Anda di halaman 1dari 17

Nama : Fatina Shania

NIM : 03031381621088
Shift/Kelompok : Jumat Siang/7

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan kehidupan yang pesat, menjadikan objek kuliner sebagai
sarana usaha yang menjanjikan, seperti restoran seafood. Salah satu limbah yang
dihasilkan oleh restoran pengolahan makanan laut (seafood), yaitu kulit udang.
Limbah kulit udang memiliki bau yang tidak sedap, sehingga diperlukan tempat
yang tertutup untuk pengolahan limbah ini. Limbah kulit udang juga dapat menjadi
sarang tumbuhnya mikroba yang dapat membawa penyakit bagi makhluk hidup.
Solusi yang dilakukan yaitu dengan melakukan pemanfaatan kulit udang sebagai
bahan baku pada pembuatan chitosan. Chitosan merupakan salah satu resin alami
yang dibuat dari kulit, kepala dan kaki udang. Chitosan merupakan polimer alami
yang bersifat non toxic, ramah lingkungan dan mudah terdegradasi secara alami.
Kulit udang mengandung 20%-50% chitin dari berat kering. Kandungan
chitin yang ada pada kulit udang tersebut dapat diisolasi menjadi chitosan melalui
proses deasetilasi. Chitosan memiliki banyak manfaat di berbagai aspek kehidupan
seperti mengurangi pencemaran lingkungan sebagai adsorben dan juga pengawet
makanan. Chitosan mempunyai sifat menyerap dan menggumpal yang lebih baik.
Senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang
terdapat di limbah perindustrian. Kemampuan chitosan untuk menyerap logam
dengan cara pengikatan yang dipengaruhi oleh kandungan nitrogen yang tinggi
pada rantai-rantai polimernya. Logam-logam berat yang terdapat pada limbah
industri percetakan tersebut mempunyai daya afinitas yang berbeda terhadap
chitosan.
Logam tembaga mempunyai daya afinitas terbesar dengan chitosan
apabila dibandingkan dengan logam-logam lainnya. Kemampuan yang dimiliki
chitosan dalam menekan pertumbuhan suatu bakteri disebabkan karena chitosan
memiliki polikation yang bermuatan positif. Polikation yang bermuatan positif ini
mampu menghambat pertumbuhan darui suatu bakteri dan kapang. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan chitosan yang terbaik, penting untuk mengidentifikasi zat-

1
2

zat yang terdapat pada kulit udang dan mengubahnya menjadi bahan pengawet
yang alam.

2
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh dari ukuran bubuk kulit udang terhadap produk
chitosan?
2. Bagaimana mekanisme tahap deasetilasi dari chitin menjadi chitosan?
3. Bagaimana pengaruh dari proses penyaringan dalam pembuatan chitosan
terhadap produk yang dihasilkan?

1.2. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh dari ukuran bubuk kulit udang terhadap produk
chitosan.
2. Mengetahui mekanisme tahap deasetilasi dari chitin menjadi chitosan.
3. Mengetahui pengaruh dari proses penyaringan dalam pembuatan
chitosan terhadap produk yang dihasilkan.

1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengaruh dari ukuran bubuk kulit udang terhadap
produk chitosan.
2. Dapat mekanisme tahap deasetilasi dari chitin menjadi chitosan.
3. Dapat pengaruh dari proses penyaringan dalam pembuatan chitosan
terhadap produk yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Udang .
Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan
tergolong dalam kelas Crustacea. Tubuh udang terbagi menjadi tiga bagian besar
antara lain kepala dan dada, badan, serta ekor. Persentase bagian dari tubuh udang
yaitu 36%-49% bagian kepala, daging keseluruhan 24%-41% dan kulit ekor 17%-
23% dari seluruh berat badan, hal ini tergantung juga dari jenis udang. Tubuh
udang dikelompokkan menjadi dua, yaitu bagian cephalothorax dan bagian
abdomen. Bagian cephalothorax tertutup oleh karapas. Karapas ke arah anterior
membentuk tonjolan runcing bergerigi yang disebut rostrum. Seluruh tubuh udang
terdiri atas segmen-segmen yang terbungkus eksoskeleton dari chitin yang
diperkeras dengan kalsium karbonat (CaCO3)..Pemanfaatan udang untuk
konsumsi ini menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar dan juga belum
termanfaatkan secara komersial.
Udang sebagai salah satu biota laut yang memiliki harga yang ekonomis
namun mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
biota laut lain. Salah satu jenis udang yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu
udang vannamei. Cangkang hewan dari invertebrata laut, terutama pada kelas
Crustacea mengandung chitin dalam kadar yang tinggi, yaitu 20%-60%,
sedangkan cangkang kepiting mengandung chitin 70% dan ketersediaannya sangat
banyak. Limbah udang mencapai 30%-40% dari produksi udang beku belum
banyak dimanfaatkan.
Kepala udang merupakan salah satu hasil proses dari pengolahan produk
perikanan yang dapat dibuat menjadi silase. Silase kepala udang ini juga dapat
menghasilkan limbah berupa ampas silase yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku kitosan, selain menghasilkan suatu produk berupa filtrat. Kandungan dari
cangkang udang antara lain protein 25%-40%, chitin 15%-20%, dan CaCO3 45%-
50%. Kandungan chitin yang terdapat pada cangkang udang lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan kulit atau cangkang dari kepiting. Kandungan chitin yang

3
4

terdapat pada limbah kepiting mencapai 50%-60%, sementara limbah udang


menghasilkan 42%-57%, limbah cumi-cumi 40%, dan limbah kerang 14%-35%.
Limbah udang sebanyak 20%-30% dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
chitosan yang mengandung senyawa chitin. Limbah dari kulit udang memiliki
kandungan chitin di dalamnya yang dapat ditransformasikan menjadi chitosan.
Chitosan dapat dijadikan penyerap logam-logam berat yang terdapat di dalam air,
seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), dan kadmium (Cd). Pengurangan kadar logam
dalam air limbah dapat menurunkan dampak negatif kerusakan lingkungan. Hal
ini dikarenakan harganya murah dan limbah dari kulit udang juga mudah didapat
mengingat tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap udang relatif tinggi.
Senyawa chitin dan chitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi
koagulasi, reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit
kation. Senyawa tersebut dapat berperan sebagai penukar ion (ion exchanger) dan
dapat berfungsi sebagai absorben terhadap logam-logam berat yang sangat banyak
terkandung di dalam air limbah buangan industri. Chitosan merupakan produk
turunan dari polimer chitin yaitu produk samping (limbah) dari pengolahan pada
industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah dari kepala udang
mencapai 35%-50% dari total berat udang. Pembuatan chitosan yang
menggunakan limbah udang sebagai bahan bakunya akan menghasilkan yield
sebesar 15%-20%.
Kulit udang terdiri atas empat lapisan, yaitu epikutikula, eksokutikula,
endokutikula dan epidermis. Ketebalan dari kutikula udang bervariasi, bergantung
pada lokasinya. Ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang di daerah kepala
sebesar 75 mikron dan ketebalan kutikula yang dimiliki oleh udang pada daerah
lunak di bagian pangkal kaki hanya sebesar 5 mikron. Kutikula terdiri dari 38,7%
zat anorganik yang mengandung 98,5% kalsium (Ca). Protein yang terdapat di
dalam kulit udang yang lama akan terlebih dulu diserap dan bahan anorganik di
dalam kulit udang tidak diserap pada saat waktu terjadinya proses moulting chitin.
Bagian epikutikula dan bagian eksokutikula terbentuk dan terpisah
dengan kutikula yang lama sebelum moulting, namun kemudian setelah terjadi
5

moulting segera kalsium perlahan-lahan tertimbun ke dalam bagian eksokutikula.


Waktu penimbunan kalsium selama 5 jam menjadi sempurna. Pertukaran kalsium
antara cairan tubuh udang dengan air laut berjalan melalui insang udang pada
bagian kepalanya, kira-kira sekitar 90% dari kalsium akan diserap dan 79%
dilepaskan.
Chitin walaupun tersebar secara luas di alam, tetapi sumber utama yang
digunakan untuk pengembangan lebih lanjut sebagai chitosan adalah jenis udang-
udangan (crustaceae) yang dipanen secara komersial oleh industri pengolahan
udang. Limbah udang ini sebenarnya bukan merupakan sumber yang kaya akan
kandungan chitin di dalamnya, namun limbah udang ini mudah didapat dan
tersedia dalam jumlah yang besar sebagai limbah hasil dari industri pengolahan
udang.
Limbah kulit udang dapat diolah untuk mengambil kandungan chitin
yang dapat diproses lebih lanjut sehingga menghasilkan chitosan. Isolasi
kandungan chitin dari limbah kulit udang dilakukan bertahap, yaitu tahap
pemisahan protein (deproteinasi) dengan menggunakan suatu larutan yang basa,
demineralisasi, dan tahap pemucatan (bleaching) menggunakan senyawa aseton
dan natrium hipoklorit. Transformasi dari senyawa chitin menjadi chitosan
dilakukan tahap deasetilasi dengan basa yang berkonsentrasi tinggi. Chitosan
memiliki banyak manfaat dalam bidang industri, antara lain chitosan dapat
digunakan sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya bagi tubuh (non
toxic) dan dapat menggantikan formalin.

2.2. Chitin
Chitin merupakan penyusun kulit hewan-hewan kelas Crustacea, seperti
udang, kerang, dan sebagainya. Chitosan yang merupakan turunan dari senyawa
chitin sangat mudah didapat dari kepiting, udang, lobster, dan kulit udang karang.
Berdasarkan proses pembuatan chitosan yang merupakan turunan dari chitin ini,
diperlukan penghilangan protein, kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang ada.
Kata kitin atau chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu “chiton”, yang
berarti baju rantai besi. Kata tersebut menggambarkan fungsi dari material chitin
6

sebagai jaket pelindung pada hewan invertebrata. Senyawa chitin tidak berada
dalam keadaan bebas, akan tetapi kitin berikatan dengan protein, mineral, dan
berbagai macam pigmen. Chitin merupakan bahan yang tidak mengandung zat
racun dan bersifat biodegradable. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang
berwarna putih. Chitin hampir tidak dapat larut dalam air, asam encer, dan basa.
Chitin dapat larut dalam asam format, asam metanasulfonat, N-dimetilasetamida.
Chitin memiliki kandungan sekitar 5% dari litium klorida, hexafluoroisopropil
alcohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat.
Tabel 2.1. Spesifikasi Kitin
Parameter Ciri
Ukuran Partikel Serpihan sampai bubuk
Kadar Air ≤ 10,0
Kadar Abu ≤ 2,0
N-deasetilasi ≤ 15,0
Kelarutan dalam
Air Tidak larut
Asam Encer Tidak larut
Pelarut Organik Tidak larut
Dimetilasida Sebagian larut
Enzim Pemecah Lisozim dan Kitinase
(Sumber: Muzarelli, 1997)

Chitin memiliki rumus molekul (C8H13NO5)n yang tersusun atas 47% C,


6% H, 7% N, dan 40% O.. Struktur chitin menyerupai struktur selulosa dan hanya
berbeda pada gugus yang terikat pada posisi atom C-2. Gugus yang terdapat pada
C-2 selulosa adalah gugus hidroksil, sedangkan.pada C-2 chitin adalah gugus N-
asetil (-NHCOCH3 asetamida). Kepiting mengandung persentase dari chitin paling
tinggi (70%) diantara insekta, cacing maupung mikrobiologi lain seperti fungi.
Chitin asli diidealkan sebagai homopolimer linier yang disusun oleh unit
2-asetamida-2-deoksi-D-glukopiranosa (GlcNAc) dan dihubungkan dengan ikatan
glikosida β-(1-4). Chitin umumnya sangat terkait dengan protein dan karbonat,
7

seperti pada eksoskeleton krustasea, ekstraksi chitin dari biomassa memerlukan


perlakuan kimia yang dapat memicu reaksi samping. Contohnya yaitu pelepasan
N-deasetilasi dari suatu unit GlcNAc, oksidasi dan depolimerisasi parsial,
tergantung kepada tingkat kekerasan perlakuannya dalam proses yang sedang
berlangsung.
Rantai dari chitin memiliki pengaturan yang berbeda dalam keadaan
padat tergantung tempat terbentuk organisme dan pada fungsi yang akan
dimainkannya. Rantai chitin menghasilkan tiga alomorf berbeda, yaitu alpha-
chitin, beta-chitin dan gamma-chitin. Alpha-chitin merupakan alomorf yang lebih
stabil dan tersebar luas. Alpha-chitin terbentuk dari kekakuan dan ketahanan
mekanis yang akan dibutuhkan, seperti pada kerang krustasea, dan memiliki
kemasan padat. Hal ini dikarenakan banyaknya ikatan hidrogen rantai inter, intra,
dan interlamellar, serta disukai oleh orientasi antiparalel dari rantai polimer dalam
domain yang diatur.
Beta-chitin akan menghasilkan fleksibilitas dan ketangguhan squid pens.
Rantai polimer dapat ditempatkan dalam orientasi paralel dalam beta-chitin, tidak
menyukai pembentukan ikatan hidrogen yang melibatkan rantai yang berkaitan
dengan lamella yang berbeda. Rantai polimer akan menghasilkan kemasan yang
kurang padat jika dibandingkan dengan alpha-chitin. Gamma-chitin yang bersifat
alomorf, jauh lebih jarang ditemui jika dibandingkan dengan alpha dan beta-
chitin. Gamma-chitin tidak banyak dipelajari dan diklaim memiliki karakteristik
alpha dan beta-chitin. Karakterisasi alomorf chitin biasanya dilakukan dengan
menggunakan suatu spektroskopi NMR inframerah padat dan menggunakan
difraksi sinar-X.
Chitin terdapat dalam eksoskeleton serangga, laba-laba dan Crustasea,
termasuk udang, kepiting, udang karang, lobster dan kril, squid pens, pada ikan
bertulang, pada dinding sel beberapa jamur, seperti Ascomycetes, Zygomycetes,
Basidiomycetes dan Deuteromycetes, dan dalam alga. Sampel chitin memiliki
kandungan unit N-asetil glukosamin yang tinggi, sehingga tidak dapat larut di
dalam air dan pelarut organik biasa. Chitin hanya larut pada N-dimetilasetamida,
heksafluoroaseton atau heksafluoro-2-propanol. N-asetilasi dapat didefinisikan
8

sebagai jumlah rata-rata dari unit N-asetil-D-glukosamin per 100 monomer yang
dinyatakan sebagai persentase. Tingkat kandungan N-asetilasi kurang dari 50%
menunjukkan bahwa chitin menjadi larut dalam larutan asam berair dengan pH
yang dihasilkan kurang dari 6,0. Hal inilah yang dapat disebut sebagai chitosan.

2.3. Karakteristik Chitosan


Karakteristik dari chitosan antara lain memiliki struktur yang tidak
teratur, berbentuk kristalin atau semikristalin. Chitosan juga dapat berbentuk
padatan amorf. berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal
chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai
chitin. Sifat kelarutan chitosan di dalam larutan asam serta viskositas larutannya
tergantung dengan derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer-polimer dari
chitosan.
Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Chitosan yang disimpan
dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100°F menyebabkan sifat
keseluruhan dan nilai viskositas akan berubah. Chitosan yang disimpan lama
dalam keadaan terbuka di lingkungan, maka akan terjadi dekomposisi pada warna
yaitu berubah menjadi warna kekuningan dan nilai viskositas menjadi penurunan.
Chitosan tidak larut dalam air, namun larut dalam asam. Chitosan
memilki viskositas yang cukup tinggi ketika akan dilarutkan. Pelarut yang
umumnya dapat digunakan untuk melarutkan chitosan merupakan larutan asam
format, asam asetat, asam laktat, dan asam glutamat. Chitin pada proses
deasetilasi akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang
bermuatan positif jika berada pada kondisi asam (bersifat kationik) dan sangat
menentukan sifat fungsional produk.
Chitosan larut pada kebanyakan larutan asam organik pada pH sekitar
4,0, tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5 juga tidak larut dalam pelarut
alkohol, air, dan aseton. Chitosan larut pada konsentrasi 0,15-1,1% dalam asam
mineral pekat seperti HCl dan HNO3, tetapi tidak larut pada konsentrasi 10%.
Chitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 merupakan zat padat yang tidak
berbentuk (amorphous), tidak larut dalam air, asam anorganik encer, alkali encer
dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam
9

mineral yang pekat. Chitin kurang larut jika dibandingkan dengan selulosa dan
merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah
chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin. Karakteristik fisik kimia yang
dimiliki chitosan, yaitu berwarna putih, berbentuk kristal serta dapat larut dalam
larutan asam organik.

2.4. Chitosan sebagai Bahan Pengawet


Cangkang dari kepiting dan udang dapat diproses menjadi suatu
chitosan. Cangkang tersebut melalui proses deproteinisasi dapat diolah menjadi
senyawa chitin hingga akhirnya menjadi chitosan. Chitosan mempunyai
kemampuan untuk mengikat lemak sebagai pengawet makanan. Chitosan sebagai
bahan pengawet makanan maka diharapkan mampu menghambat dan membunuh
pertumbuhan kapang Aspergillus flavus sebagai mikroorganisme pembusuk
makanan. Chitosan yang dihasilkan dari cangkang diharapkan berfungsi sebagai
anti kapang dalam menjaga kualitas makanan sehingga dapat direalisasikan
kepada masyarakat luas.
Salah satu pemanfaatan dari chitosan baru dapat dilihat setelah dipecah
dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu oligomer chitosan. Proses pemecahan
chitosan dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti radiasi suara dan
hidrolisis secara kimiawi. Nilai yield dari hasil pemotongan tersebut sangat rendah
apabila menggunakan metode diatas karena pemotongan bersifat acak sehingga
akan menghasilkan bentukan oligomernya jadi tidak seragam. Oleh karena itu,
metode yang lebih sering digunakan adalah metode enzimatik karena enzim
bekerja secara spesifik dan tentunya hasil pemotongannya juga akan lebih
seragam. Contoh enzim yang sering digunakan adalah chitosanase dan beberapa
sellulase yang diisolasi dari fungi chitosan yang dapat berfungsi untuk melindungi
daging buah dan sayuran dengan menggunakan dua mekanisme yaitu secara fisik
dan kimiawi.
Chitosan secara fisik membentuk suatu lapisan film yang membungkus
permukaan produk dan mengatur pertukaran gas dan kelembaban. Chitosan secara
kimiawi bersifat fungisidal dan merangsang respon resistensi pasca panen pada
10

jaringan tanaman. Aktifitas antifugal dan merangsang ketahanan dari chitosan


menjanjikan kemungkinan yang lebih baik untuk pengendalian penyakit tanaman.
Chitosan adalah sebuah deasetil dari chitin yang memberikan sifat antifugal yang
berperan untuk memancing atau mendapatkan ketahanan tanaman yang potensial
untuk melawan jamur patogen. Chitosan sebanyak 1000 μg/ml sangat efektif
dalam hal mengurangi pertumbuhan dari beberapa jamur yang telah diuji
sebelumnya.
Efek dari pemberian chitosan terhadap tingkat kerusakan buah

strawberry yang.diinokulasi dengan suspensi spora Botrytis cinerea atau


Rhizopus stolonifer kemudian diberi dengan larutan chitosan (10 mg/ml-15
mg/ml). Penyimpanan setelah 14 hari terjadi kerusakan yang disebabkan oleh
spora yang sangat nyata pengurangannya dengan pemberian chitosan. Chitosan

sangat efektif menghambat pertumbuhan spora.dan perpanjangan germ tube dari


spora tersebut pada media. Mekanisme dari chitosan dapat berfungsi untuk
memperlama waktu pembusukan atau kerusakan pada buah strawberry, serta
dapat memberikan perlindungan dari serangan jamur pathogen. Kemampuan yang
dimiliki oleh chitosan juga dapat meningkatkan suatu enzim seperti chitinase,
chitosanase, dan beta-1,3-glukanase.
Chitosan merupakan suatu produk turunan dari polimer chitin yakni

produk samping.limbah dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang,

kepiting dan rajungan yang memiliki.bentuk mirip dengan selulosa dan bedanya
terletak pada gugus C-2. Chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal serta
dapat larut dalam larutan asam organik tetapi tidak laru dalam pelarut organik
lainnya. Chitosan memiliki gugus amino yang bermuatan positif, hal ini berbeda
dengan polisakarida.
Chitosan dapat berfungsi sebagai antifungi, antibakteri, pelapis (coating),
penyerap air dan lemak. Pelapis dari polisakarida merupakan penghalang (barrier)
yang baik. Hal ini dikarenakan pelapis jenis ini bisa membentuk matrik yang kuat

dan kompak. Chitosan juga.memiliki sifat selektif permeabel terhadap CO 2 dan


11

O2. Polikation alam dari chitosan dapat menghambat pertumbuhan dari suatu
kapang dan jamur pathogen, seperti Fusarium oxysporum, Rhizoetonin solani, dan
Pythium paroccandrum. Chitosan merupakan bahan yang berasal dari alam yang
ramah lingkungan. Keunggulan dari pengawet alami chitosan dibanding dengan
formalin meliputi aspek organoleptik, daya awet, keamanan pangan serta nilai
ekonomis. Uji organoleptik (kenampakan, rasa, bau dan tekstur) pengawetan

dengan chitosan.menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan pengawet


formalin. Penggunaan bahan menggunakan bahan tambahan makanan ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain nilai gizi, sifat organoleptik dan
keamanan makanan yang dikonsumsi. Kandungan dan nilai gizi chitosan, yaitu
karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Organoleptik yaitu sifat-sifat
yang dapat dinilai dengan menggunakan panca indra manusia seperti (bentuk,
ukuran, dan warna), cita rasa, dan tekstur, yaitu sifat yang dinilai dengan indra
peraba (halus, lembut dan kasar).
Makanan yang aman untuk dikonsumsi harus memiliki syarat berupa
terbebas dari bahan-bahan kimia berbahaya atau pencema atau racun yang bersifat
mikrobiologi. Chitosan sudah dikenal luas sebagai bahan antibakteri yang lebih
kuat jika dibandingkan dengan asam laktat, antiparasitik, antasid, penghelat
radikal bebas, pengemulsi, pengental, pengawet dan immobilisasi pada enzim.
Chitosan juga digunakan sebagai bahan pengawet yang alami . Chitosan yang
terbuat dari prinsip nanoteknologi akan memberikan hasil yang jauh lebih efektif
dan efisien.
Pemanfaatan biomaterial chitin atau chitosan dan turunannya seringkali
terkendala oleh faktor keekonomian dan informasi keamanannya yang masih
minim. Pemanfaatan untuk produk farmasi dan biomedika, kosmetika, pangan dan
bidang bioteknologi merupakan salah satu langkah untuk mengatasi keekonomian.
Selain itu, pengembangan produk berbasis chitin atau chitosan masih akan terus
berkembang di masa depan, terutama pada aspek modifikasi struktur, teknologi
sediaan dan toksisitasnya. Chitosan bersifat biodegradable, biocompatible, non
toxic, memiliki aktivitas anti mikroba, dapat mengelat ion logam berat, dapat
12

membentuk gel, serta memiliki afinitas yang tinggi pada protein. Modifikasi kimia
terhadap chitosan untuk meningkatkan kebergunaannya telah banyak diujikan.
Salah satunya modifikasi kimia terhadap chitosan adalah penambahan
hidrokoloid untuk memperbaiki sifat gel chitosan. Contohnya yaitu alginat, gom
guar, gom xantan, karboksimetil selulosa, dan hialuronat. Kompleks polielektrolit
(PEC) dari campuran chitosan dan hialuronat telah diuji kepekaannya terhadap
stimulasi listrik. Sifat pembengkakan (swelling) kompleks ini juga bergantung
pada pH. Pembengkakan film chitosan hialuronat pada pH 4,0 dapat mencapai
hingga 1300% atau dengan kata lain film tersebut dapat menyerap air sebanyak 13
kali lebih besar daripada bobot awalnya. Film ini labil pada kondisi asam dan basa
sehingga perlu adanya dimodifikasi, agar terbentuk gel dengan sifat mekanik baik.
Salah satu modifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan sifat-sifat
mekanik gel chitosan hialuronat yaitu dengan penambahan suatu penaut silang
glutaraldehida. Hidrogel hialuronat sendiri juga dapat berpotensi sebagai sistem
pengantaran obat antiradang. Sel yang mengalami peradangan akan menghasilkan
radikal hidroksil. Reaksi hidroksil tersebut yang dapat mendegradasi hialuronat.

2.5. Kelebihan dan Kekurangan Chitosan


Keuntungan dari chitosan adalah karena bahannya yang melimpah, biaya
yang tidak mahal, biokompatibilitas yang tidak tinggi, biodegrabilitas yang baik,
dan modifikasi kimia yang cukup mudah. Sifat.biokompatibilitas yang dimilki
chitosan disebabkan karena memiliki struktur yang mirip dengan glukosamin
pada matriks ekstra selular. Chitosan memiliki muatan ionypositif, sehingga
chitosan memiliki kemampuan.untuk berlekatan dengan muatan negative dari
lemak, lipid, kolesterol, ion logam, proterin, dan macromolecules. Chitosan
sendiri tidak mengandung kalori. Chitosan ketika diminum, melekatkan diri dan
mengikat lemak yang lewat di dalam usus sebelum diserap oleh darah dan
dibuang melalui saluran pencernaan . Chitosan dapat menyerap lemak dalam
tubuh dengan cukup baik.
Beberapa penelitian yang telah berhasil membuktikan bahwa chitosan
dapat menurunkan kolesterol tanpa menimbulkan efek samping. Penggunaan dari
chitosan harus tetap terkontrol, karena chitosan juga dapat menyerap mineral
13

kalsium dan vitamin yang ada di dalam tubuh. Chitosan mampu mengurangi
penyerapan lemak. Olahan dari chitosan juga dapat dikembangkan dalam bidang
biomedis. Chitosan digunakan pada pembalut luka untuk membantu pembekuan
darah yang memiliki sifat antibakteri dan mikroba, maka tidak mengherankan jika
sekarang banyak produk chitosan yang dapat digunakan pada bidang kesehatan.
Manfaat lainnya yaitu bubuk chitosan juga mempunyai kemapuan untuk
koagulasi, misalnya apabila bubuk tersebut dimasukan ke dalam gelas berisi air
dan minyak sawit, maka minyak tersebut akan terkoagulasi menjadi bentuk
gumpalan-gumpalan. Disamping kemampuan tersebut, chitosan juga dapat
berfungsi sebagai antimikroba. Pemanfaatan chitin dari limbah cangkang udang
untuk bahan utama dan bahan pendukung dalam berbagai bidang dan industri
sangat menguntungkan karena bahan baku tersebut berupa limbah yang berasal
dari sumber daya lokal. Chitosan merupakan jenis polisakarida yang unik dan
telah secara luas digunakan dalam berbagai macam aplikasi biomedis. Hal ini
disebabkan karena kemudahan kecocokan chitosan dengan unsur makhluk hidup
lainnya, toksisitasnya rendah, mudah diuraikan, tidak bersifat imunogenik, dan
sifatnya yang non karsinogenik.
Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh chitosan, maka
perkembangan dari produk olahan chitosan perlu untuk terus dilakukan, sehingga
menjadi produk yang lebih mudah digunakan dan memiliki manfaat yang lebih
bagi manusia. Perlu diperhatikan kepada orang-orang yang biasanya mengalami
alergi terhadap makanan.laut sebaiknya menghindari dari mengkonsumsi tablet
atau pil dari produk chitosan. Namun, orang.yang alergi terhadap kerang adalah
alergi terhadap daging, bukan terhadap cangkangnya. Beberapa ahli kesehatan
percaya bahwa chitosan mungkin tidak menjadi masalah bagi orang alergi dengan
kerang.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Grinding
2. Water Bath
3. Neraca Analitik
4. Corong dan Kertas Saring
5. Beaker Glass
6. Kertas Lakmus Universal
7. Pipet Tetes
8. Oven
9. Spatula
3.1.2. Bahan
1. Kulit Udang
2. HCl
3. NaOH
4. Aquadest

3.2. Prosedur Percobaan


1. Pisahkan udang dan kulitnya kemudian cuci bersih dan keringkan. ..
2. Gerus sampai halus kulit udang yang telah dikeringkan tadi hingga
menjadi bubuk atau powder. .
3. Timbang bubuk kulit udang sebanyak 5 g, dicampur dengan 300 mL
aquadest. .
4. Kemudian masukkan HCl sebanyak 3 tetes, selanjutnya larutan kulit
udang tadi dipanaskan selama 2 menit, diamkan sebentar. .
5. Larutan tadi disaring dengan kertas saring, slurry kulit udang
dimasukkan dalam beker gelas kemudian dicuci serta disaring kembali. .

14
15

6. Hasil saringan ini dicampur kembali dengan 300 mL aquadest, direbus


selama 2 menit, kemudian saring kembali.
7. Hasil saringan ditetesi NaOH sebanyak 3 tetes, selanjutnya diukur pH
dengan menggunakan pH meter.
8. Langkah terakhir larutan disaring kembali dan dikeringkan.
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, H. 2017. Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses. Palembang:


Universitas Sriwijaya.
Davis, S. 2011. Chitosan: Manufacture, Properties, and Usage. New York: Nova
Science Publisher.
Fachry, A. R. dan Sartika, A. 2012. Pemanfaatan Limbah Kulit Udang dan
Limbah Kulit Ari Singkong sebagai Bahan Baku Pembuatan Plastik
Biodegradable. Jurnal Teknik Kimia. 18(3): 1-9.
Harjanti, R. S. 2014. Kitosan dari Limbah Udang sebagai Bahan Pengawet Ayam
Goreng. Jurnal Rekayasa Proses. 8(1): 12-19.
Kumirska, J., dkk. 2011. Influence of the Chemical Structure and
Physicochemical Properties of Chitin and Chitosan-Based Materials on
Their Biomedical Activity, Biomedical Engineering, Trends in Materials
Science. Rijeka: InTech.
Muzarelli, R. 1997. Chitin Handbook. Europe: Chitin Society.
Thariq, M. 2008. Pengembangan Kitosan Terkini Pada Berbagai Aplikasi
Kehidupan. Jurnal Mikrobiologi. 2(1): 49-62.

Anda mungkin juga menyukai