Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini banyak sekali limbah yang tidak bisa di pergunakan lagi atau tidak bisa di
daur ulang. Hal itu sangat mempengaruhi kehidupan manusia dimasa mendatang, karena
lingkungan merupakan salah satu penentu faktor manusia bisa hidup dengan nyaman.
Namun, agar hal itu tidak terjadi maka saat ini mulai dicanangkan program daur ulang
limbah yang ternyata bisa dipergunakan kembali. Salah satu contohnya adalah limbah
cangkang udang yang banyak sekali dibuang.
Sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas, Indonesia mempunyai
potensi besar untuk produksi udang. Diperkirakan produksi udang per tahun mencapai
130 ribu ton untuk sumber air laut, dan 82 ribu untuk sumber air payau, atau total sebesar
212 ribu ton (Santoso, 1990).
Udang merupakan salah satu andalan komiditi perikanan Indonesia yang diekspor ke
luar negeri dalam bentuk tanpa kepala atau tanpa kepala dan kulit (dikupas). Dari
aktivitas pengambilan daging udang oleh industri pengolahan/pembudidayaan udang
dihasilkan limbah kulit udang oleh (cangkang) cukup banyak yang jumlahnya dapat
mencapai sekitar 30-40 % dari berat udang, tergantung bentuk olahannya (Soegiarto,
Toro, Soegiarto, 1979).
Selama ini, limbah kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai tepung dan campuran
pakan ternak, tetapi pemanfaatan ini belum dapat mengatasi limbah kulit udang secara
2

maksimal. Dengan melihat kandungan dalam cangkang kulit udang, maka limbah kulit
udang dapat dimanfaatkan menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih
tinggi, salah satunya dengan chitosan. Chitosan ini bisa digunakan dalam proses
pemanfaatan kayu.
Kayu saat ini banyak dipergunakan untuk mencukupi berbagai kebutuhan, mulai
dari kayu bakar sampai bahan bangunan makin meningkat. Hal ini disebabkan karena
kayu merupakan sumber daya alam yang mudah diperoleh, bersifat terbarukan
(renewable), mudah dalam pengolahannya serta memiliki penampilan yang dekoratif.
Disamping sifat-sifat yang menguntungkan kayu juga memiliki kelemahan, yaitu
sangat mudah diserang atau dirusak oleh faktor biologis seperti jamur, bakteri, serangga
dan cacing laut sehingga dapat menurunkan kekuatan dan masa pakai kayu. Kondisi
tersebut mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menggunakan kayu-kayu yang
memiliki keawetan alami tinggi . Akan tetapi jenis kayu yang memiliki kelas awet tinggi
sangat sedikit yaitu hanya 15% dari 4000 jenis kayu yang ada di Indonesia, maka
ketergantungan pada jenis-jenis kayu ini harus dihilangkan.
Dilain pihak masih sekitar 85% kayu Indonesia terdiri dari kayu-kayu tak dikenal,
jarang digunakan dan memilki kelas awet rendah. Salah satu upaya untuk memanfaatkan
kayu yang mempunyai keawetan rendah adalah dengan cara pengawetan. Dengan cara
pengawetan, kayu yang mempunyai kelas awet rendah dapat dipakai untuk keperluan
konstruksi dan memiliki masa pakai yang lebih panjang. Dengan cara pengawetan, kayu
akan menjadi lebih tahan terhadap makhluk hidup perusak kayu seperti serangga dan
jamur.

3

1.2 Perumusan Masalah
1. Apa saja kandungan kulit udang?
2. Apa itu chitin dan chitosan?
3. Bagaimana chitosan berpengaruh pada pengawetan kayu?
4. Bagaimana cara mengawetkan kayu menggunakan limbah cangkang udang?
1.3 Identifikasi Masalah
Tahap awal untuk pemahaman dan penguasaan masalah, perlu dilakukan identifikasi
masalah. Identifikasi masalah dimaksudkan agar suatu objek lebih jelas dalam kaitannya
dengan situasi tertentu yang menjadi permasalahan. Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan, dapat dituliskan beberapa identifikasi sebagai berikut:
1. Limbah cangkang udang yang semakin banyak terbuang dan tidak dipergunakan
kembali.
2. Kayu di Indonesia termasuk dalam kayu kelas awet rendah, maka diperlukan
pengawetan kayu.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan:
1. Mengurangi limbah cangkang udang di lingkungan.
2. Memanfaatkan limbah cangkang udang untuk pengawetan kayu.
3. Mengetahui proses pengawetan kayu menggunakan limbah cangkang udang.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah ini berawal dari studi literature yaitu Green
Chemistry yang membahas tentang bidang yang berhubungan dengan tujuan ditulisnya
4

karya ilmiah ini. Studi literatur ini didapatkan dari buku-buku, jurnal ilmiah, internet, dan
sebagainya.
Data-data diperoleh dengan pengumpulan data yang didapat dari internet dan
buku. Karya tulis ini ditulis dandibuat dengan menggunakan aturan Bahasa Indonesia
yang baku dengan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan, sederhana, dan jelas.














5

BAB II
ISI
2.1 Kulit Udang
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya. Fungsi kulit udang
tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang
mengandung protein (25 % - 40%), kalsium karbonat (CaCO3) (45% - 50%), chitin (15% - 20%)
dan 19,4% komponen lain seperti zat terlarut. Kulit udang juga mengandung karoten astaksantin
0,02%. Tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya.
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu : epikutikula, eksokutikula, endokutikula dan
epidermis. Tebal tipisnya kutikula bervariasi, bergantung pada lokasinya, di daerah kepala
tebalnya 75 mikron dan daerah lunak di bagian pangkal kaki hanya 5 mikron. Kutikula terdiri
dari 38,7% zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium. Pada waktu moulting chitin dan
protein dari kulit yang lama lebih dulu diserap dan bahan anorganiknya tidak diserap. Sebelum
moulting epikutikula dan eksokutikula terbentuk dan terpisah dengan kutikula yang lama,
kemudian segera setelah terjadi moulting kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam
eksokutikula dan dalam waktu 5 jam penimbunan tersebut menjadi sempurna. Pertukaran
kalsium antara cairan tubuh dengan air laut berjalan melalui insang, kira-kira 90% Ca diserap
dan 79% dikeluarkan.
Gambar 1. Udang
6

2.2 Chitin
Chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu chiton, yang berarti baju rantai besi,
pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak jamur yang
dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kutikula
serangga jenis ekstra yang disebut dengan nama chitin. Chitin merupakan konstituen organik
yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan
nematoda. Pada umumnya chitin di alam tidak berada dalam keadaan bebas, akan tetapi
berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Chitin tidak hanya terdapat
pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trakea, insang, dinding usus, dan
pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi. Adanya chitin dapat dideteksi dengan reaksi warna
Van Wesslink. Pada cara ini chitin direaksikan dengan I
2
-KI yang memberikan warna coklat,
kemudian jika ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna
dari coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya chitin.
Chitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat molekul tinggi dan
merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain b-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-
glukosa (N-asetil-D-Glukosamin). Struktur chitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang
terjadi antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada posisi b-(1-4).
Perbedaannya dengan selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada atom karbon yang
kedua pada chitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH
2
) sehingga chitin menjadi sebuah
polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).
Chitin mempunyai rumus molekul C
18
H
26
N
2
O
10
merupakan zat padat yang tak
berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat,
alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Chitin
7

kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi
sedikit.

Gambar 2.2.1 Struktur Chitin

Gambar 2.2.2 Struktur Selulosa
Dari gambar diatas secara struktural terdapat perbedaan antara chitin dengan sellulosa
dilihat dari gugusnya dimana chitin termasuk kedalam heteropolimer dan sellulosa termasuk
homopolimer. Chitin merupakan polimer alamiah (biopolymer) dengan rantai molekul yang
sangat panjang dengan rumus molekul dari chitin yaitu [C8H13O5N]n. Dari rumus molekul
tersebut maka berat molekulnya [203,19]n. Penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa zat chitin
dari crustacea mempunyai bentuk sel rhombik dengan dimensi a = 9,40 A; b=10,46 A ; c=19,25.
Tiap sel terdiri dari 8 unit acetylglucosamine, dimana gugus acetylaminonnya saling berganti-
ganti dari unit satu ke unit berikutnya. Karena chitin mempunyai molekul dengan berat yang
8

besar dan sangat panjang maka tidak dapat diukur dengan pasti. Spesifikasi chitin secara umum
dapat dilihat di Tabel 2.1.
Tabel 2.2.1 Spesifikasi Chitin
Spesifikasi Keterangan
Kadar air 2-10% pada keadaan normal
Nitrogen 6-7%
Drajat deasetilasi Umumnya 10%
Abu pada suhu 900 oC umumnya , 10%
Konstanta disosiasi K1 6 - 7%
Asam amino Glisin,serin dan asam aspartat

Chitin merupakan polimer alamiah yang dapat di temukan di alam berbeda-beda tergantung pada
sumbernya. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 2.2

Tabel 2.2.2 Persentase Chitin pada Binatang
Sumber % Chitin
Fungi (jamur) 5-20%
Worms(cacing) 3-20%
Squigs/octopus (gurita) 30%
Spiders (laba-laba) 38%
Scorpions (kalajengking) 38%
Cockroaches (kecoa) 35%
Water beetle (kumbang air) 37%
Silk worm 44%
9

Hermit crab 69%
Kepiting 71%
Udang 20-30%

Chitin merupakan salah satu tiga besar dari polisakarida yang paling banyak ditemukan
selain selulosa dan zat tepung. Chitin menduduki peringkat kedua setelah selulosa sebagai
komponen organic paling banyak di alam. Selulosa dan zat tepung merupakan zat penting bagi
tumbuhan untuk membentuk makanannya ( zat karbohidrat ) dan pembentukan dinding sel.
Walaupun chitin tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut adalah jenis udang-udangan (crustaceae) yang dipanen secara
komersial. Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin, namun
limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah hasil dari
pembuatan udang.
2.3 Chitosan
Chitosan yang disebut juga dengan b-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan
turunan dari chitin melalui proses deasetilasi. Chitosan juga merupakan suatu polimer
multifungsi karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil
primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan chitosan mempunyai kreatifitas
kimia yang tinggi.
10


Gambar 2.3.3 Struktur Chitosan
Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut
dalam HCl dan HNO
3
, dan H
3
PO
4
, dan tidak larut dalam H
2
SO
4
. Chitosan tidak beracun,
mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu
chitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh
karena itu, chitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan dan
induistri kesehatan.
2.4 Limbah Kulit Udang
Saat ini budidaya udang dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang
merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non-migas
dan merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang
di Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang bagian
kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang, dan
pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% - 75% dari berat udang. Dengan demikian
jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup tinggi.
11

Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan
upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan
udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang
ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang
bagus.
Saat ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal
pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di
negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam
industri sebagai bahan dasar pembuatan chitin dan chitosan. Manfaatnya di berbagai industri
modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pangan,
kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Chitin dan chitosan serta turunannya mempunyai sifat
sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi.
2.5 Pengawetan Kayu Menggunakan Limbah Cangkang Udang
Isolasi chitin dari limbah kulit udang dilakukan secara bertahap yaitu tahap pemisahan
protein dengan larutan basa, demineralisasi, tahap pemutihan dengan aseton dan natrium
hipoklorit. Sedangkan transformasi chitin menjadi chitosan dilakukan tahap deasetilasi dengan
basa berkonsentrasi tinggi.
Chitin dan chitosan yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben
untuk menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur
kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-
ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa chitin dan chitosan serta
12

tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu pengkajian dan
pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap logam-logam berat diperairan.

Gambar 2.5.4 Diagram Alir Metode Isolasi khitin dari Limbah Udang
13

Cangkang udang mengandung zat chitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan
melalui beberapa tahap, akan dihasilkan chitosan, yaitu:
1. Dimineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar
Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian
dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang,
lalu dipanaskan pada suhu 90C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air
sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80C selama 24 jam.
2. Deproteinisasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium
hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya
dipanaskan pada suhu 90C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga
diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan
pada suhu 80C selama 24 jam.
3. Deasetilisasi chitin menjadi chitosan
Chitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan
perbandingan 20:1 (pelarut dibanding chitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu
140C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan
pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70C selama
24 jam.
14

Chitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam
pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan
pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat.
Pada saat ini chitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan
kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer
dalam bidang teknologi polimer. Setelah chitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode
pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan,
metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.
Aplikasi chitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat
pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum
dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan
rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan chitosan dengan metode perendaman
teksturnya menjadi lebih halus.
Ini sesuai dengan sifat chitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan
transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa chitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing
yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu. Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti
nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan chitosan dapat meningkatkan
penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut
disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan
hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode
pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan
konsentrasi bahan pengawet.
15

Dari segi lingkungan, penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman
karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang
sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan
unbiodegradable.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan chitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan
pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari
sumber daya lokal (local content).
Untuk ekstrasi chitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen,
sedangkan rendemen chitosan dari chitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu,
dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh chitosan
sebesar 81.642,56 ton. Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu
yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke
depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan
menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan
devisa negara jika diekspor ke luar negeri.
Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga
menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara
nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu
merealisasikan asas pelestarian hutan.

16

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jadi, supaya limbah cangkang udang tidak mengakibatkan penambahan sampah
dilingkungan kita maka limbah cangkang udang bisa digunakan kembali untuk
pengawetan kayu karena ternyata kulit udang mengandung chitosan yang bisa
membuat kayu lebih tahan lama.
3.2 Saran
Perluasan penelitian tentang cangkang udang agar limbahnya bisa digunakan
kembali untuk keperluan lainnya, sehingga tidak hanya untuk mengawetkan kayu.

17

Daftar Pustaka
www.scribd.com
www.onlinebuku.com
www.pasarkreasi.com
www.industri09firman.blog.mercubuana.ac.id
www.journal.uii.ac.id
www.eprints.undip.ac.id

Anda mungkin juga menyukai