Obat-Obat Anestesi
Obat-Obat Anestesi
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anestesi
1.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).
Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun
1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).
1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat
mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk
amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique
Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia
yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti
oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali
menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika
Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika
Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton
karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit
di depan umum pada tahun 1846.
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang
banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan
untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson
dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari
anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.
Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap
rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti
melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu
Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853.
Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan
Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi.
Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin
diperhitungkan (Ismunandar, 2006).
1.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.
Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
1.3.1 Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu
menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh
yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan
dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga
diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri
yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).
Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak
hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang
disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk
tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat
hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi,
bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
1.3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi
yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi
usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan
obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu
saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu
menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf
tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat
anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.
Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh
karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien
yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
1.3.3 Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga
dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,
2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya
pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lain-lain (Joomla, 2008).
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi
jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American
Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien
pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA
2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena
penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan
hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan
febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang
diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi
dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA
4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis
krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai
pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency),
misalnya ASA 1 E atau III E.
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi
atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan
hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,
dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi
involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium
pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3
bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal
masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.
Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial
semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan
respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran
seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat
yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan,
tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas
sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada
selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu
yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga
tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga
menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat
antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi
cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa
mengalami perubahan.
Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu
gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002).
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi
dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu
golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan
Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obatobatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obatobatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di
area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak
(Joomla, 2008).
1.4.2 Obat-obat Anestesi Regional
Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu
secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
(Bachsinar,
1992).
mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang
cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut
harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas,
tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total
adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi
umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam
lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek
samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien
(Kumala, 2008).
menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan
yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi
regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.
walaupun
tindakan
anestesi
sudah
dilaksanakan
dengan
baik
(Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi
anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi
antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi
lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf
(Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan
sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark
myocardium mayor, yang kadangkadang sulit dibedakan.
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi
didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih
dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia
yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat
kardiovaskuler
seperti
infark
miokard,
aritmia,
anestetika, penyakit
hipertensi,
dan
Hati
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan.
Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,
yang
diperkirakan
sekitar
100400
per
sejuta
pada
suatu
waktu
(Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran
susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang
mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi.
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi
menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama,
terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang
menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer
tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen
meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah
(Ellis
dalam
keadaan
teranestesi
mungkin
tidak
penderita
dengan
secepatnya
melakukan
transfusi
darah
(Bulto & Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai
dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan
bawah, paruparu, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai
kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari
hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada
otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 46 menit kekurangan
oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).
Keperawatan
2.1 Pengertian
pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat
atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan
proses penuaan dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab
dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya
(Depkes RI,2002).
Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis,
membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan
(Carpenito, 1998). Adapun tahap dalam malakukan asuhan keperawatan yaitu :
pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, dan evaluasi.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain
terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002). Ahli lain yaitu Kozier
Barbara (1995) memberi defenisi peran sebagai seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu
sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar
dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari
seseorang pada situasi sosial tertentu.
yang di lakukan
berguna untuk
sehari-hari
secara
mandiri
tanpa
memerlukan
bantuan
dan ataupun
tergantung
pada
orang
lain
Perhatian
perawat
profesional
pada
waktu
menyelenggarakan
Aktifitas
keperawatan
meliputi
peran
dan
fungsi
pemberi
Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran sebagai
pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola, dan peran sebagai
peneliti (Marullah, 2005).
berdekatan
dengan
ruang
operasi.
Hal
ini
disebabkan
untuk
mempermudah akses bagi pasien untuk perawat yang disiapkan dalam merawat
pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan ahli bedah, alat monitoring dan
peralatan khusus penunjang lainnya.
Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk
memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997).
Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen,
laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator
mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat
yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk
mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah,
peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan,
defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan
medikasi
kegawatdaruratan,
set
kateterisasi
dan
peralatan
drainase
(Rondhianto, 2998).
Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus
ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan
akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan
yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail,
tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan
(Torrance & Serginson, 1997).
Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh
anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen
minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).
Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien
untuk dikeluarkan dari PACU adalah : pasien harus pulih dari efek anestesi, efek
fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat
kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan
orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan
saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah,
haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan
nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan
dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan
persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat
khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit
dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan
menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).
Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan
antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan
agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus
dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus
terlihat
sehingga
bila
ada
perubahan
dapat
dipantau
dengan
segera
(Abrorshodiq, 2009).
2.3.1 Peran perawat pada fase pasca anestesi
Peran perawat pada fase pasca anestesi baik pada bedah mayor
maupun minor sangat dibutuhkan. Peran perawat tersebut merupakan upaya dalam
pencegahan terjadinya komplikasi anestesi yaitu peran pemantauan atau
pengkajian pasca anestesi dan peran penatalaksanaan atau perawatan pasien pasca
anestesi (Latief, 2001; Wijaya, 2008 ).
1. Sistem pernapasan
mungkin
karena
obstruksi
oleh
sekresi
atau
lidah
2. Sistem kardiovaskuler
4. Sistem Persarafan.
5. Sistem perkemihan.
6. Sistem Gastrointestinal.
Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam
pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan
TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum,
observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk
mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau
muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau
kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi
terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009).
Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu
juga
mengkaji
paralitic
ileus,
suara
usus,
distensi
abdomen,
dan
160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg, Heart Rate (HR)
kurang dari 60 x menit > 10 x/menit, suhu > 38,3
C,
meningkatnya kegelisahan pasien,dan tidak BAK lebih dari 8 jam post operasi
(Abrorshodiq, 2009).
Kriteria untuk mentukan tingkat pemulihan diberikan
secara detail pada bagan ruang pemulihan pascaanestesi (Brunner & Suddarth,
2001) :
Tabel 1.
Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi
Nilai akhir:
Ahli bedah:
Perawat R.R:
Setelah
Poin
Saat
nilai
penerimaan
1 jam
2 jam
3 jam
Pernapasan:
Kemampuan untuk bernapas dengan
dalam dan batuk
dari tingkat
1
Tingkat kesadaran:
Respon secara verbal
pertanyaan/terorientasi
tempat
terhadap
terhadap
2
Warna kulit:
Warna dan penampilan kulit normal
Sianosis jelas
Aktivitas otot:
Bergerak secara spontan atau atas
perintah
Kemampuan untuk
semua ektremitas
menggerakkan
mengontrol
0
Total
Keterangan:
Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai
pengkajian post anestesi > 7-8.
2.3.2 Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi
Selain
malakukan
pengkajian,
perawat
juga
melaksanakan
perannya dalam hal perawatan pasien pasca anestesi. Dalam hal ini pasien harus
mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari
anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan
keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anestesi tergantung
kepada prosedur bedah yang dilakukan (Abrorshodiq, 2009). Hal-hal yang harus
diperhatikan meliput i:
1. Mempertahankan ventilasi pulmonary.
Ventilasi pulmonary dipertahankan dengan memberikan
posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan atau setengah telungkup
dengan kepala tengadah ke belakang dan rahang didorong ke depan sampai reflekreflek
pelindung
pulih
(Abrorshodiq,
2009).
Mempertahankan
ventilasi
2. Mempertahankan sirkulasi.
Hipotensi
dan
aritmia
merupakan
komplikasi
kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anestesi. Untuk itu
pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di
ruang pemulihan (Abrorshodiq, 2009).
3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus
sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan
cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor(Abrorshodiq, 2009).
Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post
operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk
meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah
(www.Nurseview.com, 2008).
4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan.
Pasien post operasi atau post anestesi sebaiknya pada
tempat tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien
sering diubah sesuai dengan potensial pasien untuk mencegah kerusakan saraf
akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian. Nyeri yang dirasakan
memerlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis
terkait dengan agen pemblok nyerinya (Rhondianto,2008). Pasien yang mulai
sadar memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa
sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan
diberitahu apa yang sedang dilakukan (Abrorshodiq, 2009).