Anda di halaman 1dari 8

Tugas Ujian Akhir Semester Ilmu Agama Islam

DISUSUN OLEH:

NAMA : Valentino Markus Situmorang

NIM. : 17.3220

MATA KULIAH : Ilmu Agama Islam

DOSEN : Pdt. Dr. Petrus N.B. Pardede

STT HKBP PEMATANG SIANTAR


Kata Pengantar

Dengan segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunianya, makalah ini
dapat penulis buat sebagai tugas ujian akhir semester. Sebagai bahan pembelajaran penulis dengan
harapan dapat di terima dan di pahami secara bersama. Dalam batas-batas tertentu makalah ini
memuat tentang “Bagaimana model dan isi dakwah Islam yang dilaksanakan pada saat ini serta dari
tulisan Ringkasan buku Demokrasi dan Islam, Pergulatan Politis dan Teologis di NKRI Bapak
dosen Pdt. Dr. Petrus N.B. Pardede”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Agama Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada beberapa narasumber yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, dan karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya dengan kerendahan hati penulis
meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau penguraian makalah ini. Dengan
harapan dapat di terima oleh bapak dosen dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses
pembelajaran pelajaran penulis tentang Ilmu Agama Islam.

Porsea, 01 Desember 2020

Valentino Markus Situmorang


I. Pendahuluan

Islam merupakan Agama mayoritas di Indonesia, islam ialah agama dakwah yang dimana
agama yang selalu mendorong umatnya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan
maju mundurnya umat Islam bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang
dilakukan, karena itu Al-Qur’an dalam menyebut kegiatan dakwah dengan Ahsanu Qaulan. 1 Bahwa
dakwah menempati posisi yang tinggi dan mulia dalam kemajuan agama Islam. Maka apapun
persoalan yang berkaitan dengan dakwah harus diutamakan diatas segala kepentingan. 2 Agar
dakwah Islam dapat berjalan dengan maksimal oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari komponen
atau unsur-unsur dakwah. Selain subjek, objek, materi dan media, aktivitas dakwah akan berjalan
dengan baik jika dalam pelaksanaannya ada metode yang digunakan. Dakwah memerlukan metode
agar mudah diterima oleh mitra dakwah. Metode yang dipilih harus benar agar Islam dapat
dimengerti dengan benar dan mengasilkan pencitraan Islam yang benar pula. Pada garis besarnya,
dakwah ada tiga, yaitu: Dakwah Lisan (da’wah bi allisan), Dakwah Tulis (da’wah bi al-qalam), dan
Dakwah Tindakan (da’wah bi alhal).3 Setiap metode dakwah tersebut ada kekurangan dan
kelebihannya masingmasing, dimana dai harus pandai dalam menyesuaikannya dengan situasi dan
kondisi yang diperlukan. Suatu dakwah dapat berhasil, apabila ditunjang dengan seperangkat syarat
baik itu dari pribadi pendakwah itu sendiri, materi yang dikemukakan, kondisi objek, dakwah yang
sedang didakwahi, ataupun elemen-elemen penting lainnya.

Dalam pendakwaan itu pendakwa umumnya melakukan didalam masjid, dimana masjid
merupakan Masjid bagi umat Islam memiliki makna yang besar dalam kehidupan, baik makna fisik
maupun makna spiritual. Masjid adalah salah satu lambing Islam yang merupakan barometer atau
ukuran dari keadaan suatu masyarakat muslim yang ada disekitarnya. Pembangunan masjid adalah
pembangunan Islam dalam suatu masyarakat sehingga keruntuhan masjid merupakan keruntuhan
Islam dalam masyarakat. Masjid merupakan tempat seorang hamba untuk berkomunikasi dengan
Allah Swt, di masjid pula seseorang dapat saling bertemu dan saling bertukar informasi tentang
masalah-masalah yang dihadapi, baik suka maupun duka. Masjid juga sebagai, komunikasi timbal
balik antara Rasul dengan umatnya dan antara kaum muslimin dengan sesamanya, sehingga dapat
lebih mempererat hubungan dan ikatan jamaah Islam yang menjamin kebersamaan di dalam
kehidupan. Hal ini merupakan peran masjid sebagai ranah sosial terhadap umat manusia.

1
1. Harjani Hefni, Komunikasi Islam, (Jakarta: Kencana,2015), hal 98.
2
2. M, Masyhur Amin, Dakwah Islam Dan Pesan Moral, (Jakarta: al Amin Press, 1997), hlm 8
3
3. Didin Hafiduddin, M.Sc, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press. Cet 3, 1998), hlm 76.
II. Etimologi dan Terminologi

 Dakwah

Secara etimologi atau bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab, yang berarti panggilan,
ajakan, atau seruan. Menurut ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah berbentuk “isim masdar” yang
berasal dari fiil (kata kerja) “da‟a” (‫ )”دعا‬yad‟u” (‫ )”يدعو‬da‟watan” (‫) دعوة‬yang artinya memanggil,
mengajak, atau menyeru.4 Perwujudan dakwah bukan sekadar usaha peningkatan pemahaman
keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih
luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran
Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Pengertian dakwah menurut istilah
ilmu dakwah antara lain bisa dilihat dalam penjelasan Syekh’Ali Mahfuzh dalam bukunya Hidayat
al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zh al-Khithabah. Kelihatannya dalam mengemukakan definisi
dakwah ia bertolak dari arti ini. Defenisi tersebut berbunyi: mendorong manusia agar mengikuti
yang baik dan menerima petunjuk,menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah perbuatan yang
mungkar supaya mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Ali Mahfuzh, 1952: 17).

Sehingga dakwah Islam berarti menyampaikan pesan atau ajaran Islam kepada masyarakat
luas, sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Muhammad pada zamannya. Setidaknya ada empat
unsur di dalam praktek dakwah, yakni pelaku dakwah (da‟i), penerima dakwah atau sasaran
dakwah (mad‟u), materi dakwah (pesan/ajaran Islam) dan media atau saluran dakwah. Agar hasil
dakwah itu bisa sesuai dengan yang diharapkan, maka diperlukan strategi dan metode, hal ini juga
tidak kalah penting dengan keempat unsur tersebut di atas.

III. Hasil Wawancara

IV. Tanggapan pribadi

Menurut saya perkembangan dari dakwah yang ada di Indonesia itu sangatlah pesat, terlebih
dengan kemajuan teknologi saat ini yang sangat berperan untuk mempermudah bagaimana
penyampaian dari dakwah tersebut. Berbagai media social dan siaran televisi berlomba untuk
menayangkan kegiatan dakwah, tak hanya sampai disitu belakangan perkembangan dari dakwah
juga telah mulai masuk kekawasan yang bukan mayoritas beragama islam. Hal ini tentu saja
membuat umat Kristen merasa terganggu, apalagi banyak dakwah yang disampaikan itu merujuk
kearah untuk memecah belah umat beragama. Dimulai dari isi dakwah yang mengajak umat islam
untuk melakukan tindakan radikal. Radikalisme Islam pada zaman dulu banyak dilatarbelakangi
4
Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
oleh adanya kelemahan umat Islam baik pada bidang aqidah, syariah maupun perilaku, sehingga
radikalisme Islam merupakan ekspresi dari tajdid (pembaruan), islah (perbaikan), dan jihad (perang)
yang dimaksudkan untuk mengembalikan muslim pada ruh Islam yang sebenarnya. 5 Tetapi akar
radikalisme Islam di zaman modern ini sangat kompleks. Selain faktor-faktor sosial, menurut para
ahli, radikalisme agama juga melibatkan faktor agama yakni dilakukan dengan landasan-landasan
moral agama yang ada dalam kitab suci termasuk tradisi keagamaan yang berkembang dalam
kelompok agama dan dakwah. Kelompok muslim yang berafiliasi pada Islam radikal, melakukan
tindak kekerasan atau seruan agama dengan kecenderungan agresif dengan dalih melakukan
dakwah, amar makruf nahi munkar, dan jihad untuk memberantas ketidakadilan, menegakkan
kebenaran, pemerataan kemakmuran, dan semacamnya.6

Pada kenyataannya dakwah saat ini lebih digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan suatu
golongan tertentu, menebarkan kebencian, dan juga banyak unsur politis yang dilakukan untuk
dapat mencari dukungan sesama umat islam. Dengan kenyataan ini kaum minoritas menjadi
semakin tertekan, sehingga ideologi Negara Indonesia terasa hanya seperti kalimat yang tak
mempunyai makna. Dalam hal ini pemerintah Indonesia sebenarnya tidaklah diam, tetapi dengan
kekuatan yang sangat besar dan tekanan dari umat muslim yang ada diseluruh Indonesia berbagai
tindakan kekerasan yang berhubungan dengan nilai keagamaan hanya berlalu begitu saja. Tetapi
sebaliknya jika hal ini dilakukan oleh kaum minoritas, maka dengan cepat tindakan akan dilakukan.
Sungguh miris melihat bagaimana hal ini bisa terjadi, kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
kaum mayoritas sangatlah sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Dalam hal ini seharusnya pemerintah
langsung mengambil sikap untuk dapat meredam penyebaran kebencian yang dilakukan oleh
beberapa oknum dengan dalih melakukan kegiatan dakwah.

Ringkasan Buku Demokrasi dan Islam, Pergulatan Politis dan Teologis di NKRI

5
Thalib, Radikalisme ..., hlm. 109.
6
17S. Kristiansen, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”, Sojourn 18
(1), 2003, hlm. 115.
BAB IV

AJARAN ISLAM YANG SEJALAN DENGAN NILAI-NILAI DEMOKRASI

As Syura (Musyawarah)

Musyawarah adalah suatu sistem pengambilan keputusan yang melibatkan banyak orang
dengan mengakomodasi semua kepentingan sehingga tercipta satu keputusan yang disepakati
bersama dan dapat dijalankan oleh seluruh peserta yang mengikuti musyawarah. Berdasarkan
etimologinya, musyawarah dikenal dengan istilah as syura, berasal dari kata syawara yang berarti
“mengeluarkan atau mengambil (madu itu) dari tempatnya” sedangkan berdasarkan
terminologinya, kata ini berarti “tuntutan mengeluarkan pandangan dari mereka yang memiliki
ilmu dan pengalaman untuk menyampaikan suatu perkara agar mendekati kebenaran”. Dalam
konteks social politik, musyawarah atau as syura didefenisikan sebagai tuntunan mengeluarkan
pandangan umat atau yang mewakili dalam urusan-urusan publik yang terkait dengan kepentingan-
kepentingan mereka.7 Peserta musyawarah adalah bagaikan lebah yang bekerja sengat disiplin, solid
dalam bekerja sama dan hanya makan dari hal-hal yang baik saja (disimbolkan dengan kembang),
serta tidak melakukan gangguan apalagi merusak dimanapun ia hinggap dengancatatan ia tidak
diganggu. Sedangkan isi atau pendapat musyawarah itu bagaikan madu yang dihasilkan oleh lebah.
Madu bukan hanya manis tapi menjadi obat dan karenanya menjadi sumber kesehatan dan
kekuatan. Itulah hakekat dan semangat sebenarnya dari musyawarah.

Kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan untuk Nabi saja melainkan
juga kepada umatnya secara menyeluruh. Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan
munculnya lembaga politik dan pemerintahan, lembaga ini menjadi subjek musyawarah, para
pemimpinnya dibebani kewajiban melaksanakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya
atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi. 8 Tanggung jawab tersebut dapat
diemban dengan mengacu pada QS. As Syura 38, yang artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki
yang kami beriikan kepada mereka”. Disamping ayat-ayat diatas, terdapat pula beberapa hadits
yang berbicara tentang musyawarah, diantaranya ialah: hadits dari Tirmidzi dan Abu Daud: “Dari
Abu Huraiah RA berkata: RAsullulah SAW pernah bersabda “Musyawarah adalah dapat
dipercaya”. Makna dari hadits-hadits ini menyebutkan bahwa musyawarah begitu penting dan
harus dapat dipercaya bagi orang yang ikut serta di dalamnya. Maka jika musyawarah tidak murni

7
Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu Dan Politik,
(Jakarta, Gozian Press, 2013), hlm. 168.
8
Nina M. Armando, dkk, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 329-330.
dan terdapat ketidak-ikhlasan dalam mengikutinya, itu hanyalah sebuah pengkhianatan atau
ketidak-jujuran. Dalam menghadapi permasalahan perlu adanya pertimbangan yang matang dan hati
yang ikhlas. Sesungguhnya mereka yang melakukan musyawarah adalah orang-orang yang
mengharap kebaikan dan mengambil manfaat dari musyawarah tersebut. Didalam musyawarah
silang pendapat selalu terbuka, apalagi orang-orang yang terlibat terdiri banyak orang. Oleh sebab
itulah, Allah memerintahkan Nabi agar menetapkan peraaturan itu, dan mempraktekkannya dengan
cara yang baik. Nabi Muhammad, manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa
bersikap tenang dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian mentarjihkan suatu
pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak maslahatnya bagi kepentingan kaum Muslim dan
orang lain, dengan segla kemampuan yang ada. Demikianlah, Nabi selalu bermusyawarah dengan
para sahabatnya dalam menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal
itu.9

Al Huriyyah (Kebebasan)

Islam menyadari bahwa kepribadian manusia, baik itu kepribadian perorangan, kepribadian
suatu golongan atau Negara, tidakn akan tumbuh dengan sempurna, jika tidak dibawah naungan
kebebasan. Islam mengakui kebebasan memilih, dan contoh pelanggaran nabi Adam mungkin
merupakan simbol dari kebebasan memilih tersebut. Islam juga menjadi ateis selama tidak
menggangu ketertiban umum.10 Berkaitan dengan kebebasan berpikir dan berpendapat tersebut,
Azhanty mengatakan bahwa kebebasan itu sangat dihargai, sehingga orang yang berani
mengungkapkan suatu pemikiran yang benar di hadapan penguasa yang otoriter atau zalim,
dianggap perjuangan yang sangat mulia, sebagaimana dikatakan Nabi: “Perjuangan yang paling
mulia adalah mengungkapkan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim”. Namun, kebebasan
berpikir dan berpendapat harus didasarkan pada tanggungjawab dan tidak mengganggu kepentingan
umum, serta tidak menciptakan permusuhan antarmanusia. Dengan kata lain, kebebasan berpikir
dan berpendapat tidak berarti bahwa setiap orang bebas untuk menghina atau memandang rendah
terhadap orang lain dan agama mereka. Banyak intelektual Muslim menjadikan kebebasan berpikir
sebagai akar kebebasan, Madjid menjadikan kebebasan beragama sebagai kebebasan yang paling
fundamental dalam urusan sosio-politik kehidupan manusia. Ajaran agama sesungguhnya adalah
ajaran yang paling benar, namun hal ini tidak dapat dipaksakan kepada seseorang. Nabi Muhammad
s.a.w sendiri selalu diingatkan bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan pesan-pesan Allah, dan
tidak berhak memaksa seseorang untuk beriman dan mengikutinya. 11 Ini adalah pernyataan paling

9
Hamka, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Jakarta, Gema Insani, 2015), hlm. 35-36
10
M. Amien Rais, Cakrawala Islam Antara Cita Dan Fakta, (Bandung, Penerbit Mizan, 1992), hlm. 56
11
Nurcholish Madjid, Op.cit, hlm. 56
eksplisit tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, sekaligus larangan memaksakan kehendak
keyakinan agama terhadap orang lain.

Anda mungkin juga menyukai