Anda di halaman 1dari 14

Pengaruh AFTA Terhadap Perekonomian Indonesia

Pendahuluan
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada tanggal 27-28 Januari 1992 di Singapura telah
menetapkan bahwa kerjasama ASEAN akan ditingkatkan menjadi ASEAN Free Trade Area
(AFTA) mulai tanggal 1 Januari 1993. Proses menuju ASEAN Free Trade Area tersebut
dilakukan melalui Common Effective Prefential Tariff (CEPT), yaitu penurunan tarif beberapa
komoditas tertentu secara bersamaan hingga mencapai tingkat 0-5%. Penurunan tarif tersebut
dilakukan secara bertahap sehingga baru akan mencapai kondisi perdagangan bebas untuk
seluruh komoditas setelah lima belas tahun. Untuk tahap pertama, mulai tanggal 1 Januari 1993,
penurunan tarif tersebut akan dilakukan untuk lima belas komoditas yang selanjutnya akan
diperluas mencakup komoditas-komoditas lainnya.
AFTA merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu
kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional
ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar
regional bagi 500 juta penduduknya.

Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara
ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya
saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi
dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun
2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential
Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk 1
mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan
kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan
AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi
Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand,
dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

Kerjasama AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk ASEAN di pasar dunia dan
menciptakan pasar seluas-luasnya untuk menstimulus peningkatan FDI (Foreign Direct
Investment) di kawasan Asia Tenggara. Kerjasama ini pada awalnya hanya beranggotakan enam
negara yaitu Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Tetapi
pada perkembangannya, AFTA memperluas keanggotaanya dengan masuknya anggota baru yaitu
Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta Kamboja (1999).

Kesiapan Indonesia Menghadapi AFTA


Untuk Indonesia, kerjasama AFTA merupakan peluang yang cukup terbuka bagi kegiatan ekspor
komoditas pertanian yang selama ini dihasilkan dan sekaligus menjadi tantangan untuk
menghasilkan komoditas yang kompetitif di pasar regional AFTA.

Upaya ke arah itu, nampaknya masih memerlukan perhatian serta kebijakan yang lebih serius
dari pemerintah maupun para pelaku agrobisnis, mengingat beberapa komoditas pertanian
Indonesia saat ini maupun di masa yang akan datang masih akan selalu dihadapkan pada
persoalan-persoalan dalam peningkatan produksi yang berkualitas, permodalan, kebijakan harga
dan nilai tukar serta persaingan pasar di samping iklim politis yang tidak kondusif bagi sektor
pertanian.

Diharapkan dengan diberlakukannya otonomi daerah perhatian pada sektor agribisnis dapat
menjadi salah satu dorongan bagi peningkatan kualitas produk pertanian sehingga lebih
kompetitif di pasar lokal, regional maupun pasar global, dan sekaligus memberikan dampak
positif bagi perekonomian nasional maupun peningkatan pendapatan petani dan pembangunan
daerah.

Secara umum, situasi ekonomi Indonesia sangat sulit. Perdagangan Indonesia dalam kurun 20002002 melemah, baik dalam kegiatan ekspor maupun impor. Kondisi ekonomi makro ditambah
stabilitas politik yang tidak mantab serta penegakan hukum dan keamanan yang buruk ikut
mempengaruhi daya saing kita dalam perdagangan dunia.

Memang, secara umum, beberapa produk kita siap berkompetisi. Misalnya, minyak kelapa sawit,
tekstil, alat-alat listrik, gas alam, sepatu, dan garmen. Tetapi, banyak pula yang akan tertekan
berat memasuki AFTA. Di antaranya, produk otomotif, teknologi informasi, dan produk
pertanian.

Dalam AFTA, peran negara dalam perdagangan sebenarnya akan direduksi secara signifikan.
Sebab, mekanisme tarif yang merupakan wewenang negara dipangkas. Karena itu, diperlukan
perubahan paradigma yang sangat signifikan, yakni dari kegiatan perdagangan yang
mengandalkan proteksi negara menjadi kemampuan perusahaan untuk bersaing. Tidak saja
secara nasional atau regional dalam AFTA, namun juga secara global. Karena itu, kekuatan
manajemen, efisiensi, kemampuan permodalan, dan keunggulan produk menjadi salah satu kunci
keberhasilan.

Adanya AFTA telah memberikan kemudahan kepada negara-negara ASEAN untuk memasarkan
produk-produk mereka di pasar ASEAN dibandingkan dengan negara-negara non-ASEAN.
Untuk pasar Indonesia, kemampuan negara-negara ASEAN dalam melakukan penetrasi pasar
kita bahkan masih lebih baik dari China. Hal ini terlihat dari kenaikan pangsa pasar ekspor
negara ASEAN ke Indonesia yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pangsa pasar
China di Indonesia.

Pada tahun 2001 pangsa pasar ekspor negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 17,6 persen.
Implementasi AFTA telah meningkatkan ekspor negara-negara ASEAN ke Indonesia. Akibatnya,
pangsa pasar ASEAN di Indonesia meningkat dengan tajam. Dan pada tahun 2005 pangsa pasar
negara-negara ASEAN di Indonesia mencapai 29,5 persen.

Berbeda dengan anggapan kita selama ini bahwa ternyata daya penetrasi produk-produk China di
Indonesia tidak setinggi daya penetrasi produk-produk negara ASEAN. Pada tahun 2001 China
menguasai sekitar 6,0 persen dari total impor Indonesia. Pada tahun 2005 baru mencapai 10,1
persen, masih jauh lebih rendah dari pangsa pasar negara-negara ASEAN. Jadi, saat ini produkproduk dari negara ASEAN lebih menguasai pasar Indonesia dibandingkan dengan produkproduk dari China.

Sebaliknya, berbeda dengan negara-negara ASEAN yang lain, tampaknya belum terlalu
diperhatikan potensi pasar ASEAN, dan lebih menarik dengan pasar-pasar tradisional, seperti
Jepang dan Amerika Serikat. Hal ini terlihat dari pangsa pasar ekspor kita ke negara-negara
ASEAN yang tidak mengalami kenaikan yang terlalu signifikan sejak AFTA dijalankan. Pada
tahun 2000, misalnya, pangsa pasar ekspor Indonesia di Malaysia mencapai 2,8 persen. Dan pada
tahun 2005 hanya meningkat menjadi 3,8 persen. Hal yang sama terjadi di pasar negara-negara
ASEAN lainnya.

Produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk dapat menyuplai
produknya ke negara-negara tersebut. Produsen internasional dapat memilih satu negara di
kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya dan memenuhi permintaan produknya di negara
di sekitarnya dari negara basis tersebut. Turunnya tarif impor antarnegara ASEAN membuat
kegiatan ekspor-impor antarnegara ASEAN menjadi relatif lebih murah dari sebelumnya.
Tentunya negara yang dipilih sebagai negara basis suatu produk adalah yang dianggap dapat
membuat produk tersebut dengan lebih efisien (spesialisasi).

Kesimpulan
Yang harus dilakukan Indonesia agar dapat dengan baik menghadapi AFTA dan dapat bersaing
dengan Negara-negara lain di dalamnya adalah :
1. Pemantapan Organisasi Pelaksanaa AFTA
AFTA sebagai suatu kegiatan baru dalam kerjasama ASEAN harus didukung oleh struktur
organisasi yang kuat agar pelaksanaannya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Struktur
organisasi yang kuat sangat diperlukan karena AFTA harus dilaksanakan dengan baik, adil dan
terarah sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal dan merata. Juga diperlukan pengawasan
yang ketat untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kecurangan dalam pelaksanaan
perdagangan yang akan merugikan negara tertentu.
1. Promosi dan Penetrasi Pasar
Kenyataan menunjukkan bahwa volume perdagangan Indonesia dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya, adalah nomor dua terkecil setelah Filipina, sedangkan volume
perdagangan Indoensia dengan Singapura hanya 5,1 persen dari seluruh perdagangan intraASEAN. Keadaan tersebut
terutama disebabkan oleh komoditas ekspor Indonesia belum banyak dikenal oleh negara-negara
ASEAN. Karena itu, keikutsertaan dalam pameran perdagangan internasional perlu ditingkatkan.
Peningkatan kunjungan dagang sangat besar pula artinya dalam melakukan promosi dan
penetrasi pasar hasil produksi Indonesia.
1. Peningkatan Efisiensi Produksi Dalam Negeri
Untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam negeri, perlu diciptakan kondisi persaingan yang
sehat di antara sesama pengusaha agar tidak terdapat "distorsi harga" bahan baku. Di samping
itu, biaya-biaya non produksi secara keseluruhan dapat ditekan. Dalam kaitan ini, kebijakan
deregulasi yang telah dijalankan Pemerintah sejak beberapa tahun yang lalu perlu terus
dilanjutkan dan diperluas kepada sektor-sektor riil yang langsung mempengaruhi kegiatan
produksi dan selanjutnya perlu diusahakan agar pemberian fasilitas-fasilitas yang cenderung
menciptakan kondisi monopoli dalam pengelolaan usaha perlu dihilangkan.
1. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia
Kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan kualitas
sumberdaya manusia negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka menghadapi AFTA,
usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia perlu lebih ditingkatkan dengan
mengembangkan sekolah kejuruan dan politeknik di masa mendatang.
1. Perlindungan Terhadap Industri Kecil

Pelaksanaan AFTA akan mengakibatkan tingginya tingkat persaingan, sehingga hanya


perusahaan besar yang mampu terus berkembang. Perusahaan besar tersebut di-perkirakan terus
menekan industri kecil yang pada umumnya kurang mampu bersaing dengan para konglomerat.
Untuk melindungi industri kecil tersebut, perlu diwujudkan sebuah undang-undang anti
monopoli atau membentuk suatu organisasi pemersatu perusahaan-perusahaan berskala kecil.
1. Upaya Meningkatkan Daya Saing Sektor Pertanian
Dalam upaya meningkatkan peran ekspor sektor pertanian, perlu dikembangkan produk-produk
unggulan yang mampu bersaing di pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional.
Pengembangan produk-produk unggulan dilaksanakan melalui serangkaian proses yang saling
terkait serta membentuk suatu sistem agribisnis yang terdiri dari sistem pra produksi, produksi,
pengolahan dan pemasaran (Kartasasmita, 1996).
Referensi:
Mugasejati, Nanang Pamuji. Materi Kuliah International Political Environment. Universitas
Gadjah Mada.
http://www.bi.go.id
http://www.bappenas.go.id
http://www.andriaditya.wordpress.com

IMPLEMENTASI AFTA DALAM PROSES INTEGRASI EKONOMI ASEAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Declaration of Singapore 1992, yang disepakati pada KTT ASEAN IV 27-28 Januari 1992 di
Singapura, merupakan momen bersejarah bagi masa depan kawasan Asia Tenggara. Karena
kesepakatan ini merupakan sikap ASEAN terhadap fenomena globalisasi pasca berakhirnya
Perang Dingin. Kesepakatan ini direalisasikan dalam bentuk kerjasama free trade yang dikenal
dengan AFTA (ASEAN Free Trade Area).[1]
Kerjasama AFTA bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk ASEAN di pasar dunia dan
menciptakan pasar seluas-luasnya untuk menstimulus peningkatan FDI (Foreign Direct
Investment) di kawasan Asia Tenggara.[2] Kerjasama ini pada awalnya hanya beranggotakan
enam negara yaitu Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Tetapi pada perkembangannya, AFTA memperluas keanggotaanya dengan masuknya anggota
baru yaitu Vietnam (1995), Laos dan Myanmar (1997), serta Kamboja (1999). Sehingga jumlah
keseluruhan anggota AFTA menjadi 10 negara.[3]
Dengan perluasan keanggotaan ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya integrasi ekonomi
di kawasan Asia tenggara menjadi suatu pasar produksi tunggal dan menciptakan pasar regional
bagi lebih dari 500 juta orang.[4] Sebab penghapusan tariff bea masuk di negara-negara anggota
ASEAN dianggap sebagai sebuah katalisator bagi efisiensi produk yang lebih besar dan
kompetisi jangka panjang, serta memberikan para konsumen kesempatan untuk memilih barangbarang berkualitas.[5]
Sebagai upaya untuk merealisasikan tujuan pemberlakuan AFTA, negara-negara anggota telah
menetapkan suatu regulasi yang dikenal dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff).
CEPT merupakan kerangka kesepahaman mengenai kebijakan reduksi atas tarif dan non-tarif
terhadap segala jenis barang dagang, modal, dan produk-produk pertanian di intra-regional
maupun inter-regional sampai mencapai 0-5 %.[6] Pada awalnya CEPT diberlakukan dalam
jangka waktu 15 tahun.[7] Kemudian pertemuan AEM (ASEAN Economic Ministers), 22-23
September 1994, yang diadakan di Chiangmai, Thailand, telah mengubah keputusan tersebut
menjadi 10 tahun atau 5 tahun lebih cepat dari jadwal pertama yaitu 1 Januari 2003, yang
kemudian dipercepat lagi menjadi 2002.[8]
Akan tetapi pemberlakuan AFTA merupakan pilihan dilematis bagi negara-negara anggota
ASEAN. Di satu sisi, pemberlakuan AFTA dapat dianggap sebagai kesepakatan yang tidak
realistis. Karena pilihan untuk menjalankan liberalisasi perdagangan antar negara-negara di
tengah-tengah masih rendahnya tingkat efisiensi produksi dan jumlah produk kompetitif masingmasing negara justru dapat merugikan. Sedangkan di sisi lain, pemberlakuan AFTA dapat dilihat
sebagai upaya ASEAN untuk menyelamatkan perekonomian masing-masing negara anggota.
Karena fenomena globalisasi yang menciptakan regionalisasi dan liberalisasi di berbagai sektor
berdampak langsung terhadap sistem perekonomian dunia.
Selain itu, dalam kenyataannya pemberlakuan AFTA juga masih menemui berbagai kendala yang
menghambat terciptanya interdependensi menguntungkan antar negara-negara anggota. Sehingga
perdagangan intra ASEAN dianggap tidak banyak mengalami kemajuan, begitu pula investasi
antar negara ASEAN.[9] Hal ini dapat dilihat dari lemahnya upaya negara-negara anggota untuk
memanfaatkan mekanisme yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan intra ASEAN. Kendala itu juga disebabkan oleh kekurangselarasan antara pilar

masyarakat ekonomi ASEAN yang mencita-citakan sebuah pasar tunggal dengan masyarakat
keamanan ASEAN yang masih mengedepankan prinsip non-interference.[10]
Oleh karena itu, pemberlakuan AFTA sebagai kerjasama ekonomi ASEAN masih mendapat
kritik dan perhatian dari negara-negara anggota yang berupaya untuk melakukan perbaikan
penting dalam proses integrasi ekonomi ASEAN. Lebih dari itu, negara-negara anggota juga
berharap agar AFTA dapat memediasi pertumbuhan perekonomian dan memperkuat kohesivitas
antar negara-negara anggota ASEAN. Karena perbedaan dan perselisihan kepentingan antar
negara-negara anggota akan berkurang seiring meningkatnya interdependensi dan hubungan
mutualisme sebagai dampak dari kerjasama liberalisasi perdagangan kawasan.
Berdasarkan latar belakang sederhana ini, penulis tertarik untuk mengeksplorasi proses
liberalisasi pasar kawasan ASEAN sejak tercetusnya ide kerjasama ini yaitu pada tahun 1992,
dengan judul sebagai berikut :
IMPLEMENTASI AFTA DALAM PROSES INTEGRASI EKONOMI ASEAN
1.2 Ruang Lingkup Pembahasan
Suatu penulisan ilmiah harus memiliki ruang lingkup pembahasan yang jelas. Sehingga
penulisan dapat difokuskan terhadap masalah yang diangkat dan menghindari bias dalam analisa
yang disampaikan.
1.2.1 Batasan Waktu
Untuk mengkaji proses pemberlakuan AFTA dalam upaya untuk mengintegrasikan ekonomi
negara-negara anggota ASEAN, penulisan ini akan mengawali dengan melihat KTT ASEAN IV,
pada 27-28 Januari 1992 di Singapura, sebagai momen lahirnya Declaration of Singapore yang
menjadi tonggak sejarah lahirnya AFTA. Serta implementasi penuh AFTA yang dimulai pada
tahun 2002-2005.
1.2.2 Batasan Materi
Sebagai batasan dalam penulisan ini, materi yang akan dibahas adalah implementasi yang berupa
proses pemberlakuan peraturan dan kendala-kendala dalam AFTA. Sehingga terdapat gambaran
yang jelas mengenai signifikansi pemberlakuan AFTA dalam proses integrasi ekonomi ASEAN.
1.3 Permasalahan
Merumuskan suatu permasalahan merupakan bagian penting dalam sebuah karya ilmiah agar
penulisan dan kajian yang dilakukan lebih fokus.[11] Berdasarkan hal inilah penulis berusaha
membuat sebuah rumusan masalah yang dijadikan titik fokus analisa dan kajian dalam penulisan
ini.
Negara-negara anggota ASEAN berharap kerjasama AFTA dapat menjadi mediasi terciptanya
kondisi interdependensi yang menguntungkan bagi negara-negara anggota. Secara teoritis,
kondisi mutual interdependency itu lahir dari kemampuan dan kondisi masing-masing negara
anggota. Jika negara A mampu membuat produk a secara efisien, dan negara B mampu membuat
produk b secara efisien, maka pasar akan semakin efektif ketika kedua negara itu melakukan
kerjasama untuk melakukan foreign exchange. Hasilnya adalah output kedua negara itu akan
semakin tinggi, karena kebutuhan mereka terpenuhi dengan adanya kegiatan perdagangan
bilateral.
Tetapi di satu sisi, kondisi ideal tersebut masih jauh dari kenyataan. Karena seiring usianya
keempatbelas berbagai permasalahan masih sering terjadi antar negara-negara anggota AFTA
yang menyebabkan terhambatnya proses integrasi ekonomi kawasan. Belum lagi melemahnya
komitmen beberapa negara anggota yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan dan orientasi

pasar bagi proses perdagangan masing-masing negara anggota. Sehingga AFTA dianggap belum
mampu menjawab tantangan global yaitu menyejahterakan negara-negara anggotanya dengan
berbagai programnya.
Bahkan dalam konteks IT (Intentensity of Trade) menurut analisa Yudhi Sadewa, ekonom senior
Lembaga Penelitian Danareksa, terlihat jelas perbedaan minat negara-negara anggota dalam
melakukan aktivitas perdagangan. Hal ini menyebabkan efek positif dari AFTA kurang dirasakan
oleh negara-negara anggota, seperti Indonesia. Ia mengatakan dilihat dari intensitas perdagangan
beberapa negara menganggap pasar ASEAN kurang begitu penting. [12]
Di sisi lain, meskipun masih banyak kendala-kendala yang menjadi hambatan dalam proses
pemberlakuan AFTA, hal ini tidak menurunkan optimisme untuk mewujudkan pasar tunggal
ASEAN yang akan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat negara-negara anggota. Karena mekanisme CEPT yang dijadikan kerangka
kerjasama AFTA merupakan bagian dari harmonisasi sistem perdagangan kawasan dan
pemerataan ekonomi antar negara-negara anggota. Bahkan CEPT juga menyediakan mekanisme
dalam penyelesaian perselisihan yang memperbolehkan negara-negara anggota untuk menarik
kembali konsesinya jika terjadi penyelewengan atas kesepakatan AFTA.
CEPT sebagai kerangka acuan yang digunakan dalam kerjasama AFTA juga dirancang untuk
mengakomodasi kepentingan politik negara-negara anggotanya. Seperti yang terjadi pada
Oktober tahun 2000, di saat Malaysia menunda industri nasional otomotifnya untuk
dipasarbebaskan dalam AFTA. Permintaan ini ditanggapi dengan Protocol Regarding the
Implementation of the CEPT Temporary Exclusion List yang memperbolehkan negara-negara
peserta AFTA untuk menunda sementara pemasaran produk-produknya di pasar AFTA.[13]
Oleh karena itu penulisan ini akan memfokuskan pada permasalahan mengenai impelementasi
AFTA dalam proses integrasi ekonomi ASEAN. Sehingga dapat dilihat sejauhmana proses
pemberlakuan AFTA sebagai salah satu media untuk menciptakan integrasi ekonomi ASEAN?,
dan apa saja kendala yang dihadapi negara-negara peserta AFTA?, serta bagaimana kritik dan
harapan negara-negara peserta terhadap masa depan AFTA?. Maka rumusan masalah penulisan
ini adalah: Sejauhmana implementasi AFTA dalam proses integrasi ekonomi ASEAN?
1.4 Kerangka Dasar Teori
Teori adalah serangkaian generalisasi yang menjelaskan atau memprediksi sebuah fenomena
dalam kerangka ilmiah. Teori juga merupakan kerja empiris dalam mengumpulkan generalisasi
yang memiliki hubungan antara satu dengan yang lainnya. Generalisasi dalam teori disusun
secara sistematis sebagai sebuah upaya untuk memberikan penjelasan atau prediksi yang saintifik
dan responsible.[14]
Liberalism and Economic Integration Theory
Kaum liberal meyakini bahwa free trade akan membawa perdamaian dalam hubungan
internasional. Karena free trade akan menciptakan interdependensi dan kerjasama saling
menguntungkan antar negara-negara pelaku pasar.[15] Kaum liberal berpendapat bahwa
liberalisasi dalam ekonomi akan mengarah kepada free market dan minimalisasi peran negara.
Sedangkan liberalisasi dalam politik akan mengarah kepada kebebasan dan persamaan individu.
Sehingga terdapat hubungan erat antara kebebasan pasar dengan kebebasan individu untuk saling
bekerjasama dan menciptakan perdamaian.[16]
Selain itu, kaum liberal juga menyatakan bahwa seluruh bentuk ekonomi yang mengakar kepada
tradisi pemikiran liberal menganggap bahwa mekanisme harga dan pasar adalah media paling
efektif untuk mengatur hubungan ekonomi domestik dan internasional. Oleh karena itu, doktrin

liberal mengenai kebebasan pasar bertujuan untuk pencapaian maximum efficiency,


pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan individu.[17]
Perdagangan bebas merupakan media yang efektif dan damai dalam peningkatan kekayaan
masing-masing negara. Karena negara-negara diuntungkan dengan kerjasama perdagangan yang
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.[18] Lebih dari itu, agar terciptanya a peaceful
global order, sistem dunia harus diarahkan menuju sebuah pasar global, dimana barang dan jasa
dapat bergerak bebas melintasi batasan-batasan negara. Bahkan, dalam sebuah perdagangan
bebas, secara alami, negara-negara akan mendapatkan keuntungan dari keunggulan komparatif
(comparative advantage) dengan menjual beberapa komoditas tertentu kepada negara lain.
Sebaliknya negara-negara lain akan menjual komoditas tertentu yang tidak dimiliki oleh suatu
negara sehingga terjadi pasar yang saling melengkapi dan menguntungkan.[19]
Di sisi lain, fenomena free trade di beberapa kawasan dunia dapat dimaknai sebagai proses
integrasi ekonomi negara-negara anggota. Seperti yang dijelaskan dalam Integration Economic
Theory bahwa transaksi ekonomi, hubungan perdagangan antar negara-negara yang sensitif, dan
berdampak kepada peningkatan harga dan pendapatan dapat menciptakan suatu integrasi
ekonomi antar negara-negara tersebut.[20]
Economic Integration Theory juga menjelaskan bahwa negara-negara akan diuntungkan dengan
pemberlakuan perdagangan bebas yang mengarah kepada pembebasan tariff-barriers atau nontariff barriers. Tetapi perdagangan bebas yang dilandasi oleh sebuah keinginan bersama tidak
serta merta mengeliminasi kesempatan negara-negara yang lemah secara perekonomian untuk
ikut berkompetisi dan meraih keuntungan dari proses perdagangan (gains from trade). Karena
proses tersebut akan diiringi dengan penerapan aturan dan kesepakatan antar negara-negara
peserta.[21]
Preferential Trade Agreements or Areas (PTA) atau Free trade Area (FTA) mensyaratkan kepada
seluruh negara peserta untuk mengeliminasi atau mengurangi tarif pada masing-masing produk
impor. Tetapi negara-negara peserta diperbolehkan untuk mempertahankan pembatasanpembatasan tarif terhadap negara-negara non-peserta. Sedangkan berdasarkan tipenya, a free
trade area (FTA) mengarah kepada zero tariffs antara negara-negara peserta, meskipun biasanya
hanya terhadap barang dan jasa tertentu.[22]
1.5 Hipothesa
Menurut The New Lexicon Websters Dictionary of The English Language, hipothesa adalah
sebuah ide atau proposisi yang tidak didasarkan pada fakta dan pengalaman. Akan tetapi,
hipothesa dibuat untuk menjelaskan suatu fakta atau menyediakan sebuah landasan dan asumsi
dasar dari sebuah argumen.[23]
Begitu pula pengertian hipotesa dalam Scope and Methods of Political Science, An Introduction
to The Methodology of Political Inquiry. Hipotesa adalah suatu perkiraan mengenai hubungan
antara konsep-konsep. Hipotesa dapat diuji berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan dengan
menggunakan prinsip-prinsip metode ilmiah. Sehingga hipotesa dapat ditolak atau diterima.[24]
Dalam hipotesa ini, penulis akan mengajukan asumsi dasar secara kuantitatif dan kualitatif.
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengkuantifikasi proses implementasi AFTA sejak
1992. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang
melatarbelakangi dinamika pemberlakuan AFTA hubungannya dengan proses integrasi ekonomi
ASEAN.
Kerjasama AFTA adalah upaya ASEAN dalam menghadapi international setting pasca Perang
Dingin yang dianggap mampu memperkuat integrasi kawasan Asia Tenggara. Kerjasama ini

bertujuan pula untuk meningkatkan interdependensi yang mengakar kepada kepentingan


ekonomi masing-masing negara, standarisasi dan peraturan perdagangan, serta akses pasar.
Sedangkan hal utama dalam kerjasama ini adalah keterbukaan komunikasi dan penyesuaian
implementasi kebijakan yang akan memperkuat regionalisasi lewat jalur diplomasi dan ekonomi.
Berdasarkan tahapan-tahapan integrasi ekonomi, dalam suatu mekanisme free trade area (FTA)
negara-negara harus menerapkan skema free intra trade yang terdiri dari kebijakan tarif dan non
tarif. Kebijakan tariff barriers itu dapat berupa pembebasan bea masuk/tarif rendah antara 0
persen-5 persen (biasanya dikenakan untuk bahan kebutuhan pokok), tarif sedang antara >5
persen-20 persen (biasanya dikenakan untuk barang setengah jadi), dan tarif tinggi di atas 20
persen (biasanya dikenakan untuk barang mewah. Sedangkan kebijakan non-tariff barriers adalah
berbagai kebijakan perdagangan selain bea masuk yang dapat mempengaruhi proses
perdagangan antar negara-negara anggota. Umumnya, kebijakan ini dapat berupa pembatasan
spesifik (spesific limitation), peraturan bea cukai (customs administration rules), partisipasi
pemerintah (government participation), dan biaya-biaya impor.[25]
Secara kuantitatif, dalam hipotesa ini penulis mengkuantifikasi beberapa indikator dalam free
trade yang diantaranya adalah prosentase implementasi penghapusan ASEAN intra-tariff regional
trade dan prosentase total nilai volume intra-trade ASEAN berbanding terbalik dengan total nilai
volume external-trade ASEAN. Tabel I. 1 Persentase Tentative Pengurangan Tarif Pada Tingkat
0-5 persen 2004
Dalam pemberlakuanya, negara-neagara anggota AFTA telah melakukan pengurangan tarif intraregional yang signifikan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dalam
AFTA. Hal ini ditunjukkan dengan lebih dari 99 persen produk dalam kategori Inclusion List
(IL) ASEAN-6, yang meliputi Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan
Thailand, telah mencapai tingkat pengurangan tarif 0-5 persen (Tabel I. 1). Sedangkan negaranegara anggota baru, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam juga telah menunjukkan
komitmennya dengan memasukkan 80 persen dari produknya ke dalam masing-masing Inclusion
List (IL). Dari total produk-produk tersebut, 66 persennya memiliki tarif 0-5 persen.[26]
Tetapi pada Tabel I. 2, yang menunjukkan persentase volume intra trade ASEAN yang
berbanding terbalik dengan volume extra trade ASEAN baik impor maupun ekspor sejak tahun
1993 hingga tahun 2003, terlihat bahwa sejak implementasi penuh AFTA pada tahun 2002,
belum terdapat perkembangan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan pada
Tabel I. 3 jumlah intra-trade ASEAN jauh lebih kecil daripada beberapa blok perdagangan
lainnya.
Tabel I. 1 Prosentase Volume Perdagangan ASEAN
Sumber: WWW.ASEANSEC.ORG, data diolah oleh penulis berdasarkan nilai ekspor-impor
intra-extra ASEAN dengan rumus vi/ve x 100% (ket. Vi : volume intra trade ASEAN, ve: volume
extra trade ASEAN)
Tabel I. 2
Sumber : http://www.mofa.go.jp/region/asia-paci/growth.pdf
Secara kualitatif, penulis lebih menyoroti pada kebijakan non-tarif negara-negara anggota yang
berupa peraturan dan prosedur kepabeanan yang membatasi proses perdagangan antar anggota
AFTA, masalah standarisasi yang digunakan oleh masing-masing anggota, dan perbedaan
orientasi pasar seringkali menghambat transaksi produk dagang yang telah disepakati dalam

CEPT. Faktor yang terakhir ini merupakan permasalahan signifikan yang sedang dihadapi oleh
pasar AFTA. Karena dalam kenyataannya, negara-negara peserta AFTA cenderung untuk
memilih pasar Amerika Serikat, Eropa, dan Asia Timur daripada pasar ASEAN sendiri. Sehingga
pertumbuhan perdagangan ASEAN berjalan lambat.[27] Selain itu, beberapa kendala lain yang
tidak kalah rumitnya adalah masalah mekanisme penyelesaian perselisihan, aturan asal mula,
standar dan pencocokan, dan ukuran baru guna memperkuat perdagangan dan investasi intraASEAN.[28]
Dari kedua pendekatan tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa perdagangan bebas
ASEAN sebagai salah satu tahapan dalam proses integrasi ekonomi ASEAN belum dapat
dikatakan optimal, bahkan cenderung berjalan lambat. Sementara itu, friksi perdagangan antar
negara-negara anggota menyebabkan perselisihan baru dalam dinamika ASEAN. Sehingga,
keberadaan AFTA yang dicita-citakan sebagai magnet dari terciptanya integrasi ekonomi
ASEAN justru bisa menghasilkan disintegrasi.
1.6 Metodologi
Penggunaan metodologi dalam penulisan adalah sebuah upaya untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang diperoleh secara saintifik. Dengan hal ini, suatu ilmu pengetahuan dapat diuji
kebenarannya melalui metode-metode ilmu pengetahuan yang dibangun dalam studi ilmu
hubungan internasional.[29]
1.6.1 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data tidak kalah penting dalam sebuah penulisan. Karena hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap data dan fakta yang diperoleh. Maka penulis akan mengumpulkan
dan menganalisa data yang diperoleh dari beberapa perpustakaan dan lembaga yang berkaitan
langsung dengan permasalahan ini yaitu :
1. Perpustakaan Fisip Unej
2. Perpustakaan Universitas Jember
3. Perpustakaan CSIS
4. Perpustakaan LIPI
5. Departemen Luar Negeri
6. Sekretariat Jenderal ASEAN di Indonesia
7. Dan sumber-sumber relevan lainnya
1.6.2 Metode Analisa Data dan Level Analisa
Sebagai seorang pestudi ilmu sosial, khususnya dalam ilmu hubungan internasional, penulis
ingin menggunakan dua metode yang keduanya bisa saling mendukung. Pertama adalah metode
kualitatif yaitu metode yang umumnya digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk mengkaji
berbagai hal terkait dengan data dan fakta non angka. Sedangkan yang kedua adalah metode
kuantitatif yang penulis gunakan sebagai salah satu cara untuk memperkuat data kualitatif yang
penulis dapatkan.[30]
Level analisis dalam tulisan ini terdiri dari dua hal yang penting. Pertama adalah variabel
dependen yang menjadi unit analisis yaitu regional. Kedua adalah variabel independen yang
menjadi unit eksplanasi yaitu internasional/globalism.[31]
1.7 Pendekatan
Perang Dunia II merupakan momentum penting dalam sejarah hubungan internasional.
Munculnya fenomena negara-negara kuat (the major power state) yang terdiri dari UKUSA
(United Kingdom, United Sates, and Australia), dan Uni Soviet adalah bagian dari pemicu

terbentuknya aliansi dan pakta-pakta pertahanan kawasan. Persekutuan the major power states
telah menyebabkan sebuah kekhawatiran yang mendalam akan terjadinya sebuah perebutan
kekuasaan dan pengaruh dalam konstelasi politik internasional. Kekhawatiran itu terbukti dengan
berkumpulnya negara-negara kecil yang lemah dalam hal persenjataan, kekuatan militer, dan
kekuatan ekonomi. Maka muncullah sebuah regionalisasi baru yang bisa dikategorikan menjadi
tiga macam : regional defense, regional economy, and a hybrid type.[32]
Regionalisme adalah sebuah bentuk kebutuhan yang menjadi tuntutan dalam era globalisasi saat
ini. Kebutuhan ini terdiri kebutuhan identitas dan eksistensi berdasarkan kedekatan geografis
maupun budaya yang memotivasi mereka untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan bersama
(the common goals) serta upaya problem solving terhadap masalah-masalah politik, budaya,
ekonomi, dan sebagainya.
Dalam pandangan yang berbeda, munculnya regionalisme adalah sebuah upaya untuk mencegah
fenomena unilateralism Amerika Serikat dan universalism yang menembus batas-batas
kehidupan suatu nation state.[33] Bahkan negara-negara berkembang memandang regionalisme
sebagai suatu alat, diantara yang lainnya, untuk membantu mereka dalam menghadapi fenomena
globalisasi.[34] Berdasarkan pandangan-pandangan ini, maka pembentukan blok-blok ekonomi
dan perdagangan dalam hubungan internasional merupakan pilihan rasional bagi negara-negara
berkembang sebagai suatu upaya untuk survive.
Dalam penulisan ini, penulis memilih pendekatan regionalisme ekonomi yang berkaitan erat
dengan fenomena liberalisasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Regionalisme ekonomi,
khususnya blok-blok perdagangan (free trade areas/FTAs), secara umum memiliki keterkaitan
dengan sejarah keruntuhan ekonomi dunia antara masa Perang Dunia I dan II yaitu jatuhnya
harga komoditas bahan pokok pada tahun 1920an diikuti dengan Great Depression pada tahun
1930an yang mengakibatkan devaluasi besar-besaran, peningkatan hambatan tarif yang tinggi
dalam perdagangan dan pembentukan mata uang regional, serta blok perdagangan.[35]
Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, integrasi ekonomi kawasan antar negara-negara
berkembang, khususnya di Afrika dan Amerika Latin, ditunjukkan dengan keberadaan import
substitution industrialization (ISI) sebagai bentuk dari regional autarky.[36] Pada dua periode itu,
integrasi ekonomi kawasan dipandang dalam dua aspek yaitu secara negatif dan positif. Secara
negatif, integrasi ekonomi kawasan dipandang sebagai suatu ancaman terhadap rezim
perdagangan multilateral. Tetapi secara positif, perdagangan bebas dan integrasi ekonomi
kawasan dipandang sebagai pembentukan blok-blok yang justru bertujuan untuk memajukan
rezim perdagangan internasional. Pembentukan perdagangan kawasan, khususnya yang tertulis
dalam Pasal 24 GATT (General Agreement on Tariffs and Trades), digambarkan sebagai suatu
batu lompatan untuk memajukan liberalisasi internasional.[37]
Lebih dari itu, beberapa pendukung regionalisme mengungkapkan beberapa argumentasi yang
mendasari keyakinan mereka mengenai hal tersebut. Pertama, mereka menganggap pembentukan
regionalisasi mendukung perdagangan ke arah yang lebih bebas dan multilateralisme setidaknya
dalam dua hal yaitu dampak positif dari perdagangan (trade creation) secara umum melebihi
daripada dampak negatifnya (trade diversion)[38], dan kontribusi regionalisasi terhadap
dinamika internal dan internasional yang justru cenderung lebih positif bagi masa depan
liberalisasi global.[39] Kedua, mereka mengatakan bahwa regionalisme seringkali memiliki
efek-efek nyata yang penting. Inisiatif regional dalam memecahkan berbagai masalah dapat
membiasakan pemerintahan (pemerintah dan warga negaranya) dalam proses liberalisasi dan
meningkatkan kemungkinan mereka untuk bergerak ke wilayah multilateral. Ketiga adalah
regionalisme dianggap cenderung memilki efek politik yang lebih positif daripada negatif.

Perdagangan dan integrasi ekonomi yang lebih luas telah membentuk European Union
(EU)dimana perang antara Jerman dan Perancis mencair seiring dengan meningkatnya peran EU.
Argentina dan Brazil telah memfungsikan Mercosur (Mercado Commun del Sur) untuk
mengakhiri sejarah rivalitas keduanya dalam ketegangan nuklir.[40]
[1] http://www.aseansec.org/1163.htm, diakses pada tanggal 09 Juli 2005
[2] http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm, diakses pada tanggal 08 Juli 2005
[3] http://www.aseansec.org/74.htm, diakses pada tanggal 09 Juli 2005
[4] http://www.aseansec.org/afta.pdf, diakses pada tanggal 09 Januari 2005
[5] Ibid
[6] http://www.aseansec.org/12375.htm, diakses pada tanggal 05 Juli 2005
[7] http://www.aseansec.org/12375.htm, diakses pada tanggal 05 Juli 2005
[8] http://www.aseansec.org/2115.htm, diakses pada tanggal 04 Juli 2005
[9] Kompas, 09 Agustus 2005
[10] Ibid
[11] Winarno Surachmad, Dasar-Dasar dan Teknik Riset : Pengantar Metodologi Ilmiah, CV
Tarsito, Bandung, 1978, hal. 48-49.
[12] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0308/25/finansial/509774.htm, diakses pada tanggal
02 Oktober 2005
[13] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/10/jatim/249146.htm, diakses pada tanggal 02
Oktober 2005
[14] Alan C. Isaak, Scope and Methods of Political Science, An Introduction to The
Methodology of Political Inquiry, The Dorsey Press, Illinois 1981, p.167-170.
[15] Robert Gilpin, Theories of Political Economy of International Relations, The Princeton
University Press, New Jersey 1987, p.26-31.
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Scott Burchill and Andrew Linklater, Theories of International Relations, St. Martins Press.
Inc, the United States of America, 1996, p. 32-38
[19] Dr. Hamdy Hady, Ekonomi Internasional, Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional,
GHALIA, Indonesia 2001, hal.
[20] Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory, Realism, Pluralism,
Globalism, Macmillan Publishing Company, New York 1990, p. 366-368.
[21]AlfredTovias,TheTheoryOfEconomic Integration: Past And Future,
http://www.ecsanet.org/conferences/ecsaworld2/tovias.htm, diakses pada 10 Agustus 2005
[22] Jennifer Pedussel Wu, Measuring and Explaining the level of Regional Economic
Integration, Working Paper B12 2004, http://www.zei.de, diakses pada tanggal 11 Agustus 2005
[23] The New Lexicon Websters Dictionary of The English Language
[24] Op. Cit. Alan C. Isaak
[25]Op.Cit. DR. Hamdy Hady, hal. 65-75
[26] www.aseansec.org
[27] http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/14/eko01.html, diakses pada tanggal 10 Januari
2005
[28]Faustinus Andrea , Kemitraan strategis ASEAN+3,
http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=95&id=41&tab=1, diakses pada tanggal
03 November 2005

[29] Mohtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, LP3ES, Jakarta,
1990, hal. 1-4.
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] A. Hasnan Habib, Defining the Asia Pasific Region, dalam jurnal berjudul The Role of
Security and Economic Cooperation Structure in The Asia Pasific Region, Indonesian and
Australian Views (CSIS, 1996), hal . 3-11
[33] Ibid.
[34] Pendapat yang dikemukakan oleh James J. Hentz dalam Summer Research Grant Report :
The Regional Dimension of Globalization: The Three Level Game Globalization Domestic
Politics and Regionalization in South Africa and Brazil
http://academics.vmi.edu/grants_in_aid/GrantDocs/Hentz.doc, diakses pada 29 Oktober 2005
[35] Jagdish N. Bhagwati, Economics and World Order From 1970s to 1990s: The Key Issues,
Free Press, Maxmillan Publish, 1971, hal. 1-27
[36] regional autarky adalah negara atau kawasan yang hidup terisolasi, tanpa mempunyai
hubungan ekonomi, keuangan, maupun perdagangan internasional (ekspor dan impor)
[37] Op. Cit. James J. Hentz
[38]Trade creation adalah penggantian dimana produk domestic suatu negara yang melakukan
integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA (Free Trade Area) atau CU (Customs
Union) dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya
digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative
advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan
kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relative lebih murah.
Sedangkan Trade diversion merupakan dampak negatif dari impor barang yang harganya relatif
murah dari negara bukan anggota FTA atau CU, sehingga akan digantikan dengan impor yang
harganya relatif lebih mahal dari negara anggota. Op.Cit. Dr. Hamdy Hady, Hal. 88-93
[39]Baca C. Fred Bergsten dalam tulisannya yang berjudul Open Regionalism dan
dipublikasikan oleh Institute for International Economics (IIE); Washington,
http://www.iie.com/publications/wp/wp.cfm?researchid=152

Anda mungkin juga menyukai