PRAKTIKUM (BPP)
MODUL INFEKSI DAN
IMUNOLOGI
UNIVERSITAS BENGKULU
2011/2012
Praktikum Parasitologi-1
Waktu
Tempat
:
: Laboratorium Parasitologi FKUI
Koordinator
Tutor :
1. Dra. Hendri Astuty MS
2. Dra. Mulyati MS
3. DR. Taniawati Supali
4. Drs. Zulhasril MS
5. Dr. Lisawati Susanto MS
6. DR. Heri Wibowo
7. Drs. Rizal Subahar MS (R-1)
Tujuan :
Memahami stadium infektif dan stadium diagnostik untuk parasit malaria dan
filaria dengan pemeriksaan secara mikroskopik dan serologi.
.
Kegiatan praktikum :
1. Demontrasi: morfologi parasit penyebab malaria dan filariasis
2. Membuat sediaan darah untuk diagnosis malaria
A. SEDIAAN DEMONSTRASI
Parasit
1. Plasmodium falciparum
Stadium trofozoit
Gambar
Sediaan darah tipis
pulasan Giemsa
Pembesaran 10 X 100
Perhatikan :
- eritrosit : tidak membesar
titik Maurer
- parasit : bentuk cincin, acole, marginal,
infeksi multiple, double chromatin.
Ukuran : 1/6 eritrosit
2. Plasmodium falciparum
Stadium skizon
Pembesaran 10 X 100
Pembesaran 10 X 100
Perhatikan :
parasit: gambaran uniform
tampak sebagai bentuk cincin, cincin
terbuka, koma, tanda seru, sayap burung
terbang
4. Plasmodium vivax
Stadium trofozoit
Pembesaran 10 X 100
Perhatikan :
- eritrosit : membesar
titik Schuffner
- parasit : bentuk ameboid (sitoplasma tidak
beraturan), chromatin merah dan
sitoplasma biru
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012
5. Plasmodium vivax
Stadium skizon
Pembesaran 10 X 100
Perhatikan :
- eritrosit : membesar
titik Schuffner
- parasit : terdiri dari 2 24 merozoit (mengisi
seluruh eritrosit), terdapat pigmen
berwarna coklat berkumpul
6. Plasmodium vivax
Stadium trofozoit, skizon
dan zone merah
Pembesaran 10 X 100
Perhatikan :
- parasit: gambaran tidak uniform, tampak berbagai
stadium: trofozoit: sitoplasma kompak
skizon : jumlah inti 4 12
- zone merah
7. Parasit malaria
Stadium sporozoit
pulasan HE
Pembesaran 10 X 100
Pembesaran 10 X 2
Perhatikan :
bentuk: halus panjang, warna putih susu
ukuran: 4 - 8 cm
Cacing jantan ekor melingkar, cacing betina
ekor lurus
9 . Brugia malayi
Stadium mikrofilaria
pulasan Giemsa
Pembesaran 10 X 45
Perhatikan :
ukuran : 8 X 200-260 mikron
ruang kepala: panjang = 2 X lebar
inti badan : tidak teratur
ujung ekor : memepunyai 1-2 inti tambahan
sarung badan : merah
Perhatikan :
-
pulasan Giemsa
Pembesaran 10 X 45
Perhatikan :
-
Pembesaran 10 X 2
Perhatikan :
-
Plasmodium falciparum :
protein spesifik Hrp II Pf (Histidine rich
protein II P.falciparum)
- Plasmodium spp:
enzim LDH (lactate dehydrogenase)/Aldolase
B. PEKERJAAN SENDIRI
1. Membuat sediaan darah tebal dan tipis untuk diagnosis malaria
2. Melakukan pulasan Giemsa untuk darah malaria
Pembuatan Sediaan Darah Malaria
Spesimen : Darah jari
Alat dan Reagensia:
1. Kaca objek
2. Lancet
3. Kapas kering
4. Kapas alkohol
5. Rak pewarnaan
6. larutan Giemsa 3%
7. Methanol
8. Botol semprot berisi akuades
9. Tissue, plastik sampah, container pembuangan benda tajam
Cara :
1. Bersihkan salah satu ujung jari dengan kapas alkohol, lalu tusuk dengan lancet
2. Tetes darah pertama dibersihkan dengan kapas kering untuk menghilangkan
bekuan darah dan sisa alkohol
3. Teteskan setetes darah di satu sisi kaca objek untuk membuat sediaan darah
tipis.
4. Selanjutnya 2-3 tetes darah pada bagian tengah kaca objek untuk membuat
sediaan darah tebal.
5. Bersihkan sisa darah di ujung jari dengan kapas
6. Pembuat sediaan darah tipis: ambil kaca objek baru kemudian tempelkan
ujungnya ke darah dengan sudut 45 sampai darah tersebut menyebar
sepanjang sisi lebar kaca objek, kemudian
7. geser kaca objek dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan darah tetes
tebal, sehingga didapatkan sediaan hapus (seperti bentuk lidah)
8. Pembuatan sediaan darah tebal: ke tiga tetes darah tebal dihomogenkan
memakai ujung kaca objek dengan cara memutar ujung kaca objek searah
jarum jam, sehingga berbentuk bulatan dengan diameter 1 cm.
9. Keringkan sediaan darah secara alami.
10. Setelah kering, sediaan darah tipis difiksasi dengan methanol. Jangan sampai
terkena sediaan darah tebal
11. Letakkan pada rak pewarna dengan posisi darah berada diatas. Warnai dengan
larutan Giemsa 3% dengan cara menuangkan dari tepi hingga menutupi
seluruh permukaan kaca sediaan. Biarkan selama 30 menit.
12. Cuci sediaan darah dengan air bersih secara perlahan dari tepi kaca sediaan
sampai larutan Giemsa yang terbuang menjadi jernih.
13. Keringkan sediaan darah dan periksa dibawah mikroskop
Praktikum Parasitologi-2
Waktu
Tempat
:
: Laboratorium Parasitologi FKUI
Koordinator
: Dra. Mulyati MS
Tutor :
1. Dra. Hendri Astuty MS
2. Dra. Mulyati MS
3. DR. Taniawati Supali
4. Drs. Zulhasril MS
5. Dr. Lisawati Susanto MS
6. DR. Heri Wibowo
7. Drs. Rizal Subahar MS (R-1)
Tujuan Umum :
Mahasiswa mengenal berbagai parasit oportunistik yang menjadi penyulit
pada penderita dengan imunodefisiensi dan mengetahui cara menegakkan
diagnosisnya.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui bentuk infektif dan diagnostik parasit-parasit oportunistik
2. Mengetahui dan mendiskusikan jenis pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
parasit
oportunistik: Strongyloides stercoralis, Isospora sp, Cryptosporidium sp.
3. Mengetahui stadium penyebab patologi dan menjelaskan / mendiskusikan
patogenesisnya
Kegiatan praktikum :
1. Melihat sediaan demonstrasi
2. Mendiskusikan dengan pembimbing untuk mencapai tujuan khusus
pembelajaran
DEMONSTRASI
1. Ookista Cryptosporidium sp
Pembesaran 10 X 100
Pembesaran 10x40
Pembesaran 10 X 45
Pewarnaan lugol
Perhatikan :
Ookista besar (25 - 33 m) berbentuk elips.
Ukuran 25-33 m
Pada tinja segar, bentuk imatur
mengandung satu sporoblast
4. Strongyloides stercoralis
Bentuk parasiter, hanya cacing betina
Perhatikan :
bentuk : filariform
panjang : 2 mm
terdapat telur pada badan posteror
ekor: lancip
Pembesaran 10 X 45
5. Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa bentuk bebas, jantan
Pembesaran 10 X 45
Perhatikan :
- bentuk: pendek, gemuk
- panjang: 0,7 mm
- ekor: lancip membengkok, mempunyai
spikulum
6. Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa bentuk bebas, betina
Pembesaran 10 X 45
Perhatikan :
- bentuk : panjang, gemuk
- panjang : 1 mm
- uterus : berisi terlur
Pembesaran 10 X 45
7. Strongyloides stercoralis
Larva rhabditiform
(ditemukan dalam tinja)
Perhatikan :
-
8. Strongyloides stercoralis
Larva filariform
(bentuk infektif)
Perhatikan :
-
Pembesaran 10 X 45
PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI
Waktu
Tempat
Tujuan Umum
Bila dihadapkan pada kasus infeksi, mahasiswa mampu merencanakan pemeriksaan
laboratorium dan melakukan penilaian hasil pemeriksaan Mikrobiologi secara tepat
dalam upaya menegakkan diagnosis, memantau aktifitas penyakit dan pengobatan
serta menentukan prognosis penyakit infeksi
Tujuan Khusus
A. Serologi Infeksi
1. Memahami prinsip berbagai pemeriksaan serologi untuk mendiagnosis
penyakit infeksi
2. Memahami cara pemeriksaan serologi
3. Mampu menginterpretasi hasil uji serologi dengue, HIV, dan demam
tifoid
B. Uji Sensitivitas Antimikroba
1. Memahami prinsip berbagai uji sensitivitas antibakteri, antijamur dan
antivirus
2. Mampu menginterpretasi hasil uji sensitivitas antimikroba
C. Teknik molekuler untuk diagnosis infeksi
1. Memahami prinsip berbagai uji molekuler penyakit infeksi
2. Mampu menginterpretasi hasil PCR untuk mendiagnosis penyakit
infeksi
Bakteri
Media
Klebsiella pneumoniae
Uji Biokimia
Bentuk
Sifat Gram
Alat :
1. Kaliper
2. Pinset kecil
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
16
Bahan :
1. Swab kapas, pinset kecil
2. Kaldu BHI
3. Biakan bakteri Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, E.coli
4. Lempeng agar Mueller Hinton (MH) berdiameter 10 cm
5. Cakram antibiotika
6. Nephelometer Mc-Farland 0,5
Cara kerja
Menggunakan metode agar difusi cakram cara Kirby-Bauer (Standard Single
Disc Method).
1. Biakan bakteri yang berumur 24 jam ditanam pada 2,5 ml kaldu MuellerHinton.
2. Sesuaikan kekeruhannya dengan Nephelometer Mc.Farland 0,5 (sesuai
dengan jumlah bakteri 107-108/ml). Swab kapas steril dicelupkan ke dalam
suspensi bakteri tersebut dengan cara menekan dan memutar swab kapas
pada dinding tabung di luar suspensi sebanyak dua kali, lalu usapkan pada
lempeng agar Muller-Hinton dengan cara membuat garis rapat dan sejajar,
putar 60 derajat dan lakukan hal yang sama sampai 3 kali sehingga biakan
bakteri merata pada seluruh permukaan agar. Biakan bakteri pada lempeng
agar ini lalu dibiarkan mengering selama 4-5 menit.
3. Letakkan cakram antibiotika pada lempeng agar dengan menggunakan pinset
atau dispenser disk. Inkubasi 35 C , 18-24 jam.
4. Perhatikan ada tidaknya zona hambatan yang terbentuk di sekitar cakram
antibiotik
Interprestasi hasil
a. Diameter zona hambatan diukur dengan menggunakan kaliper atau
pengaris pada zona yang jernih.
b. Pembacaan dan evaluasi kepekaan mengikuti petunjuk tabel yang dibuat
oleh CLSI
2. Cara Tabung (Tube Dilution Method)
Dalam metode ini dilakukan pengenceran antibiotik dalam tabungtabung reaksi untuk menentukan konsentrasi antibiotika terendah yang masih
dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau yang disebut sebagai Konsentrasi
Hambatan Minimal (KHM) atau MIC (Minimal Inhibitory Concentration).
Alat
- Pipet
- Tabung steril
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
17
Bahan
1. Antibiotik dan pelarutnya sesuai yang dianjurkan CLSI
2. Biakan bakteri berumur 24 jam
3. Aquades steril
4. Kaldu Mueller-Hinton
Pembuatan suspensi antibiotika ditentukan dengan rumus :
W = VxC
W = Berat (ug)
V = Volume (ml)
C = Konsentrasi antibiotik (ug/ml)
P = Potensi antibiotik
Catatan
:
1. Jumlah pelarut tidak boleh lebih dari 2% (konsentrasi akhir)
2. Untuk Tube dilution = 2 x Working solution (1:1), 1 ml antibiotika dalam
medium Mueller- Hinton Broth + 1 ml bakteri Mc. Farland 0,5.
Cara kerja
1. Siapkan satu (1) deret pengenceran antibiotik dengan perbandingan 1:2,
volume 5 ml
2. Tambahkan 1 ml inokulum bakteri dengan kekeruhan Mc. Farland 0,5
3. Inkubasi pada suhu 35C, selama 18-24 jam
Interpretasi hasil
- Dapat dilakukan dengan mata telanjang, dilihat tabung dimana tidak terjadi
pertumbuhan akan terlihat bening.
- MIC adalah konsentrasi antibiotik terkecil yang masih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri
Pemeriksaan ESBL ( Extended Spectrum Beta Lactamase ).
Uji skrining ESBL
Standard disc diffusion method
Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya ESBL dengan metoda berdasarkan
difusi cakram menggunakan sefotaksim 30ug, seftazidim 30ug, seftriakson 30ug,
aztreonam 30ug dan cefpodoksim 10ug.
Setelah inkubasi,
dilihat adanya penurunan diameter zona hambatan
menunjukkan kemungkinan ESBL positif (lihat tabel 1)
Apabila satu atau lebih antibiotik menunjukkan hasil resisten, dilakukan uji
konfirmasi menggunakan metoda cakram ganda.
Tabel 1. Kriteria MIC dan zona hambatan untuk deteksi ESBL pada
K. pneumoniae dan E. coli
Diameter zona
Diameter zona
MIC untuk
MIC untuk
hambatan
hambatan untuk
strain yang
strain yang
strain yang
strain yang
peka
mungkin
peka
mungkin
memproduksi
memproduksi
ESBL
ESBL
Aztreonam 30ug
22 mm
27
8
2
mm
mg/L
mg/L
Cefotaxime 30ug
23 mm
27
8
2
mm
mg/L
mg/L
Cefpodoxime
21 mm
22
8
2
10ug
mm
mg/L
mg/L
Ceftazidime
18 mm
22
8
2
30ug
mm
mg/L
mg/L
Ceftriaxone
21 mm
25
8
2
30ug
mm
mg/L
mg/L
CLSI M100-S88
Metoda cakram ganda (Double disc method)
Prosedur kerja sama dengan standard disc diffusion method. Berbagai disk
antibiotik sefalosporin generasi 3 (seftazidim 30ug, seftriakson 30ug,
aztreonam 30ug atau sefodoksim 10ug) diletakkan dengan jarak sebesar 15-20
mm (jarak pinggir ke pinggir disk) dari disk asam klavulanat secara aseptik
Adanya pelebaran zona hambatan antara kedua disk menunjukkan ESBL
positif
Minimum Inhibitory Concentration (E-test) ESBL
Metoda ini menggunakan kombinasi 2 strip E-test misalnya:
seftazidim/ceftazidim-asam klavulanat dan sefotaksim/sefotaksim-asam
klavulanat. Keduanya diinokulasikan pada permukaan lempeng agar dan
diinkubasi selama semalam. Adanya penurunan pengenceran 3 log 2
dikatakan ESBL positif. Catatan: tidak semua strain yang memproduksi ESBL
spesifik untuk seftazidim, strain dengan substrat spesifik mungkin tidak
terdeteksi jika uji hanya menggunakan seftazidim/asam klavulanat saja; oleh
karena itu sefotaksim juga digunakan.
Hasil pengamatan
A. Cara Cakram (Disk Diffusion Method)
Lebar Zona Hambatan berdasarkan tabel CLSI
Jenis
Antibiotika
Klebsiella
pneumoniae
MRSA :
ESBL
E.coli
S.aureus
Prosedur pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan pada slide atau pada tabung. Pada praktikum ini
dikerjakan pemeriksaan pada slide.
1. Pada slide terlihat gambar lingkaran, masing-masing berdiameter 27mm yang
digunakan untuk pengenceran serum dan dilakukannya reaksi aglutinasi
2. Serum diteteskan pada lingkaran terpisah menggunakan mikropipet dengan
volume: 0,08 ml ; 0,04 ml ; 0,02 ml ; 0,01 ml ; 0,005ml
3. Volume serum yang diteteskan tadi setara dengan titer aglutinasi: 1:20 ; 1:40 ;
1:80 ; 1:160 ; 1:320
4. Satu tetes antigen ditambahkan pada setiap pengenceran serum. Perhatikan
jenis antigen yang diteteskan sesuai dengan lingkaran yang tersedia (antigen
O dan H memiliki kelompok lingkaran yang terpisah)
5. Slide diangkat dan digoyang selama 1 menit sehingga terjadi reaksi ikatan
antibodi dan antigen dengan baik yang terlihat sebagai aglutinasi atau butiran
pasir
Hasil
Terdapatnya aglutinasi menunjukkan adanya antibodi di dalam serum pasien.
Batas nilai positif bergantung pada konsensus daerah setempat. Hasil definitif
didapatkan bila terdapat kenaikan titer >4 kali antara serum akut dan serum
konvalesen yang berjarak 10-14 hari
Interpretasi
Reaksi silang antara Grup Salmonella dapat terjadi. Bila dicurigai terjadi reaksi
prozone dapat dilakukan pemeriksaan ulang menggunakan pengenceran serum
1/20. Pada setiap uji harus disertakan kontrol positif dan negatif sebagai kontrol
kualitas teknik dan reagen
Hasil dan Interpretasi:
Prinsip uji ini adalah antibodi dalam serum akan berikatan dengan antigen yang
ditambahkan sehingga pada saat penambahan sel darah merah tidak terjadi
hemaglutinasi.
Serum pasien diencerkan secara serial kemudian pada masing-masing
pengenceran ditambahkan antigen (titer 80) dengan volume yang sama. Setelah
inkubasi selama 30 menit ditambahkan sel darah merah angsa dan inkubasi
kembali selama 1-2 jam pada suhu 370C. Pengenceran terakhir yang tiidak
menunjukkan adanya hemaglutinasi adalah titer antibodi anti-dengue dalam
serum.
Uji ini memberikan arti diagnosis bila dikerjakan menggunakan serum akut dan
serum konvalesen yang berjarak 7 hari. Interpretasi menurut WHO adalah sebagai
berikut:
Antibody
Responses
S1 S2 Interval
> 4x rise
> 7 days
Convalescent titre
(any dengue
antigen)
< 1:1280
> 4x rise
any specimen
> 1:2560
> 4x rise
< 7 days
< 1:1280
no change
any specimen
> 1:2560
no change
no change
-
> 7 days
< 7 days
one specimen
only
< 1:1280
< 1:1280
< 1:1280
Interpretation
Definite infection,
primary
Definite infection,
secondary
Definite infection,
secondary
Presumed infection,
secondary
not dengue
uninterpretable
uninterpretable
dengue. Hasil pemeriksaan ini juga tidak dapat membedakan infeksi primer atau
sekunder.
D. Uji Fiksasi Komplemen/Complement Fixation Test (CF)
Prinsip uji fiksasi komplemen adalah ikatan antigen antibodi (IgG atau IgM) akan
mengaktifasi reaksi komplemen melalui jalur klasik dan mengakibatkan lisis sel.
Bila antigen atau antibodi tidak ada maka tidak terjadi lisis. Untuk mengetahui
adanya lisis dalam uji ini digunakan indikator yang biasanya merupakan
kombinasi sel darah merah domba, hemolysin kelinci ( anti terhadap sel darah
merah domba), dan komplemen (dari binatang percobaan).
Tes 1
Tes 2
komplemen terikat
+
Indikator
Hemolisis
Seperti halnya deteksi antibodi lainnya, penilaian kenaikan titer serum fase
akut dan konvalesen yang dianggap mendukung diagnosis adalah adanya
kenaikan titer antibodi sebesar 4 kali.
Kontrol sel darah merah diperlukan untuk memastikan bahwa sel tidak
mengalami autolisis (lisis dengan sendirinya, tanpa adanya reaksi lisis oleh
komplemen). Kontrol lisis diperlukan untuk menilai fungsi antibodi terhadap
eritrosit dan komplemen dalam melisis sel darah merah.
Pemeriksaan HIV viral load digunakan untuk mengetahui jumlah kopi asam
nukleat/ml darah. Hasil pemeriksaan ini bersama dengan hasil hitung sel CD4 berguna
untuk mengetahui kemajuan terapi antiretroviral dan prognosis penyakit. Semakin
sedikit jumlah kopi yang terdeteksi tentu menurunkan kemungkinan komplikasi
dengan harapan hidup yang lebih panjang.
Metode yang sering digunakan adalah PCR, NASBA, bDNA, real time PCR.
PRAKTIKUM
PATOLOGI KLINIK
Waktu
Tempat
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu merencanakan pemeriksaan laboratorium dan melakukan
penilaian hasil pemeriksaan secara tepat dalam upaya menegakkan diagnosis,
memantau aktifitas penyakit dan pengobatan serta menentukan prognosis
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan patofisiologi kelainan laboratorium
2. Memilih pemeriksaan laboratorium
3. Menilai hasil pemeriksaan laboratorium
Kegiatan praktikum
1. Mahasiswa dibagi dalam 7 kelompok yang masing-masing dibimbing oleh 1
instruktur.
2. Mahasiswa diberi kasus dan hasil pemeriksaan
3. Demonstrasi gambar berbagai pola hasil pemeriksaan ANA, dsDNA
4. Melihat demonstrasi hasil rapid test PCT, anti-TB
5. Membaca hasil pemeriksaan CRP
6. Melihat sediaan leukositosis, eosinofilia, pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
7. Demonstrasi hasil pemeriksaan CD4 dengan flowcytometer
8. Melihat demonstrasi pemeriksaan HIV dengan teknik rapid test, hasil tes ELISA,
Western blotting
Pembahasan Kasus
KASUS 1
Seorang laki-laki, usia 23 tahun dengan keluhan utama mual, muntah dan diare yang
hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu. Sesak napas sudah 3 bulan, berat badan turun
10 kg dan berkeringat malam. Penderita perokok dan pengguna narkoba jarum suntik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu afebris, gizi kurang, ulkus pada mukosa
mulut, bekas suntikan pada lengan. Pemeriksaan paru ditemukan ronki kasar di kedua
paru.
Data tambahan : diberikan bila mahasiswa menanyakan
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Hematologi : Kadar hemoglobin 8,8 g/dL,
Leukosit
3000/uL
Hitung jenis
0/0/2/77/15/6
Trombosit
250.000/uL
LED
90 mm/jam
Imunologi
: CRP
15 mg/L
CD4
145/uL
Anti HIV
reaktif
Anti HCV
positip
Pemeriksaan foto toraks : TB milier
Tugas diskusi kasus :
1. Menilai hasil pemeriksaan laboratorium
2. Menjelaskan patofisiologi kelainan laboratorium
3. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan yang dianjurkan untuk diagnosis dan
pemantauan
4. Melihat hasil pemeriksaan laboratorium beserta penilaiannya
KASUS 2
Seorang wanita usia 20 tahun dengan keluhan utama sakit diseluruh sendi. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kemerahan pada muka, luka pada bibir.
Data tambahan : diberikan bila mahasiswa menanyakan
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Hematologi : Kadar Hemoglobin 10 g/dL
Leukosit
5500/uL
Hitung jenis
1/1/2/42/50/4,
Trombosit
210.000/uL
LED
45 mm/jam
Urinalisis
: Protein
2(+)
lain-lain dalam batas normal
Kimia darah
: Ureum
30 mg/dL
Kreatinin
1,7 mg/dL
lain-lain dalam batas normal
Imunologi
: ANA
PRAKTIKUM
PATOLOGI ANATOMI
Penanggung Jawab : dra.Ria Kodariah, MS.
TUJUAN UMUM :
Memperkuat pemahaman mahasiswa dalam ilmu patologi melalui visualisasi proses
penyakit ditingkat seluler sehingga dapat menjelaskan akibat-akibatnya berupa
perubahan morfologi dan ganguan fungsi pada organ terkait sebagai dasar manifestasi
klinik.
TUJUAN KHUSUS :
1. memperkenalkan kepada mahasiswa berbagai kelainan organ akibat infeksi
2. memberi kemampuan untuk menghubungkan kelainan makroskopik,
mikroskopik serta ganguan fungsi yang diakibatkannya.
KEGIATAN PRAKTIKUM :
Demonstrasi sedian histopatologi dari kasus-kasus sebagai berikut :
1. Abses Hati
2. Pneumonia lobaris
3. Tuberkulosis ginjal.
4. Kelenjar getah bening pada HIV dengan infeksi Mycobacterium atipik
5. Kelenjar getah bening pada HIV dengan infeksi Cryptococcus
6. Toxoplasma cerebri pada HIV
7. Tiroiditis Hashimoto
8. Nefritis lupus
KASUS
1. Abses Hati
Gros
Pada organ hati ini dapat dilihat beberapa abses berupa rongga kosong dengan
dinding yang tidak rata. Bergantung kepada mikroorganisme penyebabnya, isi
abses dapat berupa pus (nanah) pada abses piogenik : atau cairan kental
kecoklatan pada abses amuba. Pada sediaan ini isi abses sudah keluar yang
mungkin masih bias dilihat dibawah mikroskop sisa-sisa eksudatnya.
Mikroskopik
Sediaan hati masih menunjukkan jaringan hati yang normal. Tampak fokusfokus abses diantaranya, berupa area yang lebih padat mengandung sel hati
nekrotik, dan sel radang. Area ini tampak berbeda dari jaringan hati normal
sekitarnya.
2. Pneumonia Lobaris
Gros.
Perhatikan jaringan paru yang menunjukkan warna putih pada satu lobus
penuh, dan tampak bertekstur padat. Bedakan dengan bronchopneumonia.
Mikroskopik.
Pada jaringan paru ini tampak seluruh rongga alveoli penuh berisi eritrosi atau
eskudat radang. Hal ini menyebabkan fungsi alveoli sebagai tempat pertukaran
udara hilang dan akan menyebabkan pasien sesak nafas.
3. Tuberkulosis ginjal.
Gros.
Sediaan ginjal ini menunjukkan bintik-bintik putih kecil (tuberkel ) pada
korteks dan medula. Sebagian juga menunjukkan warna kekuningan (nekrosis
perkejuan).
Mikroskopik
Sediaan menunjukkan parenkim ginjal yang mengandung fibrosis, tuberkel
dan nekrosis perkejuan. Sel datia jenis Langhans mudah dijumpai. Glomerulus
dan tubulus berkurang jumlahnya akibat fibrosis, tuberkel dan nekrosi
tersebut.
4. Kelenjar Getah Bening pada HIV dengan infeksi Mycobacterium atipik
Mikroskopik
Sediaan kelenjar getah bening sudah tidak menunjukkan arsitektur normal
(yaitu korteks yang mengandung folikel limfoid, medula & sinus). Kelenjar
getah bening didominasi oleh sel-sel histiosit / makrofag yang tersebar atau
berkelompok, bercampur sebukan netrofil (sel radang polimorfonukleus).
Dijumpai fibrosis serta sedikit limfosit.
Keadaan ini dimana limfosit sangat sedikit jumlahnya dapat dijelaskan sebagai
akibat menurunnya jumlah limfosit secara menyeluruh (tahap deplesi limfosit)
pada AIDS.
Pada pulasan khusus untuk basil tahan asam ( Ziehl Nielsen), dijumpai banyak
bakteri berbentuk batang intrasitoplasma. Infeksi basil tahan asam ini
merupakan infeksi sekunder yang lazim dijumpai pada penderita HIV. Pada
infeksi ini tidak terbentuk granuloma sebagi response yang lazim dimana hal
ini disebabkan karena tidak ada lagi respons dari limfosit.
5. Kelenjar Getah Bening pada HIV dengan infeksi Cryptococcus
neoformans.
Mikroskopik :
Secara umum gambaran kelenjar getah bening sama dengan sediaan terdahulu
yaitu adanya deplesi limfosit.
Perhatikan bagian yang relatif terang dimana dijumpai mikroorganisme bulat
dalam halo putih yaitu Cryptococcus neoformans. Mikroorganisme ini bersifat
oportunistik pada penderita AIDS, lekemia, limfoma dan SLE.
Pada individu non immunosupressed, lazimnya menyebabkan kelainan pada
meningen atau paru. Tetapi pada individu yang Immunosupressed, dapat
terjadi diseminasi ke kulit, hati, tulang, limpa dan adrenal.
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
33