Anda di halaman 1dari 15

Tugas Ujian Akhir Semester Ilmu Agama Islam

DISUSUN OLEH:

NAMA : Valentino Markus Situmorang

NIM. : 17.3220

MATA KULIAH : Ilmu Agama Islam

DOSEN : Pdt. Dr. Petrus N.B. Pardede

STT HKBP PEMATANG SIANTAR


Kata Pengantar

Dengan segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunianya, makalah ini
dapat penulis buat sebagai tugas ujian akhir semester. Sebagai bahan pembelajaran penulis dengan
harapan dapat di terima dan di pahami secara bersama. Dalam batas-batas tertentu makalah ini
memuat tentang “Bagaimana model dan isi dakwah Islam yang dilaksanakan pada saat ini serta dari
tulisan Ringkasan buku Demokrasi dan Islam, Pergulatan Politis dan Teologis di NKRI Bapak
dosen Pdt. Dr. Petrus N.B. Pardede”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Agama Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa narasumber yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, dan karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya dengan kerendahan hati penulis
meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau penguraian makalah ini. Dengan
harapan dapat di terima oleh bapak dosen dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses
pembelajaran pelajaran penulis tentang Ilmu Agama Islam.

Porsea, 01 Desember 2020

Valentino Markus Situmorang


I. Pendahuluan

Islam merupakan Agama mayoritas di Indonesia, islam ialah agama dakwah yang dimana
agama yang selalu mendorong umatnya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan
maju mundurnya umat Islam bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang
dilakukan, karena itu Al-Qur’an dalam menyebut kegiatan dakwah dengan Ahsanu Qaulan. 1 Bahwa
dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam. Maka apapun
persoalan yang berkaitan dengan dakwah harus diutamakan diatas segala kepentingan. 2 Agar
dakwah Islam dapat berjalan dengan maksimal oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari komponen
atau unsur-unsur dakwah. Selain subjek, objek, materi dan media, aktivitas dakwah akan berjalan
dengan baik jika dalam pelaksanaannya ada metode yang digunakan. Dakwah memerlukan metode
agar mudah diterima oleh mitra dakwah. Metode yang dipilih harus benar agar Islam dapat
dimengerti dengan benar dan mengasilkan pencitraan Islam yang benar pula. Pada garis besarnya,
dakwah ada tiga, yaitu: Dakwah Lisan (da’wah bi allisan), Dakwah Tulis (da’wah bi al-qalam), dan
Dakwah Tindakan (da’wah bi alhal).3 Setiap metode dakwah tersebut ada kekurangan dan
kelebihannya masingmasing, dimana dai harus pandai dalam menyesuaikannya dengan situasi dan
kondisi yang diperlukan. Suatu dakwah dapat berhasil, apabila ditunjang dengan seperangkat syarat
baik itu dari pribadi pendakwah itu sendiri, materi yang dikemukakan, kondisi objek, dakwah yang
sedang didakwahi, ataupun elemen-elemen penting lainnya.

Dalam pendakwaan itu pendakwa umumnya melakukan didalam masjid, dimana masjid
merupakan Masjid bagi umat Islam memiliki makna yang besar dalam kehidupan, baik makna fisik
maupun makna spiritual. Masjid adalah salah satu lambing Islam yang merupakan barometer atau
ukuran dari keadaan suatu masyarakat muslim yang ada disekitarnya. Pembangunan masjid adalah
pembangunan Islam dalam suatu masyarakat sehingga keruntuhan masjid merupakan keruntuhan
Islam dalam masyarakat. Masjid merupakan tempat seorang hamba untuk berkomunikasi dengan
Allah Swt, di masjid pula seseorang dapat saling bertemu dan saling bertukar informasi tentang
masalah-masalah yang dihadapi, baik suka maupun duka. Masjid juga sebagai, komunikasi timbal
balik antara Rasul dengan umatnya dan antara kaum muslimin dengan sesamanya, sehingga dapat
lebih mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam yang menjamin kebersamaan di dalam
kehidupan. Hal ini merupakan peran masjid sebagai ranah sosial terhadap umat manusia.

1
1. Harjani Hefni, Komunikasi Islam, (Jakarta: Kencana,2015), hal 98.
2
2. M, Masyhur Amin, Dakwah Islam Dan Pesan Moral, (Jakarta: al Amin Press, 1997), hlm 8
3
3. Didin Hafiduddin, M.Sc, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press. Cet 3, 1998), hlm 76.
II. Etimologi dan Terminologi

 Dakwah

Secara etimologi atau bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab, yang berarti panggilan,
ajakan, atau seruan. Menurut ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah berbentuk “isim masdar” yang
berasal dari fiil (kata kerja) “da‟a” (‫ )”دعا‬yad‟u” (‫ )”يدعو‬da‟watan” (‫) دعوة‬yang artinya memanggil,
mengajak, atau menyeru.4 Perwujudan dakwah bukan sekadar usaha peningkatan pemahaman
keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih
luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran
Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Pengertian dakwah menurut istilah
ilmu dakwah antara lain bisa dilihat dalam penjelasan Syekh’Ali Mahfuzh dalam bukunya Hidayat
al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh al-Khithabah. Kelihatannya dalam mengemukakan definisi
dakwah ia bertolak dari arti ini. Defenisi tersebut berbunyi: mendorong manusia agar mengikuti
yang baik dan menerima petunjuk,menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang
mungkar supaya mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Ali Mahfuzh, 1952: 17).

Sehingga dakwah Islam berarti menyampaikan pesan atau ajaran Islam kepada masyarakat
luas, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Muhammad pada zamannya. Setidaknya ada empat
unsur di dalam praktek dakwah, yakni pelaku dakwah (da‟i), penerima dakwah atau sasaran
dakwah (mad‟u), materi dakwah (pesan/ajaran Islam) dan media atau saluran dakwah. Agar hasil
dakwah itu bisa sesuai dengan yang diharapkan, maka diperlukan strategi dan metode, hal ini juga
tidak kalah penting dengan keempat unsur tersebut di atas.

III. Hasil Wawancara

Wawancara kepada Narasumber tetua agama di Porsea dengan tatap muka secara langsung
dan proses wawancara dilakukan dengan tetap melakukan social distancing.

Biodata Narasumber

Nama : M. Ibrahim Nasution

Umur : 56 Tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Islam
4
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
Hari, tanggal wawancara : Sabtu, 28 November 2020

Pukul : 10.15 WIB

Tempat : Teras Rumah Bapak Muhammad Ibrahim Nasution

Pewawancara : Selamat pagi pak, perkenalkan saya Valentino Situmorang


Mahasiswa STT HKBP ingin sedikit berbincang dengan bapak, apakah bapak bersedia untuk saya
wawancara?

Narasumber : Oh bisa nak, kalau boleh tahu wawancara dalam hal apa nak?

Pewawancara : Baiklah pak, saya ingin berdiksusi mengenai perkembangan dan


bagaimana dakwah dalam agama islam pak?

Narasumber : Untuk perkembangannya sendiri sangat baik dan enak untuk


didengar, apalagi dengan banyaknya teknologi saat ini sehingga umat muslim dapat dengan mudah
menonton dan mendengarkan dakwah baik dari radio atau televisi. Dakwah sendiri menurut saya
dapat menguatkan dan menambah iman, serta mengingatkan kita kepada Allah SWT.

Pewawancara : Oh, Kemudian apakah dakwah hanya dapat dilakukan bagi mereka
yang berpendidikan atau tidak, bagaimana pak?

Narasumber : Ya tentunya untuk bisa berdakwah dia harus mempunyai


pengetahuan yang lebih tentang agama Islam dan dari sejak bangku sekolah dasar sudah difokuskan
untuk belajar tentang agama islam, bisa melalui Pesantren kemudian berlanjut ke MAN dan ke
perguruan lebih tinggi lagi. Dan biasanya yang boleh berdakwah adalah Ustad.

Pewawancara : Apakah dakwah yang didengarkan umat muslim dalam peribadahan


terkadang dapat membuat umat mengantuk dan membosankan?

Narasumber : Itu tergantung kepada masing-masing orangnya, apakah dia


memberi perhatian kepada isi dari dakwah atau tidak.

Pewawancara : Dalam dakwah sendiri, bagaimana cara yang dilakukan pendakwah


kepada umat yang mendengarkan?

Narasumber : Dakwah sangat terbuka karena umat bisa langsung melakukan


diskusi kepada pendakwah, apabila ada hal yang kurang jelas dan ingin ditanyakan, maka umat
dapat langsung bertanya kepada pendakwah. Sehingga dapat terjadi diskusi yang hangat seperti
sedang curhat.
Pewawancara : Seperti itu ya pak, selanjutnya dalam agama Islam Puasa merupakan
salah satu rukun Islam. Apakah puasa merupakan sesuatu yang wajib untuk dilakukan? Dan
bagaimana jika seseorang tidak dapat menjalankan puasa pak?

Narasumber : Sangat wajib, karena puasa merupakan rukun Islam yang keempat.
Dan jika umpamanya seseorang itu sakit maka dia harus memberikan Fidyah (mengganti satu hari
puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan satu orang miskin, terkhususnya bagi perempuan
yang tidak dapat melakukan puasa dikarenakan ada halangan atau bagi ibu yang baru melahirkan
tidak dapat menjalankan puasanya pada saat halangan tersebut tetap harus digantikan pada saat
setelah halangan itu selesai dan saat dia mampu untuk menjalankannya.

Pewawancara : Saya pernah mendengar dari bapak dosen saya bahwa satu kali
shalat di Masjid al-Haram sama dengan 100 ribu kali dibanding shalat di tempat lain, kemudian
Masjid Nabawi sama dengan 1.000 kali dibanding shalat di tempat lain, dan di Masjid al-Aqsha
sama dengan 500 kali dibanding shalat di tempat lain. Apa itu benar dan mengapa bisa begitu pak?

Narasumber : Itu benar, karena pada dasarnya umat islam diseluruh dunia percaya
bahwa disana adalah tempat kiblat umat muslim dan sebagai tempat yang sangat suci pahala disana
sangat besar dan berlipat ganda, sehingga seluruh umat muslim sangat menginginkan untuk dapat
melakukan ibadah disana.

Pewancara : Baiklah pak, mungkin cukup pertanyaan yang saya ingin ketahu dan
diskusikan dengan bapak, terimakasih atas waktu yang telah bapak luangkan.

Narasumber : Baik nak sama-sama, semangat dalam mempelajari ilmunya.

Wawancara ini disertai dengan bukti foto dari narasumber dan pewawancara dibawah ini:
IV. Tanggapan pribadi

Menurut saya perkembangan dari dakwah yang ada di Indonesia itu sangatlah pesat, terlebih
dengan kemajuan teknologi saat ini yang sangat berperan untuk mempermudah bagaimana
penyampaian dari dakwah tersebut. Berbagai media sosial dan siaran televisi berlomba untuk
menayangkan dakwah. Tak hanya sampai disitu belakangan perkembangan dari dakwah juga telah
mulai masuk kekawasan yang bukan mayoritas beragama islam. Dengan mudahnya Ustad
berdakwah dan disaksikan di televisi atau media social. Kenyataan ini sangat sulit untuk diterima,
dengan segala upaya yang ada umat islam selalu berusaha untuk menekan minoritas (khususnya
Kristen). Hal ini tentu saja membuat umat Kristen merasa resah dan terganggu, apalagi banyak
dakwah yang disampaikan itu merujuk kearah untuk memecah belah umat beragama. Dimulai dari
isi dakwah yang menjelek-jelekan agama lain khusunya agama Kristen, sampai kepada tindakan
untuk mengajak umat islam untuk melakukan tindakan radikal. Radikalisme Islam pada zaman dulu
banyak dilatarbelakangi oleh adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah
maupun perilaku, sehingga radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah
(perbaikan), dan jihad (perang) yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam
yang sebenarnya.5 Tetapi akar radikalisme Islam di zaman modern ini sangat kompleks. Selain
faktor-faktor sosial, menurut para ahli, radikalisme agama juga melibatkan faktor agama yakni
dilakukan dengan landasan-landasan moral agama yang ada dalam kitab suci termasuk tradisi
keagamaan yang berkembang dalam kelompok agama dan dakwah. Kelompok muslim yang
berafiliasi pada Islam radikal, melakukan tindak kekerasan atau seruan agama dengan
kecenderungan agresif dengan dalih melakukan dakwah, amar makruf nahi munkar, dan jihad untuk
memberantas ketidakadilan, menegakkan kebenaran, pemerataan kemakmuran, dan semacamnya.6

Pada kenyataannya dakwah saat ini lebih digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan suatu
golongan tertentu, menebarkan kebencian, dan juga banyak unsur politis yang dilakukan untuk
dapat mencari dukungan sesama umat islam. Dengan kenyataan ini kaum minoritas menjadi
semakin tertekan, sehingga ideologi Negara Indonesia terasa hanya seperti kalimat yang tak
mempunyai makna. Dalam hal ini pemerintah Indonesia sebenarnya tidaklah diam, tetapi dengan
kekuatan yang sangat besar dan tekanan dari umat muslim yang ada diseluruh Indonesia berbagai
tindakan kekerasan yang berhubungan dengan nilai keagamaan hanya berlalu begitu saja. Tetapi
sebaliknya jika hal ini dilakukan oleh kaum minoritas, maka dengan cepat tindakan akan dilakukan.
Sungguh miris melihat bagaimana hal ini bisa terjadi, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
kaum mayoritas sangatlah sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dalam hal ini seharusnya pemerintah
langsung mengambil sikap untuk dapat meredam penyebaran kebencian yang dilakukan oleh
beberapa oknum dengan dalih melakukan kegiatan dakwah. Kesimpulan dari pengertian dan hasil
wawancara yang dapat penulis berikan adalah Islam saat ini sangat berupaya untuk menyembarkan
agamanya, dengan pendekatan-pendekatan yang lebih merakyat mereka berusaha untuk menarik
lebih banyak orang yang belum menjadi bagian dari mereka sehingga dalam hal ini Gereja
diharapkan membuat suatu terobosan yang baru untuk tidak lebih tertinggal, peribadahan yang
dilakukan secara Online dan divideokan akan semakin memperlihatkan bagaimana Kristen itu
kepada banyak orang, renungan-renungan yang ada juga sebaiknya tidadk hanya dinikmati oleh
umat Kristen saja, ada baiknya semua di dokumentasikan dan di bagika ke media sosial, sehingga
lebih banyak lagi orang yang dapat mengenal Kristus dan Injil keselamatan.

5
Thalib, Radikalisme ..., hlm. 109.
6
17S. Kristiansen, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”, Sojourn 18
(1), 2003, hlm. 115.
Ringkasan Buku Demokrasi dan Islam, Pergulatan Politis dan Teologis di NKRI

BAB IV

AJARAN ISLAM YANG SEJALAN DENGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI

1. As Syura (Musyawarah)

Musyawarah adalah suatu sistem pengambilan keputusan yang melibatkan banyak orang
dengan mengakomodasi semua kepentingan sehingga tercipta satu keputusan yang disepakati
bersama dan dapat dijalankan oleh seluruh peserta yang mengikuti musyawarah. Berdasarkan
etimologinya, musyawarah dikenal dengan istilah as syura, berasal dari kata syawara yang berarti
“mengeluarkan atau mengambil (madu itu) dari tempatnya” sedangkan berdasarkan
terminologinya, kata ini berarti “tuntutan mengeluarkan pandangan dari mereka yang memiliki
ilmu dan pengalaman untuk menyampaikan suatu perkara agar mendekati kebenaran”. Dalam
konteks social politik, musyawarah atau as syura didefenisikan sebagai tuntunan mengeluarkan
pandangan umat atau yang mewakili dalam urusan-urusan publik yang terkait dengan kepentingan-
kepentingan mereka.7 Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sengat disiplin, solid
dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal-hal yang baik saja (disimbolkan dengan kembang),
serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengancatatan ia tidak
diganggu. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah.
Madu bukan hanya manis tapi menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan
kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah.

Kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan
juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan
munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek musyawarah, para
pemimpinnya dibebani kewajiban melaksanakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya
atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. 8 Tanggung jawab tersebut dapat
diemban dengan mengacu pada QS. As Syura 38, yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang kami beriikan kepada mereka”. Disamping ayat-ayat diatas, terdapat pula beberapa hadits
yang berbicara tentang musyawarah, diantaranya ialah: hadits dari Tirmidzi dan Abu Daud: “Dari
Abu Huraiah RA berkata: RAsullulah SAW pernah bersabda “Musyawarah adalah dapat

7
Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu Dan Politik,
(Jakarta, Gozian Press, 2013), hlm. 168.
8
Nina M. Armando, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 329-330.
dipercaya”. Makna dari hadits-hadits ini menyebutkan bahwa musyawarah begitu penting dan
harus dapat dipercaya bagi orang yang ikut serta di dalamnya. Maka jika musyawarah tidak murni
dan terdapat ketidak-ikhlasan dalam mengikutinya, itu hanyalah sebuah pengkhianatan atau
ketidak-jujuran. Dalam menghadapi permasalahan perlu adanya pertimbangan yang matang dan hati
yang ikhlas. Sesungguhnya mereka yang melakukan musyawarah adalah orang-orang yang
mengharap kebaikan dan mengambil manfaat dari musyawarah tersebut. Didalam musyawarah
silang pendapat selalu terbuka, apalagi orang-orang yang terlibat terdiri banyak orang. Oleh sebab
itulah, Allah memerintahkan Nabi agar menetapkan peraaturan itu, dan mempraktekkannya dengan
cara yang baik. Nabi Muhammad, manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa
bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu
pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya bagi kepentingan kaum Muslim dan
orang lain, dengan segla kemampuan yang ada. Demikianlah, Nabi selalu bermusyawarah dengan
para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal
itu.9

2. Al Huriyyah (Kebebasan)

Islam menyadari bahwa kepribadian manusia, baik itu kepribadian perorangan, kepribadian
suatu golongan atau Negara, tidakn akan tumbuh dengan sempurna, jika tidak dibawah naungan
kebebasan. Islam mengakui kebebasan memilih, dan contoh pelanggaran nabi Adam mungkin
merupakan simbol dari kebebasan memilih tersebut. Islam juga menjadi ateis selama tidak
menggangu ketertiban umum.10 Berkaitan dengan kebebasan berpikir dan berpendapat tersebut,
Azhanty mengatakan bahwa kebebasan itu sangat dihargai, sehingga orang yang berani
mengungkapkan suatu pemikiran yang benar di hadapan penguasa yang otoriter atau zalim,
dianggap perjuangan yang sangat mulia, sebagaimana dikatakan Nabi: “Perjuangan yang paling
mulia adalah mengungkapkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim”. Namun, kebebasan
berpikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggungjawab dan tidak mengganggu kepentingan
umum, serta tidak menciptakan permusuhan antarmanusia. Dengan kata lain, kebebasan berpikir
dan berpendapat tidak berarti bahwa setiap orang bebas untuk menghina atau memandang rendah
terhadap orang lain dan agama mereka. Banyak intelektual Muslim menjadikan kebebasan berpikir
sebagai akar kebebasan, Madjid menjadikan kebebasan beragama sebagai kebebasan yang paling
fundamental dalam urusan sosio-politik kehidupan manusia. Ajaran agama sesungguhnya adalah
ajaran yang paling benar, namun hal ini tidak dapat dipaksakan kepada seseorang. Nabi Muhammad
s.a.w sendiri selalu diingatkan bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan pesan-pesan Allah, dan

9
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani, 2015), hlm. 35-36
10
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, (Bandung, Penerbit Mizan, 1992), hlm. 56
tidak berhak memaksa seseorang untuk beriman dan mengikutinya. 11 Ini adalah pernyataan paling
eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus larangan memaksakan kehendak
keyakinan agama terhadap orang lain. Didalam al Qur’an diajarkan bahwa pemeluk agama Yahudi
dan nasrani adalah ahlul kitab, kaum yang juga menerma kitab dari Allah. Islam mempercayai kitab
itu: Taurat, Zabur dan Injil.12 jelaslah bahwa islam menghormatii sepenuhnya kemerdekaan
kepercayaan atau akidah. Paksaan dalam agama dilarang karea dasar kepercayaan atau agama
adalah hasil pemikiran yang sempurna, dengan pertimbangan akal yang bukannya hanya ikut-ikutan
(taklid) apalagi tunduk kepada tekanan dari luar atau hawa nafsu. Namun dalam konteks kebebasan
beragama ini, terdapat perdebatan tentang seorang Muslim yang berpindah ke agama lain (murtad).
Menurut figh, orang yang murtad harus dihukum mati sesuai hadits yang berbunyi: “Barangsiapa
yang berpindah agama, bunuhlah dia”. Hubungan antarmanusia didasarkan pada prinsip saling
menghormati, bukan saling meniadakan.

Sesungguhnya, al Qur’an pun tidak menghukum orang murtad didunia ini dengan hukuman
mati. Pengadilan kepadanyaa adalah nanti dihari kiamat, sebagaimana dikatakan dalam QS. Al
Baqarah 217, yang artinya: “Barangsiapa diantara kamu murtad dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat dan mereka
itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. Dan juga telah dikatakan dalam QS. An Nisaa
137, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (pula)
kemudia kafir lagi, dan kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-sekali Allah tidak akan
memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjukkan mereka kepada jalan yang
lurus”. Salah satu alasan untuk menafsirkan kembali hadits di atas adalah karena setting sejarah
ketika Nabi mengatakannya. Hubungan dasar diantara berbagai kelompok ketika itu didominasi
oleh konflik dan perang. Jika seseorang keluar dari sebuah kelompok, maka ia akan bergabung
dengan kelompok lain yang pada umumnya menjadi musuh kelompok pertama, dan dia akan
menjadi informan tentang rahasia kelompok pertama. Jadi tindakannya dianggap seubversif.
Sebaliknya jika hubungan diantara berbagai kelompok (negara) adalah perdamaian, maka tidak ada
alasan yang kuat untuk menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang murtad.

11
Nurcholish Madjid, Op.cit, hlm. 56
12
Hamka, Op.cit, hlm. 162
Tanggapan Pribadi

Musyawarah dalam umat Kristen pada dasarnya tidaklah berbeda dengan pengertian
musyawarah dalam agama islam. Karena sejak dahulu juga pengambilan keputusan secara bersama
demi kebaikan umat Kristen sudahlah dilakukan. Dalam hal ini Gereja terpanggil sebagai alat untuk
mengumpulkan setiap komponen-komponen Gereja untuk dapat mengambil sikap dalam setiap
keputusan yang ingin dilakukan, baik itu dalam konteks pengembangan Gereja dan lain sebagainya.
Contoh dari musyawarah yang bisa penulis berikan adalah Sermon Gereja. Sermon menjadi sarana
yang efektif untuk membahas persiapan apa saja yang diperlukan untuk hari Minggu berikutnya.
Yang utama adalah membicarakan materi khotbah/renungan yang akan dibawakan dalam ibadah.
Seorang pendeta atau penatua akan mempersiapkan materi tertulis, dan itu menjadi acuan untuk
mendalami pokok-pokok yang dianggap penting oleh peserta sermon. Tentu dengan sudut pandang
masing-masing karena dipengaruhi oleh latar belakang pengalaman rohani, pelayanan, pekerjaan,
pendidikan, budaya dan usia. Tidak tertutup kemungkinan timbul perbedaan pendapat bahkan
perdebatan sengit. Untuk itu uluan Gereja perlu bersikap tenang dan bijak untuk menjaga suasana
tetap kondusif. Pada dasarnya sermon terbuka untuk umum dan semua anggota jemaat. Tapi
kebanyakan yang hadir adalah para pelayan yaitu pendeta, penatua dan majelis. Terkadang hadir
pula anggota dari kelompok pelayanan kategorial. Mereka hadir bila ada agenda pembicaraan
khusus atau tambahan yang perlu dibahas dalam waktu yang cepat. Dengan adanya sermon
diharapkan akan semakin banyak orang yang terlibat komunikasi dan kerja sama dalam Gereja.
Contoh lain yang bisa penulis berikan adalah Ketika Yudas mati bunuh diri, para rasul mengadakan
musyawarah dan bersepakat memilih seseorang untuk mengisi tempat Yudas sebagai rasul. Syarat
penggantinyanya adalah orang yang sudah mengikut Yesus sejak Yohanes Pembabtis membaptis
Yesus, hingga turut menyaksikan kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga (Kisah Para Rasul 2:21-
22). Diantara para murid dan pengikut Yesus ketika itu, ada dua orang yang memenuhi syarat
tersebut. Mereka adalah Matias dan Yustus yang disebut Barsabas. Matias kemudian terpilih
menjadi rasul setelah dilakukan pengundian oleh rasul-rasul. Banyak hal tentunya yang sampai saat
ini dapat dijadikan sebagai contoh bagaimana musyawarah itu dilakukan dalam agama Kristen.
Tetapi baik itu agama islam dan Kristen tidaklah memiliki terlalu banyak perbedaan, justru ada
banyak kemiripan dari berbagai cara dan kepercayaannya. Semua itu tidak terlepas dari latar
belakang dari kedua agama yang sangat dekat, sehingga dalam hal ini tidaklah menjadi sesuatu
yang harus dipertanyakan.

Kebebasan adalah hak istimewa yang Tuhan Allah berikan kepada manusia, yang menjadikan
manusia memiliki kehendak bebas untuk mencipta, merasa, dan berkarya menurut keinginannya.
Dalam konsep kekristenan, freedom (kebebasan) itu mempunyai batasan; dan kita juga mengatakan
bahwa Tuhan pun dalam kebebasan-Nya rela "membatasi" diri. Sebebas-bebasnya Tuhan, tetap
tidak mungkin Ia berbuat dosa.13 Sebagai contoh nyata bagaimana kebebasan itu ada dalam diri
Tuhan Yesus yang menjadi manusia. Melihat ini kita harusnya menjadi sangat kagum, ketika Allah
yang Mahabebas rela membatasi diri saat menjalani kemanusiaanNya. Kebebasan yang tidak bisa
membatasi diri bukanlah kebebasan tapi lbih kepada keinginan daging dan hawa nafsu. Rasul
Paulus sendiri mengatakan dalam 1 Korintus 9:1 “Bukankah aku Rasul? Bukankah aku orang
bebas? Bukankah aku telah melihat Yesus, Tuhan kita? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku
dalam Tuhan?”. Hal ini menujukkan bagaimana respon dari Rasul Paulus yang hendak mengatakan
bahwa dia yang juga mempunyai kebebasan saja tetap memiliki batasan dan menggunakan
kebebasan yang dia miliki hanya untuk kemuliaan bagi nama Tuhan. Kebebasan beragama
dipahami sebagai prinsip bahwa setiap individu bebas memilih dan mengimani agamanya serta
mengamalkan sepenuhnya ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Islam memberi kebebasan kepada
warganya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan
keyakinannya kepada orang lain.14

Kebebasan beragama dalam agama Kristen memanglah tidak secara jelas tertulis dalam
Alkitab, seperti apa konsekuensi yang akan diterima jika seorang beragama Kristen meninggalkan
agamanya. Tetapi dalam kepercayaan umat Kristen hanya ada satu jalan menuju kepada
keselamatan, seperti dikatakan dalam Yohanes 14:6 “Kata yesus kepadanya: “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku”.
Hal ini menujukkan dengan tegas bahwa tak ada seorang pun yang bisa memperoleh keselamatan
kalau tidak mengimani dan percaya kepada Yesus Kristus. Agama Kristen memang sangat terbuka
dan bebas tetapi kebebasan ini pada dasarnya tidaklah kebebasan yang merujuk kepada kehendak
bebas dalam melakukan segala sesuatu yang kita inginkan. Dalam Galatia 2:16 dikatakan: “Kamu
tahu, bahwa tidak seorang pun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi
hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kami pun telah percaya kepada Kristus
Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan
hukum Taurat. Sebab: ”tidak ada seorang pun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum
Taurat. Dengan beberapa ayat alkitab diatas memberikan kesimpulkan bahwa tidak ada yang dapat
memperoleh kehidupan yang kekal kalau tidak mengimani dan percaya kepada Tuhan Yesus
Kristus sang Juruselamat manusia.

13
https://reformed.sabda.org/kebebasan_kristen Diakses 26 November 2020 Pukul 09.00 WIB
14
Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, Cet.1, (Yogyakarta:
UII Press 2001), hlm.95-96.
Kebebasan beragama dalam Islam dan kebebasan beragama dalam Kristen adalah bagaimana
keduanya memaknai kebebasan beragama sebagai hak setiap individu untuk memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya masing-masing. Dan tujuan dari kebebasan beragama adalah mewujudkan
kerukunan antar umat beragama, menciptakan perdamaian, dan menjalankan perintah Tuhan.
Ketika orang Kristen pindah agama dan menjadi murtad. Mereka adalah orang-orang yang memilih
tidak mempercayai Yesus Kristus dan seakan-akan tidak takut dan tidak gemetar terhadap Allah.
Padahal ia sudah tahu bahwa Dia adalah Tuhan Allah semesta alam. Dia bukan hanya Tuhan bagi
orang Kristen, tetapi Tuhan semesta alam. Dengan segala kemahakuasaanNya, Dia mampu
memberikan apapun yang baik kepada kita dan mampu melindungi kita dari segala kejahatan dan
siksaan. Ketika kita menjadi Kristen, kita mengenal Tuhan Yesus, dan kita mendapatkan
keselamatan. Kita dikuduskan dan dilepaskan dari hukuman maut, kita disucikan dan lepas dari
segala dosa. Namun, ketika kita malah terlibat lagi dalam keberdosaan tersebut, keadaan kita malah
menjadi lebih buruk. Seperti dikatakan Ibrani 6:4-6 “Sebab mereka yang pernah diterangi hatinya,
yang pernah mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah mendapat bagian adalam Roh Kudus,
dan yang mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang,
namun yang murtad lagi, tidak mungkin dibaharui sekali lagi sedemikian, hingga mereka bertobat,
sebab mereka menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka dan menghina-Nya di muka umum”.
Ayat Alkitab diatas dengan tegas mengatakan bahwa setiap orang Kristen yang meninggalkan
Kristus, mereka tidak lagi mendapatkan keselamatan itu.

Pada akhirnya baik agama Kristen maupun agama Islam memiliki prinsip dan dogmanya
masing-masing, semua agama mempercayai bahwa satu-satunya jalan menuju kepada kehidupan
yang abadi adalah dengan mengikuti hukum dan perintah yang ada dalam agama masing-masing.
Agama harus dilihat menjadi sebuah alat yang dipakai untuk mengatur makna atau nilai-nilai dalam
kehidupan manusia sehingga digunakan sebagai pendukung bagi seluruh kenyataan dalam hidup.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai tujuan untuk mendamaikan kenyataan-
kenyataan yang ada dengan banyaknya manusia yang saling bertentangan sehingga dapat diperoleh
suatu keseimbangan atau keharmonisan didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Didin Hafiduddin, M.Sc, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press. Cet 3, 1998).
2. Harjani Hefni, Komunikasi Islam, (Jakarta: Kencana,2015).
3. Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani, 2015).
4. Hamka, Op.cit.
5. https://reformed.sabda.org/kebebasan_kristen Diakses 26 November 2020 Pukul 09.00 WIB.
6. Kristiansen, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa
Tenggara Barat”, Sojourn 18 (1), 2003.
7. M, Masyhur Amin, Dakwah Islam Dan Pesan Moral, (Jakarta: al Amin Press, 1997).
8. M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, (Bandung, Penerbit Mizan, 1992).
9. Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD
1945, Cet.1, (Yogyakarta: UII Press 2001).
10. Thalib, Radikalisme.
11. Nina M. Armando, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
12. Nurcholish Madjid, Op.cit
13. Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat
Terlibat Pemilu Dan Politik, (Jakarta, Gozian Press, 2013).
14. Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011).

Anda mungkin juga menyukai