NIM : 03031381621088
Shift/Kelompok : Jumat Siang/7
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
zat yang terdapat pada kulit udang dan mengubahnya menjadi bahan pengawet
yang alam.
2
2
1.2. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh dari ukuran bubuk kulit udang terhadap produk
chitosan.
2. Mengetahui mekanisme tahap deasetilasi dari chitin menjadi chitosan.
3. Mengetahui pengaruh dari proses penyaringan dalam pembuatan
chitosan terhadap produk yang dihasilkan.
1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui pengaruh dari ukuran bubuk kulit udang terhadap
produk chitosan.
2. Dapat mekanisme tahap deasetilasi dari chitin menjadi chitosan.
3. Dapat pengaruh dari proses penyaringan dalam pembuatan chitosan
terhadap produk yang dihasilkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Udang .
Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan
tergolong dalam kelas Crustacea. Tubuh udang terbagi menjadi tiga bagian besar
antara lain kepala dan dada, badan, serta ekor. Persentase bagian dari tubuh udang
yaitu 36%-49% bagian kepala, daging keseluruhan 24%-41% dan kulit ekor 17%-
23% dari seluruh berat badan, hal ini tergantung juga dari jenis udang. Tubuh
udang dikelompokkan menjadi dua, yaitu bagian cephalothorax dan bagian
abdomen. Bagian cephalothorax tertutup oleh karapas. Karapas ke arah anterior
membentuk tonjolan runcing bergerigi yang disebut rostrum. Seluruh tubuh udang
terdiri atas segmen-segmen yang terbungkus eksoskeleton dari chitin yang
diperkeras dengan kalsium karbonat (CaCO3)..Pemanfaatan udang untuk
konsumsi ini menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar dan juga belum
termanfaatkan secara komersial.
Udang sebagai salah satu biota laut yang memiliki harga yang ekonomis
namun mempunyai nilai komersial yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
biota laut lain. Salah satu jenis udang yang dibudidayakan di Indonesia, yaitu
udang vannamei. Cangkang hewan dari invertebrata laut, terutama pada kelas
Crustacea mengandung chitin dalam kadar yang tinggi, yaitu 20%-60%,
sedangkan cangkang kepiting mengandung chitin 70% dan ketersediaannya sangat
banyak. Limbah udang mencapai 30%-40% dari produksi udang beku belum
banyak dimanfaatkan.
Kepala udang merupakan salah satu hasil proses dari pengolahan produk
perikanan yang dapat dibuat menjadi silase. Silase kepala udang ini juga dapat
menghasilkan limbah berupa ampas silase yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku kitosan, selain menghasilkan suatu produk berupa filtrat. Kandungan dari
cangkang udang antara lain protein 25%-40%, chitin 15%-20%, dan CaCO3 45%-
50%. Kandungan chitin yang terdapat pada cangkang udang lebih sedikit apabila
dibandingkan dengan kulit atau cangkang dari kepiting. Kandungan chitin yang
3
4
2.2. Chitin
Chitin merupakan penyusun kulit hewan-hewan kelas Crustacea, seperti
udang, kerang, dan sebagainya. Chitosan yang merupakan turunan dari senyawa
chitin sangat mudah didapat dari kepiting, udang, lobster, dan kulit udang karang.
Berdasarkan proses pembuatan chitosan yang merupakan turunan dari chitin ini,
diperlukan penghilangan protein, kalsium karbonat dan kalsium fosfat yang ada.
Kata kitin atau chitin berasal dari bahasa Yunani, yaitu “chiton”, yang
berarti baju rantai besi. Kata tersebut menggambarkan fungsi dari material chitin
6
sebagai jaket pelindung pada hewan invertebrata. Senyawa chitin tidak berada
dalam keadaan bebas, akan tetapi kitin berikatan dengan protein, mineral, dan
berbagai macam pigmen. Chitin merupakan bahan yang tidak mengandung zat
racun dan bersifat biodegradable. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang
berwarna putih. Chitin hampir tidak dapat larut dalam air, asam encer, dan basa.
Chitin dapat larut dalam asam format, asam metanasulfonat, N-dimetilasetamida.
Chitin memiliki kandungan sekitar 5% dari litium klorida, hexafluoroisopropil
alcohol, heksafluoroaseton dan campuran 1,2-dikloroetana-asam trikloroasetat.
Tabel 2.1. Spesifikasi Kitin
Parameter Ciri
Ukuran Partikel Serpihan sampai bubuk
Kadar Air ≤ 10,0
Kadar Abu ≤ 2,0
N-deasetilasi ≤ 15,0
Kelarutan dalam
Air Tidak larut
Asam Encer Tidak larut
Pelarut Organik Tidak larut
Dimetilasida Sebagian larut
Enzim Pemecah Lisozim dan Kitinase
(Sumber: Muzarelli, 1997)
sebagai jumlah rata-rata dari unit N-asetil-D-glukosamin per 100 monomer yang
dinyatakan sebagai persentase. Tingkat kandungan N-asetilasi kurang dari 50%
menunjukkan bahwa chitin menjadi larut dalam larutan asam berair dengan pH
yang dihasilkan kurang dari 6,0. Hal inilah yang dapat disebut sebagai chitosan.
mineral yang pekat. Chitin kurang larut jika dibandingkan dengan selulosa dan
merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah
chitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin. Karakteristik fisik kimia yang
dimiliki chitosan, yaitu berwarna putih, berbentuk kristal serta dapat larut dalam
larutan asam organik.
kepiting dan rajungan yang memiliki.bentuk mirip dengan selulosa dan bedanya
terletak pada gugus C-2. Chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal serta
dapat larut dalam larutan asam organik tetapi tidak laru dalam pelarut organik
lainnya. Chitosan memiliki gugus amino yang bermuatan positif, hal ini berbeda
dengan polisakarida.
Chitosan dapat berfungsi sebagai antifungi, antibakteri, pelapis (coating),
penyerap air dan lemak. Pelapis dari polisakarida merupakan penghalang (barrier)
yang baik. Hal ini dikarenakan pelapis jenis ini bisa membentuk matrik yang kuat
O2. Polikation alam dari chitosan dapat menghambat pertumbuhan dari suatu
kapang dan jamur pathogen, seperti Fusarium oxysporum, Rhizoetonin solani, dan
Pythium paroccandrum. Chitosan merupakan bahan yang berasal dari alam yang
ramah lingkungan. Keunggulan dari pengawet alami chitosan dibanding dengan
formalin meliputi aspek organoleptik, daya awet, keamanan pangan serta nilai
ekonomis. Uji organoleptik (kenampakan, rasa, bau dan tekstur) pengawetan
membentuk gel, serta memiliki afinitas yang tinggi pada protein. Modifikasi kimia
terhadap chitosan untuk meningkatkan kebergunaannya telah banyak diujikan.
Salah satunya modifikasi kimia terhadap chitosan adalah penambahan
hidrokoloid untuk memperbaiki sifat gel chitosan. Contohnya yaitu alginat, gom
guar, gom xantan, karboksimetil selulosa, dan hialuronat. Kompleks polielektrolit
(PEC) dari campuran chitosan dan hialuronat telah diuji kepekaannya terhadap
stimulasi listrik. Sifat pembengkakan (swelling) kompleks ini juga bergantung
pada pH. Pembengkakan film chitosan hialuronat pada pH 4,0 dapat mencapai
hingga 1300% atau dengan kata lain film tersebut dapat menyerap air sebanyak 13
kali lebih besar daripada bobot awalnya. Film ini labil pada kondisi asam dan basa
sehingga perlu adanya dimodifikasi, agar terbentuk gel dengan sifat mekanik baik.
Salah satu modifikasi yang diharapkan dapat meningkatkan sifat-sifat
mekanik gel chitosan hialuronat yaitu dengan penambahan suatu penaut silang
glutaraldehida. Hidrogel hialuronat sendiri juga dapat berpotensi sebagai sistem
pengantaran obat antiradang. Sel yang mengalami peradangan akan menghasilkan
radikal hidroksil. Reaksi hidroksil tersebut yang dapat mendegradasi hialuronat.
kalsium dan vitamin yang ada di dalam tubuh. Chitosan mampu mengurangi
penyerapan lemak. Olahan dari chitosan juga dapat dikembangkan dalam bidang
biomedis. Chitosan digunakan pada pembalut luka untuk membantu pembekuan
darah yang memiliki sifat antibakteri dan mikroba, maka tidak mengherankan jika
sekarang banyak produk chitosan yang dapat digunakan pada bidang kesehatan.
Manfaat lainnya yaitu bubuk chitosan juga mempunyai kemapuan untuk
koagulasi, misalnya apabila bubuk tersebut dimasukan ke dalam gelas berisi air
dan minyak sawit, maka minyak tersebut akan terkoagulasi menjadi bentuk
gumpalan-gumpalan. Disamping kemampuan tersebut, chitosan juga dapat
berfungsi sebagai antimikroba. Pemanfaatan chitin dari limbah cangkang udang
untuk bahan utama dan bahan pendukung dalam berbagai bidang dan industri
sangat menguntungkan karena bahan baku tersebut berupa limbah yang berasal
dari sumber daya lokal. Chitosan merupakan jenis polisakarida yang unik dan
telah secara luas digunakan dalam berbagai macam aplikasi biomedis. Hal ini
disebabkan karena kemudahan kecocokan chitosan dengan unsur makhluk hidup
lainnya, toksisitasnya rendah, mudah diuraikan, tidak bersifat imunogenik, dan
sifatnya yang non karsinogenik.
Berdasarkan keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh chitosan, maka
perkembangan dari produk olahan chitosan perlu untuk terus dilakukan, sehingga
menjadi produk yang lebih mudah digunakan dan memiliki manfaat yang lebih
bagi manusia. Perlu diperhatikan kepada orang-orang yang biasanya mengalami
alergi terhadap makanan.laut sebaiknya menghindari dari mengkonsumsi tablet
atau pil dari produk chitosan. Namun, orang.yang alergi terhadap kerang adalah
alergi terhadap daging, bukan terhadap cangkangnya. Beberapa ahli kesehatan
percaya bahwa chitosan mungkin tidak menjadi masalah bagi orang alergi dengan
kerang.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
14
15