I.
pantai dan laut, abrasi, penurunan kualitas air laut dan peningkatan kekeruhan
air laut akibat maraknya penambangan pasir laut.
Luas keseluruhan Provinsi Riau adalah 107.932,71 km 2 yang terdiri atas
wilayah daratan sebesar 80.11% (89.150,16 km2) dan wilayah perairan sebesar
19,89% (18.782,55 km2). Hasil identifikasi kerusakan kondisi eksisting kerusakan
pesisir dalam SLHD Riau 2011 (BLH Provinsi Riau, 2011) menunjukkan bahwa
luas tutupan mangrove pada tahun 2003 adalah sekitar 188.684,6769 hektar.
Pada tahun 2010, luas tutupan mangrove tinggal 175,295.2659 hektar.
Dengan begitu, dalam waktu tujuh tahun (2003-2010) terjadi pengurangan
luas tutupan mangrove sebesar 13.389,411 hektar atau sekitar 1912 hektar per
tahunnya. Dibandingkan dengan hutan mangrove sekunder yang berkurang
sekitar 2.627,371 hektar, luasan hutan mangrove primer yang berubah jauh lebih
besar atau sekitar 10.762,039 hektar sebagaimana tersaji pada tabel berikut ini :
Tabel 1: Pengurangan Luas Tutupan Mangrove di Riau 2003-2010
Pengurangan luas tutupan
Luas (Ha)
Pengurangan hutan mangrove primer
10.762,039
Pengurangan hutan mangrove sekunder
2.627,371
Jumlah
13.389,411
Sumber : BLH Provinsi Riau, 2010
Hal ini mengindikasikan telah terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap
hutan mangrove di Riau. Dalam perspektif pengendalian dampak perubahan
iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) di Provinsi Riau,
kerusakan wilayah pesisir Riau yang umumnya berada di Bengkalis, Rokan Hilir,
Dumai, Indragiri Hilir, Siak, Pelalawan dan Kepulauan Meranti perlu mendapatkan
perhatian serius dari berbagai pihak. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang
sangat rentan dengan kenaikan air laut (sea level rise) akibat perubahan iklim.
Kenaikan air laut akan mengurangi wilayah pesisir dan pada gilirannya akan
berdampak terhadap kelangsungan hidup manusia.
Berdasarkan kajian BLH Riau dan IPB pada tahun 2012, emisi GRK
Provinsi Riau pada tahun baseline 2010 adalah sebesar 0.27CO2-e, dengan
kontribusi terbesar dari sektor kehutanan (56%) dan limbah (37%). Sejalan
dengan tingginya alih fungsi lahan dan hutan (termasuk mangrove) serta sering
terjadinya kebakaran hutan dan lahan, maka Riau menjadi salah satu provinsi
penyumbang gas CO2 terbesar di Indonesia. Dampak perubahan iklim meskipun
terjadi secara perlahan dan dalam waktu yang cukup panjang, sudah dirasakan
masyarakat saat ini. Menurut data Bappenas, selama abad 20, Indonesia
mengalami peningkatan suhu rata-rata udara permukaan tanah 0,5 C. Kajian
4 | Page
BLH Provinsi Riau
III.
melalui Pengelolaan Lingkungan Hidup. Untuk mencapai visi ini maka misi atau
tugas yang harus dilaksanakan adalah :
1. Meningkatkan kualitas lingkungan dan perlindungan lingkungan ;
2. Mewujudkan pengelolaan informasi lingkungan hidup yang berkualitas ;
3. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan dan
konservasi sumber daya alam ;
4. Mewujudkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan secara terpadu dan
efektif dalam rangka mengendalikan perubahan iklim.
Kemudian, hal lain yang lain yang juga menjadi acuan pengendalian
pencemaran/kerusakan kawasas pesisir dan daerah aliran sungai adalah
Standar Pelayanan Minimum (SPM) bidang lingkungan hidup. Berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota, pemerintah provinsi wajib menyelenggarakan
pelayanan di bidang lingkungan hidup yang terdiri dari:
1. Pelayanan informasi status mutu air
2. Pelayanan informasi status mutu udara ambien atau udara bebas
3. Pelayanan tindak lanjut pengaduan masyarakat akibat adanya dugaan
pencemaran/perusakan lingkungan hidup.
Dengan mengacu pada Rencana Strategis dan Standar Pelayanan
Minimum (SPM) BLH Provinsi Riau periode 2009-2013, upaya-upaya
pengendalian pencemaran/kerusakan pesisir, laut dan daerah aliran sungai yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
A. Upaya-upaya pengendalian pencemaran/kerusakan wilayah pesisir
Sosialisasi/penyuluhan pada masyarakat pesisir mengenai upaya
pencegahan abrasi/kerusakan pantai;
Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian kerusakan pesisir dan
pembentukan serta pembinaan kelompok masyarakat pesisir;
Pelatihan pembibitan mangrove dan gerakan penanaman mangrove di
lokasi-lokasi yang mengalami kerusakan; Di bawah ini beberapa kegiatan
BLH Provinsi Riau dalam rangka pengendalian pencemaran/kerusakan
kawasan pesisir:
7 | Page
BLH Provinsi Riau
Jenis Kegiatan
Desa/Kelurahan
Kab/Kota
Tl Makmur
Guntung
Sei Bakau
Sinaboi
Dumai
Dumai
Rokan Hilir
Rokan Hilir
Guntung
Bunsur
Parit Api-api
Bantar
Tj Melayu
Raja Berjamu
Petodaan
Dumai
Siak
Bengkalis
Kepulauan Meranti
Inhil
Rohil
Pelalawan
Guntung
Bunsur
Parit Api-api,
Anak Setatah
Tj. Melayu,
Penghulu
Bejamu
Petodaan
Dumai
Siak
Bengkalis
Kepulauan Meranti
Indragiri Hilir
Rokan Hilir
Pelalawan
Raja
tahun 2013.
Kegiatan ini diharapkan dapat mengubah perilaku
masyarakat dalam pengelolaan sampah yang semula perilakunya
membuang sampah sembarangan menjadi perilaku positif yaitu
memanfaatkan sampah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi
(mendaur ulang plastik bekas menjadi tas plastik dan sebagainya). Hal
ini diharapkan berdampak positif terhadap berkurangnya sampah plastik
yang dibuang ke anak sungai atau sungai.
Pembinaan konservasi keanekaragamanhayati bagi perusahaan
perkebunan kelapa sawit. Melalui pembinaan ini diharapkan akan
tumbuh kesadaran dunia usaha untuk melindungi areal sempadan
sungai, sekitar mata air dan kubah gambut.
Penyusunan Master Plan Pengelolaan Ekosistem Gambut oleh KLH
RI (bekerjasama dengan BLH Riau pada tahun 2009). Luas Kawasan
Hidrologis Gambut Riau (KLH RI, 2009) adalah 5,7 juta hektar yang
terdiri atas;
a. Kawasan Lindung Kubah Gambut (1.692.985 hektar). Sekitar
200.191 hektar diantaranya memiliki tutupan pohon yang rusak.
b. Kawasan Budidaya Gambut (4.026598 hektar). Sekitar 1.313.524
hektar diantaranya memiliki tutupan pohon yang sudah rusak.
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan yang mengacu pada
master plan pengelolaan ekosistem gambut Riau diharapkan akan
memberikan kontribusi positif baik langsung maupun tidak langsung
terhadap kelestarian sumber daya air di Riau karena gambut memiliki
kemampuan yang baik sebagai penyimpan air (water reservoir) dan
daerah tangkapan air (catchment area).
Sosialisasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di
11 kabupaten/kota pada tahun 2012. KLHS merupakan instrumen
penting yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 14,
huruf a) untuk mencegah pencemaran/kerusakan lingkungan hidup.
Melalui sosialisasi ini, diharapkan seluruh penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang/Menengah (RPJP/RPJMD) pemerintah kabupaten/kota dapat
mengacu pada KLHS sehingga pencemaran/kerusakan lingkungan
yang timbul akibat pemanfaatan ruang yang tidak ramah lingkungan
dapat diminimalkan.
10 | Page
BLH Provinsi Riau
IV.
13 | Page
BLH Provinsi Riau
REFERENSI
Hasil Kajian/Laporan
1. KLH RI, 2009, Master Plan Pengelolaan Ekosistem Gambut Riau, Jakarta.
2. BLH Provinsi Riau, 2010, Rencana Strategis BLH Provinsi Riau, Pekanbaru.
3.
4.
BLH Provinsi Riau, 2011, Status Lingkungan Hidup Provinsi Riau 2011,
Pekanbaru.
Peraturan Perundang-Undangan
1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota.
2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Nomor 19 Tahun 2012 Tentang
Program Kampung Iklim.
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
5. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Internet:
1. www.wikipedia.org
14 | Page
BLH Provinsi Riau
15 | Page
BLH Provinsi Riau
16 | Page
BLH Provinsi Riau