Anda di halaman 1dari 11

Pembuatan Chitosan berbahan baku selain kulit udang

Pembuatan dari cangkang kepiting


Setiap tahun, menurut catatan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun
2000, Cold Storage (perusahaan pengolahan ikan) tanah airmenghasilkan limbah
kulit / kepala udang,cangkang kepiting dan hewan laut lainnya tidak kurang dari
56.200 metrik ton. Limbahtersebut terbukti kaya akan kitin, yang melalui proses
tertentu akan dapat dihasilkan kitosan. Sebagai salah satu negara pengekspor
kepiting, Indonesia tentu saja berpeluang memproduksi kitin atau kitosan.Dengan
ekspor kepiting (umumnya kaleng) sekitar 4000 ton per tahun juga berpotensi
menghasilkan kulit sebagai limbah sebanyak 1000 ton per tahun.Limbah tersebut
berpotensi diolah menjadi kitin, dengan produksi sekitar 1700 ton per tahun.
Sebaran ketersediaan kulit kepiting, mencakup Sumatera Utara, Pantai Timur
Sumatera, Pantura Jawa, Kalimantan dan Sulawesi Selatan (Agus 2011).
Dengan demikian jumlah hasil samping produksi yang berupa kepala,
kulit, ekor maupun kaki kepiting yang umumnya 25-50 % dari berat, sangat
berlimpah. Hasil samping ini, di Indonesia belum banyak digunakan sehingga
hanya menjadi limbah yang mengganggu lingkungan, terutama pengaruh pada bau
yang tidak sedap dan pencemaran air (kandungan BOD 5 , COD dan TSS perairan
disekitar pabrik chitin cukup tinggi) (Agus 2011).
Dua faktor utama yang menjadi ciri darikitosan adalah viskositas atau
berat molekul dan derajat deasetilasi. Oleh sebab itu, pengendalian kedua
parameter tersebut dalam proses pengolahannya akan menghasilkan kitosan yang
bervariasi dalam penerapannya di berbagai bidang. Derajat deasetilasi dan berat
molekul berperan penting dalam kelarutan kitosan, sedangkan derajat deasetilasi
sendiri berkaitan dengan kemampuan kitosan untuk membentuk interaksi
isoelektrik dengan molekul lain. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan
yang bermuatan, seperti protein, polisakarida, anionik, asam lemak, asam empedu
dan fosfolipid. Kitosan larut pada asam dan air mempunyai keunikan membentuk
gel yang stabil dan mempunyai muatan dwi kutub, yaitu muatan negatif pada
gugus karboksilat dan muatan positif pada gugus NH. Menurut Wibowo,
kelarutan kitosan dipengaruhi oleh tingkat ionisasinya, dan dalam bentuk
terionisasi penuh, kelarutannya dalam air meningkat karena adanya jumlah gugus
yang bermuatan(Wibowo, 2006). Pada pH asam, kitosan memiliki gugus amin
bebas (-NH2) menjadi bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik
(NH3). Sehingga, dapat diketahui bahwa sifat larutan kitosan akan sangat
tergantung pada dua kondisi di atas. Kitosan yang dilarutkan dalam asam maka
secara proporsional atom hidrogen dari radikal amina primernya akan lepas
sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan
molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka akan terbentuklah
polikationat, dan kitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginate
(molekul pembawa bermuatan negatif) dan larutan-larutan bervalensi dua (sulfat,
fosfat atau polianion) dari ion mineral atau protein dapat membentuk senyawa
kompleks dengan kitosan(Wibowo, 2006). Sebagai antibakteri, kitosan memiliki
sifat mekanisme penghambatan, dimana kitosan akan berikatan dengan protein
membran sel, yaitu glutamat yang merupakan komponen membrane sel. Selain
berikatan dengan protein membraner, kitosan juga berikatan dengan fosfolipid
membraner, terutama fosfatidil kolin, sehingga meningkatkan permeabilitas inner
membrane (IM). Naiknya permeabilitas IM akan mempermudah keluarnya cairan
sel. Pada E. coli misalnya, setelah 60 menit, komponen enzim ß galaktosidase
akan terlepas. Hal ini menunjukkan bahwa sitoplasma dapat keluar sambil
membawa metabolit lainnya, atau dengan kata lain mengalami lisis, yang akan
menghambat pembelahan sel (regenerasi). Hal ini akan menyebabkan kematian
sel (Hargono dan M. Djaeni 2010).

Pembuatan chitosan dari cangkang bekicot


Bekico (Achatina fullica) merupakan hama bagi persawahan yang sering
dimanfaatkanmasyarakat sebagai pakan ternak, seperti itik. Bekicot menurut
jenisnya dapat dibedakan menjadi empat yakni; Achatina variegata, Achatina
fullica, Helix pomatia dan Helix aspersa sedangkan dua jenis terakhir tidak
ditemukan di Indonesia. Di Indonesia potensi bekicot ratarata meningkat sebesar
7,4 persen per tahun. Selain digunakan sebagai pakan ternak cangkangnya dapat
digunakan sebagai hiasan seperti gantungan kunci, tetapi tidak jarang
cangkang bekicot di buang begitu saja dan dibiarkan membusuk yang akhirnya
akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satu alternatif upaya
pemanfaatan limbah cangkang bekicot agar memiliki nilai dan daya guna limbah
cangkang bekicot menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi adalah
pengolahan menjadi kitin dan kitosan.

Cangkang bekicot (Achatina fullica) mengandung zat kitin sekitar 70% -


80% sedangkan dalam udang terdapat kitin sebanyak 15% - 20% dan rajungan
20% - 30% (Srijanto, 2003). Kitin adalah senyawa karbohidrat yang termasuk
dalam polisakarida tersusun atas monomer-monomer asetil glukosamin yang
saling berikatan (Saraswathy, 2001). Kitin merupakan bahan organik utama
terdapat pada kelompok hewan seperti, crustaceae, insekta, fungi, mollusca dan
arthropoda. Struktur kitin tersusun atas 2000-3000 satuan monomer N-asetil D-
Glukosamin yang saling berikatan melalui 1,4-glikosidik. Satu diantara enam
monosakarida yang menyusun rantai kitin adalah glukosamin (Suhardi,1993).
Kitin diperoleh dengan melakukan dua tahap utama yaitu deproteinasi dan
demineralisasi. Salah satu senyawa turunan kitin yaitu kitosan yang dibuat dengan
mendeasetilasi senyawa kitin.

Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai


industri kimia antara lain; sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan
pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, bidang farmasi,
pelarut lemak, dan pengawet makanan. Kitosan mempunyai bentuk mirip dengan
selulosa dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Kemampuan dalam menekan
pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan positif
yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. (Mekawati, dkk.,
2000). Penelitian kitosan sebagai adsorban telah banyak dilakukan dan semuanya
menunjukkan karakteristik sifat pada: (1)Kemampuannya yang cukup tinggi
dalam mengikat ion logam, (2) kemungkinan pengambilan kembali yang relative
mudah terhadap ion logam yang terikat kitosan dengan menggunakan pelarut
tertentu. Keuntungan adsorben kitosan adalah dapat digunakan untuk penanganan
limbah secara berulang-ulang (Muzzarelli,1997). Kitosan dengan sifat penukar
ionnya tergantung pada temperature, pH larutan, ukuran partikel, kristalisasi dan
derajat deasetilasi dari kitosan (Stephen, 1995). Logam tembaga merupakan salah
satu logam berat yang keberadaannya dalam lingkungan dapat berasal dari
pembuangan air limbah industri kimia yang berasal dari industry penyamakan
kulit, pelapisan logam, tekstil maupun industri cat. Pengaruh logam berat seperti,
tembaga (Cu) terhadap manusia dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
ginjal, saraf sentral dan circhosishati. Konsentrasi aman bagi manusia tidak lebih
dari 1 ppm. Pada domba dapat bersifat racun dengan konsentrasi melebihi 20
ppm, sedangkan pada konsentasi lebih dari 1 ppm akan bersifat racun pada semua
jenis tumbuhan. Oleh karena itu kandungan logam berat seperti tembaga dalam
limbah industri yang melebihi ambang batas harus diminimalkan sebelum dibuang
ke lingkungan. Dengan demikian diharapkan kitosan dari cangkang bekicot bisa
dimanfaatkan sebagai adsorban logam tembaga yang berbahaya bagi lingkungan.
Kitosan juga mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat ion
logam dan kemungkinan pengambilan kembali relative mudah terhadap ion yang
terikat terhadap kitosan dengan menggunakan pelarut tertentu sehingga bisa
digunakan secara berulang-ulang (Rahkmawati, 2007). Perlakuan fisika terhadap
cangkang bekicot meliputi pencucian, pengeringan, pengahancuran dengan
blender dan pengayakan. Pencucian dilakukan untuk membersihkan cangkang dari
kotoran. Lalu cangkang bekicot dikeringkan dimana tahap pengeringan bertujuan
menghilangkan air pada bekicot sehingga mudah untuk diblender kering,
pengeringan juga membuat bekicot tidak bau lagi. Lalu untuk memperkecil
ukuran cangkang bekicot, alat yang digunakan adalah alu dan lumpang, setelah
sedikit halus maka cangkang di blender untuk lebih memperkecil ukurannya.
Kemudian di ayak dengan ayakan 200 mesh agar didapat cangkang yang
berbentuk bubuk. Dari 100 cangkang bekicot diperoleh 45,5034 gram bubuk
cangkang bekicot.

Manfaat Kitosan
Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan
fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam
encer.Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik,
kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industry
makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil
warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan
hewan dan sebagainya (Suhardi 1992) Seiring dengan berkembangnya zaman,
maka kegiatan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya terus meningkat.
Hal ini memicu terus berkembangnya kegiatan perindustrian, termasuk di Negara
berkembang seperi Indonesia. Pertumbuhan kegiatan industri membawa berbagai
dampak bagi lingkungan dan manusia, baik itu dampak positif maupun negatif.
Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri adalah pencemaran
lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah sebagai bahan sisa kegiatan
produksi yang kehadirannya tidak dikehendaki karena tidak memiliki nilai
ekonomis. Salah satu jenis limbah yang dapat membahayakan kehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya adalah limbah logam berat. Logam berat berasal dari
limbah industri penyamakan kulit, pelapisan logam, fotograi, industri tekstil dan
dapat membahayakan lingkungan. Limbah ini bersifat akumulatif dalam tubuh
manusia, sehingga membahayakan kesehatan manusia.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi kadar logam berat
dalam limbah yang dibuang ke lingkungan. Salah satu caranya adalah dengan
menggunakan suatu adsorben dari jenis kitosan.
Kitosan merupakan senyawa hasil deasetilasi kitin. Senyawa kitin banyak
terdapat pada cangkang hewan jenis crustacea, salah satu contohnya adalah
kepiting. Pada umumnya cangkang kepiting yang berasal dari berbagai rumah
makan dengan menu seafood tidak diolah secara optimal. Bahan sisa pengolahan
makanan ini hanya dibuang begitu saja sehingga dapat menimbulkan pencemaran
di sekitar tempat pembuangan limbah cangkang kepiting. Padahal 71% limbah
tersebut mengandung senyawa kitin yang dapat diubah menjadi kitosan.
Diperkirakan 109 ton kitin dibiosintesis di alam tiap tahunnya dan terikat
pada bahan non polisakarida (protein atau lipida). Banyak penelitian yang
memanfaatkan limbah dari kepiting untuk diolah menjadi kitin dan kitosan.
Kitosan digunakan dalam berbagai bidang seperti agrikultur, penjernih dan
pemurnian air / minuman.
Ditambah lagi bahwa biopolymer ini merupakan bahan yang sumbernya
melimpah dan dapat terbarukan (renewable) maka dalam situasi pengurangan
sumber-sumber alam yang berkelanjutan serta perkembangan bioteknologi yang
demikian pesat menjadikan pemanfaatan sumber daya alam alternatif seperti kitin
dan kitosan merupakan hal yang sangat perlu dilakukan.
Besarnya proporsi gugus amino pada kitosan menyebabkan kitosan dapat
membentuk ikatan dengan beberapa ion logam dan beberapa peneliti telah
melaporkan studi tentang penggunaan membran atau butiran hidrogel kitosan
untuk penghilangan logam berat dari limbah melalui pengikatan logam oleh
kitosan membentuk ikatan koordinasi. Kemampuan adsorbs kitosan dihubungkan
dengan adanya gugus hidroksi (-OH) dan amina (-NH2), serta adanya gugus
amida (-NHCOCH3) pada kitin yang masing-masing dapat bertindak sebagai
ligan jika berinteraksi dengan logam .
Peningkatan kapasitas adsorbsi kitosan dapat dilakukan dengan
memperbesar luas permukaan kitosan yaitu dengan memodiikasi kitosan menjadi
bentuk beadhidrogel serta dengan memberikan agent crosslink pada bead kitosan
tersebut sehingga terbentuk bead kitosan yang berikatan silang. Kemampuan
kitosan untuk menjerap limbah krom tergantung pada derajat deasetilasinya.
Derajat deasetilasi tersebut menunjukkan jumlah gugus amino yang berikatan
pada kitosan yang berasal dari proses deasetilasi gugus asetamida. Gugus amino
ini yang akan mengikat logam pada limbah. Oleh karena itu, semakin besar
derajat deasetilasinya, logam yang terjerap semakin banyak. Besarnya derajat
deasetilasi dapat diketahui dengan menggunakan alat Fourier Transform Infra Red
(FTIR).
Dengan melihat berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan
informasi bahwa pembuatan kitosan dalam bentuk bead/ gel serta adanya proses
ikatan silang (crosslinked) yang dapat memperbesar kemampuan adsorbsi kitosan
terhadap ion logam maka pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan kitosan
dan derivate kitosan dari cangkang kepiting serta mempelajari kinetika
adsorbsinya terhadap logam krom. Derivat kitosan yang dimaksud adalah
preparasi kitosan menjadi bead kitosan yang berikatan silang oleh asetaldehid.
Isolasi kitin
Mencuci cangkang kepiting dengan air mengalir untuk menghilangkan
kotoran yang melekat, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80˚C selama
24 jam. Setelah itu cangkang kepiting yang telah kering dihaluskan sampai
berukuran 20-50 mesh, lalu diproses untuk mendapatkan kitin yaitu dengan
langkah sebagai berikut:

Deproteinasi (penghilangan protein)


Menambahkan NaOH 3% dengan perbandingan 1:6 (b/v) pada cangkang
kepiting yang telah dihaluskan, lalu dipanaskan pada suhu 80-85˚C selama 30
menit. Kemudian mendinginkan larutan hasil dan menyaringnya sehingga
didapatkan suatu padatan, setelah itu padatan dikeringkan pada suhu 80˚C selama
24 jam.

Demineralisasi (penghilangan mineral)


Mencampur cangkang kepiting dengan HCl 1,25 N dengan perbandingan
1:20 (b/v), lalu dipanaskan pada suhu 70-75˚C selama 1 jam. Larutan yang
terbentuk kemudian disaring sehingga didapatkan padatan. Padatan dicuci dengan
air hingga pH netral, kemudian dikeringkan pada suhu 80˚C selama 24 jam.
Produk yang dihasilkan ini merupakan kitin.

Deasetilasi Kitin Menjadi Kitosan


Mencampurkan serbuk kitin dengan larutan NaOH 50% dengan
perbandingan 1:10 (w/v) kemudian memanaskannya selama 6 jam dengan suhu
100˚C. Mencuci padatan yang diperoleh dengan aquades hingga pH netral setelah
itu dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 80˚C selama 24 jam. Produk
yang terbentuk dari proses ini adalah kitosan. Kitosan yang diperoleh selanjutnya
dianalisis dengan FTIR untuk menentukan derajat deasetilasinya (DD).

Crosslink kitosan
Bead kitosan yang terbentuk ditambahkan agen crosslinker asetaldehid 5M
dengan rasio 1:1 (v/v), larutan kemudian dicampur sampai homogen dengan
stirrer, dan dibiarkan selama 2 jam pada 80˚C. Kemudian bead kitosan yang
sudahdicrosslink dicuci dengan aquades untuk menghilangkan sisa NaOH, dan
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 600˚C sampai kering (± 8
jam).Adsorbsi Logam Cr oleh Kitosan dan Kitosan Hasil Modiikasi Sebanyak 50
mg kitosan dan kitosan hasil modiikasi diinteraksikan dengan 5 ml logam Cr
1mg/L dan waktu kontak dibuat bervariasi antara 30-90 menit dengan selang 15
menit. Setelah interaksi kemudian disaring dan iltratnya diukur dengan
spektrofotometer.

1. Produksi Kitosan
a. Tahap Deproteinasi
Tahap deproteinasi merupakan proses penghilangan protein yang terdapat
pada cangkang kepiting. Efektiitas proses deproteinasi bergantung pada
konsentrasi NaOH, waktu dan suhu yang digunakan. Menurut Cahyaningrum
(2001) makin tinggi konsentrasi dan suhu, proses pemisahan protein makin
efektif.
b. Tahap Demineralisasi
Tahap demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineral anorganik
yang ada pada cangkang kepiting. Mineral-mineral tersebut dapat dihilangkan
dengan menggunakan larutan HCl. Proses demineralisasi ditandai dengan
terbentuknya gas karbondioksida yang berupa gelembung pada saat larutan HCl
ditambahkan (Cahyaningrum, 2008). Senyawa Kalsium yang terdapat pada
cangkang kepiting akan bereaksi dengan asam klorida yang larut dalam air.

2. Sintesis Kitosan yang Dimodiikasi


a. Pembentukan Bead Kitosan melalui Proses Swelling
Proses swelling (penggembungan) pada kitosan dimaksudkan untuk
memperbesar ukuran pori-pori sehingga diharapkan akan menghasilkan kitosan
yang kapasitas adsorbsinya terhadap logam berat meningkat. Menurut
Cahyaningrum (2008) modiikasi dengan proses penggembungan kitosan menjadi
bead kitosan tidak merubah gugus fungsional sehingga dapat diharapkan bahwa
situs aktif antara kitosan dan bead kitosan adalah sama, sehingga interaksi kitosan
dan bead kitosan dengan ion logam mempunyai jenis interaksi yang sama.
Pembuatan bead kitosan dilakukan dengan melarutkan kitosan dalam asam asetat
1%, kemudian gel yang terbentuk diteteskan ke dalam larutan NaOH 5%
menggunakan pipet tetes. Hasil dari perlakuan tersebut merupakan bead kitosan
yang kemudian dicuci dengan aquades sampai pH netral.Pada proses pembuatan
bead kitosan terjadi re-polimerisasi kitosan, kitosan dibuat bentuk gel kemudian
dibentuk padat lagi dengan disemprotkan dalam larutan NaOH. Setelah melalui
tahap ini, diharapkan polimer kitosan lebih tertata sehingga strukturnya lebih
teratur dan apabila digunakan sebagai adsorben logam akan lebih efektif.
b. Pembentukan Bead Kitosan yang
Berikatan Silang oleh Asetaldehid sebagai Crosslink Agent
Salah satu upaya untuk meningkatkan kapasitas serap bead kitosan
terhadap logam berat adalah dengan menambahkan crosslink agent (pembentuk
ikatan silang). Bead kitosan yang dibentuk sebelumnya dapat mengalami
degradasi, cepat hancur, dan larut. Menurut Singh (2005), untuk menghindari
terjadiya dissolusi atau degradasi, maka digunakan suatu agen pengikat silang
pada hidrogel/bead kitosan. Terdapat banyak crosslink agent yang dapat
menyebabkan terjadinya ikatan silang pada kitosan. Diantaranya adalah jenis
aldehid dan anhidrat, misalnya saja formaldehid, asetaldehid, glutaraldehid, dan
asetat anhidrat yang sering digunakan sebagai crosslink agent karena harganya
yang relative murah dan mudah didapatkan. Pada penenlitian ini, digunakan
asetaldehid sebagai agen pembentuk ikatan silang. Adapun tujuan khusus
penggunaan asetalehid sebagai agen pengikat silang adalah agar bead kitosan
lebih stabil dalam keadaan asam, hal ini perlu dilakukan mengingat kitosan dalam
penelitian ini akan diaplikasikan untuk menjerap logam krom yang dimungkinkan
terdapat dalam limbah sedangkan kebanyakan senyawa-senyawa yang terdapat di
alam berada dalam keadaan asam (pH rendah).
Perbedaan hasil dari bead kitosan yang tersubstitusi asetaldehid dan
kitosan tanpa modiikasi dapat dilihat dari spectra FTIR masing-masing senyawa.
Perbedaan antara keduanya terdapat pada substituent alkil yaitu struktur amina (-
NH2) pada kitosan menjadi –NHR pada kitosan asetaldehid. Spektra FTIR dari
bead kitosan yang berikatan silang bentuknya hampir sama dengan kitosan tanpa
modiikasi. Puncak yang khas untuk kitosan terletak pada bilangan gelombang
3425 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus hidroksil –(OH) dan pada bilangan
gelombang 1597/cm untuk gugus amino. Sedangkan puncak serapan yang muncul
pada bilangan gelombang 1651/cm merupakan puncak khas yang dihasilkan
vibrasi regang C=O. Puncak yang terjadi pada bilangan gelombang 2800-
3000/cm menunjukkan adanya gugus CHalifatik pada kitosan maupun bead
kitosan yang berikatan silang. Adanya renggang (-OH) menunjukkan terjadinya
ikatan hidrogen, baik dalam struktur intra (antara O dengan H pada satu molekul
kitosan) maupun intermolekul (antara O dari satu molekul kitosan dengan H pada
molekul kitosan lainnya). Hal tersebut dibuktikan lagi dengan munculnya pita
serapan pada 1381 cm-1 dan 1257/cm yang dihasilkan dari serapan tekuk O-H.
Dibandingkan dengan kitosan, spektra bead kitosan yang berikatan silang oleh
asetaldehid terlihat tidak banyak mengalami perubahan. Berdasarkan spectra yang
diperoleh, puncak yang menunjukkan gugus amino bergeser dari 1597/cm (pada
spektra kitosan) menjadi 1581/cm (pada spektra kitosan yang dimodiikasi), hal ini
mengindikasikan terbentuknya ikatan imina (C=N) oleh reaksi pembentukan
ikatan silang antara gugus amino pada kitosan dengan gugus aldehid pada
asetaldehid. Puncak yang khas ini menegaskan terbentuknya basa Schiff setelah
reaksi antara kitosan dan asetaldehid berlangsung.
Daftar pustaka
Agus. 2011. Pemanfaatan Limbah Udang dan Kepiting. [online]. http://blog.Unp-
ad.ac.id/boanga/2011/08/22/pemanfaatan-limbah-udang-kepiting.html.
Diakases tanggal 24 Februari 2015
Krocha. 1992. Teknik Pelapisan Buah. [online]. http://krocha.blogspot.com/1992/
04/teknik-pelapisan-buah.html Diakses tanggal 24 Februari 2015
Saraswathy, 2001, A-Novel Bioinorganic Bone Implant Containing Deglued Bone
, Chitosan and Gelatin. Bull Mater Sci. Vol 24. No.4.
Srijanto, B., (2003), Kajian Pengembangan Teknologi Proses Produksi Kitin dan
Kitosan SecaraKimiawi, Prosiding seminar Nasional Teknik Kimia Indones-
ia2003, Volume I, hal. F01-1– F01-5
Zola. 2012. Teknik Pelapisan Pada Buah impor Untuk Pengawetan Buah. [online]
.http://www.sehatnews.com/2012/08/03/awas-buah-impor-gunakan-lapisan-
sebagai-pengawet.html Diakses tanggal 24 februari 2015

Anda mungkin juga menyukai