Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerang Hijau
Kerang termasuk dalam Kelas Bivalvia, yang termasuk dalam
Kelas ini adalah tiram, kerang, remis dan sebagainya. Cangkang yang
terdiri dari dua belah inimerupakan ciri khas dari Bivalvia. Kedua
cangkang tersebut dapat membuka atau pun menutup dikarenakan
adanya otot pengikat dan terdapat dua otot pengikat satu padabagian
depan dan satunya lagi pada bagian belakang. Kerang Hijau (Pena
viridis)memiliki ciri - ciri seperti yang disebutkan di atas maka dari itulah
Kerang Hijau termasuk dalam Kelas Bivalvia.

Gambar 2.1 Kerang Hijau

Kerang hijau tersebar luas di perairan Indonesia dan ditemukan


melimpahpada perairan pesisir, daerah mangrove dan muara sungai. Di
Indonesia jenis ini ditemukan melimpah pada bulan Maret hingga Juli
pada area pasang surut dan subtidal, hidup bergerombol dan menempel
kuat dengan menggunakan benang byssusnya pada benda-benda keras
seperti kayu, bambu, batu ataupun substrat yang keras. Benih kerang
hijau akan menempel pada kedalam 1 sampai 11 meter di bawah
permukaan air pada saat pasang tertinggi. Kedalaman ideal untuk
penempelan kerang hijau dewasa adalah 2 sampai 4 meter (Cappenberg,
2008).

5
6

Bentuk cangkang kerang hijau agak meruncing pada bagian


belakang, berbentuk pipih pada bagian tepi serta dilapisi periostrakum
pada bagian tengah cangkang. Pada fase juvenil, cangkang berwarna
hijau cerah dan pada fase dewasa warna mulai memudar dan menjadi
coklat dengan tepi cangkang berwarna hijau. Sedangkan pada bagian
dalam cangkang berwarna hijau kebiruan. Memiliki garis ventral cangkang
yang agak cekung dan keras serta memiliki ligamen yang
menghubungkan kedua cangkang kanan dan kiri (Cappenberg, 2008).
Cangkang kerang memiliki kandungan kalsium dan fosfor yang
tinggi. Pada cangkang kerang diduga bersumber dari lapisan kalsium
karbonat (CaCO3) yang melindungi tubuh kerang sehingga tekstur kerang
sangat padat (Paus, 2014). Kandungan kitin pada kerang hijau berkisar
20-30% (Danarto dan Distantina, 2016).
B. Kitin dan Kitosan
Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk dalam
polisakarida tersusun atas monomer-monomer asetilglukosamin yang
saling berikatan. Kitin merupakan bahan organik utama terdapat pada
kelompok hewan seperti, crustaceae, insekta, fungi, mollusca dan
arthropoda. Struktur kitin tersusun atas 2000- 3000 satuan monomer N-
asetil D-Glukosamin yang saling berikatan melalui 1,4-glikosidik
(Rahmadani, 2013). Kitin secara alami tidak memiliki tingkat asetilasi
yang lengkap, Kitin biasanya mempunyai derajat deasetilasi kurang dari
10% (Hartati dkk., 2002). Penggunaan kitin dibatasi oleh sifat-sifat yang
tidak larut dan sulit dipisahkan dengan bahan lain yang terikat terutama
protein, sehingga untuk pemanfaatannya kitin perlu diubah terlebih dahulu
menjadi kitosan (Hendri dkk, 2008).
Kitosan adalah suatu biopolimer yang dihasilkan dari proses
deasetilasi kitin dengan menggunakan larutan basa kuat. Kitosan bersifat
sebagai polimer kationik yang tidak larut dalam air, dan larutan alkali
dengan pH di atas 6,5. Kitosan mudah larut dalam asam organik seperti
asam formiat, asam asetat, dan asam sitrat (Mekawati,2000). Struktur
kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
7

Gambar 2.2 Struktur Kimia Kitin dan Kitosan (Kumar, 2000).

Kitosan dihasilkan dari kitin dan mempunyai struktur kimia yang


sama dengan kitin. Perbedaan antara kitin dan kitosan adalah pada
setiap cincin molekul kitin terdapat gugus asetil (-CH3CO) pada atom
karbon kedua, sedangkan pada kitosan terdapat gugus amina (-NH).
Kitosan dapat dihasilkan dari kitin melalui proses deasetilasi yaitu dengan
cara direaksikan dengan menggunakan alkali konsentrasi tinggi dengan
waktu yang relatif lama dan suhu tinggi (Pratiwi, 2014).
Kitosan dapat dibuat dengan cara menghidrolisis kitin dengan
menggunakan basa kuat sehingga terjadi deasetilasi dari gugus
asetamida (NHCOCH3) menjadi gugus amino (NH2) (Savitri dkk, 2010).
Proses tersebut sering disebut sebagai deasetilasi kitin. Kitin memiliki sifat
mudah terdegradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air,
asam anorganik encer, serta asam-asam organik lainnya (Harianingsih,
2010). Kitosan tidak dapat dalam larutan dengan kondisi netral dan basa
tetapi larut dalam asam organik (Arief dkk, 2012). Kitin dan kitosan
memiliki kegunaan yang sangat luas dalam kehidupan sehari-hari
misalnya sebagai adsorben limbah logam berat dan zat warna, pengawet,
anti jamur, kosmetik, farmasi, flokulan, anti kanker, dan anti bakteri
(Pratiwi, 2014).
Kitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan poli
elektrolit kationik karena mempunyai gugus fungsional gugus amina.
Selain gugus amina, terdapat juga gugus hidroksil primer dan sekunder.
8

Adanya gugus fungsi tersebut mengakibatkan kitosan mempunyai


kereaktifan kimia yang tinggi (Tokura, 1995 dalam Marni dkk, 2016).
Kualitas dan penggunaan produk kitosan terutama ditentukan dari
seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi pada
pembuatan kitosan bervariasi tergantung pada bahan dasar dan kondisi
proses seperti konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu (Stevano dkk.,
2016).
Derajat deasetilasi menentukan banyaknya gugus asetil yang
hilang selama proses deasetilasi. Derajat deasetilasi yang tinggi
menujukkan kemurnian kitosan yang dihasilkan (Nadia dkk, 2018).
Semakin tinggi presentase derajat deasetilasi kitosan maka semakin baik
kitosan tersebut. Deasetilasi kitin secara kimiawi dilakukan dengan cara
mencampurkan kitin dengan basa kuat, proses deasetilasi dilakukan
harus pada suhu lebih dari 65˚C. Telah dilakukan berbagai macam
metode dan konsentrasi basa kuat terutama NaOH yang diberikan
(Herwanto, 2006). Kitosan untuk dijadikan adsorben, haruslah memiliki
derajat deasetilasi hingga lebih dari 60% (Nurul dkk, 2014).
Derajat deasetilasi merupakan suatu hal penentu pada gugus
amino yang terdapat dalam kitosan. Besarnya proporsi gugus amino pada
kitosan menyebabkan kitosan dapat membentuk ikatan dengan beberapa
ion logam. Kemampuan adsorbsi kitosan dihubungkan dengan adanya
gugus hidroksi (-OH) dan amina (-NH 2), serta adanya gugus amida (-
NHCOCH3) pada kitin yang masing-masing dapat bertindak sebagai ligan
jika berintraksi dengan logam (Sukarjo dan Mawarni, 2011).
Kitosan merupakan padatan amorf yang berwarna putih
kekuningan. Kelarutan kitosan yang paling baik ialah dalam larutan asam
asetat 2% (Sugita, 2009). Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut
organik, alkali atau asam-asam mineral pada pHdiatas 6,5. Kitosan larut
dengan cepat dalam asam organik seperti asam formiat, asam sitrat dan
asam asetat (Rahayu dan Purnavita, 2007). Keberadaan NH2
menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas yang tinggi, sehingga kitosan
mampu mengikat air dan larut dalam asam asetat (Kumari, 2016).
Adapun syarat mutu kitosan menurut SNI 7949:2013 dapat
dilihat pada Tabel 2.1
9

Tabel 2.1. Standar Mutu Kitosan.


Parameter Standar SNI 7949:2013
Bentuk Serbuk
Kadar air ≤12%
Kadar abu ≤1%
Derajat deasetilasi ≥75%
Kadar Nitrogen ≤5%
Kelarutan Larut
Sumber : SNI 7949:2013

C. Mekanisme Pembentukan Kitosan


Transformasi kitin menjadi kitosan dilakukan melalui proses
deasetilasi. Proses deasetilasi merupakan proses penghilangan gugus
asetil (-COCH3) dari kitin dengan menggunakan larutan alkali agar
berubah menjadi gugus amina (-NH2). Kitin mempunyai struktur kristalin
yang panjang dengan ikatan hidrogen yang kuat antara atom nitrogen dan
gugus karboksilat pada rantai bersebelahan (Muzzarelli, 1986).
Penggunaan larutanalkali dengan konsentrasi yang tinggi serta
suhu tinggi selama proses deasetilasi dapat mempengaruhi besarnya
derajat deasetilasi yang dihasilkan (Kim etal., 2004; Odete etal., 2005).
Semakin besar konsentrasi larutan alkali semakin banyak zat-zat yang
bereaksi dan semakin besar kemungkinan terjadinya tumbukan (Habibi,
2008). Proses deasetilasi dalam basa kuat dan panas menyebabkan
hilangnya gugus asetil pada kitin mengakibatkan kitosan bermuatan
positif sehingga dapat larut dalam asamorganik seperti asam asetat
ataupun asam formiat (Bastaman, 1989).
Secara umum reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan
reaksi hidrolisis suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai
amida dan NaOH sebagai basa. Mula-mula ikatan rangkap antara C dan
O akan terlepas sehingga C bermuatan positif dan O bermuatan negatif,
selanjutnya. OH- dari NaOH yang lebih elektronegatif akan menyerang C
yang lebih elektro positif, sedangkan Na+ akan berikatan dengan O dari
NHCOCH3. Selanjutnya pasangan elektron bebas dari -NH akan
berikatan dengan H dari OH. Selanjutnya akan terjadi delokalisasi
elektron, -NH2 yang kurang elektron mendapat donor dari C. Hal ini
menyebabkan C kekurangan elektron, supaya stabil satu elektron dari O
digunakan untuk berikatan dengan C, ikatan asetil dengan amida ini akan
10

terputus sehingga terbentuk gugus -NH2 (Nurmala, 2018). Mekanisme


reaksi deasetilasikitosan disajikan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3Mekanisme reaksi sintesis kitosan (Basuki & Sanjaya, 2009).

D. Kitosan Sebagai Penghambat Bakteri


Kitosan mempunyai sifat sebagai antimikroba yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Adanya gugus amina yang
bermuatan positif mampu mengikat dinding sel pada bakteri negatif.
Kitosan mempunyai struktur hampir sama dengan dinding peptidoglikan
yang merupakan bahan penyusun dinding sel bakteri gram positif (Killay,
2013). Selain bakteri gram positif, senyawa pada kitosan juga mampu
memgganggu aktivitas dari membran bagian luar bakteri gram negatif
(Killay, 2013).
Sifat afinitas pada kitosan sangat kuat dengan DNA mikroba
sehingga mampu berikatan dengan DNA yang dapat mengganggu proses
mRNA dan sintesis protein. Derajat deasetilasi sangat mempengaruhi
sifat afinitas kitosan dalam melawan bakteri. Semakin tinggi tingkat
11

asetilasi maka semakin tinggi pula peran dari kitosan dalam menjalankan
fungsinya sebagai antibakteri (Sarwono, 2010). Selain sebagai pengawet
alami pada bahan pangan, kitosan juga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba. Mekanisme dari kitosan yaitu dengan merusak dinding sel dari
mikroba sehingga tidak berkembang dan mati. Pada makanan
pertumbuhan bakteri dapat terhambat sebab kitosan mempunyai bentuk
membran berpori yang dapat menyerap air pada makanan.

E. Ikan bandeng

Ikan bandeng (Chanoschanos) merupakan salah satu hasil


budidayaikan yang hidup di air payau atau ikan yang berasal dari tambak
yang mempunyai prospek cukup baik untuk dikembangkan. Ikan bandeng
merupakan bahan pangan yang mengandung gizi yang cukup dan
bermanfaat bagi tubuh. Kandungan gizi ikan bandeng yaitu kadar air
70,7%;kadar abu 1,4%; protein 24,1%; lemak 0,85%; karbohidrat 2,7%
(Hafiludin,2015).

Gambar 2.4 Ikan Bandeng (Chanos-chanosfoskal)


(Purnomowatidkk., 2007)

Sebagai salah satu sumber protein, ikan bandeng mudah


mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri, khamir maupun
jamur. Ikan bandeng akan mengalami kerusakan apabila hanya dibiarkan
pada suhu ruang selama 12 jam. Oleh karena itu perlu adanya bahan
untuk mengawetkan ikan bandeng sehingga dapat diterima konsumen
dalam keadaan yang masih layak konsumsi (Rofik dan Rita, 2012).
12

Tabel 2.2Nutrisi Ikan Bandeng (100 gr daging)


Nutrisi Nilai
Proksimat
Air (gr) 70.85
Energi (kcal) 148
Energi (Kj) 619
Protein (gr) 20.53
Lemak (gr) 6.73
Abu (gr) 1.14
Karbohidrat (gr) 0.00
Kalsium, Ca (mg) 51
Magnesium, Mg (mg) 30
Fosfor, P (mg) 162
Kalium, K (mg) 292
Sumber: USDA National Nutrient Database for Standard Reference
(2009)
Penurunan mutu ikan dapat terjadi mulai dari saat penangkapan
dan terus berlangsung hingga ke tangan konsumen akhir. Ikan yang baru
ditangkap mengandung mikroba yang secara alami, mikroba tersebut
terkonsentrasi pada tiga bagian utama yaitu, kulit, insang, dan isi perut.
Jumlah bakteri pada ikan bervariasi tergantung media dimana bakteri itu
hidup. Keadaan ini diperburuk oleh sifat ikan yang mempunyai kulit dan
tekstur halus, kadar lemak yang relatif tinggi serta kondisi suhu dan
kelembaban udara tropis yang rata-rata tinggi (Litaay dkk, 2017).
Penurunan mutu ikan dapat terjadi lebih cepat akibat adanya kerusakan
fisik. Kerusakan fisik juga sering disebut kerusakan mekanik yang
diakibatkan oleh benturan antar ikan, ikan dengan bahan pengemas atau
dinding alat transportasi sehingga produk menjadi lecet, retak,memar dan
busuk (Winarno, 2004). Adapun jenis-jenis bakteri yang biasanya
mencemari produk perikanan antara lain: Salmonella,
Staphylococcusaureus, Vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli
(Prasetyawan 2008).

F. Kerusakan Ikan selama Penyimpanan


1. Kenaikan Total Mikroba
Salah satu pengujian kesegaran ikan secara mikrobiologis dengan
menggunakan metode Angka Lempeng Total (ALT) biasa juga disebut
dengan Total Plate Count (TPC). Pengujian ini dilakukan untuk
menghitung jumlah total koloni bakteri yang terdapat pada sampel.
13

Berdasarkan SNI 01-2729-2013 batas maksimal nilai ALT pada ikan


segar adalah 5x105 koloni/g (log TPC adalah 5,69 cfu/g). Menurut Jaya
dan Ramadhan (2006), nilai total mikroba akan semakin mengalami
peningkatan selama waktu penyimpanan, karena pertumbuhan bakteri
mulai meningkat sejak ikan ditangkap dan mati. Suhu badan ikan menjadi
naik yang mengakibatkan bakteri merusak jaringan-jaringan tubuh ikan,
sehingga lama kelamaan akan terjadi perubahan komposisi pada daging
dan mengakibatkan pembusukan. Semakin busuk ikan, akan semakin
besar pula jumlah bakterinya. Proses kemunduran mutu secara
mikrobiologi diawali dengan terurainya glikogen. Daging ikan yang segar
pada umumnya tidak mengandung bakteri, setelah mati hingga dilaluinya,
fase rigormortis hanya sedikit terjadi perubahan jumlah bakteri.
Peningkatan nilai ALT (angka lempeng total) selama penyimpanan
berhubungan dengan kadar air yang juga meningkat selama
penyimpanan. Semakin tinggi kadar air dan Aw dari suatu bahan pangan,
maka jumlah bakteri yang tumbuh juga akan semakin banyak.
Ketersediaan air bebas mendukung mikroba lebih mudah tumbuh dan
berkembang dalam bahan pangan (Rahmah dkk, 2017).
2. Kenaikan TVB
TVB (Total Volatile Base) merupakan salah satu metode
dalampenentuan kesegaran ikan yang dilakukan secara kimiawi. Prinsip
penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa volatil yang
terbentuk karena penguraian asam-asam amino yang terdapat pada
daging ikan (Munandar dkk, 2009). Menurut Nurilmaladkk (2009), nilai
TVBdapat dijadikan sebagai indeks kesegaran ikan semenjak basa volatil
terakumulasi dalam daging ikan sampai dengan tahap akhir pembusukan.
Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi empat kriteria berdasarkan nilai
TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10
mgN/100 g. Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk
dalam kriteria segar. Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi dengan
apabila nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi
apabila lebihdari 30 mg N/100 g.
Peningkatan nilai TVB selama penyimpanan ikan diakibatkan oleh
degradasi protein dan derivatnya menghasilkan sejumlah basa yang
14

mudah menguap yaitu amoniak, histamin, H2S, dan trimetilamin yang


berbau busuk (Karungi etal., 2003). Menurut Waryani dkk (2014), nilai
TVBN semakin meningkat seiring bertambahnya waktu penyimpanan.
Halini dikarenakan TVBN merupakan senyawa hasil degradasi protein
karenaaktivitas enzim maupun bakteri pembusuk. Peningkatan
konsentrasi TVB berhubungan dengan pertumbuhan mikroba dan dapat
digunakan sebagai indikator kerusakan ikan. Banyaknya jumlah mikroba
pada ikan menjadikanproses degradasi protein menjadi senyawa basa
nitrogen lebih cepatsehingga konsentrasi TVBN juga meningkat tajam.
3. Kenaikan pH
Pengujian nilai derajat keasaman (pH) dilakukan untuk mengetahui
tingkat keasaman dan kebasaan pada suatu produk. Nilai derajat
keasaman (pH) dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan
tingkat kesegaran ikan. Umumnya setelah ikan mati pH ikan mendekati
netral, yaitu sekitar 6,8 hingga netral (Liviawaty dan Afrianto,
2010).Perubahan nilai pH pada ikan bergantung pada berbagai faktor
yaitu jenisikan, cara menangkap, pemberian pakan dan kondisi lainnya.
Peningkatan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan ikan. Komposisi
garam juga mempengaruhi kondisi fisiologis, kandungan protein, dan
aktivitas enzim(Taskayaetal., 2003).
Menurut Jiang (2000), energi pada jaringan otot ikan setelah mati
diperoleh secara anaerob dari pemecahan glikogen menjadi glukosa dan
produk-produk turunannya. Penguraian glukosa melalui glikolisis
akanmenghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat inilah
yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan pH daging ikan dan
dapat menekan aktivitas mikroba sehingga memperlambat proses
pembusukan. Penurunan pH yang besar ini tergantung pada jumlah
glikogen awal yangterdapat dalam otot ikan. Seiring waktu penyimpanan
pH ikan akan naikkembali, hal ini disebabkan karena protein dan
derivatnya diurai dengan baik oleh mikroba maupun enzimatis menjadi
turunan-turunan yang bersifat basa sehingga mengakibatkan pH menjadi
naik (Junianto, 2003).
Penyimpanan ikan pada suhu rendah menyebabkan aktivitas enzim
yang terdapat pada daging menjadi terhambat sehingga kemunduran
15

mutunya berjalan lebih lambat. Semakin rendah suhu yang digunakan


maka aktivitas enzim semakin terhambat. Pada proses glikolisis, enzim
sangat berperan sampai terbentuknya asam laktat. Hal ini menyebabkan
akumulasi asam laktat berjalan lebih lambat sehingga penurunan pH ikan
juga berlangsung lebih lambat. Selain itu, proses penguraian protein
menjadi senyawa-senyawa yang bersifat basa oleh bakteri juga terhambat
sehingga peningkatan pH ikan berlangsung lebih lambat (Munandar
dkk,2009).

G. Bahan-BahanEkstraksiKitosan
1. Natrium Hidroksida
Natrium hidroksida (NaOH) merupakan basa kuat yang menerima prot
on dari Na+. Natrium hidroksida mengandung unsur dari golongan alkali, 
yakni Natrium (Na+). Ciri–ciri yang dimiliki golongan alkali seperti reduktor
kuat dan mampu mereduksi asam, mudah larut dalam air, merupakan
penghantar arus listrik yang baik dan panas,urutankereaktifannya
meningkat seiring dengan bertambahnya berat atom (Fauzan 2011).
Larutan alkali yang ditambahkan saat deproteinasi akan masuk
kecelah-celah untuk memutuskan ikatan antara kitin dan protein. Ion Na+
akan mengikat ujung rantai protein menjadi Na-proteinat yang selanjutnya
dapat dipisahkan kembali dengan menurunkan pH karena terjadi
pengendapan natrium. Produk akhir dari proses demineralisasi dan
deproteinasi tersebut adalah kitin (Purwatiningsih, 1992).
Larutan NaOH konsentrasi tinggi pada proses deasetilasi
berfungsi memutuskan ikatan antar gugus karboksil dengan atom nitrogen
dari kitin yang memiliki struktur kristal tebal dan panjang (Angka dan
Suhartono, 2000). Tingginya konsentrasi NaOH menyebabkan gugus
fungsional amino (-NH2+) yang mensubstitusi gugus asetil kitin di dalam
sistem larutan semakin aktif sehingga proses deasetilasi semakin baik.
Berdasarkan derajat deasetilasi kitosan yang dihasilkan >70 %, maka
kitosan ini dapat diaplikasikan untuk bidang pangan.
2. Asam Klorida
Penggunaan HCl dilakukan untuk melarutkan ion Ca2+ dalam
bentuk CaCO3(s) sehingga menghasilkan CaCl2(aq) yang larut air dengan
16

produk samping gas CO2 dan air. CaCO3(s) pada serbuk cangkang kerang
darah akan bereaksi dengan HCl membentuk gelembung yang
menandakan adanya gas CO2 (Masindi, 2017). Reaksi yang terjadi adalah
sebagai berikut :
CaCO3(s) + 2HCl(aq) CaCl2(aq) + H2O(l) + CO2(g)
3. Kalium Hidroksida
Kalium hidroksida (KOH) atau nama latinnya yaitu Potassium
Hydroxide. Kalium hidroksida teknis padat adalah bahan kimia berbentuk
padatan putih, yang bagian terbesar terdiri dari KOH dan digunakan untuk
industri (Sutrisno, 2010).

H. Proses Ekstraksi Kitosan


Secara umum isolasi kitosan terdiri dari demineralisasi,
deproteinasi, dan deasetilasi (Masindi, 2017).
1. Demineralisasi
Proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar
mineral (CaCO3) dengan menggunakan asam konsentrasi rendah untuk
mendapatkan kitin (Rahayu, 2007).Proses demineralisasi menyebabkan
terjadinya reaksi kimia antara asam klorida (HCl) dengan kalsium (CaCO 3
dan Ca3(PO4)2), menghasilkan kalsium klorida yang akan mengendap
apabila pH ditingkatkan dan mudah dipisahkan dengan proses
penyaringan (Bastaman, 1989).
Pemanasan pada proses demineralisasi dilakukan untuk
mempercepat proses rusaknya mineral. Selain itu, pengadukan
diperlukan untuk menghindari meluapnya gas CO2 selama proses
demineralisasi berlangsung (Masindi, 2017).
2. Deproteinasi
Deproteinasi dapat dilakukan dengan penambahan pereaksi kimia
seperti natrium hidroksida atau secara enzimatis dengan penambahan
enzim protease. Deproteinasi menggunakan pereaksi kimia menyebabkan
pemutusan secara acak pada gugus asetil kitinsehingga menghasilkan
derajat deasetilasi yang tinggi (Masindi, 2017). Proses deproteinasi
bertujuan untuk mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan
alkali encer dan pemanasan yang cukup (Rahayu, 2007).
17

Beberapa senyawa kimia telah diuji coba dalam proses


deproteinasidiantaranya NaOH, NaHCO3, KOH, K2C2O3, K2CO3, Na2SO3,
Na3PO4, dan Na2S. NaOH merupakan senyawa yang paling banyak
digunakan (Younes dan Rianudo, 2012).

Gambar 2.5 Reaksi Pemutusan Ikatan Kitin dan Protein (Yesi, 2016)

3. Deasetilasi
Pembuatan kitosan yaitu dengan cara penghilangan gugus asetil
(-COCH3) (deasetilasi) dari kitin yang dilakukan dengan menggunakan
larutan NaOH pekat (50%) dengan perbandingan 1:20 selama 1 jam pada
suhu 120-140oC (Suptijahetal.1992).
Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi
akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO) dari molekul kitin.
Gugus amina pada kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang
bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas –NH2
(Rahayu, 2007).
Adapun tahapan proses pembuatan kitosan menurut Rahayu
(2007) yaitu limbah cangkang rajungan dibersihkan dari sisa-sisa kotoran
menggunakan air mengalir kemudian dikeringkan. Limbah cangkang
rajungan setelah dikeringkan, digerinding dan ditapis dengan ayakan
ukuran 100 mesh.
Selanjutnya dilakukan proses deproteinasi dengan cara cangkang
rajungan dilakukan proses deproteinasi menggunakan larutan NaOH 2,0
N dengan perbandingan 1 : 6 (b/v) sambil diaduk dan dipanaskan pada
18

suhu 80oC selama 1 jam, kemudian disaring dan residu hasil penyaringan
dicuci dengan aquades hingga pH netral. Setelah mencapai pH netral
rendemen dikeringkan dalam oven suhu 70 – 80 oC hingga kering
(Rahayu, 2007).
Padatan kering hasil deproteinasi selanjutnya dilakukan
demineralisasi dengan menggunakan larutan HCl 1,5 N(perbandingan
1:12 b/v) dan diaduk pada suhu kamar selama 1 jam, kemudian disaring
dan residu hasil penyaringan dicuci dengan aquades hingga pH netral.
Setelah mencapai pH netral residu dikeringkan dalam oven suhu 70 –
80oC hingga kering. Produk yang diperoleh dari proses ini dinamakan kitin
(Rahayu, 2007).
Proses deasetilasi kemudian dilakukan dengan cara merebus kitin
dalam larutan NaOH 50 % dengan perbandingan 1 : 20 (b/v) pada suhu
70oC, 80oC, 90oC, dan 100oC , masing-masing dengan waktu perebusan
30, 60, 90, dan 120 menit, kemudian disaring dan residu hasil
penyaringan dicuci dengan aquades hingga pH netral. Setelah mencapai
pH netral residu dikeringkan dalam oven suhu 70 – 80 oC hingga kering.
Produk yang diperoleh dari proses ini dinamakan kitosan (Rahayu, 2007).

Cangkang rajungan

Pencucian, pengeringan dan


pengecilan ukuran

TahapDeproteinasi
ekstraksidengan NaOH 2,0Nperbandingan 1:6 (b/v)
selama1jam ,disaring, di netralkan dan dikeringkan (T=80)

TahapDemineralisasi
Residuditambahkandengan HCl 1,5N perbandingan 1:112 (b/v),
diaduk1 jam, disaringsampainetral dan dikeringkan

Kitin

Deasetilasi
Ekstraksidengan NaOH 50%, di netralkan, disaring dan dikeringkan.

Kitosan
Gambar 2.6 Diagram Alir Proses Pembuatan Kitosan Limbah Cangkang
Rajungan (Rahayu, 2007)
19

I. Parameter Kualitas Kitosan


1. Kadar air
Kadar air merupakan persentase air yang terikat oleh suatu bahan
terhadap bobot kering ovennya. Penentuan kadar air dilakukan untuk
mengetahui banyaknya air yang terikat oleh komponen padatan
bahan tersebut. Kandungan air dalam suatu bahan dapat menentukan
penampakan, tekstur dan kemampuan bertahan bahan tersebut
(Sudarmadji, 1995).
2. Kadar abu
Kadar abu menunjukkan jumlah bahan anorganik yang terdapat
dalam bahan organik. Abu menunjukkan jumlah bahan anorganik
yang tersisa selama proses pembakaran tinggi (suhu sekitar 600oC)
selama dua jam. Jumlah abu dipengaruhi oleh jumlah ion-ion
anorganik yang terdapat dalam bahan selama proses berlangsung
(Apriyantono, 1989).
3. Derajat deasetilasi
Kualitas dan penggunaan kitosan terutama ditendtukan dari
seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi pada
pembuatan kitosan bervariasi tergantung pada bahan dasar dan
kondisi proses seperti konsentrasi larutan alkali, suhu, dan waktu
(Rahayu, 2007).
4. Kelarutan
Kelarutan kitosan merupakan parameter yang dijadikan sebagai
standar penilaian mutu kitosan. Semakin tinggi kelarutan kitosan
berarti mutu kitosan yang dihasilkan semakin baik dan kitosan
larut pada kebanyakan larutan asam organic (Sembiring, 2018).

J. Analisis Keputusan
Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk
memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada.
Pengambilan keputusan adalah proses yang mencakup semua pikiran
dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan
pikiran baik tersebut. Analisa keputusan adalah untuk memilih alternatif
20

terbaik yang dilakukan antara aspek kualitas dan aspek kuantitas dari
produk olahan yang dihasilkan dengan kombinasi setiap perlakuan .
Analisis keputusan pada dasarnya adalah sutau prosedur yang
logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai
pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk
membuat keputusan (Suntoyo, 1993). Pengambilan keputusan pada
penelitian ini berdasarkan sifat fisik dan kimia terbaik.

K. Landasan Teori
Kitosan adalah hasil deasetilasi kitin menggunakan basa kuat.
Kitin merupakan bahan polimer terdapat pada bahan alam seperti kulit
udang, kerang, ketam, yeast, serangga dan jamur, yang paling banyak
kandungan kitinnya adalah binatang bercangkang (shellfish) (Sarwono,
2010). Cangkang kerang sendiri kandungan kitin berkisar 14 – 35%
(Margonof, 2003).
Secara umum isolasi kitosan terdiri dari deproteinasi,
demineralisasi dan deasetilasi. Demineralisasi merupakan proses untuk
mengurangi garam mineral pada cangkang dengan penambahan asam
klorida. Deproteinasi merupakan proses untuk memisahkan ikatan antara
kitin dengan protein (kitin protein). Deproteinasi secara kimiawi
menggunakan basa natrium hidroksida (Masindi, 2017). Proses
deasetilasi bertujuan untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus
asetil dengan nitrogen pada gugus asetamida kitin sehingga berubah
menjadi gugus amina (–NH2) (Azhar, 2010).
Proses deasetilasi dilakukan dengan menggunakan alkali pada
suhu tinggi, hal ini akan menyebabkan terlepasnya gugus asetil
(CH3CHO-) dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan berikatan
dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk
gugus amina bebas –NH2 (Mekawati dkk., 2000).
Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basa. Mula-mula
ikatan rangkap antara C dan O akan terlepas sehingga C bermuatan
positif dan O bermuatan negatif, selanjutnya. OH- dari NaOH yang lebih
elektronegatif akan menyerang C yang lebih elektropositif, sedangkan
Na+ akan berikatan dengan O dari NHCOCH 3. Selanjutnya pasangan
21

elektron bebas dari -NH akan berikatan dengan H dari OH. Selanjutnya
akan terjadi delokalisasi elektron, -NH2 yang kurang elektron mendapat
donor dari C. Hal ini menyebabkan C kekurangan elektron, supaya stabil
satu elektron dari O digunakan untuk berikatan dengan C, ikatan asetil
dengan amida ini akan terputus sehingga terbentuk gugus -NH2 (Nurmala,
2018).

Gambar 2.7 Mekanisme reaksi pembentukan kitosan


dari kitin (Harjanti, 2014).

Menurut Zakaria (2002) kitin yang telah dididihkan pada larutan


KOH juga dapat diperlakukan seperti NaOH panas yang dapat terjadi
pelepasan gugus asetil (proses deasetilasi) yang terikat pada atom
nitrogen selulosa menjadi gugus amino bebas yang disebut dengan
kitosan. Konsentrasi larutan basa kuat juga merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi, Asni (2014) menyatakan bahwa penggunaan
konsentrasi NaOHdibawah 45% (b/v) tidak akan menghasilkan kitin yang
terdeasetilasi. Kim et al (2004) mengatakan bahwa Pemutusan ikatan
antara gugus asetil dengan gugus nitrogen sehingga berubah menjadi
gugus amina (-NH2) perlu digunakan natrium hidroksida dengan
konsentrasi 60% pada suhu 100-110oC selama 4 jam. Penggunaan
22

larutan alkali dengan konsentrasi tingi serta suhu tinggi selama proses
deasetilasi dapat mempengaruhi besarnya drerajat deasetilasi.
Azhar dkk (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh
konsentrasi NaOH dan KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari limbah
kulit udang. Pada penelitian tersebut dilakukan proses deasetilasi
menggunakan larutan basa kuat yaitu KOH dan NaOH dengan masing-
mang perlakuan konsentrasi 40% dan 50%. Hasil penelitian tersebut
diperoleh perlakuan terbaik adalah NaOH 50% dengan derajat deasetilasi
kitin terdeasetilasi adalah 65,64%.Masindi (2017) melakukan penelitian
pembuatan kitosan dari cangkang kerang darah. Penelitian tersebut
dilakukan proses deasetilasi dengan larutan basa kuat yaitu NaOH
sebanyak 60%. Hasil penelitian tersebut diperoleh kadar air ≤10%, kadar
abu ≤2%, derajat deasetilasi ≥70% serta memiliki gugus fungsi spesifik
yang menunjukkan gugus fungsi kitosan.
Kitosan memiliki kemampuan dalam menekan pertumbuhan
bakteri karena kitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang (El. Ghaouthet
al.,1994).karena kitosan berbentuk membran berpori yang dapat
menyerap air pada makanan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan
mikroba di dalam makanan tersebut. Disamping itu kitosan mempunyai
gugus fungsional amina (-NH) yang bermuatan positif sangat kuat yang
dapat menarik molekul asam amino bermuatan negatif pembentuk protein
dalam mikroba. Gugus fungsional amina juga memiliki pasangan elektron
bebas sehingga dapat menarik mineral Mg2+yang terdapat pada ribosom
dan mineral Ca2+ yang terdapat pada dinding sel mikroba membentuk
ikatan kovalen koordinasi. Hal tersebut menjadikan kitosan dapat
mengakibatkan timbulnya kebocoran konstituen intraseluler sehingga
mikroba tersebut akan mati (Sarwono, 2010).
Penelitian yang dilakukan Damayanti (2016) tentang aplikasi
kitosan sebagai antibakteri pada filet patin selama penyimpanan suhu
rendah dengan perlakuan perendaman kitosan 0%, 1%, 2% dan 3%.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan antibakteri
kitosan 1% terhadap ketiga bakteri uji lebih baik dibandingkan kitosan
2%dan 3%, namun tidak memberikan masa simpan yang lebih lama
23

terhadap filet patin dibandingkan dengan kitosan 2% dan 3% sehingga


perlakuan terbaik dilakukan dengan perendaman kitosan 2%. Filet yang
direndam dengan larutan kitosan 2% mencapai batas penerimaan hingga
hari ke-11.

L. Hipotesis
Diduga perbedaan jenis larutan basa kuat dan konsentrasi basa
kuat yang digunakan berpengaruh terhadap karakteristik kitosan yang
dihasilkan, juga diduga dapat memberkan pengaruh terhadap masa
simpan ikan bandeng.

Anda mungkin juga menyukai