Dispepsia merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri/tidak nyaman di epigastrium,
mual, muntah, kembunngm cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, rasa panas yang
menjalar di dada.
Dispepsia yang belum diinvestigasikan dinamakan univestigated dyspepsia (UD). Keluhan
dyspepsia pada UD sesuai dengan kriteria Rome III namun belum dilakukan investigasi seperti
pemeriksaan endoskopi. Bila sesudah endoskopi didapatkan tidak ada kelainan, maka keluhan
dyspepsia funsional dapat ditegakkan.
Dispepsia merupakan keluhan umum yang dalam waktu tertentu dapat dialalmi oleh seseorang.
Penelitian pada populasi umum mendapatkan bahwa 15-30% orang dewasa pernah mengalami
hal ini dalam beberapa hari. Di Amerika Serikat, prevalensi dispepsia fungsional tercatat sebesar
29%.
Bila didapatkan tanda alarm, yaitu mual muntah yang tidak sembuh dengan terapi lazim, terapi
empiris gagal, anemia, melena dan/hematemesis, penurunan berat badan yang signifikan akibat
penyakit, disfagia, maka investigasi yang berupa pemeriksaan laboratorium, radiologik dan
endoskopik harus dijalankan. Selanjutnya terapi disesuaikan dengan hasil temuan investigasi.
Namun bika tidak ditemukan tanda alarm, maka tidak perlu terlalu cepat melakukan investigasi.
Pasien dapat diterapi secara empiris terlebih dahulu.
Yang dimaksud dengan terapi empiris adalah terapi yang diberikan berdasarkan hipotesis
diagnosis kerja. Lamanya terapi empiris bervariasi, ada yang menganjurkan selama 1-2 minggu,
ada yang lebih lama yaitu selama 4 minggu. Tidak berhasilnya terapi empiris merupakan salah
satu tanda alarm, sehingga menjadikan kasus tersebut diindikasikan untuk investigasi lanjutan.
Investigasi dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi (leukositosis), pankreatitis (amilase
lipase), hepatitis (SGOT SGPT), keganasan saluran cerna (CEA, Ca19-9, AFP, foto barium),
penyakit batu empedu (USG, CT Scan, MRI atau MRCP, ERCP), infark miokard (CK, CKMB,
troponin), diabetes melitus (glukosa darah), gagal ginjal (ureum, kreatinin), dan yang terpenting
untuk mendeteksi lesi esofagogastroduodenal adalah endoskopi.
Setelah investigasi, diagnosis kerja dispepsia dapat berubah sesuai hasil temuan, yaitu
-
Bila setelah investigasi ternyata tidak ditemukan adanya penyakit organik, dan keluhan menetap
selama 3 bulan atau lebih, maka diagnosis dispepsia fungsional dapat ditegakkan.
Klasifikasi laiin dari dispepsia fungsional adalah pembagian menurut Rome III, yaitu
diklasifikasikan dalam dua subgrup yaitu :
1. Dispepsia yang dicetuskan oleh makan, disebut Postprandial Distress Syndrome
(PDS), dimana simptom utama adalah rasa penuh dan cepat kenyang
2. Dispepsia yang tidak berhubungan dengan makan, disebut Epigastric Pain Syndrome
(EPS), dimana simptom utama adalah nyeri epigastrium dan rasa terbakar di
epigastrium
C. Patofisiologi dispepsia fungsional hingga kini belum jelas, namun beberapa terori pernah
diajukan, antara lain :
- Meningkatnya sensitifitas mukosa lambung terhadap asam
- Ambang rangsang persepsi lebih rendah
- Adanya disfungsi saraf autunom yaitu neuropativagal sehingga ada rasa cepat
kenyang
- Adanya stress psikologi
- Sedangkan pengaruh aktivitas mioelektrik lambung, pengaruh hromonal, pengaruh
infeksi Helicobacter pylori, hubungan dengan dismotilitas gastrointestinal, pengaruh
diet, dan faktor lingkungan terhadap dispepsia fungsional masih belum jelas.
D. Faktor resiko
Penelitian Wallander dkk mendapatkan rokok dan dispepsia meningkatkan resiko,
sedangkan alkohol dan stress tidak terbukti berhubungan. Penyakit rematologi dan
penggunaan obat anti nyeri juga berhubungan dengan timbulnya dispepsia. Marwaha dkk
melakukan studi meta analisis dan menemukan prevalensi meningkat pada gender
perempuan, H pylori-positif, penggunaan aspirin dan atau OAINS. Pengaruh diet
terhadap timbulnya keluhan tidak konsisten. Studi di China mendapatkan pengaruh diet
sebagai faktor resiko, namun studi di India tidak menemukan relevansinya. Di Eropa,
kopi tidak terbukti sebagai faktor resiko namun di Kanada ditemukan sebaliknya.
E. Tatalaksana dispepsia fungsional terdiri dari :
a. Diet menghindari makanan pencetus serangan
b. Terapi medikamentosa dapat berupa terapi :
1. Obat penetralisir asam lambung : antasida, dosis 3 x 3 mg
2. Obat penghambat asam : antagonis reseptor H2 (H2RA) seperti ranitidin 2 x 150
mg dan simetidin 2 x 400 mg, atau inhibitor pompa proton (PPI) seperti
omeprazole 1 x 20 mg, lanzoprazole 1 x 30 mg, dan pantoprazole 1 x 40 mg
3. Sitoprotektor (sukralfat 2 x 2 gram, rebamipide 3 x 100 mg, teprenone 3 x 50 mg)
4. Prokinetik (metoklopramid 4 x 10 mg, domperidon 4 x 10 mg, cisapride 3 x 5 mg)
5. Antidepresan (sertralin 1 x 25 mg)
6. Psikoterapi