Anda di halaman 1dari 116

STRATEGI DAKWAH M.

NATSIR DALAM MENGHADAPI


MISIONARIS KRISTEN

SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Mencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Manajemen Dakwah (MD)

SRI WAHYUNI
1105054

FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG

2010

NOTA PEMBIMBING
Lamp : 5 (eksemplar)
Hal
: Persetujuan Naskah
Skripsi
Kepada
Yth. Bapak Dekan Fakultas Dakwah
IAIN Walisongo Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana mestinya,
maka kami menyatakan bahwa skripsi saudari :
Nama
: Sri Wahyuni
NIM
: 1105054
Jurusan
: DAKWAH /MD
Judul Skripsi : STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM
MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN
Dengan ini telah saya setujui dan mohon agar segera diujikan. Demikian
atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wassalamu alaikum Wr. Wb.

Bidang Substansi Materi

Drs. H. M. Zein Yusuf, MM


NIP. 195309091982031003

Semarang, Mei 2010


Pembimbing,
Bidang Metodologi & Tatatulis

Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.Si


NIP. 197307101999031004

ii

SKRIPSI
STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI
MISIONARIS KRISTEN

Disusun oleh:
Sri Wahyuni
1105054

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji


Pada tanggal: 21 Juni 2010
Dan dinyatakan telah lulus memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji

Ketua Sidang

Sekretaris Sidang

Drs. H. Anasom, M.Hum


NIP. 19661225 199403 1004

Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.Si


NIP. 19730710 199903 1004

Penguji I

Penguji II

Dr. H. Awaludin Pimay, Lc., M.Ag


NIP. 19610727 200003 1001

Saerozi, S.Ag. M.Pd


NIP. 19710605 199803 1004

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. H. M. Zain Yusuf, MM


NIP. 19530909 198203 1003

Thohir Yuli Kusmanto,S.Sos., M.Si


NIP. 19730710 199903 1004
iii

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan
daftar pustaka

Semarang, 14 Mei 2010

SRI WAHYUNI
1105054

iv

MOTTO

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah


dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk (Depag RI,1978: 421)

Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas


jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S.
al-Baqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).

PERSEMBAHAN

Dalam perjuangan mengarungi ilahi tanpa batas,dengan keringat dan air


mata kupersembahkan karya tulis ini teruntuk orang-orang yang selalu hadir dan
berharap keridhaan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang tetap setia berada
diruang dan waktu kehidupanku khususnya buat:
v Ayahanda Muchtar dan Ibunda Rusmiyati yang dengan tabah mengasuh
penulis mulai kecil sampai dewasa dan mencurahkan jiwa raganya. Dan
dengan kesabarannya membesarkan, mendidik penulis hingga seperti sekarang
ini, serta do'anya yang tak putus-putus sehingga penulis dapat melanjutkan
studi sampai ke perguruan tinggi dan semoga beliau tetap diberi kesehatan,
umur panjang dan selamat dunia dan akhirat.
v Kakakku tercinta Edi Hartanto, Anisah yang selalu memberikan support, baik
moral maupun material, sehingga terselesaikannya skripsi ini, dan Adikku
Dewi Rosmita Sari, Roy Andes Santoni dan keponakanku Evan Hardiansah,
M. Aldo Fikar Almansyah yang selalu memberikan warna dalam kehidupan
penulis serta memberikan inspirasi untuk terus berjuang dalam menggapai
cita-cita.
v Teman-teman

satu

kost

Segaran

Semarang

No.

14,

yang

selalu

mendampingiku dalam suka dan duka dalam hidup dan kehidupan Kak
Dahlia, Suyati, Wati, Safiah, Zahroul, Ernik, Mahfudzoh, Asyiah yang selalu
memberikan support untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan lancar, do'a
penulis semoga amal baik kalian dibalas lebih oleh Allah SWT.
v Teman-teman satu kelas MD 2005, Nurul Khikmah, Dewi Thoharoh, Suyati,
Okta Laila, Siti Zulaikhah, Arifin, Bambang, Bowo, Dibyo, Khoirul tempat
berbagi suka maupun duka serta yang selalu memberikan suport dan
dukungan.
v Pendamping hidupku (M. Bagus Ibrahim) yang tidak pernah menyerah dalam
memberikan motivasi kepada penulis untuk menemukan arti dan tujuan
kehidupan, sehingga terselesaikannya skripsi ini.
vi

ABSTRAK
Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda nasional
bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena masa
depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana keharmonisan
hubungan antarumat beragama ini. Yang menjadi rumusan masalah yaitu
bagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah? Bagaimana pandangan M
Natsir tentang misionaris Kristen? Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsir
dalam menghadapi misionaris Kristen?
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data
skripsi ini dengan teknik dokumentasi atau studi dokumenter. Data Primernya
yaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan karya-karya M. Natsir
tentang strategi dakwah dan misionaris Kristen, sedangkan data sekundernya
yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini. Penulisan ini
menggunakan metodologi analisis yang kualitatif.
Hasil pembahasan skripsi adalah pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwa
M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan materi dakwah.
Dilihat dari segi isi dan sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memiliki
kemampuan intelektual yang utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuh
pesan dakwah yang disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial.
Dalam dimensi spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek
dakwah dengan berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan.
Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan
pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik,
ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkan
umat bahwa Islam itu meliputi ajaran spiritual dan sosial. Pandangan M
Natsir tentang misionaris Kristen, bahwa pandangan M. Natsir dalam
menghadapi misionaris Kristen dikenal apa yang disebut konsep modus
vivendi. Menurut M. Natsir modus vivendi adalah menciptakan kehidupan
berdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut dapat dipahami
karena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut. Pertama, antara
pemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup berdampingan. Kedua, agar
semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan
pemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda
agama. Keempat, menghindari terjadinya perang agama. Strategi dakwah M.
Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M. Natsir mengetengahkan tiga
strategi dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu
strategi pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang
kedua adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang
berpotensi terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu
menerbitkan berbagai media cetak.

vii

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq
dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM
MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN ini, disusun untuk memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1) Fakultas
Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos., M.Si selaku Dosen pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan
dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Segenap Bapak, Ibu tenaga edukatif dan administratif Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang yang telah memperlancar proses pembuatan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Semarang, 14 Mei 2010

Penulis

viii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING.......................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... vi
ABSTRAKSI............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

....................................................................1

1.2.Perumusan Masalah ...................................................................10


1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian...................................................10
1.4.Tinjauan Pustaka

....................................................................11

1.5.Metoda Penelitian ....................................................................16


1.6.Sistematika Penulisan ................................................................18
BAB II: DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS
2.1.Dakwah

....................................................................20

2.1.1. Konsep tentang Dakwah ..................................................20


2.1.2. Tujuan Dakwah ................................................................22
2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah .......................................................24
2.2.Strategi

....................................................................41

2.2.1. Pengertian Strategi ...........................................................41


2.2.2. Strategi Dakwah ...............................................................43
2.3.Konsep Misionaris ....................................................................45

ix

BAB III: STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI


MISIONARIS KRISTEN
3.1. Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya................. 49
3.2. Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris
Kristen

.............................................................. 53

3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama ............................. 53


3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/
Katholik di Indonesia........................................................ 60
3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama........................................ 65
3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi .................................. 67
BABIV: ANALISIS

STRATEGI

DAKWAH

M.

NATSIR

DALAM

MENGHADAPI MISIONARIS KRISTEN


4.1. Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah....................................74
4.2. Konsep Dakwah M.Natsir dalam menghadapi misionaris
Kristen........................................................................................... 81
4.3.Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi Misionaris
Kristen...........................................................................................96

BAB V : PENUTUP
5.1.Kesimpulan

....................................................................101

5.2.Saran-Saran

....................................................................102

5.3.Penutup

....................................................................102

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap pemeluk agama menginginkan agar agamanya banyak yang
memeluk, tidak terkecuali agama Kristen. Hanya saja para misionaris (utusan
penyebar injil) seringkali menggunakan cara-cara yang tidak terpuji yaitu
menyebarkan agama di kalangan orang yang non Kristen yaitu para pemeluk
agama Islam. Fenomena ini sangat menyinggung perasaan orang Islam
terlebih lagi para pemuka agama Islam termasuk di dalamnya para da'i.
Melihat kenyataan ini, para misionaris menganggap Islam tidak toleran,
sebaliknya kalangan pemeluk Islam menganggap justru Kristen yang tidak
toleran. Peristiwa ini terus berlangsung hingga munculnya berbagai
propaganda dan cara untuk menjadikan penganut Islam keluar dari agamanya.
Hal itu dilakukan bisa dalam bentuk yang halus dan tak kentara sampai bentuk
yang terang-terangan. Persoalan ini yang menjadi salah satu pemicu timbulnya
saling curiga antara agama yang melibatkan kecurigaan para pemeluknya serta
menimbulkan berbagai hujatan yang dialamatkan pada para misionaris
Kristen. Dari kecurigaan tersebut, maka peristiwa pertikaian, peledakkan bom
di beberapa gereja memunculkan sebuah asumsi yang dikembangkan oleh
sebagian para misionaris sebagai kelakuan orang Islam yang benci terhadap
keberadaan umat Kristen di Indonesia. Padahal Islam bukan agama kekerasan
dan tidak ada dalam ajarannya yang memerintahkan pengeboman karena

hanya lantaran perbedaan agama. Dari sini tampaknya umat Kristiani telah
membuat penilaian yang keliru
Berbagai peristiwa yang mengagetkan hampir mewarnai media cetak
dan elektronika. Dalam Harian Kompas (2006: 6) diberitakan bahwa beberapa
tempat obyek wisata seperti Bali dan tempat ibadah luluh lantak oleh bom
yang dijatuhkan sekelompok orang yang disebut teroris. Banyak kejadian jika
ditelusuri lebih jauh dan mendalam merupakan "simbol-simbol" dari apa yang
selama ini telah dilakukan dalam bermasyarakat.
Masyarakat beragama sering diguncang dengan banyaknya peristiwa
yang sentimentil, rasial, dan agama dengan upaya-upaya mengail di "air
keruh" sehingga tampaknya bermuatan keagamaan. Peristiwa yang sama
sekali bukan bermuara agama, berubah menjadi peristiwa yang sarat dengan
sentimen-sentimen keagamaan, sehingga tidak jarang membuyarkan anganan
bahwa agama adalah pembawa damai dan keselamatan bersama. Agama
menjadi semacam ancaman yang bisa dengan tiba-tiba datang memberangus
kehidupan bersama di bumi ini.
Fenomena di masyarakat telah menampakkan adanya serangkaian aksi
teroris yang meledakkan bom di beberapa tempat dan melukai orang-yang
tidak bersalah telah memicu kecemasan bangsa Indonesia. Padahal ajaran
agama melarang keras membunuh orang yang tidak bersalah dan tidak
memerangi. Namun kenyataan menunjukkan adanya keyakinan yang keliru
dari para teroris dalam memperjuangkan konsep jihad. Fenomena pengeboman
ini telah memicu antipati bagi kelompok agama yang kebetulan tempat

ibadahnya rusak dalam sekejap akibat pengeboman (Harahap dan Nasution,


2003: 320).
Islam memberikan perlindungan terhadap pemeluk-pemeluk agama
lain yang ingin hidup secara damai dalam masyarakat atau pemerintahan yang
dikuasai oleh kaum Muslimin. Mereka diperlakukan dengan cara yang baik
dan adil, seperti yang berlaku terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani di
zaman pemerintahan Rasulullah di Madinah. Orang-orang Yahudi dan Nasrani
itu diberikan kebebasan menjalankan agamanya seperti kebebasan yang
diberikan kepada orang-orang Islam sendiri. Hak-hak mereka dilindungi dan
dijamin dalam suatu bentuk perjanjian. Menurut hukum antar-golongan dalam
Islam, mereka itu dinamakan kaum Zimmi, yaitu orang-orang yang mendapat
jaminan, perlindungan dari masyarakat Islam (Ghazali, 2005: 55).
Islam

merupakan

agama

yang

paling

toleran,

Islam

tidak

membenarkan meng-klaim agama lain tidak benar tetapi dalam kenyataannya


banyak peristiwa perpecahan antar agama yang dipicu oleh keyakinan yang
keliru terhadap agama, dengan klaim agamaku sebagai agama yang paling
benar (Ma'arif, 2005: 36). Kaum Muslimin diikat oleh suatu peraturan supaya
hidup bertetangga dan bersahabat dengan orang-orang yang memeluk agama
lain itu. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar
undang-undang perjanjian itu. Apabila orang-orang yang memeluk agama lain
itu memajukan suatu pengaduan atau perkara, maka pengaduan itu wajib
diperiksa dan ditimbang secara adil. Umat Islam dilarang menganiaya,
mengusik, mengganggu dan menghina pemeluk-pemeluk agama lain dan

dilarang menahan dan merampas hak-milik mereka (Harahap dan Nasution,


2003: 321).
Agama dalam kehidupan masyarakat majemuk selain dapat berperan
sebagai

faktor

pemersatu

(integratif)

juga

sebagai

faktor

pemecah

(disintegratif). Fenomena ini banyak ditentukan oleh empat hal: (1) Teologi
agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam
memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural
yang mengelilinginya, (4) peranan dan pengaruh pemuka agama tersebut
dalam mengarahkan pengikutnya (Harahap dan Nasution, 2003: 320 322).
Dalam sejarah Islam, toleransi dalam kehidupan beragama telah
dipraktikkan. Salah satu yang sangat menonjol ialah "Piagam Madinah" yang
disusun oleh Rasulullah, sesaat setelah berhijrah dari Madinah ke Mekah dan
pimpinan agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai
antarumat beragama. Demikian pula ketika Umar bin Khattab memimpin
pemerintahan tahun 15 Hijriah mengadakan perjanjian terhadap penduduk
yang beragama Nasrani Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam
perjanjian itu antara lain disebutkan jaminan untuk jiwa dan harta mereka, dan
untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit
ataupun sehat dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Bahkan jauh hari
Al-Qur'an telah mensinyalir akan muncul bentuk klaim kebenaran, baik dalam
wilayah intern umat beragama maupun antarumat beragama. Kedua-duanya
sama-sama tidak menyenangkan dan tidak kondusif bagi upaya membangun
tata pergaulan masyarakat yang sehat (Harian Suara Merdeka, 2006: 9).

Islam mengakui hak hidup agama-agama lain, dan membenarkan para


pemeluk agama lain tersebut untuk menjalankan ajaran agama masing-masing.
Di sini, terdapat dasar ajaran Islam mengenai toleransi beragama. Toleransi
tidak diartikan sebagai sikap masa bodoh terhadap agamanya, atau bahkan
tidak perlu mendakwahkan ajaran kebenaran yang diyakininya itu. Oleh
karena itu, setiap orang yang beriman senantiasa terpanggil untuk
menyampaikan kebenaran yang diketahui dan diyakininya, tetapi harus
berpegang teguh pada etika dan tata krama sosial, serta tetap menghargai hakhak individu untuk menentukan pilihan hidupnya masing-masing secara
sukarela. Sebab, pada hakikatnya hanya di tangan Tuhanlah pengadilan atau
penilaian sejati akan dilaksanakan. Pengakuan akan adanya kebenaran yang
dianut memang harus dipertahankan. Tetapi, pengakuan itu harus memberi
tempat pula pada agama lain sebagai sebuah kebenaran yang diakui secara
mutlak oleh para pemeluknya (Ghazali, 2005: 55-58).
Islam merupakan agama termuda dalam tradisi Ibrahimi (artinya Islam
lahir belakangan dibandingkan agama semisal Yahudi dan Kristen).
Pemahaman diri Islam sejak kelahirannya pada abad ke-7 sudah melibatkan
unsur kritis pluralisme, yaitu hubungan Islam dengan agama lain. Melacak
akar-akar pluralisme dalam Islam, berarti ingin menunjukkan bahwa agama
Islam bisa mengungkap diri dalam suatu dunia agama pluralistis. Islam
mengakui dan menilainya secara kritis, tapi tidak pernah menolaknya atau
menganggapnya salah. Sejak kelahirannya, memang Islam sudah berada di
tengah-tengah budaya dan agama-agama lain. Nabi Muhammad Saw ketika

menyiarkan agama Islam sudah mengenal banyak agama semisal Yahudi dan
Kristen. Di dalam Al-Qur'an pun banyak ditemukan rekaman kontak Islam
serta kaum muslimin dengan komunitas-komunitas agama yang ada di sana.
Perdagangan yang dilakukan bangsa Arab pada waktu itu ke Syam, Irak,
Yaman, dan Etiopia, dan posisi kota Mekah sebagai pusat transit perdagangan
yang menghubungkan daerah-daerah di sekeliling jazirah Arab membuat
budaya Bizantium, Persia, Mesir, dan Etiopia, menjadikan agama-agama yang
ada di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya, tidak asing lagi bagi Nabi
Muhammad Saw (Ma'arif, 2005: 36-38).
Pandangan tentang manusia memiliki akar-akarnya dalam setiap segi
ajaran Islam. Bahkan Islam itu sendiri adalah agama kemanusiaan, dalam arti
bahwa ajaran-ajarannya sejalan dengan kecenderungan alami manusia
menurut fitrahnya yang abadi (perennial). Karena itu seruan untuk menerima
agama yang benar itu dikaitkan dengan fitrah tersebut, sebagaimana dapat kita
baca dalam Kitab Suci al-Qur'an surat a-Baqarah (2) ayat 256 :

Artinya: Tidak ada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas


jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. alBaqarah (2): 256) (Depag, 1986: 63).

Jadi menerima agama yang benar tidak boleh karena terpaksa. Agama
itu harus diterima sebagai kelanjutan atau konsistensi hakikat kemanusiaan itu
sendiri. Dengan kata lain, beragama yang benar harus merupakan kewajaran
manusiawi. Cukuplah sebagai indikasi bahwa suatu agama atau kepercayaan
tidak dapat dipertahankan jika ia memiliki ciri kuat bertentangan dengan
naluri kemanusiaan yang suci. Karena itu dalam firman yang dikutip tersebut
ada penegasan bahwa kecenderungan alami manusia kepada kebenaran
(hanifiyah) sesuai dengan kejadian asalnya yang suci (fitrah) merupakan
agama yang benar, yang kebanyakan manusia tidak menyadari (Madjid, 2000:
24).
Kerukunan antar umat beragama kiranya akan menjadi agenda
nasional bahkan internasional yang tak kunjung usai. Ini bisa dipahami karena
masa depan suatu bangsa sedikit banyak tergantung pada sejauh mana
keharmonisan

hubungan

antarumat

beragama

ini.

Kegagalan

dalam

merealisasikan agenda ini akan mengantarkan suatu bangsa pada trauma


terpecah belahnya sebagai bangsa (Shihab, 1988: 133). Dalam Al-Quran surat
al-Mumtahanah (60) ayat 8 Allah SWT berfirman:

Artinya:Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku


adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil


(Q.S. al-Mumtahanah (60): ayat 8) (Depag, 1986: 924).
Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa umat Islam tidak memusuhi
umat beragama lain, khususnya Kristen. Sebaliknya para misionaris Kristen
juga harus menjaga etika dalam menyebarkan agamanya. Para misionaris
jangan seenaknya menyebarkan agama dan menarik-narik orang Islam masuk
kedalam agamanya. Atas dasar itu dapat dimengerti jika M. Natsir menaruh
perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia. Perhatian khusus ini
dituangkan dalam bentuk konkrit dengan melakukan tiga upaya besar, sebagai
strategi dakwah yaitu (1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung
kristenisasi; (2) menulis karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan
Kristen di Indonesia; (3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Paus II di
Vatikan dengan permohonan agar membuka mata , memperhatikan
kristenisasi yang tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan
penduduk mayoritas muslim. M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini
pada tiga hal utama, yaitu (1) kristenisasi itu sendiri; (2) diakonia pelayanan
yang berkedok sosial); (3) modus vivendi (metode yang memungkinkan antara
kedua belah pihak yang bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam
sementara waktu dengan jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan
sementara, jalan tengah)
M. Natsir sangat memahami bahwa untuk membendung kristenisasi
harus menggunakan strategi dakwah karena dakwah demikian penting untuk
memperkokoh akidah umat Islam. Urgensi dakwah yaitu dakwah dapat
8

memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana sikap


umat Islam dalam beragama. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam
memaknai agama dapat dikurangi.
Pada waktu M. Natsir hidup ada suatu fenomena yaitu misionaris
dengan gencar memperluas ajaran kristenisasi di kalangan umat Islam.
Misionaris melakukan proses penginjilan dengan berbagai cara. Di antaranya,
pertama, melalui semboyan cinta kasih mendatangi rumah umat Islam, dari
rumah kerumah dijalani proses penginjilan; kedua, dengan memberi supermi
dan beras merayu umat Islam agar memasuki ajarannya; ketiga, dengan
semboyan menolong, para misionaris mencari umat Islam yang sedang terjepit
utang lalu misionaris mengulur tangan membantu membayarkan hutang.
Kondisi yang riskan ini mendorong M. Natsir merancang strategi dakwah
untuk membendung upaya-upaya yang sedang ditempih misionaris.
Menariknya meneliti konsep M. Natsir yaitu karena ia merupakan
salah seorang putra Indonesia yang dikenal sebagai birokrat, politisi dan juga
sebagai dai ternama. Sebagai birokrat, M. Natsir pernah menduduki dua
jabatan penting, yaitu menteri penerangan dalam Kabinet Syahrir dan perdana
menteri pertama pada masa pemerintahan Soekarno. Sebagai politisi, M.
Natsir telah menduduki jabatan puncak partai Islam terbesar, yaitu Masyumi
dan pernah memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Adapun sebagai
seorang dai ternama, M. Natsir pernah menduduki jabatan sebagai Wakil
Presiden Muktamar Alam Islami sekaligus juga sebagai tokoh puncak

Rabithah Alam Islami, serta menjadi Ketua Dewan Dakwah Islamiyah


Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya tahun 1993.
Berdasarkan keterangan tersebut, mendorong peneliti memilih judul
Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara
tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya
(Suriasumantri, 1993: 312). Berdasarkan keterangan ini maka yang menjadi
perumusan masalah yaitu
1.2.1. Bagaimana pandangan M Natsir tentang dakwah?
1.2.2. Bagaimana pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen?
1.2.3. Bagaimanakah strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi
misionaris Kristen?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan penelitian ini:
1.3.1.1. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang dakwah
1.3.1.2. Untuk mengetahui pandangan M Natsir tentang misionaris
Kristen
1.3.1.3. Untuk mengetahui strategi dakwah M. Natsir dalam
menghadapi misionaris Kristen
1.3.2 Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi:
1.3.2.1 Secara teoritis, yaitu untuk menambah pengembangan ilmu
Fakultas Dakwah khususnya jurusan Manajemen Dakwah,

10

dengan harapan dapat dijadikan salah satu bahan studi banding


oleh peneliti lainnya.
1.3.2.2 Secara praktis yaitu dapat dijadikan masukan pada umat Islam
dan umat Kristen dalam menyebarkan agama.
1.4 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa skripsi dan beberapa buku yang membahas masalah
strategi dakwah, namun belum ada yang membahas secara khusus pendapat
M. Natsir dalam hubungannya dengan misionaris Kristen. Di antara karya
ilmiah yang membahas secara umum sebagai berikut:
1. Skripsi yang disusun oleh Tri Sulis Setiyaningsih (Tahun 2006),
Fanatisme dan Toleransi Beragama Menurut Yusuf al-Qardhawi. Yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian di atas adalah bagaimana
fanatisme dan toleransi beragama menurut Yusuf al-Qardhawi dalam buku
Kebangkitan Gerakan Islam Dari Masa Transisi Menuju Kematangan.
Metode penelitian ini menggunakan hermeneutik. Hasil penelitian
menunjukkan, dalam hubungannya dengan toleransi, Yusuf Al-Qardawi
menegaskan: tak bisa dipungkiri, kita memerlukan sikap toleran yang
membuka jendela bagi pihak lain, dan tidak memusuhi mereka yang
berbeda. Yaitu, berupa toleransi agama, toleransi pemikiran, serta toleransi
politik, yang melapangkan semua manusia sekalipun mereka berbeda satu
dengan yang lain. Toleransi Agama, teks-teks agama yang agung
mewajibkan toleransi tersebut, khususnya toleransi agama, bahkan, agama
memerintahkan dan menganjurkannya. Di antara bidang garapan toleransi
11

agama ini ialah; penerimaan dialog Islam-Kristen, selama jelas tujuantujuannya, gamblang pengertiannya, dan kaum muslimin yang terlibat
dalam dialog tersebut merupakan orang-orang yang memiliki kapasitas
keagamaan dan keilmuan yang memadai. Terlebih dahulu, harus memiliki
kesepakatan tentang tujuan dialog semacam ini. Banyak kaum muslimin
takut menghadapi dialog dengan orang-orang yang berbeda (pendapat dan
keyakinan).

Seolah-olah

mereka

khawatir

dialog

tersebut

akan

menyebabkan pihak muslim menarik diri dari akidah, syari'at, serta nilainilainya. Hal semacam ini tak bisa dibayangkan muncul dari seorang
muslim yang benar keislamannya, kuat imannya, rela menjadikan Allah
sebagai Tuhan, menjadikan Islam sebagai agama, dan menjadikan
Muhammad sebagai Nabi serta Rasul.
2. Skripsi yang disusun oleh Sulistiyono (Tahun 2005), Studi Analisis
Pendapat Jalaluddin Rakhmat tentang Konsep Dakwah Islam dalam
Pendidikan. Pada intinya dijelaskan bahwa bentuk-bentuk dakwah Islam
dalam pendidikan dapat ditarik dari dua ayat Al-Quran yang berkenaan
dengan tugas Nabi s.a.w. sebagai da'i:
"Orang-orang yang mengikuti Nabi yang ummi, yang namanya
mereka temukan termaktub dalam Taurat dan Injil di sisi mereka:
memerintahkan yang ma'ruf, melarang yang munkar, menghalalkan
yang baik, mengharamkan yang jelek, dan melepaskan beban dari
mereka dan belenggu-belenggu yang (memasung) mereka. Maka
barangsiapa beriman kepadanya, memuliakannya, membantunya, serta
mengikuti cahaya yang diturunkan besertanya, mereka itulah orangorang yang berbahagia." (QS. 7:157).
"Sesungguhnya, Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang
yang beriman, ketika la mengutus di tengah mereka Rasul dari
kalangan mereka sendiri, (yang) membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al12

Kitab dan al-Hikmah, walaupun mereka sebelumnya berada dalam


kesesatan yang nyata." (QS. 3:164; 2:129; 62:2).
Dari ayat pertama kita melihat ada tiga bentuk dakwah: amar
ma'ruf nahi munkar, menjelaskan tentang yang halal dan haram (syariat
Islam), meringankan beban penderitaan, dan melepaskan umat dari
belenggu-belenggu. Dari ayat kedua kita melihat ada tiga bentuk dakwah:
tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri
mereka), dan ta'lim (mengajarkan al-Kitab dan al-Hikmah). Seperti akan
saya jelaskan nanti, amar ma'ruf dan nahi munkar dapat dimasukkan
dalam tazkiyah, dan menjelaskan yang halal dan haram, termasuk ta'lim.
Dengan demikian, dakwah Islam dapat disimpulkan dengan empat bentuk:
tilawah, tazkiyah, ta'lim, dan ishlah (yang saya pakai untuk meringkaskan
pengertian tentang "melepaskan beban dan belenggu-belenggu".
3. Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Tahun
2001). Menurut penulis buku ini bahwa pada era globalisasi masa kini,
umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak
terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme
agama, konflik intern atau antar agama, adalah fenomena nyata. Di masa
lampau kehidupan keagamaan relatif lebih tentram karena umat-umat
beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan
dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang harus
ditanggapi oleh umat beragama yang dapat diklasifikasikan rancu dan
merisaukan.

Pluralitas

merupakan

kondisi

obyektif

dalam

suatu

masyarakat yang terdapat sejumlah group saling berbeda, baik strata


13

ekonomi, ideologi, keimanan (agama), maupun latar belakang etnis.


Sedangkan isme artinya paham, pemahaman atau memahami. Dari
pengertian ini dapat dipahami bahwa pluralisms adalah paham yang
menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan, keragaman
sebagai sebuah keniscayaan, sekaligus ikut secara aktif memberikan
makna signifikansinya dalam konteks pembinaan dan perwujudan
kehidupan berbangsa dan bernegara serta beragama. Dalam kehidupan
modern, masalah pluralisme dapat dikatakan sebagai agenda kemanusiaan
yang perlu mendapat perhatian dan respon secara aktif dan konstruktif dari
para

pemikiran

dan

cendekiawan.

Dikatakan

demikian,

karena

bagaimanapun pluralisme merupakan kenyataan sosiologis yang tidak


dapat dihindari. la merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan
yang telah menjadi ketentuan Tuhan. Pemahaman seperti ini sangat
dibutuhkan dalam segala perilaku kehidupan, termasuk dalam membangun
harkat dan martabat manusia.
4. Ghazali, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Toleransi Agama
(2004: 167). Toleransi beragama di Indonesia dikembangkan melalui
berbagai cara, di antaranya melalui dialog karena dialog selalu bermakna
menemukan bahasa yang sama, tetapi bahasa bersama ini diekspresikan
dengan kata-kata yang berbeda. Dialog didefinisikan sebagai pertukaran
ide yang diformulasikan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu,
setiap usaha mendominasi pihak lain harus dicegah; kebenaran satu pihak
tidak berarti ketidakbenaran di pihak lain. Bahasa bersama lebih dari

14

sekadar kemiripan pembahasan; dia berdasarkan kesadaran akan masalah


bersama, kita butuh alat untuk mencapai landasan bersama (Ghazali, 2004:
167). Akhir-akhir ini wacana tentang toleransi beragama, dialog antar
agama, pluralitas agama dan masalah-masalah yang mengitarinya semakin
menguat dan muncul ke permukaan. Buku-buku, tulisan- tulisan media
massa, dan acara-acara seminar, kongres, simposium, diskusi, dialog
seputar hubungan antarumat beragama semakin sering disaksikan dalam
berbagai

tingkat,

baik

lokal,

nasional,

maupun

internasional.

Kecenderungan menguatnya perbincangan seputar pluralitas agama dan


hubungan antarumat beragama ini akan semakin kuat di masa-masa
mendatang dan tidak akan pernah mengalami masa kadaluarsa. Sebab
topik ini adalah topik yang selalu aktual dan menarik bagi siapa pun yang
mencita-citakan terwujudnya perdamaian di bumi ini.
5. Achmad (2001: ix). Toleransi Agama Kerukunan dalam Keragaman.
Banyak hal yang melatarbelakangi mengapa wacana ini semakin marak.
Di antaranya: pertama, perlunya sosialisasi bahwa pada dasarnya semua
agama datang untuk mengajarkan dan menyebarkan damai dan
perdamaian dalam kehidupan umat manusia. Kedua, wacana agama yang
pluralis, toleran, dan inklusif merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran
agama itu sendiri. Sebab pluralitas apa pun, termasuk pluralitas agama,
dan semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Tuhan atau
sunnatullah yang tidak bisa diubah, dihalang-halangi, dan ditutup-tutupi.
Oleh karena itu, wacana pluralitas ini perlu dikembangkan lebih lanjut di

15

masyarakat luas. Hal ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan demi cita-cita
agama itu sendiri, yaitu kehidupan yang penuh kasih dan sayang
antarsesama umat manusia. Ketiga, ada kesenjangan yang jauh antara citacita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan umat beragama di
tengah masyarakat. Keempat, semakin menguatnya kecenderungan
eksklusivisme dan intoleransi di sebagian umat beragama yang pada
gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel
agama. Kelima, perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalahmasalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antarumat
beragama. Beberapa latar belakang di atas menjadi sebab mengapa tema
pluralitas agama dan cita-cita kerukunan menjadi semakin menarik untuk
dikaji dan didalami.
Karya-karya ilmiah sebagaimana disebutkan terdahulu belum ada yang
membahas Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi

Misionaris

Kristen.
1.5 Metoda Penelitian
1.5.1. Jenis, Pendekatan, dan Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yakni
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati
(Moleong, 2002: 3). Jenis penelitian kualitatif yang dipakai adalah
studi pustaka dan tokoh.

16

Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang


kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif
berdasarkan data langsung dari subyek penelitian (Fuchan, Maimun,
2005: 59 61). Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan
manajemen. Pendekatan ini diupayakan dengan menggunakan
pemikiran secara mendalam dengan memahami substansi strategi
dakwah M. Natsir.
Metode ini menguraikan dan menjelaskan strategi dakwah M.
Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen.
1.5.2. Sumber Data
a. Data primer yaitu tulisan, informasi dari saksi-saksi sejarah, dan
karya-karya M. Natsir tentang strategi dakwah dan misionaris
Kristen
b. Data sekunder yaitu dokumen-dokumen, notulis, foto-foto dan
tulisan tentang M. Natsir (internet, jurnal-jurnal, surat kabar dan
lain-lain).
1.5.3. Metode Pengumpulan Data
Menurut Sumadi Suryabrata (1992: 84), kualitas data
ditentukan oleh kualitas alat pengambil data atau alat pengukurnya.
Berpijak dari keterangan tersebut, peneliti menggunakan teknik
dokumentasi atau studi dokumenter yang menurut Arikunto (2002:
206) yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
17

agenda, dan sebagainya Yang dimaksud dokumentasi dalam tulisan


ini yaitu sejumlah data yang terdiri dari data primer dan sekunder.
1.5.4. Teknik Analisis Data
Penulisan ini menggunakan metodologi analisis yang
kualitatif. Dalam studi tokoh ini data dianalisis secara induktif
berdasarkan data langsung dari subyek penelitian. Oleh karena itu
pengumpulan dan analisis data dilakukan secara bersamaan, bukan
terpisah sebagaimana penelitian kuantitatif di mana data dikumpulkan
terlebih dahulu, baru kemudian dianalisis. Analisis data kualitatif
dalam studi tokoh ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai
berikut: menemukan pola atau tema tertentu. Artinya peneliti berusaha
menangkap karakteristik konsep Natsir dengan cara menata dan
melihatnya berdasarkan dimensi suatu bidang keilmuan sehingga
dapat ditemukan pola atau tema tertentu. Mencari hubungan logis
antar konsep Natsir dalam berbagai bidang, sehingga dapat ditemukan
alasan mengenai pemikiran tersebut. Di samping itu, peneliti juga
berupaya untuk menentukan arti di balik pemikiran tersebut
berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik yang mengitarinya.
Mengklasifikasikan dalam arti membuat pengelompokan konsep
Natsir sehingga dapat dikelompokkan ke dalam berbagai aspek
(Fuchan, Maimun, 2005: 59 61)

18

1.6 Sistematika Penulisan


Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
penelitian disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang
satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian
rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoritik, metoda penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi tinjauan umum tentang strategi dakwah yang
meliputi: Tentang Dakwah (pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur
dakwah). Strategi dakwah (batasan strategi, strategi dakwah, misionaris)
Bab ketiga berisi strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi
misionaris Kristen yang meliputi: biografi M. Natsir, pendidikan dan karyakaryanya. Strategi dakwah M. Natsir dakwah dalam menghadapi misionaris
Kristen
Bab keempat berisi analisis strategi dakwah M. Natsir dalam
menghadapi misionaris Kristen, meliputi: Pandangan M. Natsir tentang
dakwah, konsep dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen dan
strategi dakwah M Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran
yang layak dikemukakan.

19

BAB II
DAKWAH, STRATEGI DAKWAH DAN MISIONARIS

2.1 Dakwah
2.1.1 Konsep tentang Dakwah
Kata da'wah (

) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:

"seruan, ajakan, panggilan, undangan, pembelaan, permohonan (do'a)


(Pimay, 2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat
tentang definisi dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah
mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti
petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Menurut Anshari (1993: 11), dakwah
adalah semua aktifitas manusia muslim di dalam berusaha merubah
situasi kepada situasi yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT dengan
disertai kesadaran dan tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri,
orang lain, dan terhadap Allah SWT. Umar (1985: 1), dakwah adalah
mengajak manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar
sesuai dengan perintah Tuhan, untuk kemaslahatan dan kebahagiaan
mereka di dunia dan di akhirat.
Umary (1980: 52), dakwah adalah mengajak orang kepada
kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh
kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang. Sanusi (t.th: 11),
dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat,
memperbaiki

kerusakan-kerusakan,

20

melenyapkan

kebatilan,

kemaksiatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian,


dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar,
memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak
pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap
orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi
untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru
dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 1).
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu
proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban
dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan
Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami
(Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi
masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi
masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Zahrah (1994:
32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amr ma'ruf
dan nahy munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai
makna amr ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni
mengesakan pada zat sifatNya. Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya
dakwah

Islam

merupakan

aktualisasi

imani

(teologis)

yang

dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam


bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk
mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia
pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka

21

mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan


dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, , 1983: 2).
Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut tersebut
meskipun terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila
dikaji dan disimpulkan maka dakwah akan mencerminkan hal-hal
seperti berikut: pertama, dakwah adalah suatu usaha atau proses yang
diselenggarakan dengan sadar dan terencana; kedua, usaha yang
dilakukan adalah mengajak umat manusia ke jalan Allah, memperbaiki
situasi yang lebih baik (dakwah bersifat pembinaan dan pengembangan);
ketiga, usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu,
yakni hidup bahagia sejahtera di dunia ataupun di akhirat.
2.1.2 Tujuan Dakwah
Barmawie Umary (1984: 55) merumuskan, tujuan dakwah
adalah memenuhi perintah Allah Swt dan melanjutkan tersiarnya syari'at
Islam secara merata. Dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental
dan tingkah laku manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau
meningkatkan kualitas iman dan Islam seseorang secara sadar dan
timbul dari kemauannya sendiri tanpa merasa terpaksa oleh apa dan
siapa pun.
Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah
suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan
akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab
hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman.

22

Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah
menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu maupun
masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan
sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47).
Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an menurut Aziz
(2004: 68) adalah :
1. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.

( :

) ...

Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada


iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7)
(Depag RI,1978: 978).
2. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.

Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka,


bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu,
dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada
yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya
aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya
aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS.
ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375).
3. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.

23

)...

Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786).
4. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.

( :

Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan


yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534).
5. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke
dalam lubuk hati masyarakat.

Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari


(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu
diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan)
Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orangorang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87)
(Depag RI,1978: 612).
2.1.3 Unsur-Unsur Dakwah
Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut
pautnya dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut
tentang kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut
adalah da'i (pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah),
24

materi

dakwah/maddah, waslah (media dakwah), tharqah (metode), dan atsar


(efek dakwah).
a. Subjek Dakwah
Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu
orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun
berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi
informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105). Menurut Helmy
(1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugastugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh.
Kata da'i ini secara umum sering disebut dengan sebutan
mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam) namun
sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat
umum cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan
ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib (orang
yang berkhutbah), dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para
pakar dalam bidang dakwah, yaitu:
1. Hasjmy (1984: 186) menjelaskan tentang juru dakwah adalah
para penasihat, para pemimpin dan pemberi periingatan, yang
memberi nasihat dengan baik, yang mengarang dan berkhutbah,
yang memusatkan kegiatan jiwa raganya dalam wa'ad dan wa id
(berita pahala dan berita siksa) dan dalam membicarakan tentang

25

kampung akhirat untuk melepaskan orang-orang yang karam


dalam gelombang dunia.
2. M. Natsir (tth: 119) menjelaskan bahwa pembawa dakwah
merupakan orang yang memperingatkan atau memanggil supaya
memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada keuntungan
Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial,
sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud
dalam kehidupan masyarakat. Biar bagaimanapun baiknya ideologi
Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai
ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada
manusia yang menyebarkannya (Ya'qub, 1981: 37).
Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang
yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuanketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk
kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan
missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban
berdakwah, melakukan amar ma ruf nahi munkar. Jadi mustinya
setiap muslim itu hendaknya pula menjadi dai karena sudah menjadi
kewajiban baginya.
Sungguhpun demikian, sudah barang tentu tidak mudah
berdakwah dengan baik dan sempurna, karena pengetahuan dan
kesanggupan setiap orang berbeda-beda pula. Namun bagaimanapun,

26

mereka wajib berdakwah menurut ukuran kesanggupan dan


pengetahuan yang dimilikinya.
Sejalan dengan keterangan tersebut, yang berperan sebagai
muballigh dalam berdakwah dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Secara umum; adalah setiap muslim atau muslimat yang
mukallaf, dimana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan
suatu yang melekat tidak terpisahkan dari missionnya sebagai
penganut Islam.
2. Secara khusus; adalah mereka yang mengambil keahlian khusus
(mutakhassis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan
ulama (Tasmara, 1997: 41-42)
Anwar Masy'ari (1993: 15-29) dalam bukunya yang berjudul:
"Butir-Butir Problematika Dakwah Islamiyah" menyatakan, syaratsyarat seorang da'i harus memiliki keadaan khusus yang merupakan
syarat baginya agar dapat mencapai sasaran dan tujuan dakwah
dengan sebaik-baiknya.
Syarat-syarat itu ialah:
Pertama, mempunyai pengetahuan agama secara mendalam,
berkemampuan untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan
keterangan yang memuaskan.
Syarat

kedua,

yaitu

tampak

.pada

diri

da'i

keinginan/kegemaran untuk melaksanakan tugas-tugas dakwah dan

27

penyuluhan semata-mata untuk mendapatkan keridaan Allah dan


demi perjuangan di jalan yang diridhainya.
Syarat ketiga, harus mempelajari bahasa penduduk dari suatu
negeri, kepada siapa dakwah itu akan dilancarkan. Sebabnya dakwah
baru akan berhasil bilamana da'i memahami dan menguasai prinsipprinsip

ajaran

Islam

dan

punya

kemampuan

untuk

menyampaikannya dengan bahasa lain yang diperlukan, sesuai


dengan kemampuannya tadi.
Harus mempelajari jiwa penduduk dan alam lingkungan
mereka, agar kita dapat menggunakan susunan dan gaya bahasa yang
dipahami oleh mereka, dan dengan cara-cara yang berkenan di hati
para pendengar. Sudahlah jelas bahwa untuk setiap sikon ada katakata dan ucapan yang sesuai untuk diucapkan; sebagaimana untuk
setiap kala-kata dan ucapan ada pula sikonnya yang pantas untuk
tempat menggunakannya.
Syarat keempat, harus memiliki perilaku, tindak tanduk dan
perbuatan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan suri-teladan
bagi orang-orang lain.
Hamka, (1984: 228-233) berpandangan tentang standar
seorang da'i dalam delapan kriteria sebagai berikut :
1. Hendaklah seorang dai melihat dirinya sendiri apakah niatnya
sudah bulat dalam berdakwah. Kalau kepentingan dakwahnya
adalah untuk kepentingan diri sendiri, popularitas, untuk

28

kemegahan dan pujian orang, ketahuilah bahwa pekerjaannya itu


akan berhenti di tengah jalan. Karena sudah pasti bahwa di
samping orang yang menyukai akan banyak pula yang tidak
menyenangi.
2. Seorang dai mengerti benar soal yang akan diucapkannya.
3. Seorang dai harus mempunyai kepribadian yang kuat dan teguh,
tidak mudah terpengaruh oleh pandangan orang banyak ketika
memuji,dan tidak tergoncang, ketika orang-orang melotot karena
tidak senang. Jangan ada cacat pada perangai, meskipun ada
cacat jasmani.
4. Pribadinya menarik, lembut tetapi bukan lemah, tawadhu tetapi
bukan rendah diri, pemaaf tetapi disegani.
5. Seorang dai harus mengerti pokok pegangan kita ialah Al
Quran dan As Sunnah, di samping itu pun harus mengerti ilmu
jiwa (Ilmu Nafs), dan mengerti adat-istiadat orang yang hendak
didakwahi.
6. Jangan membawa sikap pertentangan, jauhkan dari sesuatu yang
membawa perdebatan, sebab hal itu akan membuka masalah
khilafiyah.
7. Haruslah diinsyafi bahwa contoh teladan dalam sikap hidup,
jauh lebih berkesan kepada jiwa umat daripada ucapan yang
keluar dari mulut.

29

8. Hendaklah seorang da'i itu menjaga jangan sampai ada sifat


kekurangan yang akan mengurangi gengsinya dihadapan
pengikutnya.
b. Objek Dakwah
Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang
akan diajak ke dalam Islam secara kaffah (Muriah, 2000: 32). Pimay
(2006: 29) berpandangan bahwa objek dakwah adalah manusia yang
menjadi sasaran dakwah. Mereka adalah orang-orang yang telah
memiliki atau setidak-tidaknya telah tersentuh oleh kebudayaan asli
atau kebudayaan selain Islam. karena itu, objek dakwah senantiasa
berubah karena perubahan aspek sosial kultural, sehingga objek
dakwah ini akan senantiasa mendapat perhatian dan tanggapan
khusus bagi pelaksanaan dakwah
Berdasarkan keterangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa
unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi
sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama
Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara
keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:

: )

Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat


manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683).
30

Objek dakwah bisa juga terhadap manusia yang belum


beragama Islam, karena dakwah bertujuan untuk mengajak mereka
mengikuti agama Islam; sedangkan kepada orang-orang yang telah
beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas iman,
Islam, dan ihsan. Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat
disebut mad'u daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang
kedua lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal
sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain
sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak
kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
Al-Qur'an mengenalkan kepada kita beberapa tipe mad'u.
Secara umum mad'u terbagi tiga, yaitu: mukmin, kafir, dan munafik
(DEPAG RI, 1993: 5). Dari tiga klasifikasi besar ini mad'u masih
bisa dibagi lagi dalam berbagai macam pengelompokan. Orang
mukmin umpamannya bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: dzlim
linafsih, muqtashid, dan sbiqun bilkhairt. Kafir bisa dibagi
menjadi kafir zimmi dan kafir harbi (DEPAG RI, 1978: 890).
Mad'u (obyek dakwah) terdiri dari berbagai macam golongan
manusia. Oleh karena itu, menggolongkan mad'u sama dengan
menggolongkan manusia itu sendiri, profesi, ekonomi, dan
seterusnya. Penggolongan mad'u tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Dari segi sosiologis, masyarakat terasing, pedesaan, perkotaan,
kota kecil, serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar.

31

2. Dari struktur kelembagaan, ada golongan priyayi, abangan dan


santri, terutama pada masyarakat Jawa.
3. Dari segi tingkatan usia, ada golongan anak-anak, remaja, dan
golongan orang tua.
4. Dari segi profesi, ada golongan petani, pedagang seniman,
buruh, pegawai negeri.
5. Dari segi tingkatan sosial ekonomis, ada golongan kaya,
menengah, dan miskin.
6. Dari segi jenis kelamin, ada golongan pria dan wanita.
7. Dari segi khusus ada masyarakat tunasusila, tunawisma, tunakarya, narapidana, dan sebagainya (Arifin, 2000: 3).
c. Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh dai
kepada madu yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi
manusia yang bersumber al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu
membahas maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu
sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas, bisa dijadikan
sebagai maddah dakwah Islam (Ali Aziz, 2004: 194)
Materi dakwah, tidak lain adalah al-Islam yang bersumber
dari al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama yang meliputi akidah,
syari'ah dan akhlak dengan berbagai macam cabang ilmu yang
diperoleh darinya (Wardi Bachtiar, 1997: 33). Maddah atau materi

32

dakwah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga masalah pokok M.Daud


Ali (2000: 133-135 dan Asmuni Syukir (1983: 60-63):
a. Akidah
Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut
demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau
gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah
iman atau keyakinan. Karena itu akidah Islam ditautkan dengan
rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam.
b. Syariah
Syariat dalam Islam erat hubunganya dengan amal lahir
(nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah
guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia. Syariah
dibagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah
adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan
muamalah adalah ketetapan Allah yang berlangsung dengan
kehidupan sosial manusia. Seperti hukum warisan, rumah tangga,
jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya.
c. Akhlak
Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara
etimologi berati budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk
positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar, dan sifat

33

baik lainnya. Sedangkan yang negatif adalah akhlak yang sifatnya


buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat.
Akhlak tidak hanya berhubungan dengan Sang Khalik
namun juga dengan makhluk hidup seperti dengan manusia,
hewan dan tumbuhan. Akhlak terhadap manusia contohnya akhlak
dengan Rasulullah, orang tua, diri sendiri, keluarga, tetangga, dan
masyarakat
Akhlak terhadap Rasulullah antara lain
1. Mencintai Rasul secara tulus dengan mengikuti semua
sunnahnya.
2. Menjadikan Rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup
dan kehidupan
3. Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang
dilarang (M.Daud Ali, 1997: 356).
Akhlak terhadap orang tua antara lain :
1. Mencintai mereka melebihi cinta pada kerabat lainnya
2. Merendahkan diri kepada keduannya
3. Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat
4. Berbuat baik kepada Bapak Ibu
5. Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka.
(M.Daud Ali, 1997: 357)
Akhlak terhadap diri sendiri antara lain :
1. Memelihara kesucian diri

34

2. Menutup aurat
3. Jujur dalam perkataan dan perbuatan
4. Ikhlas
5. Sabar
6. Rendah diri
7. Malu melakukan perbuatan jahat
Akhlak terhadap keluarga antara lain:
1. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan
keluarga
2. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak
3. Berbakti kepada Ibu Bapak
4. Memelihara hubungan silaturahmi (M.Daud Ali, 1997: 357)
Akhlak terhadap tetangga antara lain :
1. Saling menjunjung
2. Saling bantu diwaktu senang dan susah
3. Saling memberi
4. Saling menghormati
5. Menghindari pertengkaran dan permusuhan
Akhlak terhadap masyarakat antara lain :
1. Memuliakan tamu
2. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat,
3. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa

35

4.

Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri


berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan orang lain berbuat
jahat/mungkar.

5. Memberi fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan


kehidupannya.
6.

Bermusywarah dalam segala urusan mengenai kepentingan


bersama.

7. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan


yang diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita.
8. Dan menepati janji.
Akhlak terhadap lingkungan hidup antara lain :
1. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup
2. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama flora dan fauna
3. Sayang pada sesama makhluk (M.Daud Ali, 1997: 358).
d. Media Dakwah
Arti istilah media bila ditinjau dari asal katanya (etimologi),
berasal dari bahasa Latin yaitu "median", yang berarti alat perantara.
Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median
tersebut. Pengertian semantiknya media berarti segala sesuatu yang
dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Dengan demikian media dakwah, yaitu segala sesuatu yang
dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang
telah ditentukan (Syukir, 1983: 163).

36

Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah


dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub (1973: 42-43)
membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan,
lukisan, audio visual, dan akhlak. Wasilah tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Lisan, merupakan inilah wasilah dakwah yang paling sederhana
yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini
dapat

berbentuk

pidato,

ceramah,

kuliah,

bimbingan,

penyuluhan, dan sebagainya.


2. Tulisan, berupa buku majalah, surat kabar, surat menyurat
(korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya.
3. Lukisan, di antaranya gambar, karikatur, dan sebagainya.
4. Audio visual, merupakan alat dakwah yang merangsang indra
pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya. Wasilah ini
contohnya, televisi, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya.
5. Akhlak,

mengubah

perbuatan-perbuatan

nyata

yang

mencerminkan ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan


oleh mad'u Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai
wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat
menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat
dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya
pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran
dakwah.

37

Media

(terutama

media

massa)

telah

meningkatkan

intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat


manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio,
televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat
tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di
abad ini.
e. Metode Dakwah
metode dakwah biasa dikenal dengan istilah thariqah.
Thariqah berhubungan dengan metode yang digunakan dalam
dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat yang dipakai untuk
mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam.
Arifin (2003: 65) dalam bukunya yang berjudul: Ilmu
Pendidikan Islam, menyatakan: metode berasal dari dua perkataan
yaitu meta dan hodos. Meta berarti "melalui", dan "hodos" berarti
"jalan atau cara", dengan demikian asal kata "metode" berarti suatu
jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Munsyi (1982: 29)
mengartikan metode sebagai cara untuk menyampaikan sesuatu.
Sedangkan dalam metodologi pengajaran ajaran Islam disebutkan
bahwa metode adalah "Suatu cara yang sistematis dan umum
terutama dalam mencari kebenaran ilmiah".
Pius Partanto (1994: 461) menjelaskan bahwa metode adalah
cara yang sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara
kerja. Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk

38

menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah


adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk
menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan
kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu dalam komunikasi, metode dakwah ini lebih
dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh
seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu
atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan
kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan
human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri
manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam
yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas
utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan
menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat
dalam QS. al-Isra' 70;

{ }
"Kami telah muliakan Bani Adam (manusia) dan Kami bawa
mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga memberikan
kepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik. Mereka
juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk
yang lain" (Depag RI,1978: 435).

39

Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru


dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam
menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting
peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat
metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima
pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam
memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran
dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah
pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125).

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah


dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk (Depag RI,1978: 421).
Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b)
mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan.
Asmuni Syukir membagi metode dakwah menjadi tujuh,
yaitu sebagai berikut :
1. Metode Ceramah ( retorika dakwah ). Metode ini banyak diwarnai
oleh ciri karakteristik berbicara seorang dai pada suatu aktivitas
dakwah. Metode ini efektif bila objek dakwah berjumlah banyak.

40

2.

Metode tanya jawab adalah metode penyampaian materi dakwah


dengan mendorong sasarannya (objek dakwah ) untuk
menyatakan suatu yang belum dimnegerti dan Dai berfungsi
sebagai penjawab.

3. Metode mmujadalah (diskusi). Mujadalah yang dimaksud adalah


mujadalah yang baik, ada argumen namun tidak ngotot sampai
menimbulkan pertengkaran.
4. Metode percakapan pribadi. Metode ini bertujuan menggunakan
kesempatan yang baik dalam percakapan antar Dai dan pribadi
dari individu yang menjadi sasaran dalam berdakwah.
5.

demonstrasi. Metode ini adalah berdakwah dengan


memperlihatkan contoh, baik berupa benda, peristiwa, perbuatan
dan sebagainya.

6. Metode pendidikan dan pengajaran. Dalam devinisi dakwah


terdapat makna yang bersifat pembinaan, juga tedapat makna
pengembangan.
7. Metode silaturahim. Metode ini digunakan oleh para juru
penerang agama. Metode home visit (silaturahmi ) dapat
dilakukan dua cara yaitu undangan tuan rumah dan atas inisiatif
pribadi. ( Syukir, 1983 : 105-106 )
2.2 Strategi
2.2.1. Pengertian Strategi

41

Strategi merupakan istilah yang sering diidentikkan dengan "taktik"


yang secara bahasa dapat diartikan sebagai "corcerning the movement of
organisms in respons to external stimulus" (suatu yang terkait dengan gerakan
organisme dalam menjawab stimulus dari luar). Sementara itu, secara
konseptual strategi dapat dipahami sebagai suatu garis besar haluan dalam
bertindak untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan (Pimay, 2005: 50).
Strategi juga bisa dipahami sebagai segala cara dan daya untuk menghadapi
sasaran tertentu dalam kondisi tertentu agar memperoleh hasil yang
diharapkan secara maksimal (Arifin, 2003: 39).
Strategi pada mulanya berasal dari peristiwa peperangan, yaitu sebagai
suatu siasat untuk mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi
berkembang untuk semua kegiatan organisasi, termasuk keperluan ekonomi,
sosial, budaya, dan agama. Strategi ini dalam segala hal digunakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan tidak akan mudah dicapai
tanpa strategi, karena pada dasarnya segala tindakan atau perbuatan itu tidak
terlepas dari strategi. Adapun tentang taktik, sebenarnya merupakan cara yang
digunakan, dan merupakan bagian dari strategi. Strategi yang disusun,
dikonsentrasikan, dan dikonsepsikan dengan baik dapat membuahkan
pelaksanaan yang disebut strategis (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 76). Menurut
Hisyam Alie yang dikutip Rafi'udin dan Djaliel, untuk mencapai strategi yang
strategis harus memperhatikan apa yang disebut SWOT sebagai berikut:

42

1. Strength (kekuatan), yakni memperhitungkan kekuatan yang dimiliki yang


biasanya menyangkut manusianya, dananya, beberapa piranti yang
dimiliki.
2. Weakness (kelemahan), yakni memperhitungkan kelemahan-kelemahan
yang dimilikinya, yang menyangkut aspek-aspek sebagaimana dimiliki
sebagai

kekuatan,

misalnya

kualitas

manusianya,

dananya,

dan

sebagainya.
3. Opportunity (peluang), yakni seberapa besar peluang yang mungkin
tersedia di luar, hingga peluang yang sangat kecil sekalipun dapat
diterobos.
4. Threats (ancaman), yakni memperhitungkan kemungkinan adanya
ancaman dari luar (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 77).
2.2.2. Strategi Dakwah
Dengan demikian, strategi dakwah dapat diartikan sebagai proses
menentukan cara dan daya upaya untuk menghadapi sasaran dakwah dalam
situasi dan kondisi tertentu guna mencapai tujuan dakwah secara optimal.
Dengan kata lain strategi dakwah adalah siasat, taktik atau manuver yang
ditempuh dalam rangka mencapai tujuan dakwah (Pimay, 2005: 50).
Dalam hubungannya dengan strategi dakwah, bahwa dakwah dalam
hubungannya antara umat seagama dapat dilakukan dengan berupaya agar
mad'u memahami bahwa perbedaan pendapat dalam aliran dan mazhab
merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan demikian tidak bisa satu
aliran atau mazhab meng-klaim sebagai yang paling benar. Sedangkan

43

pelaksanaan dakwah dalam hubungannya antar umat beragama, maka dakwah


diupayakan untuk meyakinkan mad'u bahwa dalam beragama harus
menghargai dan menghormati agama yang berbeda karena Nabi Muhammad
pun sangat menghargai agama lain selain Islam. Demikian pula pelaksanaan
dakwah dalam hubungannya antara umat beragama dengan negara adalah
dapat diupayakan dengan menerangkan pada mad'u bahwa agama menyuruh
mentaati yang memerintah yaitu menghormati dan menghargai ulil amri.
Berkaitan dengan strategi dakwah Islam, maka diperlukan pengenalan
yang tepat dan akurat terhadap realitas hidup manusia yang secara aktual
berlangsung dalam kehidupan dan mungkin realitas hidup antara satu
masyarakat dengan masyarakat lain berbeda. Di sini, juru dakwah dituntut
memahami situasi dan kondisi masyarakat yang terus mengalami perubahan,
baik secara kultural maupun sosial-keagamaan. Strategi dakwah semacam ini
telah diperkenalkan dan dikembangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW
dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Arab saat itu. Strategi
dakwah Rasulullah yang dimaksud antara lain menggalang kekuatan di
kalangan keluarga dekat dan tokoh kunci yang sangat berpengaruh di
masyarakat dengan jangkauan pemikiran yang sangat luas, melakukan hijrah
ke Madinah untuk fath al-Makkah dengan damai tanpa kekerasan, dan lain
sebagainya (Rafi'udin dan Djaliel, 1997: 78).
Kemudian, jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, maka juru
dakwah harus memahami perubahan transisional dari transaksi pada kekuatan
magis dan ritual ke arah ketergantungan pada sains dan kepercayaan serta

44

transisi dari suatu masyarakat yang tertutup, sakral dan tunggal ke arah
keterbukaan, plural dan sekuler. Jadi, suatu strategi tidak bersifat universal. la
sangat tergantung pada realitas hidup yang sedang dihadapi. Karena itu,
strategi harus bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan perubahan
masyarakat yang menjadi sasaran dakwah (Pimay, 2005: 53).

2.3 Konsep Misionaris


Kata "konsep" berarti istilah dan definisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu
yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun dan Effendi, 1995:
33). Sedangkan kata "misionaris" berarti orang yang melakukan penyebaran
warta Injil kepada orang lain yang belum mengenal Kristus (KBBI, 2004:
749).
Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orangorang Kristen dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebar luaskannya ke
berbagai negara. Saat ini, kaum misionaris Kristen sedang mengerahkan
seluruh kemampuan dan potensi yang mereka miliki, untuk menyebarluaskan
ajaran Kristen kepada masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia, tanpa
mempedulikan perbedaan aliran maupun organisasinya (Muhaisy, 1994: 23).
Adapun tujuan kristenisasi dapat dijelaskan bahwa semua orang
menyangka, bahwa satu-satunya tujuan kristenisasi adalah menyebarkan
ajaran Kristen. Padahal sebenarnya, menyebarkan ajaran Kristen adalah tujuan

45

sekunder, dan bukan tujuan primer dari semua organisasi misionaris. Apabila
kita melempar pandangan ke Dunia Barat, yang kita temukan adalah dunia
materi yang tidak mengenal dunia rohani sama sekali, bahkan tidak mengenal
peraturan agama. Namun Amerika, yang menghamba kepada besi, emas, dan
minyak (sebagaimana diungkapkan oleh Amin Raihani), telah menebar
misionaris ke separuh wilayah bumi ini, dan mereka mengaku telah menyeru
kepada kedamaian, kehidupan rohani, dan keselamatan agama. Demikian pula
Perancis, yang kita kena) memiliki perundang-undangan sekuler. telah
menancapkan misionarisnya di luar negeri (Muhaisy, 1994: 23).
Tujuan utama mereka adalah imperialisme (penjajahan) yang sangat
berbahaya. Sebagian di antara mereka ada yang menjadikan kristenisasi
sebagai sarana perniagaan, untuk mengeruk keuntungan yang sebesarbesarnya. Yang

lain,

menjadikan kristenisasi sebagai sarana untuk

mengadakan perjalanan dan melancong gratis, karena dibiayai oleh


organisasinya. Dan sebagian lagi, memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk
memuaskan keinginan pribadinya. Selain itu, ada juga kelompok yang
memanfaatkan kegiatan kristenisasi untuk menutupi perbuatan mereka yang
menyimpang, seperti: freesex, homoseksual, lesbian, dan sebagainya. Bahkan,
orang-orang Barat sendiri mengakui, bahwa gereja merupakan tempat untuk
melakukan perbuatan menyimpang dan memalukan (Muhaisy, 1994: 24).
Banyak sekali skandal seksual para pendeta yang telah terbongkar,
yaitu mereka melakukan kegiatan seksual secara terselubung di dalam gereja.
Belum lama ini telah terbongkar lagi sebuah skandal yang memalukan, yaitu

46

seorang pendeta Amerika yang mengambil anak-anak untuk dijadikan partner


dalam hubungan seksualnya yang menyimpang (Muhaisy, 1994: 24).
Kristenisasi adalah proses masuk dan tersebarnya pengaruh Kristen di
kawasan tertentu. Kristenisasi di Indonesia dapat diartikan sebagai proses
pengkristenan yang terjadi di Indonesia (Dermawan, 2002: 199). Akhir-akhir
ini gerakan kristenisasi terhadap umat lslam yang dilancarkan oleh para
missionaris semakin agresif, baik melalui cara yang halus sampai kepada cara
yang kasar. Menurut Abu Deedat Syihab, strategi misi Kristen dapat disebut
sebagai "Segitiga Imperialisme'' yang memuat sembilan strategi penghancuran
kaum muslimin. Cara-cara tersebut adalah pemiskinan, penguasaan aset-aset
ekonomi, penguasaan kekayaan alam, penguasaan aset informasi, penguasaan
sistem politik dan hukum, penghancuran moral, deislamisasi, penghancuran
militansi Islam dan konversi agama atau pemurtadan agama (Syihab, 2005: 45).
Kristenisasi merupakan sebuah realitas. Hal ini ditegaskan dan
diperkuat oleh ungkapan yang disampaikan oleh Berkhof dalam bukunya yang
berjudul Sejarah Gereja: "Boleh kita simpulkan bahwa Indonesia adalah suatu
daerah pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan
besar atas penaburan bibit firman Tuhan Jumlah orang Kristen Protestan
sudah 13 juta lebih, akan tetapi jangan lupa kita berada di tengah-tengah 200
juta penduduk" (Berkhof, 1991: 321).
Lebih lanjut dia mengatakan : "Jadi; tugas Zending gereja-gereja muda
di benua ini masih luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak

47

seberapa banyak itu. yang perlu mendengar kabar gembira, tetapi juga kaum
muslimin yang besar yang merupakan benteng agama yang sukar sekali
dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan injil. Bukan saja rakyat jelata, lapisan
bawah yang harus ditaklukkan oleh Kristus, namun terutama para pemimpin
masyarakat, kaum cendekiawan, golongan atas dan tengah" (Berkhof, 1991:
321).
Indonesia merupakan pusat kristenisasi untuk wilayah Asia Pasifik.
Informasi ini dapat diketahui melalui hasil seminar kerjasama Global Mission
Singapure and Galilea Ministry Indonesia di Hotel Shangrila Jakarta pada
tanggal 9-12 Juni 1998. Pendeta George Anatorae dari The Lord Family
Church sebagaimana dikutip oleh Yusuf lsmail Al Hadid dalam bukunya yang
berjudul Menghalau Missionoris dan Misi Sucinya Mengkristenkan Dunia
mempresentasikan bahwa Indonesia akan dijadikan pusat perkembangan
Kristen di Asia Pasifik (Al-Hadid, 2005: 201).
Selain

itu,

Bambang,

Widjaja

mengatakan

bahwa

indonesia

merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya. Indonesia


siap mengalami transformasi (Majalah Spirit, 2003: 13) yang besar. Menurut
dia hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, melainkan suatu pernyataan
iman terhadap janji firman Tuhan. Hal ini juga bukan impian di siang bolong,
tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan
memeriksa firman Tuhan maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa
Indonesia memiliki pra kondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang ia
rencanakan (Widjaja, 2003: 13).

48

BAB III
STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI
MISIONARIS KRISTEN

3.1 Biografi M. Natsir, Pendidikan dan Karya-Karyanya


Mohammad Natsir dilahirkan di Kampung Jambatan, Baukia,
Alahanpanjang Minangkabau Sumatra Barat, 17 Juli 1908- dan wafat di
Jakarta, 6 Februari 1993. Kampung Jambatan terletak di balik Gunung Talang
Solok Provinsi Sumatra Barat (Rozikin, 2009: 221). Ia seorang negarawan
muslim, ulama intelektual, pembaru dan politikus muslim Indonesia yang
kenamaan dan disegani, bergelar Datuk Sinaro Pandjang. Ayahnya bernama
Idris Sutan Saripado, seorang pegawai pemerintah Belanda. Ibunya bernama
Khadijah, dari keturunan suku Caniago.
Ketika berusia 8 tahun, Mohammad Natsir belajar pada HIS
(Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah di Padang dan tinggal bersama
makciknya. Kemudian ia dipindahkan oleh orang-tuanya ke HIS pemerintah di
Solok dan tinggal di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di sini ia menerima
cukup banyak ilmu. Pada malam hari ia mengaji Al-Qur'an, pagi hari belajar
pada HIS, dan sore hari belajar di Madrasah Diniyah. Tiga tahun kemudian ia
dipindahkan ke HIS Padang dan tinggal bersama kakaknya, Rabi'ah. Pada
tahun 1923 ia meneruskan sekolah ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs/setingkat SMP sekarang) di Padang. Di sini ia menjadi anggota JIB
(Jong Islamieten Bond) cabang Padang. Pada tahun 1927 ia melanjutkan ke

49

AMS (Algemenc Middelbare School/setingkat SMA sekarang) di Bandung. Di


MULO dan AMS ia mendapat beasiswa dari pemerintah Belanda. Selama di
AMS, ia tertarik untuk lebih menekuni ilmu pengetahuan agama. Waktu
luangnya digunakan untuk belajar agama pada Persatuan Islam di bawah
bimbingan Ustad A. Hassan. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930. Nilai prestasi
yang

diperolehnya

menduduki

memungkinkannya
bangku

mendapatkan

beasiswa

perguruan

untuk
tinggi

(http://swaramuslim.net/printerfriendly.php?id=2331_0_1_0_C,

diakses

tanggal 5 September 2009).


Sejak sekolah di MULO, ia sudah mulai mengenal semangat
perjuangan. la masuk menjadi anggota kepanduan pada JIB. Ketika belajar di
AMS ia menjadi anggota JIB cabang Bandung dan kemudian diangkat
menjadi ketua (1928-1932). Minatnya terhadap politik, perhatiannya terhadap
nasib

bangsanya

yang

tertindas,

dan

tekadnya

untuk

meluruskan

kesalahpahaman umat terhadap ajaran agama, telah melibatkan dirinya dalam


bidang politik dan dakwah serta menolak setiap tawaran dari pemerintah
Belanda, seperti meneruskan sekolah ke Fakultas Hukum Jakarta, Fakultas
Ekonomi Rotterdam Belanda atau menjadi pegawai pemerintah. Kegiatan
politiknya terus berkembang setelah lebih jauh berkenalan dengan tokohtokoh gerakan politik seperti H Agus Salim, Wihono Purbohadijoyo, dan
Syamsurijal. Karena kegigihannya dalam perjuangan, pada masa kemerdekaan
ia menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Republik
Indonesia. Di samping itu, jiwa dai yang telah dimilikinya sejak muda terus

50

dibinanya sampai masa usia tuanya (http:// swaramuslim. net/ printer


friendly.php?id=2331_0_1_0_C, diakses tanggal 5 September 2009).
Sejak tahun 1932 sampai 1942, Mohammad Natsir diangkat sebagai
direktur Pendidikan Islam di Bandung; dari tahun 1942 sampai 1945, sebagai
kepala Biro Pendidikan Kotamadia Bandung (Bandung Syiakusyo); dan dari
tahun 1945 sampai 1946 sebagai anggota badan pekerja KNIP (Komite
Nasional Indonesia Pusat) dan kemudian menjadi wakil ketua badan ini. Pada
tahun 1946 (Kabinet Sjahrir ke-2 dan ke-3) dan 1949 (Kabinet Hatta ke-1) ia
menjadi menteri Penerangan RI; dan dari tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat
menjadi ketua umum Partai Masyumi. Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia
menjadi perdana menteri negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam pemilu
tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari tahun 1956 hingga 1958 ia
menjadi anggota Konstituante RI dan sejak tahun 1958 menjadi deputi
perdana menteri PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
sampai akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan
ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI. Sejak tahun 1962 sampai dengan
tahun 1966 ia ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta.
Sejak dibebaskan dari tahanan, ia aktif pada organisasi-organisasi Islam
internasional, seperti pada Kongres Muslim Sedunia (World Moslem
Congress) pada tahun 1967 yang bermarkas di Karachi, sebagai wakil
presiden. Pada tahun 1969 ia masuk menjadi anggota Rabitah al-Alam alIslami (World Moslem League) di Mekah. Pada tahun 1976 ia menjadi
anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A'la al-'Alami li al-Masajid)

51

yang bermarkas di Mekah. Sedangkan di Indonesia sejak tahun 1967 sampai


dengan masa usia tuanya, ia dipercaya menjadi ketua DDII (Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, al-Majlis al-A'la al-Indunisi li ad-Da'wah al-Islamiyah).
Di samping jabatan dan kegiatan di atas, ada beberapa kegiatan dan jabatan
lainnya yang sempat dijalaninya, seperti sebagai penulis tetap artikel pada
majalah Pembela Islam dan Suara Republik, penasihat delegasi Indonesia
dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda, serta penasihat SBII
(Serikat Buruh Islam Indonesia). Karena peran yang dimainkannya pada dunia
Islam internasional, ia mendapat penghargaan King Faisal Foundation dari
Arab Saudi.
Kebiasaan menulis Mohammad Natsir sudah dimulai sejak sekolah di
AMS. Pada waktu menduduki kelas IV AMS ia menulis sebuah analisis
tentang "Pengaruh Penanaman Tebu dan Pabrik Gula bagi Rakyat di Pulau
Jawa." Terdorong oleh kemauannya untuk membela Islam dari pihak yang
merendahkannya dan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang
Islam, ia menulis artikel-artikel, seperti Muhammad als Profeet dan Quran en
Evangelie pada tahun 1929. Pada tahun 1931 ia menulis Kon tot Het Gebed
dan Kebangsaan Muslimin. Tahun 1932 ia menulis De Islamietische Vrouw en
Haar Recht. Buku-buku hasil karya lainnya ialah Fiqh ad-Da'wah, Capita
Selecta, Kebudayaan Islam, dan ad-Din au al-Ladiniyyah (Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, jili4, 1994: 21).

52

3.2 Strategi Dakwah M. Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen


3.2.1. Islam Memberantas Intoleransi Agama
Menurut Natsir (1983: 200) di dalam pembinaan Negara Indonesia
janganlah ada warganegara non Islam yang sesak nafas apabila mendengar
bahwa umat Islam hendak melaksanakan ajaran Islam dalam masyarakat dan
Negara RI yang dicintai ini. Selanjutnya Moh Natsir mengatakan, bahwa
Islam memberantas intoleransi agama, menegakkan kemerdekaan beragama
dan meletakkan dasar bagi keragaman hidup antar agama. Kemerdekaan
menganut agama, adalah suatu nilai hidup, yang dipertahankan oleh tiap-tiap
Muslimin dan Muslimat, Islam melindungi kemerdekaan menyembah Tuhan
menurut agama masing-masing, baik di gereja ataupun di Mesjid.
Umat Islam berseru kepada seluruh teman sebangsa yang beragama
lain, bahwa negara ini adalah Negara bersama, yang ditegakkan untuk
bersama, atas dasar toleransi dan tenggang rasa, bukan untuk satu golongan
yang khusus. Sebagaimana seruan Muhammad kepada sesama warganegara
yang berlainan agama, Islam memerintahkan supaya menegakkan keadilan
dan keragaman di antara saudara. Allah, adalah Tuhan kami dan Tuhan
saudara. Bagi kami amalan kami, bagi saudara amalan saudara, tidak ada
persengketaan agama antara kami dengan saudara. Allah akan menghimpun
kita di hari kiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali.
Islam memberantas kemiskinan dan kemelaratan, dan memberantas
perhambaan dan eksploitasi manusia atas manusia. Islam adalah dasar hidup
yang luas bagi semua golongan dalam lingkungan bangsa-bangsa, termasuk

53

bangsa Indonesia dalam keragaman dan kesatuan. Islam adalah induk dari
serba-sila yang telah berurat berakar dalam kalbu umat Islam di seluruh dunia
dan menjadi pedoman hidup serta sumber kekuatan lahir bathin dan sebagian
besar bangsa Indonesia, semenjak berabad-abad.
Menurut Natsir (1983: 202) ada orang yang berkata bahwa takut
adalah nasihat yang tidak baik dari orang yang penuh ketakutan dan
kekuatiran susah diharapkan pandangan yang jernih dalam menilai sesuatu
keadaan. Menurut istilah orang sekarang, tidak mudah baginya melihat sesuatu
dengan ukuran yang sebenarnya. Tambahan pula takut apabila sudah sampai
ke puncaknya, akan dipakai jadi sumber kekuatan oleh yang takut, dengan
cara-cara orang di dalam ketakutan, dengan segala akibat-akibatnya, yakni
dengan terburu nafsu dan sebagainya dengan hasil yang sama sekali tidak
diharapkannya sendiri.
Pada galibnya, kekuatan yang bersumber pada ketakutan dan
dipergunakan dalam ketakutan akibatnya ialah kerusakan. Di kalangan
masyarakat Indonesia, ketakutan sering kali mempengaruhi jalan pikiran orang
dan kalau tidak sama-sama awas, ketakutan inipun mungkin menjadi salah
satu pendorong dari pikiran dan langkah-langkah selanjutnya.
Tatkala Undang-Undang Dasar Sementara RI dibicarakan dalam
Parlemen, ternyata bahwa pasal 18 UUDS tersebut yang menjamin
kemerdekaan beragama di RI dirasakan oleh saudara-saudara-sebangsa kita
yang beragama Kristen belum cukup menjamin kemerdekaan beragama di
negeri ini.

54

Bunyi pasal 18 tersebut : "Setiap orang berhak atas kebebasan agama,


keinsyafan batin dan pikiran" . Ternyata bahwa ada semacam keragu-raguan
di kalangan para anggota Parlemen, terhadap sikap umat Islam di sini, tentang
kemerdekaan beragama ini. Keragu-raguan ini, syukur sudah dapat
dihilangkan di kalangan Parlemen, setelah mengadakan rapat yang khusus
tentang itu.
Hapusnya keragu-raguan ini di kalangan Parlemen, belum berarti
bahwa ketakutan ataupun kekuatiran di dalam masyarakat tentang sikap umat
Islam terhadap kemerdekaan beragama ini, sudah lenyap pula. Selama
ketakutan yang demikian itu masih hidup di dalam masyarakat, adalah
kewajiban bagi masyarakat, berusaha dengan giat untuk menghilangkan
kekuatiran kita.
Menurut Natsir (1983: 203) usaha ini tidak dapat dijalankan oleh satu
dua orang saja, akan tetapi harus dilakukan oleh masing-masing orang, sebab,
ini mengenai satu segi dari ideologi bangsa Indonesia yang harus didukung,
tumbuh dan suburkan dalam masyarakat seluruh bangsa umumnya. Sudah ada
satu cita-cita kemerdekaan beragama yang diajarkan oleh Islam dan yang
diketahui oleh orang banyak, dan yang merupakan cara pemecahan soal yang
dihadapi

oleh negara kita, yakni : "Menjaga keragaman hidup di dalam

lingkungan RI ini yang terdiri dari penduduk yang berbeda-beda agamanya".


1. Perlu ditegaskan bahwa tauhid pada hakekatnya adalah suatu revolusi
rohani yang membebaskan manusia dari pada kungkungan dan tekanan
jiwa dengan arti yang seluas-luasnya. Tauhid membebaskan manusia

55

daripada segala macam ketakutan terhadap benda dan takhayul dalam


bentuk apapun juga. Tauhid membawa orang iman kepada Tuhan,
terhadap siapa dia menundukkan jiwanya. Keimanan kepada Tuhan itu
diperoleh dengan jalan yang bersih daripada segala macam paksaan.
Sunatullah, bahwa sesuatu keyakinan yang sebenar-benarnya keyakinan,
tidak dapat diperoleh dengan paksaan
2. Maka agama yang sebenar-benarnya agama, menurut Islam ialah agama
yang sesuai dengan sunatullah ini. Yakni tidaklah bernama agama, jika
agama itu hanya berupa buah bibir, sekedar pemeliharaan diri dari bahaya
luar, tidak tumbuh subur di dalam jiwa yang bersangkutan. Berkenaan
dengan ini maka dengan tegas Islam mengemukakan kaidahnya: "Tidak
ada paksaan dalam, agama". (Al-Qur'an). Ini pokok pandangan Islam
terhadap agama umumnya.
3. Keimanan adalah karunia Ilahi, yang hanya dapat diperoleh dengan ajaran
dan didikan yang baik, dengan dakwah dan panggilan yang bijaksana serta
diskusi (mujadalah) yang sopan dan teratur. Umat Islam berpegang kepada
khithah memanggil orang ke jalan Allah sebagaimana yang disebutkan
dalam Al-Qur'an: "Panggillah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan
pendidikan yang baik dan bertukar pikiranlah dengan cara yang lebih
baik" Orang Islam hanya disuruh memanggil, dan memanggil dengan cara
yang bersih dari segala yang bersifat paksa.
4. Di dalam pergaulan hidup sehari-hari, di mana perbedaan tidak dapat
dipertemukan, perbedaan tentang paham, amal, agama dan sebagainya,

56

maka seorang Islam tidak boleh tinggal pasif dan tenggelam serta lumpuh
hatinya melihat persimpang-siuran perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan
tentang ibadah dan agama, tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang
Muslim di dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agamaagama itu. Seorang Muslim itu diwajibkan untuk mengambil inisiatif,
menjernihkan kehidupan antar-agama dengan memanggil orang-orang
yang beragama lain, yang mempunyai kitab berpedoman kepada Wahyu
Ilahi :

Artinya: "Ya, Ahli Kitab, marilah bersama-sama berpegang kepada


Kalimah yang bersamaan antara kami dan kamu, yaitu bahwa
kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu jua" (QS.
Al-Imran: 64).
5. Umat Islam harus tahan hati dan tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu
walau dari manapun datangnya, dari dalam atau dari luar, dalam
menegakkan kejernihan hidup antar agama ini. Dengan penuh keyakinan
akan kebenaran yang ada pada sisinya dan keluasan dada yang
ditimbulkan oleh kalimat tauhidnya, kalimat tauhid yang membawa
keyakinan kepadanya, bahwa Allah adalah Tuhan bagi segenap manusia,
maka seorang Muslim harus memancarkan di sekelilingnya jiwa tasamuh
(toleransi) dalam menghadapi agama lain. Ajaran Islam menghadapi orang
yang berlainan agama, adalah sebagai berikut :
"Katakanlah : Aku diperintah untuk berlaku adil di antara kamu, Allah
adalah Tuhan kamu dan Tuhan kami bagi kami amalan kami dan bagi
kamu amalan kamu dan tidaklah ada perselisihan antara kamu dan kami.
57

Allah akan. menghimpun antara kamu dan kami. Dan kepadanyalah


tempat kita semua kembali ! (QS. As-Syura:15).
6. Toleransi yang diajarkan oleh Islam itu, dalam kehidupan antar agama
bukanlah suatu toleransi yang bersifat pasif. la itu aktif, yaitu aktif dalam
menghargai dan menghormati keyakinan orang lain. Aktif dan bersedia
senantiasa mencari titik persamaan antar bermacam-macam perbedaan,
Bukan itu saja, kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah suatu
nilai hidup yang lebih tinggi daripada nilai jiwanya sendiri. Apabila
kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama
bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang Muslim diwajibkan
untuk melindungi kemerdekaan umat non Islam tersebut agar manusia
umumnya merdeka untuk menyembah Tuhan menurut agamanya masingmasing dan di mana perlu dengan mempertahankan jiwanya. Al-Qur'an
mengajarkan:
"Seorang Muslim diperintah untuk berjuang mempertahankan orang yang
kena kezaliman, yaitu mereka yang diusir dari tempat kediamannya hanya
lantaran mereka bertuhankan Allah. la harus berjuang untuk
mempertahankan biara-biara, gereja-gereja, tempat-tempat sembahyang
dan mesjid-mesjid yang di dalamnya diseru dan disebut nama Allah".

Demikianlah tegasnya ajaran Islam menurut Natsir (1983: 205)


berkenaan dengan hal ini. Demikian pula sunnah junjungan Nabi Muhammad
saw dan khithah amal para sahabatnya, yang nyata-nyata dapat bertemu dalam
tarikh dan riwayat, dalam melaksanakan ajaran Islam dalam peri kehidupan
antar-agama. Ini pulalah khithah yang hendak ditegakkan dan dilaksanakan

58

oleh ummat Islam; di dalam negara RI ini, semata-mata bukan lantaran apaapa, tetapi lantaran mengharapkan keridaan Ilahi.
Setelah menjelajah apa yang tersebut di atas, maka yang hendak
dipertanyakan: Kalau tidaklah ajaran Islam yang menjamin kemerdekaan
beragama dan menyuburkan kehidupan beragama di Indonesia ini dengan cara
yang positif itu, tunjukkanlah ideologi manakah lagi selain daripada Islam
yang mampu mengemukakan konsepsi yang lebih tegas dari pada yang
diajarkan oleh Islam itu.
Jawab pertanyaan di atas ini ialah : Kalau orang memang hendak
menjamin kemerdekaan agama dan hendak menegakkan kejernihan hidup
antar agama di tengah-tengah penduduk Indonesia yang bermacam-macam
agama ini sebagai dasar dari kesatuan Negara, maka tidak ada lain pemecahan,
melainkan memesrakan paham tersebut dan meluaskan paham itu dalam
kepulauan Indonesia yang indah dan permai ini, yang memang watak
rakyatnya pada dasarnya adalah bersifat tasamuh (toleransi) itu.
Tiap-tiap orang yang berpikiran sehat, seorang patriot tanah air,
ataupun seorang ahli negara yang hendak menegakkan kesatuan negara, tak
dapat tidak apabila berani bersikap jujur, pasti akan mendapat dalam
pelaksanaan ajaran Islam itu jawaban pertanyaan tersebut, dengan toleransi
ajaran Islam yaag dikemukakan itu memelihara dan menyuburkan keragaman
dart perdamaian antar agama dalam Negara Indonesia ini.

59

Apa yang dibawa oleh Islam itu bukanlah monopoli umat Islam saja,
akan tetapi milik yang akan menyelamatkan kesejahteraan pribadi seluruh
masyarakat dalam dunia ini. Maka adalah kewajiban dari tiap-tiap umat Islam:
1. Memahami ajaran Islam ini bagi diri masing-masing dengan sungguhsungguh.
2. Menjadikan ajaran ini jadi pakaian hidup: dalam berkata, bertindak dan
berlaku terhadap masyarakat di sekelilingnya, sesuai dengan ajaran
tersebut.
3. Memancarkan

pengertian

ini

di

sekelilingnya

dengan

tidak

membelakangkan agama dan kepercayaan manapun jua, dengan lisan dan


sikap perbuatan.
Dengan demikian apa yang sekarang merupakan ketakutan dan
kekuatiran di kalangan bangsa Indonesia yang beragama lain, pasti akan
lenyap, dan akan timbullah pengertian baru yang lebih segar, sebagai dasar
yang subur untuk pembangunan lahir dan bathin bagi Negara dan isinya.
Itulah dia Negara yang yang diliputi oleh keampunan Ilahi.
3.2.2. Strategi dalam Menghadapi Kegiatan Missi Kristen/Katholik di
Indonesia
Menurut Natsir (1983: 207) kegiatan Missi Kristen/Katholik di
Indonesia, tampak meningkat. Ummat Islam yang miskin, adalah sasaran
utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk Kristen berkat
strategi dan bujukan-bujukan serta dana-dana missi tersebut. Organisasiorganisasi Missionaris itu bermacam-macam, dan cara-cara yang mereka

60

jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila-(Kebebasan


Menganut Agama).
Missi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang sangat menyinggung
perasaan ummat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah
Kristen di lingkungan kaum Muslimin. Gereja-gereja dan Sekolah-sekolah
Kristen, tumbuh "bagaikan jamur di musim hujan", di seluruh pelosok
Indonesia. Keadaan yang demikian, telah menimbulkan suatu peristiwa yang
tidak diinginkan, yaitu : perusakan gereja di beberapa tempat dan daerah.
Menghadapi misionaris Kristen dan atau Kristenisasi bukanlah dengan
cara perusakan gereja apalagi kekerasan fisik terhadap umat Kristen, akan
tetapi umat Islam harus melakukan strategi yaitu:
1. Pembangunan Masjid
Masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Masjid
merupakan lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. Hal itu
tampak dari adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan
keagamaan dan sosial kemasyarakatan. Atas hal itu, maka umat Islam
harus memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan
pembinaan masjid, baik di kota maupun di pedesaan.
2. Pengiriman Da'i
Dalam rangka membina umat Islam terutama di pedesaan dan
daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari berbagai pengaruh
terhadap pendangkalan akidah, pemurtadan dan segala strategi yang
diluncurkan para misonaris Kristen, maka perlu adanya pengiriman da'i ke

61

tempat tempat tersebut. Para da'i dapat direkrut dari masyarakat desa
sendiri, dan ia harus dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman
da'i ini diharapkan umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat
terbina keimanan dan keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat
dibentengi dari berbagai pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran
nativisme (ajaran yang digali dari bumi sendiri) maupun pengaruh
misionaris Kristen yang cukup pesat perkembangannya.
3. Penerbitan
Perlu adanya tulisan-tulisan yang berisi ajaran Islam mulai dari
persoalan akidah, syari'ah maupun akhlaq. Tulisan tersebut dapat
dituangkan dalam buku, majalah, brosur dan lain-lain. Majalah dan buku
tersebut harus bisa menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam,
menengah maupun terpelajar. Tujuannya adalah memberikan informasi
keagamaandan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara luas, supaya
mereka dapat memahami agama dan persoalan-persoalan sosial secara
tepat.
Dalam rangka menjaga keserasian dalam pelaksanaan penyebaran
agama di Indonesia, Pemerintah telah menyelenggarakan "musyawarah antar
agama" di Jakarta.
Pancasila menentukan adanya kebebasan menganut agama antara
Islam, Kristen, Protestan, Katholik dan Hindu-Bali. Ini bukan berarti bahwa
meng-kristen-kan orang-orang Islam itu sesuai dengan Pancasila. Kalau tokoh

62

mau berlomba-lomba akan mengembangkan agama-agama masing-masing itu


silahkan lakukan di kalangan bangsa Indonesia yang belum menganut sesuatu
agama. Platform Pancasila menghendaki adanya saling harga menghargai di
antara golongan-golongan agama-agama itu. Kalau orang Islam dikristenkan
adalah bertentangan dengan prinsip itu.
Kalau di suatu lingkungan masyarakat yang hampir tidak ada dijumpai
orang-orang Kristen, kemudian akan didirikan suatu gereja yang megah,
menjadi pertanyaan sekarang apakah masih ada harga menghargai seperti yang
dimaksudkan oleh Pancasila itu? Supremasi atau kekuasaan mutlak dalam
materi dan keuangan diakui ada pada fihak Kristen, yang dipergunakan untuk
mengkristenkan orang-orang Islam yang amat lemah dan miskin dalam
kebendaan, hal ini sangat melukai hati kaum Muslimin.
Pengrusakan gereja-gereja itu sudah tentu melukai kaum Kristen.
Tetapi janganlah dilihat persoalan itu dengan suatu symptomatis approach,
dengan sekedar melayani gejala yang kelihatan. Ibarat orang yang sakit
malaria, kepalanya panas, lantas diberi kompres dengan es, tidaklah akan
menghilangkan penyakit malaria itu. Harus dicari sebab hakiki dari penyakit
itu sendiri, karena panas kepala hanya suatu gejala dari orang yang sakit
malaria. Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama beragama
yang tidak perlu dikhawatirkan oleh orang yang beragama lain.
Tetapi kalau pihak Kristen yang unggul dalam arti materiil dan
intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan satu ekses yang
serius. Suatu contoh tentang supremasi materiil itu, misalnya, membagi-

63

bagikan beras kepada orang-orang Islam di daerah yang miskin dan melarat
dengan menganjurkan mereka yang telah disuapi dengan beras itu agar masuk
Kristen, menurut agama Islam orang Islam yang masuk Kristen itu adalah
munafik, dan percayalah, kalau orang-orang seperti itu lahirnya masuk Kristen
adalah mereka itu munafik Kristen pula, sebab jadi Kristen karena beras.
Identitas orang-orang Islam jangan diganggu. Perdamaian Nasional
hanya bisa dicapai kalau masing-masing golongan agama, di samping
memelihara identitas masing-masing juga pandai menghormati identitas
golongan lain dan hentikan segera melahirkan golongan-golongan munafik
beragama itu. Terhadap bangsa-bangsa asing yang mau membantu rakyat
Indonesia, kalau betul-betul jujur, mengapa diserahkan melalui missionarismissionaris asing Kristen atau Katholik? Jangan diadakan zending asing yang
campur tangan memecah kedamaian ummat Islam dan Kristen Indonesia di
tanah air Indonesia.
Sebagai contoh pula, Bung Natsir menanyakan, apa artinya penjualanpenjualan mentega yang memakai tanda dan semboyan Advent, sedangkan
mentega itu dijual dengan harga yang jauh lebih murah dari harga pasaran?
Hal itu menimbulkan kejengkelan di kalangan ummat Islam yang sadar. Kalau
kejengkelan seperti itu sudah menumpuk dan tidak bisa mencari jalan ke luar,
maka akibatnya susah menyelesaikannya. Natsir menambahkan agar jiwa
Kristus yang begitu murni jangan dipakai untuk tujuan yang tidak murni dan
ikhlas. Janganlah hal itu sampai menjadi suatu peaceful agression, suatu
penyerangan bersemboyan damai. Tindak tanduk seperti itu segera harus

64

dihentikan oleh pihak Kristen. Akhirnya Natsir mengatakan, coba beritahu


kepada saya, adakah kalangan Islam yang mencetak buku-buku Agama Islam
dan membagi-bagikannya dengan gratis atau dengan harga yang amat murah,
tetapi dengan cara setengah paksa keluarga-keluarga Kristen dan Katolik,
sebagaimana yang setiap kali dilakukan oleh orang Kristen dan Katolik
terhadap rumah tangga rumah tangga Islam,
3.2.3. Keragaman Hidup antar Agama
Sudah tidak diragukan lagi, bahwa bangsa Indonesia sudah memiliki
keragaman hidup antar-agama itu sebagai tradisi, berabad-abad. Sekarang
kalau keragaman itu terganggu, apa sebabnya? Jawabnya ialah, bukan sematamata oleh karena masing-masing golongan agama itu merasakan ada perintah
Ilahy, supaya melakukan tugas dakwah agama masing-masing. Tetapi,
sebabnya ialah resep-lama dari misi dan zending yang kembali menjelma di
tanah air ini, yaitu resep "la conquete du monde musulman", (penaklukkan
dunia Islam) yang menjelma dalam tindak tanduk missi dan zending di negeri
ini, yang menjadikan ummat Islam sebagai sasarannya.
Ummat Islam merasakan bahwa mereka sedang terancam. Mulanya
secara instinctief, lambat laun mereka menyadari, bahwa Agama mereka
sedang menjadi sasaran dari satu kegiatan kristenisasi yang terarah dan
expansif. Lalu merekapun merasa terpanggil oleh panggilan suci untuk
membela dan mengamankan Agama dan Ummat mereka daripada bahaya
pengkristenan itu.

65

Apabila aksi dan reaksi ini dibiarkan berjalan terus, maka sangat
dikekhawatiran terhadap keselamatan perikehidupan bernegara, sekarang dan
untuk di masa depan. Maka tugas masyarakat sekarang ialah, menjawab
pertanyaan "Apakah bangsa ini memeluk bermacam-macam agama, yang
sudah sama-sama berjuang dan ingin terus menegakkan Negara Republik
Indonesia ini sebagai negara bersama, bisa mencari dan mendapat satu modus
vivendi (metode yang memungkinkan antara kedua belah pihak yang
bersengketa untuk dapat hidup berdampingan dalam sementara waktu dengan
jalan menahan nafsu masing-masing, persetujuan sementara, jalan tengah)
yang menjamin keragaman hidup antar-agama, dengan tidak mengkhianati
keyakinan agama masing-masing?"
Menurut Natsir (1983: 212) dalam menjalankan kewajiban dakwah,
orang Islam memiliki strategi dakwah dengan mengacu pada kode dan ethik,
sebagai pedoman.
-

Antara lain kode ethik ini, menegaskan bahwa keyakinan agama tidak
boleh (dan memang tidak bisa) dipaksa-paksakan. "Tidak ada paksaan
dalam keyakinan-agama" Oleh karena itu dakwah harus dilakukan
"dengan kebijaksanaan (hikmah), dengan didikan yang baik-baik
(mau'idzah hasanah) dan dengan bertukar fikiran dengan cara yang
terbaik (mujadalah billatihiya ahsan)"

Sesuai dengan kode dan ethik itu pula, kami Ummat Islam tidak
menganggap Ummat Masehi sebagai orang-orang heiden atau orang
animis yang masih belum beragama. Ummat Masehi bagi umat Islam

66

adalah apa yang disebut Ahli-Kitab, yang mempunyai kedudukan yang


khusus dalam penilaian umat Islam terhadap Ahli-Kitab (Masehi dan
Yahudi). Umat Islam diperintahkan untuk menyerukan:
"Aku diperintah supaya berlaku adil terhadapmu.Allah adalah Tuhan kami
dan Tuhan-mu jua,Bagi kami amalan kami, bagi-mu (pulalah) amalan-mu.
Tak ada (alasan untuk) sengketa antara kita (dalam urusan agama);Allah
jua akan menghimpun kita (semua). Dan kepada-Nya-lah kita akan (samasama) kembali!" (Al-Qur'an : As-Syura 15).
Kami berseru kepada Saudara-saudara kami Ahli Kitab : ............"Marilah
kita sama-sama kembali kepada titik-pertemuan antara kami dan Saudarasaudara, yakni supaya kita tidak menyembah selain daripada Allah, dan
supaya tidak mendewakan antara satu sama lain ........!"(Al-Qur'an: Al
'Imran 64).
Demikian seruan umat Islam kepada Saudara-saudara Ahli-Kitab.
Sekiranyapun seruan ini tidak diterima, maka itu bagi orang Islam, sama sekali
tidak menutup pintu untuk sama-sama hidup berdampingan secara damai.
3.2.4. Indonesia Jadi Sasaran Kristenisasi
Menurut Natsir (1983: 243) Indonesia menjadi sasaran Kristenisasi
dari segenap penjuru dunia. Dari Eropah, di mana ada "World Council of
Churches", yang berpusat di Geneva, dan dari Vatikan yang berpusat di Roma
dan berpuluh-puluh lembaga-lembaga missi dan zending di luar kedua badan
tersebut, dari Amerika Serikat, seperti Baptis, Advent, Yehova, "Students
Crusade for Christ", dan lain-lain, besar dan kecil. Semua itu datang ke
Indonesia dengan tenaga-tenaga bangsa asing berupa pendeta-pendeta, guruguru agama dan pekerja-pekerja sosial (social workers), dipelopori oleh
sarjana-sarjana dan mahasiswa-mahasiswa ahli riset. Datang ke sini dengan
alat-alat modern untuk propaganda agama Kristen, seperti film, kaset-kaset,

67

buku-buku dan bacaan, malah juga kapal-kapal penginjil yang mendatangi


pantai-pantai dan kepulauan-kepulauan seperti pulau Lombok, Sumbawa,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain. (Kapal penginjil "Logos", "Stella
Maris", "Ebenezer" dan lain-lain).
Menurut Natsir (1983: 243) di daerah-daerah di luar Jawa seperti
Nusatenggara, Kalimantan, missi dan zending itu telah mempunyai alat-alat
komunikasi modern sendiri berupa pemancar-pemancar radio, dan pesawatpesawat terbang cesna, dan di mana perlu, bisa dapat lisensi dari Departemen
Perhubungan R.I. untuk membuat landasan pesawat terbang sendiri.
Pegawai-pegawai Pemerintah dan jawatan pos-pun mendapat "service"
dari dinas-penerbangan missi/zending itu, terutama di daerah-daerah yang
terpencil. Umpamanya dari Timur Kupang ke Waingapu, dua kali seminggu.
Di Irian Barat tidak usah disebut lagi karena di sana itu sudah merupakan
warisan dari Kolonial Belanda dulu.
Peta yang diterbitkan oleh Dewan Gereja Indonesia (Council of
Churches in Indonesia) sepintas lalu dapat memberi gambaran yang nyata
bagaimana kepulauan Indonesia ini sudah dibagi-bagi menjadi sasaran dari
tidak kurang ratusan Gereja di bawah pimpinan Dewan Gereja Indonesia.
Menurut Natsir (1983: 244) untuk ekspansi Kristenisasi ini, baik
Dewan Gereja Sedunia, ataupun Vatikan dan Lembaga-lembaga Missi luar
negeri lainnya mengadakan approach baru, yaitu approach "Pembangunan
Ekonomi" dengan semboyan "Dari Gereja ke Masyarakat". Sudah ada satu
Lembaga yang bernama C.C.P.D. (Council of Churches Participation on

68

Development = Majlis Partisipasi Gereja dalam Pembangunan), yang aktif


dibidang "pembangunan ekonomi" dengan berbagai cara, pembangunan desadesa pertanian dengan latihan keterampilan, pemberian-pemberian kredit
langsung kepada petani melalui lembaga-lembaga yang dinamakan Credit
Union, transmigrasi dan lain-lain.
C.C.P.D. menjadikan empat negara di dunia ini sebagai proyek
utamanya, yaitu Ethiopia, Kamerun, Caribia, dah Indonesia. Sangat naif dan
bodoh sekali apabila dikatakan bahwa organisasi-organisasi missi dan zending
dari luar negeri itu dengan modal yang tidak terbatas dan dengan para ahli,
baik di bidang agama ataupun dibidang teknik riset, semata-mata berdatangan
ke Indonesia ini sekedar untuk menolong meningkatkan kesejahteraan dan
ilmu pengetahuan bangsa Indonesia saja, seperti umpamanya yang dilakukan
oleh Palang Merah Internasional, Ford Foundation dan lain-lainnya.
Dalam prakteknya juga tidak begitu. Pada tiap-tiap Rumah Sakit yang
didirikan pasti di tiap-tiap kamar ada tergantung palang salib, dan tiap-tiap
sekolah yang diakui bermutu tinggi, mewajibkan kepada murid-murid yang
beragama Islam, agar turut, serta dalam mengikuti pelajaran Injil dan turut
serta pula dalam melakukan Rituil ibadah secara Kristen. Di Sekolah-sekolah
Menengah umpamanya, tidak diberi kesempatan bagi murid-murid yang
beragama Islam melaksanakan Ibadat seperti sholat Jum'at dan Asar
umpamanya. Apalagi untuk menerima pelajaran agama Islam.
Kejadian di beberapa sekolah, di mana baik murid-muridnya ataupun
guru-gurunya yang merupakan mayoritas beragama Islam, diharuskan mengaji

69

Injil dari lembaga missi asing yang bernama: "The Gideons International"
hanyalah satu contoh dari keadaan yang umum. Di mana-mana dilakukan
pembelian tanah dan rumah (milik orang Islam) yang strategis tempatnya
untuk digunakan oleh missi dan zending, dengan harga yang luar biasa
tingginya. Pemilik-pemilik Islam yang berada dalam keadaan serba miskin
secara berangsur-angsur menyingkir ke pinggiran lagi.
Di desa Cigugur, di kaki gunung Ceremai dekat Kuningan Jawa Barat,
umpamanya, satu rumah kecil mungil di mana sebelumnya dilakukan tablightabligh agama Islam dan yang kebetulan berada di hadapan gereja, dengan
mudah saja dibeli oleh Gereja dan di suatu daerah digunakan untuk satu
poliklinik Kristen yang bernama "Sekar Kemulyaan". Begitulah seterusnya
berlaku, baik di kota-kota besar,. maupun di pedalaman Indonesia.
Di Indonesia, gereja-gereja didirikan di tengah-tengah desa orang
Islam dan sawah-sawah. Petugas-petugas missi membeli tanah yang
tempatnya strategis dengan harga yang sangat tinggi (2 kali, malah 3 kali dari
harga biasa) guna mendirikan gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Apabila si
pemilik tanah memperlihatkan keengganannya menjual (kepada missi), maka
petugas-petugas missi mengirim orang (lain) yang membeli tanah itu atas
namanya sendiri, akan tetapi sesudah itu dijual lagi kepada missi. Gereja
membagi-bagi beras, pakaian dan uang.
Gereja meminjamkan uang atau bahan-bahan kepada para petani
miskin dengan syarat supaya mereka memasukkan anak-anaknya ke sekolah
missi.' Banyak anggota-anggota dari Partai Komunis yang sudah dilarang dan

70

sedang berada dalam tahanan atau penjara didekati, oleh petugas-petugas


missi. Petugas-petugas itu menawarkan beras dan uang tunai yang akan
diserahkan secara kontinu kepada famili dari

orang-orang Komunis yang

sedang dalam tahanan dengan syarat agar mereka nanti menanda tangani satu
keterangan dimana mereka mengakui sudah masuk agama Katholik.
Pekerja-pekerja industri textil yang kehilangan mata pencaharian
dalam keadaan ekonomi yang sulit ini ditawarkan bantuan berupa beras dan
uang tunai. Rumah-rumah besar yang telah diwariskan pemilik-pemilik kaya
untuk keluarganya, dijual kepada missi. Banyak toko-toko dan rumah-rumah
tempat tinggal dirombak menjadi gereja-gereja. Club-club, ruang-ruang
bacaan, perpustakaan, tempat berenang dan lapangan olahraga dibuatkan
untuk pemuda-pemuda bukan Kristen.
Puteri-puteri Kristen mencoba merayu pemuda-pemuda Islam masuk
Kristen. Pemuda-pemuda Kristen merayu puteri-puteri Islam masuk Kristen.
Pernah terjadi bahwa guru-guru Islam yang menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an
mengenai Yesus dikenakan tahanan oleh petugas Pemerintah yang beragama
Kristen atau diseret oleh pemuda-pemuda Kristen kepada petugas-petugas
Pemerintah. Rumah dari keluarga Islam dikunjungi oleh petugas-petugas missi
yang mendesak supaya mendengarkan penerangannya mengenai agama
Kristen.
Sebenarnya warga Indonesia Kristen dan warga Indonesia Islam, di
waktu sama-sama keluar dari penjajahan, pada hakekatnya, sama-sama miskin
kalau dikatakan miskin, dan sama-sama kaya kalau dikatakan kaya. Akan

71

tetapi, dengan terus mengalirnya ratusan juta dollar ke Indonesia, dari negerinegeri industri di Eropah, Amerika, dan lain-lain untuk missi dan zending,
keadaan mendadak sontak sudah berubah. Di kota-kota besar ataupun kecil,
berdirilah seperti jamur sesudah hujan, gedung-gedung besar, berlapis-lapis
berupa Rumah Sakit Kristen, Universitas Kristen, Percetakan Kristen,
Christian Center, Youth Center Advent, dan sebagainya.
Terus terang, organisasi-organisasi dakwah dan Sosial Islam seperti
Muhammadiyah, Jami'atul Washliyah dan lain-lain takkan mungkin dapat
menandinginya. Bagaimana pedati-kuda disuruh berlomba dengan kereta
ekspres. Pendeknya D.G.I./Vatikan/C.C.P.D., dan lembaga-lembaga missi dan
zending luar negeri itu, bukan tandingannya bagi ormas-ormas dan yayasanyayasan Islam. Malah dinas-dinas Pemerintah RI di bidang sosial, pertanian,
peternakan, kesehatan dan lain-lain dari Kabupaten kebawah pun bisa atau
sudah kewalahan, lantaran tak cukup tenaga dan dana operasionil.
Di tengah-tengah keadaan itu semua, ummat Islam yang awam
merasakan dirinya sebagai "armoed-zaaiers", perlambang kemiskinan yang
sewaktu-waktu, musim paceklik bisa menadahkan tangan, menerima susu
kaleng dan bulgur luar negeri dari tangan Romo Pastur atau tuan Domine dari
Jerman, Amerika dan lain-lain. Oleh karena itu, Dr. Verkuyl sebagai sarjana
yang terkenal aktif dalam gerakan zending, juga untuk Indonesia, hendaknya
jangan heran, apabila ummat Islam di Indonesia ini merasakan agamanya
dalam kepungan. Kata-kata ini tidak berlebih-lebihan.

72

Menurut Natsir (1983: 248) dalam tahun 1967 dalam satu


permusyawaratan antar-agama yang sengaja diadakan oleh Pemerintah di
kantor Dewan Pertimbangan Agung (D.P.A), Presiden Suharto pernah
mengadakan suatu

appeal agar hendaknya ummat beragama memusatkan

perhatiannya dalam mempertinggi mutu agama golongan masing-masing, dan


menjaga agar jangan ada satu golongan Agama merasakan dirinya sebagai
sasaran propaganda dari agama yang lain. Dari pihak golongan Islam diajukan
sebagai suatu "Modus vivendi" satu rumusan piagam antar-agama yang sesuai
dengan appeal Presiden Suharto tersebut. Akan tetapi, sebagaimana Dr.
Verkuyl barangkali juga sudah mengetahui, pihak Kristen baik Protestan
maupun Katholik sama-sama menolaknya mentah-mentah.
Maka semenjak itu berlakukah apa yang terlihat sekarang sebagai
gejala "Free fight for all", dengan "survival of the fittest" di bidang agama.
Gejala yang menimbulkan satu situasi yang dapat pujian oleh Dr. Verkuyl,
lantaran "dipermukaan air" kelihatannya rukun, indah sekali akan tetapi yang
hanya tampaknya demikian, justru lantaran pada pihak ummat Islam, syukur
masih ada kekuatan untuk mengontrol diri dan menekan perasaan, atau ada
kepatuhan bercampur takut kepada pihak penguasa. (Kuatir kalau-kalau nanti
dituduh "ekstrim kanan" pula, atau dianggap "menentang Rencana
Pembangunan Pemerintah" dan sebagainya dan sebagainya (Natsir (1983:
248).

73

BAB IV
ANALISIS STRATEGI DAKWAH M. NATSIR DALAM MENGHADAPI
MISIONARIS KRISTEN

4.1 Pandangan M. Natsir Tentang Dakwah


Natsir sebagai salah seorang pejuang dan dai yang memberi
pengertian dakwah yaitu usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan, mannusia dan seluruh umat. Konsepsi tentang pandangan dan
tujuan hidup manusia di dunia ini yang meliputi amar maruf nahyi munkar,
dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan
membimbing

pengalamannya

dalam

perikehidupan

perseorangan,

perikehidupan berumah tangga (usrah), perikehidupan bermasyarakat dan


perikehidupan bernegara (Shaleh, 1976 ).
Menurut Natsir (dalam Luth, 1999 : 131) ada tiga unsure dakwah yaitu:
pertama: Amal perbuatan lisan, kedua : aktualisasi Islam dengan karya-karya
nyata, ketiga : kepribadian terpuji sebagai sokogurunya. Pemahaman konsep
dakwah seperti ini mempunyai implikasi terhadap perubahan masyarakat, baik
dari sosiokulturalnya maupun geopolitiknya, adapun masyarakat pada level
sosio kultural yang sederhana, hanya menghendaki perubahan seadanya
dengan memotivasi mereka dengan konsep Islam bagi perubahan. Hal ini
berbeda dengan masyarakat pada level geopolitiknya dengan tingkat tajam
berfikir dan kemampuan daya kritis yang kuat. Dalam level ini masyarakat
menghendaki perubahan yang lebih mendasar dimana perubahan itu sendiri

74

mempunyai implikasi nyata dalam kehidupan. Dalam hal ini, ajaran Islam
tidak dipahami sebagai dukungan sosial untuk kemajuan hidupnya. Dalam
konteks ini, tugas dakwah Islam ini lebih diarahkan sebagai kewajiban pribadi,
buakan sebagai kewajiban kolektif. Artinya semua orang harus berdakwah
untuk dirinya, keluarganya, danmasyarakat dimana saja dan kapan saja,
supaya dapat memacu adanya perubahan. Untuk bangsa Indonesia dengan
komunitas muslim sebagai mayoritas tunggal maka logis kalau ajaran Islam
di negeri ini. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidak demikian adanya.
Artinya, Masyumi dengan dakwah politiknya bisa berhasil, tentu warna
kehidupan bernegra sudah pasti lain, mungkin mayoritas muslim Indonesia
akan hidup dalam bimbingan ajaran Islam yang sekaligus menjadi tolak
ukurnya.
M. Natsir memang serius dengan sebuah obsesi yang tampak ideal,
yaitu bagaimana memperjuangkan Islam secara politis pada elite birokrat, baik
dalam pemerintahan orde lama maupun orde baru. Tarjet yang di inginkan
adalah bagaimana mengislamkan umat Islam di Indonesia. Karena sebagai
mayoritas tunggal, ini merupakan satu dilema besar sebagai pencerminan
kehidupan Islam. Hal ini tidak boleh di diamkan begitu saja, harus
diperjuangkan secara serius melalui kekuatan politik. Kendatipun gagal karena
dibubarkan oleh kekuasaan Soekarno, M.Natsir tetap memiliki komitmen yang
kuat tentang dakwah Iskam itu. Inilah yang terlihat dalam pernyataanya,
kalau dulu, kita berdakwah dengan politik tetapi sekarang kita bberpolitik
melalui dakwah. Melalui pernyataan m.Natsir ini dapat di ketahui kemauanya

75

yang kuat untuk menyampaikan dakwah Islam melalui jalur politik secara
formal. Akan tetapi apa hendak dikata kemauannya tersebut tidak dapat izin
dari pihak penguasa.
Sebgai konsekuensi dari pernyataan tersebut maka isi dakwah Islam
yang lebih digemari oleh m. Natsir tampak bergeser. Artinya pada tahun
199330an dakwah Islam m.Natsir lebih terfokus pada materi Islam sebagai
petunjuk ritual. Disana, M. Natsir tanpak tegas mengajarkan tauhid, sholat,
dan lain-lain dengan satu muara, yaitu ingin menjadikan masyarakat Islam
supaya mengamalkan ajaran Islam. Hal tersebut berubah ketika M.Natsir
ikut mengambil bagian pada sejumlah jabatan politis tahun 1940-an. Lebih
terasa lagi adalah ketika M. Natsir menjadi ketua umum Masyumi pada tahun
1949-1958 dan menjadi perdana mentri RI pada tahun 1950-1951.
orienrasinya pada materi dakwah tanpak berubah, yaitu ingin menjadikan
kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam di Indonesia.
Karenanya, M. Natsir tanpaknya lebih intens berbicara, menulis, bahkamn
menggalang potensi-potensi umat yang dipandangnya memiliki nuansa politik
dan komitmen yang kuat terhadap kepentingan Islam. Hal tersebut tidak saja
dilakukannya pada masa pemerintahan orde lama, tetapi juga pada masa
pemerintahan orde baru. Tema-tema dakwah yang mendapatkan perhatiannya
adalah masalah politik, ekonomi, pendidikan, dan hal-hal yang dipandang
sebagai kekuatan yang melemahkan Islam.
Dalam pemerintahan Orde Baru, Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) dan M. Natsir sebagai pemimpinnya hingga wafatnya, selalu

76

berjuang dan berdakwah. Misi dakwah yang dikembangkan oleh DDII


tanpaknya sangat vokal dan agak kritis terhadap siapa saja yang ingin
memadamkan ajaran Islam, tidak peduli apakah interen Umat Islam, terlebih
lagi terhadap kelompok selain Islam. Dalam konteks ini, secara transparan
dapat terlihat bagaimana M. Natsir berbicara dengan elite birokrasi di
Indonesia tentang beberapa hal yang dipandang merugikan masyarakat.
Demikian juga terhadap pemimpin-pemimpin spiritual agama lain, M. Natsir
juga berbicara soal nasib umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Terlepas dari kekurangan M. Natsir sebagai mannusia dalam bidang dakwah
Islam, beliau memiliki kepribadian yang utuh. Kemampuan menulis dan
ceramah mi bar serta ikut sertanya dalam setiap gerakan masyarakat dalam
dakwah nyata, apalagi didukung olehn kepribadiannya yang begittu teguh
maka beliau pantas diberi penghargaan sebagai mujahid dakwah .
Kalau pemerintah Orde Baru hingga saat ini masih belum memberi
pengharagaan kepada M. Natsir sebagai salah satu pahlawan nasional, itu
hanya pertimbangan politis saja. Akan tetapi, umat Islam tentunya akan
memberi penghargaan moral yang lebih tinggi dari sekedar pahlawan nasional.
M. Natsir pantasdisebut mujhid dakwah , tidak saja pada skala nasional
tetapi juga dalam skala internasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya
pengakuan tokoh-tokoh dunia tentang andil M. Natsir terhadap kepentingan
umat pada masa hidupnya. hanya saja disayangkan, generasi penggantinya
tidak sehebat beliau sehingga ada praduga sepertiny telah terjadi stagnasi
kepemimpinan. Hal tersebut disebabkan karena orang-orang kepercayaannya

77

hanya sekedar mengandalkan kehebatannya sebagai pemimpin besar dan


berlindung dibawah kepemimpinannya yang sangat kharismatik. Mereka tidak
atau kurang berani menimba Ilmu dan pengalaman darinya. Tidak terpikirkan
oleh M. Natsir untuk membina kader penggantinya yang lebih andal karena
kesibukannya mengurus kepentingan dakwah. Hal ini bisa terjadi pada
siapapun, termasuk M. Natsir, karena tidak diprogramkan terlebih dahulu.
Memang diakuui, menciptakan generasi yang handal bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, upaya menciptakan generasi pengganti itu
harus dimulai sejak dini sehingga kalaupun kemampuan itu tidak sama persis
minimal berada tidak terlalu jauh dibawah kemampuan pemimpin yang
digantikan. Katakanlah seperti Nabi Muhammad SAW, beliau tidak
menciptakan para sahabatnya menjadi nabi-nabi sesudahnya. akan tetapi,
mereka para sahabat mendapat bimbingan langsung secara intensif dari beliau.
Karena itu, dalam sejarah Islam diketahui sesudah wafatnya nabi, masih ada
penggantinya, yaitu Khulafa ar-Rasyidin.
Diakui atau tidak., pola kepemimpinan yang bertumpu hanya pada
seseorang merupakan kelemahan terbesar dari umat Islam pada umumnya pola
ini tampaknya tidak percaya pada kemampuan generasi penggantinya. Dengan
kata lain, pola kepemimpinan ini hanya mengakui kehebatan dan kelebihan
pribadi pemimpinnya dan meniadakan kehebatan serta kelebihan generasi
berikutnya.
M. Natsir sebenarnya tidak termasuk pada pola kepemimpianan
tersebut, dalam artian secra hukum. Maksudnya, secara teoretis/ hukum, M.

78

Natsir mempunyai orang-orang kepercayaan yang duduk bersamanya salam


memimpin DDII, dan sudah barang tentu beliau secara langsung ataupun tidak
membimbing atau mengader orang-orang dekatnya sebagai penggantinya.
Akan tetapi, bila dilihat kenyataanya, M. Natsir tampaknya tidak bisa
menghindarkan diri dari pola kepemimpinan tersebut, karena setelah
wafatanya M. Natsir, tidak lahir M. Natsir M. Natsir baru yang sehebat
beliau.
Ternyata, melisannkan pepatah patah tumbuh hilang berganti atau
patah satu tumbuh seribu itu tidak mudah tetapi kenyataanya tidak
demikian. Hal ini bisa terjadi karena ada beberapa faktor sebagai
penyebabnya. Pertama, lemahnya progaram pembinaan kader sebagai penerus
generasi atau terlalu percaya pada kemungkinan munculnya kader-kader
penerus secara ilmiah. Kedua, ada kecenderungan sang pemimpin untuk
membesarkan harapan yang berlebihan pada masanya bahwa setelah ia tiada,
pasti ada pengganti yang lebih baik dari dirinya, sehingga urusan pembinaan
generasi diserahkan kepada seleksi alam. Ketiga, da semacam penyakit takut
kalah bersaing dalam masa kepemimpinan seseorang,sehingga proses generasi
berjalan tanpa bimbingan atau tanpa disiapkan. Hal ini semakin parah lagi
ketika ada praduga bahwa yang disiapkan itu boleh jadi dapat mengambil alih
kepemimpinannya secara paksa karena ada kepentingan-kepentingan tertanam
( vetsed interst ).
Jalan keluar menghadapi kendala ini adalah berdakwah sambil
menyiapakan generasi pengganti dengan program-program yang terarah.

79

Untuk hal tersebut, konsep dakwah Islam juga harus diarahkan pada proses
terbentukkant regenerasi dalam arti luas sehingga dalam wajah masyarakat
Islam terliahat ada kelanjutan proses alih generasi, bukan stagnasi dalam
generasi kita menyadari bahwa mencarai pemimpin seperti M. Natsir bukan
hal yang muadah, tetapi tidak akan tumbuh pemimpin-pemimpin seperti beliau
kalau tidak diupayakan melalaui program-program pengaderan. Bahkan,
janagn bermimoi untuk mendapatkan tipe-tipe pemimpin seperti M. Natsir
kalau hanya diserahkan kepada seleksi alam.
Ada hal yang perlu disempurnakan dalam gerakan dakwah yang
dilakukan oleh M. Natsir. Dakwah Islam yanng dilakukan beliau hanya
terfokusnya pada pendekatan formal, terutama dalam menghadapi elite
birokrasi. Tidak tampak pendekatan dakwah yang bersifat lebih kekeluargaan
atau dari hati kehati seperti bapak dengan anaknya. Pendekatan yang serba
formal inilah yang menimbulkan jarak yang cukup jauh dengan penguasa
sehingga menimbulkan sikap kurang akrab dan bershabat yang membawa
konsekuensi kecurigaan pihak elite birokrasi terhadap misi dakwah yang di
emban oleh M. Natsir. Tampaknya, M. Natsir dalam gerakan dakwahnya,
terkesan sebagai seorang mubaligh yang menyampaikan kebenaran dengan
berorientasi pada apa yang disebut qul al- haq walau kaana murran
katakanlah yang benar walaupun rasanya pahit. Tugasnya menyampaikan
informasi dakwah dalam arti tabligh. Ia tidak memainkan peran dakwahnya
sebagai dai pengundang yang objek dakwah dijemput dan dihormati ketika
menerima informasi dakwah. Sebenarnya, dakwah yang bertumpu pada amar

80

ma ruf nahi munkar harus lebih di artikan sebagai undangan atau mengundang
para objek dakwah dengan diberi penghormatan sebagai tamu, diajak
berbicara dari hati kehati, didengar keluhan dan kesulitan apa yang sedang
dihadapi oleh mereka ( objek dakwah ), kemudian sang dai mencoba
memberi solusi dengan pilihan-pilihan yang dapat dilaksanakan sesuai dengan
kemampuan mereka. Sudah barang tentu tawaran pilihan tersebut diikuti
dengan cara-cara yang arif dengan bahasa yang santun.
Dakwah Islam dalam arti sekadar

tabligh atau asal menyampaikan

saja tanpa memperhatikan siapa dan apa yang sedanng dihadapi oleh objek
dakwah, apalagi tidak memberikan solusi dan hanya sekedar menuding, sudah
waktunya dihindari karena cara tersebut dipandang tidak menyelesaikan
masalah, malah bisa sebaliknya.
M. Natsir tampaknya masih menghendaki kekuatan politik sebagai
alat dakwah amar ma ruf nahi munkar. Kehendaknya ini dapat dibaca pada
ucapan kalau dulu, kita berdakwah melalui politik maka sekarang, kita
berpolitik melalui jalur dakwah.
4.2. Konsep Dakwah M Natsir dalam Menghadapi Misionaris Kristen
M. Natsir menaruh perhatian khusus terhadap kristenisasi di Indonesia.
Perhatian khusus ini dituangkan dalam bentuk konkret dengan melakukan tiga
upaya besar, yaitu 1) mengirimkan tenaga dai Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) ke pelosok daerah dengan salah satu tugasnya membendung
kristenisasi, 3) menulis dua karya ilmiah yang monumental yaitu, Islam dan
Kristen di Indonesia dan Mencari Modus Vivendi antarumat Beragama di

81

Indonesia, dan 3) mengirim surat kepada Paus Yohanes Palus 11 di Vatikan


dengan permohonan agar membuka mata, memperhatikan kristenisasi yang
tengah digencarkan di negara Republik Indonesia dengan penduduk yang
mayoritas muslim.
M. Natsir menyoroti kristenisasi di Indonesia ini pada tiga hal utama,
yaitu kristenisasi itu sendiri, diakonia (pelayanan yang berkedok sosial), dan
modus vivendi.
M. Natsir mengatakan,
Kegiatan misi Kristen/Katolik di Indonesia tampak meningkat setelah
meletusnya pemberontakan Komunis G. 30 S/PKl. Keluarga orangorang komunis yang ditangkap dan umat Islam yang miskin, adalah
sasaran utama mereka. Berpuluh-puluh ribu orang terpaksa masuk
Kristen berkat bujukan-bujukan dan dana-dana misi tersebut.
Organisasi-organisasi misionaris itu bermacam-macam, dan cara yang
mereka jalankan dalam kegiatannya bertentangan dengan Pancasila
(kebebasan menganut agama) (Natsir, 1983: 207).

Pada tahun 1967, misi tersebut mulai menunjukkan cara-cara yang


sangat menyinggung perasaan umat Islam, yaitu mendirikan gereja-gereja dan
sekolah-sekolah Kristen di lingkungan kaum muslim.
Gereja-gereja dan sekolah-sekolah Kristen tumbuh bagaikan jamur di
musim hujan di seluruh pelosok Indonesia. Keadaan yang demikian itu
telah menimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, yaitu
perusakan gereja di Meulaboh, Aceh, pada bulan Juni 1967, perusakan
gereja di Ujungpandang (Makasar) bulan Oktober 1967, dan
perusakan sekolah Kristen di Palmerah, Slipi, Jakarta (Natsir, 1983:
207)..
Agama

Kristen Katolik di Indonesia tampaknya

benar-benar

memanfaatkan kesempatan dengan melakukan upaya kristenisasi secara


terbuka pasca G. 30 S/PKI. Peluang ini ternyata berhasil merayu sebagian

82

umat Islam untuk berpindah ke agama mereka. Yang lebih demonstratif lagi
adalah sebagai minoritas, mereka tidak segan-segan mendirikan gereja,
sekolah-sekolah di tengah-tengah lingkungan masyarakat mayoritas muslim.
Mereka tidak segan-segan melakukan ajakan Kristenisasi dari rumah ke rumah
kepada umat Islam dengan membagikan sejumlah materi yang menjadi
kebutuhan masyarakat Islam. Alasannya sederhana, yaitu bantuan sosial dan
kepedulian mereka terhadap nasib sebagian umat Islam yang memerlukan
bantuan. Jika diteliti, sebenarnya kegiatan seperti ini tidak lebih dari suatu
penyerangan yang bersemboyan kedamaian.
Dari segi ini, Kristen/Katolik melalui misionarisnya tampak sudah
melampaui batas, sebab mereka sudah tidak mengindahkan lagi etika
beragama, atau dengan pengertian lain, para misionaris Kristen/Katolik
tampak demonstratif memasuki rumah-rumah orang Islam dengan berbagai
dalih untuk menyampaikan pekabaran Injil. Sebagai contoh kecil, dapat
dikemukakan

suatu

kejadian

misi

mereka

yang

membawa

korban

meninggalnya H. Achmad al-Amudi di Lawang, Kabupaten Malang, Jawa


Timur.
"Pada hari Minggu pukul 11.15, rumah H. Achmad al-Amudi di Jalan
Pendowo Lawang, Kabupaten Malang, tanggal 7 Oktober 1979
didatangi 3 (tiga) orang tamu, masing-masing bernama Sukamto, Utu
Hutapea, dan Tri Sulistio. Ketiga orang tersebut mengaku dari Gereja
Advent, Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, yang bermaksud
menyampaikan ajaran Yesus Kristus, dengan membawa beberapa
brosur. H. Achmad al-Amudi memberi kesempatan duduk di ruang
tamunya.
Mengetahui maksud yang demikian itu, H. Achmad lantas mengatakan
bahwa dia orang Islam dan sudah mempunyai keyakinan sendiri. Karena tamu
83

tersebut memaksa menyampaikan ajakannya, maka terjadilah perdebatan dan


akhirnya H. Achmad meminta agar ketiga orang tersebut keluar dari
rumahnya. Pada saat tolak-menolak di halaman rumah, maka berteriaklah H.
Achmad, 'kurang ajar'. Orang tidak mau 'kok dipaksa-paksa.' Setelah berkata
demikian, ia meninggal dunia karena emosi dan shock.
Menurut keterangan Anis (21 tahun, putra tertuanya), ia sempat
melihat dorong-mendorong antara ayahnya dengan Sukamto dan mendengar
perdebatan ayahnya dengan ketiga tamu itu. Terakhir, ia ikut membantu
ayahnya yang roboh ke tanah. Dikabarkan, sebelum bertamu ke rumah korban
H. Achmad, ketiga misionaris Advent tersebut mendatangi rumah Saleh yang
juga beragama Islam di jalan Pendowo. Walaupun terjadi dialog soal Tuhan
Yesus sebagai juru selamat dan lain-lain, Saleh tetap tidak menggubris rayuan
mereka. Kemudian tamu tersebut menuju ke rumah Ny. Edy yang tidak jauh
dari rumah korban. Ny. Edy beragama Katolik dan suaminya beragama Kung
Fu Cu. Dalam pertemuan itu, Sukamto mengatakan, 'Mengapa Nyonya tidak
memaksa suami Nyonya masuk Kristen?' Demikian tamu itu menganjurkan.
Diberitakan juga, sebelum melakukan kegiatan 'penyebaran agama',
Gereja Advent Lawang meminta izin kepada Kepala Desa Lawang, A. Hadi.
Mereka meminta izin akan beranjangsana ke rumah-rumah pengikutnya.
Permintaan itu diizinkan dengan syarat tidak boleh masuk ke rumah orang
yang sudah menganut agama Islam. Ternyata, mereka menyimpang dan masuk
ke rumah-rumah orang Islam. Dari situlah terjadi peristiwa H. Achmad al-

84

Amudi, yang saat itu menimbulkan ketegangan dan keresahan umat Islam di
Lawang. Demikian ucap A.Hadi.
Peristiwa di atas menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, ajaran
Kristen/Katolik yang selama ini berpangkal pada kasih sayang seperti yang
digembar-gemborkan, ternyata diselewengkan oleh para misionaris, atau
mungkin ajaran itu sekadar bermakna simbolik untuk memperlancar misi
mereka menambah pengikut agama mereka. Kedua, peristiwa itu tampak tidak
etis karena para misionaris tidak segan-segan melakukan pemaksaan terhadap
masyarakat yang telah memeluk agama lain. Ketiga, menempuh segala cara
dengan mengecoh para pejabat desa untuk kepentingan misionaris. Terhadap
hal-hal seperti inilah, M. Natsir angkat bicara, yang dikenal dengan sebutan
"tiga saran untuk tiga pihak". Untuk menghindari agar insiden-insiden
semacam itu tidak terulang lagi, ia menyarankan hal-hal berikut. 1) Golongan
Kristen tanpa mengurangi hak dakwah mereka untuk 'membawa pekabaran
Injil sampai ke ujung bumi supaya menahan diri dari maksud dan tujuan
program kristenisasi itu. 2) Orang Islam pun harus dapat menahan diri, jangan
cepat-cepat melakukan tindakan-tindakan fisik. Hal ini hanya bisa dilakukan
apabila orang Kristen dapat menahan diri. 3) Sementara itu, pemerintah harus
bertindak cepat terhadap pihak Kristen yang telah tidak mematuhi larangan
pemerintah, agar tidak timbul perasaan tidak berdaya di kalangan orang Islam,
seolah-olah mereka tidak mendapat perlindungan hukum dan jaminan hukum
terhadap rongrongan pihak lain.

85

Adapun dalam konteksnya dengan istilah diakonia, maka yang


dimaksud dengan diakonia adalah penyalahgunaan pelayanan masyarakat dan
sikap tidak toleran orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Terhadap
diakonia ini, M. Natsir dan kawan-kawannya (K.H. Masykur, K.H. Rusli
Abdul Wahid, dan H.M. Rasyidi) pernah mengirim surat terbuka kepada Paus
Yohanes Paulus II melalui Duta Besar Tahta Suci di Jakarta. Mantan Perdana
Menteri RI, mantan Menteri Agama RI, mantan Menteri Negara RI, dan
mantan Menteri Agama RI ini membeberkan bagaimana lihainya misi
Kristen/Katolik melalui diakonia di Indonesia. Dalam surat tersebut, M. Natsir
dan kawan-kawannya berkomentar soal diakonia sebagai berikut.
"But we witness with concern that the progress of the Indonesian
development is being hampered by the disharmony of relationship
between Muslims and Cristians, caused by the abuse of diakonia and
intolerant attitude of the Cristian towards the Muslims in Indonesia.
This condition should not be allowed to continue, because m national
life we have to recognize the necessity of tolerance and mutual
respect."
Sebagai lampiran surat tersebut, M. Natsir dan kawan-kawannya
membeberkan kegiatan-kegiatan misionaris Kristen di Indonesia. Ditunjukkan
ada 13 (tiga belas) poin kegiatan mereka, yaitu:
a

memilih desa-desa yang terpencil dan membantu orang-orang miskin,

menawarkan pekerjaan,

perbaikan rumah,

pertunjukan-pertunjukan film,

kursus-kursus latihan gratis,

meniru kebiasaan orang Islam,

86

penyalahgunaan transmigrasi,

membangun gereja-gereja dan kapel liar,

kawin campur,

perkumpulan-perkumpulan koperasi,

penyalahgunaan kedudukan,;

pendidikan di sekolah-sekolah Kristen, dan

m merawat yang sakit dan menguburkan mayat.


Memperhatikan misi tersebut dengan diakonianya, dapatlah dikatakan
bahwa sebenarnya umat Islam telah terkepung oleh upaya kristenisasi dalam
berbagai aspek. Kenyataan ini disadari oleh pemerintah. Ini terbukti dengan
lahirnya beberapa surat dari pemerintah yang bertujuan mengatur tata cara
penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di
Indonesia. Keputusan-keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan
Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 dan Keputusan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No.l Tahun 1979.
M. Natsir rupanya mempunyai pemikiran khusus soal kristenisasi di
Indonesia. Maksudnya adalah kegiatan kristenisasi yang telah melampaui
batas kode etik beragama ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut. Ini karena
bila umat Islam kehabisan kesabarannya akan timbul tragedi yang paling
berbahaya yang mengancam nasib kelompok minoritas khususnya dan bangsa
Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, perlu dicari pemecahannya untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rangka mencari jalan keluar

87

ini, M. Natsir mengajukan perlunya warga yang beragama Kristen dan Islam
sama-sama mengadakan modus vivendi.
Adapun tujuan modus vivendi menurut M. Natsir adalah menciptakan
kehidupan berdampingan secara damai. Modus vivendi M. Natsir tersebut
dapat dipahami karena umat Islam di Indonesia menginginkan hal-hal berikut.
Pertama, antara pemeluk beragama di Indonesia ini supaya hidup
berdampingan secara baik, saling menghargai dan toleransi. Kedua, agar
semua agama di Indonesia merasakan arti hidup intern umat beragama dengan
pemerintah. Ketiga, terwujudnya perdamaian antara masyarakat yang berbeda
agama di negara ini dengan kepentingan pembangunan nasional. Keempat,
menghindari terjadinya perang agama sebagaimana yang sedang terjadi di
berbagai belahan dunia ini. Kelima, tidak kalah pentingnya adalah mengajak
semua manusia dengan perbedaan agama masing-masing untuk mengamalkan
salah satu perintah agama yang paling esensial, yaitu keadilan dalam
keragaman beragama.
Terhadap poin kelima ini, M. Natsir mengatakan,
"Kami umat Islam berseru kepada seluruh teman-teman sebangsa yang
beragama lain bahwa negara itu adalah negara kita bersama, yang kita
tegakkan untuk kita bersama, atas dasar toleransi, tenggang rasa,
bukan untuk satu golongan yang khusus. Kami berseru, sebagaimana
seruan Muhammad kepada sesama warga yang berlainan agama. Kami
diperintahkan supaya menegakkan keadilan dan keragaman di antara
Saudara. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan Saudara. Bagi kami,
amalan kami; bagi Saudara, amalan Saudara. Tidak ada persengketaan
agama antara kami dan Saudara. Allah akan menghimpun kita di hari
kiamat, dan kepada-Nyalah kita sama-sama kembali."
Konsep dakwah M. Natsir melalui modus vivendi tersebut patut
dihargai oleh pemerintah dan semua umat beragama di Negara Kesatuan
88

Republik Indonesia, karena konsep tersebut menyangkut pemeliharaan


stabilitas dan kelanjutan pembangunan nasional. Dengan demikian, baik
pemerintah maupun masyarakat melalui tokoh-tokoh agama masing-masing,
memperhatikan secara sungguh-sungguh. Sebab, hanya dengan modal
mengamalkan trilogi kerukunan, masyarakat bangsa Indonesia dapat hidup
damai. M. Natsir mengatakan,
"Sekarang, posisi masing-masing sudah jelas. 1. Umat Islam Indonesia
sudah mengulurkan tangan mengajukan satu modus vivendi demi
kerukunan hidup antaragama. 2. Presiden Soeharto sudah berkali-kali
menganjurkan agar satu golongan agama jangan dijadikan sasaran
dakwah oleh agama lam. 3. Menhankam/Panglima ABRI telah
memperingatkan agar jangan memakai penindasan atau daya tarik
ekonomi dan kebudayaan untuk pemindahan agama (proselytisme). 4.
Konferensi bersama Misi Kristen dengan Dakwah Islam yang
berlangsung di Genewa tahun 1976 pun sudah menyadari dan
menyarankan agar diakonia dihentikan. 5. Prinsipnya, di tingkat atas,
sudah tercapai hasil-hasil yang positif. Tinggal realisasinya oleh para
pelaksana lapangan secara praktisnya."
Tampaknya, para petinggi gereja menyambut harapan M. Natsir
tersebut dengan dingin. Kalaupun ada pemimpin umat Kristiani yang ikut
dalam Forum Komunikasi dan musyawarah antara umat beragama itu pun
hanya sekadar simbol belaka. Mereka, para petinggi gereja, tidak terlihat
kesungguhannya ikut mengendalikan umatnya dari hal-hal yang tidak baik
terhadap umat Islam minoritas di daerah-daerah. Bahkan, mereka terkesan
menutup mata atau bahkan mengatur strategi dari belakang terhadap
pembakaran mushala, penganiayaan umat Islam, pembakaran kios-kios,
warung-warung, dan toko-toko milik umat Islam, seperti terjadi di Kupang
NTT, Larantuka, Kabupaten Flores Timur, dan Provinsi Timor-Timur barubaru ini.
89

Insiden tersebut sebenarnya sangat menyakitkan hati umat Islam di


Indonesia sehingga dalam hati kecilnya ingin membalas. Akan tetapi, berkat
kearifan para pemimpin spiritual Islam di Indonesia dalam meredam gejolak
emosi para pengikutnya, massa Islam dapat terkendali. Untungnya umat Islam
tidak terpancing dan mau main hakim sendiri atas peristiwa tersebut sehingga
umat Kristiani sebagai kelompok minoritas di Indonesia dapat terlindungi
keselamatan jiwanya. Hal ini diungkapkan oleh Tarmizi Thaher, mantan
Menteri Agama RI, "Kasus Timtim merupakan ujian berat bagi bangsa
Indonesia, terutama bagi umat Islam. Untungnya, umat Islam tidak terpancing
untuk melakukan pembalasan atas perlakuan yang diterima di Timtim.
Bayangkan, kalau umat Islam dari semua provinsi melakukan pembalasan
kepada umat lain, apa tidak akan terjadi malapetaka seperti di Bosnia?"
Viktor Tanja, Pendeta Protestan asal Nusa Tenggara Timur, memuji
sikap umat Islam yang tak beraksi negatif, padahal menurut pemikiran Viktor,
umat Islam akan membalas, sebagai reaksi kebringasan peristiwa Timtim (dan
juga di beberapa daerah di NTT). Katanya,
"Saya sangat memuji sikap umat Islam yang sejuk-sejuk saja dan tidak
bereaksi keras atas musibah di provinsi termuda Indonesia."
Akan tetapi, pujian itu segera ditimpali Amien Rais, Ketua PP
Muhammadiyah (waktu itu),
"Melihat penampilan lahiriah (fisik umat Islam) memang tak bereaksi,
tapi batin umat Islam sangat terkoyak."

90

Malah, ada juga pemuda Islam mendesak mantan Ketua P.P


Muhammadiyah agar diberi izin membakar gereja, tetapi Amien dengan tugas
menjawab, "Jangan ikut-ikut gila."
Kini, peristiwa itu telah berlalu dan pasti meninggalkan bekas luka
yang mendalam bagi umat Islam. Mudah-mudahan saja peristiwa itu tidak
menjadi api dalam sekam. Tugas pemimpin-pemimpin Islam akan semakin
berat dan teruji, apakah suaranya masih dihargai umat atau tidak.
Sementara itu, pihak umat agama lain, terutama para petinggi spiritual
mereka, supaya mengerti bahwa umat Islam di Indonesia ini sudah sangat
toleran dan ekstra sabar demi persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap dan sifat
ini jangan dijadikan alasan untuk terus melakukan penganiayaan dan
penindasan terhadap umat Islam. Kasus Timtim, Kupang, NTT, serta
Larantuka Kabupaten Flores Timur, Ketapang cukup menjadi pelajaran yang
berharga bagi semua pihak. Sifat tahu diri serta sikap pengendalian diri sangat
penting artinya dalam menjaga keutuhan hidup bernegara dan bermasyarakat.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban semua pihak menjaganya. Demi
pembangunan nasional, sangat diperlukan sikap kerja sama antarumat
beragama untuk membangun negara RI, sambil bersenandung, "Kemesraan ini
janganlah cepat berlalu."
M. Natsir tampaknya sangat antusias mengusahakan agar trilogy
kerukunan itu benar-benar terlaksana secara nyata, bukan sebagai biasan
bibir belaka. Hanya saja, M. Natsir lupa bahwa kepentingan tertanam (vested
interest) pada masing-masing umat beragama dan semua kekuatan yang ada

91

dalam masyarakat itu pada dasarnya ingin menguasai, ingin menang, dan ingin
dikatakan paling baik. Dengan demikian, sikap ingin menguasai sulit
dihindari, bahkan sering menjadi motivasi utama bagi masing-masing pihak
untuk mengalahkan pihak lain. Hal inilah yang tidak diperhitungkan M. Natsir
sehingga apa yang dilakukannya dalam banyak hal, ada yang menjegal.
Akibatnya, keinginan M. Natsir tidak semua terpenuhi sebagaimana yang
diharapkannya. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya. M. Natsir hanya
memperhitungkan kuantitas umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Beliau
lupa bahwa secara politis, umat Islam yang mayoritas itu tidak mempunyai
kualitas yang bisa diandalkan sehingga bukan merupakan hal yang baru,
meskipun dari segi jumlah umat Islam di negeri ini merupakan mayoritas,
tetap saja pengaruhnya terasa sebagai minoritas. Baru belakangan ini mulai
terasa gemanya setelah adanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI).
Sasaran dari isi-isi dakwah M. Natsir sebagaimana tersebut, pada
dasarnya ditujukan kepada:
a

para politisi yang memiliki kekuasaan politik, termasuk lembaga-lembaga


politiknya,

para ekonom, pengusaha, dan para konsumennya,

para pendidik, peserta didik, dan kelompok intelektual lainnya yang


mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan,

para penguasa yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan sebagai


pelaksana roda pemerintahan,

92

para kaum sekuler dengan berbagai paham sekularismenya, dan f. para


alim ulama dan tokoh-tokoh agama lain, termasuk di dalamnya
masyarakat sebagai pengikut/penganut agama masing-masing.
Menurut penulis, dari sasaran-sasaran tersebut, kuncinya terletak pada

penguasa/pemerintah, karena pemerintah mempunyai otoritas mutlak untuk


melakukan suatu perubahan. Dengan pengertian lain, kemauan para elite
birokrasi sangat menentukan warna kehidupan beragama di negara kita ini.
Dengan demikian, bisa dipahami mengapa M. Natsir begitu vokal terhadap
kebijakan penguasa/pemerintah yang menurutnya perlu diluruskan.
M. Natsir secara maksimal telah berupaya menyampaikan isi-isi
dakwah dan sasarannya sebagaimana tersebut di atas. Dilihat dari segi isi dan
sasaran dakwahnya, M. Natsir terkesan memiliki kemampuan intelektual yang
utuh. Artinya, ada keseimbangan secara utuh pesan dakwah yang
disampaikan, baik dari dimensi spiritual maupun sosial. Dalam dimensi
spiritual, M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah dengan
berbagai tulisan dan karya-karya ilmiah keagamaan. Sedangkan, dalam
dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu menyampaikan pesan dakwahnya
yang berisikan kepentingan sosial, termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan
lainnya. Pada sisi ini, M. Natsir ingin menyadarkan umat bahwa Islam itu
meliputi ajaran spiritual dan sosial. Di samping mengamalkan ajaran agama,
umat

Islam

juga

harus

mengerti politik,

mapan

dalam

ekonomi,

berpendidikan, dan memiliki kepekaan sosial terhadap setiap masalah yang

93

terjadi di lingkungannya. Ini semua merupakan hal yang sangat baik bagi
kehidupan manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Akan tetapi, ketika M. Natsir membicarakan masalah politik sebagai
isi dakwahnya, terkesan ada kepribadian yang tidak utuh pada dirinya. M.
Natsir ketika menyoroti kebijakan para penguasa, termasuk para pejabat
negara, di matanya mereka seperti manusia-manusia yang tidak mempunyai
jasa atau serba salah. Semestinya, M. Natsir secara jujur mengatakan
kelebihan dan kekurangan mereka sehingga tidak terjadi penilaian sepihak
oleh siapa pun juga. Kejujuran ini sangat penting karena akan diikuti oleh para
da'i atau pengikut yang menjadikannya sebagai idola mereka. Sebagai
gambaran global, hal ini terjadi pada majalah bulanan Media Dakwah yang
dikelolanya. Pada majalah mi, para dewan redaksi atau penulis artikel jika
menyoroti masalah-masalah politik selalu dengan nada negatif. Hal-hal
semacam ini sebenarnya tidak perlu terjadi lagi, karena bagaimanapun juga
akan menimbulkan sikap pro dan kontra bagi pembacanya. Bukan merupakan
hal yang mustahil jika hal tersebut akan membentuk opini umat yang akan
menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintah. Apabila hal ini terjadi maka
sangat disayangkan karena dakwah Islam terus dibenturkan dengan
kepentingan emosional pribadi. Ini merupakan kerugian bagi umat Islam
secara keseluruhan dan dapat menjadi indikasi bahwa dakwah Islam tidak
berhasil memperbaiki umat.
Hal yang senada juga terjadi ketika M. Natsir membicarakan masalah
sekularisme. Bagi M. Natsir, sekuler itu seperti horor dan hal yang

94

menjijikkan. Karena itu, tidak ada tempat buat paham sekuler di negeri ini.
Tidak hanya itu, orang-orang yang dianggapnya membawa paham sekuler, di
mata M. Natsir semuanya serba salah, padahal tidak semua sekuler itu
salah/menjijikkan. Sekuler dalam pandangan Barat secara terminologis tidak
dapat dibenarkan. Istilah ini, bukan saja M. Natsir yang menolaknya, tetapi
juga umat Islam pada umumnya, karena pengertian sekuler tersebut akan
menolak campur tangan agama dalam urusan keduniaan. Ini yang disebut
bahaya terselubung bagi umat beragama. Penulis melihat bahwa istilah sekuler
secara harfiah mempunyai arti sangat positif, yaitu "memberi perhatian
terhadap masalah-masalah dunia" atau berkenaan dengan kehidupan dunia.
Demikian tulisan Harun Nasution dalam bukunya, Islam Rasional. Istilah ini
sebenarnya sesuai dengan isyarat dari beberapa ayat yang terdapat dalam AlQur'an surat al-Baqarah ayat 201, surat al-Qashash ayat 77, dan lain
sebagainya.
Sebenarnya, sasaran dakwah M. Natsir pada intinya ditujukan kepada
penguasa negara. Hanya saja, M. Natsir tidak begitu akrab dengan penguasa
sehingga menyebabkan sasaran dakwah ini hanya tinggal sebagai teori belaka.
M. Natsir merasa kecewa terhadap sikap para penguasa yang kurang
memperhatikan imbauan, harapan, dan kritiknya. Demikian sebaliknya, para
penguasa merasa disepelekan oleh kritik M. Natsir yang vokal melalui media
massa.
Sebagai mujahid dakwah, M. Natsir seharusnya berpikir demi
kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam. Seharusnya, ia mau mengalah

95

dan menjalin hubungan baik dengan para penguasa, kemudian mengajak


mereka secara arif untuk kepentingan umat Islam dan negara RI. Sikap inilah
yang sebenarnya diharapkan oleh umat Islam, karena bagaimanapun juga
kewibawaannya dan suaranya masih didengar oleh pihak penguasa. Sayang
sekali, sikap ini tidak muncul pada pribadi M. Natsir sehingga jurang pemisah
dengan penguasa semakin melebar. Akibatnya, ibarat peribahasa, "Gajah
bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah."
4.3. Strategi Dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen
Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, bahwa
dalam menghadapi misionaris Kristen, Natsir mengetengahkan tiga strategi
dakwah dalam mengimbangi berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu strategi
pertama adalah memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua
adalah pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi
terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan
berbagai media cetak
Pertama, Pembangunan Masjid. M. Natsir mengatakan bahwa masjid
merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat. Dengan demikian, masjid
dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat. M. Natsir
melihat adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan keagamaan dan
sosial kemasyarakatan. Oleh karenanya, beliau menganggap penting memberi
perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik
di kota maupun di pedesaan.

96

Menurut penulis bahwa perhatian M. Natsir terhadap pembinaan intern


umat Islam melalui masjid, terutama masjid-masjid di pedesaan, itu
merupakan sesuatu yang mulia. Ini karena dengan masjid tersebut, umat Islam
dapat mengonsolidasi dirinya terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang dianutnya.
Wujud dari konsolidasi tersebut akan melahirkan umat Islam yang memiliki
kepribadian sebagaimana yang dikehendaki Islam. Di samping itu, ikut
sertanya DDII secara nyata di masyarakat membuktikan bahwa DDII yang
dimotori oleh M. Natsir itu bukan sekadar organisasi teoretis, tetapi juga
praktis. Hal ini menunjukkan betapa pedulinya DDII terhadap kehidupan
keagamaan umat Islam.
Kedua, Pengiriman Dai. Dalam rangka membina umat Islam terutama
di pedesaan dan daerah transmigrasi, sekaligus membentengi umat dari
berbagai

pengaruh

terhadap

pendangkalan

akidah,

pemurtadan,

dan

sebagainya, DDII mengirimkan dai ke tempat-tempat tersebut. Dakwah yang


dilaksanakan oleh M. Natsir, selain melalui hal-hal tersebut, juga melalui
pengiriman da'i ke daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi. Para
dai umumnya direkrut dari masyarakat desa sendiri. Mereka dididik dan
dilatih, dibekali dengan berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan
dalam melaksanakan tugas di lapangan. Melalui pengiriman dai ini diharapkan
umat Islam yang berada di daerah-daerah tersebut dapat terbina keimanan dan
keislamannya. Akidah dan keyakinan mereka dapat dibentengi dari berbagai
pengaruh negatif dari luar, baik pengaruh ajaran nativisme (ajaran yang digali

97

dari bumi sendiri) maupun pengaruh misionaris Kristen yang dewasa ini
cukup pesat perkembangannya.
M. Natsir memahami bahwa para da'i yang melaksanakan tugas di
daerah-daerah pedesaan, pedalaman, dan transmigrasi itu menghadapi
berbagai hambatan dan rintangan yang tidak sedikit, baik yang menyangkut
keadaan di lapangan (medan) maupun sarana yang mereka perlukan dalam
melaksanakan tugasnya. Umumnya, sarana yang dipergunakan para dai itu
kurang memadai jika dibandingkan dengan yang dimiliki oleh para misionaris
Kristen. Para misionaris ini antara lain mempergunakan pesawat terbang
dalam melaksanakan tugasnya, seperti di daerah pedesaan dan pedalaman
Kalimantan. Oleh karena itu, ia tidak segan-segan mengirim bantuan
secukupnya sesuai dengan kemampuan yang ada.
Sekalipun bantuan yang diberikan oleh M. Natsir kepada para dai yang
sedang melaksanakan tugasnya itu tidak seberapa besar, namun mereka yang
sebelumnya telah dibekali dengan semangat iman yang mantap, tetap
melaksanakan tugasnya dengan baik. Banyak di antara mereka yang telah
berhasil melaksanakan tugasnya. Bagi sebagian mereka yang telah berhasil,
mendapat beasiswa untuk belajar ke negara-negara Timur Tengah. Hal ini
diberikan selain sebagai imbalan atas tugas-tugas mereka, juga untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas ilmu dan agama mereka yang
berguna untuk kegiatan dakwah kepada masyarakat di masa yang akan datang.
Ketiga, Penerbitan. M. Natsir tampaknya belum begitu puas atas
dakwah bi al-hal seperti tersebut. la merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu

98

melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh DDII. Mulai dari brosur berupa
lembaran sampai pada majalah ataupun buku-buku yang ditulisnya sendiri
maupun orang lain. Majalah dan buku-buku tersebut menjangkau semua
pihak, mulai dari golongan awam, menengah, maupun terpelajar. Tujuannya
adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada
masyarakat secara luas, supaya mereka dapat memahami agama dan
persoalan-persoalan sosial secara tepat. Paling tidak ada lima penerbitan
dakwah yang dikelola secara tertib, dan itu semuanya dikerjakan di kompleks
sekretariat DDII, Jalan Kramat Raya No.45, Jakarta Pusat. Adapun kelima
penerbitan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, majalah serial Media
Dakwah yang dititikberatkan sebagai konsumsi golongan terpelajar dan
menengah. Kedua, majalah Suara Masjid yang isinya lebih difokuskan untuk
konsumsi awam, berisi uraian-uraian tentang tafsir, hadits, dan lain-lain.
Ketiga, Serial Khutbah Jum'at, khusus memuat bahan-bahan khutbah Jumat
untuk para da'i dan masyarakat luas. Isinya kemudian ditambah dengan
pengelolaan manajemen dan pembinaan masjid. Keempat, majalah Sahabat,
bacaan agama dan bimbingan untuk anak-anak dalam membentuk anak yang
saleh. Kelima, Buletin Dakwah, terbit setiap hari Jumat yang terdiri atas empat
halaman. Isinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh semua
pihak. Di samping itu, DDII menerbitkan tabloid Al-Salam sampai sekarang.
Isinya menyangkut masalah keagamaan dan laporan masalah-masalah
kegiatan sosial keagamaan. Dengan penerbitan-penerbitan tersebut, terjalinlah
hubungan yang kontinu dengan wilayah-wilayah, sedikit banyaknya juga

99

dikembangkan bahan-bahan dakwah yang dapat dikatakan "satu nafas" dan


"satu bahasa".
Demikianlah M. Natsir merancang dakwah Islam melalui DDII dalam
bidang penerbitan yang sampai sekarang menjadi bahan bacaan umat Islam.
Dengan misi ini, dakwah Islam yang digemakan melalui DDII akan meluas.
Inilah salah satu karya nyata M. Natsir yang selalu memiliki kepedulian yang
tinggi terhadap umat Islam. Hal tersebut dibuktikan melalui dua etape
perjuangan yang tidak pernah berhenti, yaitu etape perjuangan politik dalam
Orde Lama dan atape perjuangan dakwah dalam Pemerintahan Orde Baru.
Kelanjutan perjuangan ini menunjukkan bahwa M. Natsir benar-benar ingin
berbuat sesuatu yang terbaik untuk kepentingan bangsa dan umat Islam.
Hanya saja keinginan tersebut tidak semuanya terlaksana karena adanya
kendala internal dan eksternal. Secara internal, pola dakwah yang
dikembangkan M. Natsir sangat formal dan terkesan beroposisi dengan pihak
penguasa. Sedangkan secara eksternal, sikap M. Natsir tersebut mau tidak mau
mengundang rasa tidak suka dari pihak penguasa yang dalam beberapa hal
secara langsung ataupun tidak hambatan tersebut dirasakan oleh M. Natsir
dalam mengembangkan dakwahnya.

100

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pada temuan berbagai sumber, hasil karya M. Natsir dan
berupa tulisan tentang Natsir yang penulis paparkan di awal maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1. Pandangan M Natsir tentang dakwah, bahwa dalam dimensi spiritual,
M. Natsir banyak menggugah perasaan para objek dakwah.
Sedangkan, dalam dimensi sosial, M. Natsir tidak ragu-ragu
menyampaikan pesan dakwahnya yang berisikan kepentingan sosial,
termasuk politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
5.1.2. Pandangan M Natsir tentang misionaris Kristen dengan melahirkan
konsep modus vivendi yaitu menciptakan kehidupan berdampingan
secara damai. Modus vivendi dapat dipahami karena umat Islam di
Indonesia menginginkan terwujudnya perdamaian antara masyarakat
yang berbeda agama, dan menghindari terjadinya perang agama.
5.1.3. Strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi misionaris Kristen. M.
Natsir mengetengahkan tiga strategi dakwah dalam mengimbangi
berbagai upaya misionaris Kristen, yaitu

strategi pertama adalah

memperbanyak pembangunan masjid. Strategi yang kedua adalah


pengiriman da'i ke daerah terpencil dan desa-desa yang berpotensi

101

terpengaruh misionaris Kristen, dan strategi ketiga yaitu menerbitkan


berbagai media cetak.
5.2. Saran-saran
Meskipun konsep dan strategi dakwah M. Natsir dalam menghadapi
misionaris Kristen kurang memuaskan atau mungkin masih dianggap kurang
memadai dalam menguraikan, namun setidaknya dapat dijadikan masukan
bagi masyarakat terutama para da'i. Konsep tokoh ini dapat dijadikan studi
banding oleh peneliti lainnya dalam menghadapi misionaris Kristen
5.3. Penutup
Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada
segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut
dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya
pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari
kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepurapuraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan
tulisan ini.

102

DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Amrullah, 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta.

Anshari, Hafi. 1993. Pemahaman dan Pengamalan Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas.


Arifin, M., 2000. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arikunto Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta, Rinika Cipta.
Berkhof, H.. 1991. Sejarah Gereja, Jakarta: Gunung Mulia.
Dermawan, Andy et. al, Metodologi Ilmu Dakwah, Yogyakarta: LESFI.
Fuchan, Arief, dan Agus Maimun. 2005. Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ghazali, Adeng Muchtar, 2004. Agama dan Keberagamaan dalam Konteks


Perbandingan Agama, Bandung: Pustaka Setia.
------. 2005. Pemikiran Islam Kontemporer Suatu Refleksi Keagamaan Yang
Dialogis, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Hadid, Yusuf Ismail, 2005. Menghalau Missionaris dan Misi Sucinya
Mengkristenkan Dunia, Yogyakarta: Pustaka Fahima.
Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani

Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution. 2003. Ensiklopedi Aqidah Islam.
Jakarta: Prenada Media.
M. Amirin, Tatang. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Ma'arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme Di Indonesia. Yogyakarta:


Logung Pustaka.
Madjid, Nurcholish, 2000. Islam Doktrin Dan Peradaban. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina.
-------. 2000. Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda
Karya.
Munsyi, Abdul Kadir. 1981. Metode Diskusi Dalam Dakwah. Surabaya: al-Ikhlas.
Nabil bin Abdurrahman al-Muhaisy. 1994. Virus Fikrah Melemahkan Ketahanan
Ummat. Jakarta: Wacanalazuardi Amanah

103

Natsir, M.. 1983. Islam dan Kristen di Indonesia. Jakarta: Media Dakwah.
--------. 1985. Fiqhud Da'wah. Jakarta: Media Dakwah.
--------.1973. Capita Selecta, Jakarta : Bulan Bintang.
--------. 1982. Pesan Islam Terhadap Orang Moderen. Jakarta : Media Dakwah.
--------.1988. Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta : Giri Mukti
Pasaka
Njotorahardjo, Niko et.al. Transformasi Indonesia, Jakarta: Metanoia.
Pimay, Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis. Semarang: Rasail.
Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan

Sanusi, Shalahuddin. t.th. Pembahasan Sekitar Prinsip-Prinsip Dakwah Islam.


Semarang: CV Ramadhani.
Shihab, M. Quraish. 1988. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog
Bebas Konflik. Bandung: Pustaka Hidayah.
Siagian, Harbangan, 1994, Manajemen Suatu Pengantar, Semarang: Satya
Wacana.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3 ES.
Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu dakwah, Kajian Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suriasumantri, Jujun S. 1993. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Suryabrata, Sumardi. 1992. Metodologi penelitian, Jakarta: Rajawali Pers (Cet.


VVII).
Syihab, Abu Deedat, 2005. Membongkar Gerakan Pemurtadan Umat Islam:
Dokumen Kristenisasi, Jakarta: Pustaka Tazkiya Az Zahra.
Umar, Toha Yahya,1985, Ilmu Dakwah, Jakarta, Widjaja.
Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani.
Ya'qub, Hamzah. 1973. Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah. Bandung: CV
Diponegoro.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Quran. 1989. Al-Qur'an dan
Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI.

104

Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Referensi lain:
Harian Kompas, 7 Juli 2004.
Harian Suara Merdeka, 10 April 2006.
Majalah Spirit, 2003

105

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama

: Sri Wahyuni

NIM

: 1105054

Tempat / tgl. lahir

: Kayu Aro, Kerinci Jambi 06 Juni 1986

Alamat Asal

: Jl. Hanura Bento Kayu Aro Kerinci Jambi

Pendidikan

: - SDN 91/III Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th. 1999


- MTss Kayu Aro Kerinci Jambi lulus th 2002
- MA Al-Ikhsan Purwokerto lulus th 2005
- Fakultas Dakwah Jurusan MD IAIN Walisongo
Semarang angkatan 2005

Demikian daftar riwayat hidup pendidikan ini saya buat dengan sebenar-benarnya
dan harap maklum adanya.

Sri Wahyuni

106

Anda mungkin juga menyukai