Anda di halaman 1dari 13

Acara II

KITIN DAN KITOSAN


LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun Oleh:
Nama

: Anastasya Gumelar

NIM

: 13.70.0084

Kelompok

: B2

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1.
Alat
2. Alat yang diperlukan dalam praktikum kali ini adalah
2.1.1.

Bahan

3. Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah

3.1. Metode
4. Demineralisasi
5.
6.

Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.

7.
8.
9.

Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.

10.
11.
12.

HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan


HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N

13.
14.
15.

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Lalu dicuci sampai pH netral.

23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

38.
39.
40.
41.
42. Deproteinasi
43.
44.

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

45.
46.

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.

Kemudian disaring dan didinginkan

54.
55.
56.

Lalu dicuci sampai pH netral.

57.
58.
59.
60.
61.
62.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

63.
64.
65.
66.
67. Deasetilasi
68.
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok B1 dan B2,
69.
NaOH 50% untuk kelompok B3 dan B4, dan NaOH 60% untuk kelompok B5
70.
71.
72.

ooC selama 1 jam


Kemudiandikeringkan
dipanaskan
pada
suhu
90
Kemudian
Lalu dicucipada
sampai
suhu
pH70
netral.
C selama 24 jam

73. HASIL PENGAMATAN


74. Hasil pengamatan kitin dan kitosan dengan berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
75.
76. Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan
77. Kelom
pok
82. B1
87. B2
92. B3
97. B4
102.

B5

78. Perlakuan
83. HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
88. HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
93. HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
98. HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
103. HCl 1,25N + NaOH 60%
+ NaOH 3,5%

79. Rendeme
n KitinI
(%)

80. Rendeme
n Kitin II
(%)

81. Rendeme
n Kitosan
(%)

84. 30,00

85. 34,88

86. 25,00

89. 36,00

90. 29,40

91. -

94. 31,82

95. 50,00

96. 50,00

99. 28,00
104.

28,57

100.

22,22

105.

20,00

101.
106.

19,23
-

107.
108.

Pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa perbedaan perlakuan untuk tiap

kelompok dalam segi penambahan HCl dan NaOH. Kelompok B1 dan B2 diberi
perlakuan penambahan HCl 0,75 N; NaOH 3,5% dan NaOH 40%. Pada kelompok B3
dan B4 diberi perlakuan penambahan HCl 1 N; NaOH 3,5% dan NaOH 50%. Kelompok
B5 diberi perlakuan penambahan HCl 1,25 N; NaOH 3,5% dan NaOH 60%. Berdasarkan
hasil pengamatan rendemen kitin I terbesar adalah pada kelompok B2 yaitu sebesar 36%,
rendemen kitin II terbesar adalah pada kelompok B3 yaitu sebesar 50% dan rendemen
kitosan terbesar adalah pada kelompok B3 dengan nilai sebesar 50%. Sehingga
penambahan masing-masing komponen dengan perbedaan knsentrasi akan mempengaruhi
rendemen kitin dan kitosan yang dihasilkan dari bahan kulit udang.
109.

PEMBAHASAN

110.

Praktikum bab kitin kitosan ini menggunakan bahan utama yaitu limbah kulit udang

yang telah dikeringkan dan dihaluskan. Umumnya kulit udang mengandung sekitar 2540% protein, 15-20% kitin dan 45-50% kalsium karbonat. Sedangkan kitosan merupakan
produk biopolimer yang diperoleh dari deasetilasi kitin. Kitosan tidak beracun dan
sifatnya biodegradable atau mudah diuraikan, sehingga banyak digunakan dalam skala
industri (Zakaria et. al., 2012). Kitin sendiri dapat dijadikan bahan penggumpal dalam
pengolahan limbah, terutama limbah yang memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi. Tahapan

utama dalam pembuatan kitosan adalah penghilangan protein serta

penghilangan kandungan mineral melalui proses deproteinasi dan demineralisasi, dimana


larutan asam dan basa digunakan selama pemrosesan. Setelah itu kitosan akan dapat

dibentuk melalui proses deasetilasi menggunakan larutan basa dengan proses pemanasan
(Tolaimatea et al., 2003).
111.
112. Menurut Wieczorek et. al. (2014), kitin merupakan polisakarida yang terbentuk dari
unit N-asetil-D-glukosamin, terhubung pada ikatan (1, 4). Kitosan merupakan turunan
dari kitin banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik serta industri pangan.
Sumber utama penghasil kitin adalah cangkang crustasea mialnya udang dan kepiting.
Kumirska et. al. (2010) juga menjelaskan, bahwa kitin memiliki karakteristik warna
putih, tekstur yang keras dan inelastis dan juga mengandung nitrogen yang dapat
ditemukan pada kulit udang. Maka sangat sesuai jika dalam praktikum digunakan kulit
udang sebagai bahan utamnya.
113.

114.

Ekstraksi kitin dan kitosan pada kulit udang

diawali dengan tahap persiapan terlebih dahulu, yaitu kulit udang dicuci, dikeringkan, dan
dihaluskan terlebih dahulu hingga menjadi tepung. Menurut pernyataan Mizani (2007),
proses utama ekstraksi limbah kulit udang didasarkan pada proses demineralisasi atau
dengan penambahan asam dan proses deproteinasi atau dengan penambahan basa.
Awalnya dalam proses demineralisasi, limbah kulit udang dalam bentuk tepung ditimbang
sebanyak 5 gram dan ditambahkan HCl sebanyak 50ml (tepung : HCl = 1 : 10).
Konsentrasi HCl yang ditambahkan berbeda-beda untuk tiap kelompok, untuk kelompok
B1 dan B2 HCl yang ditambahkan sebesar 0,75 N. Kelompok B3 dan B4 menggunakan
HCl dengan konsentrasi 1 N. Sedangkan untuk kelompok A5 menggunakan HCl 1,25 N.
Setelah itu dilakukan pengadukan selama 1 jam dengan suhu 90 oC menggunakan hot
plate. Lalu dilakukan pencucian dengan air hingga dicapai pH yang netral yaitu pH 7 atau
mendekati 7. Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan kertas lakmus, bila kertas
lakmus berwarna hijau lumut maka menandakan bahan tersebut telah netral. Setelah itu
dilakukan pengeringan selama 24 jam dalam oven bersuhu 80oC.
115.
116.

Pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada kulit

udang sehingga cemaran pada produk kitin dapat diminimalisasi. Kemudian adanya
penambahan HCl pada tepung kulit udang dikarenakan di dalam kulit udang terdapat
kandungan mineral sebesar kurang lebih 30-50% dari berat kering. Komposisi utama
dalam kulit udang adalah kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Biasanya mineral-mineral
ini dipisahkan atau dihilangkan sebelum proses ekstraksi kitin berlangsung. Maka untuk
melarutkan komponen mineral diperlukan penambahan larutan yang bersifat asam seperti

HCl (asam klorida) atau asam sulfat (H2SO4),

seperti pada pernyataan Angka &

Suhartono (2000). Sedangkan selama praktikum larutan asam yang digunakan adalah
asam klorida. Austin (1981) juga menyatakan, mineral CaCO3 yang terkandung di dalam
kitin akan lebih mudah dihilangkan dibandingkan memisahkan protein, karena garam
anorganik umumnya mudah dihilangkan dengan penggunaan asam klorida. Sehingga
asam klorida dianggap sudah efektif untuk melarutkan/menghilangkan mineral terutama
kalsium namun asam klorida memiliki kelemahan karena dapat menyebabkan
depolimerisasi pada kitin. Berikut merupakan reaksi antara garam anorganik dengan
HCl:
117.
118.

CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)

119.
120.

Dari reaksi di atas maka akan adanya pembentukan gas CO2 yang berupa gelembung-

gelembung udara pada saat penambahan asam klorida. Selama praktikum, gelembung
udara tersebut juga sangat tampak pada saat proses pengadukan. Pengadukan pada suhu
90oC selama satu jam bertujuan untuk menghomogenkan larutan sehingga pemanasan
dapat terjadi secara merata pada larutan sampel, dan juga untuk mengoptimalkan kontak
HCl dengan mineral-mineral pada proses demineralisasi ini sehingga proses penghilangan
mineral dapat berlangsung dengan maksimal. Kemudian endapan dicuci dengan air
hingga pH netral. Tujuan dari proses pencucian adalah untuk mempercepat penghilangan
mineral dari limbah kulit udang yang digunakan. Mineral yang masih terikat pada limbah
kulit udang akan terbawa dalam air bilasan sehingga mineral pada limbah udang dapat
diminimalisasi. Pembilasan juga meningkatkan efektivitas jalannya proses demineralisasi
dan juga dapat mencegah terjadinya degradasi pada produk selama dikeringkan Austin
(1981).

121.
122.

Pada praktikum hari kedua, limbah kulit udang yang telah kering ditambah dengan

NaOH 3,5% dengan perbandingan (6:1) lalu diaduk kembali selama 1 jam pada suhu
90oC. Kemudian larutan didinginkan sebentar lalu dicuci kembali dengan air hingga pH
netral (pH 7 atau mendekati 7). Kemudian dilakukan pengeringan selama 24 jam dengan
oven pada suhu 80oC. Proses ini adalah proses deproteinasi yang merupakan proses
penghilangan kandungan protein yang terdapat pada limbah kulit udang. Jothi dan
Kunthavai (2013) menyatakan, proses deproteinasi bertujuan untuk menguraikan dan
melepaskan ikatan-ikatan protein dengan kitin, karena pada umumnya kandungan protein
pada limbah kulit udang masih cukup tinggi yaitu sekitar 30%. Penghilangan protein ini

dapat dilakukan dengan menambahkan senyawa NaOH 3,5% (6:1) oleh karena itu
langkah yang dilakukan selama praktikum elah sesuai dengan dasar teori yang ada.
Langkah selanjutnya adalah dilakukan pengadukan sambil dipanaskan selama 1 jam pada
suhu 90oC, kemudian menetralkan residu lalu dilakukan pengeringan yang bertujuan
untuk mengoptimalkan senyawa NaOH dalam mengurangi kandungan protein pada
tepung kulit udang yang digunakan.
123.

124. Menurut Supitjah (2004), NaOH merupakan senyawa yang bersifat alkali dan
dianggap paling efektif untuk menghidrolisis gugus asetil pada kitin, karena protein yang
terikat pada kitin lebih sulit dipisahkan jika dibandingkan dengan mineral, sehingga perlu
digunakan senyawa NaOH. Semakin tinggi konsentrasi NaOH dan suhu yang digunakan
maka proses pemisahan kitin dari gugus protein akan lebih maksimal. Jika proses berjalan
dengan maksimal maka jumlah rendemen yang terbentuk akan semakin sedikit karena
protein akan terlepas dan tidak terikat pada kitin lagi. Dan jika konsentrasi yang
digunakan terlalu rendah maka reduksi gugus protein akan menjadi kurang maksimal,
namun bila konsentrasi terlalu tinggi juga dapat menyebabkan degradasi struktur protein
yang berlebihan. Setelah proses deproteinasi maka dilakukan pembuatan kitosan dengan
cara deasetilasi kitin. Kitin yang telah dihasilkan kemudian ditambah dengan NaOH,
konsentrasi

yang digunakan

berbeda

untuk masing-masing kelompok dengan

perbandingan 20:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan NaOH konsentrasi 40%,


kelompok B3 dan B4 menggunakan NaOH konsentrasi 50% dan kelompok B5
menggunakan NaOH konsentrasi 60%. Kemudian dilakukan kembali pengadukan dan
pemanasan dengan suhu 90oC selama 1 jam kemudian kitin dicuci hingga dicapai pH
yang netral lalu dikeringkan dalam oven bersuhu 70oC selama 24 jam untuk
menghasilkan produk akhir kitosan.
125.
126.

Winarno

et

al.

(1980)

mengatakan,

proses

pengeringan

ditujukan

untuk

menghilangkan sebagian air yang terkandung dalam suatu bahan padat melalui proses
penguapan air menggunakan energi panas. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi
tingkat efektivitas dari proses pengeringan yaitu suhu, luas permukaan, aliran udara serta
tekanan udara. Sehingga dari tiap tahap pengeringan dalam pembuatan kitin dan kitosan
menggunakan suhu yang berbeda-beda. Jika waktu pemanasan lebih lama maka
dibutuhkan suhu yang lebih rendah jika dibandingkan pemanasan dengan suhu yang lebih
tinggi. Kaya et al. (2014), menyatakan bahwa perubahan kitin menjadi kitosan pada tahap
deasteliasi dapat terjadi karena adanya gugus asetil yang hilang pada kitin dan menjadi

gugus amina yang ada pada kitosan. Kualitas dari kitosan yang dihasilkan sangat
ditentukan dengan persentase gugus asetil yang dapat dihilang dari rendemen kitin atau
pada kitosan itu sendiri. Karena itu untuk mengetahui kualitas kitosan yang dihasilkan
perlu mengamati rendemen yang dihasilkan dari hasil perhitungan dengan rumus:
127.

128.

129.

Rendemen Kitin I =

berat kering
x 100
berat basah I

Rendemen Kitin II =

berat kering
x 100
berat basah II

Rendemen Kitosan=

berat kitosan
x 100
berat kitin III

130.

131.

Pada hasil pengamatan, dapat terlihat bahwa perlakuan kelompok B1 dan B2 adalah

sama yaitu dengan menambahkan HCl 0,75 N pada kulit udang selama proses demineralisasi,
NaOH 3,5% pada proses deproteinasi dan NaOH 40% pada proses deasetilasi. Pada
kelompok B3 dan B4 menambahkan HCl 1 N pada kulit udang selama proses demineralisasi,
NaOH 3,5% pada proses deproteinasi dan NaOH 50% pada proses deasetilasi. Berbeda
dengan kelompok lain, kelompok B5 memiliki perlakuan dengan menambahkan HCl 1,25 N
pada proses demineralisasi, NaOH 3,5% pada proses deproteinasi dan NaOH 60% pada
proses deasetilasi. Di antara ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat bahwa konsentrasi HCl
dan NaOH terkecil diberikan pada kelompok B1 dan B2 sedangkan yang terbesar adalah pada
kelompok B5.

132.
133.

Pada hasil praktikum ini terlihat bahwa setelah proses demineralisasi, kelompok B2

memiliki rendemen tertinggi yaitu sebesar 36%. Jika dibandingkan dengan teori yang ada
seharusnya semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan maka semakin banyak
mineral yang larut, sehingga kadar mineral pada limbah kulit udang semakin berkurang
(Supitjah, 2004). Oleh itu hasil pengamatan untuk penggunaan HCl sudah sesuai dengan
teori yang ada, akibat efektivitasnya rendah maka tentu saja rendemen yang dihasilkan
oleh perlakuan HCl konsentrasi rendah akan lebih besar karena masih banyak mineral
yang belum larut secara maksimal. Seharusnya semakin besar konsentrasi bahan pelarut
akan meyebabkan rendemen semakin sedikit.
134.
135.

Setelah proses deproteinasi, terlihat bahwa rendemen kelompok B2, B4 dan B5

mengalami penurunan dan hal ini menunjukkan bahwa pelarut NaOH yang digunakan

efektif. Namun pada kelompok B1 dan B3 justru rendemennya bertambah. Hal ini dapat
terjadi karena masih ada senyawa protein yang terikut pada produk dan adanya beberapa
bahan/senyawa yang terbawa selama penimbangan. Pada proses deproteinasi seluruh
kelompok menggunakan larutan NaOH dengan konsentrasi yang seragam. Menurut Hong
et al. (1989), penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan menghasilkan
kitosan dengan jumlah rendemen yang lebih rendah karena penambahan NaOH akan
mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan sehingga berat molekulnya
akan mengalami penurunan. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, setelah proses
deasetilasi dalam menghasilkan kitosan, telihat bahwa rendemen terendah dihasilkan oleh
kelompok B2 dan B5 yaitu 0, hal ini terjadi karena praktikan pada kelompok B2 salah
menimbang, hasil ini sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) karena konsentrasi
larutan HCl dan NaOH pada B5 paling tinggi dibandingkan kelompok lainnya.
Sebaliknya pada kelompok A1 dan A2 yang konsentrasi pelarutnya (HCl dan NaOH)
paling sedikit ternyata rendemen kitosannya paling besar sehingga hasil ini jugasesuai
dengan teori.
136.
137.

Menurut Puspawati et al. (2010), semakin tinggi suhu yang digunakan maka derajat

deasetilisasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat. Pemanasan bertujuan untuk
meningkatkan derajat deastelasi dari kitosan, dan pengadukan digunakan untuk meratakan
kontak kitin yang dihasilkan sehingga deasetilasi dapat berlangsung lebih sempurna.
Setelah pemanasan dan pengadukan, kitin didiamkan selama 30 menit hal ini bertujuan
untuk membuat serbuk kitosan pada larutan dapat mengendap secara maksimal dan tidak
ikut terbuang selama proses pencucian dilakukan.
138.
139.

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki umur simpan yang terbatas

sehingga membutuhkan senyawa anti mikroba yang dapat memperpanjang umur simpan
dari produk ikan tersebut. Kitosan yang disintesis dari kulit udang, kepiting, dan lain-lain
ternyata dapat digunakan sebagai bahan anti mikroba alami pada ikan. Selain sebagai
senyawa anti mikroba, kitosan juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet alami,
membantu dalam pengolahan limbah. Kitosan dapat berperan sebagai senyawa anti
mikroba karena kitosa memiliki gugus aktif yang mampu berikatan dengan mikroba
sehingga tentu saja kitosan dapat menghambat laju pertumbuhan dari mikroba pembusuk
yang banyak terdapat pada ikan. Selain kitin dan kitosan berguna sebagai senyawa anti
mikroba, kitin dan kitosan yang berasal dari limbah cangkang rajungan juga dapat
dimanfaatkan sebagai perisa makanan alami (Sarjono et al., 2008). Perisa makanan

merupakan salah satu bahan tambahan yang sangat penting dalam menghasilkan produk
pangan yang lebih berkualitas. Pembuatan flavour dari limbah cangkang/kultit rajungan
dengan penambahan dekstrin dapat dimanfaatkan sebagai salah satu produk alternatif
yang lebih alami untuk meningkatkan citarasa pada makanan. Cangkang rajungan juga
dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium dalam pembuatan aneka kue mengingat
bahwa kandungan kalsium dalam limbah rajungan yang cukup tinggi (Winarno, 1997).
140.
141.

KESIMPULAN

Pembuatan kitin dan kitosan terdiri dari penghancuran bahan, pemisahan


penghilangan mineral (demineralisasi), penghilangan protein (deproteinasi), dan

penghilangan pigmen dan lipid serta deasetilasi kitin untuk memproduksi kitosan.
Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada pada kulit udang

yang digunakan sehingga cemaran pada produk kitin dan kitosan dapat dihindari.
Tujuan pengeringan adalah menghilangkan sebagian kandungan air pada kulit
udang menghilang sehingga mendapatkan produk kulit udang yang sifatnya

kering.
Asam klorida digunakan untuk melarutkan mineral kalsium namun

digunakan terlalu berlebihan dapat menyebabkan kitin mengalami depolimerisasi.


Pemanasan suhu 90oC selama 60 menit bertujuan untuk menghomogenkan larutan

jika

sehingga pemanasan terjadi secara merata dan dapat mengoptimalkan HCl dalam

melarutkan mineral-mineral.
Pembilasan berguna untuk meningkatkan efektivitas demineralisasi serta

mencegah degradasi pada produk selama pengeringan.


Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan, efektivitas pelarutan
makin besar sehingga jumlah/persentase rendemen akan semakin rendah.

142.
143.
144.
145.
146.

Semarang, 30 September 2015


Praktikan,

Asisten Dosen
Tjan, Ivana Chandra

147.
148.
149.
150.
151. Anastasya Gumelar
152. (13.70.0084)
153.
DAFTAR PUSTAKA
154. Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
155.

10

156. Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of
research. Science, 212(4496), 749753.
157.
158. Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin
from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
159.
160. Jothi, N. dan Kunthavai Nachiyar. (2013). Identification and Isolation of Chitin and
Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of
Biotechnology & Biochemistry 8 (2): 33-39, 2013.
161. Kaya, Murat; Osman Seyyar; Talat Baran dan Tuncay Turkes. (2014). Bat Guano As
New and Attractive Chitin and Chitosan Source. Kaya et al. Frontiers in Zoology 2014,
11:59.
162.
163. Kumirska, Jolanta et al. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural
Analysis of Chitin and Chitosan. Mar. Drugs 2010, 8, 1567-1636;
doi:10.3390/md8051567.
164.
165. Mizani, A.Maryam dan B.Mahmood Aminlari. (2007). A New Process for
Deproteinization of Chitin from Shrimp Head Waste. Proceedings of European
Congress of Chemical Engineering (ECCE-6) Copenhagen, 16-20 September 2007.
166.
167. Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit
Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 90.
168.
169. Sarjono, P.R; N.S Mulyani; N Wulandari. 2008. Uji Antibakteri Kitosan dari Kulit
Udang Windu(Peneaus Monodon) Dengan Metode Difusi Cakram Kertas. Universitas
Diponegoro.
170.
171. Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses
Produksi.Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56 Vol VII Nomor 1.
172.
173. Tolaimatea, A.; Desbrieresb, J.; Rhazia, M., dan Alaguic, A., 2003, Contribution to the
preparation of chitins and chitosans with controlled physico-chemical properties,Polym.
J., 44, 79397952.
174.
175. Wieczorek, A. S.; S. A. Hetz dan S. Kolb. (2014). Microbial Responses to Chitin and
Chitosan in Oxic and Anoxic Agricultural Soil Slurries. Biogeosciences, 11, 3339
3352, 2014.
176.
177.
Winarno FG. 1997.Kimia Pangan dan Gizi.Jakarta: Gramedia.
178.
179. Winarno, F.G.; S. Fardiaz; dan D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia, Jakarta.
180. Zakaria, Zainoha et al. (2012). Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on
Thermal Stability and Compability of Chitosan-Polyamide Blend. Biogeosciences, 11,
33393352, 2014.

181.

11

182. LAMPIRAN
182.1. Perhitungan
183.Rumus:
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.

rendemen kitin I =

berat kering
100
berat basah I

rendemen kitin II =

berat kering
100
berat basah II

rendemen kitosan=

Kelompok B1
rendemen kitin I =

3
100 =30,00
10

rendemen kitin II =

1,5
100 =34,88
4,3

rendemen kitosan=

Kelompok B2
rendemen kitin I =

berat kitosan
100
berat kitin III

0,5
100 =25,00
2,0

4,5
100 =36,00
12,5

rendemen kitin II =

0,5
100 =29,4
1,7

0
rendemen kitosan= 100 =0
0
Kelompok B3
rendemen kitin I =

3,5
100 =31,82
11

rendemen kitin II =

1,5
100 =50,00
3

rendemen kitosan=

Kelompok B4

0,5
100 =50,00
1

12

205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.

rendemen kitin I =

3,5
100 =28
12,5

rendemen kitin II =

1
100 =22,22
4,3

rendemen kitosan=

Kelompok B5
rendemen kitin I =

3
100 =28,57
10,5

rendemen kitin II =

0,5
100 =20,00
2,5

rendemen kitosan=

213.
214.
214.1. Laporan Sementara
214.2. Diagram Alir
214.3. Abstrak Jurnal
215.
216.
217.
218.
219.

0,5
100 =19,23
2,6

0
100 =0
0,5

220.

Anda mungkin juga menyukai