Anda di halaman 1dari 16

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak untuk mengolahnya.

Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara lain harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar negeri (Anna dan Semeru, 1992). Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami proses pemisahan kepala dan kulit. Proses pemisahan ini akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan jumlahnya akan semakin besar sehingga akan mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa bau yang tidak sedap dan merusak lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut kepala dan kulit udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan kitosan.

Pemanfaatan kepala dan kulit udang sebagai bahan baku kitin dan kitosan yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan dasar industri seperti kosmetik, makanan kesehatan, pertanian, koagulasi untuk pengolahan limbah industri, kultur sel, imobilisasi enzim, dan pembuatan membran dan bioplastik (John Hendri, 2001). kitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (Crustaceae) yang dipanen secara komersial. Limbah kepiting sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan kitin, namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari pengolahan kepiting

Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari 2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan ikatan 1,4- gliksida. Kitin memiliki rumus molekul [C8H13NO5]n dengan berat molekul 1,2x10-6 Dalton ini tersedia berlebihan di alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti udang, kepiting dan kerang (Damajanti, 1999). Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Kitin tidak larut dalam air, larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organik. Tetapi senyawa ini larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam pospat. Namun asam sulfat, asam nitrat dan asam fospat dapat merusak

kitin yang menyebabkan kitin terdegradasi menjadi monomer-monomer sederhana yang lebih kecil (Bastaman, 1989). Sistem pelarut yang efektif dalam melarutkan kitin adalah campuran N,N-dimetil asetamida dan LiCl 5% terlarut (Austin, 1988).

Kitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5x10-5 Dalton. Kitosan berbentuk serpihanputih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam asam sulfat, dalam pelarut-pelarut organik sepertidalam alkohol, dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam dimetilsulfoksida. Sedikit larut dalam asam klorida dan dalam asam nitrat, larut dalam asam asetat 1%-2%, dan mudah larut dalam asam format 0,2%-1,0% (Oktaviana, 2002). Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi (Kartini, 1997). Menurut Hinarno (1980), kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradable dan polielektrolit kationik karena mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino. Selain gugus amino, terdapat juga gugus hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi tersebut mengakibatkan kitosan mempunyai kereaktifitasan kimia yang tinggi (Tokura, 1995). Gugus fungsi yang terdapat pada kitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat memungkinkannya kitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.

1.2. Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pembuatan kitin dan kitosan, Mengetahui pengaruh konsentrasi HCl dan konsentrasi NaOH dengan persen rendemen yang dihasilkan. 1.3. Manfaat Praktikum

2. MATERI DAN METODE 2.1. Materi 2.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain oven, blender, ayakan, peralatan gelas

2.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini antara lain limbah udang, HCl 0,25 N ; 0,5 N ; 0,75 N ; 1 N dan 1,25 N ; NaOH 3,5 %, 20%, 30%, 40%, 50%, dan 60%

2.2. Metode 2.2.1. Demineralisasi


Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan Limbah udang dicuci dengan air panas 2 kali dan dikeringkan kembali Limbah udang dihancurkan hingga menjadi serbuk kemudian diayak dengan ayakan 40 60 mesh

Dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80 C selama 24 jam

Diaduk selama 1 jam sambil dipanaskan pada suhu 90C

Dicampur dengan HCl (10 : 1) dengan konsentrasi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan

2.2.2. Deproteinasi

Tepung hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6 : 1

Larutan diaduk selama 1 jam sambil dipanaskan pada suhu 90 C selama 1 jam

Larutan disaring kemudian didinginkan

Residu dicuci sampai pH netral kemudian dikeringkan pada suhu 80 C selama 24 jam (dihasilkan kitin)

2.2.3. Deasetilasi

Kitin yang telah terbentuk sebelumnya ditambahkan NaOH dengan konsentrasi tertentu

Diaduk 1 jam dan didiamkan 30 menit

Larutan tadi dipanaskan pada suhu 140 C selama 90 menit

Larutan di oven pada suhu 70 C selama 24 jam (dihasilkan kitosan)

Larutan disaring dan residu dicuci sampai pH netral

Kel 1

Perlakuan Demineralisasi HCl 0,75 N Deproteinasi NaOH 3,5 % Deasetilasi NaOH 40% Demineralisasi HCl 1 N Deproteinasi NaOH 3,5 % Deasetilasi NaOH 50% Demineralisasi HCl 1,25 N Deproteinasi NaOH 3,5 % Deasetilasi NaOH 60% Demineralisasi HCl 0,75 N Deproteinasi NaOH 3,5 % Deasetilasi NaOH 50% Demineralisasi HCl 1 N Deproteinasi NaOH 3,5 % Deasetilasi NaOH 40%

Rendemen (%) 8,525 2,48 4,81 16,667 8,620 8,919 7,520 3,380 6,219 6,900 4,538 -6,163 5,064 5,954 2,958
Rasa : + : sangat tidak asin ++ : kurang asin +++ : agak asin ++++ : asin +++++ : sangat asin

Keterangan : Warna : + : tidak coklat kehitaman ++ : kurang coklat +++ : agak coklat ++++ : coklat +++++ : sangat coklat Aroma : + : sangat tidak tajam ++ : kurang tajam +++ : agak tajam ++++ : tajam +++++ : sangat tajam

Dari tabel pengamatan di atas dapat dilihat bahwa pada kelompok 1 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 0,75 N menghasilkan rendemen sebesar 8,525 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 2,48 %, Deasetilasi dengan NaOH 40% menghasilkan rendemen sebesar 4,81 %, sedangkan pada

kelompok 2 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1 N menghasilkan rendemen sebesar 16,667 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 8,620 %, Deasetilasi dengan NaOH 50% menghasilkan rendemen sebesar 8,919 %, sedangkan kelompok 3 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1,25 N menghasilkan rendemen sebesar 7,520%, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 3,380 %, Deasetilasi dengan NaOH 40%

menghasilkan rendemen sebesar 6,219 %, Sedangkan kelompok 4 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 0,75 N menghasilkan rendemen sebesar 6,900 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 4,538 %, Deasetilasi

dengan NaOH 40% menghasilkan rendemen sebesar -6,163 %, sedangkan kelompok D5 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1 N menghasilkan rendemen sebesar 5,064 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 5,954%, Deasetilasi dengan NaOH 40 % menghasilkan rendemen sebesar 2,958 %.

4. PEMBAHASAN Dalam praktikum kali ini akan dibahas tentang kitin dan kitosan. Kitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus, tersusun dari 2000-3000 monomer (2asetamida-2-deoksi-D-glukosa) yang terangkai dengan ikatan 1,4- gliksida. Kitin tersedia berlebih di alam dan banyak ditemukan pada hewan tingkat rendah, jamur, insekta dan golongan Crustaceae seperti udang, kepiting dan kerang (Damajanti, 1999). Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Kitin tidak larut dalam air, larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organik. Tetapi senyawa ini larut dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam pospat. Namun asam sulfat, asam nitrat dan asam fospat dapat merusak kitin yang menyebabkan kitin terdegradasi menjadi monomer-monomer sederhana yang lebih kecil (Bastaman, 1989). Sistem pelarut yang efektif dalam melarutkan kitin adalah campuran N,N-dimetil asetamida dan LiCl 5% terlarut (Austin, 1988).

Kitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5x10-5 Dalton. Kitosan berbentuk serpihanputih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kitosan tidak larut dalam air, dalam larutan basa kuat, dalam asam sulfat, dalam pelarut-pelarut organik sepertidalam alkohol, dalam aseton, dalam dimetilformamida, dan dalam dimetilsulfoksida. Sedikit larut dalam asam klorida dan dalam asam nitrat, larut dalam asam asetat 1%-2%, dan mudah larut dalam asam format 0,2%-1,0% (Oktaviana, 2002). Kelarutan kitosan dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi (Kartini, 1997). Menurut Hinarno (1980), kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradable dan polielektrolit kationik karena mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amino. Selain gugus amino, terdapat juga gugus hidroksil primer dan sekunder. Adanya gugus fungsi tersebut mengakibatkan kitosan mempunyai kereaktifitasan kimia yang tinggi (Tokura, 1995). Gugus fungsi yang terdapat pada kitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat memungkinkannya kitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan.

4.1. Proses Pembuatan Kitin

Kitin dapat dibuat melalui 2 tahap yaitu tahap Demineralisasi dan tahap Deproteinasi. Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral atau senyawa anorganik yang terdapat pada kulit udang windu (Penaeus monodon). Kandungan mineral utamanya adalah CaCO3 dan Ca3(PO4) dalam jumlah kecil dan lebih mudah dipisahkan dibandingkan dengan protein karena hanya terikat secara fisik Proses demineralisasi dilakukan dengan menggunakan larutan HCl 2 N pada temperatur ruang selama 2 hari dengan perbandingan berat sampel dan volume HCl 1:8 (w/v). Apabila digunakan konsentrasi asam lebih tinggi dan waktu perendaman yang lebih lama, akan menyebabkan kitin terdegradasi. Pada proses ini senyawa kalsium akan bereaksi dengan asam klorida menghasilkan kalsium klorida yang larut dalam air, gas CO2 dan air, dan asam pospat yang larut dalam air.

Reaksi garam tersebut dengan HCl sebagai berikut : CaCO3(s) + 2HCl CaCl2(s) + H2O + CO2(g) Ca3(PO4)2(s) + 6HCl 3CaCl2(s) + 2H3PO4(l)

Deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan protein dari kitin dengan menggunakan larutan NaOH 3,5 % selama dua jam pada suhu 65 0C. Apabila digunakan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu lebih tinggi akan menyebabkan kitin terdeasetilasi. Protein dari kitin akan terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Ion Na+ dari NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif dan mengendap. Untuk mengetahui apakah protein telah terpisah dari kitin dilakukan pengujian dengan menambahkan CuSO4 ke dalam filtrat. Dengan CuSO4 protein akan membentuk senyawa kompleks berwarna ungu.

4.1.1. Demineralisasi Pada percobaan praktikum dilakukan langkah kerja mula-mula limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih menempel pada bahan bakuagar didapatkan kitin yang mengandung

pengotor minimal. (Austin, 1981). Proses selanjutnya adalah bahan baku dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. Penghancuran dan pengayakan ini bertujuan untuk memperbesar luas permukaan bahan, agar proses pembentukan kitin optimal. (Austin, 1981). Setelah halus, ditambahkan HCl dengan konsentrasi tertentu dalam perbandingan 10 : 1 yang kemudian diaduk sambil dipanaskan pada suhu 90 C selama 1 jam. Menurut Knorr (1984) kombinasi pemanasan, pengadukan, dan penambahan asam klorida dengan konsentrasi lebih dari 10% dapat secara efektif melarutkan kalsium sebagai kalsium klorida. Proses demineralisasi dengan menggunakan asam klorida sampai CO2 yang terbentuk hilang kemudian didiamkan 24 jam pada suhu kamar. Proses berikutnya adalah penetralan dengan air sampai pH menjadi 7, lalu dikeringkan pada suhu 80 C selama 24 jam. Penetralan pH dengan air berfungsi untuk menghilangkan asam klorida yang mungkin masih tertinggal, maka pada residu dilakukan pencucian dengan aquades sampai pH netral. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. (Austin, 1981). Dan langkah terakhir, materi yang dihasilkan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80 C selama 24 jam. Pengeringan ini berfungsi untuk mengurangi kadar air yang ada pada serbuk sehingga umur simpannya lebih panjang. (Wulandari, 2007).

4.1.2. Deproteinasi Langkah kerja dari tahap deproteinasi adalah mula-mula serbuk yang dihasilkan dari proses demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6 : 1. Ion Na+ dari NaOH akan mengikat ujung rantai protein yang bermuatan negatif dan mengendap. (Wulandari, 2007). Kemudian larutan diaduk selama 1 jam dan kemudian dipanaskan

pada suhu 90 C selama 1 jam. Pengadukan dan pemanasan ini berfungsi untuk mempercepat pengikatan ujung rantai protein dengan NaOH sehingga proses pengendapan akan berlangsung sempurna. (Austin, 1981). Kemudian larutan disaring dan residu yang dihasilkan dicuci sehingga pH menjadi netral. Proses pencucian juga bertujuan untuk menghilangkan NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu, sedangkan proses pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air yang ada pada serbuk sehingga umur simpannya lebih panjang. (Wulandari, 2007).

4.2. Proses Pembuatan Kitosan (Deasetilasi Kitin) Kitosan dibuat melalui reaksi deasetilasi dari kitin. Deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus asetil (COCH3) dari kitin menggunakan larutan alkali. Kitin mempunyai struktur kristalin yang panjang dengan ikatan hidrogen yang kuat antara atom nitrogen dan gugus karboksilat pada rantai bersebelahan. Untuk memutuskan ikatan antara gugus asetilnya dengan gugus nitrogen sehingga berubah menjadi gugus amino (NH2) perlu digunakan natrium hidroksida dengan konsentrasi tinggi dan waktu deasetilasi yang lama. Pemutusan gugus asetil pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan positif dan dapat larut dalam asam organik. (Bastaman, 1989).

Pada praktikum, proses deasetilasi kitin dilakukan dengan cara mula-mula serbuk kitin yang sudah dihasilkan dari proses sebelumnya dilarutkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi tertentu dengan perbandingan 20 : 1 (pelarut dibanding kitin) sambil diaduk 1 jam dan didiamkan 30 menit. Penggunaan larutan NaOH dengan kadar melebihi 5 % menyebabkan kitin terdeasetilasi. (Bastaman, 1989). Pengadukan dan pendiaman selama 30 menit berfungsi untuk memperluas kontak dari NaOH terhadap kitin dan member waktu bagi NaOH untuk bereaksi terhadap kitin. (Bastaman, 1989). Proses selanjutnya adalah pemanasan larutan pada suhu 140 C selama 90 menit. Di sini pemanasan berfungsi untuk mengkatalis reaksi deasetilasi dari kitin untuk membentuk kitosan. (Knorr, 1984). Kemudian larutan disaring dan residu dicuci sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80 C selama 24 jam. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan NaOH yang mungkin masih tersisa dalam residu, sedangkan proses pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air yang ada pada serbuk sehingga umur simpannya lebih panjang. (Wulandari, 2007).

4.3. Pengaruh Konsentrasi HCl, dan NaOH terhadap rendemen yang dihasilkan Dari tabel pengamatan di atas dapat dilihat bahwa pada kelompok 1 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 0,75 N menghasilkan rendemen sebesar 8,525 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 2,48 %, Deasetilasi dengan NaOH 40% menghasilkan rendemen sebesar 4,81 %, sedangkan pada

kelompok 2 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1 N menghasilkan rendemen sebesar 16,667 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar

8,620 %, Deasetilasi dengan NaOH 50% menghasilkan rendemen sebesar 8,919 %, sedangkan kelompok 3 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1,25 N menghasilkan rendemen sebesar 7,520%, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 3,380 %, Deasetilasi dengan NaOH 40%

menghasilkan rendemen sebesar 6,219 %, Sedangkan kelompok 4 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 0,75 N menghasilkan rendemen sebesar 6,900 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 4,538 %, Deasetilasi dengan NaOH 40% menghasilkan rendemen sebesar -6,163 %, sedangkan kelompok D5 yang melakukan demineralisasi dengan HCl 1 N menghasilkan rendemen sebesar 5,064 %, Deproteinasi dengan NaOH 3,5 % menghasilkan rendemen sebesar 5,954%, Deasetilasi dengan NaOH 40 % menghasilkan rendemen sebesar 2,958 %.

Dari data-data di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa rendemen terbesar dari proses demineralisasi adalah kelompok 2 yang menggunakan HCl dengan konsentrasi 1 N yaitu 16,667 persen, sedangkan rendemen paling rendah dari proses demineralisasi adalah kelompok D5 dengan konsentrasi HCl 1 N menghasilkan rendemen 5,064 %. Menurut Austin (1981), konsentrasi optimum untuk melakukan demineralisasi adalah HCl 0,2 M. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsentrasi HCl yang diterapkan pada praktikum kali ini ttidak sesuai dengan pustaka yang ada. Konsentrasi HCl yang terlalu kecil menyebabkan proses demineralisasi berjalan tidak sempurna mengakibatkan banyaknya impurities yang ada pada kitin yang dihasilkan. (Austin, 1981).

Pada proses Deproteinasi, didapatkan hasil bahwa kelompok D2 yang menggunakan NaOH dengan kadar 3,5 persen mendapatkan rendemen terbesar yaitu 8,620 sedangkan kelompok D1 yang menggunakan NaOH dengan kadar 3,5 persen mendapatkan rendemen terkecil yaitu 2,48 %. Kadar NaOH yang digunakan pada praktikum ini sesuai dengan teori Austin (1981) yang menyatakan deproteinasi dapat dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH 3,5 % selama dua jam pada suhu 65 0C. Apabila digunakan larutan NaOH dengan konsentrasi dan suhu lebih tinggi akan menyebabkan kitin terdeasetilasi.

Pada Proses Deasetilasi, didapatkan bahwa kelompok 2 yang menggunakan NaOH konsentrasi 50 % mendapatkan rendemen yang paling tinggi yaitu 8,919%, sedangkan kelompok 4 yang menggunakan NaOH konsentrasi 50 % mendapatkan rendemen terkecil yaitu -6,163%. Kadar NaOH yang digunakan pada praktikum ini sesuai dengan teori Austin (1981) yang menyatakan bahwa proses deasetilasi ini menggunakan larutan NaOH 50 % dan dipanaskan pada suhu 100 C selama 6 jam. Terjadi kesalahan pada kelompok D2 yang mendapatkah hasil rendemen yang bernilai negative. Kesalahan ini mungkin disebabkan adanya kesalahan praktikkan dalam melakukan penimbangan.

6. KESIMPULAN Limbah crustacea dapat dimanfaatkan sebagai sumber kitosan, yaitu konstituen alami yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan industri, kesehatan dan lingkungan. Kitin adalah N-asetil glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin, tetapi tidak cukup untuk dinamakan poliglukosamin. Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), memiliki rumus molekul (C6H11NO4)n dengan bobot molekul 2,5 x 10-5 dalton. Isolasi kitin melalui beberapa tahap seperti deproteinasi (dengan NaOH 3,5 %), demineralisasi (HCl), lalu setelah itu kitin yang dihasilkan menjadi bahan untuk membuat kitosan. Pembuatan kitosan dilakukan dengan cara deasetilasi / penghilangan gugus asetil (COCH3) pada gugusan asetil amino kitin menjadi gugus amino bebas kitosan dengan menggunakan larutan basa. Jika sebagian besar gugus asetil pada kitin disubsitusikan oleh hidrogen menjadi gugus amino dengan penambahan basa konsentrasi tinggi, maka hasilnya dinamakan kitosan atau kitin terdeasetilasi. Secara umum larutan NaOH 2 3% dengan suhu 63 65 % selama waktu ekstraksi 1 2 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit udang secara efektif.

Semarang, 22 September 2011,

Praktikan

Asisten Dosen

Lukas Andi 09.70.0036

Tommy

7. DAFTAR PUSTAKA No., H.K., 1989. Isolation and Characterization of Chitin from Craw Fish Shell Waste. Vol. 37 No. 3. Agriculture and Food Chemistry. Austin, P.R, C.J. Brine, J.E. Castle and J.P. Zikakis. 1981. Chitin New Facets of Research. Science 212 : 749 Bough, W.A. Shewfelt, and W.L. Salter. 1975. Use of Chitosan for Rediction and Recovery of Solid in Poultry Process in Waste Eluents Poultry. Science. 54 (992). Knorr, D. 1973. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85 Bastaman, S., 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queens University of Befast. England. Purwatiningsih. 1992. Isolasi Kitin dan Karakterisasi Komposisi Senyawa Kimia dari Limbah Kulit Udang Windu (Penaeus monodon). Jurusan Kimia Program Pasca Sarjana ITB. Bandung. Muzzarelli, RA.A., 1977. Chitin. Faculty of Medicine. University of Ancona. Ancona, Italy. Wulandari, Idayu. 2007. Sifat Kelarutan dan Berat Molekul Relatif Kitosan dari Kitin yang di iradiasi dan tidak di iradiasi. Skripsi sarjana. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Teguh, Devi Oktaviana. 2003. Pembuatan dan Analisis Film Bioplastik dari Kitosan Hasil Iradiasi Kitin yang Berasal dari Kulit Kepiting Bakau (Scylla serata). Skripsi sarjana. Universitas Pancasila. Jakarta. Kusumakanti, Siti Rini. 2003. Deproteinasi Polimer Kitin dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon) Menggunakan Pseudomonas aeruginosa dan Deasetilasi Polimer Kitin. Skripsi sarjana. Universitas Lampung.

8. LAMPIRAN 8.1. Laporan Sementara 8.2. Perhitungan

Anda mungkin juga menyukai