PENDAHULUAN
Bola mata terdiri atas dinding bola mata dan isi bola mata, dimana dinding
bola mata terdiri atas sclera dan kornea sedangkan isi bola mata terdiri atas lensa,
uvea, badan kaca dan retina. Uvea merupakan lapisan dinding kedua dari bola
mata setelah sklera dan tenon. Uvea merupakan jaringan lunak, terdiri dari iris,
badan siliar, dan koroid.7
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid)
dengan berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea
yang mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Peradangan
pada uvea dapat hanya mengenai bagian depan jaringan uvea atau iris yang
disebut iritis. Bila mengenai badan tengah disebut siklitis. Iritis dengan siklitis
disebut iridosiklitis atau disebut juga dengan uveitis anterior dan merupakan
bentuk uveitis tersering, dan bila mengenai lapisan koroid disebut uveitis posterior
atau koroiditis.1,2
Uveitis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit, fotofobia, dan penglihatan yang
kabur, mata merah tanpa sekret mata purulen dan pupil kecil atau ireguler.
Berdasarkan reaksi radang, uveitis anterior dibedakan tipe granulomatosa dan non
granulomatosa. Penyebab uveitis anterior dapat bersifat eksogen dan endogen.
Penyebab uveitis anterior meliputi infeksi, proses autoimun, yang berhubungan
dengan penyakit sistemik, neoplastik dan idiopatik.1
Pola penyebab uveitis anterior terus berkembang sesuai dengan
perkembangan teknik pemeriksaan laboratorium sebagai sarana penunjang
diagnostik. Lebih dari 75% uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun
37% kasus di antaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berkaitan
dengan penyakit sistemik. Penyakit sistemik yang berhubungan dengan uveitis
anterior meliputi spondilitis ankilosa, sindroma Reiter, artritis psoriatika, penyakit
Crohn, kolitis ulserativa, dan penyakit Whipple. Keterkaitan antara uveitis
anterior dengan spondilitis ankilosa pada pasiendengan predisposisi genetik HLAB27 positif pertama kali dilaporkan oleh Brewerton et al.1,2
Insidensi uveitis sekitar 15 per 100.000 orang. Sekitar 75% merupakan
uveitis anterior. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik
terkait. Di Amerika Serikat, uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor tiga
setelah retinopati diabetik dan degenerasi makular. Umur penderita biasanya
bervariasi antara usia prepubertas sampai 50 tahun.1,3
Variasi gejala sering dijumpai, hal ini berhubungan dengan faktor
penyebabnya dan dimana kelainan itu terjadi, biasanya pasien datang mengeluh
nyeri okular, fotofobia, penglihatan kabur, dan mata merah. Pada pemeriksaan
didapatkan tajam penglihatan menurun, terdapat injeksi siliar, keratik presipitat
(KP), flare, hipopion, sinekia posterior, tekanan intraokuler bisa meningkat hingga
sampai edema makular.1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi
Uvea terdiri dari iris, badan siliaris (corpus siliaria), dan koroid. Bagian
ini adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera.
Bagian ini juga ikut memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga
uvea anterior, sedangkan koroid disebut uvea posterior.6,7
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma
yang membagi bola mata menjadi dua segmen, yaitu segmen anterior dan segmen
posterior, di tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik
mata depan (camera oculi anterior/COA) dan bilik mata posterior (camera oculi
posterior/COP). Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya
sinar ke dalam bola mata.5,6
Secara histologis, iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya terdapat
lekukan-lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan
kripta. Di dalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak
pembuluh darah dan saraf. Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel
plasma dapat membentuk KP, yaitu sel-sel radang yang menempel pada
permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi
pupil disebut nodul Koeppe, bila di permukaan iris disebut nodul Busacca, yang
bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik mata depan. Pada
iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak sehingga
menimbulkan hipopion.2,8
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan
miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi
seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior
tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan dalam kamera okuli
posterior lebih besar dari tekanan dalam kamera okuli anterior sehingga iris
tampak menggelembung ke depan yang disebut iris bombe (Bombans).2,8
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel
radang dapat berkumpul di sudut kamera okuli anterior sehingga terjadi penutupan
kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi glukoma
sekunder karena gumpalan-gumpalan pada sudut bilik depan, sedangkan pada fase
lanjut glukoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik turunnya bola
mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin.2,8
Reiter, penyakit Crohn, psoriasis, herpes zoster atau herpes simpleks, sifilis,
penyakit lyme, inflammatory bowel disease, juvenile idiopathic arthritis,
sarkoidosis, trauma, dan infeksi.1,3,4,5,6
2.4 Klasifikasi Uveitis Anterior
Berdasarkan patologi, uveitis anterior dapat dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu granulomatosa dan non-granulomatosa. Pada jenis non-granulomatosa,
umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon baik
terhadap terapi kortikosteroid diduga peradangan ini semacam fenomena
hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama di bagian anterior traktus, yakni iris
dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel
limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear.
Pada kasus berat, dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam
kamera okuli anterior.
Pada uveitis granulomatosa, umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke
jaringan oleh organisme penyebab (Mycobacterium tuberculosis atau Toxoplasma
gondii). Meskipun begitu, patogen ini jarang ditemukan dan diagnosis etiologi
pasti jarang ditegakkan. Uveitis granulomatosa dapat mengenai traktus uvealis
bagian manapun, namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok
nodular sel-sel epitelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang
terkena. Deposit radang pada permukaan posterior kornea terutama terdiri atas
makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis etiologi spesifik dapat ditegakkan secara
histologik pada mata yang dikeluarkan dengan menemukan kista toksoplasma,
basil tahan asam tuberkulosis, spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas
pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika dan beberapa penyebab spesifik lainnya.
Tabel 2.1 Perbedaan uveitis granulomatosa dan non-granulomatosa
Onset
Sakit
Fotofobia
Penglihatan kabur
Merah sirkumkorneal
Perisipitat keratik
Non granulomatosa
Akut
Nyata
Nyata
Sedang
Nyata
Putih halus
Granulomatosa
Tersembunyi
Tidak ada atau ringan
Ringan
Nyata
Ringan
Kelabu besar
Pupil
Synechia posterior
Nodul iris
Tempat
Perjalanan
Rekurens
Berdasarkan waktu, uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari
6 minggu, jika inflamasi kambuh diikuti dengan serangan inisial disebut rekuren
akut dan dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu. Beberapa keadaan
yang menyebabkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan uveitis anterior
akut, yaitu:
1. Uveitis anterior traumatik
Trauma merupakan salah satu penyebab uveitis anterior, biasanya terdapat
riwayat trauma tumpul mata atau adneksa mata. Luka lain seperti luka bakar
pada mata, benda asing, atau abrasi kornea dapat menyebabkan terjadinya
uveitis anterior. Tajam penglihatan dan tekanan intraokular mungkin
terpengaruh, dan mungkin juga terdapat darah pada bilik anterior.9
2. Uveitis anterior idiopatik
Istilah idiopatik dipergunakan pada uveitis anterior dengan etiologi yang
tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik atau traumatik. Diagnosis
ini ditegakkan sesudah menyingkirkan penyebab lain dengan anamnesis dan
pemeriksaan.9
3. Uveitis berhubungan dengan HLA-B27
HLA-B27 mengacu pada genotipe atau kromosom spesifik. Mekanisme
pencetus untuk uveitis anterior pada pasien dengan genotipe seperti ini tidak
diketahui. Ada hubungan yang kuat dengan ankylosing spondylitis, sindrom
Reiter, inflamatory bowel disease, psoariasis, arthritis, dan uveitis anterior yang
berulang.9
4. Behcets diseases/syndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa mediterania atau
Jepang. Terdapat trias penyakit Behcet, yaitu uveitis anterior akut dan ulkus
pada mulut dan genital. Penyakit Behcet yang menyebabkan uveitis anterior
akut masih sangat langka.9
5. Uveitis anterior berhubungan dengan lensa
Ada beberapa keadaan yang ditemukan pada peradangan bilik anterior dan
penyebab yang disebabkan oleh keadaan lensa, yaitu phaco-anaphylactic
endophthalmitis dan phacogenic (fakotoksik) uveitis, phacolytic glaukoma, dan
UGH syndrome (uveitis, glukoma dan hifema).9
6. Masquerade syndrome
Merupakan
keadaan
yang
mengancam,
seperti
limfoma,
leukemia,
2.5 Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung
suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi
sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang
menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.
Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari
dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal, antigen luar berasal dari mikroba
yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini, peradangan uvea terjadi lama setelah
proses infeksinya, yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya blood-aqueous
barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam
humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp), hal ini tampak sebagai
flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, dan sel plasma dapat
membentuk keratik presipitat, yaitu sel-sel radang yang menempel pada
permukaan endotel kornea. Apabila presipitat keratik ini besar disebut mutton fat.
Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan selsel radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun
migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang
dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut nodul Koeppe, bila di
permukaan iris disebut nodul Busacca.
Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara
iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun
antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia anterior. Dapat pula
terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil yang disebut seklusio pupil, atau seluruh
2. Perubahan kornea
- Keratik presipitat
Terjadi karena pengendapan sel radang dalam BMD pada endotel kornea
akibat aliran konveksi humor akuos, gaya berat, dan perbedaan potensial
listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga
difus. Keratik presipitat dapat dibedakan menjadi:
a. Baru dan lama: Jika baru berbentuk bundar dan berwarna putih. Lama
akan mengkerut, berpigmen dan lebih jernih.
10
3. Kelainan kornea
- Uveitis anterior akut
Keratitis dapat terjadi bersamaan dengan uveitis dengan etiologi
tuberkulosis, sifilis, lepra, herpes simpleks, herpes zoster atau reaksi uvea
sekunder terhadap kelainan kornea.
- Uveitis anterior kronik
11
12
5. Iris
a. Hiperemi iris
Gambaran bendungan dan pelebaran pembuluh darah iris kadang-kadang
tidak terlihat karena ditutupi oleh eksudasi sel. Gambaran hiperemi ini harus
dibedakan dari rubeosis iridis dengan gambaran hiperemi radial tanpa
percabangan abnormal.
b. Pupil
Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi
akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap
cahaya lambat disertai nyeri.
c. Nodul Koeppe
Lokalisasi pinggir pupil, banyak, menimbul, bundar, ukuran kecil, jernih,
warna putih keabuan. Proses lama nodul Koeppe mengalami pigmentasi
baik pada permukaan atau lebih dalam.
d. Nodul Busacca
Merupakan agregasi sel yang terjadi pada stroma iris, terlihat sebagai
benjolan putih pada permukaan depan iris. Juga dapat ditemui bentuk
kelompok dalam liang setelah mengalami organisasi dan hialinisasi. Nodul
Busacca merupakan tanda uveitis anterior granulomatosa.
e. Granuloma iris
Lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan nodul iris. Granuloma iris
merupakan kelainan spesifik pada peradangan granulomatosa seperti
tuberkulosis, lepra, dan lain-lain. Ukuran lebih besar dari kelainan pada iris
lain. Terdapat hanya tunggal, tebal padat, menimbul, warna merah kabur,
13
g. Oklusi pupil
Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusio dengan sel-sel radang pada
pinggir pupil.
h. Atrofi iris
14
b. Pengendapan pigmen
Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan
lensa menunjukkan bekas sinekia posterior yang telah lepas. Sinekia
posterior yang menyerupai lubang pupil disebut cincin dari Vossius.
15
16
Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau jenisnya nongranulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non-spesifik. Pada uveitis
anterior yang tetap tidak responsif harus diusahakan untuk menemukan diagnosis
etiologinya.
2.9 Komplikasi
Pada uveitis anterior dapat terjadi komplikasi berupa katarak, retinitis
proliferans, ablasi retina, glukoma sekunder yang dapat terjadi pada stadium dini
dan stadium lanjut, pada uveitis anterior dengan visus yang sangat turun, sangat
mungkin disertai penyulit edema makula kistoid.7,8
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya
dan bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topikal atau oral bertujuan
untuk mengurangi peradangan.12 Tujuan dari pengobatan uveitis anterior adalah
memperbaiki tajam penglihatan, meredakan nyeri pada okular, menghilangkan
inflamasi okular atau mengetahui asal dari peradangannya, mencegah terjadinya
sinekia, dan mengatur tekanan intraokular.13
Pengobatan uveitis anterior tidak spesifik, pada umumnya menggunakan
kortikosteroid topikal dan cycloplegics agent. Antiinflamasi steroid atau
antiinflamasi non-steroid oral kadang digunakan, namun obat-obatan steroid dan
imunosupresan lainnya mempunyai efek samping yang serius, seperti gagal ginjal,
peningkatan kadar gula darah, hipertensi, osteoporosis, dan glukoma, khususnya
pada steroid dalam bentuk pil.13
Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan diberikan secepatnya. 8
Tujuan penggunaan kortikosteroid sebagai pengobatan uveitis anterior adalah
mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan
membran sel, menghambat pelepasan lisosim oleh granulosit, dan menekan
sirkulasi limfosit.9 Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi
oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan
17
frekuensi pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, serta bentuk
larutan.15
Semakin
tinggi
konsentrasi
obat
dan
semakin
sering
frekuensi
alkohol
0,1%,
dexamethasone
sodium
phospate
0,1%,
18
terjadinya iris bombe dan peningkatan tekanan intraokular, menstabilkan bloodaqueous barrier, dan mencegah terjadinya protein leakage (flare) yang lebih jauh.
Agen cycloplegics yang biasa digunakan adalah atropine 0,5%, 1%, 2%,
homatropine 2%, 5%, scopolamine 0,25%, dan cyclopentolate 0,5%, 1%, dan
2%.9
19
20
waspada terhadap tanda dan mengobatinya dengan segera. Prognosis visual pada
iritis kebanyakan akan pulih dengan baik, jika tanpa disertai adanya katarak,
glukoma, atau posterior uveitis.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
Umur
: 32 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Pendidikan
: Tamat SMA
Status perkawinan
: Sudah menikah
Pekerjaan
: Karyawan swasta
Alamat
Tanggal pemeriksaan
: 20 September 2014
3.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 20 September 2014
1. Keluhan utama:
Penglihatan mata kiri kabur.
2. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur mendadak sejak
1 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengaku kelilipan dan pasien merasa
mata kirinya merah, sering berair, dan terasa nyeri. Kemudian pasien
membeli obat antibiotik tetes mata namun tidak ada perubahan. Semakin
21
Tanda vital
Tekanan darah
: 130/90 mmHg
Nadi
Suhu
: 36,8C
Pernafasan
2. Status Oftalmologis
OD
5/5
Edema (-), hiperemi (-),
benjolan (-), ptosis (-),
pseudoptosis (-)
CI (-), PCI (-), Hiperemi
(-), Jar. Vibrovaskular (-),
sekret (-)
Jernih, abrasi (-), sikatrik
(-), keratik presipitat (-),
infiltrate (-), ulkus (-),
arkus senilis (-)
Visus
Palpebra
Konjungtiva
Kornea
OS
5/12
Edema (-), hiperemi (-),
benjolan (-), ptosis (-),
pseudoptosis (-)
CI (-), PCI (+),
Hiperemi (+),
Jar. Vibrovaskular (-),
sekret (-)
22
COA
Bulat, reguler
Iris
Pupil
Ireguler, sinekia
posterior (+)
Miosis (+),
diameter 2 mm
jernih
Lensa
Pemeriksaan Penunjang
Slit Lamp
- cycloplegic E.D.
3.8 Prognosis
Ad vitam
: bonam
Ad functionam
: dubius ad bonam
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Telah dilaporkan pasien perempuan usia 32 tahun datang ke poli mata rsud
kanjuruhan dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur mendadak sejak 1 bulan
yang lalu. Awalnya pasien mengaku kelilipan dan pasien merasa mata kirinya
merah, sering berair, dan terasa nyeri. Semakin hari penglihatan dirasa semakin
kabur. Pasien menyangkal penglihatannya seperti ada bingkai bulat berwarna
hitam. Keluhan lain seperti rasa pusing, mual, muntah, ganjel, ngetek disangkal
oleh pasien. Pasien mengaku baru pertama kali sakit seperti ini.
Dari pemeriksaan oftalmologis didapatkan :
24
mata merah, nyeri disebabkan karena adanya proses inflamasi pada iris
sehingga menyebabkan pembuluh darah mengalami dilatasi. Pada pasien
ini pasien mengeluh nyeri dengan derajat sedang serta mata merah yang
nyata sehingga lebih mengarah pada uveitis non gralunomatosa,
sedangkan pada uveitis gralunomatosa nyeri dan merah dalam derajat
ringan.
25
BAB V
KESIMPULAN
Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid)
dengan berbagai penyebab. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang
mengalami inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi. Uveitis anterior
merupakan radang iris dan badan siliar bagian depan atau pars plikata, yang
disebabkan oleh gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen dapat
menjalar ke mata atau timbul karena reaksi alergi mata.
Uveitis anterior dikatakan akut jika terjadi kurang dari 6 minggu dan
dikatakan sebagai kronik jika lebih dari 6 minggu. Laboratorium sangat
dibutuhkan guna mendapat sedikit gambaran mengenai penyebab uveitis.
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya dan
bagian organ yang terkena dan prognosis kebanyakan kasus uveitis anterior
berespon baik jika dapat didiagnosis secara awal.
Pada laporan kasus ini pasien didiagnosa dengan susp. Uveitis anterior non
granulomatosa akut.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI. 2006. 34.
2. WebMD. Iritis and Uveitis. 2005. http://www.emedicine.com. [diakses
tanggal 22 Desember 2012]
3. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and
Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company. 1980. 143-144.
4. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical
Publishing. 1992. 1.
5. Roque MR. Uveitis. 2007. http://www.uveitis.com/ ph.images. uveitis/
jpg/files [diakses tanggal 27 september 2014]
4. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th ed. London: McGraw
Hill. 2007.
5. Sidarta I. Radang Uvea. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002.
6. Sidarta I. Uveitis. Ilmu Penyakit Mata. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
7. Vaughan D. Traktus Uvealis dan Sklera. Oftalmologi Umum. Wydia
Medika: Jakarta. 2000.
8. Gordon,
Kilbourn.
Iritis
dan
Uveitis.
http://www.emedicine.com/