Anda di halaman 1dari 10

Mukaddimah

“Kita membaca semesta dengan salah”, kata Tagore, “lalu berkata dunialah yang membohongi kita”. Di
era pandemi Covid-19 ini, ketika semesta sedang bekerja dan sedang mengambil posisi
keseimbangannya yang lain—ke arah yang baru. Semesta yang luas ini—yang notabene adalah jejak Dia
di atas muka bumi. Terus bergeliat, bergerak dinamis dan akan terus begitu hingga tiba di kehidupan
selanjutnya—setelah kematian.

Kita keliru meresepsi keadaan semesta saat ini, lalu kita menyalahkan yang lain—mencari “kambing
hitam”. Pandemi Covid-19 ini notabene membawa penderitaan bagi seluruh umat manusia, tidak
memandang latar belakang agama, status sosial, ras manusia tersebut. Kita mungkin menyalahkan
Tuhan yang membiarkan manusia menderita.

Kita menyalahkan Dia yang membiarkan kita mengalami penderitaan. Terus-menerus mengalami
kedukaan serta kehilangan. Pada akhirnya, ternyata kitalah—manusia yang salah memahami semesta
lalu mencari “kambing hitam”.

Ketidakmampuan kita menjelaskan ini, lalu membawa kita menyalahkan Tuhan sebagai penyebab segala
kemalangan kita saat ini. Kita bisa terjebak dalam kesalahan membaca peristiwa pandemi ini. Terjebak
pada mentalitas yang tidak produktif dalam aktifitas sehari-hari, tanpa vitalitas kehidupan—tanpa
harapan.

***

Dunia Yang Terluka

Dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja, sedang mengalami penderitaan, seluruh dunia tengah
dikejutkan oleh satu virus yang akhir tahun 2019 lalu mulai merebak dari satu tempat kemudian di etape
awal tahun 2020 menyebar dengan cepat ke tempat-tempat lain ke seluruh dunia. Sontak membuat
kondisi dunia berubah. Tatanan sosial masyarakat berganti. Kebiasaan lama perlahan ditinggalkan.
Revolusi pun terjadi dalam sekejap.
Virus SARS Cov-2 atau lebih dikenal dengan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) ini dalam waktu yang
tidak lama—menyebar luas ke berbagai belahan dunia. Pada 11 Maret 2020, World Health Organization
(WHO) menetapkan virus ini sebagai pandemi. Dalam istilah kesehatan, pandemi berarti terjadinya
wabah suatu penyakit yang menyerang banyak korban, serempak di berbagai negara. Sementara dalam
kasus COVID-19, badan kesehatan dunia—WHO menetapkan penyakit ini sebagai pandemi karena
seluruh warga dunia berpotensi terkena infeksi penyakit COVID-19.

Dengan ditetapkannya status global pandemic tersebut, WHO sekaligus mengonfirmasi bahwa COVID-19
merupakan darurat internasional. Artinya, setiap rumah sakit dan klinik di seluruh dunia disarankan
untuk dapat mempersiapkan diri menangani pasien penyakit tersebut.[1]

Lalu, kemana hendak kita mengarahkan wajah kita di tengah kekalutan pandemi Covid-19 yang telah
merenggut banyak korban jiwa ini? Adakah pertolongan dari atas langit sana ketika manusia menderita
di tengah pandemi ini? Dapatkah kita menemukan Yesus Kristus di tengah rendahnya pencarian spiritual
dan tingginya pengkambinghitaman atas kondisi serta peristiwa pandemi Covid-19 ini?

Pencarian (Makna) Yesus Kristus

Sebagai orang yang mendapat julukan ‘Bapak Umat Beriman’—Abraham mewariskan kerangka besar
mengenai konsep Tuhan Yang Esa, meski dengan bahasa khas yang berbeda-beda keagamaan yang
berbeda-beda, dari Yahudi, Kristen hingga Islam. Selain disebabkan perbedaan ruang dan waktu
sehingga ketiga tradisi agama tersebut memiliki perbedaan dalam meresepsi Tuhan Yang Maha Esa
tersebut.

Refleksi umat Kristen tentang Allah Yang Esa bercorak trinitarian, sehingga tidak bisa tidak—umat
Kristen merefleksikan Yesus Kristus sebagai Allah Tritunggal. Meski umat Kristen semula tampil dalam
kerangka agama Yahudi terlebih dahulu lalu kemudian dalam kerangka kebudayaan Yunani. Monoteisme
dinamis Israel ini yang lalu diambil alih oleh Kristen semula[2]. Meski dalam perjalanan waktu, umat
Kristen memberi sentuhan atau modifikasi atas monoteisme dinamis tersebut.

Dalam teologi Kristen, Allah Yang Maha Esa yang dinamis dalam relasi khusus dengan manusia disebut
Bapa. Dalam Perjanjian Baru (PB), kata “Allah” (theos) kerap kali searti dengan “Bapa” (Pater). Gelar itu
dikhususkan untuk Allah, sehingga Yesus dan Roh Kudus tidak pernah disebut Bapa.
Oleh sebab itu, muncul ungkapan: “Bapa Tuhan kita Yesus Kristus”. Ini kemudian menjadi semacam gelar
khusus. Gelar tersebut bahwa Allah dalam dan melalui Yesus Kristus secara dinamis menjalin hubungan
dengan manusia percaya, yang mengakui Yesus sebagai “Tuhan” (Kyrios-penguasa).[3]

Lebih lanjut, dalam kerangka teologi Kristen, berbicara tentang Yesus, tidak terlepas dari Kristus (yang
diurapi). Dari sini kemudian muncul satu disiplin bernama Kristologi, sebagai cabang dari teologi,
khususnya teologi dogmatis. Groenen menjelaskan bahwa Kristologi ialah: logos mengenai Kristus,
pemikiran (serta ucapannya) mengenai Yesus Kristus, sasaran iman umat Kristen.[4]

Kristologi kemudian menjadi salah satu disiplin ilmu yang tidak habis dibahas hingga kini. Perkembangan
tentang Yesus Kristus tak henti dikontekstualisasikan oleh banyak pengikut Kristus di seluruh dunia
dengan beragam konteks kebudayaannya serta ragam cara membacanya. Hal ini juga yang membuat
Yesus Kristus tak pernah usai untuk dikonseptualisasikan dan dibahasakan hingga kemudian
menemukan Kristologi dari berbagai ragam tradisi dan budaya.

Dalam konteks Indonesia misalnya, yang secara statistik notabene beragama Islam, Kristologi punya
bentuk serta pembacaan oleh umat Islam yang memahami Yesus dengan nuansa yang lain. Di bagian
akhir pendahuluan bukunya, Groenen juga menyadari bahwa umat Islam di Indonesia kerap kali
dibenturkan—khususnya ketika membahas tema Isa al-Masih atau Yesus (sapaan akrab umat Kristen).

Selain itu, Groenen juga menyadari bahwa umat Islam mempunyai konsep Kristologinya sendiri meski
kadang kala berlawanan dengan Kristologi umat Kristen.[5] Hal serupa juga diungkap oleh Wahju S.
Wibowo, bahwa perdebatan Kristologis antara Kristen dan Islam berulang kali terjadi di Indonesia, meski
dalam dekade terakhir ini berubah, namun tidak berkurang drastis.[6]

Membaca Yesus Kristus sebagai sapaan lain dari Allah Yang Maha Esa adalah hal begitu sulit dimengerti
bagi kalangan Islam pada umumnya. Terjalnya kesenjangan bahasa teologis—membuatnya jurang
pemisah antara kedua keyakinan tersebut makin lebar. Pemahaman tentang konsep wahyu atau firman
Allah menjadi hal yang paling krusial. Meski Kristen dan Islam sama-sama menyadari dan bersepakat
bahwa pada hakikatnya Allah Yang Maha Esa tersebut memiliki firman/logos. Perbedaan yang krusial
terdapat pada manifestasi dari firman Allah tersebut.
Umat Kristen sadar bahwa firman Allah itu nuzul menjadi daging, yang kemudian disebut Yesus.
Sedangkan umat Islam memaknai lain, firman Allah itu nuzul menjadi sebuah kitab suci Al-Qur’an. Dari
sini kemudian—perdebatan selalu berputar dan tak pernah usai, khususnya ketika membaca bersama
antara Kristen dan Islam tentang firman Allah tersebut.

Membaca Kristus dalam kaitannya dengan teologi Islam yang tidak memiliki corak trinitarian seperti
yang dimiliki oleh umat Kristen tentu menjadi rintangan tersendiri. Namun, di satu sisi, Kristus biarlah
menjadi satu dari kekayaan umat Kristen dalam menyapa Tuhan Yang Maha Esa yang dalam istilah Al-
Qur’an sebagai Rabb al-‘alamin (Tuhan Semesta Allah—Yang Maha Pencipta, yang menciptakan semesta
ini).

Sehingga, dialog teologis—khususnya yang berkaitan dengan Kristologi ke depan, kita tidak berdebat lagi
sapaan Tuhan yang puspa warna itu. Namun justru sudah lebih maju dan berhenti berkutat pada tema
dialog yang tak kunjung usai itu.

Sehingga dalam memahami Kristus (dalam teologi Kristen) dapat segera menemukan paralelisasi dalam
teologi Islam, yakni dengan Rabb al-‘alamin (Tuhan Semesta Alam) yang juga bekerja dalam semesta
yang penuh misteri ini. Tentu kita tidak perlu memperdebatkan Tuhan Esa yang melingkupi segala
sistem nalar manusia yang terbatas itu, bukan?

Membalut Luka Bersama Kristus a la Roger Haight

Oh Yesus

Sini, bersama kami, sekarang

Oh Yesus, bersamalah kami.

(Kim Chi Ha – “The Gold-Crowned Jesus”)


Fragmen di atas sepertinya paling mewakili perasaan umat Kristen saat ini di tengah pandemi Covid-19
ini. Fragmen tersebut serupa doa yang dilantunkan, serupa permohonan. C.S Song dalam artikelnya yang
berjudul “Oh, Yesus, Sini Bersama Kami!” menyebutnya juga sebagai suatu pengakuan iman. Yesus yang
sebenarnya adalah suatu perkata doa dan bukan perkara dogma. Yesus sesungguhnya membangkitkan
permintaan dan bukan suatu gagasan. Dan Yesus yang sebenarnya, ketika dilihat, adalah pengakuan
iman. Pengakuan bahwa Yesus adalah Imanuel—Allah bersama kita.[7]

Berangkat dari pengakuan keimanan tersebut, Yesus Kristus sudah seyogianya aktual dan relevan dalam
diri para pengikut-Nya. Tanpa kesadaran tersebut, Yesus Kristus hanya menjadi beku dalam narasi di
Alkitab. Roger Haight memberi arahan dalam melihat Kristus agar terus bisa dimaknai apapun ruang dan
waktunya. Konteks saat ini misalnya, khususnya ketika berada di tengah pergumulan pandemi Covid-19.

Pertama, ketaatan atau kesetiaan terhadap tradisi kekristenan, termasuk tradisi kitab suci Alkitab.
Tradisi menjadi kunci karena hal ini merupakan perjumpaan persekutuan orang yang percaya kepada
Allah dalam konteks perjumpaannya dengan Yesus pada era awal. Di dalam tradisi, Yesus Kristus sebagai
juru selamat yang dihidupi selama berabad-abad—dari waktu ke waktu.[8] Yesus dalam lintasan sejarah
kehidupannya sudah mengalami banyak luka serta penderitaan dalam hidupnya dan hal tersebut
terdokumentasi baik dalam Injil-Injil.

Hal yang dapat dilihat juga dari semangat Yesus adalah ketika Dia menyembuh orang sakit, membuat
orang lumpuh dapat kembali berjalan serta membuat orang buta dapat melihat. Di tengah pandemi
Covid-19 ini, Yesus jualah yang memberikan kemampuan bagi para dokter, perawat serta tenaga
kesehatan lainnya kekuatan untuk memberi kesembuhan pada manusia, pada alam dan seluruh kondisi
umat manusia yang saat ini sama-sama terluka parah akibat pandemi ini.

Kedua, kesesuaian atau dapat dimengerti dalam konteks atau pengalaman hidup sekarang ini. Dimana
Yesus yang hadir dalam setiap serat pengalaman hidup umat adalah Yesus yang dapat dimengerti dan
dihayati, tentu dalam konteks kehidupan sehari-hari. Bukan Yesus yang membeku di atas langit, namun
Yesus yang membumi—menyatu dalam realitas kemanusiaan.[9]

Pengertian akan Yesus hari ini, meski mungkin sulit dimengerti manifestasi dari karya-Nya di tengah
pandemi ini. Sesungguhnya Dia tak henti bekerja di segala lini bagi mereka yang menderita sakit serta
terus memberi penguatan bagi mereka semua mereka yang tengah berjuang juga untuk menangani
pasien yang terdampak virus Covid-19 ini.
Ketiga, memberi kekuatan atau memberdayakan kehidupan umat. Meski memenuhi dua kriteria
sebelumnya, namun Kristologi yang tidak dapat memberdayakan kehidupan orang Kristen—tentu
berakhir sia-sia. Tak hanya setia pada tradisi dan dapat dimengerti dalam konteks pemahaman sehari-
sehari dewasa ini, namun juga memberdayakan kehidupan orang Kristen untuk aktif melakukan sesuatu.
[10]

Keyakinan kepada Yesus Kristus adalah satu obat harapan di tengah gersangnya rasa syukur di tengah
pandemi ini. Seperti kita saksikan, di awal pandemi Covid-19, manusia justru saling memangsa dan tak
memperdulikan manusia lainnya. Selain itu, merutuki pandemi ini yang notabene tidak mendatangkan
hal-hal baik nan konstruktif dalam aktifitas sehari-hari.

Dalam tradisi serta kesadaran umat Kristen, Yesus sebagai penyembuh sudah lekat dalam ingatan, tak
pelak dihapal mati oleh sebagian besar umat Kristen yang percaya. Meski di masa krisis seperti saat ini,
akan sulit membaca gerak dan ingin-Nya—Dia tetap terus menjulurkan tangannya untuk membantu
umat manusia yang tengah menderita di tengah pandemi ini.

Dia pun senantiasa hadir memberi kekuatan dan menemani para tenaga kesehatan menghadapi maut
yang rela meninggalkan orang-orang terkasihnya di rumah—guna memberi kehidupan bagi raga lainnya.
Tak pelak, tenaga kesehatan juga harus rela mengorbannya segalanya, termasuk nyawanya untuk
menolong manusia yang terdampak virus ganas ini. Dia sangat serius dalam melihat umat-Nya.

Di tengah pandemi Covid-19 yang entah berakhir kapan ini, Yesus Kristus memberikan kemampuan
untuk membuat para pengikutnya untuk menghasilkan buah dari iman—yakni tindakan solidaritas antar
umat manusia di tengah pandemi ini. Solidaritas umat manusia yang akan bernilai bagi kehidupan baru
ke depan.

Akhir Kalam

Ala kulli hal, menemukan Kristus berarti berlatih untuk mengenali luka-luka yang menempel pada diri
kita di tengah pandemi Covid-19 ini. Luka-luka yang selama ini kita hidupi, termasuk berburuk sangka
terhadap-Nya ketika berhadapan dengan penderitaan di tahun 2020 ini. Dalam riuh kekalutan pandemi
ini, Yesus Kristus sesungguhnya turut serta dalam tangan misteriusnya untuk menyertai mereka yang
tengah di medan pertarungan melawan pandemi Covid-19 ini.

Dia turut menderita, menanggung beban bersama-sama mereka yang tengah menaiki tangga-tangga
spiritual. Bertarung bersama para dokter, perawat, relawan kesehatan serta pasien yang terkena
dampak virus Covid-19 tersebut. Dalam perjuangan manusia, terdapat kekuatan yang Dia selipkan di
tangan-tangan manusia yang menjadi perpanjangan tangan-Nya di dunia.

Dunia sedang menuju ke kondisi keseimbangan yang terus-menerus mencari bentuk. Terus berganti.
Terus bergerak. Terus berproses. Terus memberi ujian kepada umat manusia yang tengah berziarah di
atas muka bumi. Berziarah untuk mencari dan menemukan makna. Seorang mistikus dari Persia pernah
melantunkan syair dalam pencariannya;

Salib dan tempat Kristen, ujung ke ujung sudah kuuji.

Dia tidak ada di Salib.

Aku pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.

Tidak ada tanda apa pun di dalamnya.

Menuju ke pegunungan Herat dan Kandahar aku memandang.

Dia tidak di dataran tinggi maupun dataran rendah.

Dengan tegas, aku pergi ke puncak gunung Kaf (yang menakjubkan).

Di sana cuma ada tempat tinggal burung Anqa.

Aku pergi ke Ka’bah Mekkah, Dia tidak ada di sana.

Aku menanyakannya kepada Avicenna (lbnu Sina) sang filsuf

Dia ada di luar jangkauan dua busur panah…

Aku melihat ke dalam hatiku sendiri,

Di situlah tempat-Nya, aku melihat-Nya.

Dia tidak di tempat lain.


Kristus tidak berada di tempat lain. Dia bertahta dalam hati dan sanubari pengikutnya. Berdiam menanti
pengikutnya datang pada-Nya dalam keheningan pandemi ini. Menanti mereka yang ingin menggapai
sejuknya ketenangan jiwa yang merindu di tengah pandemi ini. Penderitaan itu ibarat proses kenaikan
dengan harapan yang menjadi tangganya untuk menuju kualitas spiritual tertinggi—menemukan-Nya.

Surat Ibrani 11:6 menjelaskan “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab
barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah
kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia”.

Dengan-Nya, kita menemani dunia ini menemukan bentuk baru, keadaan baru, transformasi baru,
keseimbangan baru, kesadaran baru hingga kenormalan baru. Dunia yang perlahan memberi
kesembuhan, menyeka air mata. Pandemi ini menjadi serupa sekolah (madrasah) tempat menempa diri,
mengasah ketajaman mata batin spiritual.

Mengambil waktu meditatif (i’tikaf) untuk sejenak mendengar bunyi sejati yang tersembunyi di balik
tabir misteri-Nya. Karena “semakin engkau diam, semakin engkau dapat mendengar”—kata Maulana
Jalaluddin Rumi. Wallahu a’lam bis shawwab.

*Fasilitator YIPC Yogyakarta, Mahasiswa Pascasarjana Fak. Teologi UKDW Yogyakarta.

Bibliography

Buku
Groenen, C. Kristologi Dan Allah Tritunggal. Ed. Banawiratma. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

————- Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Haight, Rogert. Jesus: The Symbol of God. New York: Orbit Books, 1999.

Sugirtharajah, R.S. Wajah Yesus di Asia, terj. Ioanes Rakhmat. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Jurnal

Wibowo, Wahju S. “Kristologi Dalam Konteks Islam di Indonesia” dalam Jurnal Gema Teologi vol. 33.
Yogyakarta, Fak. Theologia UKDW, 2009.

Internet

https://www.allianz.co.id/explore/detail/yuk-pahami-lebih-jelas-arti-pandemi-pada-covid-19/101490

[1] https://www.allianz.co.id/explore/detail/yuk-pahami-lebih-jelas-arti-pandemi-pada-covid-
19/101490, diakses pada 12 Juni 2020.

[2] C. Groenen, Kristologi Dan Allah Tritunggal, Ed. Banawiratma, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 34.

[3] Ibid, h. 35
[4] Lihat C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada
Umat Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 13.

[5] Ibid, h. 16.

[6] Baca selengkapnya Wahju S. Wibowo, “Kristologi Dalam Konteks Islam di Indonesia” dalam Jurnal
Gema Teologi vol. 33, (Yogyakarta, Fak. Theologia UKDW, 2009), hlm. 4.

[7] R.S Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, terj. Ioanes Rakhmat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), h.
233-234.

[8] Lihat selengkapnya Rogert Haight, Jesus: The Symbol of God, (New York: Orbit Books, 1999), h. 47-48.

[9] Ibid, h. 49-50.

[10] Ibid.

Anda mungkin juga menyukai