Anda di halaman 1dari 5

Pembentukan Karakter Pemimpin sejak Usia Dini sebagai Upaya

Pencegahan Perilaku Alay Dikalangan Remaja Indonesia


(Citra Ayu Lestari, B04110056)
Akhir-akhir ini, dikalangan anak muda Indonesia muncul sebuah gaya
baru yang khas dalam berbahasa maupun bersikap yang dikenal dengan istilah
alay. Kata alay tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun
Kruliane (2012) mengartikan alay dengan kondisi perilaku remaja (usia 1325
tahun) yang membuat dirinya merasa keren dengan menonjolkan perilaku yang
khas. Media seperti televisi dan internet menjadi faktor utama dalam penerapan
perilaku alay tersebut. Sadri (2009) juga menyebutkan bahwa perilaku alay terjadi
karena remaja salah mengambil teladan untuk menumbuhkan rasa percaya diri,
serta kurangnya aktivitas yang dapat menunjukkan eksistensi mereka.
Sebuah buku karangan Vitchek et al. (2006) yang berjudul Exile:
Conversation with Pramoedya Ananta mengungkapkan,
All I know is that todays Indonesians have no idea of what should be the
concept upon which to build this country. People, and this includes our youth, just
indulge in small talk, not how to achieve things.
Bahkan dalam kalimat selanjutnya sastrawan tersebut mengeluhkan,
They have lost the culture of reading and prefer watching television. I
think that most Indonesian families are the same. They just glue themselves to the
television. There is no hunger for knowledge.
Kutipan tersebut secara jelas menggambarkan kondisi bangsa Indonesia,
termasuk kalangan remaja yang lebih memilih untuk menikmati obrolan-obrolan
ringan daripada mendiskusikan gagasan untuk mencapai sesuatu. Kata gagasan
terlanjur menjadi hal yang dianggap membosankan oleh kebanyakan kaum muda.
Mereka mengidentikkan sebuah gagasan dengan hal yang terlalu serius dan hanya
boleh dimasuki oleh kalangan orang tua. Padahal, entah mereka sadar atau tidak,
merekalah calon pemimpin di masa mendatang.
Sebuah kata mutiara yang berbunyi, knowledge is power, but character is
more. Ungkapan tersebut dapat diartikan bahwa pengetahuan adalah kekuatan
suatu bangsa tetapi karakter melebihi dari kekuatan pengetahuan, sehingga

karakter manusia menempati prioritas utama untuk mewujudkan cita-cita bangsa.


Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) berarti akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Tan (2007) juga
mendefinisikan karakter sebagai totalitas pribadi yang membentuk seseorang.
Menurut Risnawati (2012), karakter individu bisa dibentuk melalui
pendidikan sejak usia dini, sehingga menghasilkan karakter sesuai dengan nilainilai yang diharapkan. Nazar (2001) menyebutkan usia dini mencakup tahuntahun pertama kehidupan yang merupakan periode awal terbentuknya kepribadian
seseorang, khususnya periode lima tahun pertama. Pengenalan nilai-nilai
pembentuk karakter pemimpin untuk menghindari perilaku alay ditunjukkan
untuk anak usia dini, karena usia dini merupakan masa pembentukan karakter.
Karakter pemimpin yang dibentuk sejak usia dini diharapkan mampu menjadi
tameng terhadap pengaruh perilaku alay yang muncul pada usia remaja.
Pembentukan karakter seseorang dipengaruhi dua faktor, endogen dan
eksogen. Karakter yang dipengaruhi faktor endogen merupakan karakter bawaan,
sedangkan faktor eksogen adalah pengaruh dari luar (Mangunsong 2009). Faktor
endogen dapat berupa sifat koleris, sanguinis, plegmatis, dan melankolis. Faktor
eksogen atau pengaruh dari luar dapat berupa pengaruh keluarga, masyarakat, dan
pendidikan formal.
Karwadi (2006) mengungkapkan bahwa karakter seseorang merupakan
refleksi dari kondisi psikologisnya, karena hal tersebut maka pembinaan karakter
harus dimulai dari aspek pembinaan kejiwaan. Ada dimensi kejiwaan manusia
yang bisa dikembangkan secara seimbang melalui pendidikan apabila kecerdasan
emosional dipahami terlebih dahulu yang meliputi kesadaran diri, pengaturan diri,
motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial.
Musmuallim (2014) mengemukakan bahwa pendidikan karakter pemimpin
bisa dikenalkan melalui lingkungan keluarga dan masyarakat, serta melalui
pendidikan formal (sekolah), namun di antara ketiganya lingkungan keluarga yang
paling kuat pengaruhnya terhadap pembentukan karakter individu. Lingkungan
keluarga menjadi tempat pertama bagi pembentukan pribadi individu. Proses
pendidikan dalam keluarga pada dasarnya berlangsung sepanjang hayat (long life
education), selama masih ada interaksi dan komunikasi antar anggota keluarga.

Pola asah, asih, dan asuh dalam keluarga serta perilaku dan keteladanan orang tua
menjadi aktivitas yang membentuk jati diri keluarga.
Menurut Laddu et al. (2007), karakter anak dibentuk oleh aturan-aturan
yang ditanamkan oleh individu dari luar dirinya, yaitu orang-orang yang paling
dekat. Semua aktivitas orang tua pada masa pembentukan karakter akan direkam
dan mudah ditiru oleh anak, sehingga peran serta orang tua sangat sentral dalam
pembentukan karakter dan kepribadian anak (Musmuallim 2014).
Peran lingkungan masyarakat sebagai wahana interaksi sosial anak usia
dini juga dapat memberi pelajaran bagi terbentuknya nilai-nilai keagamaan dan
kemasyarakatan (Khusnida 2014). Peran serta tokoh masyarakat, tokoh agama,
dan

tetangga

terdekat

sangat

berpengaruh

terhadap

pembentukan

dan

perkembangan karakter pemimpin pada anak.


Pembentukan karakter pada anak usia dini juga tidak terlepas dari
lingkungan di luar tempat tinggalnya. Pengalaman yang diperoleh anak di sekolah
juga dapat memberi pengaruh positif pada perkembangan karakternya. Peran guru
dalam pengembangan karakter peserta didiknya juga tidak kalah penting.
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Gunandi (2013) bahwa
kebiasaan berperilaku setiap siswa yang menjadi objek penelitian tersebut terus
mengalami peningkatan. Pada penelitian tersebut guru memperlakukan siswa
dengan kasih sayang, adil, dan hormat. Guru juga memberikan perhatian secara
individual agar guru dapat mengenal baik siswanya. Hal yang terpenting dalam
penelitian tersebut adalah guru menjadikan dirinya sebagai tokoh panutan bagi
siswanya sehingga dapat membetulkan perilaku yang salah pada siswa.
Beberapa contoh aktivitas yang dapat dilakukan keluarga, masyarakat,
serta sekolah untuk membangun karakter pemimpin dan menghindari perilaku
alay pada anak usia dini, di antaranya (1) mengenalkan contoh keteladanan pada
anak agar anak dapat membedakan baik atau buruk perilaku mereka, (2) anak
dapat memiliki kepercayaan diri dan tidak mengalami krisis identitas dengan
memberikan apresiasi terhadap setiap perilaku positif, dan (3) akivitas anak
diutamakan diisi dengan berbagai aktivitas bermanfaat agar tidak terjerumus
berbagai perilaku negatif.

Karakter pemimpin yang ingin dibentuk di sini adalah karakter yang dapat
membawa anak tersebut agar tidak salah dalam mengambil teladan, merasa
percaya diri, dan mampu memilih aktivitas yang bermanfaat bagi dirinya dan
orang lain. Beberapa karakter pemimpin yang harus dibentuk di antaranya,
1. Cerdas dan bijaksana: anak dilatih untuk mampu memiliki penilaian
baik dan buruk tentang berbagai persoalan dan menggunakannya untuk
membuat keputusan dan melakukan tindakan secara tegas pada waktu
yang tepat. Contohnya mengajarkan anak cara perpakaian dan bertutur
kata yang baik sesuai dengan budaya masyarakat.
2. Berpandangan ke depan: anak dilatih agar memiliki tujuan dan visi
masa depan sehingga memiliki obsesi dan imajinasi yang mereka
inginkan dan cara mendapatkannya sesuai nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat. Contohnya mengajak dan mendampingi anak untuk
mempersiapkan diri dalam menggapai cita-citanya, serta memberikan
masukan dan saran apabila diminta pendapat.
3. Berkontribusi aktif: anak dilatih untuk menjadi pribadi yang peduli
dengan kondisi orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Contohnya
mengajak anak untuk ikut membantu orang tua mengerjakan pekerjaan
rumah atau ikut serta dalam kegiatan yang dilaksanakan masyarakat.
4. Rendah hati: anak ditanamkan nilai-nilai untuk menghindari sikap
yang seolah merasa dirinya adalah orang yang paling hebat. Hal yang
dapat diterapkan adalah memberikan teladan, misalnya meminta maaf
dan mengakui kesalahan ketika berbuat salah.
Tugas besar Indonesia saat ini adalah menghadirkan generasi pemimpin
masa depan untuk menggantikan pemimpin bangsa masa kini. Ketika mental dan
karakter pemimpin tertanam dalam setiap individu, maka perbaikan nyata
bukanlah hal mustahil untuk negeri ini. Pembentukan karakter pemimpin yang
ditanamkan sejak kecil dapat menjadi langkah preventif terhadap perilaku alay.
Karakter kepemimpinan mampu menjadi solusi pembentukan karakter generasi
muda Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Daftar Pustaka

Karwadi. 2006. Emosional dalam pemikiran pendidikan Islam [disertasi].


Yogyakarta (ID): Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
[Kemdikbud] Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi ke III. Jakarta (ID): Pusat Bahasa.
Khusnida L. 2014. Konsep tripusat pendidikan Islam menurut Abdurrahman An
Nahlawi dan relevansinya terhadap pembentukan kepribadian anak
[skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Kruliane A. 2012. Pemaknaan remaja SMU mengenai penggunaan bahasa alay
pada program MTV alay [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Laddu N, Kapadia S. 2007. Childrens judgments of parental fairness: An Indian
perspective. International Education Journal. 8(1):244-253.
Mangunsong F. 2009. Faktor intrapersonal, interpersonal, dan kultural pendukung
efektivitas kepemimpinan perempuan pengusaha dari empat kelompok
etnis di Indonesia. Sosial Humaniora. 13(1):19-28.
Musmuallim. 2014. Pendidikan Islam di keluarga dalam perspektif demokrasi
[tesis]. Yogyakarta (ID): Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Nazar F. 2001. Moral judgment of preschool children of the State of Kuwait.
International Education Journal. 2(2):116-122.
Risnawati V. 2012. Optimalisasi pendidikan karakter anak usia dini melalui sentra
main peran di taman kanak-kanak Padang [artikel]. Padang (ID):
Universitas Negeri Padang.
Sadri J. 2009. Tinjauan tentang perilaku menyimpang remaja di Kelurahan
Sarirejo Kecamatan Medan Polonia [skripsi]. Medan (ID): Universitas
Sumatera Utara.
Tan GL. 2007. Pendidikan Dini: Pembentukan Karakter Individu. Bandung (ID):
STT INTI.
Vitchek A, Indira R, Rao N. 2006. Exile: Conversations with Pramoedya Ananta.
New York (US): Haymarket Books.

Anda mungkin juga menyukai