Anda di halaman 1dari 18

.BAB I.

.PENDAHULUAN.
.
1.1. Latar Belakang .
Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor
adalah udang. Udang pada umumnya dimanfaatkan tanpa kepala ataupun tanpa
kepala dan kulit. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari pembekuan juga
bervariasi, yang berkisar antara 65-85% dari berat udang, tergantung dari jenisnya.
Limbah udang padat biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai campuran
pakan ternak dan sebagian besar lainnya belum bisa termanfaatkan dengan tepat. .
Limbah padat crustacea berupa kulit, kepala dan kaki udang merupakan
salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan crustacea. Selama
ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk
dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan kini limbah udang dapat dijadikan bahan untuk membuat chitin dan
juga chitosan. .
Chitosan merupakan salah satu resin alami yang dapat dibuat dari kulit,
kepala dan kaki udang. Chitosan merupakan polimer alami yang bersifat non
toksik, lebih ramah lingkungan dan mudah terdegradasi secara alami. Chitosan
mempunyai sifat menyerap dan menggumpal yang baik. Senyawa ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang terdapat di limbah
perindustrian. .
Kemampuan chitosan untuk menyerap logam dengan cara pengikatan
yang dipengaruhi oleh kandungan nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya.
Logam-logam berat yang terdapat pada limbah industri percetakan tersebut
mempunyai daya afinitas yang berbeda terhadap chitosan. Logam tembaga
mempunyai daya afinitas terbesar dengan chitosan bila dibandingkan dengan
logam-logam lainnya. Pada perkembangan yang lebih lanjut, chitosan dari limbah
kulit udang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami. Kemampuannya
dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation
yang bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan

1
2

kapang, oleh karena itu untuk mendapatkan chitosan terbaik, penting untuk
mengidentifikasi zat yang terdapat pada kulit udang dan mengubahnya menjadi
bahan pengawet alami.

2
3

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang sebagai
bahan pengawet?
2. Bagaimana metode yang digunakan guna mendapatkan chitosan dengan
kualitas yang baik?
3. Bagaimana pengaruh pH terhadap kualitas chitosan yang dihasilkan?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
sebagai bahan pengawet.
2. Untuk mempelajari metode yang digunakan guna mendapatkan chitosan
dengan kualitas yang baik.
3. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kualitas chitosan yang
dihasilkan.

1.4. Manfaat
1. Mampu mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
sebagai bahan pengawet.
2. Mampu mempelajari metode yang digunakan guna mendapatkan chitosan
dengan kualitas yang baik.
3. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kualitas chitosan yang dihasilkan.
.BAB II.
.TINJAUAN PUSTAKA.
.
2.1. Limbah Kulit Udang .
Udang merupakan salah satu jenis hewan konsumsi air payau. Udang
memiliki badan beruas yang berjumlah 13 ruas terdiri dari 5 ruas kepala dan 8 ruas
dada serta seluruh tubuhnya udang ditutupi oleh kerangka luar yang disebut
eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasar sebagian besar terdiri dari
udang laut, hanya sebagian kecil yang terdiri dari udang air tawar, terutama di
daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya
termasuk dalam Palaemonide, dan udang laut termasuk ke dalam Penaeidae. .
Tubuh udang terbagi atas tiga bagian besar, yakni kepala dan dada, badan,
serta ekor. Sedangkan persentase bagian tersebut adalah 36-49% bagian kepala,
daging keseluruhan 24-41% dan kulit ekor 17-23% dari seluruh berat badan,
tergantung juga dari jenis udangnya. Tubuh udang terbagi menjadi dua bagian,
yaitu bagian cephalothorax dan bagian belakang yang disebut abdomen. Bagian
cephalothorax tertutup oleh karapas. Karapas ke arah anterior membentuk
tonjolan runcing bergerigi disebut rostrum. Seluruh tubuh udang terdiri atas
segmen-segmen yang terbungkus eksoskeleton dari chitin yang diperkeras dengan
kalsium karbonat..
Pemanfaatan udang untuk keperluan konsumsi menghasilkan limbah
dalam jumlah besar yang belum termanfaatkan secara komersial. Cangkang hewan
invertebrata laut, terutama crustacea mengandung chitin dalam jumlah kadar
tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies. Sedangkan cangkang kepiting
dapat mengandung chitin sampai dengan 70% dimana ketersediaannya sangat
banyak. ..
Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata
misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein,
lemak, vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor.
Udang dapat diolah dengan beberapa cara yaitu udang beku, udang kering, udang
kaleng, dan olahan lainnya. Sebanyak 40% berat udang menjadi limbah yaitu

4
bagian kulit dan kepala dari proses pembekuan. Pengolahan udang di Indonesia
mengalami proses cold storage yaitu bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang
sebagai limbah. .

5
6

Udang merupakan salah satu golongan binatang air yang termasuk dalam
golongan arthopoda (binatang berbuku-buku). Seluruh tubuh dari golongan ini
terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat
tanduk atau chitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat. Udang
merupakan salah satu biota laut yang memiliki harga yang ekonomis namun
mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan biota lain.
Salah satu jenis udang yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu udang vannamei. .
Pemanfaatan udang yang tinggi sebagai kebutuhan konsumsi
menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara
komersial. Cangkang hewan invertebrata laut, terutama crustacea mengandung
chitin dalam kadar tinggi yaitu sekitar 20%-60% sedangkan cangkang kepiting
dapat mengandung kitin sampai 70% dan ketersediaannya sangat banyak. Limbah
udang yang mencapai 30%-40% dari produksi udang beku belum banyak
dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah udang menjadi produk udang yang bernilai
ekonomis tinggi merupakan contoh yang baik untuk memperoleh makanan dengan
kandungan protein tinggi. .
Lebih dari 80.000 metrik ton chitin diperoleh dari limbah laut dunia per
tahun, sedangkan di Indonesia limbah chitin yang belum dimanfaatkan sebesar
56.200 metrik ton per tahun. Produksi tambak udang meningkat seiring dengan
meningkatnya demand. Udang yang diekspor di antaranya berbentuk beku (block
frozen) yang terdiri dari produk head on (utuh), headless (tanpa kepala), dan
peeled (tanpa kepala dan kulit). Keadaan tersebut menghasilkan limbah udang
dengan jumlah cukup besar yang terdiri dari bagian kepala, kulit, dan ekor udang. .
Kepala udang merupakan salah satu hasil proses pengolahan produk
perikanan yang dapat dibuat menjadi silase. Silase kepala udang ini juga dapat
menghasilkan limbah berupa ampas silase yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku kitosan, selain menghasilkan suatu produk berupa filtrat. Cangkang udang
mengandung protein 25%-40%, chitin 15%-20%, dan kalsium karbonat 45%-50%.
Kandungan chitin dari cangkang udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit
atau cangkang kepiting. Kandungan chitin pada limbah kepiting mencapai 50%-
60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, limbah cumi-cumi 40%,
7

dan limbah kerang 14%-35%. Limbah udang adalah bahan baku pembuatan
chitosan.
Limbah udang yang menumpuk dapat mencemari lingkungan di sekitar
pabrik sehingga perlu dimanfaatkan. Kulit udang selama ini hanya dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak.
Padahal 20-30% limbah tersebut mengandung senyawa chittin yang dapat diubah
menjadi chitosan. Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang
biasanya digunakan sebagai pakan ternak. Sejak dahulu bahkan hingga saat ini
masih ada masyarakat yang memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak.
Sebab jika limbah ini dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat
sangat tidak enak. Oleh karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan
hewan ternak. Kulit udang mengandung tiga komponen besar di dalamnya yaitu
berupa protein, mineral, dan juga chitin. Berikut tabel komposisi kulit udang,
yaitu:.

.Tabel 2.1. Komposisi Kulit Udang.


Senyawa Persentase(%)
Protein 53,74
Lemak 6,65
Chitin 14,61
Air 17,28
Abu 7,72
.(Sumber: Fachry dan Sartika, 2012)

Limbah kulit udang memiliki kandungan chitin di dalamnya yang dapat


ditransformasikan menjadi chitosan. Chitosan dapat dijadikan penyerap logam-
logam berat di dalam air, seperti tembaga (Cu), timbal (Pb) dan kadmium (Cd).
Pengurangan kadar logam dalam air limbah dapat menurunkan dampak negatif
kerusakan lingkungan. Selain harganya murah, limbah kulit udang mudah didapat
mengingat tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap udang relatif tinggi.
Hal ini sangat memungkinkan, dikarenakan senyawa chitin dan chitosan
mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia yang
8

tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai
penukar ion (ion exchanger) dan dapat berfungsi sebagai absorben terhadap
logam-logam berat yang sangat banyak terkandung di dalam air limbah buangan
industri.
Banyak penelitian secara intensif telah melakukan riset mengenai bahan
aktif untuk diaplikasikan terhadap produk-produk perairan guna menggantikan
bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut
adalah chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu
produk samping (limbah) dari pengolahan pada industri perikanan, khususnya
udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat
udang. Kadar chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan apabila
diproses menjadi chitosan dalam pembuatannya akan menghasilkan yield sebesar
15-20%. .
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu: epikutikula, eksokutikula,
endokutikula dan epidermis. Ketebalan dari kutikula udang bervariasi, bergantung
pada lokasinya. Ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang di daerah kepala
sebesar 75 mikron dan ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang pada daerah
lunak di bagian pangkal kaki hanya sebesar 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7%
zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium (Ca). Pada waktu terjadinya
proses moulting chitin, protein yang terdapat di dalam kulit udang yang lama akan
terlebih dulu diserap dan bahan anorganik di dalam kulit udang tidak akan diserap.
.
Sebelum moulting pada bagian epikutikula dan eksokutikula terbentuk
dan terpisah dengan kutikula yang lama, namun kemudian setelah terjadi moulting
segera kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam bagian eksokutikula dan dalam
waktu 5 jam penimbunan kalsium tersebut menjadi sempurna. Pertukaran kalsium
antara cairan tubuh udang dengan air laut berjalan melalui insang udang pada
bagian kepalanya, kira-kira sekitar 90% dari kalsium diserap dan 79% dilepaskan.
.
Chitin walaupun tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut chitosan adalah jenis udang-udangan
9

(crustaceae) yang dipanen secara komersial oleh industri pengolahan udang.


Limbah udang sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan chitin,
namun limbah ini mudah didapat dan tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah
hasil dari industri pengolahan udang. Limbah kulit udang dapat diolah untuk
mengambil kandungan chitin yang dapat diproses lebih lanjut sehingga
menghasilkan chitosan. Chitosan memiliki banyak manfaat dalam bidang industri,
antara lain adalah sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh
(non-toxic) pengganti formalin.
2.2. Sifat Fisika, Kimia dan Biologi Chitosan.
Multiguna chitosan tidak terlepas dari sifat alaminya. Sifat alami tersebut
dapat dibagi menjadi dua sifat besar yaitu sifat kimia dan biologi. Sifat kimia dan
sifat biologi chitosan antara lain merupakan polimer poliamin berbentuk linier,
mempunyai gugus amino aktif di dalamnya dan kemampuan menghelat beberapa
logam. Chitosan bersifat biokompatibel, artinya sebagai polimer alami sifatnya
tidak mempunyai akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah
diuraikan oleh mikroba (biodegradable), dan dapat berikatan dengan sel mamalia
dan mikroba secara agresif. Selain itu, mampu meningkatkan pembentukan yang
berperan dalam pembentukan tulang. Chitosan juga bersifat hemostatik,
fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol, dan sebagai depresan pada
sistem saraf. .
Berdasarkan sifat tersebut maka chitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu
mudah dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran, dan serat yang
sangat bermanfaat dalam aplikasinya. Chitosan banyak digunakan oleh berbagai
industri antara lain industri farmasi, kesehatan, biokimia, bioteknologi, pangan,
pengolahan limbah, kosmetik, agroindustri, industri tekstil, industri perkayuan,
industri kertas, dan industri elektronika. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang
dimiliki oleh chitosan adalah untuk pengolahan limbah cair terutama sebagai
bahan bersifat resin penukar ion untuk minimalisasi logam-logam berat,
mengoagulasi minyak atau lemak, serta penstabil minyak, rasa, dan lemak dalam
produk industri pangan. ..
10

Karakteristik dari chitosan antara lain memiliki struktur yang tidak


teratur, berbentuk kristalin atau semikristalin. Selain itu, chitosan juga dapat
berbentuk padatan .amorf. berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk
awal chitin
murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Sifat
kelarutan chitosan di dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung
dengan derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer yang dimiliki chitosan. ..
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Apabila chitosan disimpan
dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100°F, maka sifat
keseluruhan dan nilai viskositas akan berubah. Apabila chitosan disimpan lama
dalam keadaan terbuka di lingkungan, maka akan terjadi dekomposisi pada warna
yaitu menjadi warna kekuningan dan nilai viskositas mengalami penurunan. .
Chitosan tidak larut dalam air, namun larut dalam asam. Chitosan
memilki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan. Sebagian besar reaksi
karakteristiknya merupakan reaksi karakteristik chitin. Berbagai pelarut yang
digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi dalam bidang makanan. Pelarut
untuk melarutkan chitosan merupakan larutan asam format, asam asetat, asam
laktat, dan asam glutamat. Pada proses deasetilasi, chitin akan menghilangkan
gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif jika berada pada
kondisi asam (bersifat kationik) dan sangat menentukan sifat fungsional dari
produk chitosan. .
Chitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar 4,
tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut
alkohol, air, dan aseton. Dalam asam mineral pekat seperti HCl dan HNO 3, kitosan
larut pada konsentrasi 0,15-1,1%, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%. Chitin
mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat yang tidak
berbentuk (amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer
dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam
mineral yang pekat. Chitin kurang larut dibandingkan dengan selulosa dan
merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah
chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin. Karakteristik fisik-kimia chitosan
11

berwarna putih..dan..berbentuk..kristal,.dapat..larut..dalam..larutan..asam
.organik.,
Faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan chitosan sebagai
pengawet makanan adalah banyaknya gugus amina (NH 2) yang terkandung dalam
chitosan. Banyaknya gugus amina yang terdapat di dalam chitosan bergantung
pada gugus asetil yang terambil pada saat proses derajat deasetilasi terjadi.
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan,
karena chitosan memiliki polikation yang bermuatan positif sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan juga mampu berikatan dengan senyawa-
senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, dan
lain-lain. .
Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Chitosan sedikit mudah
larut dalam air dan mempunyai muatan positif kuat, yang dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain, mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun. Cara. memakainya. yaitu. larutkan. chitosan...dengan. air
.dan .campurkan
dengan cuka. Ikan kemudian dicelup ke dalam larutan tersebut, selanjutnya ikan
dijemur. Chitosan juga bisa dipakai untuk memperpanjang..usia tahu, bakso, mie,
maupun ikan basah selain mengawetkan ikan asin. Khusus..untuk mengawetkan
ikan basah, belum ditemukan campuran yang tepat dan pas. Pengawetan ikan.segar
menggunakan chitosan sejauh ini hanya mampu bertahan sekitar 2 hari. .

2.3. Aplikasi Penggunaan Chitosan .


Chitin dan chitosan sangat banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang,
di antaranya yaitu dalam bidang industri pengolahan limbah. Chitosan
diaplikasikan sebagai koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan
penyerap ion logam-logam berat, asam amino, dan bahan pencelup. Industri
makanan adalah contoh lain bidang yang mengaplikasikan chitosan. Chitosan
diaplikasikan sebagai bahan pengawet makanan, penstabil makanan, penstabil
warna, bahan pengental dan lain-lain. Chitosan juga telah diaplikasikan pada
12

bidang industri pertanian oleh masyarakat, yaitu digunakan sebagai pupuk,


pelindung biji, dan lain-lain. .
Industri kosmetik juga merupakan salah satu bidang yang
mengaplikasikan penggunaan chitosan. Chitosan pada industri kosmetik
digunakan sebagai pelembab kulit (moisturizer), krim wajah, tangan dan badan.
Penggunaan chitosan pada industri pertanian dan pangan adalah sebagai
pencampur ransum pakan ternak, serat bahan pangan, penstabil, pembentuk gel,
pembentuk tekstur, pengental dan pengemulsi produk olahan. Selain itu juga pada
industri pertanian dan pangan, chitosan juga sering dimanfaatkan dan
diaplikasikan sebagai pembawa zat aditif makanan, flavor (pemberi rasa) pada
makanan, zat gizi, virusidal tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan serta sayuran
dan penjernih sari buah-buahan. .
Dampak baik aplikasi chitosan juga telah dirasakan di bidang kedokteran.
Aplikasi chitosan pada bidang kedokteran yaitu dapat mencegah pertumbuhan
Candida albicans dan Staphvlacoccus aureus, zat antimikroba dan juga antijamur.
Selain itu, chitosan juga dapat berfungsi sebagai antikoagulan, antitumor,
antivirus. Chitosan sering kali diaplikasikan sebagai pembuluh darah-kulit dan
ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, aditif komestik, membran dialisis,
bahan shampoo, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka
dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan atau
antinfeksi. .
2.4. Bahan Pengawet ..
Bahan pengawet merupakan bahan tambahan makanan yang dibutuhkan
untuk mencegah aktivitas mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan
yang terjadi sesuai dengan pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa
terjaga sesuai dengan harapan konsumen. Dengan demikian pengawet diperlukan
dalam pengolahan makanan, namun kita tetap harus mempertimbangkan
keamanan. Hingga kini, penggunaan pengawet yang tidak sesuai masih sering
terjadi dan sudah semakin luas, tanpa mengindahkan dampaknya
terhadap kesehatan konsumen. ..
13

Sesuai SK Menkes RI Nomor 722 tahun 1988 tentang bahan tambahan


makanan, yang dimaksud bahan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang
digunakan untuk mencegah ataupun menghambat fermentasi pengasaman dan
peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Menurut
Food and Drugs Administration (FDA), keamanan suatu pengawet makanan harus
mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam produk makanan
atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam makanan dari penggunaan pengawet.
Jika dicerna oleh manusia atau hewan, termasuk potensi menyebabkan kanker. ..
Banyak produk pangan yang menggunakan pengawet sintesis yang
berbahaya bagi kesehatan, tetapi tidak semua bahan pengawet berbahaya.
Beberapa zat pengawet tidak berbahaya dalam makanan namun dapat
menimbulkan efek negatif. Contoh efek negatif yang terjadi bila mengkonsumsi
zat pengawet secara berlebihan adalah alergi bagi tubuh. Zat pengawet yang tidak
berbahaya namun dalam jangka panjang menimbulkan efek negatif yaitu kalsium
benzoat, sulfur dioksida, kalium nitrit, kalsium propionat, natrium metasulfat, dan
asam sorbat. .
Pengawet tidak boleh digunakan untuk mengelabui konsumen dengan
merubah tampilan dari makanan yang seharusnya terlihat. Contohnya pengawet
yang mengandung sulfat dilarang digunakan pada daging. Hal ini dikarenakan zat
tersebut dapat menyebabkan warna tampilan pada daging menjadi merah sehingga
masyarakat tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah daging tersebut
merupakan daging segar atau daging yang sudah tidak segar lagi. Akhir-akhir ini,
hampir semua masyarakat di Indonesia mengalami rasa was-was untuk
mengonsumsi makanan, khususnya makanan olahan yang basah seperti mie dan
bakso dan lain-lain.
Kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap bahan-bahan makanan
yang beredar di pasaran semakin meningkat. Masyarakat takut untuk membeli dan
mengonsumsi ikan segar dan ikan yang diasinkan. Padahal, ikan segar maupun
ikan yang diasinkan selama ini merupakan bahan makanan dengan sumber protein
tinggi yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Namun, peredaran formalin ketika itu
menguat, sehingga menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran di seluruh
14

Nusantara. Penyebab dari semua kekhawatiran tersebut karena dalam makanan


yang mereka konsumsi mungkin saja mengandung zat berbahaya (racun)
berupa formalin.
Para ahli menegaskan bahwa formalin itu sama sekali bukanlah sebuah
bahan pengawet pada makanan dan justru formalin adalah racun yang berbahaya
bagi orang yang mengonsumsinya, baik dalam jumlah yang sedikit maupun
banyak.
Kasus..temuan..bahan..formalin..dalam..beberapa..produk..makanan,..tidak...hanya
menyadarkan masyarakat untuk lebih selektif dan mengonsumsi makanan. Namun,
di sisi lain juga membuat kita meninjau kembali bagaimana seharusnya
penggunaan pengawet dalam makanan dan produk olahan lainnya. Hal ini
menimbulkan wacana terhadap alternatif bahan pengawet yang lebih aman
bagi kesehatan tubuh manusia.
Salah satu bahan pengawet ialah kalsium benzoat dapat menghambat
pertumbuhan bakteri penghasil racun, bakteri spora, dan bakteri bukan pembusuk.
Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur,
saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Pengawet ini memiliki dampak negatif pada
penderita asma dan reaktif terhadap aspirin dan dapat memicu serangan asma.
Bahan pengawet lainnya ialah sulfur dioksida (SO2) yang juga banyak
ditambahkan pada sari buah, buah kering, kacang kering, sirup, dan acar.
Walaupun memiliki banyak manfaat, penambahan bahan pengawet tersebut
berisiko menyebabkan luka pada lambung, mempercepat serangan asma, mutasi
genetik, kanker, dan alergi. Pengawet lainnya yaitu kalium nitrit memiliki warna
putih atau kuning dan kelarutannya tinggi di dalam air. Bahan ini dapat
menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat
serta sering digunakan pada daging yang telah diolah untuk mempertahankan
warna merah agar tampak selalu segar, misalnya pada corned beef. Jumlah nitrit
yang ditambahkan 0,1% atau 1 gram/kg bahan yang diawetkan dan untuk nitrat
0,2% atau 2 gram/kg karena bila lebih dari jumlah tersebut maka ada kemungkinan
terjadi keracunan.
Beberapa produk beraroma jeruk, berbahan keju, salad, buah, dan produk
minuman sering ditambahkan asam sorbat. Pengawet ini aman digunakan pada
15

konsentrasi tinggi namun dapat menyebabkan luka di kulit. Batas maksimum


penggunaan asam sorbat dengan satuan mg/l dalam makanan berturut-turut adalah
sari buah 400, sari buah pekat 2100, squash 800, sirup 800, dan minuman bersoda
400. Bahan pengawet yang berbahaya dan tidak layak untuk digunakan dalam
produk makanan dan sering beredar serta digunakan oleh oknum penjual yaitu
formalin, boraks, pewarna merah rhodamin B, dan pewarna kuning metanil
yellow..
Mutu chitosan terdiri beberapa parameter yaitu kadar air, kadar abu,
kelarutan, warna, dan derajat deasetilasi. Terdapat uji terhadap chitosan, dimana
pada uji aplikasi chitosan yang telah dilakukan pada beberapa produk ikan asin
seperti, jambal, teri, dan cumi, dalam uji atau riset yang dilakukan, kitosan akan
dilarukan di dalam asam asetat yang memiliki konsentrasi sebesar 1%. Ikan asin
tersebut akan diawetkan dengan cara dicelupkan selama rentang waktu tertentu
yang kemudian akan ditiriskan atauu dibersihkan. Secara umum jumlah kitosan
yang dibutuhkan untuk proses pengawetan makanan memiliki konsentrasi sekitar
1,5%, yang mana artinya di dalam satu liter pelarut dibutuhkan kitosan sekitar 15
gram. Berikut merupakan beberapa acuan atau standar dari kualitas kitosan yang
menyangkut beberapa faktor seperti kadar air, kadar abu dan ukuran partikel.

Tabel 2.2. Kualitas Standar Chitosan.


Sifat Nilai Komersial
Ukuran partikel Butiran bubuk
Kadar air < 10 %
Kadar abu <2%
Derajat deasetilasi > 70%
Viskositas (milipoise):
Rendah < 200
Medium 200-799
Tinggi 800-2000
Ekstra tinggi > 2000
(Sumber: Dompeipen dkk, 2016)
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Grinding
2. Water Bath
3. Neraca Analitik
4. Corong dan Kertas Saring
5. Beaker Glass
6. Kertas Lakmus Universal
7. Pipet Tetes
8. Oven
9. Spatula
3.1.2. Bahan
1. Kulit Udang
2. HCl
3. NaOH
4. Aquadest

3.2. Prosedur Percobaan


1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan. ..
2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga
menjadi bubuk atau powder. .
3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 gr, dicampur dengan 300 ml
aquadest. .
4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit
udang tadi dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar. .
5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang dimasukkan
dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali. .
6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 ml aquadest, direbus
selama 2 menit, kemudian saring kembali.

16
17

7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH


dengan menggunakan pH meter.
8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, S. 2011. Chitosan: Manufacture, Properties, and Usage. New York: Nova
Science Publisher.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta:
Ditjen POM
Dompeipen, E.J., Kaimudin, M., dan Dewa, R.P. 2016. Isolasi Kitin dan Kitosan
dari Limbah Kulit Udang. Majalah BIAM. 12(01): 32-38.
Fachry, A. R. dan Sartika, A. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang dan Limbah
Kulit Ari Singkong sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik Biodegradable.
Jurnal Teknik Kimia. 18(3): 1–9.
Muzarelli, R. 1997. Chitin Handbook. Europe: Chitin Society.
Pannell, L. 2007. Handbook of Food Products Manufacturing. Golden Valley:
John Wiley & Sons, Inc.
Thariq, M. 2008. Pengembangan Kitosan Terkini Pada Berbagai Aplikasi
Kehidupan: Review. Jurnal Mikrobiologi. 2(1): 49-62.

Anda mungkin juga menyukai