Kesehatan Penerbangan
Kesehatan Penerbangan
Dunia Kedokteran
1994
93. Kesehatan
Penerbangan
Juni 1994
Daftar Isi :
2. Editorial
4. English Summary
Artikel
5. Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan Sukotjo Danusastro
18. Aspek Kesehatan Bandar Udara Suroso Wirosoekarto
22. Kesiapan Kesehatan Penumpang Airline Yusbar Mira, Bintarti
Sampurna, Lukman Hakim
28. Lakespra Saryanto sebagai Pusat Pembina Kesehatan Penerbangan
Hartono
31. Peranan UNS dalam Kedokteran Dirgantara A.A. Subiyanto,
Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro
34. Prospek Penelitian Biomedik di Luar Angkasa Pratiwi Sudarmono
37. Various Types of Specific Acquired Deficient Immune Status
(SADIS) following Various Kinds of Microbial Infection - 5a. the
clinical management of diseases that may produce SADIS with
lymphocyte predominance RA Handoyo, Anggraeni Inggrid
Handoyo
47. Staple Food Based Oral Rehydration Solutions Sukwan Handali, Hao Liying, Martha Kombong, Ata Naiun
49. Sindrom Hemolitik Uremia laporan kasus Nuchsan mar Lubis
51. Sindrom Guillain-Barre dan Typhus Abdominalis laporan kasus
A. Munandar
53. Gambaran Klinis Uveitis Anterior Akuta pada HLA-B27 positif laporan kasus Suhardjo, Wasisdi Gunawan
56. Distribusi Geografis Pola Resistensi Salmonella terhadap Khloramfenikol dan Antibiotik Pilihan Lainnya di Daerah Jakarta dan
Palembang Pudjarwoto Triatmodjo
60. Informasi Obat : Clamobit, Motipep
62. Abstrak
64. RPPIK
Cermin
Dunia Kedokteran
1995
KETUA PENGARAH
Prof. Dr Oen L.H. MSc
KETUA PENYUNTING
Dr Budi Riyanto W
PEMIMPIN USAHA
Rohalbani Robi
REDAKSI KEHORMATAN
Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro
Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
TATA USAHA
Sigit Hardiantoro
ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran
P.O. Box 3105 Jakarta 10002
Telp. 4892808
Fax. 4893549, 4891502
NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976
Tanggal 3 Juli 1976
PENERBIT
Grup PT Kalbe Farma
PENCETAK
PT Midas Surya Grafindo
PELAKSANA
Sriwidodo WS
REDAKSI KEHORMATAN
English Summary
GUILLIAN-BARRE
SYNDROME
AND TYPHUS ABDOMINALIS
A. Munandar
Neurology
Unit,
Jakarta, Indonesia.
Husada
Hospital,
CLINICAL FEATURE
OF ACUTE
ANTERIOR UVEITIS IN HLA-B27
POSITIVE : CASE REPORT
Suhardjo, Wasisdi Gunawan
Department of Ophthalmology, Faculty
of Medicine University of GadJah Mada,
Jogjakarta, Indonesia
GEOGRAPHICAL DISTRIBUTION OF
SALMONELLA RESISTANCE TOWARDS CHLORAMPHENICOL AND
OTHER ANTIBIOTIC IN JAKARTA
AND PALEMBANG
Pudjarwoto Triatmodjo
Communicable
Diseases
Research
Centre, Health Research and Development Board, Department of Health,
Jakarta, Indonesia.
Artikel
Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan
Dr. H. Sukotjo Danusastro, DSKP, MBA
Perkespra Pusat, Jakarta
ABSTRAK
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja
dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya. Akan
tetapi manusia sejak zaman dahulu ingin terbang seperti burung dan akhirnya berhasil
terbang dengan balon pada abad ke-18.
Sejak abad tersebut dunia penerbangan berkembang sangat pesat baik jarak tempuh,
kecepatan, ketinggian dan daya angkat maupun kegiatannya. Keberhasilan ini telah dapat
meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun bukannya tanpa risiko karena manusia
memang tidak terbiasa tinggal di ketinggian.
Untuk menghadapi hal tersebut maka Ilmu Kesehatan harus mengembangkan diri
untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan bagi tubuh manusia dan cara-cara penanggulangannya. Maka lahirlah Ilmu Kesehatan Penerbangan sebagai salah satu cabang
Ilmu Kesehatan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.
Faktor-faktor ketinggian yang mempengaruhi faal tubuh manusia adalah menurunnya tekanan udara, tekanan parsiil oksigen, suhu udara dan gaya berat dan lain-lain. Di
samping itu manouvre penerbangan dapat mengganggu faal tubuh seperti faal sistem
kardio-vaskuler, sistem pernapasan, penglihatan, keseimbangan, pendengaran dan lainlain.
Karena itu mempelajari aspek aerofisiologi dalam penerbangan adalah penting agar
kita dapat mencegah dan mengatasi pengaruh buruk penerbangan. Dengan demikian kita
dapat memanfaatkan udara bagi penerbangan dengan selamat, nyaman, aman dan cepat.
PENDAHULUAN
Umum
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat. Sebagai
makhluk daratan manusia telah terbiasa dan menyesuaikan diri
untuk hidup di lingkungan daratan atau pada, atmosfer yang
paling rendah. Namun sejak zaman dahulu manusia ingin terbang
seperti burung, suatu hal di luar kebiasaannya. Setelah melalui
Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.
nerbangan lagi bersama Tissander, yang juga menggunakan kantong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini mencapai ketinggian 28.000 kaki dan berakhir dengan kematian
Sivel dan Groce-Spinelli karena hipoksia sedang Tissander hanya
pingsan saja. Tissander membuat catatan yang sangat lengkap
tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerbangan
ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria
sebelum hipoksia dan oksigen tidak mencukupi untuk penerbangan tinggi.
Dengan munculnya pesawat terbang, bertambahlah kesukaran dan bahaya penerbangan yang dapat mengancam jiwa
penerbang. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang
tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah,
telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi; sebagian besar
ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang
menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang
timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-penelitian yang dilakukan pada perang dunia pertama; kira-kira 90%
kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau kurang tahan uji terhadap bahaya penerbangan.
Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbangan mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga
perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini
dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Penerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu
Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa.
RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA
Ruang lingkup naskah ini meliputi fisiologi penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan kelainan-kelainan yang timbul dalam tubuh manusia akibat
penerbangan, dan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Pendahuluan
2. Atmosfer
3. Pengaruh ketinggian pada faal tubuh
4. Pengaruh percepatan dan kecepatan terhadap tubuh
5. Pengaruh penerbangan pada alat keseimbangan
6. Pengaruh penerbangan pada alat penglihatan
7. Penutup
ATMOSFER
Pengertian
Atmosfer adalah selubung gas atau campuran gas-gas, yang
menyelimuti bumi. Campuran gas-gas ini disebut udara. Di atas
atmosfer disebut ruang angkasa. Ruang angkasa adalah ruang
dimana tidak ada lagi udara, bila masih ada udara atau gas maka
daerah itu masih atmosfer, karena molekul gas yang sangat
ringan dapat terlepas dari gaya tarik bumi dan beredar ke ruang
angkasa. Oleh karena itu dibuat perjanjian tentang batas antara
atmosfer dan ruang angkasa. Batas ini di Rusia, menurut A.A.
Lavikov adalah 3.000 km, sedang di Amerika, menurut Armstrong adalah 6.000 mil.
Susunan Atmosfer
Susunan atmosfer pada zaman dahulu berbeda dengan su-
Tabel 1.
Atmospheres
Space
Outer
Inner
Spheres
Exosphere
Ionosphere
Layers
Atomic
F (F1 + F2)
E
F
Stratosphere Upper Mixing
Warm
Isothermal
Troposphere Advertion
Ground
Bottom
1) Physiological Zone
Daerah ini terbentang dari permukaan bumi sampai ke
ketinggian 10.000 kaki. Di daerah ini orang praktis tidak mengalami perubahan faal tubuhnya, kecuali daya adaptasi gelapnya
saja yang memanjang bila berada pada ketinggian lebih dari
5.000 kaki.
2) Physiological Defficient
Di daerah ini orang akan mengalami kekurangan fisiologi
atau mengalami kelainan faal tubuh berupa hipoksia, tetapi
masih dapat ditolong dengan pemberian oksigen saja. Daerah
ini terbentang dari ketinggian 10.000 kaki sampai 50.000 kaki.
3) Space equivalent zone
Atmosfer di atas 50.000 kaki dinamakan space equivalent
zone, karena di sini orang akan mengalami hipoksia berat dan
canapertolongan atau perlindungan sama seperti di ruang angkasa.
OZONOSFER
Di samping lapisan-lapisan atmosfer di atas, kita mengenal
suatu lapisan dalam atmosfer yang disebut ozonosfer karena
mengandung banyak gas ozone. Lapisan ini terbentang antara
ketinggian 12 km sampai 70 km dan yang terbanyak ozonenya
berada pada ketinggian antara 45 km sampai 55 km. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ozonosfer adalah payung bumi
terhadap sinar ultra violet.
Tekanan Atmosfer
Seperti benda-benda lain, gas juga mempunyai berat. Berat
1 meter kubik udara pada permukaan laut dengan tekanan 760
mmHg dan suhu 0C adalah 1.293 gram. Oleh kanena berat udara
inilah maka tiap permukaan atau bidang di dalam atmosfer menerima teknan, yang besarnya sesuai dengan berat udara yang
ada di atasnya. Tekanan inilah yang disebut tekanan atmosfer
atau tekanan barometer bila diukur untuk tiap sentimeter persegi.
Padapermukaan laut tekanan ini besarnyasama dengan 1,033 kg/
cm2. Telah dilakukan pengukuran tekanan atmosfer ini pada
garis lintang 45 pada permukaan laut dan suhu 0C pada luas
permukaan 1 cm2. Hasilnya sama dengan tekanan satu kolom air
raksa setinggi 760 milimeter dengan penampang dan suhu yang
sama. Oleh kanena itu 760 mmHg ini disebut 1 atmosfer. Satu
atmosfer juga sering dinyatakan dengan 14,7 PSI (pound per
Square Inch). Tekanan satu atmosfer ini juga sering digunakan
Tinggi (Km)
16
32
48
64
80
Tekanan (Atm)
0,1
0,01
0,00
0,0001
0,00001
Ketinggian (kaki)
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
16.000
18.000
20.000
22.000
24.000
26.000
28.000
30.000
32.000
34.000
35.000
36.000
38.000
40.000
Tekanan (mmHg)
Temperatur (C)
760,0
706,0
656,3
609,3
564,4
522,6
483,3
446,4
411,8
379,4
349,1
370,8
294,4
269,8
246,9
225,6
205,8
187,4
175,9
170,4
154,9
140,7
15,0
11,0
7,1
3,1
0,8
4,8
8,9
12,7
16,7
20,7
24,6
28,6
32,5
36,5
40,5
44,4
48,4
52,4
55,0
55,0
55,0
- 55,0
42.000
44.000
46.000
48.000
50.000
52.000
54.000
56.000
58.000
60.000
127,9
116,3
105,7
96,05
87,30
79,34
72,12
65,55
59,58
54,15
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
55,0
Suhu Atmosfer
Semakin tinggi kita naik semakin rendah temperatumya.
Pada lapisan atmosfer bagian bawah, berlaku suatu ketentuan,
bahwa suhu akan menurun 2C setiap kita naik 300 m ke atas
atmosfer. Pada lapisan stratosfer suhu telah menjadi sekitar
55C.
Pada lapisan ionosfer terjadi reaksi pembentukan ion, sehingga suhu pada lapisan ini naik menjadi 2.000C.
Jelas bahwa pada penerbangan tinggi dengan menggunakan
pesawat yang ada pada dewasa ini, yang terpenting adalah
problem penurunan suhu sehingga perlu dilengkapi dengan alat
pemanas.
Radiasi
Radiasi di atas atmosfer berasal dari matahari atau dari
planet-planet lain. Radiasi ini berupa gelombang-gelombang
elektromagnetik. Bumi kita diselubungi oleh suatu atmosfer
yang dapat menahan atau mengabsorbsi sinar-sinar radiasi tersebut, sehingga sampai di permukaan bumi tidak lagi membahayakan. Lapisan ozon mempunyai daya untuk mengabsorbsi
sinar ultra violet sehingga jumlah kecil saja dari sinar tersebut
yang sampai di permukaan bumi; di samping itu atmosfer juga
memantulkan kembali radiasi dari beberapa gelombang elektromagnetik.
Jadi intensitas radiasi akan makin meningkat bila kita naik
ke atas atmosfer, sedangkan radiasi yang intensitasnya tinggi
membayakan tubuh manusia.
Magnit Bumi dan Sabuk Radiasi
Bumi memiliki magnit yang kutub-kutubnya berada di utara
dan selatan. Akibat adanya magnit bumi ini, maka radiasi yang
berbentuk partikel bermuatan listrik akan bergerak mengikuti
garis medan magnit, sehingga terbentuklah daerah yang intensitas radiasinya sangat tinggi. Dr. James A Van Allen menemukan
sabuk radiasi yang intensitasnya sangat tinggi ini yang terkenal
dengan nama Van Allen Belt. Intensitas radiasi ini demikian
besarnya sehingga dapat mematikan manusia yang berada di
tempat tersebut. Van Allen Belt ini mengganggu gelombang
radio yang dipakai untuk komunikasi ke planit lain.
Sabuk radiasi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu inner belt
dan outer belt. Di belahan bumi bagian barat, batas bawahnya
antara 500 600 km, sedang di belahan bumi sebelah timur batas
bawahnya pada ketinggian 1.600 km. Batas luar sabuk ini antara
7.000 km 10.000 km.
Di atas daerah kutub bumi didapatkan daerah yang bebas
dari sabuk radiasi ini. Oleh karenanya penerbangan ruang angkasa akan lebih aman bila keluar dari atmosfer bumi melalui
daerah kutub.
Hukum Gas
Hukum gas berguna untuk menjelaskan gangguan fisiologi
pada penerbangan. Hukum gas yang penting adalah :
1) Hukum Difusi Gas
Hukum difusi gas ini penting untuk menjelaskan pernapasan, baik pernapasan luar maupun dalam. Hukum ini mengatakan
bahwa gas akan berdifusi dari tempat yang bertekanan parsiilnya
tinggi menuju ke tempat yang tekanan parsiilnya rendah. Sedang
kecepatan berdifusi ini ditentukan oleh besarnya selisih tekanan
parsiil tersebut dan tebalnya dinding pemisah.
2) Hukum Boyle
Hukum ini penting untuk menjelaskan masalah penyakit
dekompresi. Hukum Boyle ini mengatakan bahwa apabila volume suatu gas tersebut berbanding terbalik dengan tekanannya.
P.V = C
P
V
C
=
=
=
3) Hukum Dalton
Hukum ini penting untuk menghitung tekanan parsiil gas
dalam suatu campuran gas, misalnya menghitung tekanan parsiil
oksigen dalam udara pernapasan pada beberapa ketinggian guna
menjelaskan masalah hipoksia. Hukum ini mengatakan bahwa
tekanan total suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan
parsiil gas-gas penyusun campuran tersebut.
pt = P1 + P2 + .. + Pn
Pt = Tekanan total campuran gas
P1, P2 dan seterusnya adalah tekanan parsiil masing-masing gas.
4) Hukum Henry
Hukum ini penting untuk menjelaskan penyakit dekompresi, seperti bends, chokes, dan sebagainya yang dasarnya
adalah penguapan gas yang larut.
Hukum ini mengatakan bahwa jumlah gas yang larut dalam
suatu cairan tertentu berbanding lurus dengan tekanan parsiil gas
tersebut pada permukaan cairan itu.
A
P
Al x P2 = A2 x P2
= jumlah gas yang larut
= Tekanan parsiil gas pada permukaan cairan.
5) Hukum Charles
Hukum ini penting untuk menjelaskan tentang turunnya
tekanan oksigen atau berkurangnya persediaan oksigen bila isi
tetap, maka tekanan gas tersebut berbanding lurus dengan suhu
absolutnya. Jadi bila kita membawa oksigen dalam botol pada
penerbangan tinggi, suhunya akan lebih rendah, maka tekanan
gas tersebut akan menurun pula. Atau dengan kata lain persediaan
oksigen akan berkurang.
Bila isi tetap :
P1 : P2 =
P1 = Tekanan semula
P2 = Tekanan yang baru
T1 = Suhu absolut mula-mula
T2 = Suhu absolut kemudian
T1 : T2
Umum
Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang
dapat merugikan faal tubuh khususnya dan kesehatan pada
umumnya, yaitu :
1) Perubahan atau mengecilnya tekanan parsiil oksigen di
udara. Hal ini dapat mengganggu faal tubuh dan menyebabkan
hipoksia.
2) Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer. Hal ini
dapat menyebabkan sindrom dysbarism.
3) Berubahnya suhu atmosfer.
4) Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation)
maupun dari kosmos lain (cosmic radiation).
Dari keempat perubahan ini yang akan dibahas adalah
masalah hipoksia dan dysbarism. Masalah pengaruh perubahan
suhu hanya dibahas secara umum karena akan lebih banyak
dibahas pada masalah survival dan masalah bail out. Sedang
masalah radiasi tidak dibahas di sini, karena pengaruhnya pada
penerbangan biasa kurang berarti dan hanya penting dibicarakan
bila kita membahas masalah penerbangan ruang angkasa.
Hipoksia
Pengertian :
Hipoksia adalah keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk
menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara pada
ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun
atau mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara
pernapasan akan berakibat terjadinya hipoksia.
Sifat-sifat hipoksia :
1) Tidak terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu
bahwa bahaya hipoksia ini telah menyerangnya.
2) Tidak memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering
memberikan rasa gembira (euphoria) pada permulaan serangannya, kemudian timbul gejala-gejala lain yang lebih berat sampai
pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian.
Macam hipoksia
Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam,
yaitu .
1) Hypoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena menurunnya tekanan parsiil oksigen dalam paru-paru atau karena
terlalu tebalnya dinding paru-paru. Hypoxic-Hypoxia inilah yang
sering dijumpai pada penerbangan, karena seperti makin tinggi
terbang makin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan
parsiil oksigennyapun akan makin kecil.
2) Anaemic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang disebabkan karena
berkurangnya hemoglobin dalam darah baik kanena jumlah darahnya sendiri yang kurang (perdarahan) maupun karena kadar
Hb dalam darah menurun (anemia).
3) Stagnant-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya
bendungan sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak
lancar, maka jumlah oksigen yang diangkut dari paru-paru menuju sel persatuan waktu menjadi kurang. Stagnant hipoksia ini
sering terjadi pada penderita penyakit jantung.
4) Histotoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya bahan racun dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran
pemapasan dalam.
Gejala-gejala hipoksia
Gejala yang timbul pada hipoksia sangat individual, sedang
berat ringannya gejala tergantung pada lamanya berada di daerah
itu, cepatnya mencapai ketinggian tersebut, kondisi badan orang
yang menderitanya dan lain sebagainya.
Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan,
yaitu :
1) Gejala-gejala Obyektif, meliputi :
a) Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terusmenerus
b) Frekuensi nadi dan pernapasan naik
c) Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi
d) Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif misalnya
memasukkan paku ke dalam lubang yang sempit
e) Cyanosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru
f) Lemas
g) Kejang-kejang
h) Pingsan dan sebagainya.
2) Gejala-gejala Subyektif, meliputi :
a) Malas
b) Ngantuk
c) Euphoria yaitu rasa gembira tanpa sebab dan kadang-kadang timbul rasa sok jagoan. Rasa ini yang harus mendapat perhatian yang besar pada awak pesawat, karena euphoria ini banyak
membawa korban akibat tidak adanya keseimbangan lagi antara
kemampuan yang mulai mundur dan kemauan yang meningkat.
Pembagian hipoksia berdasarkan ketinggian
Gejala-gejala hipoksia yang timbul ditentukan oleh ketinggian tempat orang tersebut berada. Ketinggian ini dapat
dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1) The Indifferent Stage, yaitu ketinggian dari sea level sampai
ketinggian 10.000 kaki. Biasanya yang terganggu oleh hipoksia
di daerah ini hanya penglihatan malam dengan daya adaptasi
gelap terganggu. Pada umumnya gangguan ini sudah mulai nyata
pada ketinggian di atas 5.000 kaki; oleh karena itu pada latihan
terbang malam para awak pesawat diharuskan memakai oksigen
sejak di darat.
2) Compensatory Stage, yaitu ketinggian dari 10.000 sampai
15.000 kaki.
Pada daerah ini sistem peredaran darah dan pernapasan telah
mengadakan perubahan dengan menaikkan frekuensi nadi dan
pernapasan, menaikkan tekanan darah sistolik dan cardiac output untuk mengatasi hipoksia yang terjadi. Pada daerah ini sistem
saraf telah terganggu, oleh karena itu tiap awak pesawat yang
terbang di daerah ini harus menggunakan oksigen.
3) Disturbance Stage, yaitu ketinggian dari 15.000 kaki sampai
20.000 kaki.
Pada daerah ini usaha tubuh untuk mengatasi hipoksia
sangat terbatas waktunya, jadi pada daerah ini orang tidak akan
dapat lama tanpa bantuan oksigen. Biasanya tanda-tanda serangan hipoksia ini tidak terasa hanya kadang-kadang saja timbul rasa
malas, ngantuk, euphoria dan sebagainya, sehingga tahu-tahu
orang tersebut menjadi pingsan.
Gejala-gejala obyektif antara lain pandangan menjadi menyempit (tunnel vision), kepandaian menurun, judgement ter-
tubuh melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian terjadi dengan cepat, maka usaha mengadakan keseimbangan tidak
cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga
tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat merobekkan selaput gendang. Kelainan ini disebut aerotitis atau
barotitis. Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu ketinggian berkurang, bahkan lebih sering terjadi karena pada waktu
turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan
di luar sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah,
sedang muara tuba eustachii di tenggorokan biasanya sering
tertutup sehingga menyukarkan aliran udara.
Bila ada radang di tenggorokan lubang tuba Eustachii makin
sempit sehingga lebih menyulitkan aliran udana melalui tempat
itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya banotitis menjadi lebih
besar. Di samping itu pada waktu turun udara yang masuk ke
telinga tengah akan melalui daerah radang di tenggorokan, sehingga kemungkinan infeksi di telinga tengah sukar dihindarkan.
Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah :
a) Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar
tidak terlalu besar selisih tekanan antana udana luan dengan
telinga tengah.
b) Menelan ludah pada waktu pesawat udana naik agar tuba
Eustachii terbuka dan mengadakan gerakan Valsava pada waktu
pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan
hidung kemudian meniup dengan kuat.
c) Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit
saluran pernapasan bagian atas.
d) Penggunaan pesawat udana dengan pressurized cabin.
Tindakan represif pada kelainan ini adalah :
a) Bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan :
1) Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil
menelan ludah berulang-ulang sampai hilang gejalanya.
2) Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat diturunkan kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi.
b) Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan :
1) Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava berulang sampai gejalanya hilang.
2) Bila usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali
sampai rasa sakit hilang, kemudian datar lagi untuk sementara.
Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat diturunkan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava .
terus menerus.
Post Flight Ear Block
Ada kejadian seperti barotitis tadi pada waktu selesai terbang tinggi saat penerbangnya sedang tidur pada malam
harinya. Banotitis demikian disebut post flight ear block dan
terjadi kanena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus
selamapenerbangan sampai ke bumi, sehingga udana yang masuk
ke telinga tengah kaya akan oksigen. Oksigen ini akan diserap
oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup
sehingga tekanan udara luan menimbulkan rasa sakit.
3. Sinus Paranasalia
Muara sinus paranasalis ke rongga hidung pada umumnya
sempit. Sehingga bila kecepatan naik atau turun sangat besar,
maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga sinus dan udara
luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit di sinus
yang disebut aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang
selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi pada waktu
naik maupun turun dengan prosentase yang sama. Pada keadaan
radang saluran pernapasan bagian atas, kemungkinan terjadinya
aerosinusitis makin besar. Aerosinusitis ini lebih jarang bila
dibandingkandengan aerotitis, karena bentuk saluran penghubung
dengan udara luar.
4. Gigi
Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam
gigi, tetapi pada gigi yang rusak kemungkinan terjadi kantong
udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada
proses aerotitis dan aerosinusitis di atas, pada kantong udara di
gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit. Rasa sakit ini
disebut aerodontalgia. Patofisiologi aerodontalgia ini masih
belum jelas.
Pengaruh Penguapan Gas yang Larut dalam Tubuh
Dengan berkurangnya tekanan atmosfer bila ketinggian
bertambah, gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan
tubuh akan keluar sebagian dari larutannya dan timbul sebagai
gelembung-gelembung gas sampai tercapainya keseimbangan
baru. Mekanismenya adalah sesuai dengan Hukum Henry. Pada
kehidupan sehari-hari peristiwa ini dapat dilihat pada waktu kita
membuka tutup botol yang bersisi limun, air soda atau bir yaitu
timbul gelembung-gelembung gas.
Gelembung-gelembung gas yang timbul dalam tubuh
manusia bila tekanan atmosfer berkurang sebagian besar terdiri
dari gas N2. Gejala-gejala pada penerbang baru timbul pada
ketinggian 25.000 kaki. Semakin cepat ketinggian bertambah,
semakin cepat pula timbul gejala. Pada ketinggian di bawah
25.000 kaki gas N2 masih sempat dikeluarkan oleh tubuh melalui
paru-paru. Gas tersebut diangkut ke paru-paru oleh darah dari
scl-sel maupun jaringan tubuh. Timbulnya gelembung-gelembung ini berhenti bila sudah terdapat keseimbangan antara tekanan udara di dalam dan tekanan udara di luar. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat Hukum Henry dan Hukum Graham.
Gelembung-gelembung ini memberikan gejala karena urat-urat
saraf di dekatnya tertekan olehnya, di samping itu tertekan pula
pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitarnya.
Menurut sifat dan lokasinya, gejala-gejala ini terdiri atas :
1) Bends
Bends adalah rasa nyeri yang dalam dan terdapat di sendi
serta dirasakan terus-menerus, dan umumnya makin lama makin
bertambah berat. Akibatnya penerbang atau awak pesawat tak
dapat sama sekali bergerak karena nyerinya. Sendi yang terkena
umumnya adalah sendi yang besar seperti sendi bahu, sendi lutut,
di samping itu juga sendi yang lebih kecil seperti sendi tangan,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki, tetapi lebih jarang.
2) Chokes
Chokes adalah rasa sakit di bawah tulang dada yang disertai
dengan batuk kering yang terjadi pada penerbangan tinggi,
akibat penguapan gas nitrogen yang membentuk gelembung di
daerah paru-paru. Chokes lebih jarang terjadi bila dibandingkan
dengan bends, tetapi bahayanya jauh lebih besar, karena dapat
landasan dilihat sebagai bintang-bintang. Hal ini membahayakan karena horizon yang diterimanya kelihatan lebih rendah dari
horizon yang sesungguhnya. Akibatnya pesawat akan diarahkan
ke bawah.
9) Permukaan bumi atau awan
Terbang di atas daerah yang tidak rata (di atas kaki gunung)
atau awan yang miring permukaannya mengakibatkan terbang
tidak lurus dan tidak datar.
10) Seat of the pants sense
Bila pesawat membelok maka arah gaya sentrifugal dan
gravitasi selalu menuju ke arah lantai pesawat. Dengan demikian
si penerbang dengan pressure sensors tersebut sukar mengetahui
mana bawah. Di samping itu perasaan ini dapat menguatkan
oculogravic illusion yang terjadi akibat akselerasi linear pada
high performance aircraft.
Tindakan Pencegahan
1) Indoktrinasi kepada para penerbang berupa ceramah, demonstrasi dan film mengenai fenomena tersebut untuk mengurangi kecelakaan pesawat karena spatial disorientation.
2) Mengubah kedudukan alat peralatan dalam panel instrumen
sedemikian rupa sehingga memerlukan gerakan-gerakan kepala
yang ekstrim.
3) Beberapa latihan terbang seperti instrumen take off and night
formation rejoin dipandang cukup membahayakan dan tidak
diadakan lagi.
Mabuk Udara
Mabuk udara adalah sebagian dari motion sickness yang
disebabkan oleh penerbangan. Mabuk udara ini terjadi karena
pengaruh Gaya G yang kecil tetapi terjadi secara berulang-ulang
yang menyerang alat keseimbangan. Jadi sebenarnya mabuk
udara termasuk kelainan akibat pengaruh penerbangan pada alat
keseimbangan. Sekitar 16% penerbang selama belajar terbang
pernah mengalami mabuk udara ini dan sekitar 5% siswa penerbang mengalami secara berulang-ulang. Mabuk udara ini akan
menurun dengan pengalaman dan peningkatan kepercayaanpada
diri sendiri. Mabuk udara juga dialami oleh awak pesawat yang
lain dan para penumpang pesawat angkut.
Gejala mabuk udara adalah pusing, sakit kepala, perasaan
tidak enak pada lambung, mual, muntah-muntah, pucat dan sebagainya. Berat ringannya gejala ini tergantung pada kepekaan
seseorang terhadap rangsangan pada alat keseimbangan. Gejala
ini akan memberat bila orang tersebut telah lelah, kurang sehat,
gangguan pencernaan, mencium bau-bauan yang tidak enak,
alkoholism atau takut terbang. Sebaliknya gejala ini dapat melihat benda-benda di luar pesawat sebagai titik pengenal.
penglihatan menjadi merah atau disebut red-out. Biasanya Gnegatif sebesar 2,0 2,5 telah menyebabkan red-out.
Pengaruh sinae niatahari
1) Sinar ultra violet
Sinar ini terdapat banyak di pinggir pantai dan di lereng
pegunungan. Sinar ini tidak menembus ke bagian dalam mata
(oculus interior). Di dalam alat ini, sinar itu sebagian besar
diserap dan sebagian kecil direfleksikan (dipantulkan). Sinar
yang diserap ini kemudian menimbulkan reaksi pada alat tersebut di atas dengan gejala : Beberapa jam setelah penyinaran
akan timbul gejala peradangan : pengeluaran air mata yang
abnormal, mata menjadi merah dan sakit dengan akibat sukar
dibuka kelopaknya, banyak keluar kotoran dan dari luar mata
nampak membengkak.
Pengobatan keadaan ini adalah :
a) Jauhkan diri dari sinar matahari yaitu dengan tinggal di
dalam kamar cukup gelap untuk beberapa hari.
b) Memakai kaca mata hitam untuk beberapa hari atau sampai
gejala-gejala hilang sama sekali.
c) Kalau perlu diberi salep antibiotika. Biasanya penyembuhan sangat cepat dan tidak akan menimbulkan kelainan-kelainan
pada mata (reversibel).
2) Sinar infra merah
Sinar ini tersebar di angkasa, dan intensitasnya makin dekat
dengan matahari makin tinggi. Sinar ini dapat menembus masuk
ke dalam mata bagian dalam (oculus interior), sehingga kerusakan yang diakibatkan terutama pada alat mata bagian dalam
yaitu : lensa dan retina. Adanya reaksi panas dari sinar infra
merah menyebabkan protein dalam lensa dan retina menggumpal
dan terjadi katarak (kekeruhan lensa) kalau kerusakan pada
lensa, dan retinitis kalau kerusakan pada retina. Penyinaran yang
lama (berhari-hari atau berminggu-minggu bergantung kepada
intensitas sinar) baru akan menimbulkan reaksi seperti tersebut
di atas. Dan kalau reaksi tadi sudah timbul biasanya akan dapat
disembuhkan lagi (irreversibel).
Karena hal-hal tersebut di atas maka awak pesawat perlu
diperlengkapi dengan alat yang dapat meniadakan atau mengurangkan sinar yang dapat masuk ke dalam mata tadi (alat proteksi). Mata sendiri sebetulnya sudah mempunyai alat itu yaitu:
diafragma; proteksi dari luar yang dapat diadakan adalah kacamata atau dalam penerbangan sunvisor pada helmet penerbang.
Karena keduanya menyaring sinar maka kita sebut filter. Ada
beberapa macam filter, tetapi yang banyak digunakan adalah
colored dan neutral filter.
Colored filter hanya meneruskan sinar yang warnanya sesuai dengan filter itu dan meneruskan sebagian kecil sinar yang
lain. Sebagai contoh : RAYBAN 3 meneruskan : 25% visible
rays, 5% sinar ultra violet, 10% sinar infra merah. Untuk ini di
belakang kaca tadi diberi lapisan chromium atau nikel untuk
merefleksikan pengaruh panas tadi, sehingga terdapat perasaan
sejuk pada mata.
Sifat neutral filter terhadap sinar ultra violet dan inframerah
seperti pada colored filter, keuntungannya adalah tak menyebabkan perubahan warna, contoh : RAYBAN G-15; filter ini
Vitamin A
Vitamin A sangat penting dalam pembentukan rhodopsin, sehingga tidak adanya vitamin A dalam makanan atau dalam darah
akan mengganggu pembentukan rhodopsin.
Pada keadaan hipoksia, reaksi di atas juga akan dipengaruhi
yaitu menjadi lebih lambat. Akibatnya daya penglihatan malam
akan menurun. Pada ketinggian 1000 meter daya penglihatan
malam menurun 5% dan pada 5.000 m menurun 40%. Juga merokok 3 batang berturut-turut dapat menurunkan daya penglihatan malam sampai 25%.
Karena itu para penerbang harus mematuhi peraturan untuk
terbang malam, yaitu :
a) Makanan penerbang harus cukup mengandung vitamin A,
bila perlu diberi tambahan pil vitamin.
b) Sebelum terbang dalam harus dites daya adaptasinya dalam
gelap dengan adaptometer.
c) Pada hari akan terbang malam, tidak boleh merokok atau
minum minuman keras.
d) Sebelum terbang malam harus mengadakan adaptasi selama
30 menit dalam tempat gelap atau ruangan dengan penyinaran
lampu merah.
e) Lampu-lampu dalam cockpit dan instrumen harus merah
agar tidak mengganggu adaptasi yang telah ada.
PENUTUP
Telah dibahas berbagai aspek Ilmu Faal dalam penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan Ruang Angkasa (Aerospace Medicine). Dalam makalah ini
hanyadibahas pokok-pokoknya sajadan belum mencakup seluruh
permasalahan Aerofisiologi.
Dengan mengetahui berbagai aspek Aerofisiologi dalam
kegiatan penerbangan maka diharapkan dapat dengan mudah
memahami problema yang dihadapi para penerbang, awak pesawat
lain maupun para penumpang khususnya di bidang kesehatan.
Untuk selanjutnya kita mampu melakukan upaya-upaya pencegahan dan-pertolongan atas pengaruh buruk penerbangan pada
tubuh manusia.
Dengan demikian kitadapat memanfaatkan udara (atmosfer)
ABSTRAK
Bandar Udara (bandara) merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala
penjuru dunia yang datang dan pergi dengan pesawat udara, dan juga tempat berkumpulnya banyak orang yang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang
operasi penerbangan yang lancar, aman dan nyaman. Sehubungan dengan hal tersebut
perlu diantisipasi kemungkinan terjadinya suatu gawat darurat penerbangan, gawat
darurat medik, gawat darurat karena bencana alam, atau suatu kecelakaan kerja. Masalah
hygiene dan sanitasi di bandara harus diperhatikan dan ditangani sungguh-sungguh
karena bandara adalah pintu gerbang suatu negara.
Masalah yang juga penting di bandara adalah yang berhubungan dengan gangguan
kesehatan karena lingkungan kerja, yaitu karena bising,gelombang mikro, debu radioaktif, dan bahan-bahan kimia yang terdapat di bandara.
Akhirnya masalah penanggulangan dan penyelidikan kecelakaan pesawat udara yang
terjadi di bandara dan sekitarnya, dan selanjutnya sering melalui bandana diangkut
penumpang yang sakit untuk berobat ke kota atau negara.lain; semua ini perlu ditangani.
PENDAHULUAN
Dengan perkembangan dunia penerbangan dan mobilitas
manusia serta barang yang makin tinggi, maka fungsi bandara
(bandara udara) makin bertambah penting. Di daerah-daerah
penerbangan perintis, bandara masih sederhana, tetapi di kotakota besar sudah berkembang menjadi besar dan canggih karena
merupakan tempat bertemunya banyak orang dari segala penjuru
dunia, dan tempat berkumpulnya banyak orang melakukan kegiatannya masing-masing untuk menunjang operasi penerbangan yang aman dan nyaman. Untuk itu dalam pengoperasiannya suatu bandana harus menyediakan fasilitas medik untuk
dapat menanggulangi gawat darurat penerbangan, gawat darurat
medik, atau gangguan kesehatan lainnya. Lagipula untuk memMakalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.
f)
Polusi udara
Sehubungan dengan hal-hal tersebut perlu diselenggarakan
program KKK (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) untuk
mencegah timbulnya penyakit akibat kerja(2,3,4,5,9).
a) Bising (noise)
Bising yang terdapat di bandar udara terutama berasal dari
mesin pesawat jet yang mempunyai frekuensi tinggi dan intensitas besar, yaitu 90-110 db atau lebih. Akibat bising yang paling
penting adalah menurunnya pendengaran, dan dapat terjadi tuli
permanen (sensoric deafness). Hampir 15% dari awak darat
airline mengalami gangguan ini secara tak langsung. Dalam
hubungannya dengan pesawat tersebut karyawan dibagi dalam
golongan, yaitu(3,6) :
Golongan I : Mereka yang bekerja dekat sekali dengan
pesawat (kurang dari 8 meter) selama runs up.
Golongan II : Mereka yang relatif dekat (8 - 50 m) pesawat,
misalnya maintenance personnel, starting crew, dan trouble line
personnel.
Golongan lII : Mereka yang kadang-kadang harus bekerja
tidak jauh dari pesawat (50 - 120 m), misalnya pramugari darat,
personel kargo, dsb.
Menurut tingkatan bising (noise level) daerah sekitar pesawat
dibagi menjadi 4 zone yaitu :
Zone A : Daerah dengan tingkatan bising antara 150 dB.
Zone ini jangan dimasuki sama sekali.
Zone B : Daerah dengan tingkatan bising antara 135 - 150
dB. Di daerah ini orang harus berusaha sesingkat mungkin, dan
harus memakai earmuff.
Zone C : Daerah dengan tingkatan bising antara 115 - 135
dB. Semua orang yang bekerja di sini harus memakai earmuff.
Bila hanya sebentar boleh memakai ear-plug.
Zone D : Daerah dengan tingkatan bising antara 100 - 115
dB. Mereka yang bekerja di sini harus mekakai ear-plug terus
menerus.
Untuk mencegah/mengurangi akibat gangguan bising perlu
dilakukan Hearing Conservation Program, dengan cara :
Pemeriksaan Audiometris secara berkala pada karyawan
tersebut di atas.
Dilakukan usaha-usaha pencegahannya , di antaranya ialah
memakai :
a) Helmet : Dipakai bila bekerja dekat sekali dengan pesawat
yang run-up; diperkirakan sebagian bising diserap oleh tulangtulang kepala, jadi perlu helmet.
b) Ear-muff : Dibuat dari plastik atau karet dengan ukuran
small, medium dan large.
Golongan I memakai helmet dan earplug, golongan II
memakai ear-muff, golongan III cukup memakai ear-plug.
Dalam pemeriksaan audiometri, dibuat Base-Line Audiogram untuk frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 4000, dan 8000 c/s,
yang terpenting adalah frekuensi 500, 1000, dan 2000 cis. Bila
ada seorang dengan hearing loss 15 dB atau lebih, perlu dibuat
audiogram ulangan setelah 48 jam bebas dari bising. Pemeriksaan
audiometris secara berkala pada karyawan yang terpapar bising,
dilalukan tiap 2 - 4 tahun sekali.
b) Bahan Kimia
Para personil darat dihadapkan pada bahan kimia, seperti
bahan bakar (bensin, bensol, avtur) minyak hidrolik, larutan
desinfektans, insektisid dsb. Bahan-bahan tersebut dapat me nyebabkan dermatitis kontak, dan bila tertelan atau terhirup
dapat terjadi intoksikasi yang membahayakan(3,6). Oleh karena
itu perlu dicegah dengan cara :
Memakai sarung tangan dan pakaian kerja, bila perlu
masker.
Disediakan tempat cuci tangan, kamar mandi dan kamar
ganti pakaian.
Ventilasi kerja harus baik.
Penyuluhan tentang Kesehatan Kerja.
Pemeriksaan kesehatan berkala (1 - 2 tahun sekalai).
c)
Udara; tetapi bila seorang pilot asing kebutuhan yang lisensi yang
dipunyai habis masa berlakunya, maka Dokter Penerbangan di
bandar udara dapat melakukannya.
2) Penanggulangan/Pencegahan Kecelakaan Pesawat
Udara.
Kecelakaan pesawat paling sering terjadi di bandar udara
atau sekitarnya, yaitu pada waktu landing atau take off. Menjadi
tugas dokter atau team medis di bandar udara untuk memberi
pertolongan pada korban, dan bersama team investigasi dari
Ditjen Perhubungan Udara mengadakan penyelidikan tentang
setelah kecelakaan, dan mengadakan identifikasi korban. Biasanya bandar udara terletak jauh (20 - 30 km) dad kota, maka
bandar udana harus menyediakan fasilitas medis dan protap
(prosedur tetap) untuk penanggulangan kecelakaan tersebut(7).
3) Pengangkutan Orang Sakit Lewat Udara dengan Pesawat
Udara
Tidak semua penumpang pesawat sehat; ada yang cacat
atau sakit untuk berobat ke kota/negara lain yang mempunyai
fasilitas medis lebih lengkap. Untuk itu dokter Penerbangan
harus tabu orang sakit yang boleh dan yang tidak boleh diangkut
dengan pesawat udara komersial(11).
Bandar udara harus menyediakan beberapa ambulance untuk menjemput pasien dari pesawat terus mengantarkannya ke
rumah sakit, atau sebaliknya. Ambulance dari RS/Unit Kesehatan lain tidak diperbolehkan masuk ke daerah parkir (apron),
dengan alasan :
Keamanan dan keselamatan
Pengemudi ambulance dari luar belum mengenal daerah dan
kode-kode di apron.
Knalpot ambulance dari luar tidak memakai saringan.
e)
KEPUSTAKAAN
1.
Kesiapan
Kesehatan Penumpang Airline
Yusbar Mira, Bintarti Sampurna, Lukman Hakim
Garuda Indonesia, Jakarta
ABSTRAK
Bepergian dengan menggunakan pesawat udara komersial merupakan cara yang
cepat, efisien, aman dan menyenangkan. Akan tetapi bagi pasien-pasien tertentu, naik
pesawat udara berarti membuka kemungkinan menerima risiko medis tambahan, yang
kadang-kadang tidak disadari baik oleh pasien maupun dokter mereka. Masalah ketinggian yang menyebabkan hipoksi dan dekompresi, masalah ergonomi, kelelahan,
irama sirkadian, stress sejak keberangkatan hingga mendarat kembali adalah sebagian
dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan risiko medis. Untuk itu dikenal beberapa
pertimbangan yang akan menentukan apakah seseorang/pasien cukup fit untuk terbang
sebagai penumpang pesawat airline/sipil, atau haruskah ia diperlakukan secara khusus.
Dalam makalah ini dikemukakan data pasien yang menggunakan penerbangan
Garuda Indonesia dengan penatalaksanaan medis khusus sesuai dengan ketentuan
IATAFitness for Air Travel.
Kata Kunci : fitness - penerbangan - IATA.
PENDAHULUAN
Teknologi pembuatan pesawat terbang modern berkembang
pesat sekali dalam dekade 90-an, sejalan dengan itu industri jasa
penerbangan juga menunjukkan pertumbuhan dengan semakin
banyak rute penerbangan dibuka dan penambahan frekuensi penerbangan. Kemajuan teknologi memungkinkan waktu tempuh
dipersingkat, sehingga bepergian dengan menggunakan pesawat
udara komersial sekarang ini semakin cepat, aman, efisien dan
menyenangkan.
Pada umumnya orang yang bepergian dengan pesawat udara
mempunyai kesehatan yang cukup baik. Terhadap mereka, penerbangan dapat dikatakan tidak mengakibatkan gangguan yang
bermakna. Akan tetapi dengan pesatnya perkembangan industri.
jasa penerbangan, meningkat pula jumlah orang sakit, lemah dan
Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta 30
Oktober 1993.
terbatasan ruang dan fasilitas dalam kabin, stress fisik dan mental
selama menunggu pada saat keberangkatan dan kedatangan, kelelahan dalam perjalanan, dan estetika penempatan pasien dalam
kabin. Adanya orang sakit dalam pesawat terbang-memerlukan
penanganan yang tepat untuk memberikan kenyamanan yang
maksimal bagi pasien dan meminimalkan timbulnya gangguan
bagi penumpang lain. Beberapa persyaratan harus dipenuhi sebelum diputuskan apakah seorang yang sakit boleh melakukan
perjalanan melalui udara.
IATA (International Air Transport Association) memberlakukan ketentuan tentang keadaan pasien yang diperkenankan
untuk terbang dengan pesawat terbang komersial, dan sebagai
salah satu anggota IATA, Garuda Indonesia menggunakan formulir MEDIF (Medical Information Form for Air Travel) yang
mengacu pada ketentuan tersebut. Pengambilan keputusan bahwa
seorang pasien dapat mengikuti penerbangan Garuda dengan
segala persyaratannya, ditentukan oleh Pusat Kesehatan dan
Pelayanan Medis Garuda Indonesia.
PERSYARATAN PENGANGKUTAN PENUMPANG
SAKIT
Perusahaan penerbangan komersial tidak dapat menerbangkan penumpang sakit atau cacat dalam penerbangan berjadual,
apabila dengan mengangkut mereka akan menimbulkan kerugian/gangguan pada penumpang sehat. Juga tidak diperkenankan
mengangkut orang sakit yang sikap dan tingkah lakunya dapat
membahayakan atau menimbulkan ketegangan pada penumpang lainnya. Selain itu karena kondisi fisik dan fisiologik selama penerbangan dapat mempengaruhi bahkan memperburuk
kondisi pasien dengan penyakit tertentu, maka perusahaan penerbangan mempunyai hak untuk memutuskan dapat tidaknya
seorang calon penumpang yang sakit/cacat, ikut dalam penerbangan mereka.
Pada prinsipnya penilaian didasarkan atas pertimbangan
fisiologis dan fisik, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh
unit kesehatan perusahaan penerbangan atau dokter yang ditunjuk perusahaan. Informasi lengkap tentang keadaan klinis
calon penumpang yang sakit diperlukan untuk pengambilan keputusan dapat tidaknya ditransportasikan dengan pesawat udara,
apakah memerlukan pendamping tenaga medis; di samping itu
untuk merencanakan persiapan alat yang harus disediakan misalnya stretcher case, kursi roda, oksigen, makanan khusus dan lainlain.
Dokter yang menangani pasien yang akan ditransportasikan
pesawat Gamda harus mengisi formulir MEDIF dalam rangkap
3 (tiga), kemudian dokter perusahaan akan memeriksa dan
memutuskan dapat tidaknya pasien diangkut dengan pesawat
terbang. Sekaligus ditentukan pula peralatan yang dibutuhkan
untuk mengangkut pasien, serta kebutuhan adanya pendamping,
apakah cukup pendamping dari keluarga ataukah diperlukan
tenaga medis.
Kadang-kadang calon penumpang yang sakit boleh terbang
tanpa persyaratan tertentu (seperti penumpang sehat) atau diperbolehkan mengikuti penerbangan dengan syarat-syarat tertentu,
sesuai dengan kondisinya. Akan tetapi tidak jarang dokter perusahaan memutuskan penundaan pengangkutan calon penumpang yang sakit demi keselamatannya, sampai kondisinya dianggap memungkinkan untuk mengikuti penerbangan.
Perencanaan yang baik sangat diperlukan untuk memberikan pelayanan bagi pengangkutan penumpang yang sakit, oleh
karena itu pembukuan untuk penumpang sakit yang akan ikut
dengan penerbangan Garuda minimal harus dilakukan 2 (dua)
hari sebelum tanggal keberangkatan. Sewaktu mengurus pembukuan, harus membawa formulir MEDIF yang telah disetujui
dan disahkan oleh Pusat Kesehatan dan Pelayanan Medis Garuda
Indonesia bila di Jakarta atau dokter langganan Perusahaan bila
di daerah.
Pada waktu check-in, formulir MEDIF yang telah disetujui
harus diserahkan bersama tiket calon penumpang yang sakit,
karena pesawat dan pimpinan awak kabin harus mengetahui
keberadaan serta kondisi penumpang sakit yang ikut dalam
penerbangan mereka.
FASILITAS YANG DAPAT DISEDIAKAN
Fasilitas khusus untuk pengangkutan penumpang sakit/
cacat/lemah dapat disediakan oleh perusahaan penerbangan,
akan tetapi harus tersedia cukup waktu untuk mempersiapkannya. Fasilitas tersebut antara lain adalah kursi roda, stretcher,
oksigen selama perjalanan, diet khusus untuk penderita kencing
manis, diet rendah kholesterol, diet rendah garam dan lain-lain.
Tabung oksigen di pesawat terdapat balk di kokpit maupun di
kabin, yang jumlahnya berbeda-beda tergantung tipe pesawat,
dan untuk keadaan damrat medik tersedia doctor's kit.
Fasilitas yang tidak dapat disediakan adalah fasilitas untuk
perawatan khusus, seperti EKG, defibrilator, alat infus. Tenaga
medis yang akan mendampingi penumpang sakit sampai saat ini
masih harus diusahakan sendiri oleh penumpang.
PRINSIP PENILAIAN KESEHATAN CALON PENUMPANG
A. Pertimbangan Fisiologik
Lingkungan selama penerbangan pada umumnya tidak
mengakibatkan gangguan yang bermakna pada penumpang sehat, akan tetapi untuk penumpang yang lemah/cacat atau sedang
menderita penyakit dapat menimbulkan ketidaknyamanan.
Penyebab terjadinya perubahan fisiologik selama penerbangan antara lain adalah :
1) Akselerasi dan deselerasi
Gaya akselerasi dan deselerasi yang terjadi pada waktu
lepas landas dan mendarat bukan merupakan gangguan untuk
penumpang sehat dan penerbangan komersial (airline). Bagi
penumpang yang duduk, gaya yang bekerja adalah pada arah
abdomen-punggung dan sedikit pada arah kepala-kaki sehingga
mudah ditoleransi; akan tetapi bagi penumpang sakit yang harus
berbaring, maka gaya yang bekerja terjadi sepanjang sumbu
badan, sehingga efeknya cukup bermakna.
Bila kepala terletak di arah depan pada saat lepas landas, dan
pesawat dalam posisi climbing akan terjadi venous pooling, yang
2.
20
15
13
13
15
28
13
15
b.
saraf
Infeksi/Gangren
23
4
16
9
1
2
25
9
6
5
1
2
48
13
22
14
2
4
55
48
103
2
4
6
2
1
2
1
4
4
5
10
2
2
19
12
31
10
10
20
3
6
6
1
5
5
7
1
8
11
13
2
26
28
54
10
3
I
1
9
1
19
4
1
1
Jumlah
Jumlah PenumPenum- pang
pang Harus Doctor
Sakit Didam- (D)
pingi
18
18
36
40
2.
3.
4.
5.
3
2
2
1
4
1
7
3
2
1
Infark Miokard
Insufisiensi koroner
Hipertnsi
Penyakit Jantung Kongenital
Aneurisma Aorta
III.
1.
Tumor
Sirosis Hepatis
Pasca Operasi Laparatomi
Ulkus Lambung
4.
V.
14
Hipertrof/Karsinoma Prostat
Sindrom Nefrotik
Karsinoma Ginjal
Pasca Transplantasi Ginjal
10
17
X.
18
17
35
XI. Kehamilan
14
16
30
XIII. Lain-lain
(Combustio, Trauma, Post Operasi lain, dll).
12
11
23
208
189
397
Total
Stretcher
Case
Wheel
Chair
Sitting Case
Accompanied
1991
1992
1991
1992
1991
1992
1991
1992
208
189
132
117
42
41
34
31
Escorted by
Nurse
(N)
Other
(O)
93 86
D+N
12
Only the man who knows much can know how little he knows
D+O
N+O
Lakespra Saryanto
sebagai Pusat Pembinaan
Kesehatan Penerbangan
Kol. Kes. Dr. Hartono P. DSKP
Perkespra Pusat, Jakarta
ABSTRAK
TNI Angkatan Udara sebagai pembina berbagai aspek kedirgantaraan nasional pada
tahun 1965 telah mendirikan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa
(Lakespra), yang bertujuan untuk menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan
kegiatan penerbangan. Lembaga ini didirikan selain untuk menghadapi perkembangan
ilmu dan teknologi kedirgantaraan saat itu, juga disiapkan untuk mengantisipasi perkembangan yang akan timbul dalam dekade berikutnya.
Pimpinan Lembaga yang pertama adalah Alm. Dr. Saryanto, yang selanjutnya nama
beliau diabadikan pada sebutan resmi Lembaga Kesehatan Penerbangan ini.
Tugas pokok dari Lakespra Saryanto adalah membina kesehatan awak pesawat dan
petugas khusus TM-AU, agar mereka dapat tetap sehat serta fit untuk menjalankan tugastugas terbangnya. Dalam perkembangan selanjutnya Lembaga ini ternyata tidak saja
berfungsi dalam pembinaan kesehatan penerbangan di lingkungan TM-AU, tetapi juga
dalam lingkup ABRI maupun Nasional pada umumnya.
Bidang-bidang tugas yang selama ini dilaksanakan meliputi antara lain : seleksi
calon maupun anggota awak pesawat, Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi (ILA),
Rehabilitasi medik awak pesat, pemeliharaan dan peningkatan kesempatan jasmani,
penelitian dan pengembangan kesehatan penerbangan serta pendidikan di bidang kesehatan penerbangan.
Lakespra Saryanto juga aktif dalam membina kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan Kedirgantaraan misalnya : Aerosport (FASI), Tim Pendaki Gunung, Human
Engineering IPTN, Evakuasi Medik Udara dan lain-lain.
PENDAHULUAN
TNI Angkatan Udara sebagai Pembina Kedirgantaraan Nasional pada tahun 1985 telah mendirikan Lembaga Kesehatan
Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA), yang bertujuan untuk mewadahi berbagai kegiatan yang berkaitan dengan
penanganan masalah-masalah kesehatan dalam dunia penerbangan. Lembaga ini dipimpin pertama kali oleh almarhum dr.
Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.
Saryanto, yang namanya kemudian diabadikan pada nama 1embaga ini menjadi Lakespra Saryanto. Lembaga ini berperan aktif
dalam menangani berbagai masalah kesehatan penerbangan di
lingkungan TNI-AU/ABRI maupun lingkup Nasional pada
umumnya.
Secara organisatoris Lakespra Saryanto merupakan satuan
pelaksana pusat Direktorat Kesehatan TNI-AU, yang mem-
kesehatan awak pesawat TNI-AU/ABRI maupun nasional, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
penerbangan yang terjadi. Kegiatan tersebut meliputi aspek
seleksi media calon awak pesawat, retensi awak pesawat, ILA,
Pendidikan di bidang kesehatan Penerbangan serta upaya-upaya
lainnya yang berkaitan dengan dukungan terhadap unsur manusia
dalam rangka mewujudkan keamanan serta keselamatan penerbangan.
Uji Badan
Kegiatan ini dilaksanakan terhadap calon maupun anggota
awak pesawat dan petugas khusus matra udara lainnya, dalam
rangka program seleksi, retensi serta pemeriksaan atas indikasi
medik maupun non medik seperti misalnya : pasca kecelakaan
pesawat, pasca perawatan rumah sakit dan lain-lain.
Pada tahun 1985 Lakespra Saryanto telah mendapat suatu
kehormatan dari pemerintah yang berupa kepercayaan untuk
memeriksa dan melakukan seleksi terhadap para calon Antariksawan Indonesia, dalam program penerbangan Space Shuttle.
ILA
Kegiatan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi ditujukan
terhadap penerbang, awak pesawat lain maupun petugas khusus
matra udara yang memerlukan penyegaran dan pemantapan
pengetahuan di bidang Aerofisiologi. Pengetahuan ini sangat
penting dalam rangka menghadapi dampak-dampak fisiologi
penerbangan selama menjalankan tugasnya sehari-hari.
Lakespra Saryanto juga telah berperan aktif dalam memberikan dukungan sarana, fasilitas, tenaga ahli maupun program
ahli tenaga kesehatan penerbangan terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan kegiatan di suatu ketinggian,
misalnya : tim pendaki gunung, tim terjun payung, tim olah raga
gantolle dan lain-lain.
Rehabilitasi Medik
Merupakan upaya pemulihan medik terhadap awak pesawat
yang mengalami gangguan-gangguan fisik maupun psikologis,
sebelum mereka ditugaskan terbang kembali secara cepat dan
aman. Upaya ini tidak terbatas pada aspek pemulihan jasmaniah
saja tetapi juga menyangkut aspek kejiwaan/psikologi serta perubahan/pemantapan perilaku yang diperlukan sesuai dengan
tugas-tugasnya sebagai awak pesawat.
Pemeliharaan dan Peningkatan Kesamaptaan Jasmani
Merupakan upaya untuk mewujudkan tingkat kesegaran
jasmani yang setinggi-tingginya dari para awak pesawat, agar
mereka senantiasa nampak memikul beban tugas fisik yang
cukup berat dalam tugasnya sehari-hari di angkasa raya.
Upaya ini diwujudkan dalam bentuk program-program latihan aerobik maupun non-aerobik (weight training) terhadap
awak pesawat dan anggota lainnya, dalam rangka mencapai
kesamaptaan pada sistem otot/rangka tubuh.
Pendidikan di bidang Kesehatan Penerbangan
Sebagai lembaga ilmiah Lakespra Saryanto menyelenggarakan fungsi-fungsi peningkatan kualifikasi dan profesionalisme
di bidang Kesehatan Penerbangan & Ruang Angkasa dalam
bentuk pelaksanaan sekolah, kursus, penataran dan temu ilmiah
Alat ini disebut juga decompression chamber yang merupakan sarana pelatihan dan seleksi awak pesawat dalam hal
simulasi kondisi atmosfir di suatu ketinggian, yang ditandai
dengan menurunnya tekanan udara, kandungan oksigen, kelembaban dan suhu udara. Altitude chamber ini dapat mensimulasikan kondisi atmosfir hingga ketinggian 35.00040.000 kaki.
c)
f)
Peranan UNS
dalam Kedokteran Dirgantara
A.A. Subiyanto, Ambar Mudigdo, Sutrisno Danusastro
Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang mencakup
Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian serta Pengabdian pada
Masyarakat perlu tanggap dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tuntutan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Untuk menghadapi abad 21 yang penuh
dengan perkembangan yang menakjubkan, antara lain termasuk
kemajuan dalam kedirgantaraan, maka dirasa sudah sangat
mendesak adanya usaha untuk mengantisipasi era kemajuan
teknologi kedirgantaraan dengan menyiapkan anak didik suatu
pemberian bekal ilmu Kedokteran Dirgantara agar alumninya
dapat bekerja secara paripurna di berbagai medan tugas.
Penggunaan jasa transportasi udara menjadi semakin memasyarakat akibat dari basil pembangunan nasional yang semakin merata, yang menuntut mobilisasi anggota masyarakat
yang semakin cepat. Di samping itu adanya kemajuan penggunaan pesawat tempur oleh TNI Angkatan Udara Republik Indonesia yang semakin canggih baik dalam kecepatan maupun kemungkinan adanya manuver-manuver udara yang semakin dapat
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan baik pengguna jasa
penerbangan maupun penerbangnya sendiri. Selain itu, sudah
merupakan fakta sejarah bahwa Indonesia telah mulai memasuki era penerbangan ruang angkasa dengan terpilihnya calon
antariksawan Indonesia yang telah lulus seleksi dan telah menjalani pendidikan di Amerika Serikat. Hal ini selayaknya menjadi- motivator bagi akademisi di Indonesia untuk ikut mengambil saham terutama dari segi sumber daya manusianya.
Makalah ini telah dibacakan pada: SeminarKesehatan Penerbangan,
Surakarta 30 Oktober 1993.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirasa sudah
saatnya Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret menyusun kurikulum tentang matra kemiliteran yang meliputi matra
kepolisian, darat, laut dan khususnya udara (kedokteran penerbangan). Untuk itu perludiidentifikasi permasalahan yang ada
yang merupakan kendala dan keterbatasan baik sumber daya
manusia maupun prasarana yang sudah dimiliki institusi Fakultas Kedokteran.
Menurut pendapat penulis terdapat beberapa kendala yang
harus dipertimbangkan dan dicari solusinya, yaitu :
1) Keterbatasan sumber daya manusia
Sangat disadari bahwa muatan kurikulum matra kemiliteran
khususnya matra kepolisian, laut dan udara merupakan bidang
baru bagi kurikulum kedokteran di Indonesia umumnya dan di
Fakultas Kedokteran UNS khususnya, di mana staf pengajar di
Fakultas Kedokteran belum memiliki kemampuan untuk
mengampunya.
2) Keterbatasan alokasi waktu
Mengingat kurikulum di Fakultas Kedokteran sudah sangat
padat, terdapat kendala yaitu dengan disusunnya kurikulum
matra militer akan mengalami kesulitan alokasi waktu yang
diperlukan untuk memberikan mata ajaran kematraan tersebut.
3) Keterbatasan kualitas mahasiswa
Untuk menyiapkan mata ajaran matra kemiliteran yang
ideal diperlukan kesiapan fisik, mental dan intelektual serta
bakat mahasiswa. Padahal sistem seleksi calon mahasiswa yang
selama ini dijalankan hanya berdasarkan tes kemampuan kogni-
ke masing-masing laboratorium yang terkait, seperti Lab. Fisiologi Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
sebagainya tanpa mengganggu atau,mengubah alokasi SKS yang
telah berlangsung. Tentunya pilihan ini akan mempunyai keterbatasan dalam pemberian ranah afektif dan psikomotor dan
hanya terbatas pada ranah kognitif saja.
C. Solusi keterbatasan mahasiswa
Persyaratan yang harus dimiliki mahasiswa yang mendapatkan mata ajaran kedokteran penerbangan tentunya berbeda
dengan mahasiswa yang dipersiapkan hanya sebagai tenaga
medis "konvensional", mengingat intensitas dan ekstensitas pekerjaan yang akan dihadapi para lulusan dokter penerbangan.
Dari keterbatasan masukan calon mahasiswa di Fakultas
Kedokteran UNS dalam bidang kesamaptaan intelektual, mental, fisik dan bakat yang sesuai dengan tuntutan persyaratan yang
spesifik yang harus dipenuhi untuk mengikuti pendidikan kedokteran penerbangan, maka penulis mempunyai usulan dua
alternatif :
1) Meningkatkan passing grade yang harus dilewati oleh para
calon mahasiswa yang memasuki Fakultas Kedokteran UNS,
agar dapat terseleksi calon-calon mahasiswa yang benar-benar
memiliki basic qualification yang diperlukan yang meliputi bidang kemampuan intelektual, mental, fisik dan bakat. Sehingga
di samping tes tertulis masih perlu diadakan tes kesamaptaan
fisik, psikotes maupun tes bakat.
2) Dari calon mahasiswa yang diterima melalui UMPTN
diseleksi lagi oleh Fakultas Kedokteran untuk mendapatkan
calon mahasiswa yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan kedokteran penerbangan.
Penulis berpendapat bahwa dari dua alternatif tersebut di
atas, alternatif yang kedualah yang lebih mudah dilaksanakan
meskipun hanya akan mendapatkan sebagian kecil mahasiswa.
program ini.
3) Mata ajaran dapat dipilah menjadi mata ajaran yang elementer dan lanjutan. Bagi seluruh mahasiswa diwajibkan mengikuti
mata ajaran yang elementer. Sedang bagi yang memenuhi persyaratan dapat mengikuti mata ajaran lanjutan yang lebih lengkap.
PELAKSANA PENDIDIKAN
Penanggung jawab mata ajaran yang berkaitan dengan kesehatan penerbangan dipegang oleh Dekan atau Pembantu Dekan
bidang akademis dan pelaksanaannya dapat diampu oleh Biro
Koordinasi Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNS
yang sudah terbentuk sejak awal berdirinya UNS. Sedang
pengampu mata ajaran tersebut dapat diberikan oleh staf pengajar yang sesuai dengan cabang ilmu yang sesuai dengan kedokteran penerbangan. Menurut penulis laboratorium yang
mempunyai kaitan dengan mata ajaran ini adalah dari Laboratorium Fisiologi, Ilmu Kesehatan Masyarakat/Kedokteran Kerja,
Mata, THT, Penyakit Dalam dan Patologi.
BIDANG MATA AJARAN KESEHATAN PENERBANGAN
Kurikulum disusun dengan memuat tujuan pendidikan yang
meliputi :
1) Hasil keluaran program S 1 Fakultas Kedokteran UNS
mempunyai wawasan luas, sehingga dapat memberikan konsultasi kepada masyarakat khususnya pada instansi seperti TNI
Angkatan Udara, perusahaan penerbangan, Lapan, Metereologi
& Geofisika dan sebagainya maupun pribadi pengguna jasa
penerbangan tentang pengaruh penerbangan baik terhadap penumpang pesawat terbang maupun bagi awak pesawat.
2) Lulusan mempunyai kesamaptaan baik pengetahuan, mental dan fisik bila mereka memasuki dinas matra militer khususnya yang berkaitan dengan penerbangan.
3) Dapat menjadi embrio bila kondisi atau keadaan membutuhkan dibukanya spesialisasi kedokteran penerbangan.
Berdasarkan tujuan pendidikan di atas dan mengacu pada
masukan Soleh Nugroho dari Mabes TNI-AU, maka kelompok
mata ajaran yang perlu diberikan di Fakultas Kedokteran UNS
adalah :
1. Kedokteran Penerbangan Dasar
Meliputi bidang :
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
One's eyes is what one is, one's mouth is what one becomes
ABSTRAK
Semenjak manusia bercita-cita menaklukkan ruang angkasa perhatian yang khusus
telah ditujukan kepada berbagai aspek terpenting yaitu perubahan biomedik yang akan
dialami oleh seseorang saat ia berada di luar angkasa. Pengaruh yang paling besar adalah
dari kondisi mikroorganik dan berbagai pengaruh lingkungan hidup yang sangat sulit
untuk disimulasi di bumi.
Kondisi mikrogravitasi menyebabkan terjadinyaperubahan fisiologikpada berbagai
organ seperti sistim homeostasis, sistim kardiovaskuler, sistim muskulo skeletal dan sebagainya. Kini kondisi mikrogravitasi dianggap menjadi suatu variabel yang penting
untuk memahami sistim transport ion dan energi dari sel, untuk memantau proses
diferensiasi pada embrio, untuk memahami mekanisme kerja obat dan sebagainya. Penerbangan luar angkasa melalui pesawat ulang alik dengan program space-lab dan spacestationnya kini diarahkan sebagai misi ilmiah murni, antara lain untuk penelitian biomedik ini.
PENDAHULUAN
Bila kita naik sampai ketinggian lebih dari 110 km dari
permukaan bumi, maka pengaruh kondisi luar angkasa sudah
mulai terasa. Mikrogravitasi merupakan faktor yang sangat bermakna, terutama bila dilihat pengaruhnya pada kehidupan jangka
panjang di luar angkasa. Namun justru mikrogravitasi merupakan kondisi yang paling sulit disimulasi dibumi. Karena kendala
tersebut, penelitian-penelitian untuk melihat efek mikrogravitasi
harus dilakukan dalam pesawat ulang alik, space-lab atau spacestation di ruang angkasa.
Penelitian biomedik di luar angkasa biomedik di luar angkasa
sekarang dirasakan sama pentingnya dengan penelitian ilmu lain.
Penelitian biomedik ada yang langsung dikaitkan dengan fisiologi manusia, namun banyak pula yang merupakan penelitian
ilmu kedokteran dasar seperti penelitian mikrobiologi, biologi
Makalah ini telah dibacakan pada : Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.
SISTIM VESTIBULER
Space adaptation syndrome adalah gejala yang paling sering
dialami oleh para astronot; bahkan menjadi suatu sindrom yang
paling ditakuti karena menyebabkan tidak dapat bekerja dengan
layak dalam pesawat ulang alik atau stasiun ruang angkasa. Berbagai upaya medikamentosa dan berbagai latihan untuk melatih
adaptasi vestibuler sudah dicoba dengan berbagai inovasi dan
modifikasi, tetapi ternyata masih kurang meyakinkan karena
jumlah sampel masih sedikit. Diketahui bahwa fungsi vestibuler
yang sangat menentukan keseimbangan, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti gerak bola mata, refleks vestibulo-spinal,
adanya zat metabolik yang berfungsi sebagai vestibulo protector,
lancarnya hemodinamika dalam sistim vestibuler dan sebagainya.
Di bumi dapat dilakukan experimental motion sickness yang
sedikit banyak akan memberikan informasi yang tepat tentang
sekuens dari motions sickness tersebut. Keringat yang berlebihan,
kunang-kunang, rasa mual, pusing, muntah dan disorientasi
merupakan urutan kejadian yang terjadi pada motion sickness.
Penelitian saat ini yang dikerjakan oleh space lab dan space
station antara lain :
1) Monitoring respons vestibuler terhadap akselerasi.
2) Pengukuran komparatif terhadap stabilitas-visual di bumi
dan di luar angkasa.
3) Penggunaan electro-oculographic signal conditiner dengan
rotating chair.
SISTIM KARDIOVASKULER
Fungsi sistim kardiovaskuler mengalami berbagai penyimpangan antara lain karena dalam kondisi mikrogravitasi terjadi
perubahan hemodinamika darah. Dengan hilangnya tekanan
perifer, darah dan cairan tubuh cenderung terkumpul di bagian
proksimal tubuh, menyebabkan rangsangan pada pusat homeostatis di otak dan ekskresi cairan lewat urine terjadi dengan cepat.
Oleh karena itu pada saat-saat awal seorang ada di ruang angkasa,
diperlukan minum minimal 2 liter untuk menjaga keseimbangan
cairan. Lagipula, karena tonus perifer hilang, jantung tidak
mengalami hambatan dalam pemompaan, sehingga denyut jantung melemah namun masih cukup efisien.
Berbagai komputer model dirancang untuk memahami
hemodinamika di ruang angkasa. Komputer model yang dikembangkan para ahli bertujuan untuk melakukan simulasi di bumi
dengan mengubah variabel-variabel seperti volume darah, per-
KEPUSTAKAAN
3.
1.
2.
4.
M. tuberculosis
H. pylori
HBV, lPV, HSV-2, EBV
HCV.
EBV
HTLV-I, HTLV-II.
HTLV-III (HIV-1), HIV-2
M. leprae.
1) Diseases that may progress to the tuberculosis-type (Tbtype) of SADIS, comprising diseases caused by the tubercle
bacillus, the Helicobacter pylori, the hepatitis B virus (HBV), the
hepatitis C virus (HCV), the human papilloma virus (HPV), the
herpes simplex virus type 2 (HSV-2) and the Epstein Barr virus
(EBV).
2) Diseases that may produce the leukemia-type (Lk-type) of
SADIS, comprising a disease caused by the EBV, and diseases
caused by the human T-cell lymphotrope virus type I (HTLV-I)
and the human T-cell lymphotrope virus type II (HTLV-II).
3) Diseases that may progress to the leprosy-type (Lp-type) of
SADIS, comprising diseases caused by the human immunodeficiency virus type I (HIV-1), the human immunodeficiency virus
type II (HIV-2) and a disease caused by the leprosy bacillus.
The Tb-type of SADIS has primary solid malignancy as
Disease
expression
primary malignancy
(epithelial carcinoma)
primary malignancy
(leukemia, NHL,***
Hodgkin's dis.)
AIDS, opportunistic
malignancy
KK-type leprosy
Lymphocytes
CMIS*
HIS**
predominance
>1
predominance
>1
depletion
<1
depletion
<1
Note:
CMIS : cell mediated immune system
HIS : humoral immune system
NHL
: non-Hodgkin's lymphoma
manifestation. It is characterized by the emergence of opportunistic infections and the development of opportunistic malignancies as well. The Lp-type of SADIS which is caused by the
leprosy bacillus has the lepromatous leprosy (LL-leprosy) as
disease manifestation which is characterized by the existence of
primary clinical resistance to antileprosy chemotherapy. It has
neither primary nor opportunistic malignancy as disease expression. In addition, it is characterized by the absence of opportunistic infection. There is lymphocyte depletion in both diseases.
Predominance of the humoral immune system in comparison to
the cell mediated immune system is found in the Lp-type of
SADIS (fig. 2).
The specific immune spectrum and the specific immunologic characteristics of a disease that in its Advanced stage may
produce SADIS, constitute the specific immunologic fingerprint
of the disease. Determination of the immunologic fingerprint of
diseases following infection with the causative pathogens that
can bring about the development of SADIS, may provide rational
basis for the proper tackling and solving of problems that may
arise in the fight against the causative organisms. Knowledge of
immunologic fingerprints not only enables the diagnosis of the
related disease to be made more accurately but also provides a
more rational basis for effective clinical management to be based
on.
Diseases of the same category of SADIS may have identical
or almost identical principles of clinical management. In addition, knowledge of immunologic fingerprint has substantially
broadened our knowledge and understanding of the pathways
through which the disease may progress or regress. Achievement
of a defined knowledge of clinical management of diseases that
have undergone long-term and thorough tackling and solving of
the related problems, such as tuberculosis and leprosy, may serve
as rational paradigm for effective clinical management to be set
up in aid of other diseases that may produce the same category of
SADIS.
I) THE CLINICAL MANAGEMENT OF DISEASES
THAT MAY PRODUCE THE TB-TYPE OF SADIS
Based on the characteristics of the immunologic fingerprint,
the principles of the clinical management of diseases that may
produce the Tb-type of SADIS are divided into the following:
A) The clinical management of diseases that emerge as disease
expression of the acute (L-type) and the chronic type (K-type)
immune status (fig. 3).
1) The institution of "the early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expression is of the L-type or K-type
immune status.
2) The enhancement of the "early kill" of microbial pathogens
through the concomitant use of immunomodulators during the
early phase of anti-microbial chemotherapy when disease
expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy.
The institution of immunotherapy with BCG following
cessation of a successful anti-microbial chemotherapy for the
Fig. 3.
The clinical management of diseases that may bring about development of Tb-type SADIS
Purpose: Back to basic which means back to the L-type immune status
Prevailing Immune Status
L-type
K-type
KK-type
(Tb-type SADIS)
early kill of microbial
pathogen thru:
surgery
chemotherapy
radiotherapy
stabilization of cure
thru specific antimicrobial chemotherapy (when available)
stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG.
K-type
KK-type
(Lk-type SADIS)
Early kill of microbial .
pathogen thru:
chemotherapy
radiotherapy
Stabilization of cure
thru specific antimicrobial chemotherapy (when available)
Stabilization of cure
thru immunotherapy
with BCG.
Like in patients with the Tb-type of SADIS, there is Tlymphocyte predominance in patients with the Lk-type of SADIS.
There is also predominance of the cellular immune system when
compared to the humoral immune system (fig. 2).
Based on the characteristics of the immunologic fingerprint
and its resemblance to the Tb-type of SADIS, the principles of
clinical management of diseases that may produce the Lk-type of
SADIS are the following:
A) The clinical management of diseases that emerge as disease
manifestation of the acute (L-type) and chronic (K-type) immune
status.
1) The institution of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of specific anti-microbial chemotherapy when disease expresion is of the L-type or the K-type
immune status.
2) The augmentation of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of immuno-modulators during
the early phase of anti-microbial chemotherapy when disease
expression is of the K-type immune status at start of chemotherapy.
3) The institution of immuno-therapy following cessation of a
successful anti-microbial chemotherapy for the stabilization of
the cure when disease expression is of the K-type immune status
at start of chemotherapy.
B) The clinical management of diseases that emerge as disease
expression of the KK-type immune status (Lk-type of SADIS).
1) The institution of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the advent of:
1.1. cytotoxic chemotherapy
1.2. radiotherapy
for the regression of immune status from the KK-type to the Ktype or even further to the L-type immune status.
2) The enhancement of the "early kill" of causative microbial
pathogens through the use of specific anti-microbial chemo-
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
REFERENCES
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
N Engl J Med 1989; 321: 1501-6. Quoted from: Lange JMA en Van der
Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Di Bisceglie AM, Martin P, Kassiandes C et al. Recombinant interferonalpha therapy for chronic hepatitis C; a randomized, double-blind, placebocontrolled trial. N Engl J Med 1989; 321: 1506-10. Quoted from: Lange
JMA en Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Shindo M, Di Bisceglie AM, Cheung Let al. Decrease in serum hepatitis V
viral DNA during alpha-interferon therapy for chronic hepatitis C Ann
Intern Med, 1991; 115: 7004. Quoted from: Lange JMA en Van der
Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Lange JMA, Van der Noordaa J. Ontwikkeling en plants bepaling van
antivirale middelen. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Nokta MA, Reichman RC, Pollard RB: Pathogenesis of viral infection. In:
Galasso GJ, Whitley RJ, Merigan TC eds. Antiviral agents and diseases of
man. New York: Raven Press, 1990; 4985. Quoted from: Lange JMA,
Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136: 95864.
Oberg B: Antiviral effects of phosphonoformate. Pharmacol Ther 1983,19:
387415. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Freitas VR, Fraser-Smith EB, Matthews TR. Increased efficacy of ganciclovir in combination with foscarnet against cytomegalovirus and herpes
simplex type 2 in vitro and in vivo. Antiviral Res. 1989; 12: 20512.
Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1992; 136: 95864,
Manischewitz JF, Quinnan Jr GV, Lane HC, Wittek AE. Synergistic effect
of ganciclovir and foscarnet on cytomegalovirus replication in vitro.
Antimicrobial Agents Chemotherapy 1990; 34: 3335. Quoted from:
Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1992; 136:
95864.
Nelson MR, BarterG, Hawkins D, Gazzard BG. Simultaneous treatment of
cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338:
250. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Coker RJ, Tomlinson D, Hooner P, Migdal C, Harris JRW. Treatment of
cytomegalovirus retinitis with ganciclovir and foscarnet. Lancet 1991; 338'
5745. Quoted from: Lange JMA, Van der Noordaa J. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 95864.
Lusiana. Pengaruh penggunaan immuno-modulator dan immuno-therapy
terhadap keberhasilan pengobatan. Pam 1987; 12: 247.
Lusiana Djunaedi, Adhinata K, Henny CK. How pattern of tuberculin
reaction may elucidate the mechanism of action of immuno-therapy with
BCG. Joint International Congress, 2nd Asian Pacific Soc of Respirologists, 5th Indonesian Association of Pulmonologists 1990; 234 (Abstract).
Liunanda S, Handojo RA, Liunanda D. A down-grading reaction in the
immune spectrum of tuberculosis observed following intradermal inoculation of BCG in healthy infected individuals. Joint International Congress,
2nd Asian Pacific Society of Respirologists, 5th Indonesian Association of
Pulmonologists 1990, 154 (Abstract).
Brada M, Robinson MH. Radiotherapy. Medicine Internat 1991; 4: 383441.
Spiro SG. Lung Cancer, presentation and treatment. Medicine Internat
1991; 4: 3798804.
Webb DR, Winkelstein A. Immuno-suppression, Immuno-potentiation and
anti-inflammatory drugs. In: Basic and Clinical Immunology, 4th Ed. Eds:
DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen Asian Edition.
Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 27292.
Grattan (Ben) Mead. Principles of Medical Oncology. Medicine Internat
1991; 4: 38247.
Strom TB. Clinical transplantation. In: Basic and Clinical Immunology,
4th Ed. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 18997.
Fudenberg HH, Wybran J. Experimental Immuno-therapy. In: Basic and
Clinical Immunology, 4th Ed. Eds: Stites DP, Stobo JD, Fudenberg HH,
Wells JV. Maruzen Asian Ed. Lange Medical Publ, Maruzen Asia (Pte)
Ltd, page 71834.
Kulberg BJ, Van der Meer JWM, Bolk JH. Het zal wel een virus zijn
Nederl Tijdschr v Geneesk, 1988; 132: 1935.
Osame M, Matsumoto M, Usuku K et al. Chronic progressive myelopathy
associated with elevated antibodies to human T-lymphotropic virus type I
and adult T-cell leukemia-like cells. Ann Neurol 1987; 21: 11722. Quoted
from: Portegies P, Goudsmit J. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135:
1302-6.
34. Portegies P, Goudsmit J. Humaan T-cell lymphotroop virus type I (HTLV
I) als oorzaak van progressive myelopathie. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1991; 135: 1302-6.
35. Nieweg HO, De Wolf J. Lymphoma malignum en virus. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1984; 128: 961-2.
36. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and Clinical Immuno
logy, 4th Eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Edition, Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97.
37. Michael Whitehouse. Non-Hodgkin's lymphomas. Medicine Internat 1991;
4: 3878-81.
38. Tweet JG van den. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over
wegingen bij de "working formulation". Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990;
134: 2327-30. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr
v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
39. Hagenbeek A, Mellink WAM. De behandeling van het non-Hodgkin
lymfoom, anno 1991; is meer beter? Nederl Tijdschry Geneesk, 1991; 135:
2213-7.
40. Ossenkoppele GJ, Huygens PC, Langenhuysen MMAC. Stadidring van het
non-Hodgkin lymfoom; resultaten bij 221 patienten. Nederl Tijdfschr v
Geneesk, 1986; 130: 1016-9.
41. Laurence TS, Urba WJ, Steinberg SM et al. Retrospective analysis of stage
I and II indolent lymphomas at the National Cancer Institute. Internal J
Radiat Oncol Biol Phys 1988; 14: 417-24. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
42. Lister TA. The management of follicular lymphoma. Ann Oncol, 1991; 2:
131-5. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
43. Gilewski TA, Richards JM. Biologic response modifiers in non-Hodgkin's
lymphomas. Semin Oncol 1990; 17: 74-8. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
44. de Jong RS, Damen RMPC, Westerveld BD, Nelis GF. Twee patienten met
non-Hodgkin lymfoom gelokaliseerd in het pancreas. Nederl Tijdschr v
Geneesk, 1992; 136: 432-4.
45. Longo DL, Glatstein E, Duffey PL et al. Treatment of localized aggressive
lymphomas with combination chemotherapy followed by involved field
radiation therapy. J Clinic Oncol, 1989; 7: 1295-302. Quoted from:
Hagenbeek A, Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135:
2213-7.
46. Jones SE, Miller TP, Connors JM. Long term follow-up and analysis for
prognostic factors for patients with limited-stage diffuse large cell lym
phoma treated with initial chemotherapy with or without adjuvant radio
therapy. J Clinic Oncol 1989; 7: 1186-91. Quoted from: Hagenbeek A,
Mellink WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
47. Coltman CA, Dahlberg S, Jones SE et al. CHOP is curative in thirty percent
of patients with large cell lymphoma; a twelve-year South-West Oncology
Group follow-up. In: Skarin AT ed. Advances in cancer chemotherapy.
New York: NY Park Row 1986; 71-7. Quoted from: Hagenbeek A, Mellink
WAM. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2213-7.
48. Ultman JE, Vincent T, DeVito JR. Hodgkin's disease and other lymphomas.
In: Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th Eds. Eds: Petersdorf,
Adams, Braunwald, Isselbacher, Martin, Wilson. Taipen: Mei YaPubl Inc.
New York: Mc Graw-Hill Book Co, 1983; 751-65.
49. Govan ADT, Macfarlane PS, Callender R. Pathology illustrated (2). Edin
burg, London, Melbourne, New York: Churchill Livingstone, 1981.
50. Wells JV, Ries CA. Hematologic diseases. In: Basic and clinical Immuno
logy, 4th eds. Eds: DP Stites, JD Stobo, HH Fudenberg, JV Wells. Maruzen
Asian Ed. Lange Med Publ, Maruzen Asia (Pte) Ltd, page 460-97.
51. Coleman NC, Williams CJ, Flint A et al. Hematologic neoplasia in patients
treated for Hodgkin's disease. N Engl J Med 1977; 297: 1249-52. Quoted
from: Soesan M. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1987; 131: 1140-1.
52. Mead G (Ben). Hodgkin's disease. Medicine Int 1991; 4: 3875-7.
53. Dorreen MS. Hodgkin's disease. Medicine Int 1987; 2: 1667-70.
54. van den Tweel JG. De classificatie van de non-Hodgkin lymfomen; over
wegingen bij de working formulation. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990;
134: 2327-30.
55. Mauch P, Larson D, Osteen R et al. Prognostic factors for positive surgical
staging in patients with Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1990; 8: 257-65.
Quoted from: Noordijk, Kluin-Nekemans. Nederl Tijdschr v Geneesk,
1990; 134: 2423-25.
56. Hancock SL, Cox RS, McDougall IR. Thyroid disease after treatment of
Hodgkin's disease. N Engl J Med 1991; 225: 599-605. Quoted from: Gittay
EJ, Schuurman B. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1991; 135: 2400 (Referaat).
57. Spiro SG. Lung cancer; presentation and treatment. Medicine Int 1991; 4:
3798-804.
58. Carde P, Burgers JMV, Henry-Amar M et al. Clinical stages I and II
Hodgkin's disease; a specifically tailored therapy according to prognostic
factors.. Clin Oncol 1988; 6: 239-52. Quoted from: Noordijk, Kluin
Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-25.
59. Rosenberg SA, Kaplan HS. The evolution and summary results of the
Stanford randomized clinical trials of the management of Hodgkin's disease
1962-1984. Intemat J Radiat Oncol Biol Phys, 1985; 11: 5-23. Quoted
from: Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134:
2423-5.
60. Longo DL, Young RC, Wesley M et al. Twenty years of MOPP therapy
for Hodgkin's disease. J Clin Oncol, 1986; 4: 1285-306. Quoted from:
Noordijk, Kluin-Nelemans. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1990; 134: 2423-5.
61. Behrendt H. De ziekte van Hodgkin bij kinderen; behandeling, resultaten
met of zonderradiotherapie. Nederl Tijdschr v Geneesk, 1986; 130: 865-8.
Kegiatan Ilmiah
August 1618, 1994 7th ASEAN Congress of Plastic and Reconstructive Surgery
Bangkok
Information : Congress Secretariat,
Dept of Plastic Surgery, Siriraj Hospital,
Bangkok 10700, Thailand.
INTRODUCTION
Diarrhea is still one of the major killers of children under five
in the Central Highlands of Irian Jaya. One of the causes of this
high mortality is related to the delay of the treatment for the
dehydrated children.
To overcome this problem, Sugar Salt Solution (SSS) and
even WHO-UNICEF Oral Rehydration Salt Solution (ORS)
have been used for home-based treatment for early diarrhea with
or without dehydration. Unfortunately, these solutions do not
shorten the duration of diarrhea and/or decrease stool's volume
and do not encourage parents to rely on these solutions only(1-6).
Rice-based oral rehydration solution was developed in some
countries and the benefits of this solution have been proven by
several studies(1-6). Unfortunately, rice is a luxurious thing and
not always available for the people in the Central Highlands of
Irian Jaya where sweet potato, banana, sago and corn are their
staple foods.
Developing staple food-based oral rehydration solutions in.
the Central Highland will benefit the community.
Staple Food
Sweet potato, white
Sweet potato, yellow
Corn
Banana
WHO-UNICEF
Oral Rehydration
Sa1ts(7,8)
Rice Fluor Solution(3)
Sodium
(Mmol/l)
Potassium
(Mmol/l)
Glucose
(mg %)
15.6 23.7
28.0 37.3
9.3
37.3 46.6
9.8 11.6
8.7
3.7
7.5
174 175
47 49
112 113
168 171
90
20
111
1.4
2.0
DISCUSSION
The sodium content of the solutions examined in this study
did not differ very much from the concentration of sodium in
Sugar-Salt Solution and was in the safety range of oral rehydration therapy used for home-treatment(2). Compared with a study
of Rice Flour Solution(3), the sodium content in banana, corn and
sweet potato solutions are higher. It means that the risk of
hyponatremia with sweet potato, corn or banana solutions will be
less than that of Rice-based Oral Rehydration Solution and the
risk of hypernatremia is lower than WHO-ORS(8).
The glucose content in corn is acceptable according the
glucose content of home-made Sugar-Salt Solution and WHOUNICEF ORS(2,7,8). The other solutions have higher glucose
content and this might be related to an increase of osmolarity(6).
Unfortunately, osmolarity of these solutions were not examined.
Although glucose (monosaccharides and dissacharides) increased
the osmolarity, starch in its polymeric form was found in the
solution which decreased the osmolarity(6), so the osmolarity
might not be so high in these solutions. The high content of
glucose in the solutions (except yellow sweet potato and corn)
does not discourage the use of these solutions as the maximum
glucose that can be absorbed in acute diarrhoea is around 2%. If
the concentration was over 2%, it may cause osmotic diarrhoea(2).
Besides those materials, the solutions could have some
amount of protein, dipeptides, neutral amino acids or hydrolysed
proteins which help to couple and to enhance the absorption of
natrium and then, osmotically, water flow in the same direction(1).
All of the contents found in the study of these solutions made
REFERENCES
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
PENDAHULUAN
Sindrom Hemolitik Uremia (SHU) adalah penyakit akut
dengan ditandai gejala anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopeni dan gagal ginjal akut(1). Timbul pada semua usia,
tetapi lazimnya pada usia anak-anak, khususnya pada usia prasekolah(2). Sindrom ini di negara barat merupakan penyebab
utama kegagalan ginjal akut pada bayi dan anak(3).
ringan demam, lesu, muntah, diare. Gejala yang paling menonjol dan hampir selalu terjadi adalah gastroenteritis(6).
2) Fase akut
Gejala penderita bertambah berat dengan adanya(3) :
a. Oliguri, hipertensi, edema, hematuri.
b. Anemia hemolitik.
c. Trombositopeni.
TINJAUAN PUSTAKA
Secara epidemiologik terdapat 3 tipe SHU yang secara
klinis berbeda meskipun secara patologi mempunyai karakteristik yang same(4).
1) Purpura Thrombotik Thrombositopenik
Dapat mengenai segala umur, terutama wanita 1050 tahun,
dan jarang terjadi.
Tanda karakteristik yang menonjol: demam, trombositopeni, gangguan neurologik, gagal ginjal akut dan anemia hemolitik mikroangiopatik.
2) Sindrom Hemolitik Uremia pada anak (SHU anak)
Di negara maju, SHU anak merupakan penyebab terbanyak
(40% dari Gagal Ginjal Akut internal pada usia 04 tahun.
Sedang serangan dapat bersifat endemik maupun non endemik.
3) Sindrom Hemolitik Uremia pada orang dewasa (SITU dewasa)
SHU dewasa merupakan tipe SHU yang tidak banyak
dijumpai, biasanya tidak bersifat sporadik. Gambaran klinik
mirip SHU anak.
PENATALAKSANAAN SHU
Pemantauan berupa evaluasi gagal ginjal akut dan kelainan
hematologi, serta elektrolit(4).
1) Terapi suportif terhadap anemia
Penyebab anemia dalam hal ini hemolisis dan perdarahan,
packed red cell (PRC) dapat diberikan bila Hb kurang dari 20%
atau apabila ada gejala klinis akibat anemia, PRC diberikan
perlahan-lahan 10 ml KgBB atau 6 X BB X Hb yang diinginkan.
Transfusi trombosit jarang diperlukan karena dapat menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah ginjal.
2) Terapi terhadap infeksi
Infeksi dapat terjadi mendahului SHU, clan penggunaan
antibiotik harus tepat dan tidak nefrotoksik.
3) Terapi terhadap hipertensi
Hipertensi terjadi terutama sebagai reaksi renin angiotesin
sehingga obat hipertensi yang dipilih adalah golongan ACE
inhibitor.
ETIOLOGI
Diduga penyebab SHU adalah infeksi bakteri spesifik,
misalnya infeksi demam tifoid dan shigella (terutama pada
daerah endemi).
Di samping itu dapat juga disebabkan virus, riketsia, imunologik; dan idiopatik(5).
GAMBARAN KLINIS DAN LABORATORIUM
1) Fase prodromal
Penderita tampak sehat dengan gizi baik. Umumnya gejala
LAPORAN KASUS
A, perempuan 12 tahun, dirawat untuk pertama kali di
bagian Anak RSU Langsa pada tanggal 25 April 1993 dengan keluhan utama pucat; 3 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita
menderita demam tinggi dan lemas, 2 hari kemudian muntahmuntah, pusing, buang air kecil dan buang air besar tidak ada
keluhan, tidak ada riwayat perdarahan sebelumnya dan tidak ada
keluarga yang menderita penyakit seperti pasien ini. Riwayat
kehamilan ibu, persalinan ibu dan perkembangan pasien kesan
normal.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan seorang anak perempuan
dengan kesadaran kompos mentis, pucat, tidak sesak, tidak
sianosis, tidak ikterus, Berat badan 25 kg, tinggi badan 135 cm,
suhu 37C. Frekuensi napas 22/menit teratur, frekuensi nadi =
frekuensi jantung 120/menit, tekanan darah 120/80 mmHg, jantung dan paru tidak ada kelainan. Perut teraba lemas, tidak nyeri
tekan, hati dan limpa tidak teraba; ekstremitas tidak ada kelainan.
Pemeriksaan laboratorium: Hb 6,2 gr/dl, leukosit 8.660/ul,
trombosit 86000/ul, golongan darah A, eritrosit 2,52 juta/ul, dan
hitung jenis: eosinofil 0%, basofil 0%, neutrofil batang 2%,
neutrofil segmen 64%, limfosit 32%, monosit 2%, sedangkan
pemeriksaan urine menunjukkan adanya proteinuri (2+) eritrosit
1520/Ipb dan leukosit 13/1pb pada sedimen.
Diagnosis kerja saat itu: Anemia aplastik dan observasi
hematuri.
Terapi diberikan transfusi PRC 250 ml.
Sehari kemudian didapati penderita demam tinggi 39,7C,
kelopak mata sedikit membengkak, warna urine air cucian daging. Tekanan darah 120/80 mmHg; pada jantung, paru dan
abdomen tidak ada kelainan. Penderita ditangani sebagai
glomerulonefritis akut, diberi pengobatan antibiotika dan diuretika serta diet rendah garam.
Tangga1 30 April 1993 dilakukan pemeriksaan laboratorium
selanjutnya : Hb 5,2 gr/dl, leukosit 7600/ul, trombosit 76000/ul,
ureum 425 mg/dl, kreatinin 16,7 mg/dl, ASTO 200S1/ml.
Urine : protein (+), eritrosit 2035/1pb dan leukosit 45/Ipb
dalam sedimen.
Diagnosis kerja menjadi anemia hemolitik dan uremia,
dengan kemungkinan Sindroma Uremik Hemolitik.
Diberi pengobatan infus cairan D109b/NaCI 0,9% sebanyak
25 ml/kgbb dan PRC 10 ml/kgbb dengan pengawasan atas tanda-
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
ABSTRAK
Sindrom Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid sangat
jarang ditemukan. Penulis melaporkan satu kasus sindrom Guillain-Barre path penderita demam tifoid, menambah kasus serupa yang sebelumnya telah dilaporkan
Chanmugam.
PENDAHULUAN
Manifestasi kelumpuhan yang dapat terjadi pada demam
tifoid mungkin berupa miopati, sindrom Guillain-Barre dan
polineuropati(1). Bentuk sindrom Guillain-Barre sangat jarang
ditemukan dan dalam kepustakaan pernah dilaporkan oleh
Chanmugam(2). Kasus yang dilaporkan penulis berbeda dengan
yang telah diuraikan itu dalam hal penanganannya. Kasus dikenal pertama sebagai sindrom Guillain-Barre dan mendapat penanganan sesuai dengan itu dan baru kemudian diketahui merupakan kasus tifoid, sedangkan kasus penulis sejak pertama diobati
sebagai tifoid (mungkin karena pasien datang ke dokter penyakit
dalam) dan setelah demamnya mereda baru dikonsulkan ke unit
neurologi. Namun kedua-duanya ialah sindrom Guillan-Barre
yang timbul pada infeksi Salmonella.
URAIAN KASUS
Seorang anak laki-laki Indonesia berumur 14 tahun pada
saat masuk perawatan telah menderita demam di rumah selama
empat hari. Bersamaan dengan demamnya ia merasa kesemutan
pada kedua betisnya dan kemudian kedua tungkainya menjadi
lemah. Kelemahan itu bertambah hari bertambah parah sehingga
ia tidak mampu berjalan sendiri. Ia kemudian masuk perawatan
di rumah sakit. Hasil pemeriksaan laboratorium ialah : Hb 13,6
g%; leukosit 7300/mm3; hitung jenis menunjukkan eosinofil 0,
batang 5, segmen 84, limfosit 11; tes aglutinasi S typhi O 1/80 dan
H 1/160 positif; biakan darah juga S typhi positif; urine tidak ada
yang mulai, sedikit banyak secara simetri, di tungkai dan kemudian dapat menjalar ke proksimal ke lengan dan saraf otak. Suhu
tubuh biasanya normal. Salah satu ciri utama lain ialah kelemahan otot yang mencolok dan tidak ada atau hanya sedikit
gangguan sensorik. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat
dan respon F dan H abnormal(3). Penyakit ini secara alami pulih.
Pada terapi yang penting ialah kesiapan untuk bantuan pernafasan.
Baik pada kasus Chanmugam maupun kasus penulis
ditemukan demam tinggi pada penderita, yang biasanya tidak
ditemukan pada sindrom Guillain-Barre(3,4). Demam itu baru
hilang setelah penderita mendapat pengobatan terhadap demam
tifoidnya sungguhpun padakasus Chanmugam dari segi susunan
saraf sudah terjadi kemajuan secara lambat clan tetap.
Di Indonesia demam tifoid merupakan penyakit menular
kedua terbesar setelah gastroenteritis(1). Oleh karena itu sindrom
Guillain-Barre sebagai bentuk kelumpuhan pada demam tifoid
mungkin lebih sering dijumpai asalkan diwaspadai. Pengenalan
sindrom ini sebagai penyulit demam tifoid perlu disadari karena
berpotensi fatal akibat kegagalan pernafasan; sehingga tidak
boleh dianggap sebagai suatu polineuropati. Polineuropati biasa-
nya melibatkan komponen motorik, sensorik dan vegetatif. Sebaliknya mengenali sindrom Guillain-Barre tanpa mengetahui
kemungkinan kaitannya dengan demam tifoid mungkin juga
berakibat fatal karena infeksi Salmonella tidak diatasi.
KESIMPULAN
Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada
demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di
Indonesia di mana demam tifoid masih merttpakan penyakit
menular yang besar.
Sungguhpun sindrom Guillain-Barre umumnya pulih dengan baik namun mungkin terjadi kegagalan pernafasan yang
dapat menimbulkan akhir yang fatal.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
PENDAHULUAN
Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar
bagian depan atau pars plikata. Berdasarkan reaksi radang,
uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan
endogen. Untuk selanjutnya, yang banyak dibicarakan adalah
uveitis anterior endogen. Penyebab uveitis anterior meliputi:
infeksi, proses autoimun, yang berhubungan dengan penyakit
sistemik, neoplastik, dan idiopatik(1). Pola penyebab uveitis
anterior terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknik
pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik.
Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya,
namun 37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan dengan penyakit sistemik(2). Penyakit
sistemik yang berhubungan dengan uveitis anterior meliputi:
spondilitis ankilosa, sindromaReiter, artritis psoriatika,penyakit
Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple(1). Keterkaitan
antara uveitis anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasien
dengan predisposisi genetik HLA-B27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al(3).
Angka prevalensi uveitis anterior sekitar 0,19%; namun
angka tersebut meningkat menjadi 1% pada kelompok.populasi
HLA-B27 positif(4). Uveitis anterior merupakan salah satu radang di dalam bola mata yang paling sering dijumpai, dengan
insidensi pertahun bervariasiantara 8,212 setiap 100.000 penduduk(5,6). Uveitis anterior akuta pada HLA-B27 positif lebih
sering terjadi pada orang Kaukasia dibandingkan orang Jepang.
Umur penderita biasanya bervariasi antara usia prepubertal 50
tahun(5).
Gejala-gejala uveitis anterior meliputi: mata merah, fotoDisajikon pads Konas III Peratnu ni, di Bandung, 2226 Juni 1993
LAPORAN KASUS
Seorang wanita Ny. M umur 34 tahun, alamat: Jetis, Pedan,
Klaten, Jawa Tengah; pada tanggal 7-11-1992 masuk RSUP Dr
Sardjito dengann keluhan mata kanan sakit, penglihatan sangat
kabur, mata merah, dan berair. Keluhan tersebut diderita sejak 7
hari sebelumnya, dan sudah berobat ke RSU Tegalyoso namun
tidak ada perbaikan. Berdasarkan basil pemeriksaan didapatkan:
visits matakanan 1/300, palpebra bleparospasmus berat, injeksi
siliar pada konjungtiva, kornea udem, bilik mata depan flare 4+,
set 3+, eksudat fibrin hampir menutup pupil, hipopion setinggi
2 mm, lensa dan belakang lensa tidak dapat dinilai. Mata kiri
visus 6/6, dan tidak dijumpai kelainan. Riwayat keluarga: ayah
pasien menderita sakit sendi tulang belakang.
Hasil pemeriksaan laboratorium rutin didapatkan: angka
leukosit 14.400, Hb 13,6 g%, laju endap darah 74 mm, persentase jenis leukosit batang 1%, segmen 90%, dan limfosit 9%.
Kadar glukosa darah puasa 75 mg%. Kadar enzim fosfatase alkali
66 lU/ml, dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan imunologik: faktor reumatoid negatif,
CRP 1/40, ASO 200 lU/ml (+), VDRL negatif, IgG Tokso 600
lU/ml, IgM Tokso-ISAGA negatif, HLA-B27 positif. Uji PPD
pada kulit negatif. Hasil pemeriksaan foto Ro: artritis sakroiliaka dan coxae.
Hasil konsultasi antar unit didapatkan: status reumatologis
didapatkan spondilitis ankilosa, status THT didapatkan etmoiditis, status ortopaedis didapatkan skoliosis torakolumbal yang
balanced, status dermato-venerologis ada persangkaan servisitis
Gonore, status gigi dan mulut didapatkan gigi L 6 gangren.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium penunjang, dan pemeriksaan konsultasi antar unit,
dibuat diagnosis: mata Icarian uveitis anterior akuta pada HLAB27 positif, spondilitis ankilosa, etmoiditis, gigi L 6 gangren,
dan persangkaan servisitis gonore.
Dilakukan terapi non spesifik pada mata yang meliputi:
steroid topikal tiap jam, sulfas atropin tetes 1%, injeksi steroid
sub-tenon anterior 0,8 ml deksametason/hari selama 5 hari,
injeksi deksametason 2 ml intra muskuler/hari dap pagi selama
5 had. Untuk etmoiditis, diberikan amoksilin 3x500 mg selama
5 hari. Tiamfenikol 3 g/hari selama 2 hari diberikan untuk menanggulangi persangkaan servisitids gonore. Untuk spondilitis
ankilosa perlu diberikan senyawa anti radang non steroid, serta
dilakukan fisioterapi. Gigi L 6 gangren yang diduga sebagai
fokal infeksi dilakukan ekstraksi.
Pemeriksaan setelah 7 hari mendapatkan: visus mata kanan
6/60, segmen depan dijumpai reaksi radang ringan, kornea tidak
udem, bilik mata depanflare 2+, sel 1+, beberapa eksudat fibrin,
hipopion tidak ada, pupil luas dengan tepi kurang rata akibat adanya sinekia posterior, terdapat beberapa sisa fibrin dan pigmen
iris di permukaan depan lensa. Segmen belakang tidak dijumpai
kelainan. Dosis terapi steroid diturunkan secara bertahap sampai
dosis rumat, sedang pemberian steroid topikal masih tetap.
Setelah perawatan 14 hari diperoleh hasil: visus mata kanan
6/6, segmen depan tenang, bilik mata depan flare 0, se10, pupil
luas, ada beberapa pigmen iris menempel pada kapsul lensa, sisa
penyebab spondilitis ankilosa tidak diketahui, namun predisposisi genetik HLA-B27 dan faktor lingkungan dihipotesiskan
ikut berperanan(4). Menurut Rothova et al (1987), pada pasienpasien spondilitis ankilosa yang disertai serangan akut uveitis
anterior dijumpai kenaikan kadar IgA dan IgA circulatory
immune complex serum yang berhubungan dengan adanya
infeksi bakteri Gram () di usus(9). Dalam hal ini antigen bakteri
yang menembus mukosa usus dianggap sebagai faktor pencetus
pada orang dengan predisposisi genetik HLA-B27. Terjadinya
deposisi kompleks imun pada uvea anterior dalam waktu tertentu
dapat menimbulkan reaksi radang. Pada kasus ini ternyata sudah
terjadi deformitas berupa skolibsis, dan diperlukan fisioterapi
guna mencegah terjadinya penyulit lebih lanjut.
KESIMPULAN
Pada setiap kasus uveitis anterior non granulomatosa
perlu diperiksa keberadaan HLA-B27, serta kemungkinan
infeksi bakteri Gram () pada saluran gastro intestinal maupun
genitourinarius. Pada uveitis anterior yang disertai hipopion
dan fibrin harus dicurigai adanya predisposisi genetik HLAB27. Kasus demikian perlu dikonsulkan untuk dicari kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berkaitan khususnya
spondilitis ankilosa, dan sindrom Reiter. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pola gambaran klinis penderita
uveitis anterior pada HLA-B27 positif di Indonesia, mengingat
adanya perbedaan etnik maupun lingkungan geografik dibandingkan di negara-negara Barat.
KEPUSTAKAAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Rao NA, Forger DJ, Augsburger H. The Uvea, Uveitis and Intra ocular
Neoplasms. London: Gower Med. Publ, 1992.
Baohua F. Endogenous uveitis of the Cantonese. Proc 9th Congres APAO,
Hongkong, 1983.
Brewerton DA, Caffrey M, Nicholls A. Acute anterior uveitis and HLAB27, Lancet 1973; 2: 41-5.
Linssen A, Deller-Says AJ, Dandrieu MR. The HLA-B27 Associated
Syndrome, Excerpta Medics 1982; 134: 85-8.
Smith RE, Nozik RA. Uveitis, A Clinical Approach to Diagnosis and
Management. London: Williams & Wilkins, 1983.
Vadot E, Barth E, Billet P. Epidemiology of Uveitis, Preliminary results of
prospective study in Savoy. Amsterdam: Elsevier Science Publ, 1984.
Feltkamp TEW. H:LA-B27, acute anterior uveitis and ankylosing spondilitis, In: Ziff M, Cohan SB (eds.): Advances in Inflammation Research, Vol.
9, New York: Raven Press, 1985.
Kanski JJ. Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach 2nd ed.
London: Butterworth-Heinemann, 1989.
Rothova A, Luyendijk L, Linssen A, Kijlstra A. IgA serum levels and
circulating immune complexes containing IgA in different uveitis entities.
In: Fregona I, Secchi AG (eds): Proc 4th International Symposium on the
Immunology and Immunopathology of the Eye. Padua, 1987.
Rothova A, Veenendaal WB, Linssen A. Clinical features of Acute
Anterior Uveitis, Am J Ophthalmol 1987; 100: 375-9.
Saari KM, Laitinen 0, Leirisals M. Ocular inflammation associated with
Yersinia infection, Am J Ophthalmol 1980; 89: 84-8.
Simonsen M, Olsson L. Possible roles of compound membrane receptors
in the immune system, Ann Immunol 1983; 134: 85-9.
Linssen A, Rothova A, Luyendijk L. Acute anterior uveitis in relation to
Ankylosing Spondilitis and HLA-B27, An epidemiologic survey, 1987.
Woods AC. Endogenous Uveitis. Baltimore: Williams & Wilkins, 1956.
RINGKASAN
Untuk mengethui pola resistensi Salmonella di berbagai daerah terhadap antibiotik,
telah dilakukan uji resistensi isolat Salmonella yang berasal dari pendefita gastroenteritis
di Jakarta dan Salmonella dari penderita demam typhoid di Palembang terhadap 5 jenis
antibiotik yaitu Khloramphenikol dengan potensi disk sebesaz 30 g, Kanamisin 30 g,
Ampisilin 10 g, Tetrasiklin 30g dan Kotrimoxazol 25 g. Uji resistensi ini dilakukan
secara in-vitro dengan cara Disk Diffusion (Kirby-Bauer, 1966).
Hasil pengujian menunjukkan, untuk daerah Jakarta tingkat resistensi Salmonella
paling rendah terjadi pada antibiotik Kotrimoxazol sebesar 5,0% dan Kanamisin 12,5%.
Terhadap 3 jenis antibiotik yang lain yaitu Khloramphenikol, Ampisilin dan Tetrasiklin
tingkat resistensi Salmonella mencapai 20,0% ke atas. Ini berarti Kotrimoxazol dan
Kanamisin adalah dua jenigantibiotik yang paling efektif untuk Salmonella khususnya di
Jakarta. Untuk daerah Palembang umumnya ke lima jenis antibiotik yang diujikan di sini
masih cukup efektif terhadap Salmonella. Namun di antara ke lima jenis antibiotik
tersebut yang paling efektif adalah Kanamisin dan Ampisilin karena tingkat resistensi
Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik masih 0,0%. Sedangkan terhadap Kotrimoxazol, Khloramphenikol dan Tetrasiklin tingkat resistensinya antara 5,0% 6,6%.
Kejadian multiresisten dalam pengujian ini menunjukkan bahwa 5,0% isolat Salmonella di Jakarta bersifat multiresisten terhadap 5 jenis antibiotik yaitu terhadap
Khloramphenikol, Tetrasiklin, Ampisilin, Kanamisin dan Kotrimoxazol. Di Palembang
5,0% isolat Salmonella bersifat multiresisten terhadap dua jenis antibiotik yaitu terhadap Khloramphenikol dan Kotrimoxazol,1,696 multiresisten terhadap Khloramphenikol
dan Tetrasiklin.
PENDAHULUAN
Infeksi Salmonella dapat muncul sebagai gastroenteritis,
typhus abdominalis dan septikemia(1). Pada gastroenteritis
prevalensi Salmonella bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lainnya dan lebih banyak disebabkan oleh infeksi Salmonella
oranienburg, S. krefeld dan S. paratyphi B. Typhus abdominalis umumnya disebabkan oleh infeksi Salmonella typhi, tapi
dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi A, B dan C(3).
Species Salmonella
Jakarta (n = 40)
Palembang (n = 60)
Jumlah
Jumlah
2
0
14
7
4
13
2,0
0,0
35,0
17,5
10,0
32,5
48
12
0
0
0
0
80,0
20,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Salmonella typhi
Salmonella paratyphi A
Salmonella paratyphi B
Salmonella paratyphi C
Salmonella Group D
Salmonella Group B
Khloramphenikol/30 g
Tetrasiklird30 g
Kanamisin/30 g
Ampisilin/10 g
Sulfametoxaavl-Trimetoprim/25 g
8
10
5
7
2
20,0
25,0
12,5
17,5
5,0
96
4
3
0
0
3
6,6
5,0
0,0
0,0
5,0
tingkat resistensi Salmonella terhadap kedua jenis antibiotik tersebut masih cukup rendah yakni sebesar 12,5% dan 5,0%. Tiga
jenis antibiotik yang lain yaitu ampisilin, khloramphenikol dan
tetrasiklin efektivitasnya di bawah kanamisin dan kotrimoxazol.
Di sini terlihat bahwa tingkat resistensi Salmonella terhadap.
ampisilin sebesar 17,5%, khlorampheniko120,0% dan tetrasiklin
25,0%. Mengingat tingkat resistensi Salmonella terhadap khloramphenikol telah mencapai 20,0%, barangkali perlu dipertimbangkan kembali kedudukan khloramphenikol yang sampai saat
ini merupakan antibiotik pilihan utama untuk kasus infeksi
Salmonella. Bila dibandingkan dengan tahun 1983, terlihat
penurunan sensitivitas Salmonella terhadap khloramphenikol;
tahun 1983 sensitivitas Salmonella sebesar 97,8%, tetapi tahun
1989 sebesar 80,0%. Jadi telah terjadi penurunan sensitivitas
sebesar 17,8% dalam kurun waktu sekitar 6 tahun.
Berbeda dengan Jakarta, di Palembang antibiotik ampisilin
dankanamisin efektivitasnya terhadap Salmonella paling tinggi
dibandingkan dengan kotrimoxazol, tetrasildin dan khloramphenikol. Dalam uji resistensi ini derajat efektivitas kanamisin dan
ampisilin terhadap Salmonella masih mencapai 100%, sedangkan
kotrimoxazol sebesar 95% (Gambar 1).
Umumnya efektivitas kotrimoxazol terhadap golongan
enterobakteri patogen lebih baik daripada ampisilin seperti halnya di Jakarta dan daerah lain. Tetapi di Palembang terjadi hal
yang sebaliknya, efektivitas ampisilin lebih tinggi daripada
kotrimoxazol. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan antibiotik kotrimoxazol lebih menonjol secara tidak terarah, se-
96
2
1
4
5,0
2,5
10,0
Gambar 1. Diagram resistensi isolat Salmonella (dalam %) yang berasal dari Jakarta dan Palembang
terhadap 5 jenis antibiotik tahun 1989
Tabel 5.
96
3
1
5,0
1,6
Keterangan : C = Chloramphenieol
Te = Tetracyclin
X = Kanamrycin
Am = Ampicillin
SxT = Sulfametoxazol-Trimetoprim (Kotrimoxazol)
(5)
1.
Kegiatan Ilmiah
October 914, 1994 20th International Congress of the International Academy
of Pathology & 11th World Congress of Academic and
Environmental Pathology
Hong Kong
Information : Congress Coordinator,
Department of Anatomical and Cellular Pathology, The Chinese University of Hong Kong,
Room 38019, 1/F, Prince of Wales Hospital,
Shatin, Hong Kong.
Informasi Obat
Clamobit
KOMPOSISI :
Setiap kaplet Clamobit 500 mg mengandung :
Amoksisilin trihidrat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 578
setara dengan Amoksisilin anhidrat . . . . . . . . . . . 500
Kalium klavulanat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 148,75
setara dengan Asam Klavulanat . . . . . . . . . . . . . . 125
INDIKASI :
Untuk pengobatan :
Infeksi traktus respiratorius bagian atas
Infeksi traktus respiratorius bagian bawah
Infeksi traktus urinarlius
Infeksi kulit dan urinarlius
Infeksi kulit dan jaringan lunak
Gonorhoea.
termasuk yang disebabkan oleh kuman penghasil penisilinase
POSOLOGI :
Dewasa dan anak di atas 12 tahun (> 40 kg) infeksi berat 1
kaplet, 500 mg 3 x sehari.
Infeksi ringan sampai dengan sedang, 1 kaplet 250 mg 3 x sehari.
Pemakaian 1 kaplet Clamobit 500 mg tidak dapat diganti dengan
2 kaplet Clamobit 250 mg karena kadar asam klavulanat dalam
satu kaplet Clamobit 500 mg tidak sama dengan dua kaplet
Motipep
Komposisi :
Motipep 20 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 20 mg
Motipep 40 : Setiap kaplet mengandung Famotidine 40 mg
Cara Kerja Obat :
Motipep suatu antagonis reseptor Histamin H2 yang bekerja
menghambat sekresi asam lambung dan menurunkan sekresi
pepsin yang dirangsang oleh pentagastrin.
pH intragastric noctural meningkat dengan pemberian Motipep per malam hari yaitu 5,0 dan 6,4.
Motipep mengalami metabolisme lintas pertama secara minimal. Setelah pemberian dosis oral kadar puncak plasma tercapai
dalam 1 - 2 jam.
Kadar plasma setelah pemberian dosis berulang sama dengan
pemberian dosis tunggal.
Waktu paruh eliminasi Famotidine 2 - 3 jam.
Indikasi :
Pengobatan jangka pendek pada duodenal ulcer aktif.
Terapi pemeliharaan pada penderita yang baru sembuh dari
Posologi:
Terapi akut
40 mg sekali sehari sebelum tidur: atau 20 mg dua kali
sehari. Biasanya pengobatan cukup dilakukan selama 4
minggu dan jarang diperlukan pengobatan lebih dan 6 8
minggu.
Terapi pemelihanaa
20 mg sekali sehari, sebelum tidur.
Kondisi hipersekresi patologis : 20 mg setiap 6 jam.
Peringatan Dan Perhatian:
Sebelum memulai tetapi dengan Famotidine, malignansi
gaster harus disingkirkan dahulu.
Pengalaman penggunaan pada anak-anak, wanita hamil dan
menyusui belum mencukupi.
Dosis Famotidine pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal yang berat perlu dikurangi.
Hati-hati bila digunakan pada penderita gangguan fungsi
hati.
Efek Samping:
Headache, dizziness, konstipasi, diare, thrombocytopenia dan
arthralgia.
Kontra Indikasi:
Hipersensitif terhadap Famotidine.
Interaksi Obat:
Obat mi tidak menimbulkan efek bermakna pada disposisi
obat-obat yang dimetabolisme melalui sistem enzim sitokrom
p450 hati seperti teofihin, warfanin, diazepam dan lain-lain.
Cara Penyimpanan : Simpan di tempat sejuk dan kering.
Kemasan:
Moltipep 20 No. Reg. DKL 9302808/09 Al - 1 Box isi 3 Strip
@ 10 kaplet.
Motipep 40 No. keg. DKL 9302806709 Bl - 1 Box 3 strip @
10 kaplet.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
50 eksemplar
100 eksemplar
300 eksemplar
ABSTRAK
CIMETIDINE MENGURANGI BERAT BADAN ?
Menurut penelitian orang Norwegia,
cimetidine membantu pasien mengurangi berat badan. Baik resipien cimetidine maupun plasebo diminta mengikuti diet rendah kalori. Berat badan
resipien cimetidine rata-rata berkurang
lebih banyak 7,3 kg daripada resipien
plasebo setelah 8 minggu.
Dr Stoa - Birketvedt memberi postulat bahwa cimetidine dapat mengurangi
rasa lapar sehingga pasien-pasien
menjadi lebih ketat terhadap dietnya.
Mekanismenya belum diketahui tapi
mungkin karena hambatan sekresi asam
lambung yang berperan terhadap nafsu
makan. Namun menurut penelitian orang
Denmark, yang mengulangi penelitian
orang Norwegia tidak ada efek cimetidine terhadap beratbadan atau rasa lapar, sehingga basil penelitian menyimpulkan cimetidine tidak efisien dalam
pengobatan kegemukan.
Prof. John Garrow, St. Bartholemew's Hospital Medical College,
London, UK menentang penemuan Dr.
Stoa - Birketvedt. Beliau menyatakan,
beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada pola penurunan berat badan dengan cimetidine adalah :
Penurunan berat badan adalah tetap
setelah 8 minggu. Umumnya, penurunan berat badan pada orang-orang gemuk
lebih besar pada minggu-minggu pertama diet, kemudian berkurang.
Laju penurunan berat badan adalah
sama pada individu-individu dengan
berat badan awal yang lebih tinggi
ataupun yang lebih rendah.
Kedua hal tersebut masih sulit dijelaskan dan belum diteliti.
Kesimpulannya adalah tetap "mengherankan" bahwa cimetidine dan plasebo
memberi efek yang berbeda di Norwegia dan Denmark.
Inpharma 1993; 885: 15
Id
PEMBASMIAN H. PYLORI
Menurut Prof. James Freston, University of Connecticut, US, adalah
tindakan gegabah kalau pasien-pasien
yang menderita ulkus duodeni hanya
diobati dengan pembasmian Helicobacter pylori karena pembasmian Helicobacter pylori bukan merupakan
jawaban terhadap penyembuhan tapi
hanya merupakan "strategi dominan".
Menurut Prof. H Festen dari Groot
Hospital, Netherlands, regimen standard yang digunakan saat ini adalah
metronidazol, bismuth, dan amoksisilin
mempunyai efek merugikan yang tidak
dapat diterima pada 40% pasien. Prof.
Freston menambahkan lagi bahwa terapi kombinasi omeprazole dan amoksisilin mempunyai efek merugikan yang
lebih kecil dan basil yang lebih baik
daripada regimen triple tersebut.
ABSTRAK
DEBAT KOLESTEROL
Tingginya kadar kolesterol dalam
darah sampai saat ini dianggap sebagai
biang keladi berbagai penyakit, seperti
aterosklerosis dan penyakit-penyakit
kardiovaskular. Tetapi apakah menurunkan kadar kolesterol betul bermanfaat menurunkan mortalitas ?
Akhir-akhir ini antusiasme terhadap
penurunan kadar kolesterol darah agak
berkurang karena adanya data yang
menunjukkan kemungkinan kenaikan
mortalitas akibat sebab-sebab non
kardiovaskular. Beberapa penelitian
yang membandingkan obat penurun
kolesterol dengan plasebo menjumpai
kenaikan angka kematian akibat trauma
(kecelakaan atau bunuh diri) dan akibat
kanker di kelompok yang mendapat obat.
Masalah ini agaknya bukan sekedar
kebetulan, dan studi epidemiologik menunjukkan kemungkinan adanya kaitan
antara rendahnyakadarkolesterol darah
(kurang dari 4 mmol/1) dengan meningkatnya risiko kanker, kecelakaan
dan infeksi.
Beberapa peneliti mengkhawatirkan
pengaruh kadar kolesterol yang rendah
terhadap integritas membran sel, sehingga mempengaruhi kemampuannya
untuk beradaptasi pada keadaan infeksi,
defisiensi imun atau perubahan-perubahan prekanker. Prof. Oliver dari
Wynn Institute, London mengamati
rendahnya kadar serotonin dalam otak
pada keadaan tersebut; padahal serotonin merupakan salah satu neurotransmiter otak yang penting.
Penelitian masih terus berlanjut,
sementara itu British Hyperlipidemia
Association telah mengeluarkan pedoman sebagai berikut (tabel) :
Langkah pertama ialah modifikasi
diet; pemberian obat dipertimbangkan
bila usaha diet tidak berhasil.
Scrip 1993 (April); 13: 67
Brw
Tabel
SUPLEMENTASI VITAMIN A
Health Study yang melibatkan 1455
anak usia 6-59 bulan telah dilakukan di
Ghana untuk melihat pengaruh suplementasi vitamin A atas morbiditas dan
mortalitas.
Anak-anak tersebut dibagi menjadi
dua kelompok, masing-masing menerima 200.000 IU retinol (100.000 U untuk anak usia kurang dari 12 bulan) atau
plasebo setiap 4 bulan selama 26 bulan;
percobaan ini merupakan bagian dari
Survival Study yang melibatkan 21.906
anak usia 6-90 bulan yang diamati
sampai 26 bulan.
Ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam hal pievalensi diare ataupun infeksi saluran napas bagian atas;
meskipun demikian, kelompok vitamin
A lebih jarang mengunjungi klinik
(rate ratio 0,88, 95%CI: 0,81 - 0,95, p =
0,001), lebih jarang dirawat di rumah
sakit (rate ratio 0,62, 95%CI: 0,42
0,93, p = 0,02), lebih sedikit yang
meninggal dunia (rate ratio 0,81, 95%CI:
0,68 - 0,98, p = 0,03) dibandingkan dengan kelompok plasebo. Angka mortalitas akibat gastroenteritis akut juga
lebih rendah di kalangan vitamin A
(0,66, 95%CI: 0,47 - 0,92, p = 0,02),
juga akibat penyakit lain, kecuali akibat
infeksi saluran nafas bawah dan ma-
1. B
2. D
3. C
4. A
5. D
6. C
7. B
8. A
9. C
10. B