Anda di halaman 1dari 7

Dekolorisasi

1.1. Kitin
Kitin adalah komponen utama dalam dinding sel pada jamur, exoskeleton
serangga, anthropodha, mollusca dan crustaceae. Kitin adalah polimer alami yang
melimpah di alam, terbanyak kedua setelah selulosa. Prosentase kandungan kitin
berbeda untuk tiap jenis hewan. Kitin tersusun dari gugus asetil glukosamin dengan
rantai linier (N-asetil-D-glukosa-2-amina) yang terikat dalam bentuk β-1,4. Ikatan
ini menyebabkan peningkatan ikatan hidrogen antara polimer yang berdekatan,
sehingga mempunyai konfigurasi yang kaku. Kitin adalah polimer polisakarida yang
mengandung lebih dari lima ribu unit asetilgluksamin, rantai molekulnya panjang,
sehingga berat molekul bisa mencapai lebih dari satu miliar Dalton. Secara
struktural, struktur kitin mirip dengan selulosa, tetapi grup asetamida menggantikan
grup C2- hidroksil dari selulosa. Struktur kitin dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur Kitin


(Sumber: Puspitasari, 2007)

Kitin merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan banyak dipakai
untuk pengolahan limbah, kosmetik dan obat-obatan. Kitin berupa padatan amorf
yang putih bening, tidak beracun, dapat dibiodegradasi, tidak larut dalam air, alkali
lemah, asam lemah, alkali jenuh, dan larutan organik. Kitin dapat larut dalam asam
mineral kuat dan asam formiat anhidrid. Kitin dapat membentuk kompleks dengan
ion logam fase transisi dan dapat menyerap zat warna terutama dengan mekanisme
pertukaran ion. Kitin juga dapat dimanfaatkan sebagai agen chelat yang banyak
dipakai dalam proses pengolahan air minum dengan memisahkan senyawa organik
dan logam berat. Secara alami kitin berikatan dengan protein, lemak, pigmen dan
cadangan kalsium. Kitin yang diperoleh disintesis menjadi kitosan dengan cara
merubah gugus asetamida (–NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (–NH2).
Reaksi penghilangan gugus asetil pada kitin disebut sebagai transformasi kitin
menjadi kitosan. Proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan menggunakan
basa kuat konsentrasi tinggi. Kitin berbentuk kristal warna putih, tidak larut dalam
air, alkohol, asam atau basa encer dan pelarut-pelarut organik lainnya.

1.2. Isolasi Kitin


Sumber utama atau bahan baku untuk produksi kitin secara industri berasal
dari eksoskeleton kepiting dan udang. Salah satu bagian udang yang dapat
digunakan sebagai kitosan adalah kulit udang. Proses isolasi kitin perlu diketahui
kandungan kimia yang terdapat pada bagian eksoskeleton tersebut. Secara umum
eksoskeleton crustaceae selain mengandung kitin, terdapat juga kalsium karbonat,
protein dan pigmen (astaxanthin). Proses isolasi atau produksi kitin dari berbagai
sumber limbah eksoskeleton crustaceae umumnya mempunyai prosedur yang sama,
walaupun hanya terdapat beberapa variasi untuk mengetahui kondisi optimum yang
terbaik dalam menghasilkan kitin yang sesuai dengan standar mutu. Pada tahap awal
limbah eksoskeleton tersebut dicuci, dikeringkan kemudian digiling. Pada proses
selanjutnya terdiri dari tiga tahap sampai diperoleh kitin, yaitu:
1. Demineralisasi dengan HCl
2. Dekolorisasi dengan pelarut NaOCl atau H2O2
3. Deproteinasi dengan menggunakan pelarut NaOH
Tahap deproteinasi adalah proses penghilangan protein pada limbah
eksoskeleton. Keefektifan proses tersebut tergantung pada kekuatan larutan basa
dan tinggi suhu yang digunakan pada proses deproteinasi. Makin kuat basa dan
tingginya suhu yang digunakan akan makin efektif. Adapun tahap demineralisasi
bertujuan menghilangkan senyawa anorganik seperti kalsium karbonat. Kondisi ini
efektif dalam menurunkan kadar abu. Tahap dekolorisasi merupakan proses untuk
penghilangan pigmen agar diperoleh kitin dengan penampakan yang lebih menarik.
Proses dekolorisasi disebut juga sebagai tahap depigmentasi atau bleaching.
1.3. Zat Warna pada Kulit Udang
Warna pada kulit udang terutama disebabkan oleh senyawa karoten,
beberapa komponen astacene, asthaxantin, chataxanthin dan lutein. Astaxanthin
merupakan komposisi pigmen karotenoid terbesar dalam crustacea (lobster,
kepiting, udang). Astaxanthin adalah pigmen yang berwarna gelap pada limbah
udang disebut crustacyani yang merupakan senyawa lipoprotein, dimana gugus
lipidanya adalah senyawa karatenoid. Gugus hodroksil dan keton pada cincin dalam
molekul astaxanthin mengindikasikan bahwa sifatnya lebih polar jika dibandingkan
karotenoid lainnya dan memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi. Gugus
hidroksi dapat bereaksi dengan satu atau dua asam lemak membentuk monoester
dan diester. Bentuk esterifikasi ini mengakibatkan astaxanthin bersifat hidrofobik,
diester lebih hidrofobik dibandingkan dengan bentuk monoester. Astaxanthin dalam
keadaan bebas bersifat tidak stabil dan mudah teroksidasi. Astaxanthin stabil jika
terkonjugasi dengan protein atau membentuk ester dengan asam lemak.
Karotenoid memiliki sifat tidak larut dalam air, sedikit larut dalam minyak,
larut dalam hidrokarbon alifatik dan aromatik serta larut dalam hidrokarbon
terklorinasi, seperti kloroform dan metilen klorida. Ekstraksi karotenoid merupakan
suatu proses untuk memperoleh karotenoid dari bahan yang diduga mengandung
karotenoid, seperti kulit udang. Karotenoid dalam kulit udang merupakan senyawa
kompleks yang berikatan secara nonkovalen dengan protein. Ekstraksi karotenoid
telah banyak dilakukan dengan berbagai metode, yaitu menggunakan pelarut kimia,
minyak, superkritikal karbondioksida, bakteri, dan enzim. Ekstraksi karotenoid
meggunakan pelarut kimia telah banyak dilakukan diantaranya menggunakan
heksana, aseton, metanol, dan etanol. Ekstraksi karotenoid menggunakan pelarut
kimia memang efektif akan tetapi memiliki beberapa kekurangan, yaitu proses
pemisahan antara pelarut kimia dengan karotenoid menjadi sangat sulit, sehingga
dapat mendegradasi karotenoid dan hasil ekstraksinya tidak aman bagi kesehatan.

1.4. Dekolorisasi
Proses dekolorisasi dapat dikatakan sebagai proses ekstraksi zat warna
pada kulit udang, yaitu karotenoid. Dekolorasi merupakan tahap eleminasi pigmen
dari cangkang udang. Spesies-spesies crustacea bercangkang memiliki pigmen yang
menyebabkan cangkangnya tampak berwarna. Pigmen tersebut berikatan dengan
kitin cangkang melalui pembentukan suatu kompleks, yaitu derivat 4-keto dan 4,4’-
diketo-β-karoten dengan derajat kompleksasi yang bervariasi antar spesies
crustacea. Pigmen karatoneid pada kulit udang mengikat kuat disetiap partikel kitin
sehingga perlu dilakukan proses lainnya yaitu dekolorisasi atau depigmentasi.
Zat warna karotenoid dalam kulit udang sekitar 15 mg/100 g dan zat warna
lain adalah astaksantin, astaksantin monoester, diester, astatin dan zeaksantin.
Penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah proses
deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses ini hasil dari proses
demineralisasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan agensia pemutih atau
peroksida,. Proses dekolorisasi bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada
kitin. Dekolorisasi adalah penurunan intensitas warna pada suatu larutan. Istilah
dekolorisasi sangat erat hubungannya dengan adsorbsi karena dekolorisasi termasuk
dalam adsorbsi itu sendiri, namun dalam dekolorisasi yang diserap adalah zat warna
sedangkan pada adsorbsi lebih cenderung menyerap jenis-jenis logam berat. Hasil
dari dekolorisasi berupa penurunan konsentrasi zat warna pada kulit udang.
Depigmentasi biasanya menggunakan pelarut organik seperti aseton dan
etanol. Akan tetapi aseton dan etanol dengan konsentrasi 95% tidak bisa
menghilangkan keseluruhan pigmen, sehingga karakteristik kitin belum sesuai
dengan standar komersil. Oleh karena itu perlu ditambahkan pemutih, seperti
sodium hypochlorite dan hydrogen peroxide. Proses dekolorisasi dilakukan setelah
berlangsungnya proses deproteinasi dan demineralisasi. Penggunaan 70% aseton
dan 0,315% sodium hypochlorite efektif menghilangkan karotenoid, sehingga dapat
diterima secara komersil. Hasil dari proses depigmentasi disebut kitin.
Tahap ini dapat dilewati karena sangat dipengaruhi oleh jenis udang, jika
produk yang dihasilkan pada tahap demineralisasi sudah mengalami penghilangan
warna akibat dari proses pemisahan mineral oleh HCl. Penghilangan warna
ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari merah orange mendekati warna
putih. Proses dekolorisasi dengan aseton dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan menggunakan etanol. Penggunaan etanol dan atau eter untuk mencuci
residu menyebabkan terjadinya reduksi pada astaksantin yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan intensitas wama merah pada residu yang dihasilkan. Proses
bleaching atau diekolorisasi akan menghasilkan kitin dengan derajat deasetilasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan kitin hasil isolasi tanpa bleaching. Hal ini
mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadinya deasetilasi sebagian yang lebih
besar ketika isolasi kitin dari udang tanpa melalui bleaching atau dekolorisasi.

1.5. Prosedur Dekolorisasi


Penelitian yang dilakukan oleh Widyanti (2009) menggunakan natrium
hipoklorit (NaOCl) sebagai agen untuk proses dekolorisasi dengan konsentrasi
0,315%. Proses pelarutan crude kitin dalam NaOCl dilakukan selama 10 menit.
Penelitian Arif, dkk (2013) proses dekolorisasi dilakukan dengan menggunakan
NaOCl. Hasil dari tahap demineralisasi selanjutnya ditimbang dan dilarutkan ke
dalam NaOCl 0,5% dengan perbandingan 1:10 (sampel:pelarut), kemudian
dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu diaduk dengan stirer selama 1 jam pada suhu
75oC. Selanjutnya disaring dengan penyaring büchner dan residu yang dihasilkan
dicuci dengan menggunakan akuades hingga pH netral, kemudian dikeringkan
dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam. Hasil penelitian yang dilakukan adalah
warna produk kitin dari berwarna putih kecoklatan menjadi putih bersih.
Penelitian yang dilakukan oleh Juniarso (2008) proses dekolorisasi
dilakukan dengan menggunakan aseton. Metode yang digunakan dalam proses
dekolorisasi adalah metode Fernandez-Kim. Proses yang dilakukan dengan metode
tersebut adalah dengan melarutkan kitin dalam aseton teknis sambil diaduk selama
10 menit dan dikeringkan selama 120 menit pada temperatur ruang. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan, kitin yang dihasilkan memiliki warna putih hingga krem.
Peneletian yang dilakukan oleh Ayu (2016) menggunakan NaOHCl 4%
untuk proses dekolorisasi. Proses dekolorisasi dilakukan dengan mencampurkan 45
gram serbuk hasil demineralisasi dengan NaOHCl 4% dalam perbandingan 1:10.
Campuran yang ada kemudian dilakukan pemanasan pada temperatur 80oC selama
satu jam. Proses pemanasan dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat reaksi
larutan NaOHCl dengan serbuk kulit udang. Setelah proses pemanasan, campuran
dinetralkan dengan menggunakan akuades yang berfungsi untuk menghilangkan zat
warna atau pengotor yang yang telah bereaksi dengan larutan NaOHCl.
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Y., dkk. 2016. Sintesis, Kinetika Reaksi dan Aplikasi Kitin dari Cangkang
Udang: Review. Pekanbaru: Universitas Riau.
Amalia, N., R. 2011. Mikrosfer Kitosan sebagai Bahan Penyalut untuk Mengontrol
Pelepasan Obat Natrium Diklofenak. Depok: Universitas Indonesia.
Arif, A., R. 2013. Isolasi Kitin dari Limbah Udang Putih (Penaeus merguiensis)
secara Enzimatis. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Ayu. 2016. Adsorpsi Logam Timbal (Pb) dengan Menggunakan Kitin dari Limbah
Kulit Udang Putih (Penaeus merguiensis de man). Makassar: UIN Alaudin
Makassar.
Ayudiarti, D., L. 2011. Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis
dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Azhar, M., dkk. 2010. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH terhadap Derajat
Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Jurnal Eksakta. 1(IX): 1-8.
Budiyono, A. 2016. Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Kulit Pupa Ulat Sutera
Liar (Attacus Atlas L.) dari Perkebunan Teh Walini Purwakarta. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Harjanti, R., S. 2014. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam
Goreng. Jurnal Rekayasa Proses. 8(1): 12-19.
Juniarso, E., T. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Kasar Protease dari Isi Perut Ikan
Lemuru (Sardinella sp.) untuk Deproteinisasi Limbah Udang secara
Enzimatik dalam Proses Produksi Kitosan. Jember: Universitas Jember.
Pamungkas, B., F. 2007. Pengaruh Variasi Konsentrasi HCl dan NaOH serta Lama
Proses terhadap Karakteristik Kitin dari Kulit Kepala Udang Putih. Jurnal
Teknologi Pertanian. 2(2): 64-69.
Rochima, E. 2014. Kajian Pemanfaatan Limbah Rajungan dan Aplikasinya untuk
Bahan Minuman Kesehatan Berbasis Kitosan. Jurnal Akuatika. V(1): 71-
82.
Widyanti, A., P. 2009. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Rajungan pada Proses
Adsorpsi Logam Nikel dari Larutan NiSO4. Depok: Universitas Indonesia.
Yakin, A., P. 2015. Pengaruh Pemberiaan Sedian Gel Penyembuh Luka pada Tikus
Jantan Galur Wistar dengan Kombinasi Zat Aktif Kitosan dari Limbah
Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dan Ekstrak Kulit Manggis.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Anda mungkin juga menyukai