Anda di halaman 1dari 23

0

CHITIN & CHITOSAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Elsa Olivia
NIM : 13.70.0088
Kelompok A5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015

1. MATERI METODE
1.1. Alat & Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum Chitin dan Chitosan adalah oven,
blender, ayakan, peralatan gelas, sedangkan bahan-bahan yang digunakan yaitu
limbah udang, larutan HCl 0,75 N; 1 N; dan 1,25 N, larutan NaOH 40%, 50%
dan 60%.
1.2. Metode
Dalam pembuatan chitin dan kitosan dari limbah udang dilakukan beberapa
langkah kerja, yaitu :
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan
HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

1.2.2. Deproteinasi

Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.

Kemudian disaring dan didinginkan

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam

Hasil deproteinasi setelah dioven (kitin)

1.2.3. Deasetilasi
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5

Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam

Lalu dicuci sampai pH netral.

Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam-> Kitosan

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan praktikum kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kitin dan Kitosan


Kelompok
A1
A2
A3
A4
A5

Perlakuan
HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%
HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%
HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%

Rendemen
Kitin I (%)

Rendemen
Kitin II (%)

Rendemen
Kitosan (%)

30,00

20,00

10,40

45,00

26,67

13,07

35,00

22,22

12,32

20,00

28,57

14,95

30,00

25,00

12,40

Berdasarkan tabel hasil pengamatan kitin dan kitosan (Tabel 1.), dapat dilihat bahwa
rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok A2 dengan penambahan HCl 0,75 N,
NaOH 3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 45%. Kelompok A4 memiliki rendemen
kitin I terendah yaitu 20% dengan penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%.
Rendemen kitin II terbesar diperoleh dari kelompok A4 yaitu 28,57% dengan
penambahan HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50%, dan yang terkecil diperoleh dari
kelompok A1 yaitu 20% dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH 3,5%, dan NaOH
40%. Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok A4 dengan penambahan
HCl 1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan Rendemen
kitosan paling rendah diperoleh oleh kelompok A1 dengan penambahan HCl 0,75 N,
NaOH 3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%.

3. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini, bahan yang digunakan yaitu kulit udang. Menurut Berger et al.
(2004) kulit udang adalah bahan yang biasanya dipakai sebagai sumber kitin dan
kitosan. Apabila diukur kadar kitin di dalam udang berkisar antara 60-70% dan ketika
diproses menjadi kitosan dapat mencapai 15-20%. Moeljanto (1992), mengatakan
bahwa kulit udang mengandung protein dan lemak dalam jumlah besar namun jarang
digunakan. Dalam pengolahan hasil laut, crustaceans biasanya dikupas untuk
mendapatkan dagingnya untuk diekspor, dan sisa kulit dan kepala, sekitar 35-45% dari
total berat badan, dianggap limbah (Trang S. T. & Huynh N. D. B., 2015). Manjang
(1993) menambahkan kulit udang tergolong limbah yang perlu dicari cara pengolahan
yang tepat. Oleh karena itu, daripada kulit udang dibuang sia-sia dan justru menjadi
pencemar bagi lingkungan (menimbulkan bau amis dan merusak estetika), lebih baik
kulit udang diolah menjadi kitin dan kitosan. Kitin dan kitosan yang diperoleh dari
limbah kulit udang dapat berfungsi sebagai absorben untuk penyerapan ion kadmium,
tembaga, dan timbal (Marganov, 2003). Tujuan praktikum ini yaitu untuk mengetahui
proses pembuatan kitin dan kitosan dari limbah crustaceans sehingga dihasilkan produk
dengan nilai ekonomis tinggi (value-added by product) dengan menggunakan berbagai
perlakuan konsentrasi larutan asam basa.

Kitin adalah polisakarida alami yang melimpah kedua setelah selulosa (Mohamed
Abou, 2010). Kitin merupakan homopolimer dari Beta-(1,4)-N-asetil-D-glukosamin
yang memiliki struktur yang hampir mirip dengan selulosa. Berat molekul kitin yaitu
1,03 hingga 2,5 x 106 Dalton. Polimer kitin ini memiliki bentuk miofibril dan diameter
sekitar 3 nm. Polimer ini dapat distabilkan oleh ikatan hidrogen antara gugus karboksil
dan amina (Gooday, 1994). Kitin terdiri dari 3 bentuk, yaitu Alfa (), Beta () dan
Gamma (). Orientasi -kitin antiparalel, -kitin paralel, dan -kitin campuran. Struktur
kitin beta dan gamma lebih reaktif dan fleksibel karena tingkat hidrasi lebih tinggi
(Kurita, 1997). Alfa () kitin banyak terdapat dialam, seperti pada arthropoda,
hydrozoa, moluska, rotifera, dan nematoda. Beta () kitin dapat ditemukan pada cumi
tinta, moluskam dan dinding sel luar serangga (insecta), sedangkan kitin gamma ()
dapat ditemukan pada lambung cumi-cumi (Stivil et al. 1997)

Sumber utama kitin adalah limbah crustacean, yang juga merupakan bahan dinding sel
utama pada sebagian besar jamur. Menurut jurnal Ben A. C. (2011), kitin mempunyai
ciri-ciri yaitu berwarna putih, keras, tidak elastis. dan merupakan nitrogenous
polysaccharide yang ditemukan pada cangkang invertebrata. Derajat polimerisasinya
berkisar antara 2000 dan 4000. Derajat deasetilasi kitin yaitu 5 hingga 15%, sedangkan
kitosan 70 hingga 95%. Semakin tinggi derajat deasetilasi kitin, maka kelarutannya
terhadap pelarut semakin rendah. Kristalinitas adalah ikatan hidrogen yang terbentuk
diantara susunan rantai kitin, semakin tinggi kristalinitas maka molekul kitin semakin
stabil. Sifat kitin yaitu hidrofobik atau tidak larut air. Sehingga penggunaan kitin
terbatas (Krissetiana, 2004). Kitin memiliki jumlah unit D yang sedikit, sehingga
menyebabkan polimer tidak dapat larut dalam media asam dan juga dalam aqueous
media (Aranaz et al. 2009). Kitin yang diperoleh dapat diubah menjadi kitosan agar
dapat memiliki nilai guna yang lebih tinggi, karena kitosan memiliki aktivitas biologis
sebagai antimikroba dan antijamur (Zouhour Limam et al., 2011). Di alam, kitin telah
terdeasetilasi sekitar 16%. Umumnya, kitin yang telah terdeasetilasi dinamai kitosan
(Goosen, 1997).

Kitosan adalah kitin yang sudah dihilangkan gugus asetilnya sehingga menyisakan
gugus amina bebas, yaitu -(1,4)-Dglukosamin dan merupakan polisakarida. Kitosan
memiliki berat molekul sekitar 0,1 hingga 0,5 x 106 Dalton (Goosen, 1997). Kitosan
dapat larut dalam media asam karena adanya pembebasan proton dari gugus amino yang
terdapat dalam unit D-glukosamin (Aranaz et al. 2009). Kitosan secara alami hanya
terdapat pada beberapa spesies jamur, namun yang paling banyak kitosan diekstrak dari
kuit luar dan eksoskeleton invertebrate seperti crustaceans, moluska, kepiting dan
udang (Mohamed Abou, 2010). Kitosan memiliki 3 gugus fungsional yang reaktif.
Gugus ini berupa gugus amino pada ikatan karbon (C) ke-2 dan gugus hidroksil pada
ikatan karbon (C) ke-3 dan ke-6, oleh karena itu kitosan bersifat polikationik. Sifat dari
kitosan ini menyebabkan kitosan, yang merupakan produk turunan polimer kitin,
banyak dimanfaatkan secara komersial baik di bidang kesehatan, pangan, permurnian
air, aplikasi biomedis, bioteknologi, pertanian, lingkungan, nutrisi, kosmetik, dan pada
akhir proses serat tekstil (Mohamed Abou, 2010). Menurut Morteza S.V. et al. (2010),
dalam jurnal yang berjudul Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and

Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Chitosan ialah


polisakarida amino, yang larut dalam konsentrasi rendah dari asam asetat, yang dapat
dibuat dari cangkang udang dengan beberapa aplikasi dalam industri. Kitosan bagi selsel hidup tidak beracun, biocompatible serta biodegradable. Selain itu, kitosan juga
homeostatis dan memiliki aktivitas antibakteri. Sifatnya yang antibakteri ini
menyebabkan kitosan dapat dibuat dalam bentuk film ataupun hydro-gel yang dapat
digunakan dalam pengobatan luka. Beberapa turunan kitosan memiliki sifat antikoagulan, dan digunakan untuk obat anti kanker.

Kitosan memiliki nilai ekonomis tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai pengawet
alami. Kitosan mempunyai polikation bermuatan positif yang dapat menghambat
pertumbuhan dari bakteri dan kapang. Fungsi kitosan sebagai bahan antimikroba
disebabkan karena kandungan enzim lysozim dan gugus aminopolisakarida. (Ratna &
Sugiyani, 2006). Umumnya, kitosan memiliki aktivitas antijamur yang lebih tinggi
daripada kitin. Chitosan dapat berperan sebagai aktivitas antibakteri terhadap
Enterobacter aerogenes, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Escherichia
coli (Zouhour Limam et al., 2011). Selain sebagai pengawet alami, kitin dan kitosan
juga dimanfaatkan dalam industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan,
gizi, kertas, tekstil, pertanian, kosmetik, membran dan kesehatan, sedangkan turunannya
digunakan sebagai emulsifier (Marganov, 2003).

Aranaz et al (2009) mengatakan bahwa kitin dan kitosan merupakan kelompok


polisakarida linear yang terdiri dari (14) yang berikatan dengan N-asetil-2 amino-2deoksi-D-glukosa dan 2-amino-2-deoksi-D glucose. Kitin hanya memliki 2-amino-2deoksi-D glucose dalam jumlah sedikit, oleh karena itu, polimer kitin tidak dapat larut
dalam media air asam, sedangkan 2-amino-2-deoksi-D glucose pada kitosan cukup
tinggi sehingga polimer kitosan larut dalam asam. Gugus amina yang terdapat dalam
kitosan, menyebabkan polimer ini dapat larut dalam asetat karena adanya penyerapan
proton pada saat pH larutan dibawah 6 (suasana asam). Kitosan dapat dibuat dengan
pemecahan N-asetil yang merupakan kelompok N-asetil-2 amino-2-deoksi-D-glukosa.
Namun reaksi ini jarang dilakukan hingga selesai, maka biasanya kitosan digambarkan

sebagai struktur kopolimer yang terdiri dari D-glukosamin dengan residu N-asetil.
Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1 (Morteza Shahabi et al., 2010).
Gambar 1. Struktur kitin dan kitosan

Kitin

Kitosan

Aplikasi kitin dan kitosan telah banyak digunakan. Dalam industri pangan, kitin dan
kitosan dimanfaatkan sebagai penjernih jus, produksi senyawa perisa, pembentukan
film, serta pengawet anti mikroba (Shahidi et al., 1999). Pada bidang pertanian, kitosan
banyak digunakan sebagai flokulan yang berfungsi untuk menghilangkan logam berat
dan kontaminan lain dari limbah cair. Pada bidang kosmetik, kitosan dimanfaatkan
sebagai campuran untuk produk perawatan kulit dan rambut. Dapat digunakan pula
sebagai lensa kontak karena mempunyai permeabilitas terhadap oksigen yang tinggi.
Selain itu, kitin dan kitosan saat ini juga diaplikasikan untuk pengolahan sampah, baik
sampah kertas, radioaktif, maupun sampah sisa buangan logam berat (Guibal et al.
1997). Pemanfaatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pemanfaatan Kitin dan Kitosan (Suhartono, 2006)


Bidang
Nutrisi
Pangan

Biomedis

Lingkungan dan pertanian

Kosmetik

Pemanfaatan
Suplemen nutrisi
Suplemen serat laut
Nutraseutikal, senyawa penyerap lemak
Penjernih minuman
Perisa
Pembentuk tekstur
Emulsifier
Mengobati luka
Lensa kontak
Antitumor
Membran dialisis darah
Penjernih air
Pupuk dan fungisida
Menyimpan benih
Krim pelembab
Produk perawatan rambut

Lain-lain

Proses akhir pembuatan kertas


Penyerap warna pada produk cat
Bahan tambahan pakan
Kromatografi

Kestabilan kitin dan kitosan sangat tinggi, karena keduanya sangat stabil dalam larutan
alkalin yang terkonsentrasi meskipun pada suhu yang tinggi. Kitin dan kitosan memiliki
gugus amino dan gugus hidroksil sehingga mudah sekali digantikan dengan gugus lain.
kitin dapat diproses dan dibentuk menjadi gel, bubuk, serat, film, membrane, koloid,
sponges, beads, flakes dan cotton. Kitin dan kitosan juga dapat didegradasi
(biodegradable) karena ramag lingkungan dan tidak bersifat toksik dan allergic.
Keduanya memiliki bioaktivitas seperti bakterostatis, antibacterial, antifungal, anti
tumor, dan lain lain (Ben A. C., 2011).
Praktikum kitin dan kitosan yang praktikan lakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
1. Demineralisasi
Kulit dari spesies crustaceans mengandung sekitar 30-40% protein, 30-50% kalsium
karbonat, dan 20-30% kitin serta mengandung pigmen seperti karotenoid (astaxanthin,
astathin, canthaxanthin, lutein and beta-karoten), dimana proporsi ini tergantung dari
jenis dan lingkungan (Aranaz et al. 2009). Dimana mineral yang paling utama, yang
terdapat dalam cangkang adalah kalsium karbonat, karena mineral ini dapat berikatan
secara fisik dengan kitin. Oleh karena itu, proses demineralisasi menjadi sangat penting
untuk dilakukan karena proses ini bertujuan untuk menghilangkan mineral pada limbah
kulit udang dengan asam. Metode ini dapat dilakukan dengan pencucian limbah udang
dengan air mengalir dan dikeringkan, kemudian dicuci dua kali dengan air panas dan
kembali dikeringkan. Setelah itu dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh (masing-masing kelompok 10 gram). Penggilingan atau
penghancuran bahan menyebabkan permukaan bahan menjadi semakin luas sehingga
rasio luas permukaan terhadap volume bahan semakin tinggi, sehingga sel menjadi
rusak dan kemampuan untuk melepas komponen semakin besar (Saleh et al., 1996).
Kemudian dicampur HCl dengan perbandingan 10 : 1.

Untuk kelompok A1dan A2 ditambahkan HCl 0,75 N, untuk kelompok A3 dan A4


ditambahkan HCl 1 N dan untuk kelompok A5 ditambahkan HCl 1,25 N. Larutan HCl

10

(asam encer) yang ditambahkan pada praktikum ini berfungsi untuk melarutkan
senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang, terutama kalsium karbonat
(Burrows et al, 2007). Chitin dapat diekstraksi dengan menggunakan perlakuan asam
untuk melarutkan kalsium karbonat yang kemudian dapat diikuti dengan ekstraksi
menggunakan alkalin untuk melarutkan protein (Aranaz et al. 2009). Krik dan Othmer
(1953), menambahkan bahwa keuntungan dari penggunaan HCl yaitu konsentrasi HCl
yang dibutuhkan cenderung rendah dan apabila tersisa dalam bahan pangan dapat
dihilangkan dan dinetralkan dengan NaOH yang sifatnya basa sehingga akan
menghasilkan garam yang merupakan flavouring agent. Menurut Austin (1981) reaksi
garam anorganik dengan HCl adalah sebagai berikut.
CaCO3 (s) + 2 HCl (l) CaCl2 (s) + H2O (l) + CO2 (g)
Ca3(PO4)2 (s) + 4 HCl (l) 2 CaCl2 (s) + Ca(H2PO4)2 (l)
Selanjutnya campuran serbuk dengan HCl diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada
suhu 90oC selama 1 jam dan dicuci hingga pH netral. Pengadukan tersebut dilakukan
supaya kitin yang terkandung dalam kulit udang bereaksi sempurna dengan pelarut
(HCl) sehingga gugus amino dapat terbentuk dan pengadukan membuat larutan menjadi
homogen sehingga pemanasan terjadi secara merata dan efisiensi pemanasan meningkat
(proses ekstraksi semakin cepat). Pemanasan dengan suhu 90oC bertujuan untuk
mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral agar ikatan antara kitin dengan
kalsium karbonat serta bahan organik lainnya dapat terlepas. Terjadinya pemisahan
mineral ditandai dengan munculnya gelembung-gelembung gas CO2 ketika larutan HCl
praktikan tambahkan pada sampel (Alamsyah et al., 2007). Sebelum dilakukan
pencucian, kitin harus didinginkan terlebih dahulu untuk mengendapkan kitin sehingga
tidak terbuang ketika dicuci berulang kali (Rogers, 1986). Pencucian hingga pH netral
juga dapat membantu penghilangan mineral pada kulit udang dan untuk mencegah
terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa gugus
amino bebas (Suptijah, 2004). Pengukuran pH dilakukan menggunakan kertas lakmus
dengan ditempelkan pada kitin. Setelah pHnya netral, campuran tersebut lalu
dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam.

11

Berdasarkan hasil pengamatan yang praktikan peroleh, didapatkan bahwa rendemen


kitin I yang terbesar pada kelompok A2 yang menggunakan HCl 0,75 N yaitu 45% dan
rendemen kitin I terkecil didapatkan dari kelompok A4 yaitu 20% yang menggunakan
HCl dengan konsentrasi 1 N. Menurut Suptijah (2004), konsentrasi penambahan asam
yang sesuai dapat melarutkan mineral secara sempurna. Sehingga semakin tinggi
konsentrasi HCl yang ditambahkan seharusnya menghasilkan rendemen kitin I yang
semakin besar. Namun, praktikum yang praktikan lakukan kurang sesuai dengan teori
Suptijah (2004), seharusnya rendemen kitin I terbesar diperoleh dari kelompok A5 yang
menggunakan HCl 1,25 N. Ketidaksesuaian antara praktikum dengan teori yang ada
kemungkinan disebabkan karena kesalahan praktikan karena tidak melakukan
pengadukan yang konstan ketika pemanasan berlangsung padahal pengadukan yang
konstan dapat membuat larutan HCl bereaksi sempurna dengan kulit udang (Kaunas,
1984). Ketidaksesuaian hasil dengan teori dapat juga disebabkan karena terdapat
rendemen kitin yang jatuh ketika dilakukan pencucian dan penyaringan. Selain itu,
menurut Angka & Suhartono (2000), demineralisasi sebaiknya dilakukan setelah
deproteinasi karena jika demineralisasi dilakukan sebelum deproteinasi dapat terjadi
kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral.

2. Deproteinasi
Deproteinasi merupakan tahap untuk menghilangkan protein, dimana sumber bahan
yang berbeda maka proses deproteinasi yang dilakukan juga berbeda (Sormin, 2001).
Tujuan dari proses deproteinasi yaitu untuk memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan
antara protein dan kitin, dengan prinsip yaitu memberikan kondisi basa dan diikuti
dengan pemanasan. Protein ialah salah satu penyusun cangkang udang yang berikatan
secara kovalen dengan kitin dan akan terlepas serta membentuk Natrium proteinat yang
dapat larut. Deproteinasi dilakukan dengan pencampuran tepung sebagai hasil dari
proses demineralisasi dengan NaOH 3,5% (6 : 1) lalu diaduk selama 1 jam dengan
pemanasan pada suhu 90oC. Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi bertujuan
untuk melarutkan protein yang terdapat pada kitin hasil demineralisasi (Reece et al,
2003). NaOH banyak dipilih karena efektif, relatif murah dan mudah untuk didapatkan,
dimana basa (NaOH) ini dapat mendenaturasi protein menjadi bentuk primernya yang
akan mengendap sehingga selanjutnya diperlukan tahap penyaringan. Penyaringan

12

dilakukan untuk memisahkan endapan dengan supernatannya. Pengadukan yang


praktikan lakukan ketika pemanasan berlangsung berguna untuk meratakan pemanasan
supaya derajat deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan (Rogers,1986).
Penambahan NaOH dengan perbandingan 6:1 dan pengadukan yang bertujuan
mempercepat proses deproteinasi sudah sesuai dengan teori Abun et al (2006).

Setelah ditambahkan NaOH, campuran tersebut kemudian didinginkan dan dicuci


dengan air mengalir sambil disaring hingga pHnya netral. Tujuan dari pendinginan
tersebut yaitu agar bubuk kitin yang dihasilkan pada larutan mengendap di bawah
sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Pencucian berulang kali disertai
penyaringan bertujuan untuk membuat pH menjadi netral. Pencucian hingga pH netral
berfungsi untuk menetralkan kitin yang bersifat basa, juga berperan dalam dapat
mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa
gugus amino bebas. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan endapan dengan
supernatannya. Setelah pH netral, praktikan mengeringkan kitin yang diperoleh pada
suhu 80oC selama 24 jam dengan tujuan untuk menguapkan air yang masih tersisa
setelah penyaringan sehingga produk kitin akhir berbentuk kering (Rogers, 1986;
Suptijah, 2004).

Dari proses deproteinasi, diperoleh hasil yaitu rendemen kitin II, dimana hasil rendemen
kitin II terbesar diperoleh dari kelompok A4 yaitu 28,57% dan yang terkecil diperoleh
dari kelompok A1 yaitu 20%. Data yang praktikan peroleh ini kurang sesuai dengan
teori. Seharusnya dengan deproteinasi (penghilangan protein dengan larutan basa) dan
pencucian rendemen kitin II yang diperoleh seharusnya semakin rendah. Namun pada
kelompok A4, hasil rendemen kitin II yang diperoleh lebih besar dari rendemen I.
Ketidaksesuaian ini dapat dipengaruhi akibat tahapan yang praktikan lakukan berbeda
dengan teori Angka & Suhartono (2000) yaitu demineralisasi sebaiknya dilakukan
setelah deproteinasi karena jika demineralisasi dilakukan sebelum deproteinasi dapat
terjadi kontaminasi protein terhadap cairan ekstrak mineral. Selain itu dapat juga
disebabkan karena pengadukan yang tidak konstan akibat dilakukan secara manual
sehingga larutan NaOH tidak bereaksi sempurna dengan kitin (Kaunas, 1984).

13

3. Deasetilasi
Untuk mengubah kitin menjadi kitosan, gugus asetil harus dipisahkan dari gugus amina
oleh proses hidrolisis. Proses hidrolisis ini dapat berlangsung dengan baik apabila
menggunakan lautan seperti sodium hydroxide (NaOH). Sodium atau potassium
hidroksida yang ditambahkan biasanya berkisar pada konsentrasi 30% hingga 50% pada
suhu yang tinggi, yaitu 100oC (Aranaz et al. 2009). Deasetilasi kitin adalah proses untuk
menghilangkan gugus asetil dari kitin dengan permberian larutan natrium hidroksida
dengan konsentrasi dan suhu yang tinggi sehingga menghasilkan produk yang
seluruhnya terdeasetilasi (Reece et al, 2003). Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh
kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus asetil dari atom nitrogen sehingga berubah
menjadi gugus amina. Namun, proses deasetilasi kitin dan kitosan dengan cara kimiawi
kurang mengguntungkan, karena tidak ramah lingkungan, proses tidak mudah
dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat
deasetilasi yang tidak seragam (Kaunas, 1984).

Kitin hasil deproteinasi ditambahkan NaOH (20:1) dengan konsentrasi 40% untuk
kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH dengan
konsentrasi 60% untuk kelompok A5. Kemudian diaduk selama 1 jam dengan
pemanasan pada suhu 90oC. Penambahan NaOH dan pemanasan dengan suhu 90oC
akan menyebabkan gugus asetil (CH3CHO-) terlepas dari molekul kitin (Reece et al,
2003). Setelah itu, campuran tersebut didinginkan agar bubuk kitosan mengendap di
bawah sehingga tidak terbuang ketika dicuci berulang kali. Kemudian kitosan dicuci
berulang kali dengan air mengalir sambil disaring hingga pH menjadi netral. Pencucian
hingga pH netral berfungsi untuk menetralkan kitosan yang bersifat basa, juga berperan
untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat pembentukan
asetilasi yang tidak sempurna. Tahap selanjutnya yaitu dioven pada suhu 70oC selama
24 jam untuk menguapkan air yang masih tersisa setelah penyaringan (Rogers, 1986;
Suptijah, 2004). Hasil dari proses deasetilasi akan dihasilkan kitosan. Sesuai dengan
teori Czechowska-Biskup et al (2012), kitosan merupakan biopolimer yang dapat
diperoleh dengan cara deasetilasi dari kitin menggunakan larutan alkali (dalam
praktikum ini yaitu NaOH). Aranaz et al. (2009) mengatakan bahwa faktor yang

14

mempengaruhi lamanya proses deasetilasi antara lain yaitu konsentrasi alkali yang
digunakan, perlakuan sebelumnya, ukuran partikel dan juga densitas dari kitin.

Berdasarkan hasil praktikum yang praktikan lakukan, setelah dilakukan deasetilasi,


Rendemen kitosan paling tinggi diperoleh oleh kelompok A4 dengan penambahan HCl
1 N, NaOH 3,5%, dan NaOH 50% yaitu sebesar 14,95%. Sedangkan Rendemen kitosan
paling rendah diperoleh oleh kelompok A1 dengan penambahan HCl 0,75 N, NaOH
3,5%, dan NaOH 40% yaitu sebesar 10,40%. Hasil yang praktikan dapatkan tidak
sesuai dengan teori Suptijah (2004) dan Prasetyo (2006), yang mengatakan bahwa
semakin besar konsentrasi NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan rendemen
kitosan yang semakin besar karena proses ekstraksi kitosan semakin sempurna.
Seharusnya rendemen kitosan terbesar didapatkan dari kelompok A5 yang
menggunakan NaOH dengan konsentrasi 60%. Ketidaksesuaian antara hasil praktikum
dengan teori kemungkinan disebabkan karena praktikan tidak melakukan pengadukan
yang konstan ketika pemanasan berlangsung atau akibat suhu pemanasan yang
digunakan belum sesuai metode (90oC) (Kaunas, 1984). Beberapa parameter yang
mempengaruhi karakteristik kitosan yang terbentuk yaitu berat molekulnya dan derajat
deasetilasi yang mempengaruhi proses deasetilasi. Derajat deasetilasi dari kitosan dapat
diturunkan dengan reacetylation, sedangkan berat molekul dapat diturunkan dengan
depolymerisation (Berger et al, 2004).
Pada hasil akhir, warna kitin dan kitosan yang diperoleh bervariasi orange agak putih.
Warna orange disebabkan karena eksoskeleton atau kulit udang mengandung pigmen
seperti karatenoid, seperti astaxanthin, astathin, canthaxanthin, lutein and beta-karoten
(Aranaz et al. 2009). Berdasarkan teori Amaya (1997) karoten mempunyai ciri warna
kuning, orange, dan merah pada buah, akar, bunga, ikan, dan burung. Astaxantin adalah
salah satu pigmen alami yang biasa ditemukan pada berbagai jenis eksoskeleton
crustaceans (memiliki cangkang), seperti udang, lobster, dan kepiting, dimana pigmen
ini memiliki sifat thermostabil (McCoy, 1999). Pada saat proses ekstraksi kitin dan
kitosan, terdapat proses yang menggunakan suhu tinggi untuk menguapkan air yang
masih tersisa. Pada saat proses inilah, pigmen astaxantin muncul dan memberikan
warna orange pada hasil akhir kitin dan kitosan karena pigmen ini relatif stabil terhadap

15

suhu tinggi. Sehingga terdapat pula tahap depigmentasi atau tahap dekolorisasi. Tahap
ini merupakan tahap untuk menghilangan lemak dan zat-zat warna. Aseton dapat
digunakan untuk menghilangkan warna orange dari kitin. Proses pemutihan atau
bleaching dapat juga dilakukan menggunakan agen pemutih seperti natrium hipoklorit
atau peroksida. Tahap ini dapat dilewati karena sangat dipengaruhi oleh jenis udang,
apabila produk yang dihasilkan pada tahap demineralisasi telah mengalami
penghilangan warna akibat dari proses pemisahan mineral oleh larutan HCl.
Penghilangan warna ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari merah oranye
menjadi warna yang mendekati putih. Kitin dan kitosan yang memiliki warna agak
putih, disebabkan karena warna telah mulai hilang saat proses pencucian yang dilakukan
setelah proses demineralisasi dan deproteinasi (Gooday, 1994).

Konsentrasi larutan yang ditambahkan berbeda antar kelompok disebabkan karena


untuk mengetahui serta membedakan pengaruh penambahan konsentrasi yang diberikan
terhadap hasil rendemen kitin dan kitosan yang diperoleh serta derajat deasetilasi.
Menurut A. Patria (2013), kualitas kitosan ditentukan oleh derajat deasetilasi, dimana
derajat deasetilasi (DD) adalah parameter mutu kitosan yang menunjukkan presentase
gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitosan. Laju reaksi deasetilasi ini
dipengaruhi oleh konsentrasi basa, suhu, waktu reaksi, perbandingan kitin dan larutan
alkali, serta ukuran partikel. Menurut Angka dan Suhartono (2000), pada konsentrasi
NaOH yang tinggi maka semakin banyak gugus asetil yang terlepas dari kitin sehingga
derajat deasetilasi kitin meningkat. Semakin kuat basa serta suhu yang digunakan maka
akan semakin efektif proses pemisahannya. Semakin tinggi konsentrasi larutan natrium
hidroksida (diatas 40%) maka ikatan antar gugus karboksil dan atom nitrogen dari kitin
akan putus. Sehingga akan semakin banyak gugus asetil yang dapat dihilangkan dari
rendemen kitosan. Dengan hilangnya gugus asetil dari kitosan maka kitosan menjadi
bermuatan positif dan mampu mengikat senyawa bermuatan negatif, seperti protein.
Selain itu, dengan pemanasan menggunakan suhu lebih dari 150oC menyebabkan
penurunan berat molekul kitosan, namun apabila suhu terlalu rendah maka pemutusan
tersebut akan lebih lama. Oleh karena itu, semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan
pada proses, baik demineralisasi maupun deasetilasi, maka mineral, protein, dan gugus
asetil yang hilang akan semakin banyak.

4. KESIMPULAN

Kitin dan kitosan berasal dari cangkang crustacean.

Kitin tidak larut air dan asam, sedangkan kitosan larut dalam air dan asam.

Dalam industri pangan, kitin dan kitosan dimanfaatkan sebagai penjernih jus,
produksi senyawa perisa, pembentukan film, serta pengawet anti mikroba.

Selain itu kitin dan kitosan juga diaplikasikan di bidang kesehatan, permurnian air,
aplikasi biomedis, bioteknologi, pertanian, lingkungan, nutrisi, dan kosmetik.

Proses pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi, dan


deasetilasi.

Tujuan demineralisasi yaitu untuk menghilangkan mineral pada limbah kulit udang.

Larutan HCl berfungsi untuk melarutkan mineral pada kulit udang, terutama
kalsium karbonat.

Deproteinasi bertujuan untuk melepaskan ikatan-ikatan antara protein dan kitin.

Penambahan NaOH pada tahap deproteinasi bertujuan untuk melarutkan protein


kitin.

Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitosan dari kitin dengan pelepasan gugus
asetil.

Penambahan NaOH dan pemanasan pada deasetilasi menyebabkan gugus asetil


terlepas dari kitin.

Pemanasan bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi HCl dalam melarutkan mineral.

Pengadukan bertujuan untuk membuat larutan homogen supaya kitin bereaksi


sempurna dengan HCl sehingga gugus amino terbentuk dan efisiensi pemanasan
meningkat.

Pencucian berfungsi untuk menghilangkan mineral pada kulit udang dan mencegah
terjadinya degradasi produk selama pengeringan akibat kandungan beberapa gugus
amino bebas.

Tujuan pengeringan yaitu untuk menguapkan air yang tersisa setelah penyaringan.

Semakin besar konsentrasi HCl atau NaOH yang ditambahkan akan menghasilkan
rendemen kitin dan kitosan yang semakin besar.

Warna kitin dan kitosan yang memudar disebabkan karena proses, seperti
pencucian, demineralisasi, dan deproteinasi.
16

17

Warna kitin dan kitosan yang oranye disebabkan karena cangkang udang
mengandung pigmen astaxanthin yang berwarna orange dan relatif stabil terhadap
suhu.

Perbedaan penambahan konsentrasi larutan supaya mengetahui perbedaan hasil


rendemen kitin dan kitosan yang diperoleh serta derajat deasetilasi.

Semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan, maka mineral, protein, dan gugus
asetil yang hilang akan semakin banyak karena pemisahan semakin efektif.

Semarang, 21 September 2015

Asisten Dosen,
-

Elsa Olivia
13.70.0088

Tjan, Ivana Chandra

5. DAFTAR PUSTAKA

Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2006). Pemanfaatan Limbah Cair
Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai
Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_
ekstraksi_kitin1.pdf. Diakses 20 September 2015.
Alamsyah, Rizal, et al. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses 20
September 2015.
Amaya, R. (1997). Carotenoids and Food Preparation : The Retention of Provitamin A
Carotenoids in Prepared, Processed, and Stored Foods. Universidade Estadual de
Campinas.
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor.
Aranaz, Inmaculada; Marian Megibar; Ruth Harris; Ines Panos; Beatriz Miralles; Niuris
Acosta. (2009). Functional Characterization of Kitin and Kitosan. Current
Chemical Biology, 2009. Bentham Science Publishers Ltd.
A. Patria (2013). Production and characterization of Chitosan from shrimp shells waste.
Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation International Journal of the
Bioflux Society
Austin, P.R., Brine, C.J., Castle, J.E. & Zikakis, J.P. (1981). Chitin: New facets of
research. Science, 212(4496), 749753.
Ben Amar Cheba. (2011). Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique
Properties and Versatile Applications. Journal of Biotechnology & Biochemistry 6
(3): 149-153, 2011.
Berger, J; M. Reista; J. M. Mayer; O. Felt; N. A. Peppas; R. Gurny. (2004). Structure
and Interactions in Covalently and Ionically Crosslinked Kitosan Hydrogels for
Biomedical Applications. European Journal Of Pharmaceutics And
Biopharmaceutics 57 (2004) 1934.
Burrows, Felicity; Clifford Louime; Michael Abazinge; dan Oghenekome Onokpise.
(2007). Extraction and Evaluation of Kitosan from Crab Exoskeleton as a Seed

18

19

Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric. & Environ.


Sci., 2 (2): 103-111, 2007.
Czechowska-Biskup, Renata; Diana Jarosinska; Bozena Rokita; Piotr Ulanski; Janusz
M. Rosiak. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan Comparision of Methods. Progress On Chemistry And Application Of Kitin And
Its ..., Volume XVII, 2012.
Goosen MFA 1997. Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pub, p.7.
Kaunas. (1984). Meat, Poultry, and Seafood Technology. Neyes Data Coorporation,
USA.
Krissetiana, Henny, Mei. (2004). Khitin dan Khitosan dari Limbah Udang.
Kurita K. 1997. -Chitin and reactivity characteristics. Di dalam M.F.A. Goosen (ed).
Applications of Chitin and Chitosan. Technomic Pulb Co Inc., Basel.
Manjang, Y. (1993). Analisa Ekstrak Berbagai Jenis Kulit Udang Terhadap Mutu
Kitosan, Jurnal Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 143.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains
(PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor.
McCoy, M. (1999). Astaxanthin market a hard one to crack. Chem & Eng. News, 77 :15
17.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Mohamed Abou-Shoer. (2010). A Simple Colorimetric Method for the Evaluation of
Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry, 2010, 2, 91-94.
Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar
Masoumi. (2010). Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and
Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation. Journal of
Paramedical Sciences (JPS). Spring2010 Vol.1, No.2 ISSN 2008-496X.
Prasetyo. (2006). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

20

Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006).Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan
Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso.
http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. Diakses 20 September
2015.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Edisi kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
Shahidi F, Arachchi JKV, and Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosans.
Trends Food Sci Technol. 10:37-51.
Suhartono, M.T. 2006. Pemanfaatan Kitin, Kitosan, Kitooligosakarida. Foodreview 1
(6): 30-33.
Trang Si Trung and Huynh Nguyen Duy Bao. (2015). Physicochemical Properties and
Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp
Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry. Volume 2015, Article ID
706259, 6 pages.
Zouhour Limam et al., (2011). Extraction and characterization of chitin and chitosan
from crustacean by-products: Biological and physicochemical properties. African
Journal of Biotechnology Vol. 10 (4), pp. 640-647, 24 January, 2011.

6.

LAMPIRAN

6.1.

Perhitungan

Rumus:

Kelompok A1
Rendemen Chitin I

=
= 30,00 %

Rendemen Chitin II

=
= 20,00 %

Rendemen Chitosan

=
= 10,40 %

Kelompok A2
Rendemen Chitin I

=
= 45,00 %

Rendemen Chitin II

=
= 26,67 %

Rendemen Chitosan

=
= 13,07 %

21

Kelompok A3
Rendemen Chitin I

=
= 35,00 %

Rendemen Chitin II

=
= 22,22 %

Rendemen Chitosan

=
= 12,32 %

Kelompok A4
Rendemen Chitin I

=
=20,00 %

Rendemen Chitin II

=
= 28,57 %

Rendemen Chitosan

=
= 14,95 %

Kelompok A5
Rendemen Chitin I

=
= 30,00 %

Rendemen Chitin II

=
= 25,00 %

Rendemen Chitosan

=
= 12,40 %

6.2. Viper
6.3. Diagram Alir
5.4. Laporan Sementara

22

Anda mungkin juga menyukai