.PENDAHULUAN.
.
1.1. Latar Belakang .
Salah satu komoditas perikanan Indonesia yang berorientasi ekspor
adalah udang. Udang pada umumnya dimanfaatkan tanpa kepala ataupun tanpa
kepala dan kulit. Hal itu menyebabkan limbah yang berasal dari pembekuan juga
bervariasi, yang berkisar antara 65-85% dari berat udang, tergantung dari jenisnya.
Limbah udang padat biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai campuran
pakan ternak dan sebagian besar lainnya belum bisa termanfaatkan dengan tepat. .
Limbah padat crustacea berupa kulit, kepala dan kaki udang merupakan
salah satu masalah yang harus dihadapi oleh pabrik pengolahan crustacea. Selama
ini limbah tersebut dikeringkan dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk
dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan semakin majunya ilmu
pengetahuan kini limbah udang dapat dijadikan bahan untuk membuat chitin dan
juga chitosan. .
Chitosan merupakan salah satu resin alami yang dapat dibuat dari kulit,
kepala dan kaki udang. Chitosan merupakan polimer alami yang bersifat non
toksik, lebih ramah lingkungan dan mudah terdegradasi secara alami. Chitosan
mempunyai sifat menyerap dan menggumpal yang baik. Senyawa ini dapat
dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang terdapat di limbah
perindustrian. .
Kemampuan chitosan untuk menyerap logam dengan cara pengikatan
yang dipengaruhi oleh kandungan nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya.
Logam-logam berat yang terdapat pada limbah industri percetakan tersebut
mempunyai daya afinitas yang berbeda terhadap chitosan. Logam tembaga
mempunyai daya afinitas terbesar dengan chitosan bila dibandingkan dengan
logam-logam lainnya. Pada perkembangan yang lebih lanjut, chitosan dari limbah
kulit udang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami. Kemampuannya
dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation
yang bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan
1
2
kapang, oleh karena itu untuk mendapatkan chitosan terbaik, penting untuk
mengidentifikasi zat yang terdapat pada kulit udang dan mengubahnya menjadi
bahan pengawet alami.
2
3
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
sebagai bahan pengawet.
2. Untuk mempelajari metode yang digunakan guna mendapatkan chitosan
dengan kualitas yang baik.
3. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kualitas chitosan yang
dihasilkan.
1.4. Manfaat
1. Mampu mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang
sebagai bahan pengawet.
2. Mampu mempelajari metode yang digunakan guna mendapatkan chitosan
dengan kualitas yang baik.
3. Untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kualitas chitosan yang dihasilkan.
.BAB II.
.TINJAUAN PUSTAKA.
.
2.1. Limbah Kulit Udang .
Udang merupakan salah satu jenis hewan konsumsi air payau. Udang
memiliki badan beruas yang berjumlah 13 ruas terdiri dari 5 ruas kepala dan 8 ruas
dada serta seluruh tubuhnya udang ditutupi oleh kerangka luar yang disebut
eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasar sebagian besar terdiri dari
udang laut, hanya sebagian kecil yang terdiri dari udang air tawar, terutama di
daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya
termasuk dalam Palaemonide, dan udang laut termasuk ke dalam Penaeidae. .
Tubuh udang terbagi atas tiga bagian besar, yakni kepala dan dada, badan,
serta ekor. Sedangkan persentase bagian tersebut adalah 36-49% bagian kepala,
daging keseluruhan 24-41% dan kulit ekor 17-23% dari seluruh berat badan,
tergantung juga dari jenis udangnya. Tubuh udang terbagi menjadi dua bagian,
yaitu bagian cephalothorax dan bagian belakang yang disebut abdomen. Bagian
cephalothorax tertutup oleh karapas. Karapas ke arah anterior membentuk
tonjolan runcing bergerigi disebut rostrum. Seluruh tubuh udang terdiri atas
segmen-segmen yang terbungkus eksoskeleton dari chitin yang diperkeras dengan
kalsium karbonat..
Pemanfaatan udang untuk keperluan konsumsi menghasilkan limbah
dalam jumlah besar yang belum termanfaatkan secara komersial. Cangkang hewan
invertebrata laut, terutama crustacea mengandung chitin dalam jumlah kadar
tinggi, berkisar antara 20-60% tergantung spesies. Sedangkan cangkang kepiting
dapat mengandung chitin sampai dengan 70% dimana ketersediaannya sangat
banyak. ..
Potensi perairan di Indonesia kaya dengan berbagai jenis invertebrata
misalnya udang. Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein,
lemak, vitamin A dan B1, dan mengandung mineral seperti zat kapur dan fosfor.
Udang dapat diolah dengan beberapa cara yaitu udang beku, udang kering, udang
kaleng, dan olahan lainnya. Sebanyak 40% berat udang menjadi limbah yaitu
4
bagian kulit dan kepala dari proses pembekuan. Pengolahan udang di Indonesia
mengalami proses cold storage yaitu bagian kepala, ekor, dan kulit dibuang
sebagai limbah. .
5
6
Udang merupakan salah satu golongan binatang air yang termasuk dalam
golongan arthopoda (binatang berbuku-buku). Seluruh tubuh dari golongan ini
terdiri dari ruas-ruas yang terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat
tanduk atau chitin dan diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat. Udang
merupakan salah satu biota laut yang memiliki harga yang ekonomis namun
mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan biota lain.
Salah satu jenis udang yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu udang vannamei. .
Pemanfaatan udang yang tinggi sebagai kebutuhan konsumsi
menghasilkan limbah dalam jumlah besar yang belum dimanfaatkan secara
komersial. Cangkang hewan invertebrata laut, terutama crustacea mengandung
chitin dalam kadar tinggi yaitu sekitar 20%-60% sedangkan cangkang kepiting
dapat mengandung kitin sampai 70% dan ketersediaannya sangat banyak. Limbah
udang yang mencapai 30%-40% dari produksi udang beku belum banyak
dimanfaatkan. Pemanfaatan limbah udang menjadi produk udang yang bernilai
ekonomis tinggi merupakan contoh yang baik untuk memperoleh makanan dengan
kandungan protein tinggi. .
Lebih dari 80.000 metrik ton chitin diperoleh dari limbah laut dunia per
tahun, sedangkan di Indonesia limbah chitin yang belum dimanfaatkan sebesar
56.200 metrik ton per tahun. Produksi tambak udang meningkat seiring dengan
meningkatnya demand. Udang yang diekspor di antaranya berbentuk beku (block
frozen) yang terdiri dari produk head on (utuh), headless (tanpa kepala), dan
peeled (tanpa kepala dan kulit). Keadaan tersebut menghasilkan limbah udang
dengan jumlah cukup besar yang terdiri dari bagian kepala, kulit, dan ekor udang. .
Kepala udang merupakan salah satu hasil proses pengolahan produk
perikanan yang dapat dibuat menjadi silase. Silase kepala udang ini juga dapat
menghasilkan limbah berupa ampas silase yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku kitosan, selain menghasilkan suatu produk berupa filtrat. Cangkang udang
mengandung protein 25%-40%, chitin 15%-20%, dan kalsium karbonat 45%-50%.
Kandungan chitin dari cangkang udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit
atau cangkang kepiting. Kandungan chitin pada limbah kepiting mencapai 50%-
60%, sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, limbah cumi-cumi 40%,
7
dan limbah kerang 14%-35%. Limbah udang adalah bahan baku pembuatan
chitosan.
Limbah udang yang menumpuk dapat mencemari lingkungan di sekitar
pabrik sehingga perlu dimanfaatkan. Kulit udang selama ini hanya dimanfaatkan
sebagai bahan pembuatan kerupuk, terasi, dan suplemen bahan makanan ternak.
Padahal 20-30% limbah tersebut mengandung senyawa chittin yang dapat diubah
menjadi chitosan. Chitosan berasal dari limbah udang atau cangkang udang yang
biasanya digunakan sebagai pakan ternak. Sejak dahulu bahkan hingga saat ini
masih ada masyarakat yang memanfaatkan limbah udang ini menjadi pakan ternak.
Sebab jika limbah ini dibuang begitu saja dapat menimbulkan bau yang amat
sangat tidak enak. Oleh karena itu, biasanya limbah udang diolah menjadi pakan
hewan ternak. Kulit udang mengandung tiga komponen besar di dalamnya yaitu
berupa protein, mineral, dan juga chitin. Berikut tabel komposisi kulit udang,
yaitu:.
tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai
penukar ion (ion exchanger) dan dapat berfungsi sebagai absorben terhadap
logam-logam berat yang sangat banyak terkandung di dalam air limbah buangan
industri.
Banyak penelitian secara intensif telah melakukan riset mengenai bahan
aktif untuk diaplikasikan terhadap produk-produk perairan guna menggantikan
bahan-bahan kimia seperti formalin, klorin dan sianida. Salah satu produk tersebut
adalah chitosan. Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin yaitu
produk samping (limbah) dari pengolahan pada industri perikanan, khususnya
udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari total berat
udang. Kadar chitin dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan apabila
diproses menjadi chitosan dalam pembuatannya akan menghasilkan yield sebesar
15-20%. .
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu: epikutikula, eksokutikula,
endokutikula dan epidermis. Ketebalan dari kutikula udang bervariasi, bergantung
pada lokasinya. Ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang di daerah kepala
sebesar 75 mikron dan ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang pada daerah
lunak di bagian pangkal kaki hanya sebesar 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7%
zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium (Ca). Pada waktu terjadinya
proses moulting chitin, protein yang terdapat di dalam kulit udang yang lama akan
terlebih dulu diserap dan bahan anorganik di dalam kulit udang tidak akan diserap.
.
Sebelum moulting pada bagian epikutikula dan eksokutikula terbentuk
dan terpisah dengan kutikula yang lama, namun kemudian setelah terjadi moulting
segera kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam bagian eksokutikula dan dalam
waktu 5 jam penimbunan kalsium tersebut menjadi sempurna. Pertukaran kalsium
antara cairan tubuh udang dengan air laut berjalan melalui insang udang pada
bagian kepalanya, kira-kira sekitar 90% dari kalsium diserap dan 79% dilepaskan.
.
Chitin walaupun tersebar di alam, tetapi sumber utama yang digunakan
untuk pengembangan lebih lanjut chitosan adalah jenis udang-udangan
9
berwarna putih..dan..berbentuk..kristal,.dapat..larut..dalam..larutan..asam
.organik.,
Faktor yang paling berpengaruh terhadap kemampuan chitosan sebagai
pengawet makanan adalah banyaknya gugus amina (NH 2) yang terkandung dalam
chitosan. Banyaknya gugus amina yang terdapat di dalam chitosan bergantung
pada gugus asetil yang terambil pada saat proses derajat deasetilasi terjadi.
Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan,
karena chitosan memiliki polikation yang bermuatan positif sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan juga mampu berikatan dengan senyawa-
senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, dan
lain-lain. .
Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Chitosan sedikit mudah
larut dalam air dan mempunyai muatan positif kuat, yang dapat mengikat muatan
negatif dari senyawa lain, mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun. Cara. memakainya. yaitu. larutkan. chitosan...dengan. air
.dan .campurkan
dengan cuka. Ikan kemudian dicelup ke dalam larutan tersebut, selanjutnya ikan
dijemur. Chitosan juga bisa dipakai untuk memperpanjang..usia tahu, bakso, mie,
maupun ikan basah selain mengawetkan ikan asin. Khusus..untuk mengawetkan
ikan basah, belum ditemukan campuran yang tepat dan pas. Pengawetan ikan.segar
menggunakan chitosan sejauh ini hanya mampu bertahan sekitar 2 hari. .
16
17
Davis, S. 2011. Chitosan: Manufacture, Properties, and Usage. New York: Nova
Science Publisher.
Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta:
Ditjen POM
Dompeipen, E.J., Kaimudin, M., dan Dewa, R.P. 2016. Isolasi Kitin dan Kitosan
dari Limbah Kulit Udang. Majalah BIAM. 12(01): 32-38.
Fachry, A. R. dan Sartika, A. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang dan Limbah
Kulit Ari Singkong sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik Biodegradable.
Jurnal Teknik Kimia. 18(3): 1–9.
Muzarelli, R. 1997. Chitin Handbook. Europe: Chitin Society.
Pannell, L. 2007. Handbook of Food Products Manufacturing. Golden Valley:
John Wiley & Sons, Inc.
Thariq, M. 2008. Pengembangan Kitosan Terkini Pada Berbagai Aplikasi
Kehidupan: Review. Jurnal Mikrobiologi. 2(1): 49-62.