Anda di halaman 1dari 34

BUKU PENUNTUN

PRAKTIKUM (BPP)
MODUL INFEKSI DAN
IMUNOLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012
1

UNIVERSITAS BENGKULU
2011/2012

Praktikum Parasitologi-1
Waktu
Tempat

:
: Laboratorium Parasitologi FKUI

Koordinator

: Dra. Hendri Astuty MS

Tutor :
1. Dra. Hendri Astuty MS
2. Dra. Mulyati MS
3. DR. Taniawati Supali
4. Drs. Zulhasril MS
5. Dr. Lisawati Susanto MS
6. DR. Heri Wibowo
7. Drs. Rizal Subahar MS (R-1)
Tujuan :
Memahami stadium infektif dan stadium diagnostik untuk parasit malaria dan
filaria dengan pemeriksaan secara mikroskopik dan serologi.
.
Kegiatan praktikum :
1. Demontrasi: morfologi parasit penyebab malaria dan filariasis
2. Membuat sediaan darah untuk diagnosis malaria

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012


2

A. SEDIAAN DEMONSTRASI
Parasit
1. Plasmodium falciparum
Stadium trofozoit

Gambar
Sediaan darah tipis
pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

Perhatikan :
- eritrosit : tidak membesar
titik Maurer
- parasit : bentuk cincin, acole, marginal,
infeksi multiple, double chromatin.
Ukuran : 1/6 eritrosit
2. Plasmodium falciparum
Stadium skizon

Sediaan darah tipis


pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

(tidak ditemukan pada peredaran darah tepi,


kecuali pada infeksi berat)
Perhatikan :
- eritrosit : tidak membesar
titik Maurer
- parasit : terdiri dari 2 24 merozoit (mengisi
2/3 eritrosit, terdapat pigmen berwarna
hitam
3. Plasmodium falciparum
Stadium trofozoit

Sediaan darah tebal


pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

Perhatikan :
parasit: gambaran uniform
tampak sebagai bentuk cincin, cincin
terbuka, koma, tanda seru, sayap burung
terbang
4. Plasmodium vivax
Stadium trofozoit

Sediaan darah tipis


pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

Perhatikan :
- eritrosit : membesar
titik Schuffner
- parasit : bentuk ameboid (sitoplasma tidak
beraturan), chromatin merah dan
sitoplasma biru
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012

5. Plasmodium vivax
Stadium skizon

Sediaan darah tipis


pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

Perhatikan :
- eritrosit : membesar
titik Schuffner
- parasit : terdiri dari 2 24 merozoit (mengisi
seluruh eritrosit), terdapat pigmen
berwarna coklat berkumpul
6. Plasmodium vivax
Stadium trofozoit, skizon
dan zone merah

Sediaan darah tebal


pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 100

Perhatikan :
- parasit: gambaran tidak uniform, tampak berbagai
stadium: trofozoit: sitoplasma kompak
skizon : jumlah inti 4 12
- zone merah

7. Parasit malaria
Stadium sporozoit

pulasan HE

Pembesaran 10 X 100

Sediaan kelenjar ludah nyamuk vektor


(Stadium infektif)
Perhatikan :
- bentuk : sporozoit halus memanjang, runcing
pada kedua ujungnya

8. Cacing Filaria (Makrofilaria)


Brugia malayi, Brugia timori,
Wuchereria bancrofti

Pembesaran 10 X 2

Perhatikan :
bentuk: halus panjang, warna putih susu
ukuran: 4 - 8 cm
Cacing jantan ekor melingkar, cacing betina
ekor lurus

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012

9 . Brugia malayi
Stadium mikrofilaria

pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 45

Perhatikan :
ukuran : 8 X 200-260 mikron
ruang kepala: panjang = 2 X lebar
inti badan : tidak teratur
ujung ekor : memepunyai 1-2 inti tambahan
sarung badan : merah

10. Brugia timori


Stadium mikrofilaria

pulasan Giemsa Pembesaran 10 X 45

Perhatikan :
-

ukuran : 7 X 280-310 mikron


ruang kepala: panjang = 3 X lebar
inti badan : tidak teratur
ujung ekor : mempunyai 1-2 inti tambahan
sarung badan : pucat

11. Wuchereria bancrofti


Stadium mikrofilaria

pulasan Giemsa

Pembesaran 10 X 45

Perhatikan :
-

ukuran : 7-8 X 250-300 mikron


ruang kepala: panjang = lebar
inti badan : teratur
ujung ekor : tidak ada inti tambahan
sarung badan : pucat

12. Cacing Filaria


Larva stadium III dalam nyamuk
(Stadium infektif )

Pembesaran 10 X 2

Perhatikan :
-

ukuran : panjang 1300 2000 mikron


bentuk : langsing

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012

13. Rapid Antigen Detection Test (RDT): ICT


(Immuno Chromatographic Test) untuk malaria
-

Plasmodium falciparum :
protein spesifik Hrp II Pf (Histidine rich
protein II P.falciparum)

- Plasmodium spp:
enzim LDH (lactate dehydrogenase)/Aldolase

14. Brugia rapid test


Deteksi antibodi IgG4 filariasis Brugia
- Menggunakan antigen rekombinan

15. ICT (Immuno Chromatographic Test) filaria


Deteksi antigen Wuchereria bancrofti
- Menggunakan antibodi monoklonal

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012

B. PEKERJAAN SENDIRI
1. Membuat sediaan darah tebal dan tipis untuk diagnosis malaria
2. Melakukan pulasan Giemsa untuk darah malaria
Pembuatan Sediaan Darah Malaria
Spesimen : Darah jari
Alat dan Reagensia:
1. Kaca objek
2. Lancet
3. Kapas kering
4. Kapas alkohol
5. Rak pewarnaan
6. larutan Giemsa 3%
7. Methanol
8. Botol semprot berisi akuades
9. Tissue, plastik sampah, container pembuangan benda tajam
Cara :
1. Bersihkan salah satu ujung jari dengan kapas alkohol, lalu tusuk dengan lancet
2. Tetes darah pertama dibersihkan dengan kapas kering untuk menghilangkan
bekuan darah dan sisa alkohol
3. Teteskan setetes darah di satu sisi kaca objek untuk membuat sediaan darah
tipis.
4. Selanjutnya 2-3 tetes darah pada bagian tengah kaca objek untuk membuat
sediaan darah tebal.
5. Bersihkan sisa darah di ujung jari dengan kapas
6. Pembuat sediaan darah tipis: ambil kaca objek baru kemudian tempelkan
ujungnya ke darah dengan sudut 45 sampai darah tersebut menyebar
sepanjang sisi lebar kaca objek, kemudian
7. geser kaca objek dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan darah tetes
tebal, sehingga didapatkan sediaan hapus (seperti bentuk lidah)
8. Pembuatan sediaan darah tebal: ke tiga tetes darah tebal dihomogenkan
memakai ujung kaca objek dengan cara memutar ujung kaca objek searah
jarum jam, sehingga berbentuk bulatan dengan diameter 1 cm.
9. Keringkan sediaan darah secara alami.
10. Setelah kering, sediaan darah tipis difiksasi dengan methanol. Jangan sampai
terkena sediaan darah tebal
11. Letakkan pada rak pewarna dengan posisi darah berada diatas. Warnai dengan
larutan Giemsa 3% dengan cara menuangkan dari tepi hingga menutupi
seluruh permukaan kaca sediaan. Biarkan selama 30 menit.
12. Cuci sediaan darah dengan air bersih secara perlahan dari tepi kaca sediaan
sampai larutan Giemsa yang terbuang menjadi jernih.
13. Keringkan sediaan darah dan periksa dibawah mikroskop

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi dibawah pembinaan FKUI 2011/2012


7

Praktikum Parasitologi-2
Waktu
Tempat

:
: Laboratorium Parasitologi FKUI

Koordinator

: Dra. Mulyati MS

Tutor :
1. Dra. Hendri Astuty MS
2. Dra. Mulyati MS
3. DR. Taniawati Supali
4. Drs. Zulhasril MS
5. Dr. Lisawati Susanto MS
6. DR. Heri Wibowo
7. Drs. Rizal Subahar MS (R-1)
Tujuan Umum :
Mahasiswa mengenal berbagai parasit oportunistik yang menjadi penyulit
pada penderita dengan imunodefisiensi dan mengetahui cara menegakkan
diagnosisnya.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui bentuk infektif dan diagnostik parasit-parasit oportunistik
2. Mengetahui dan mendiskusikan jenis pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis
parasit
oportunistik: Strongyloides stercoralis, Isospora sp, Cryptosporidium sp.
3. Mengetahui stadium penyebab patologi dan menjelaskan / mendiskusikan
patogenesisnya
Kegiatan praktikum :
1. Melihat sediaan demonstrasi
2. Mendiskusikan dengan pembimbing untuk mencapai tujuan khusus
pembelajaran

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


8

DEMONSTRASI
1. Ookista Cryptosporidium sp

Pembesaran 10 X 100

Modified Acid fast stain


Perhatikan :
Diameter 4-5 um
Ookista matang mengandung 4 sporozoit
Ookista berwarna terang pink-merah
mengandung granula yang warnanya
lebih gelap

2. Ookista Isospora belli.

Pembesaran 10x40

Modified Acid fast stain


Perhatikan
Ookista berbentuk oval sferis,
mengandung 1-2 sporokista
Ukuran : 25 33 m
Ookista matang dalam 1 5 hari
3. Ookista Isospora belli.

Pembesaran 10 X 45
Pewarnaan lugol

Perhatikan :
Ookista besar (25 - 33 m) berbentuk elips.
Ukuran 25-33 m
Pada tinja segar, bentuk imatur
mengandung satu sporoblast
4. Strongyloides stercoralis
Bentuk parasiter, hanya cacing betina
Perhatikan :
bentuk : filariform
panjang : 2 mm
terdapat telur pada badan posteror
ekor: lancip

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


9

Pembesaran 10 X 45

5. Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa bentuk bebas, jantan

Pembesaran 10 X 45

Perhatikan :
- bentuk: pendek, gemuk
- panjang: 0,7 mm
- ekor: lancip membengkok, mempunyai
spikulum

6. Strongyloides stercoralis
Cacing dewasa bentuk bebas, betina

Pembesaran 10 X 45

Perhatikan :
- bentuk : panjang, gemuk
- panjang : 1 mm
- uterus : berisi terlur

Pembesaran 10 X 45
7. Strongyloides stercoralis
Larva rhabditiform
(ditemukan dalam tinja)
Perhatikan :
-

bentuk : halus pendek


mulut : lebar, pendek

8. Strongyloides stercoralis
Larva filariform
(bentuk infektif)
Perhatikan :
-

bentuk : halus panjang


ekor : bercabang / tumpul

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


10

Pembesaran 10 X 45

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


11

PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI
Waktu

: Maret April Tahun 2011

Tempat

: Lab. Mikrobiologi FKUI

Penanggung Jawab : Dr. Yulia Rosa Saharman, SpMK


Tutor Praktikum

1. Dr. Anis Karuniawati, PhD, SpMK


2. Dr. Tjahjani Mirawati Soediro, PhD
3. Dr. Mardiastuti, SpMK
4. Dr. Lucky H. Moehario, PhD, SpMK
5. Dr. Yeva Rosana, SpMK
6. Dr. Fera Ibrahim, PhD, SpMK
7. DR. Dr. Budiman Bela, SpMK
8. DR. Andriansyah, Mbiomed
9. Dr. Retno Kadarsih, SpMK
10. Dra. Conny R. Tjampakasari, MS
11. Bety Ermawati, PhD
12. DR. Andy Yasmon, Mbiomed
13. Dra. Ariyani K
14. Dra. Ikaningsih

Tujuan Umum
Bila dihadapkan pada kasus infeksi, mahasiswa mampu merencanakan pemeriksaan
laboratorium dan melakukan penilaian hasil pemeriksaan Mikrobiologi secara tepat
dalam upaya menegakkan diagnosis, memantau aktifitas penyakit dan pengobatan
serta menentukan prognosis penyakit infeksi
Tujuan Khusus
A. Serologi Infeksi
1. Memahami prinsip berbagai pemeriksaan serologi untuk mendiagnosis
penyakit infeksi
2. Memahami cara pemeriksaan serologi
3. Mampu menginterpretasi hasil uji serologi dengue, HIV, dan demam
tifoid
B. Uji Sensitivitas Antimikroba
1. Memahami prinsip berbagai uji sensitivitas antibakteri, antijamur dan
antivirus
2. Mampu menginterpretasi hasil uji sensitivitas antimikroba
C. Teknik molekuler untuk diagnosis infeksi
1. Memahami prinsip berbagai uji molekuler penyakit infeksi
2. Mampu menginterpretasi hasil PCR untuk mendiagnosis penyakit
infeksi

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


12

D. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Oportunis


1. Memahami sifat-sifat mikro-organisme penyebab infeksi oportunis
2. Memahami cara pemeriksaan mikroorganisme penyebab infeksi
oportunis
I. Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas terhadap antibiotik pada pasien
sepsis
Pemeriksaan kultur mikroba pada penyakit infeksi memerlukan jenis spesimen
yang sesuai dengan lokasi infeksi. Pemeriksaan kultur dari berbagai jenis
spesimen telah dibahas pada modul-modul sebelumnya. Pada modul ini akan
dibahas terutama pemeriksaan mikrobiologi dari spesimen darah untuk
mendukung diagnosis infeksi.
Secara umum pemeriksaan mikrobiologi akan berhasil dengan baik apabila:
Pengambilan, penanganan, dan transportasi spesimen yang optimal
Kerjasama dan komunikasi yang baik antara perawat, dokter yang merawat,
tenaga laboratorium, dan dokter mikrobiologi klinik
Hal yang harus diperhatikan dalam pengambilan spesimen darah:
a. Tipe bakteremia
Bakteremia terdiri dari 3 tipe: transient, intermiten, dan kontinyu.

b. Waktu pengambilan darah untuk kultur


Waktu terbaik pengambilan spesimen darah untuk tujuan kultur adalah pada
saat pasien demam dan sedapat mungkin sebelum pasien diberi antibiotik
c. Metode pengambilan spesimen darah
1. Bersihkan daerah pengambilan darah (biasanya siku) dengan alkohol 70%,
menggunakan kapas dengan arah konsenstris dari titik pengambilan kea
rah luar.
2. Bersihkan lagi dengan 10% povidone- iodine atau 2% iodine tincture,
dengan arah yang sama
3. Biarkan desinfektan mengering (minimal 1 menit) sebelum dilakukan
penyuntikan.
4. Sambil menunggu, tutup luar botol medium dibuka dan penutup karet
dibersihkan dengan alkohon 70% (Cairan iodine sebaiknya tidak
digunakan karena dapat merusak tutup karet).
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
13

5. Lakukan penyuntikan pada vena, ambil 5-10 ml darah per botol.


6. Masukkan darah langsung ke dalam botol medium cair untuk darah tanpa
membuka jarum
7. Tekan bekas suntikan 30-60 detik
8. Hilangkan iodine yang tersisa pada kulit menggunakan alcohol
9. Bila darah harus didistribusikan ke dalam kontainer untuk beberapa
pemeriksaan laboratorium maka urutan yang dilakukan adalah: botol steril
untuk kultur kontainer kosong Kontainer mengandung sitrat Heparin
EDTA-K3 Oxalate-F
d. Volume darah
Volume sangat menentukan kepositifan hasil kultur. Pada dewasa diperlukan
10-20 ml darah untuk keperluan kultur bakteri atau jamur. Pada bayi dan anak
diperlukan lebih sedikit volume yaitu 1-5 ml darah karena konsentrasi
(CFU/ml) bakteremia anak lebih tinggi dibandingkan dewasa.
e. Jumlah spesimen
o Diperlukan 1-3set spesimen darah untuk mendukung diagnosis. (1 set
terdiri dari 2 botol spesimen darah dari 2 lokasi yang berbeda, misalnya
vena lengan kiri dan kanan)
o Jarak antara pengambilan pertama dan berikutnya sebaiknya adalah 5
menit karena system retikuloendotelium akan membersihkan bakteremia
transient dan intermiten dalam waktu 15-30 menit
o Pada kecurigaan adanya endokarditis subakut digunakan 3 spesimen darah
berjarak pengambilan 1 jam
o Terdapat literatur yang menuliskan, volume lebih penting daripada jarak
waktu antara 2 pengambilan
f. Antikoagulan
o Antikoagulan perlu ditambahkan ke dalam media kultur. Bila tidak
ditambahkan maka terdapat kemungkinan bakteri yang terkurung di dalam
bekuan darah tidak akan terdeteksi
o Antikoagulan yang digunakan adalah SPS (Sodium polyanethol sulfonate)
Konsentrasi akhir yang digunakan 0,025-0,03%
SPS bersifat antikoagulan, anti-komplemen, mempengaruhi aktifitas
beberapa antibiotik
Dapat menghambat pertumbuhan Neisseria spp., Gardnerella
vaginalis,
Streptobacillus
moniliformis,
Peptostreptococcus
anaerobius
o Antikoagulan Heparin, EDTA, Citrate tidak dianjurkan untuk tujuan kultur
Interpretasi hasil kultur darah harus dilakukan dengan hati-hati. Hal-hal berikut ini
dapat membantu interpretasi hasil:

Hasil kultur kemungkinan adalah bukan mikroba penyebab melainkan


kontaminan:

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


14

Bakteri yang tumbuh adalah Bacillus spp, Corynebacterium spp.,


Propionibacterium acnes, atau stafilokokus koagulase negatif
Beberapa spesies bakteri tumbuh pada salah satu dari beberapa spesimen darah
yang dikultur
Tanda klinis tidak sesuai
Mikroba yang tumbuh tidak sesuai dengan patogen penyebab yang ditemukan
pada sumber infeksi

Hasil kultur kemungkinan adalah patogen penyebab sepsis apabila:


dari beberapa spesimen darah (diambil dari tempat atau waktu yang berbeda)
tumbuh bakteri yang sama
pasien menderita endokarditis, maka apapun yang ditemukan dianggap
patogen
bakteri yang tumbuh adalah Enterobacteriaceae, Streptococcus pneumoniae, ,
anaerob negative Gram, and Streptococcus pyogenes
bakteri adalah flora normal dari penderita dengan imunosupresi atau pengguna
alat prostetik
1. Hasil pengamatan

Bakteri
Media

Klebsiella pneumoniae

Uji Biokimia

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


15

Bentuk
Sifat Gram

Uji sensitifitas terhadap antibiotik


Uji ini dilakukan pada isolat yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi dan
apabila hasil uji tidak dapat diprediksi. Sebagai contoh uji sensitifitas
Streptococcus beta-hemolitikus terhadap penisilin tidak perlu dilakukan secara
rutin karena sampai saat ini penisilin masih merupakan drug of choice untuk isolat
tersebut . Sementara itu beberapa tahun yang lalu oxacillin yang merupakan drug
of choice untuk Staphylococcus aureus, tetapi pada saat ini harus dilakukan uji
sensitifitas karena telah ditemukan isolat yang resisten terhadapnya.
Metode uji sensitifitas antibiotik dan pemilihan jenis antibiotik yang diuji maupun
cara interpretasinya diatur dalam standar yang disusun oleh berbagai negara. Pada
umumnya laboratorium mikrobiologi di Indonesia menggunakan standar CLSI
(Clinical and Laboratory Standards Institute) yang disusun oleh USA dan selalu
direvisi setiap tahunnya.
Uji dapat dilakukan dengan metode dilusi atau difusi. Metode dilusi dapat
memberikan hasil Konsentrasi Hambatan Minimal (KHM= Minimum Inhibitory
Concentration/MIC), sedangkan metode difusi tidak demikian. Namun demikian,
metode difusi digunakan secara rutin karena biaya operasional yang jauh lebih
murah dan hasilnya dapat membantu klinisi untuk menentukan pengobatan.
Berbagai faktor dapat mempengaruhi hasil uji, diantaranya jenis media dan
ketebalannya, kekeruhan suspensi bakteri yang digunakan, konsentrasi antibiotik
yang digunakan, suhu dan lama inkubasi. Pembacaan hasil adalah dengan
mengukur diameter zona inhibisi yang terjadi setelah masa inkubasi (dalam mm).
Hasil pengukuran dicocokkan dengan tabel CLSI untuk menentukan isolat
sensitif, intermediate atau resisten terhadap antibiotik yang diujikan.
1. Cara Difusi Cakram (Disk Diffusion Method)
Menggunakan cakram kertas saring yang telah mengandung antibiotik dengan
kadar tertentu dan diletakkan di atas lempeng agar yang telah ditanami bakteri.
Diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri yang tampak menunjukkan adanya
kepekaan bakteri tersebut terhadap antibiotik bersangkutan. Penilaian terhadap
zona hambatan dilakukan dengan membandingkan besarnya diameter zona
hambatan dengan tabel (mengikuti petunjuk tabel yang dibuat oleh CLSI). Hasil
penilaiannya berupa sensitif, resisten dan intermediate.

Sensitif : Apabila diameter zona hambatan dari diameter zona hambatan


standar
Intermediate : Apabila diameter zona hambatan di antara resisten dan
sensitif.
Resisten : Apabila diameter zona hambatan dari diameter zona
hambatan standar

Alat :
1. Kaliper
2. Pinset kecil
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
16

Bahan :
1. Swab kapas, pinset kecil
2. Kaldu BHI
3. Biakan bakteri Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, E.coli
4. Lempeng agar Mueller Hinton (MH) berdiameter 10 cm
5. Cakram antibiotika
6. Nephelometer Mc-Farland 0,5
Cara kerja
Menggunakan metode agar difusi cakram cara Kirby-Bauer (Standard Single
Disc Method).
1. Biakan bakteri yang berumur 24 jam ditanam pada 2,5 ml kaldu MuellerHinton.
2. Sesuaikan kekeruhannya dengan Nephelometer Mc.Farland 0,5 (sesuai
dengan jumlah bakteri 107-108/ml). Swab kapas steril dicelupkan ke dalam
suspensi bakteri tersebut dengan cara menekan dan memutar swab kapas
pada dinding tabung di luar suspensi sebanyak dua kali, lalu usapkan pada
lempeng agar Muller-Hinton dengan cara membuat garis rapat dan sejajar,
putar 60 derajat dan lakukan hal yang sama sampai 3 kali sehingga biakan
bakteri merata pada seluruh permukaan agar. Biakan bakteri pada lempeng
agar ini lalu dibiarkan mengering selama 4-5 menit.
3. Letakkan cakram antibiotika pada lempeng agar dengan menggunakan pinset
atau dispenser disk. Inkubasi 35 C , 18-24 jam.
4. Perhatikan ada tidaknya zona hambatan yang terbentuk di sekitar cakram
antibiotik
Interprestasi hasil
a. Diameter zona hambatan diukur dengan menggunakan kaliper atau
pengaris pada zona yang jernih.
b. Pembacaan dan evaluasi kepekaan mengikuti petunjuk tabel yang dibuat
oleh CLSI
2. Cara Tabung (Tube Dilution Method)
Dalam metode ini dilakukan pengenceran antibiotik dalam tabungtabung reaksi untuk menentukan konsentrasi antibiotika terendah yang masih
dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau yang disebut sebagai Konsentrasi
Hambatan Minimal (KHM) atau MIC (Minimal Inhibitory Concentration).
Alat
- Pipet
- Tabung steril
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
17

Bahan
1. Antibiotik dan pelarutnya sesuai yang dianjurkan CLSI
2. Biakan bakteri berumur 24 jam
3. Aquades steril
4. Kaldu Mueller-Hinton
Pembuatan suspensi antibiotika ditentukan dengan rumus :
W = VxC

W = Berat (ug)

V = Volume (ml)
C = Konsentrasi antibiotik (ug/ml)
P = Potensi antibiotik

Catatan
:
1. Jumlah pelarut tidak boleh lebih dari 2% (konsentrasi akhir)
2. Untuk Tube dilution = 2 x Working solution (1:1), 1 ml antibiotika dalam
medium Mueller- Hinton Broth + 1 ml bakteri Mc. Farland 0,5.
Cara kerja
1. Siapkan satu (1) deret pengenceran antibiotik dengan perbandingan 1:2,
volume 5 ml
2. Tambahkan 1 ml inokulum bakteri dengan kekeruhan Mc. Farland 0,5
3. Inkubasi pada suhu 35C, selama 18-24 jam
Interpretasi hasil
- Dapat dilakukan dengan mata telanjang, dilihat tabung dimana tidak terjadi
pertumbuhan akan terlihat bening.
- MIC adalah konsentrasi antibiotik terkecil yang masih dapat menghambat
pertumbuhan bakteri
Pemeriksaan ESBL ( Extended Spectrum Beta Lactamase ).
Uji skrining ESBL
Standard disc diffusion method
Uji ini bertujuan untuk mendeteksi adanya ESBL dengan metoda berdasarkan
difusi cakram menggunakan sefotaksim 30ug, seftazidim 30ug, seftriakson 30ug,
aztreonam 30ug dan cefpodoksim 10ug.
Setelah inkubasi,
dilihat adanya penurunan diameter zona hambatan
menunjukkan kemungkinan ESBL positif (lihat tabel 1)
Apabila satu atau lebih antibiotik menunjukkan hasil resisten, dilakukan uji
konfirmasi menggunakan metoda cakram ganda.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


18

Tabel 1. Kriteria MIC dan zona hambatan untuk deteksi ESBL pada
K. pneumoniae dan E. coli
Diameter zona
Diameter zona
MIC untuk
MIC untuk
hambatan
hambatan untuk
strain yang
strain yang
strain yang
strain yang
peka
mungkin
peka
mungkin
memproduksi
memproduksi
ESBL
ESBL
Aztreonam 30ug
22 mm
27
8
2
mm
mg/L
mg/L
Cefotaxime 30ug
23 mm
27
8
2
mm
mg/L
mg/L
Cefpodoxime
21 mm
22
8
2
10ug
mm
mg/L
mg/L
Ceftazidime
18 mm
22
8
2
30ug
mm
mg/L
mg/L
Ceftriaxone
21 mm
25
8
2
30ug
mm
mg/L
mg/L
CLSI M100-S88
Metoda cakram ganda (Double disc method)
Prosedur kerja sama dengan standard disc diffusion method. Berbagai disk
antibiotik sefalosporin generasi 3 (seftazidim 30ug, seftriakson 30ug,
aztreonam 30ug atau sefodoksim 10ug) diletakkan dengan jarak sebesar 15-20
mm (jarak pinggir ke pinggir disk) dari disk asam klavulanat secara aseptik
Adanya pelebaran zona hambatan antara kedua disk menunjukkan ESBL
positif
Minimum Inhibitory Concentration (E-test) ESBL
Metoda ini menggunakan kombinasi 2 strip E-test misalnya:
seftazidim/ceftazidim-asam klavulanat dan sefotaksim/sefotaksim-asam
klavulanat. Keduanya diinokulasikan pada permukaan lempeng agar dan
diinkubasi selama semalam. Adanya penurunan pengenceran 3 log 2
dikatakan ESBL positif. Catatan: tidak semua strain yang memproduksi ESBL
spesifik untuk seftazidim, strain dengan substrat spesifik mungkin tidak
terdeteksi jika uji hanya menggunakan seftazidim/asam klavulanat saja; oleh
karena itu sefotaksim juga digunakan.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


19

Pemeriksaan MRSA (Methicillin Resistant Stapyllococcus aureus)


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya MRSA. Digunakan
antibiotik oxacillin atau cefoxitin.
1. Isolat bakteri Staphyllococcus dilakukan uji koagulase /Staphylase untuk
membedakan antara Koagulase positif dan Kogulase negative
2. Stapyllococcus dengan coagulase positif S.aureus
3. Dilakukan uji kepekaan bakteri dengan menggunakan cakram Oxacillin
atau Cefoxitin
4. Interpretasi hasil MRSA , apabila ditemukan zona hambat :
a. Oxacillin 1 g 13 mm
b. Cefoxitin 30 g 22 mm (standard CLSI yang digunakan saat ini)
Tugas
1. Dengan menggunakan kaliper, ukur lebar diameter zona hambatan pa
pengujian dengan metoda difusi cakram dan interpretasikan hasilnya
2. Tentukanlah nilai MIC pada uji kepekaan dengan cara tabung (Tube Dilution
Method)
Pertunjukan
1. Uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik dengan cara cakram (Disk Diffusion
Method)
2. Uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik dengan cara tabung (Tube Dilution
Method)
3. Skrining Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) menggunakan
antibiotic cefoxitin dan Oxacillin.
4. Skrining dan uji konfirmasi bakteri penghasil enzim ESBL ( Extended
Spectrum Beta Lactamase)

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


20

Hasil pengamatan
A. Cara Cakram (Disk Diffusion Method)
Lebar Zona Hambatan berdasarkan tabel CLSI
Jenis
Antibiotika

Klebsiella
pneumoniae

MRSA :

ESBL

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


21

E.coli

S.aureus

B. Cara tabung (Tube Dilution Method)

Nilai MIC = ....................................

II. Uji serologi


1. Pendukung diagnosis demam tifoid
A. Widal (dikerjakan oleh mahasiswa)
Prinsip
Ikatan antibodi di dalam serum pasien dengan antigen bakteri yang telah diwarnai.
Bila terjadi ikatan akan terbentuk aglutinasi berupa butiran pasir yang dapat
dilihat mata tanpa bantuan alat. Terdapat berbagai produk uji Widal yang tersedia
secara komersil dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang
harus diperhatikan.
Bahan yang terdapat dalam kit pemeriksaan
Antigen Salmonella O, Group A, B, C, D
Antigen Salmonella H, Group A, B, C, D
Reagen mengandung pengawet 0,1% sodium azide yang bersifat toksik,
sedangkan antigen menggunakan pengawet 0,5% formalin
Alat yang dibutuhkan tapi tidak tersedia dalam kit
Pipet
Salin fisiologis (0,9%)
Inkubator atau water bath
Spesimen
Spesimen adalah darah vena tanpa penambahan antikoagulan. Darah dipusingkan
sehingga didapatkan serum yang jernih. Serum dipisahkan ke dalam tabung lain
dan langsung dilakukan uji atau dapat disimpan pada suhu -200C sampai 4-6
minggu.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


22

Prosedur pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan pada slide atau pada tabung. Pada praktikum ini
dikerjakan pemeriksaan pada slide.
1. Pada slide terlihat gambar lingkaran, masing-masing berdiameter 27mm yang
digunakan untuk pengenceran serum dan dilakukannya reaksi aglutinasi
2. Serum diteteskan pada lingkaran terpisah menggunakan mikropipet dengan
volume: 0,08 ml ; 0,04 ml ; 0,02 ml ; 0,01 ml ; 0,005ml
3. Volume serum yang diteteskan tadi setara dengan titer aglutinasi: 1:20 ; 1:40 ;
1:80 ; 1:160 ; 1:320
4. Satu tetes antigen ditambahkan pada setiap pengenceran serum. Perhatikan
jenis antigen yang diteteskan sesuai dengan lingkaran yang tersedia (antigen
O dan H memiliki kelompok lingkaran yang terpisah)
5. Slide diangkat dan digoyang selama 1 menit sehingga terjadi reaksi ikatan
antibodi dan antigen dengan baik yang terlihat sebagai aglutinasi atau butiran
pasir
Hasil
Terdapatnya aglutinasi menunjukkan adanya antibodi di dalam serum pasien.
Batas nilai positif bergantung pada konsensus daerah setempat. Hasil definitif
didapatkan bila terdapat kenaikan titer >4 kali antara serum akut dan serum
konvalesen yang berjarak 10-14 hari
Interpretasi
Reaksi silang antara Grup Salmonella dapat terjadi. Bila dicurigai terjadi reaksi
prozone dapat dilakukan pemeriksaan ulang menggunakan pengenceran serum
1/20. Pada setiap uji harus disertakan kontrol positif dan negatif sebagai kontrol
kualitas teknik dan reagen
Hasil dan Interpretasi:

B. Aglutinasi Latex: deteksi antibodi (Tubex )


Seperti halnya uji widal, tubex juga merupakan uji serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap salmonela di dalam serum. Uji ini merupakan uji aglutinasi
menggunakan partikel latex dan selalu mengalami perkembangan untuk
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas, diantaranya penggunaan slide diganti
dengan tabung kecil dengan dasar berbentuk V, penggunaan 2 macam partikel
reagen yaitu yang berfungsi sebagai indikator warna dan yang bersifat magnet.
Antibodi di dalam serum pasien akan berikatan dengan partikel magnet yang
diselubungi lipopolisakharida (LPS) O9 Salmonella Typhi. Ikatan ini menghambat
ikatan partikel indikator warna yang diselubungi antibodi monoklonal spesifik
terhadap antigen lipopolisakharida (LPS) O9 dengan patikel magnet. Adanya
ikatan antibodi pada serum penderita dengan antigen LPS 09 akan terlihat dengan
adanya perubahan warna.
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
23

Hasil dan Interpretasi:

2. Pendukung diagnosis demam dengue


A. Deteksi antibodi anti-dengue
Deteksi IgM dan IgG di dalam serum pasien dapat membedakan infeksi primer
atau sekunder. Terdapatnya kedua antibodi di dalam serum tidak memberikan
diagnosis definitif, kecuali bila dilanjutkan dengan pemeriksaan lain seperti kultur
virus, kenaikan titer antibodi pada serum konvalesen, deteksi antigen
menggunakan immunohisto-chemistry atau deteksi asam nukleat virus dengue
Spesimen yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah darah. Setelah
pengambilan darah, serum harus segera dipisahkan dengan sentrifugasi dan
disimpan pada suhu 2-80C atau bila tidak dikerjakan dalam 2 jam serum disimpan
beku pada -200C atau lebih dingin.
Infeksi primer ditandai dengan terdeteksinya IgM saja, sedangkan infeksi
sekunder apabila IgG positif disertai IgM positif atau negatif. Reaksi silang
dengan grup flavivirus dapat terjadi.
Hasil dan Interpretasi:
B. Hemaglutinasi dan Hambatan hemaglutinasi
Hemaglutinasi (HA)
Berbagai uji deteksi mikroba menggunakan metode ini, yaitu dengan melekatkan
antigen pada sel darah merah untuk mendeteksi antibodi dalam serum. Contoh uji
yang menggunakan cara ini adalah untuk deteksi antigen streptokokus
ekstraselular dan micro hemagglutination assay untuk deteksi Treponema
pallidum.
Pada pemeriksaan serologi untuk diagnosis infeksi dengue, pemeriksaan ini
digunakan untuk mengetahui titer virus dengue yang akan digunakan dalam uji
hambatan hemaglutinasi. Antigen virus yang diencerkan akan berikatan dengan sel
darah merah angsa yang ditambahkan dan akan terlihat hemaglutinasi yang terjadi
mengendap pada dasar sumur mikroplat. Pengenceran terakhir yang masih
menunjukkan adanya hemaglutinasi menunjukkan titer virus. Besaran titer virus
adalah kebalikan dari pengenceran, misalnya hemaglutinasi terakhir terjadi pada
pengenceran antigen 1/80, maka titer virus adalah 80. Berdasarkan ketentuan
WHO titer virus yang digunakan pada uji hambatan Hemaglutinasi untuk
menentukan titer antibodi dalam serum adalah 80.
Hambatan Hemaglutinasi atau Heamaglutination Inhibition (HI)

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


24

Prinsip uji ini adalah antibodi dalam serum akan berikatan dengan antigen yang
ditambahkan sehingga pada saat penambahan sel darah merah tidak terjadi
hemaglutinasi.
Serum pasien diencerkan secara serial kemudian pada masing-masing
pengenceran ditambahkan antigen (titer 80) dengan volume yang sama. Setelah
inkubasi selama 30 menit ditambahkan sel darah merah angsa dan inkubasi
kembali selama 1-2 jam pada suhu 370C. Pengenceran terakhir yang tiidak
menunjukkan adanya hemaglutinasi adalah titer antibodi anti-dengue dalam
serum.
Uji ini memberikan arti diagnosis bila dikerjakan menggunakan serum akut dan
serum konvalesen yang berjarak 7 hari. Interpretasi menurut WHO adalah sebagai
berikut:
Antibody
Responses

S1 S2 Interval

> 4x rise

> 7 days

Convalescent titre
(any dengue
antigen)
< 1:1280

> 4x rise

any specimen

> 1:2560

> 4x rise

< 7 days

< 1:1280

no change

any specimen

> 1:2560

no change
no change
-

> 7 days
< 7 days
one specimen
only

< 1:1280
< 1:1280
< 1:1280

Interpretation
Definite infection,
primary
Definite infection,
secondary
Definite infection,
secondary
Presumed infection,
secondary
not dengue
uninterpretable
uninterpretable

C. ELISA: deteksi antigen NS1


Antigen NS1 dapat dideteksi di dalam serum penderita pada hari pertama sampai
ke-9 demam, setelah itu tidak ada lagi. Metode deteksi antigen NS1 ini lebih
unggul bila dibanding pemeriksaan antibodi IgM yang baru terdeteksi pada hari
ke-5 demam atau lebih.
Prinsip pemeriksaan ini adalah ikatan antigen NS1 di dalam serum dengan
antibodi anti-NS1 yang telah dilekatkan pada dasar sumur yang terbuat dari bahan
polystyrene. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan kelebihan serum
ditambahkan HRP conjugated anti-NS1 Mab lalu diinkubasi. Setelah pencucian
kemudian ditambahkan substrat tetramethylbenzidine/hydrogen peroxide
(TMB/H2O2), yang akan dihidrolisis oleh enzim sehingga zat kromogen akan
berubah warna menjadi biru. Setelah reaksi rekasi dihentikan menggunakan asam,
TMB akan berubah menjadi kuning. Timbulnya perubahan warna ini
menunjukkan adanya antigen NS1 di dalam serum.
Penanganan spesimen seperti pada deteksi antibodi dengue. Interpretasi hasil
sangat bergantung pada produk komersial yang digunakan, karena masing-masing
mempunyai cut-off yang berbeda. Hasil negatif belum tentu menyingkirkan
diagnosis karena produk yang tersedia tidak mengandung semua serotipe virus
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
25

dengue. Hasil pemeriksaan ini juga tidak dapat membedakan infeksi primer atau
sekunder.
D. Uji Fiksasi Komplemen/Complement Fixation Test (CF)
Prinsip uji fiksasi komplemen adalah ikatan antigen antibodi (IgG atau IgM) akan
mengaktifasi reaksi komplemen melalui jalur klasik dan mengakibatkan lisis sel.
Bila antigen atau antibodi tidak ada maka tidak terjadi lisis. Untuk mengetahui
adanya lisis dalam uji ini digunakan indikator yang biasanya merupakan
kombinasi sel darah merah domba, hemolysin kelinci ( anti terhadap sel darah
merah domba), dan komplemen (dari binatang percobaan).
Tes 1

Tes 2

Serum tanpa antibodi


+
antigen dan komplemen

Serum dengan antibodi


+
antigen dan komplemen

komplemen tidak terikat (bebas)


+
Indikator

komplemen terikat
+
Indikator

Hemolisis

Tidak terjadi hemolisis

Seperti halnya deteksi antibodi lainnya, penilaian kenaikan titer serum fase
akut dan konvalesen yang dianggap mendukung diagnosis adalah adanya
kenaikan titer antibodi sebesar 4 kali.
Kontrol sel darah merah diperlukan untuk memastikan bahwa sel tidak
mengalami autolisis (lisis dengan sendirinya, tanpa adanya reaksi lisis oleh
komplemen). Kontrol lisis diperlukan untuk menilai fungsi antibodi terhadap
eritrosit dan komplemen dalam melisis sel darah merah.

III.Deteksi bakteri, jamur, dan virus secara molekuler


Metode diagnosis secara molekuler merupakan metode deteksi mikroba (bakteri, viru
dan jamur) yang cepat dengan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi. Metode ini
sangat berguna terutama untuk deteksi mikroba yang berkembang biaknya lama, sulit
atau bahkan tidak dapat ditumbuhkan secara in-vitro. Deteksi mikroba secara
molekuler meliputi teknik hibridisadi asam nukleat dan teknik amplifikasi.
Prinsip metode hibridisasi asam nukleat adalah pembentukan ikatan hidrogen antara 2
rantai DNA tunggal yang saling komplemeter menjadi rantai ganda yang stabil. Dua
(2) rantai DNA tunggal tersebut adalah sekuens target DNA atau RNA spesifik dari
mikroba yang akan diidentifikasi dan probe yang telah dilabel dengan zat kimia atau
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
26

zat radiasi, sehingga memungkinkan dilakukan visualisasi. Beberapa bentuk


hibridisasi yang digunakan meliputi:
- teknik blotting ( solid support hybridization):
o southern blot untuk deteksi DNA
o northern blot untuk deteksi RNA
o western blot untuk deteksi protein, misalnya antibodi terhadap HIV-1
di dalam serum
- In-situ hybridization: deteksi DNA atau RNA pada jaringan
- In-solution hybridization: hibridisasi antara probe yang dilabel dan target asam
nukleat terjadi di dalam cairan, biasanya di dalam cairan kultur bakteri atau
jamur.
Teknik amplifikasi asam nukleat dikembangkan untuk meningkatkan jumlah asam
nukleat yang dideteksi dalam waktu singkat sehingga akan meningkatkan sensitifitas
pemeriksaan. Amplifikasi asam nukleat dapat dilakukan dengan cara polymerase
chain reaction (PCR), nucleic acid sequence based amplification (NASBA),
transcription-mediated amplification (TMA), branched DNA (bDNA) detection,
hybrid capture, dan cycling probe technology.
Tiga (3) langkah dasar PCR adalah:
- denaturation: untuk memisahkan rantai ganda DNA menjadi rantai tunggal
- primer annealing: untuk melekatkan primer oligonukleotida yang spesifik pada
DNA target
- primer extension: perpanjangan (sintesis) rantai DNA dengan bantuan enzim
DNA-polymerase
Ketiga langkah reaksi tersebut dapat terjadi akibat adanya perlakuan suhu yang
berbeda untuk setiap langkah dengan menggunakan mesin thermal cycler. Selain itu
komponen PCR berikut ini juga harus ditambahkan :
- template DNA sebagai target deteksi
- olygonucleotide primers yang digunakan untuk memulai sintesis/pemanjangan
rantai DNA
- thermostable DNA polymerase adalah enzim yang memungkinkan proses
sintesis DNA terjadi
- Magnesium diperlukan oleh DNA-polymerase
- Buffer untuk mempertahankan kondisi dan pH yang sesuai untuk DNA
polymerase
- Deoxynucleotides (dNTPs : dATP, dCTP, dGTP, dTTP) diperlukan untuk
sintesis rantai DNA baru (pemanjangan)
Dalam perkembangannya metode PCR ini berkembang menjadi beberapa variasi
metode diantaranya reverse transcription-PCR (RT-PCR), multiplex PCR, nested
PCR, dan real-time PCR. Analisis hasil PCR dapat dilakukan antara lain
menggunakan agarose gel electrophoresis.
IV. Deteksi resistensi terhadap obat antimikroba secara molekuler
Deteksi adanya resistensi mikroba terhadap obat antimikroba secara molekuler dapat
dilakukan bila telah diketahui sekuens asam nukleat yang memberikan sifat resistensi
tersebut atau dengan mendeteksi mutasi gen yang terjadi. Metode yang digunakan
adalah teknik hibridisasi atau amplifikasi seperti yang telah dijelaskan diatas.
V. Monitoring therapy : HIV viral load
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
27

Pemeriksaan HIV viral load digunakan untuk mengetahui jumlah kopi asam
nukleat/ml darah. Hasil pemeriksaan ini bersama dengan hasil hitung sel CD4 berguna
untuk mengetahui kemajuan terapi antiretroviral dan prognosis penyakit. Semakin
sedikit jumlah kopi yang terdeteksi tentu menurunkan kemungkinan komplikasi
dengan harapan hidup yang lebih panjang.
Metode yang sering digunakan adalah PCR, NASBA, bDNA, real time PCR.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


28

PRAKTIKUM
PATOLOGI KLINIK

Waktu

Tempat

: Lab. Parasitologi FKUI

Penanggung Jawab : Dr. Dr. Dalima AW Astrawinata, SpPK, M Epid


Tutor Praktikum

:1. Dr. Alida R Harahap, SpPK


2. Dr. Dalima AW Astrawinata, SpPK, M Epid
3. Dr.Tonny Loho, SpPK(K)
4. Dr. July Kumalawati, SpPK(K)
5. Dr. Ninik Sukartini, SpPK(K)
6. Dr. Astuti Giantini, SpPK
7. Dr. Dewi Wulandari, SpPK, MSc

Tujuan Umum
Mahasiswa mampu merencanakan pemeriksaan laboratorium dan melakukan
penilaian hasil pemeriksaan secara tepat dalam upaya menegakkan diagnosis,
memantau aktifitas penyakit dan pengobatan serta menentukan prognosis
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan patofisiologi kelainan laboratorium
2. Memilih pemeriksaan laboratorium
3. Menilai hasil pemeriksaan laboratorium
Kegiatan praktikum
1. Mahasiswa dibagi dalam 7 kelompok yang masing-masing dibimbing oleh 1
instruktur.
2. Mahasiswa diberi kasus dan hasil pemeriksaan
3. Demonstrasi gambar berbagai pola hasil pemeriksaan ANA, dsDNA
4. Melihat demonstrasi hasil rapid test PCT, anti-TB
5. Membaca hasil pemeriksaan CRP
6. Melihat sediaan leukositosis, eosinofilia, pemeriksaan Laju Endap Darah (LED)
7. Demonstrasi hasil pemeriksaan CD4 dengan flowcytometer
8. Melihat demonstrasi pemeriksaan HIV dengan teknik rapid test, hasil tes ELISA,
Western blotting

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


29

Pembahasan Kasus
KASUS 1
Seorang laki-laki, usia 23 tahun dengan keluhan utama mual, muntah dan diare yang
hilang timbul sejak 1 bulan yang lalu. Sesak napas sudah 3 bulan, berat badan turun
10 kg dan berkeringat malam. Penderita perokok dan pengguna narkoba jarum suntik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suhu afebris, gizi kurang, ulkus pada mukosa
mulut, bekas suntikan pada lengan. Pemeriksaan paru ditemukan ronki kasar di kedua
paru.
Data tambahan : diberikan bila mahasiswa menanyakan
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Hematologi : Kadar hemoglobin 8,8 g/dL,
Leukosit
3000/uL
Hitung jenis
0/0/2/77/15/6
Trombosit
250.000/uL
LED
90 mm/jam
Imunologi
: CRP
15 mg/L
CD4
145/uL
Anti HIV
reaktif
Anti HCV
positip
Pemeriksaan foto toraks : TB milier
Tugas diskusi kasus :
1. Menilai hasil pemeriksaan laboratorium
2. Menjelaskan patofisiologi kelainan laboratorium
3. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan yang dianjurkan untuk diagnosis dan
pemantauan
4. Melihat hasil pemeriksaan laboratorium beserta penilaiannya
KASUS 2
Seorang wanita usia 20 tahun dengan keluhan utama sakit diseluruh sendi. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kemerahan pada muka, luka pada bibir.
Data tambahan : diberikan bila mahasiswa menanyakan
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan :
Hematologi : Kadar Hemoglobin 10 g/dL
Leukosit
5500/uL
Hitung jenis
1/1/2/42/50/4,
Trombosit
210.000/uL
LED
45 mm/jam
Urinalisis

: Protein
2(+)
lain-lain dalam batas normal

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


30

Kimia darah

: Ureum
30 mg/dL
Kreatinin
1,7 mg/dL
lain-lain dalam batas normal

Imunologi

: ANA

positif 1/320, pola homogen

Tugas diskusi kasus :


1. Menilai hasil pemeriksaan laboratorium
2. Menjelaskan patofisiologi kelainan laboratorium
3. Menjelaskan pemeriksaan lanjutan yang dianjurkan untuk diagnosis dan
pemantauan
4. Melihat hasil pemeriksaan laboratorium beserta penilaiannya

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


31

PRAKTIKUM
PATOLOGI ANATOMI
Penanggung Jawab : dra.Ria Kodariah, MS.
TUJUAN UMUM :
Memperkuat pemahaman mahasiswa dalam ilmu patologi melalui visualisasi proses
penyakit ditingkat seluler sehingga dapat menjelaskan akibat-akibatnya berupa
perubahan morfologi dan ganguan fungsi pada organ terkait sebagai dasar manifestasi
klinik.
TUJUAN KHUSUS :
1. memperkenalkan kepada mahasiswa berbagai kelainan organ akibat infeksi
2. memberi kemampuan untuk menghubungkan kelainan makroskopik,
mikroskopik serta ganguan fungsi yang diakibatkannya.
KEGIATAN PRAKTIKUM :
Demonstrasi sedian histopatologi dari kasus-kasus sebagai berikut :
1. Abses Hati
2. Pneumonia lobaris
3. Tuberkulosis ginjal.
4. Kelenjar getah bening pada HIV dengan infeksi Mycobacterium atipik
5. Kelenjar getah bening pada HIV dengan infeksi Cryptococcus
6. Toxoplasma cerebri pada HIV
7. Tiroiditis Hashimoto
8. Nefritis lupus
KASUS
1. Abses Hati
Gros
Pada organ hati ini dapat dilihat beberapa abses berupa rongga kosong dengan
dinding yang tidak rata. Bergantung kepada mikroorganisme penyebabnya, isi
abses dapat berupa pus (nanah) pada abses piogenik : atau cairan kental
kecoklatan pada abses amuba. Pada sediaan ini isi abses sudah keluar yang
mungkin masih bias dilihat dibawah mikroskop sisa-sisa eksudatnya.
Mikroskopik
Sediaan hati masih menunjukkan jaringan hati yang normal. Tampak fokusfokus abses diantaranya, berupa area yang lebih padat mengandung sel hati
nekrotik, dan sel radang. Area ini tampak berbeda dari jaringan hati normal
sekitarnya.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


32

2. Pneumonia Lobaris
Gros.
Perhatikan jaringan paru yang menunjukkan warna putih pada satu lobus
penuh, dan tampak bertekstur padat. Bedakan dengan bronchopneumonia.
Mikroskopik.
Pada jaringan paru ini tampak seluruh rongga alveoli penuh berisi eritrosi atau
eskudat radang. Hal ini menyebabkan fungsi alveoli sebagai tempat pertukaran
udara hilang dan akan menyebabkan pasien sesak nafas.
3. Tuberkulosis ginjal.
Gros.
Sediaan ginjal ini menunjukkan bintik-bintik putih kecil (tuberkel ) pada
korteks dan medula. Sebagian juga menunjukkan warna kekuningan (nekrosis
perkejuan).
Mikroskopik
Sediaan menunjukkan parenkim ginjal yang mengandung fibrosis, tuberkel
dan nekrosis perkejuan. Sel datia jenis Langhans mudah dijumpai. Glomerulus
dan tubulus berkurang jumlahnya akibat fibrosis, tuberkel dan nekrosi
tersebut.
4. Kelenjar Getah Bening pada HIV dengan infeksi Mycobacterium atipik
Mikroskopik
Sediaan kelenjar getah bening sudah tidak menunjukkan arsitektur normal
(yaitu korteks yang mengandung folikel limfoid, medula & sinus). Kelenjar
getah bening didominasi oleh sel-sel histiosit / makrofag yang tersebar atau
berkelompok, bercampur sebukan netrofil (sel radang polimorfonukleus).
Dijumpai fibrosis serta sedikit limfosit.
Keadaan ini dimana limfosit sangat sedikit jumlahnya dapat dijelaskan sebagai
akibat menurunnya jumlah limfosit secara menyeluruh (tahap deplesi limfosit)
pada AIDS.
Pada pulasan khusus untuk basil tahan asam ( Ziehl Nielsen), dijumpai banyak
bakteri berbentuk batang intrasitoplasma. Infeksi basil tahan asam ini
merupakan infeksi sekunder yang lazim dijumpai pada penderita HIV. Pada
infeksi ini tidak terbentuk granuloma sebagi response yang lazim dimana hal
ini disebabkan karena tidak ada lagi respons dari limfosit.
5. Kelenjar Getah Bening pada HIV dengan infeksi Cryptococcus
neoformans.
Mikroskopik :
Secara umum gambaran kelenjar getah bening sama dengan sediaan terdahulu
yaitu adanya deplesi limfosit.
Perhatikan bagian yang relatif terang dimana dijumpai mikroorganisme bulat
dalam halo putih yaitu Cryptococcus neoformans. Mikroorganisme ini bersifat
oportunistik pada penderita AIDS, lekemia, limfoma dan SLE.
Pada individu non immunosupressed, lazimnya menyebabkan kelainan pada
meningen atau paru. Tetapi pada individu yang Immunosupressed, dapat
terjadi diseminasi ke kulit, hati, tulang, limpa dan adrenal.
Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi
33

Dengan pulasan khusus Mucicarmine tampak jelas berwarna merah dengan


struktur double contour.
6. Toxoplasmosis cerebri pada penderita HIV
Mikroskopik :
Merupakan infeksi sekunder pada sekitar 50% penderita AIDS. Menyebabkan
lesi berupa massa di otak yang menyebabkan gejala neurologik sesuai lokasi.
Tampak jaringan otak sembab, bersebukan sel radang mendadak & menahun
disertai proliferasi kapiler dan nekrosis.
Pada tepi jaringan dijumpai struktur bulat yang merupakan encysted
bradyzoites yang tampak sangat jelas dengan pulasan PAS.
7. Tiroiditis Hashimoto
Gros :
Tiroid umumnya membesar difus, kenyal padat. Penampangpucat atau kuning
kecoklatan.
Mikroskopik :
Sediaan tiroid menunjukkan folikel tiroid normal diselingi sebukan limfosit,
sel plasma diantaranya. Sebukan limfosit dapat membentuk folikel limfoid
dengan sentrum germinativum. Terjadi deplesi tirosit akibat destruksi oleh
limfosit yang autoreaktif. Dijumpai banyak sel bersitoplasma granuler
eosinofilik (sel Hurthle) yaitu response sel folikel terhadap jejas .
8. Nefritis Lupus.
Mikroskopik :
Pada sediaan dijumpai kelainan pada glomerulus. (Bandingkan dengan
glomerulus normal).
Tampak bahwa glomerulus menunjukkan berbagai kelainan morfologik
misalnya pertambahan selularitas di matriks mesangial, fibrosis fokal atau
penebalan dinding kapiler (perlu pulasan khusus).
Dengan teknik imunofluoresensi dapat dilihat adanya endapan konpleks imun
di mesangial atau dinding gelung kapiler yang dapat merupakan
Imunoglobulin atau komplemen.

Manual Praktikum Modul Imunologi-Infeksi


34

Anda mungkin juga menyukai