1.1. Kitin
Kitin adalah komponen utama dalam dinding sel pada jamur, exoskeleton
serangga, anthropodha, mollusca dan crustaceae. Kitin adalah polimer alami yang
melimpah di alam, terbanyak kedua setelah selulosa. Prosentase kandungan kitin
berbeda untuk tiap jenis hewan. Kitin tersusun dari gugus asetil glukosamin dengan
rantai linier (N-asetil-D-glukosa-2-amina) yang terikat dalam bentuk β-1,4. Ikatan
ini menyebabkan peningkatan ikatan hidrogen antara polimer yang berdekatan,
sehingga mempunyai konfigurasi yang kaku. Kitin adalah polimer polisakarida yang
mengandung lebih dari lima ribu unit asetilgluksamin, rantai molekulnya panjang,
sehingga berat molekul bisa mencapai lebih dari satu miliar Dalton. Secara
struktural, struktur kitin mirip dengan selulosa, tetapi grup asetamida menggantikan
grup C2- hidroksil dari selulosa. Struktur kitin dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Kitin merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui dan banyak dipakai
untuk pengolahan limbah, kosmetik dan obat-obatan. Kitin berupa padatan amorf
yang putih bening, tidak beracun, dapat dibiodegradasi, tidak larut dalam air, alkali
lemah, asam lemah, alkali jenuh, dan larutan organik. Kitin dapat larut dalam asam
mineral kuat dan asam formiat anhidrid. Kitin dapat membentuk kompleks dengan
ion logam fase transisi dan dapat menyerap zat warna terutama dengan mekanisme
pertukaran ion. Kitin juga dapat dimanfaatkan sebagai agen chelat yang banyak
dipakai dalam proses pengolahan air minum dengan memisahkan senyawa organik
dan logam berat. Secara alami kitin berikatan dengan protein, lemak, pigmen dan
cadangan kalsium. Kitin yang diperoleh disintesis menjadi kitosan dengan cara
merubah gugus asetamida (–NHCOCH3) pada kitin menjadi gugus amina (–NH2).
Reaksi penghilangan gugus asetil pada kitin disebut sebagai transformasi kitin
menjadi kitosan. Proses transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan menggunakan
basa kuat konsentrasi tinggi. Kitin berbentuk kristal warna putih, tidak larut dalam
air, alkohol, asam atau basa encer dan pelarut-pelarut organik lainnya.
1.4. Dekolorisasi
Proses dekolorisasi dapat dikatakan sebagai proses ekstraksi zat warna
pada kulit udang, yaitu karotenoid. Dekolorasi merupakan tahap eleminasi pigmen
dari cangkang udang. Spesies-spesies crustacea bercangkang memiliki pigmen yang
menyebabkan cangkangnya tampak berwarna. Pigmen tersebut berikatan dengan
kitin cangkang melalui pembentukan suatu kompleks, yaitu derivat 4-keto dan 4,4’-
diketo-β-karoten dengan derajat kompleksasi yang bervariasi antar spesies
crustacea. Pigmen karatoneid pada kulit udang mengikat kuat disetiap partikel kitin
sehingga perlu dilakukan proses lainnya yaitu dekolorisasi atau depigmentasi.
Zat warna karotenoid dalam kulit udang sekitar 15 mg/100 g dan zat warna
lain adalah astaksantin, astaksantin monoester, diester, astatin dan zeaksantin.
Penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah proses
deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses ini hasil dari proses
demineralisasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan agensia pemutih atau
peroksida,. Proses dekolorisasi bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada
kitin. Dekolorisasi adalah penurunan intensitas warna pada suatu larutan. Istilah
dekolorisasi sangat erat hubungannya dengan adsorbsi karena dekolorisasi termasuk
dalam adsorbsi itu sendiri, namun dalam dekolorisasi yang diserap adalah zat warna
sedangkan pada adsorbsi lebih cenderung menyerap jenis-jenis logam berat. Hasil
dari dekolorisasi berupa penurunan konsentrasi zat warna pada kulit udang.
Depigmentasi biasanya menggunakan pelarut organik seperti aseton dan
etanol. Akan tetapi aseton dan etanol dengan konsentrasi 95% tidak bisa
menghilangkan keseluruhan pigmen, sehingga karakteristik kitin belum sesuai
dengan standar komersil. Oleh karena itu perlu ditambahkan pemutih, seperti
sodium hypochlorite dan hydrogen peroxide. Proses dekolorisasi dilakukan setelah
berlangsungnya proses deproteinasi dan demineralisasi. Penggunaan 70% aseton
dan 0,315% sodium hypochlorite efektif menghilangkan karotenoid, sehingga dapat
diterima secara komersil. Hasil dari proses depigmentasi disebut kitin.
Tahap ini dapat dilewati karena sangat dipengaruhi oleh jenis udang, jika
produk yang dihasilkan pada tahap demineralisasi sudah mengalami penghilangan
warna akibat dari proses pemisahan mineral oleh HCl. Penghilangan warna
ditunjukkan dengan adanya perubahan warna dari merah orange mendekati warna
putih. Proses dekolorisasi dengan aseton dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan menggunakan etanol. Penggunaan etanol dan atau eter untuk mencuci
residu menyebabkan terjadinya reduksi pada astaksantin yang ditunjukkan dengan
adanya penurunan intensitas wama merah pada residu yang dihasilkan. Proses
bleaching atau diekolorisasi akan menghasilkan kitin dengan derajat deasetilasi
yang lebih kecil dibandingkan dengan kitin hasil isolasi tanpa bleaching. Hal ini
mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadinya deasetilasi sebagian yang lebih
besar ketika isolasi kitin dari udang tanpa melalui bleaching atau dekolorisasi.
Afriani, Y., dkk. 2016. Sintesis, Kinetika Reaksi dan Aplikasi Kitin dari Cangkang
Udang: Review. Pekanbaru: Universitas Riau.
Amalia, N., R. 2011. Mikrosfer Kitosan sebagai Bahan Penyalut untuk Mengontrol
Pelepasan Obat Natrium Diklofenak. Depok: Universitas Indonesia.
Arif, A., R. 2013. Isolasi Kitin dari Limbah Udang Putih (Penaeus merguiensis)
secara Enzimatis. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Ayu. 2016. Adsorpsi Logam Timbal (Pb) dengan Menggunakan Kitin dari Limbah
Kulit Udang Putih (Penaeus merguiensis de man). Makassar: UIN Alaudin
Makassar.
Ayudiarti, D., L. 2011. Ekstraksi Karotenoid dari Kepala Udang secara Enzimatis
dan Karakterisasi Profil Karotenoid sebagai Antioksidan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Azhar, M., dkk. 2010. Pengaruh Konsentrasi NaOH dan KOH terhadap Derajat
Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang. Jurnal Eksakta. 1(IX): 1-8.
Budiyono, A. 2016. Karakterisasi Kitin dan Kitosan Asal Kulit Pupa Ulat Sutera
Liar (Attacus Atlas L.) dari Perkebunan Teh Walini Purwakarta. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Harjanti, R., S. 2014. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam
Goreng. Jurnal Rekayasa Proses. 8(1): 12-19.
Juniarso, E., T. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Kasar Protease dari Isi Perut Ikan
Lemuru (Sardinella sp.) untuk Deproteinisasi Limbah Udang secara
Enzimatik dalam Proses Produksi Kitosan. Jember: Universitas Jember.
Pamungkas, B., F. 2007. Pengaruh Variasi Konsentrasi HCl dan NaOH serta Lama
Proses terhadap Karakteristik Kitin dari Kulit Kepala Udang Putih. Jurnal
Teknologi Pertanian. 2(2): 64-69.
Rochima, E. 2014. Kajian Pemanfaatan Limbah Rajungan dan Aplikasinya untuk
Bahan Minuman Kesehatan Berbasis Kitosan. Jurnal Akuatika. V(1): 71-
82.
Widyanti, A., P. 2009. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Rajungan pada Proses
Adsorpsi Logam Nikel dari Larutan NiSO4. Depok: Universitas Indonesia.
Yakin, A., P. 2015. Pengaruh Pemberiaan Sedian Gel Penyembuh Luka pada Tikus
Jantan Galur Wistar dengan Kombinasi Zat Aktif Kitosan dari Limbah
Kulit Udang Windu (Peneaus monodon) dan Ekstrak Kulit Manggis.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.