is a luxurious thing and
not always available for the people in the Central Highlands of
Irian Jaya where sweet potato, banana, sago and corn are their
staple foods.
Developing staple food-based oral rehydration solutions in.
the Central Highland will benefit the community.

MATERIALS AND METHODS


Preparation of the materials
Sweet potato (Ipoema batatas) and banana (Musa domestica) were peeled, then sliced very thin and dried under the sun for
4 hours. The dried slices of sweet potato, banana and corn were
pounded with a simple wood mortar. The powder produced was
dried again under the sun for 4 hours. The powder yielded from
sweet potato, corn and banana were 19.2%, 20,8% and 18.2%,
respectively.
Fifty grams of each powder boiled and stirred with distilled
water for about 20 minutes [added until 1 liter of solution] and
cooled in the air. Then all the samples were centrifuged, using

Heuich EBA 3S in 1000 rpm for 5 minutes. The supernatants


were taken and two samples were prepared from each kind of
powder.
Measurement of Sodium, Potassium and Glucose
1) Sodium and Potassium (Flame photometer method)
A standard solution (140 mmol/l of Sodium and 5 mmol/lof
Potassium) was prepared (4 ml distilled water and 200 l standard solution).
Two samples of 200l materials each were added into 4 ml
distilled water. As the concentration of sodium was low, the
solution was not diluted further. But, for potassium measurement, dilution of 2 times was made.
The concentrations of sodium and potassium were examined
by a 400 flame photometer [Corning Medical, England], with
Acetylene gas pressure 1 kg/cm2.
2) Glucose (GOD-PAP method [Boehringer Manheim])
A standard solution was made (100 l standard solution and
23 ml Reagent Glucose). Two samples of 10l materials each
added to 2.5 ml Reagent Glucose. All the materials were warmed
at 37C for 15 minutes in Waterbath model YB-131 (American
Scientific Products). All materials absorbences were examined
on Spectronic 21, (Bausch & Lomb) with filter 610 nm.
RESULTS
The concentrations of sodium, potassium and glucose in
each sample were quite similar, except of the concentration of
glucose in sweet potato (yellow). Banana has the highest sodium
in the solution, and the potassium was not much different. Corn
has the lowest sodium and potassium concentration.
Compared with the WHO-UNICEF Oral Rehydration Salt
solution, all the staple food-based Oral Rehydration Solutions are
hyponatremic, hypokalemic, and hyperglycemic (except yellow
sweet potato, which is a hypoglycemic solution). Unfortunately,

the osmolarity of the solution were not examined so comparisons


could not be made with the WHO-UNICEF ORS (Table 1).
Table 1.

Concentrations of Sodium, Potassium and Glucose

Staple Food
Sweet potato, white
Sweet potato, yellow
Corn
Banana
WHO-UNICEF
Oral Rehydration
Sa1ts(7,8)
Rice Fluor Solution(3)

Sodium
(Mmol/l)

Potassium
(Mmol/l)

Glucose
(mg %)

15.6 23.7
28.0 37.3
9.3
37.3 46.6

9.8 11.6
8.7
3.7
7.5

174 175
47 49
112 113
168 171

90

20

111

1.4

2.0

DISCUSSION
The sodium content of the solutions examined in this study
did not differ very much from the concentration of sodium in
Sugar-Salt Solution and was in the safety range of oral rehydration therapy used for home-treatment(2). Compared with a study
of Rice Flour Solution(3), the sodium content in banana, corn and
sweet potato solutions are higher. It means that the risk of
hyponatremia with sweet potato, corn or banana solutions will be
less than that of Rice-based Oral Rehydration Solution and the
risk of hypernatremia is lower than WHO-ORS(8).
The glucose content in corn is acceptable according the
glucose content of home-made Sugar-Salt Solution and WHOUNICEF ORS(2,7,8). The other solutions have higher glucose
content and this might be related to an increase of osmolarity(6).
Unfortunately, osmolarity of these solutions were not examined.
Although glucose (monosaccharides and dissacharides) increased
the osmolarity, starch in its polymeric form was found in the
solution which decreased the osmolarity(6), so the osmolarity
might not be so high in these solutions. The high content of
glucose in the solutions (except yellow sweet potato and corn)
does not discourage the use of these solutions as the maximum
glucose that can be absorbed in acute diarrhoea is around 2%. If
the concentration was over 2%, it may cause osmotic diarrhoea(2).
Besides those materials, the solutions could have some
amount of protein, dipeptides, neutral amino acids or hydrolysed
proteins which help to couple and to enhance the absorption of
natrium and then, osmotically, water flow in the same direction(1).
All of the contents found in the study of these solutions made

these staple food-based oral rehydration solutions suitable to be


used as home-treatment of diarrhoea with or without dehydration.
Although preparing powders from the staple food are timeconsuming, the benefit of preparing the powder does not only lie
in using the powder as a home-based oral rehydration solution,
but also can be used as the weaning food for babies in the Central
Highland of Irian Jaya.
A further study is needed to assess the impact of these staple
food-based oral rehydration solutions use in the treatment of
dehydration among children under five in the highlands of Irian
Jaya.
CONCLUSION
The staple food (sweet potato, corn and banana)-based oral
rehydration solutions have quite similar contents of minerals and
glucose as in Sugar-Salt Solution, Rice-based Oral Rehydration
Solution and WHO-UNICEF ORS.
ACKNOWLEDGEMENT
We thank Dr. Yenni, Head of Health Laboratory Department in Jayapura
for the permission to use the laboratory, Ms. Andy Hajrah and Ms. Kamla for
assisting on the measurement Sodium, Potassium and Glucose concentration.
We also appreciate the help of Dr. B. Sandjaja MS(PH) and Dr. Budi
Subianto MPH, Provincial Health Office for their suggestions and critics. We
also thank Sue Trenier RN for English language corrections.

REFERENCES
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Mahalanabis D. Development of an improved formulation of oral rehydration


salts with antidiarrhoeal and nutritional properties: a "Super ORS". Geneva:
CDD/DDM/85.3, 1985.
Anonymous. Oral rehydration therapy for treatment of diarrhoea in the home.
Geneva: WHO/CDD/SER/86.9, 1986.
Mota-Hemandez F, Bross-Soriano D, Perez-Ricardez ML. Velasquez-Jones
L. Rice Solution and World Health Organization Solution by gastric infusion
for high stool output diarrhea. AJDC 1991; 145: 937-40.
Gore SM, Fontaine 0, Pierce NF. Impact of rice based oral rehydration
solution on stool output and duration of diarrhoea: meta-analysis of 13
clinical trials. BMJ 1992; 304: 28791.
Anonymous. Solving the weanling's dilemma: power-flour to fuel the gruel?
Lancet 1991; 338: 6055.
Anonymous. Cereal-based oral rehydration solutions-bridging the gap
between fluid and food. Lancet 1992; 339: 21920.
ME Avery et al. Oral Therapy for Acute Diarrhea: the underused simple
solution. NEJM 1990; 323(13): 8913.
Gracey M. Oral therapy for acute diarrhoea. Med 'Austral 1984; 140: 348-9.

Nothing is more exhausting than searching for easy ways to make


a living

Sindrom Hemolitik Uremia


- laporan kasus
Dr M. Nuchsan Umar Lubis DSA
Belgian Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur

PENDAHULUAN
Sindrom Hemolitik Uremia (SHU) adalah penyakit akut
dengan ditandai gejala anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopeni dan gagal ginjal akut(1). Timbul pada semua usia,
tetapi lazimnya pada usia anak-anak, khususnya pada usia prasekolah(2). Sindrom ini di negara barat merupakan penyebab
utama kegagalan ginjal akut pada bayi dan anak(3).

ringan demam, lesu, muntah, diare. Gejala yang paling menonjol dan hampir selalu terjadi adalah gastroenteritis(6).
2) Fase akut
Gejala penderita bertambah berat dengan adanya(3) :
a. Oliguri, hipertensi, edema, hematuri.
b. Anemia hemolitik.
c. Trombositopeni.

TINJAUAN PUSTAKA
Secara epidemiologik terdapat 3 tipe SHU yang secara
klinis berbeda meskipun secara patologi mempunyai karakteristik yang same(4).
1) Purpura Thrombotik Thrombositopenik
Dapat mengenai segala umur, terutama wanita 1050 tahun,
dan jarang terjadi.
Tanda karakteristik yang menonjol: demam, trombositopeni, gangguan neurologik, gagal ginjal akut dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
2) Sindrom Hemolitik Uremia pada anak (SHU anak)
Di negara maju, SHU anak merupakan penyebab terbanyak
(40% dari Gagal Ginjal Akut internal pada usia 04 tahun.
Sedang serangan dapat bersifat endemik maupun non endemik.
3) Sindrom Hemolitik Uremia pada orang dewasa (SITU dewasa)
SHU dewasa merupakan tipe SHU yang tidak banyak
dijumpai, biasanya tidak bersifat sporadik. Gambaran klinik
mirip SHU anak.

PENATALAKSANAAN SHU
Pemantauan berupa evaluasi gagal ginjal akut dan kelainan
hematologi, serta elektrolit(4).
1) Terapi suportif terhadap anemia
Penyebab anemia dalam hal ini hemolisis dan perdarahan,
packed red cell (PRC) dapat diberikan bila Hb kurang dari 20%
atau apabila ada gejala klinis akibat anemia, PRC diberikan
perlahan-lahan 10 ml KgBB atau 6 X BB X Hb yang diinginkan.
Transfusi trombosit jarang diperlukan karena dapat menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah ginjal.
2) Terapi terhadap infeksi
Infeksi dapat terjadi mendahului SHU, clan penggunaan
antibiotik harus tepat dan tidak nefrotoksik.
3) Terapi terhadap hipertensi
Hipertensi terjadi terutama sebagai reaksi renin angiotesin
sehingga obat hipertensi yang dipilih adalah golongan ACE
inhibitor.

ETIOLOGI
Diduga penyebab SHU adalah infeksi bakteri spesifik,
misalnya infeksi demam tifoid dan shigella (terutama pada
daerah endemi).
Di samping itu dapat juga disebabkan virus, riketsia, imunologik; dan idiopatik(5).
GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM
1) Fase prodromal
Penderita tampak sehat dengan gizi baik. Umumnya gejala

LAPORAN KASUS
A, perempuan 12 tahun, dirawat untuk pertama kali di
bagian Anak RSU Langsa pada tanggal 25 April 1993 dengan keluhan utama pucat; 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita
menderita demam tinggi dan lemas, 2 hari kemudian muntahmuntah, pusing, buang air kecil dan buang air besar tidak ada
keluhan, tidak ada riwayat perdarahan sebelumnya dan tidak ada
keluarga yang menderita penyakit seperti pasien ini. Riwayat
kehamilan ibu, persalinan ibu dan perkembangan pasien kesan
normal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan seorang anak perempuan
dengan kesadaran kompos mentis, pucat, tidak sesak, tidak

sianosis, tidak ikterus, Berat badan 25 kg, tinggi badan 135 cm,
suhu 37C. Frekuensi napas 22/menit teratur, frekuensi nadi =
frekuensi jantung 120/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, jantung dan paru tidak ada kelainan. Perut teraba lemas, tidak nyeri
tekan, hati dan limpa tidak teraba; ekstremitas tidak ada kelainan.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 6,2 gr/dl, leukosit 8.660/ul,
trombosit 86000/ul, golongan darah A, eritrosit 2,52 juta/ul, dan
hitung jenis: eosinofil 0%, basofil 0%, neutrofil batang 2%,
neutrofil segmen 64%, limfosit 32%, monosit 2%, sedangkan
pemeriksaan urine menunjukkan adanya proteinuri (2+) eritrosit
1520/Ipb dan leukosit 13/1pb pada sedimen.
Diagnosis kerja saat itu: Anemia aplastik dan observasi
hematuri.
Terapi diberikan transfusi PRC 250 ml.
Sehari kemudian didapati penderita demam tinggi 39,7C,
kelopak mata sedikit membengkak, warna urine air cucian daging. Tekanan darah 120/80 mmHg; pada jantung, paru dan
abdomen tidak ada kelainan. Penderita ditangani sebagai
glomerulonefritis akut, diberi pengobatan antibiotika dan diuretika serta diet rendah garam.
Tangga1 30 April 1993 dilakukan pemeriksaan laboratorium
selanjutnya : Hb 5,2 gr/dl, leukosit 7600/ul, trombosit 76000/ul,
ureum 425 mg/dl, kreatinin 16,7 mg/dl, ASTO 200S1/ml.
Urine : protein (+), eritrosit 2035/1pb dan leukosit 45/Ipb
dalam sedimen.
Diagnosis kerja menjadi anemia hemolitik dan uremia,
dengan kemungkinan Sindroma Uremik Hemolitik.
Diberi pengobatan infus cairan D109b/NaCI 0,9% sebanyak
25 ml/kgbb dan PRC 10 ml/kgbb dengan pengawasan atas tanda-

tanda kemungkinan kelebihan cairan. Diet nefritis I 2000 kal,


protein 20 g dan rendah garam. Furosemid 5 mg. Keadaan pasien
agak membaik, selanjutnya pasien dirujuk kebagian Neprologi
Anak Propinsi.
ANALISIS KASUS
Penderita diduga menderita anemia aplastik; setelah dilakukan penjajakan selanjutnya terjadi hemolisis darah; ini terlihat setelah ditransfusi terjadi penurunan Hb dan adanya tendensi
terjadinya gagal ginjal dilihat dengan meningkatnya kadar ureum.
Pada pemeriksaan urine tampak proteinuri, eritrosit, silinder
granuler dan pada darah tepi menunjukkan perubahan morfologi
dan trombositopeni.
Penyakit SHU merupakan penyakit yang jarang yang
membawa keterlambatan dalam diagnosis.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Setiaty Ga TE. Sindroma Hemolitik Uremia. Simposium Nasional Nefrologi


Anak V, dan Simposium Nasional Gawat Danrat II, Medan 1992. Hall-1.
Tune BM. Tice Heanolitic Uremic Syndrome. In: Lieberman. Clinical Pediatrics Nephrology. Toronto: J.B. Lippincott, 1976. p. 294-300.
Royer P, Habib R, Mathieu H, Broyer M. Hemolytic Uremic Syndrome. In
Royer. Pediatric Nephrology. Major problem in clinical pediatric, VoL XL
Philadelphia-Toronto: W.B. Saunders, 1974. pp. 291-301.
Setiaty Ga TE. Sindroma Hemolitik Uremia, Simposium National Nefrologi
Anak dan Simposium National Gawat Darirat II, Medan 199Z Hall 5.
Bahrum D, Bahar A, Enggar S. Sindrom Uremik HemolitiL Simposium
Nasional Nefrologi Anak, Bandung 1986; Hal. 89-116.
Gianantanio C. Hetnolitic Uremic Syndrome. In: Edelmann. Pediatric
Kidney Disease; 1st ed., Vol. 2. Boston: Little Brown 1978. pp. 724-736.

Sindrom Guillain- Barre


dan Typhus Abdominalis
- laporan kasus
A. Munandar
Unit Neurologi, Rmmah Sakit Husada, Jakarta

ABSTRAK
Sindrom Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid sangat
jarang ditemukan. Penulis melaporkan satu kasus sindrom Guillain-Barre path penderita demam tifoid, menambah kasus serupa yang sebelumnya telah dilaporkan
Chanmugam.

PENDAHULUAN
Manifestasi kelumpuhan yang dapat terjadi pada demam
tifoid mungkin berupa miopati, sindrom Guillain-Barre dan
polineuropati(1). Bentuk sindrom Guillain-Barre sangat jarang
ditemukan dan dalam kepustakaan pernah dilaporkan oleh
Chanmugam(2). Kasus yang dilaporkan penulis berbeda dengan
yang telah diuraikan itu dalam hal penanganannya. Kasus dikenal pertama sebagai sindrom Guillain-Barre dan mendapat penanganan sesuai dengan itu dan baru kemudian diketahui merupakan kasus tifoid, sedangkan kasus penulis sejak pertama diobati
sebagai tifoid (mungkin karena pasien datang ke dokter penyakit
dalam) dan setelah demamnya mereda baru dikonsulkan ke unit
neurologi. Namun kedua-duanya ialah sindrom Guillan-Barre
yang timbul pada infeksi Salmonella.
URAIAN KASUS
Seorang anak laki-laki Indonesia berumur 14 tahun pada
saat masuk perawatan telah menderita demam di rumah selama
empat hari. Bersamaan dengan demamnya ia merasa kesemutan
pada kedua betisnya dan kemudian kedua tungkainya menjadi
lemah. Kelemahan itu bertambah hari bertambah parah sehingga
ia tidak mampu berjalan sendiri. Ia kemudian masuk perawatan
di rumah sakit. Hasil pemeriksaan laboratorium ialah : Hb 13,6
g%; leukosit 7300/mm3; hitung jenis menunjukkan eosinofil 0,
batang 5, segmen 84, limfosit 11; tes aglutinasi S typhi O 1/80 dan
H 1/160 positif; biakan darah juga S typhi positif; urine tidak ada

kelainan. Ia mendapat pengobatan dengankloramfenikol 4 x 500


mg dan pada hari perawatan ke enam ia menjadi afebril. Pada hari
perawatan kelima ia dikonsulkan ke unit neurologi.
Pada pemeriksaan neurologi ditemukan tetraparesis flaksid
dengan tenaga 3, refleks tendo dan refleks patologi negatif.
Gangguan sensorik tidak ditemukan. Pemeriksaan EMG memperlihatkan penurunan kecepatan hantar saraf, penurunan gelombang F dan hilangnya refleks H. Cairan serebrospinal :
jumlah se157/mm', segmen 21 dan limfosit 79; protein 479 mg/
100 ml, gula 57 mg/100 ml; tidak ditemukan bakteri. Atas dasar
penemuan itu ditegakkan diagnosis sindrom Guillain-Barre.
Pengobatan dengan kloramfenikol 4 x 500 mg diteruskan
sampai 10 hari dan kemudian dilanjutkan dengan kloramfenikol
4 x 250 mg. Untuk sindrom Guillain-Barre ia mendapat terapi
penunjang dan fisioterapi.
DISKUSI
Sindrom Guillain-Barre biasanya didahului infeksi virus di
saluran nafas, saluran cerna, (mungkin juga AIDS), vaksinasi,
tindakan bedah atau menjadi penyulit pada proses keganasan.
Mungkin juga terjadi pada difteri dalam minggu ke 5-8, atau
kadang-kadang pads penderita uremi yang kehabisan gizi(3,4).
Dalam kepustakaan baru satu kali dilaporkan sindrom ini pada
demam tifoid(2).
Awitan sindrom ini biasanya akut atau subakut dengan
keluhan kesemutan, baal dan nyeri otot, disusul kelemahan otot

yang mulai, sedikit banyak secara simetri, di tungkai dan kemudian dapat menjalar ke proksimal ke lengan dan saraf otak. Suhu
tubuh biasanya normal. Salah satu ciri utama lain ialah kelemahan otot yang mencolok dan tidak ada atau hanya sedikit
gangguan sensorik. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat
dan respon F dan H abnormal(3). Penyakit ini secara alami pulih.
Pada terapi yang penting ialah kesiapan untuk bantuan pernafasan.
Baik pada kasus Chanmugam maupun kasus penulis
ditemukan demam tinggi pada penderita, yang biasanya tidak
ditemukan pada sindrom Guillain-Barre(3,4). Demam itu baru
hilang setelah penderita mendapat pengobatan terhadap demam
tifoidnya sungguhpun padakasus Chanmugam dari segi susunan
saraf sudah terjadi kemajuan secara lambat clan tetap.
Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit menular
kedua terbesar setelah gastroenteritis(1). Oleh karena itu sindrom
Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid
mungkin lebih sering dijumpai asalkan diwaspadai. Pengenalan
sindrom ini sebagai penyulit demam tifoid perlu disadari karena
berpotensi fatal akibat kegagalan pernafasan; sehingga tidak
boleh dianggap sebagai suatu polineuropati. Polineuropati biasa-

nya melibatkan komponen motorik, sensorik dan vegetatif. Sebaliknya mengenali sindrom Guillain-Barre tanpa mengetahui
kemungkinan kaitannya dengan demam tifoid mungkin juga
berakibat fatal karena infeksi Salmonella tidak diatasi.
KESIMPULAN
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada
demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di
Indonesia di mana demam tifoid masih merttpakan penyakit
menular yang besar.
Sungguhpun sindrom Guillain-Barre umumnya pulih dengan baik namun mungkin terjadi kegagalan pernafasan yang
dapat menimbulkan akhir yang fatal.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.

Dody Ranuhardy, Djoko Widodo. Manifestasi kelumpuhan pads Demam


Tifoid, Medika, 7, 18, 1992; 18(7): 57-59.
Chanmugam D, Waniganetti A. Guillain-Barre Syndrome associated with
Typhoid Fever. BMJ 1969; 1: 95-6.
Adams RD, Victor M. Principles of Neurology, 4th ed. New York: McGrawHill, 1989: 1035-40.
Pryse-Philips W, Murray TJ. Essential Neurology, 2nd ed. 1984 : 591-3.

Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta


pada HLA-B27 positif
- laporan kasus
Suhardjo, Wasisdi Gunawan
Laboratorium Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta

PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar
bagian depan atau pars plikata. Berdasarkan reaksi radang,
uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan
endogen. Untuk selanjutnya, yang banyak dibicarakan adalah
uveitis anterior endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi:
infeksi, proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit
sistemik, neoplastik, dan idiopatik(1). Pola penyebab uveitis
anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik
pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik.
Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya,
namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik(2). Penyakit
sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi:
spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit
Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple(1). Keterkaitan
antara uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien
dengan predisposisi genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al(3).
Angka prevalensi uveitis anterior sekitar 0,19%; namun
angka tersebut meningkat menjadi 1% pada kelompok.populasi
HLA-B27 positif(4). Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan
insidensi pertahun bervariasiantara 8,212 setiap 100.000 penduduk(5,6). Uveitis anterior akuta pada HLA-B27 positif lebih
sering terjadi pada orang Kaukasia dibandingkan orang Jepang.
Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal 50
tahun(5).
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotoDisajikon pads Konas III Peratnu ni, di Bandung, 2226 Juni 1993

fobia, lakrimasi, rasa sakit, clan penglihatan kabur. Mata yang


terkena biasanya satu pihak, disertai dengan adanya flare dan sel
di dalam bilik mata depan; jarang dijumpai adanya hipopion.
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan
faktor penyebab. Uveitis anterior yang disebabkan oleh reaksi
anafilaksis terhadap protein lensa akan didominir oleh adanya
sel-sel besar di bilik mata depan; sedang jika disebabkan oleh
sindroma Reiter justru didominir oleh eksudat fibrin dan sel-sel
kecil atau lazim disebut radang non granulomatosa.
Dalam menentukan penyebab uveitis anterior, sering dijumpai banyak kendala di Indonesia. Pemeriksaan cairan hasil
parasentesis dari bilik mata depan merupakan pemeriksaan yang
lazinrdikerjakan untuk menegakkan diagnosis, namun hal tersebut masih sulit diterima para pasien mengingat risiko tindakan
juga tidakringan. Di samping itu, beberapa teknik pemeriksaan
laboratorium terutama yang menyangkut pemeriksaan imunologik masih relatif mahal. Teknik pemeriksaan histokompatibilitas HLA-B27 relatif langka dan tidak terjangkau pada pasien
uveitis anterior umumnya. Pemeriksaan HLA-B27 pada uveitis
anterior dapat untuk menentukan diagnosis dan prognosis penyakit(7). Di Indonesia belum pernah dilaporkan mengenai gambaran
klinis uveitisanterior pada pasien dengan HLA-B27 positif.
Kasus demikian mungkin saja banyak dijumpai, namun sehubungan dengan beberapa keterbatasan dalam pemeriksaan
HLA-B27 sehingga tidak pemah ditelaah di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk melaporkan kasus uveitis anterior akuta dengan gejala sangat spesifik yang disertai adanya
spondilitis ankilosing. Diharapkan tulisan ini dapat menambah
wawasan dalam penanganan uveitis anterior, serta agar dapat
difahami tentang pentingnya pemeriksaan HLA-B27.

LAPORAN KASUS
Seorang wanita Ny. M umur 34 tahun, alamat: Jetis, Pedan,
Klaten, Jawa Tengah; pada tanggal 7-11-1992 masuk RSUP Dr
Sardjito dengann keluhan mata kanan sakit, penglihatan sangat
kabur, mata merah, dan berair. Keluhan tersebut diderita sejak 7
hari sebelumnya, dan sudah berobat ke RSU Tegalyoso namun
tidak ada perbaikan. Berdasarkan basil pemeriksaan didapatkan:
visits matakanan 1/300, palpebra bleparospasmus berat, injeksi
siliar pada konjungtiva, kornea udem, bilik mata depan flare 4+,
set 3+, eksudat fibrin hampir menutup pupil, hipopion setinggi
2 mm, lensa dan belakang lensa tidak dapat dinilai. Mata kiri
visus 6/6, dan tidak dijumpai kelainan. Riwayat keluarga: ayah
pasien menderita sakit sendi tulang belakang.
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin didapatkan: angka
leukosit 14.400, Hb 13,6 g%, laju endap darah 74 mm, persentase jenis leukosit batang 1%, segmen 90%, dan limfosit 9%.
Kadar glukosa darah puasa 75 mg%. Kadar enzim fosfatase alkali
66 lU/ml, dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan imunologik: faktor reumatoid negatif,
CRP 1/40, ASO 200 lU/ml (+), VDRL negatif, IgG Tokso 600
lU/ml, IgM Tokso-ISAGA negatif, HLA-B27 positif. Uji PPD
pada kulit negatif. Hasil pemeriksaan foto Ro: artritis sakroiliaka dan coxae.
Hasil konsultasi antar unit didapatkan: status reumatologis
didapatkan spondilitis ankilosa, status THT didapatkan etmoiditis, status ortopaedis didapatkan skoliosis torakolumbal yang
balanced, status dermato-venerologis ada persangkaan servisitis
Gonore, status gigi dan mulut didapatkan gigi L 6 gangren.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium penunjang, dan pemeriksaan konsultasi antar unit,
dibuat diagnosis: mata Icarian uveitis anterior akuta pada HLAB27 positif, spondilitis ankilosa, etmoiditis, gigi L 6 gangren,
dan persangkaan servisitis gonore.
Dilakukan terapi non spesifik pada mata yang meliputi:
steroid topikal tiap jam, sulfas atropin tetes 1%, injeksi steroid
sub-tenon anterior 0,8 ml deksametason/hari selama 5 hari,
injeksi deksametason 2 ml intra muskuler/hari dap pagi selama
5 had. Untuk etmoiditis, diberikan amoksilin 3x500 mg selama
5 hari. Tiamfenikol 3 g/hari selama 2 hari diberikan untuk menanggulangi persangkaan servisitids gonore. Untuk spondilitis
ankilosa perlu diberikan senyawa anti radang non steroid, serta
dilakukan fisioterapi. Gigi L 6 gangren yang diduga sebagai
fokal infeksi dilakukan ekstraksi.
Pemeriksaan setelah 7 hari mendapatkan: visus mata kanan
6/60, segmen depan dijumpai reaksi radang ringan, kornea tidak
udem, bilik mata depanflare 2+, sel 1+, beberapa eksudat fibrin,
hipopion tidak ada, pupil luas dengan tepi kurang rata akibat adanya sinekia posterior, terdapat beberapa sisa fibrin dan pigmen
iris di permukaan depan lensa. Segmen belakang tidak dijumpai
kelainan. Dosis terapi steroid diturunkan secara bertahap sampai
dosis rumat, sedang pemberian steroid topikal masih tetap.
Setelah perawatan 14 hari diperoleh hasil: visus mata kanan
6/6, segmen depan tenang, bilik mata depan flare 0, se10, pupil
luas, ada beberapa pigmen iris menempel pada kapsul lensa, sisa

serabut fibrin di tepi iris, lensa jemih, segmen belakang tidak


dijumpai kelainan. Pasien diperbolehkan pulang, dan bisa dilakukan rawat jalan.
Hasil pemeriksaan terakhir tanggai 4-2-1993 didapatkan
status oftalmologis: tidak dijumpai adanya tanda-tanda uveitis
anterior. Penderita masih sering mengeluh adanya nyeri punggung
bawah yang hilang timbul. Status reumatologis: spondilitis
ankilosa; karena penderita tidak tahan terhadap efek samping
obat anti radang non steroid per oral, disarankan pemberian secara topikal. Penderita tetap dianjurkan fisioterapi, guna menghindarkan gejala sisa yang timbul akibat spondilitis ankilosa.
DISKUSI
Reaksi radang yang didominir oleh eksudat fibrin, reaksi
seluler yang kurang menonjol, adanya hipopion, dan proses
radang bersifat mendadak menunjukkan suatu radang non granulomatosa. Reaksi radang yang berat pada kasus ini ditunjukkan
dengan rasa sakit yang memaksa pasien harus dirawat, di samping visus yang turun sampai tingkat kebutaan. Menurut Rao et
al (1992) gambaran Minis uveitis anterior pada HLA-B27 bersifat akut, berat, sering kambung, dwipihak tetapi biasanya tidak
bersamaan(1). Kekambuhan biasanya terjadi walaupun penyembuhan uveitis anterior telah menyeluruh. Lama serangan uveitis
anterior jarang melebihi 6 minggu(8).
Uveitis anterior akuta yang disertai spondilitis ankilosa
sering mirip dengan sindrom Reiter, karena secara imunologik
sama-sama memikiki HLA-B27 positif dan faktor Rheuma yang
negatif. Pada sindrom Reiter dikenal tiga jelala utama: uretritis,
poll artritis, dan konjungtivitis. Gejala pada mata ini dapat diikuti
adanya uveitis anterior, walaupun sangat jarang(1,5). Pada kasus
ini tidak dijumpai adanya: konjungtivitis, artritis sendi lutut,
sendi mata kaki dan tendo Achilles. Pada sindrom Reiter dapat
ditemukan bakteri spesies Chlamydia, Mycoplasma dan spesies
Salmonella baik dalam discharge uretra maupun cairan sendi
yang mengalami peradangan. Pada kasus ini terdapat persangkaan
servisitis Gonore yang ditandai dengan adanya discharge mukopurulen serta bakteri Gram negatif. Keberadaan infeksi bakteri
Gram negatif pada saluran genitourinarius dapat dianggao sebagai pencetus terjadinya uveitis anterior akuta maupun spondilitis ankilosa pada pasien dengan predisposisi genetik HLAB27(9).
Menurut Rothova et al(10) uveitis anterior pada HLA-B27
positif mempunyai karakteristik: umur rerata yang terkena 34,9
tahun, lama serangan 6,1 minggu, interval kekambuhan 100,6
minggu, dan visus turun rerata 3,2 baris Snellen. Bila dibandingkan dengan kelompok uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif:
umur rerata 43,2 tahun, lama serangan 4,4 minggu, interval
kekambuhan 58,3 minggu, visus turun rerata 2,1 bans Snellen.
Keberadaan eksudat fibrin di bilik mata depan, hal itu merupakan
tanda karakteristik pada uveitis anterior dengan HLA-B27 positif. Pengamatan terhadap 73 penderita uveitis anterior dengan
HLA-B27 positif ternyata 56% menjumpai adanya fibrin di bilik
mata depan; namun sebaliknya hanya 10% path kelompok
uveitis anterior dengan HLA-B27 negatif(10). Disimpulkan bahwa

prognosis dan penyulit yang terjadi pada kelompok HLA-B27


positif ternyata lebih serius(10). Pada kasus ini juga dijumpai
adanya hipopion; keberadaan hipopion menunjukkan bahwa
reaksi radang sangat berat dan bersifat hiperakut(5).
Penyebab uveitis anterior pada kasus ini menyangkut beberapa hal, antara lain: tingginya titer anti streptolisin 0, adanya
infeksi bakteri Gram negatif pada saluran genitourinarius, adanya
etmoiditis, dan terjadinya gangren pada gigi L 6. Woods (1956)
melaporkan bahwa keberadaan bakteri streptokokus, gonokokus,
pneumokokus, pseudomonas, dan bakteri koliform dalam suatu
fokus infeksi akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas dengan
sasaran jaringan uvea anterior. Namun teori tersebut sudah
mulai ditinggalkan, semenjak ditemukannya faktor predisposisi
genetik HLA-B27. Infeksi dianggap sebagai pencetus, khususnya infeksi Gram () pada saluran gastro intestinal(11). Antigen
bakteri dan HLA-B27 pada membran sel akan menimbulkan
reaksi sitotoksis sel T, dan mengakibatkan respons imunologik
yang tidak lazim(12). Pada kasus ini mungkin yang berperan
sebagai pencetus adalah infeksi bakteri Gram () pada saluran
genitourinarius.
Beberapa penyulit yang sering timbul pada uveitis anterior
dengan HLA-B27 positif antara lain: sinekia posterior, katarak,
glaukoma sekunder, edema makula kistoid, kebutaan, dan beberapa kasus perlu intervensi pembedahan(10). Kelompok HLAB27 negatif ternyata mempunyai penyulit jauh lebih ringan.
Pada kasus ini walaupun terjadi sinekia posterior, tetapi dapat
dihilangkan; sedang penyulit yang lain tidak dijumpai.
Tujuan terapi uveitis anterior antara lain: mencegah sinekia
posterior, mengurangi kekambuhan, mencegah kerusakan vasa
darah iris, mencegah terjadinya penyulit yang mampu menurunkan visus secara permanen termasuk di sini katarak komplikata
dan edema makula kistoid(5,8). Pada kasus ini reaksi radang sangat
berat, terapi pilihan yang tepat adalah steroid dosis tinggi baik
topikal, peri okuler, maupun sistemik. Perjalanan klinis uveitis
anterior akuta terutama yang menyangkut visus tergantung berat
ringannya serangan, jumlah angka kekambuhan, dan responsibilitas terhadap terapi steroid(7). Pada kasus ini keberhasilan
terapicukup menggembirakan, mengingat penderita datang dalam
kondisi buta dan pulang dengan visus normal. Pemberian anti
radang non steroid pada uveitis anterior agak mengecewakan
hasilnya, walaupun mampu sedikit mengurangi beratnya reaksi
radang(5): Mungkin secara analogis dapat mengurangi penyulit
edema mkula kistoid, berhubung preparat tersebut mampu
mencegah edema makula kistoid pasca bedah katarak(1).
Keterkaitan uveitis anterior dengan penyakit sistemik meliputi spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, artritis psoriatika,
penyakitCrohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Uveitis
anterior akuta merupakan pengejawantahan ekstraartikuler yang
paling serius pada spondilitis ankilosa. Uveitis anterior akuta
terjadi pada 2030% pasien spondilitis ankilosa(3). Pasien uveitis
anterior akuta dengan HLA-B27 positif harus dikonsulkan ke
rheumatologist untuk mengetahui ada tidaknya spondilitis
ankilosa; hal ini mengingat diagnosis awal spondilitis ankilosa
sangat penting. Serangan awal spondilitis ankilosa umumnya
sudah terjadi 10 tahun sebelum diagnosis ditegakkan(4). Walaupun

penyebab spondilitis ankilosa tidak diketahui, namun predisposisi genetik HLA-B27 dan faktor lingkungan dihipotesiskan
ikut berperanan(4). Menurut Rothova et al (1987), pada pasienpasien spondilitis ankilosa yang disertai serangan akut uveitis
anterior dijumpai kenaikan kadar IgA dan IgA circulatory
immune complex serum yang berhubungan dengan adanya
infeksi bakteri Gram () di usus(9). Dalam hal ini antigen bakteri
yang menembus mukosa usus dianggap sebagai faktor pencetus
pada orang dengan predisposisi genetik HLA-B27. Terjadinya
deposisi kompleks imun pada uvea anterior dalam waktu tertentu
dapat menimbulkan reaksi radang. Pada kasus ini ternyata sudah
terjadi deformitas berupa skolibsis, dan diperlukan fisioterapi
guna mencegah terjadinya penyulit lebih lanjut.
KESIMPULAN
Pada setiap kasus uveitis anterior non granulomatosa
perlu diperiksa keberadaan HLA-B27, serta kemungkinan
infeksi bakteri Gram () pada saluran gastro intestinal maupun
genitourinarius. Pada uveitis anterior yang disertai hipopion
dan fibrin harus dicurigai adanya predisposisi genetik HLAB27. Kasus demikian perlu dikonsulkan untuk dicari kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berkaitan khususnya
spondilitis ankilosa, dan sindrom Reiter. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola gambaran klinis penderita
uveitis anterior pada HLA-B27 positif di Indonesia, mengingat
adanya perbedaan etnik maupun lingkungan geografik dibandingkan di negara-negara Barat.

KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

10.
11.
12.
13.
14.

Rao NA, Forger DJ, Augsburger H. The Uvea, Uveitis and Intra ocular
Neoplasms. London: Gower Med. Publ, 1992.
Baohua F. Endogenous uveitis of the Cantonese. Proc 9th Congres APAO,
Hongkong, 1983.
Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLAB27, Lancet 1973; 2: 41-5.
Linssen A, Deller-Says AJ, Dandrieu MR. The HLA-B27 Associated
Syndrome, Excerpta Medics 1982; 134: 85-8.
Smith RE, Nozik RA. Uveitis, A Clinical Approach to Diagnosis and
Management. London: Williams & Wilkins, 1983.
Vadot E, Barth E, Billet P. Epidemiology of Uveitis, Preliminary results of
prospective study in Savoy. Amsterdam: Elsevier Science Publ, 1984.
Feltkamp TEW. H:LA-B27, acute anterior uveitis and ankylosing spondilitis, In: Ziff M, Cohan SB (eds.): Advances in Inflammation Research, Vol.
9, New York: Raven Press, 1985.
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach 2nd ed.
London: Butterworth-Heinemann, 1989.
Rothova A, Luyendijk L, Linssen A, Kijlstra A. IgA serum levels and
circulating immune complexes containing IgA in different uveitis entities.
In: Fregona I, Secchi AG (eds): Proc 4th International Symposium on the
Immunology and Immunopathology of the Eye. Padua, 1987.
Rothova A, Veenendaal WB, Linssen A. Clinical features of Acute
Anterior Uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 100: 375-9.
Saari KM, Laitinen 0, Leirisals M. Ocular inflammation associated with
Yersinia infection, Am J Ophthalmol 1980; 89: 84-8.
Simonsen M, Olsson L. Possible roles of compound membrane receptors
in the immune system, Ann Immunol 1983; 134: 85-9.
Linssen A, Rothova A, Luyendijk L. Acute anterior uveitis in relation to
Ankylosing Spondilitis and HLA-B27, An epidemiologic survey, 1987.
Woods AC. Endogenous Uveitis. Baltimore: Williams & Wilkins, 1956.

Distribusi Geografis Pola Resistensi


Salmonella terhadap Khloramfenikol
dan Antibiotik Pilihan Lainnya
di Daerah Jakarta dan Palembang
Pudjarwoto Triatmodjo
Pusat Penelitian Penyakit Menular Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

RINGKASAN
Untuk mengethui pola resistensi Salmonella di berbagai daerah terhadap antibiotik,
telah dilakukan uji resistensi isolat Salmonella yang berasal dari pendefita gastroenteritis
di Jakarta dan Salmonella dari penderita demam typhoid di Palembang terhadap 5 jenis
antibiotik yaitu Khloramphenikol dengan potensi disk sebesaz 30 g, Kanamisin 30 g,
Ampisilin 10 g, Tetrasiklin 30g dan Kotrimoxazol 25 g. Uji resistensi ini dilakukan
secara in-vitro dengan cara Disk Diffusion (Kirby-Bauer, 1966).
Hasil pengujian menunjukkan, untuk daerah Jakarta tingkat resistensi Salmonella
paling rendah terjadi pada antibiotik Kotrimoxazol sebesar 5,0% dan Kanamisin 12,5%.
Terhadap 3 jenis antibiotik yang lain yaitu Khloramphenikol, Ampisilin dan Tetrasiklin
tingkat resistensi Salmonella mencapai 20,0% ke atas. Ini berarti Kotrimoxazol dan
Kanamisin adalah dua jenigantibiotik yang paling efektif untuk Salmonella khususnya di
Jakarta. Untuk daerah Palembang umumnya ke lima jenis antibiotik yang diujikan di sini
masih cukup efektif terhadap Salmonella. Namun di antara ke lima jenis antibiotik
tersebut yang paling efektif adalah Kanamisin dan Ampisilin karena tingkat resistensi
Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik masih 0,0%. Sedangkan terhadap Kotrimoxazol, Khloramphenikol dan Tetrasiklin tingkat resistensinya antara 5,0% 6,6%.
Kejadian multiresisten dalam pengujian ini menunjukkan bahwa 5,0% isolat Salmonella di Jakarta bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik yaitu terhadap
Khloramphenikol, Tetrasiklin, Ampisilin, Kanamisin dan Kotrimoxazol. Di Palembang
5,0% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap dua jenis antibiotik yaitu terhadap Khloramphenikol dan Kotrimoxazol,1,696 multiresisten terhadap Khloramphenikol
dan Tetrasiklin.
PENDAHULUAN
Infeksi Salmonella dapat muncul sebagai gastroenteritis,
typhus abdominalis dan septikemia(1). Pada gastroenteritis
prevalensi Salmonella bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lainnya dan lebih banyak disebabkan oleh infeksi Salmonella
oranienburg, S. krefeld dan S. paratyphi B. Typhus abdominalis umumnya disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi, tapi
dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C(3).

Resistensi S. typhi terhadap Khloramphenikol dilaporkan


secara sporadik di beberapa daerah di Indonesia, tetapi persentasenya antara tahun 1975 sampai dengan tahun 1983 tidak
meningkat, dengan derajat sensitivitas terhadap Khloramphenikol sebesar 97,8%, Sulfametaxazol-Trimetoprim 99,0%,
meskipun terhadap Ampisilin sudah menunjukkan resistensi
yang cukup tinggi(1).
Gambaran meningkatnya resistensi suatu mikroba terhadap

antibiotik adalah sejalan dengan usia penggunaan antibiotik(4),


peningkatan resistensi ini dipercepat akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, dosis, dan lama terapi.
Oleh karena itu test sensitivitas organisme yang mempunyai
kecenderungan untuk resisten seperti halnya Salmonella sangatlah penting. Pola kuman dan sensitivitasnya dapat bervariasi
pada waktu dan tempat yang berbeda sehingga perlu dilakukan
surveilans resistensi secant berkala, baik dalam skala lokal,
nasional maupun internasional. Hal ini dimaksudkan untuk berbagai kepentingan, antara lain ialah untuk meningkatkan kualitas penulisan resep dokter, mempengaruhi kebijakan penggunaan antibiotik di Rumah Sakit, membantu pemerintah dan swasta
untuk membuat kebijakan dalam suplai dan promosi antibiotik(4,5,6).
Untuk menambah -informasi mengenai pola resistensi Salmonella secara geognlfrs terhadap beberapa jenis antibiotik
pilihan, claim makalah ini disajilcan data basil penelitian uji
resistensi isolat Salmonella yang berasal dari daerah Jakarta dan
Palembang terhadap 5 jenis antibiotik pilihan untuk Salmonella
yaitu Khloramphenikol, Tetrasiklin, Ampisilin, Kanamisin dan
Kotrimaxazol (Sulfametaxazol-Trimetoprim). Uji resistensi ini
dilakukan secara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966), sifatnya
Walsh in-vitro. Cara ini tidak memberi keterangan tentang kadar
that yang dibutuhkan in-vivo, tetapi memberikan petunjuk terhadap pemilihan obat secara tepat.
BAHAN DAN CARA
1) Cara mendapatkan isolat Salmonella
Isolat Salmonella yang akan diuji resistensinya terhadap
antibiotik diperoleh dari basil isolasi sampel rectal swab yang
berasal dari penderita gastroenteritis dan sampel darah vena (5
ml) dari penderita demam tifoid. Terhadap sampel-sampel tersebut dilaakukan identifikasi Salmonella dengan melalui 3 cara
pemeriksaan yaitu plating media (penanaman sampel pada media
perbenihan), test biokimia dan test serologi. Isolat Salmonella
yang diperoleh dari penderita gastroenteritis (diare) merupakan
isolat Salmonella yang berasal dari penderita gastroenteritis yang
berobat ke beberapa rumah sakit di Jakarta. Isolat Salmonella
dari penderita demam tifoid berasal dari sampel darah dari
penderita demam tifoid yang berobat ke Rumah Sakit Pertamina
Plaju, Palembang.
2) Uji resistensi Salmonella terhadap antibiotik
Lima jenis antibiotik (Product BBL) yang diujikan secara
disk diffusion dalam penelitian ini adalah khloramphenikol
dengan potensi disk sebesar 30 g, ampisilin 10g, kanamisin
30 g, tetrasiklin 30 g dan kotrimoxazol 25 g.
Ketentuan mengenai resistensi dan sensitivitasnya didasarkan pads besarnya zona bebas bakteri di sekitar disk antibiotik
dengan berpedoman pads National Committee for Clinical
Laboratory Standards (NCCLS, 1976).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari daerah Jakarta telah dapat diperoleh 40 isolat Salmonella dan dari daerah Palembang diperoleh cukup banyak isolat,

tetapi hanya 60 isolat yang dilakukan uji resistensinya terhadap


antibiotik. Distribusi spesies Salmonella untuk daerah Jakarta
meliputi Salmonella typhi , S. paratyphi B dan C serta Salmonella
Group D dan E. Untuk daerah Palembang ditemukan 2 spesies
yaitu Salmonella typhi dan S. paratyphi A (Tabel 1).
Tabel 1.

Distribusi species Salmonella pads penderita Gastroenteritis di


Jakarta dan penderita Demam tifoid di Palembang tahun
19871989

Species Salmonella

Jakarta (n = 40)

Palembang (n = 60)

Jumlah

Jumlah

2
0
14
7
4
13

2,0
0,0
35,0
17,5
10,0
32,5

48
12
0
0
0
0

80,0
20,0
0,0
0,0
0,0
0,0

Salmonella typhi
Salmonella paratyphi A
Salmonella paratyphi B
Salmonella paratyphi C
Salmonella Group D
Salmonella Group B

Keterangan : n = Jumlah isolat Salmonella

Di Jakarta prevalensi S. typhi pada gastroenteritis dalam


periode 10 tahun tidak banyak berubah. Tabun 1981/1982 ditemukan S. typhi sebesar 1,2%, sedangkan penelitian ini mendapatkan 2,0%(2). Pada gastroenteritis tidak ditemukan Salmonella paratyphi A, tetapi pada kasus-kasus demam tifoid
prevalensi S. paratyphi A cukup menonjol (di Palembang) sedangkan S. paratyphi B dan C damn pemeriksaan ini prevalensinya sangat kecil sehingga tidak dilakulcan uji resistensi untuk
isolat tersebut.
Pola resi stensi Salmonella penyebab gastroenteritis di Jakarta dan
penyebab demam tifoid di Palembang dapat dilihat pada Tabel
2 dan 3. Dalam tabel 2 tampak bahwa dun jenis antibiotik yang
masih cukup efektif untuk Salmonella penyebab gastro-enteritis
di Jakarta adalah kanamisin dan kotrimoxazol karena
Tabel 2.

Pola resistensi Salmonella penyebab Gastroenteritis di Jakarta


terhadap 5 jenis antibiotik pada pengujian dengan Disk Diffusion
Method, 1989 (n = 40).
Antibiotik/Potensi

Khloramphenikol/30 g
Tetrasiklird30 g
Kanamisin/30 g
Ampisilin/10 g
Sulfametoxaavl-Trimetoprim/25 g

Jumlah Isolat redden


n

8
10
5
7
2

20,0
25,0
12,5
17,5
5,0

Tabel 3. Pola resistensi Salmonella penyebab Demam tifoid di Palembang


terhadap 5 jenis antibiotik pads pengujian dengan Disk Diffusion
Methods, 1989 (n = 60)
Antibtotik/Potenal
Khloramphenikoy30 g
Tetrariklird30 its
Kanamisin/30 g
Ampisilin/10 g
Sulfametoxazol-Trimetoprim/25 g

Jumlah isolat resisten


n

96

4
3
0
0
3

6,6
5,0
0,0
0,0
5,0

tingkat resistensi Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik tersebut masih cukup rendah yakni sebesar 12,5% dan 5,0%. Tiga
jenis antibiotik yang lain yaitu ampisilin, khloramphenikol dan
tetrasiklin efektivitasnya di bawah kanamisin dan kotrimoxazol.
Di sini terlihat bahwa tingkat resistensi Salmonella terhadap.
ampisilin sebesar 17,5%, khlorampheniko120,0% dan tetrasiklin
25,0%. Mengingat tingkat resistensi Salmonella terhadap khloramphenikol telah mencapai 20,0%, barangkali perlu dipertimbangkan kembali kedudukan khloramphenikol yang sampai saat
ini merupakan antibiotik pilihan utama untuk kasus infeksi
Salmonella. Bila dibandingkan dengan tahun 1983, terlihat
penurunan sensitivitas Salmonella terhadap khloramphenikol;
tahun 1983 sensitivitas Salmonella sebesar 97,8%, tetapi tahun
1989 sebesar 80,0%. Jadi telah terjadi penurunan sensitivitas
sebesar 17,8% dalam kurun waktu sekitar 6 tahun.
Berbeda dengan Jakarta, di Palembang antibiotik ampisilin
dankanamisin efektivitasnya terhadap Salmonella paling tinggi
dibandingkan dengan kotrimoxazol, tetrasildin dan khloramphenikol. Dalam uji resistensi ini derajat efektivitas kanamisin dan
ampisilin terhadap Salmonella masih mencapai 100%, sedangkan
kotrimoxazol sebesar 95% (Gambar 1).
Umumnya efektivitas kotrimoxazol terhadap golongan
enterobakteri patogen lebih baik daripada ampisilin seperti halnya di Jakarta dan daerah lain. Tetapi di Palembang terjadi hal
yang sebaliknya, efektivitas ampisilin lebih tinggi daripada
kotrimoxazol. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan antibiotik kotrimoxazol lebih menonjol secara tidak terarah, se-

hingga mempercepat timbulnya resistensi(7).


Kejadian multiresisten yang timbul pada isolat Salmonella
untuk daerah Jakarta dan Palembang tertera pada tabel 4 (untuk
daerah Jakarta) dan tabel 5 (untuk daerah Palembang). Dalam
tabel 4 terlihat bahwa di Jakarta 5,0% isolat Salmonella dalam
pengujian ini bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik
yaitu tetrasildin, ampisilin, kanamisin, khloramphenikol dan
kotrimoxazol. Keadaan ini dapat merisaukan kalangan medis/
klinisi karena bila terjadi outbreak yang disebabkan oleh kuman
tersebut maka tidak ada lagi obat pilihan yang mampu membunuh kuman secara sempurna sehingga penderita bisa terancam
jiwanya. Kejadian multiresisten pada isolat Salmonella dari
daerah Palembang (tabel 5) belum begitu complicated. Di sini
terlihat bahwa 5,0% isolat Salmonella bersifat multiresisten
terhadap dua jenis antibiotik yaitu terhadap khloramphenikol dan
kotrimoxazol dan 3,3% multiresisten terhadap khloramphenikol
dan tetrasiklin.
Timbulnya resistensi kuman terhadap berbagai jenis antibiotika
terjadi karena adanya superinfeksi akibat penggunaan
Tabel 4.

Pola Resistensi Isolat Salmonella yang diperoleh dari penderita


diare di Jakarta terhadap 5 jenis antibiotik dengan cara Disk
Diffusion (Kirby Bauer, 1966) (n = 40)
Multi antlbiotik

Jumlah isolat resisten

96

C, Te, K, Am, SxT


C,Te,K,Am
C, Te, Am

2
1
4

5,0
2,5
10,0

Gambar 1. Diagram resistensi isolat Salmonella (dalam %) yang berasal dari Jakarta dan Palembang
terhadap 5 jenis antibiotik tahun 1989

Tabel 5.

Pula Resistensi Isolat Salmonella yang berasal dari penderita


demam tifold dl Palembang terhadap 5 jenis antibiotik dengan
cara Disk Diffusion (Kirby Bauer, 1966) (n = 60)
Multi antlbiotlk
C, SxT
C, Te

Jumiah isolat resisten

96

3
1

5,0
1,6

Keterangan : C = Chloramphenieol
Te = Tetracyclin
X = Kanamrycin
Am = Ampicillin
SxT = Sulfametoxazol-Trimetoprim (Kotrimoxazol)

Salmonella typhi dan S. paratyphi A.


Di Jakarta 2 jenis antibiotik yang paling efektif untuk Salmonella adalah kotrimoxazol (sulfametoxazol-trimetoprim) dan
kanamisin, sedangkan di Palembang adalah ampisilin dan
kanamisin. Multiresistensi isolat Salmonella di Jakarta lebih
complicated daripada multiresistensi di Palembang. Di Jakarta
multiresistensi isolat Salmonella mencapai 5 jenis antibiotik
yaitu khloramphenikol, kanamisin, ampisilin, tetrasiklin dan
kotrimoxazol, sedangkan di Palembang hanya dua jenis antibiotik yaitu terhadap khloramphenikol dan kotrimoxazol.
KEPUSTAKAAN

(5)

antibiotik secara berlebihan . Mekanisme multiresistensi ini


telah dapat diungkapkan oleh beberapa ahli pada tahun 1970(7)
yang ternyata berlangsung secara genetik, di mana terdapat suatu
segmen DNA bersifat mobil yang disebut R-Plasmid yang dapat
berpindah dari plasmid yang satu ke plasmid yang lain atau dari
plasmid ke khromosom. R-Plasmid sebagai faktor pembawa
sifat resisten mengkode resistensi kuman terhadap antibiotika.
Transfer R-Plasmid di dalam tubuh manusia terjadi karena hilangnya flora normal usus akibat penggunaan antibiotik secara
berlebihan. Dalam hubungan ini apakah proporsi penggunaan
antibiotik secara berlebihan di Jakarta lebih besar daripada di
Palembang sehingga multiresistensi yang timbul di Jakarta
menjadi lebih complicated merupakan suatu hal yang sangat
menarik untuk diteliti lebih lanjut.
KESIMPULAN
Distribusi spesies Salmonella untuk penyebab diare di Jakarta
meliputi Salmonella typhi, S. paratyphi B dan C, S. Group D dan
E. Untuk penyebab demam tifoid di Palembang ditemukan

1.

Anonimous. Performance Standards for Antimicrobial Disk Susceptibility


Test. National Committee for Clinical Laboratory Standards, 1976.
2. Simanjuntak CH. Aspek mikrobiologi penyakit diare (Review). Proc
Patemuan British Penelitian Penyakit Dice di Indonesia. Badan Penelitian
dan Pergembangan Kesehatan Dep Kes RI. Jakarta. 2123 Oktober 1982.
Hal: 199-208.
3. Haeruddin Pagam, Ch. Makaliwy. Demam Tifoid pads Antic di RSU
Ujung Pandang. Medika (Jull)1986;12(7): 622-6.
4. Gan, R. Setiabudy. Antimikroba. Fannakologi dan Terapi, Edisi III. Penerbit: Bagian Farmakologi FKUI 1987. Hal: 514-526.
5. Sudannato P. Kebijakan pemakaian antibiotika dalam kaitannya dengan
resistensi kuman. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1986; I: 22-7.
6. Anonimous. Pilihan antimikroba pads berbagai infeksi. Infornatorium
Obat Generik. Direktorat Jenderal POM, Dep Kes RI, 1989.
7. Muhario LH. Aspek genetik resistensi kuman. Kumpulan Makalah Simposium Perkembangan Antibiotika pads Penanggulangan Infeksi dan
Resistensi Kuman. Jakarta, 6 September 1986.
8. WHO. CDD Program for Control Diarrhoeal Diseases. Manual for Laboratory Investigation of Acute Enteric Infection, 1987.
9. Suparnan dkk. Ilmu Penyakit. Dalam. Jilid I, Edisi II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI 1987. hal: 32-48.
10. Rianto Setiabudi. Pemilihan antibiotik secara rational. Maj Farmakol dan
Terapi Indon 1988; 5(1): 2936.

Kegiatan Ilmiah
October 914, 1994 20th International Congress of the International Academy
of Pathology & 11th World Congress of Academic and
Environmental Pathology
Hong Kong
Information : Congress Coordinator,
Department of Anatomical and Cellular Pathology, The Chinese University of Hong Kong,
Room 38019, 1/F, Prince of Wales Hospital,
Shatin, Hong Kong.

Informasi Obat
Clamobit
KOMPOSISI :
Setiap kaplet Clamobit 500 mg mengandung :
Amoksisilin trihidrat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 578
setara dengan Amoksisilin anhidrat . . . . . . . . . . . 500
Kalium klavulanat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148,75
setara dengan Asam Klavulanat . . . . . . . . . . . . . . 125

Clamobit 250 mg.


mg
mg
mg
mg

INDIKASI :
Untuk pengobatan :
Infeksi traktus respiratorius bagian atas
Infeksi traktus respiratorius bagian bawah
Infeksi traktus urinarlius
Infeksi kulit dan urinarlius
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Gonorhoea.
termasuk yang disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase
POSOLOGI :
Dewasa dan anak di atas 12 tahun (> 40 kg) infeksi berat 1
kaplet, 500 mg 3 x sehari.
Infeksi ringan sampai dengan sedang, 1 kaplet 250 mg 3 x sehari.
Pemakaian 1 kaplet Clamobit 500 mg tidak dapat diganti dengan
2 kaplet Clamobit 250 mg karena kadar asam klavulanat dalam
satu kaplet Clamobit 500 mg tidak sama dengan dua kaplet

PERINGATAN DAN PERHATIAN :


Kadang-kadang menimbulkan reaksi hipersensitif pada
penderita yang mempunyai riwayat sensitif terhadap bermacam alergi.
Hati-hati bila diberikan pada wanita hamil dan pada bayi
yang ibunya sensitif terhadap amoksisilin.
Pengobatan hendaknya tidak melebihi 14 hari tanpa peninjauan kembali.
EFEK SAMPING :
Amoksisilin/kalium klavulanat umumnya ditoleransi dengan
baik. Efek samping kadang-kadang bisa terjadi diare, mual,
urtikaria. Raksi kepekaan yang serius dan fatal adalah anatilaksis terutama terjadi pada penderita yang hipersensitif terhadap
penisilin.
KONTRA INDIKASI : Penderita yang hipersensitif terhadap
penisilin.
CARA PENYIMPANAN : Simpan di tempat sejuk dan kering.
KEMASAN :
Clamobit 500 mg. botol isi @ 15 kaplet No. Reg.
DKL930280850981

Motipep
Komposisi :
Motipep 20 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 20 mg
Motipep 40 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 40 mg
Cara Kerja Obat :
Motipep suatu antagonis reseptor Histamin H2 yang bekerja
menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan sekresi
pepsin yang dirangsang oleh pentagastrin.
pH intragastric noctural meningkat dengan pemberian Motipep per malam hari yaitu 5,0 dan 6,4.

Motipep mengalami metabolisme lintas pertama secara minimal. Setelah pemberian dosis oral kadar puncak plasma tercapai
dalam 1 - 2 jam.
Kadar plasma setelah pemberian dosis berulang sama dengan
pemberian dosis tunggal.
Waktu paruh eliminasi Famotidine 2 - 3 jam.
Indikasi :
Pengobatan jangka pendek pada duodenal ulcer aktif.
Terapi pemeliharaan pada penderita yang baru sembuh dari

duodenal ulcer aktif.


Pengobatan pada kondisi hipersekresi patologis seperti
sindrom Zallinger-Ellison & adenoma endokrin multipel.

Posologi:
Terapi akut
40 mg sekali sehari sebelum tidur: atau 20 mg dua kali
sehari. Biasanya pengobatan cukup dilakukan selama 4
minggu dan jarang diperlukan pengobatan lebih dan 6 8
minggu.
Terapi pemelihanaa
20 mg sekali sehari, sebelum tidur.
Kondisi hipersekresi patologis : 20 mg setiap 6 jam.
Peringatan Dan Perhatian:
Sebelum memulai tetapi dengan Famotidine, malignansi
gaster harus disingkirkan dahulu.
Pengalaman penggunaan pada anak-anak, wanita hamil dan
menyusui belum mencukupi.
Dosis Famotidine pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal yang berat perlu dikurangi.
Hati-hati bila digunakan pada penderita gangguan fungsi
hati.

Efek Samping:
Headache, dizziness, konstipasi, diare, thrombocytopenia dan
arthralgia.
Kontra Indikasi:
Hipersensitif terhadap Famotidine.
Interaksi Obat:
Obat mi tidak menimbulkan efek bermakna pada disposisi
obat-obat yang dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom
p450 hati seperti teofihin, warfanin, diazepam dan lain-lain.
Cara Penyimpanan : Simpan di tempat sejuk dan kering.

Kemasan:
Moltipep 20 No. Reg. DKL 9302808/09 Al - 1 Box isi 3 Strip
@ 10 kaplet.
Motipep 40 No. keg. DKL 9302806709 Bl - 1 Box 3 strip @
10 kaplet.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER

ANDA MEMBUTUHKAN MAJALAH CERMIN DUNIA KEDOKTERAN


EDISI LAMA ?
Di dalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia Kedokteran dan Cermin Dunia
Farmasi, sebagai berikut :
Cermin Dunia Farmasi No. 11
50 eksemplar
Cermin Dunia Farmasi No. 12
100 eksemplar
Cermin Dunia Farmasi No. 14
300 eksemplar
Cermin Dunia Farmasi No. 15
200 eksemplar
Cermin Dunia Farmasi No. 18
100 eksemplar
Cermin Dunia Kedokteran No. 72 Sanitasi dan Kesehatan
Cermin Dunia Kedokteran No. 80 Edisi Khusus Ulang Tahun USU
Cermin Dunia Kedokteran No. 81 Edisi Khusus RS Sumber Waras

50 eksemplar
100 eksemplar
300 eksemplar

Sekiranya edisi tersebut di atas masih diperlukan, sejawat dapat memberitahukan


kepada kami melalui surat; kami akan mengirimkannya selama persediaan masih ada
secara cuma-cuma.
Redaksi

ABSTRAK
CIMETIDINE MENGURANGI BERAT BADAN ?
Menurut penelitian orang Norwegia,
cimetidine membantu pasien mengurangi berat badan. Baik resipien cimetidine maupun plasebo diminta mengikuti diet rendah kalori. Berat badan
resipien cimetidine rata-rata berkurang
lebih banyak 7,3 kg daripada resipien
plasebo setelah 8 minggu.
Dr Stoa - Birketvedt memberi postulat bahwa cimetidine dapat mengurangi
rasa lapar sehingga pasien-pasien
menjadi lebih ketat terhadap dietnya.
Mekanismenya belum diketahui tapi
mungkin karena hambatan sekresi asam
lambung yang berperan terhadap nafsu
makan. Namun menurut penelitian orang
Denmark, yang mengulangi penelitian
orang Norwegia tidak ada efek cimetidine terhadap beratbadan atau rasa lapar, sehingga basil penelitian menyimpulkan cimetidine tidak efisien dalam
pengobatan kegemukan.
Prof. John Garrow, St. Bartholemew's Hospital Medical College,
London, UK menentang penemuan Dr.
Stoa - Birketvedt. Beliau menyatakan,
beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada pola penurunan berat badan dengan cimetidine adalah :
Penurunan berat badan adalah tetap
setelah 8 minggu. Umumnya, penurunan berat badan pada orang-orang gemuk
lebih besar pada minggu-minggu pertama diet, kemudian berkurang.
Laju penurunan berat badan adalah
sama pada individu-individu dengan
berat badan awal yang lebih tinggi
ataupun yang lebih rendah.
Kedua hal tersebut masih sulit dijelaskan dan belum diteliti.
Kesimpulannya adalah tetap "mengherankan" bahwa cimetidine dan plasebo
memberi efek yang berbeda di Norwegia dan Denmark.
Inpharma 1993; 885: 15
Id

EFEK SAMPING KLOZAPIN


Klozapin merupakan antipsikotik
yang efektif terutama untuk kasus-kasus
skizofreniarefrakter; tetapipenggunaannya menyebabkan risiko agranulositosis.
Analisis data mengenai penggunaan
klozapin atas 11.555 pasien menunjukkanbahwa agranulositosis dideteksi pada
73 pasien, 2 pasien di antaranya meninggal dunia akibat komplikasi infeksi.
Sebanyak 61 pasien di antaranya telah
dapat dideteksi dalam 3 bulan pertama.
Analisis statistik menunjukkan bahwa
angka kejadian kumulatif adalah sebesar
0,80% (95%CI: 0,61-0,99) pada satu
tahun dan 0,91% (95%CI: 0,621,20)
pada satu setengah tahun. Risiko ini
lebih besar pada wanita dan meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia.

SALBUTAMOL UNTUK HIPERKALEMIA


Menurut peneliti-peneliti Turki, inhalasi salbutamol dosis rendah efektif
dalam mengobati hiperkalemia pada
penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan karena itu mungkin juga bisa
digunakan secara intravena.
Konsentrasi Kalium plasma turun
secara bermakna pada kedua kelompok
pasien setelah 30 menit mendapat salbutamo10,18 mg (n=50) atau glukosa IV +
insulin IV (n=20). Sebaliknya, kelompok kontrol yang sehat (n=20) tidak
menunjukkan efek hipokalemia secara
bermakna setelah menghirup salbutamol.

N. Engl. J. Med. 1993; 329: 1627


Hk

PEMBASMIAN H. PYLORI
Menurut Prof. James Freston, University of Connecticut, US, adalah
tindakan gegabah kalau pasien-pasien
yang menderita ulkus duodeni hanya
diobati dengan pembasmian Helicobacter pylori karena pembasmian Helicobacter pylori bukan merupakan
jawaban terhadap penyembuhan tapi
hanya merupakan "strategi dominan".
Menurut Prof. H Festen dari Groot
Hospital, Netherlands, regimen standard yang digunakan saat ini adalah
metronidazol, bismuth, dan amoksisilin
mempunyai efek merugikan yang tidak
dapat diterima pada 40% pasien. Prof.
Freston menambahkan lagi bahwa terapi kombinasi omeprazole dan amoksisilin mempunyai efek merugikan yang
lebih kecil dan basil yang lebih baik
daripada regimen triple tersebut.

BLOKADE ANDROGEN PADA


KANKER PROSTAT
Terapi kombinasi gonadorelin dan
antiandrogen dapat memperpanjang
masa hidup penderita kanker prostat.
Pengobatan dengan gonadorelin saja
hanya menurunkan 50 60% level
hormon prostat (karena tidak terjadi
blokade androgen yang dilepas dari
kelenjar adrenal). Dengan penambahan
antiandrogen, terjadi hambatan uptake
androgen dan ikatan pada jaringan target mengakibatkan blokade androgen
secara sempurna.
Penelitian Institut Kanker Nasional,
US pada 603 penderita kanker prostat
lanjut, menemukan bahwa pengobatan
dengan gonadorelin, leuprorelin, antiandrogen, flutamide meningkatkan
masa hidup 6 bulan dan pada salah satu
kelompok terjadi perpanjangan 2 tahun.
Pada penelitian lain, 23% pasien yang
mendapat regimen kombinasi keadaannya membaik dibanding dengan kelompok kontrol, 54% bertambah parah.

Inpharma 1993; 885: 7


Id

Inpharma 1993; 885: 18


Id

Inpharma 1993; 893: 15


Id

ABSTRAK
DEBAT KOLESTEROL
Tingginya kadar kolesterol dalam
darah sampai saat ini dianggap sebagai
biang keladi berbagai penyakit, seperti
aterosklerosis dan penyakit-penyakit
kardiovaskular. Tetapi apakah menurunkan kadar kolesterol betul bermanfaat menurunkan mortalitas ?
Akhir-akhir ini antusiasme terhadap
penurunan kadar kolesterol darah agak
berkurang karena adanya data yang
menunjukkan kemungkinan kenaikan
mortalitas akibat sebab-sebab non
kardiovaskular. Beberapa penelitian
yang membandingkan obat penurun
kolesterol dengan plasebo menjumpai
kenaikan angka kematian akibat trauma
(kecelakaan atau bunuh diri) dan akibat
kanker di kelompok yang mendapat obat.
Masalah ini agaknya bukan sekedar
kebetulan, dan studi epidemiologik menunjukkan kemungkinan adanya kaitan
antara rendahnyakadarkolesterol darah
(kurang dari 4 mmol/1) dengan meningkatnya risiko kanker, kecelakaan
dan infeksi.
Beberapa peneliti mengkhawatirkan
pengaruh kadar kolesterol yang rendah
terhadap integritas membran sel, sehingga mempengaruhi kemampuannya
untuk beradaptasi pada keadaan infeksi,
defisiensi imun atau perubahan-perubahan prekanker. Prof. Oliver dari
Wynn Institute, London mengamati
rendahnya kadar serotonin dalam otak
pada keadaan tersebut; padahal serotonin merupakan salah satu neurotransmiter otak yang penting.
Penelitian masih terus berlanjut,
sementara itu British Hyperlipidemia
Association telah mengeluarkan pedoman sebagai berikut (tabel) :
Langkah pertama ialah modifikasi
diet; pemberian obat dipertimbangkan
bila usaha diet tidak berhasil.
Scrip 1993 (April); 13: 67
Brw

Tabel
SUPLEMENTASI VITAMIN A
Health Study yang melibatkan 1455
anak usia 6-59 bulan telah dilakukan di
Ghana untuk melihat pengaruh suplementasi vitamin A atas morbiditas dan
mortalitas.
Anak-anak tersebut dibagi menjadi
dua kelompok, masing-masing menerima 200.000 IU retinol (100.000 U untuk anak usia kurang dari 12 bulan) atau
plasebo setiap 4 bulan selama 26 bulan;
percobaan ini merupakan bagian dari
Survival Study yang melibatkan 21.906
anak usia 6-90 bulan yang diamati
sampai 26 bulan.
Ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam hal pievalensi diare ataupun infeksi saluran napas bagian atas;
meskipun demikian, kelompok vitamin
A lebih jarang mengunjungi klinik
(rate ratio 0,88, 95%CI: 0,81 - 0,95, p =
0,001), lebih jarang dirawat di rumah
sakit (rate ratio 0,62, 95%CI: 0,42
0,93, p = 0,02), lebih sedikit yang
meninggal dunia (rate ratio 0,81, 95%CI:
0,68 - 0,98, p = 0,03) dibandingkan dengan kelompok plasebo. Angka mortalitas akibat gastroenteritis akut juga
lebih rendah di kalangan vitamin A
(0,66, 95%CI: 0,47 - 0,92, p = 0,02),
juga akibat penyakit lain, kecuali akibat
infeksi saluran nafas bawah dan ma-

laria, meskipun tidak bermakna secara


statistik.
Lancet 1993; 342: 712
Hk

PEDOMAN PENGOBATAN. HIPERTENSI


Pedoman pengobatan hipertensi edisi
terbaru yang dikeluarkan oleh British
Hypertension Society untuk pertama
kalinya mencantumkan obat anti hipertensi baru - penyekat ACE, antagonis
kalsium dan penyekat alfa - sebagai
obat-obat yang dapatdigunakan sebagai
pilihan pertama pada pasien-pasien yang
tidak dapat menggunakan penyekat beta
atau diuretik akibat kemungkinan efek
samping, seperti pasien-pasien dengan
diabetes melitus, asma atau impotensi.
Selain itu pedoman tersebut menganjurkan pengobatan atas orang-orang
dengan tekanan diastolik90-100 mmHg
yang juga mempunyai faktor risiko
seperti penyakit jantung koroner, diabetes, pria usia lanjut, perokok dan hiperlipidemi.
Tiazid masih dianjurkan sebagai
pilihan pertama pada pasien usia lanjut
(lebih dari 60 tahun) dan pada pasien
hipertensi sistolik.
Scrip 1993; 1812: 34
Brw

Ruang Penyegar dan


Penambah Ilmu Kedokteran
Dapatkah saudara menjawab
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
menggunakan :
a) Helmet.
b) Ear-muff:
c) Ear plug.
d) Head cap.
e) Semua perlu.
7. Masalah kesehatan utama pada penerbangan berkaitan
dengan :
a) Kecepatan terbang.
b) Tekanan udara dalam kabin.
c) Ruangan yang relatif sempit.
d) Posisi badan yang statis.
e) Semua benar.
8. Usia kehamilan yang merupakan kontraindikasi terbang
bagi primigravida :
a) 36 minggu.
b) 34 minggu.
c) 32 minggu.
d) 30 minggu.
e) Tidak ada pembatasan.
9. Batas yang diperbolehkan bagi penderita stroke untuk ter bang ialah setelah :
a) 1 minggu
b) 2 minggu
c) 3 minggu
d) 4 minggu
e) Sama sekali tidak tidak diperbolehkan
10. Batas minimal Hb seseorang agar diperbolehkan terbang
(g/100 ml) :
a) 5
b) 7,5
c) 8
d) 10
e) 12

JAW ABAN RPPIK

1. Physiological zone - daerah yang masih dapat ditoleransi


oleh manusia tanpa perubahan faal yang nyata, berad dari
permukaan tanah sampai ke tinggian :
a) 5000 kaki.
b) 10000 kaki.
c) 15000 kaki.
d) 25000 kaki.
e) 50000 kaki.
2. Gejala awal hipoksi yang perlu diwaspadai karena sering
menyesatkan ialah :
a) Menguap.
b) Mengantuk (sedation)
c) Lesu.
d) Gembira (euphoria)
e) Disorientasi.
3. Gaya gravitasi yang paling dapat ditoleransi tubuh ialah :
a) Gaya G positif.
b) Gaya G negatif.
c) Gaya G transversal.
d) Gaya G horisontal.
e) Semua sama toleransinya.
4. Gaya G negatif akan menyebabkan gejala :
a) Red-out
b) Black-out.
c) Grey-out
d) Tubular sight
e) Diplopia.
5. Daerah bising yang sama sekali tidak dapat dimasuki ialah
bila tingkat kebisingannya lebih dari :
a) 100 dB.
b) 115 dB.
c) 135 dB.
d) 150 dB.
e) 180 dB.
6. Untuk melindungi daya pendengaran, pramugari dianjurkan

1. B
2. D
3. C
4. A
5. D

6. C
7. B
8. A
9. C
10. B

Anda mungkin juga menyukai