Anda di halaman 1dari 16

I.

1.1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Perlu kita ketahui bahwa, bahan pangan secara umum memiliki sifat mudah

rusak, sehingga memiliki waktu simpan yang relative pendek. Makanan dapat
dikatakan rusak atau busuk ketika terjadi perubahan-perubahan yang menyebabkan
makanan tersebut tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Kerusakan atau
kebusukan makanan dapat terjadi akibat aktivitas mikrobia maupun aktivitas enzim
yang ada pada bahan makanan tersebut, selain itu perubahan secara fisika-kimia juga
dapat memengaruhi kebusukan makanan). Masalah tersebut menyebabkan berbagai
metode pengawetan pangan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan bahan
pangan.
Suatu penggunaan bahan pengawet pada makanan memiliki keuntungan dan
kerugian. Di satu sisi dengan adanya pengawet, bahan makanan dapat dibebaskan dari
aktivitas mikrobia baik yang bersifat patogen maupun yang menyebabkan kerusakan
bahan pangan. Bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang
merupakan bahan asing yang akan masuk bersama makanan. Penggunaan bahan
pengawet bila dosisnya tidak diatur, akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya.
Salah satu senyawa alami yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan
pengawet alami adalah kitosan yang berasal dari limbah kulit udang. Kitosan adalah
senyawa organik turunan kitin, berasal dari biomaterial kitin yang dewasa ini banyak
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain membersihkan dan menjernihkan
air, serta pengawet bahan makanan.
Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya
yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak, selain itu, kitosan
juga sekaligus melapisi produk yang diawetkan, sehingga terjadi interaksi yang
minimal antara produk dan lingkungan Kitosan tidak beracun, mudah mengalami
biodegradasi dan bersifat polielektrolitik.
Kitosan dapat diperoleh dari beberapa makhluk hidup. Salah satu sumber
kitin/kitosan yang melimpah adalah kulit udang. Udang merupakan salah satu bahan

pangan yang banyak disukai. Pada penelitian yang akan dilakukan, kulit udang dogol
akan digunakan sebagai sumber kitosan. Kulit udang dogol berpotensi digunakan
sebagai sumber kitosan karena udang dogol merupakan salah satu jenis udang di
Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
1.2

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara mengaplikasikan kitosan dalam makanan uji ?
2. Bagaimana kitosan dengan kontrol sebagai pengawet makanan ?
3. Bagaimana kerusakan bahan pangan dengan uji organoleptik dan metode
TPC?

1.3

TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengaplikasikan kitosan dalam makanan uji (sampel)
2. Mengamati dan membandingkan potensi kitosan dengan kontrol sebagai
pengawet makanan
3. Mengetahui identifikasi kerusakan bahan pangan dengan uji organoleptik dan
metode TPC

1.4

MANFAAT PRAKTIKUM
1. Praktikan dapat mengaplikasikan kitosan dalam makanan uji (sampel)
2. Praktikan dapat mengamati dan membandingkan potensi kitosan dengan
kontrol sebagai pengawet makanan
3. Praktikan dapat mengetahui cara identifikasi kerusakan bahan pangan dengan
uji organoleptik dan metode TPC

I.
2.1

TINJAUAN PUSTAKA

KITOSAN
Khitosan merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan

kopopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau.
Chitosan merupakan produk diasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan
enzim kitin diacetilase (Rismana,2001). Chitosan (CS), derivat deasetilasi dari chitin
terdiri atas satuan-satuan glukosamine yang terpolimerisasi oleh rantai -1,4glikosidic (Simunek et al,2006). Chitosan (poli--1,4-glucosamine) disiapkan secara
komersial dengan deasetilase basa kitin yang didapat dari eksoskeleton crustacea
laut, chitosan mempunyai nilai pKa kiira-kira 6,3 pada nilai pH lebih rendah,
molekulnya bersifat kation karena protonasi dari grup amino. Laporan selanjutnya,
terindikasikan bahwa ketika chitosan dilarutkan dalam garam, air suling, atau media
labolatorium, menunjukkan aktivitas antimikrobial melawan strain-strain berfilamen
dari fungi, yeast, bakteri (Rhoades and Roller,2000).
Chitosan (poly--1,4-glucosamine) adalah serat alami yang dibuat dari kulit
udang/rajungan dengan struktur molekul menyerupai selulosa (serat pada sayuran dan
buah-buahan) bedanya terletak pada gugus rantai C-2, dimana gugus hidroksi (OH)
pada C-2 digantikan oleh gugus amina (NH2).

Gambar 1. Stuktur Molekul Chitosan


Chitosan adalah produk alamiah yang merupakan turunan dari polisakarida
chitin. Pada chitosan terdapat gugus aktif yang berikatan dengan mikroba, sehingga
chitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Chitosan juga dapat digunakan
sebagai pengawet alami yang dapat melapisi (coating) agar kandungan bahan
makanan tidak keluar. Chitosan yaitu chitin yang telah dihilangkan gugus asetilnya

dengan menggunakan basa pekat sehingga bahan ini merupakan polimer Dglukosamin yang mampu berikatan dengan protein. Pemberian chitosan yang tinggi
meningkatkan kadar protein di dalam bahan, hal ini disebabkan oleh kemampuan
chitosan berikatan dengan asam amino sehingga terjadi perubahaan pada strukrur
asam amino itu sendiri. Naiknya kadar protein disebabkan karena molekul chitosan
memiliki gugus N yang sama dengan protein sehingga chitosan mampu berikatan dan
membentuk senyawa asam amino yang banyak. Kemampuan chitosan yang dapat
mengabsorbsi air, sehingga kadar air menurun yang dapat meningkatkan pengawetan
bahan. Pengikatan air mengakibatkan menurunnya aktivitas mikroba karena mikroba
tidak dapat menggunakan air pada bahan makanan sehingga pertumbuhannya
terhambat. Pemberian chitosin pada bahan pangan dapat meningkatakna kadar
protein, kadar lemak sebaliknya kadar air mengalami penurunan.
2.2

Demineralisasi
Demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral (CaCO3)

dengan menggunakan asam konsentrasi rendah seperti asam klorida, untuk


mendapatkan kitin (Yunizal dkk., 2001). Mineral organik yang terikat pada bahan
dasar, yaitu CaCO3 sebagai mineral utama dan Ca(PO4)2 dalam jumlah minor.
Menurut Hartati (2002), pada proses demineralisasi perbandingan antara pelarut dan
cangkang udang adalah 6 : 1. Selanjutnya diaduk sampai merata dan didiamkan
selama 13 jam. Kemudian dipanaskan pada suhu 90C selama satu jam. Larutan lalu
disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci
dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80C selama 24 jam atau
dijemur sampai kering. Kitin dari hasil isolasi berbentuk serbuk maupun serpihan
(Hartati, 2002).
2.3

Deproteinase
Deproteinasi merupakan tahap awal dari isolasi kitin. Deproteinasi bertujuan

mengurangi kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan
yang cukup (Yunizal dkk., 2001). Larutan alkali encer yang digunakan seperti NaOH

dan KOH. Namun lebih sering digunakan NaOH karena lebih mudah dan efektif.
Larutan NaOH digunakan untuk melarutkan protein yang terkandung di dalam kulit
udang (Eka, 2007). Efektifitas prosesnya tergantung pada suhu dan konsentrasi
NaOH yang digunakan.
2.4

Deasetilasi
Deasetilase (CDA) merupakan salah satu enzim pendegradasi kitin selain

kitinase. Perbedaanya yaitu, kitinase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitin
secara acak pada ikatan glikosidiknya, sedangkan kitin deasetilase adalah enzim yang
dapat mengkonversi kitin menjadi kitosan. Degradasi kitin untuk menghasilkan
kitosan dapat dilakukan secara termokimia dengan menggunakan alkali kuat pada
suhu tinggi. Dengan menggunakan proses ini, hasil yang diperoleh belum memuaskan
karena mutu kitosan yang dihasilkan masih beragam. Selain itu, proses termokimia
juga menghasilkan limbah dan produk samping yang berpotensi menjadi toksikan
bagi lingkungan (Tsigos et al., 2000). Degradasi kitin untuk menghasilkan kitosan
juga dapat dilakukan secara enzimatis yaitu menggunakan enzim kitin deasetilase
(CDA). Keunggulan dari teknik ini yaitu lebih mudah dikendalikan, terurai secara
biologis (biodegradable), sesuai lingkungan (biocompatible) dan dapat membentuk
oligomer atau polimer (Tsigos et al., 2000).
Enzim kitin deasetilase (CDA) dapat ditemukan pada bakteri, kapang, kamir,
cacing dan serangga yang mempunyai kandungan kitosan pada dinding sel atau
eksoskeletonnya. Proses enzimatis diharapkan akan lebih mudah dikendalikan, lebih
efisien, spesifik dan meminimalkan produk samping. Sejumlah penelitian telah
dilakukan untuk mengisolasi, mempurifikasi dan mengkarakterisasi kitin deasetilase
dari sejumlah mikroba. Aplikasi enzim ini pada berbagai jenis dan kondisi substrat
masih memberikan hasil yang beragam dengan parameter hasil yang belum
memuaskan (Tsigos et al., 2000).

2.5 Manfaat Chitosan


Chitosan mempunyai kegunaan yang sangat luas, tercatat sekitar 200 jenis
penggunaannya, dari industri pangan, bioteknologi, farmasi, dan kedokteran, serta
lingkungan. Di industri penjernihan air, kitin telah banyak dikenal sebagai bahan
penjernih. Kitin juga banyak digunakan di dunia farmasi dan kosmetik, misalnya
sebagai penurun kadar kolesterol darah, mempercepat penyembuhan luka, dan
pelindung kulit dari kelembaban.
Sifat chitosan sebagai polimer alami mempunyai sifat menghambat absorbsi
lemak, penurun kolesterol, pelangsing tubuh, atau pencegahan penyakit lainnya.
Chitosan bersifat tidak dapat dicernakan dan tidak diabsorbsi tubuh, sehinga lemak
dan kolesterol makanan terikat menjadi bentuk non absorbsi yang tak berkalori. Sifat
khas chitosan yang lain adalah kemampuannya untuk menurunkan kandungan LDL
kolesterol sekaligus mendorong meningkatkan HDL kolesterol dalam serm darah.
Peneliti Jepang menjuluki chitosan sebagai suatu senyawa yang menunjukkan zat
hipokolesterolmik yang sanagt efektif. Dengan kata lain, chitosan mampu
menurunkan tingkat kolesterol dalam serum denagn efektif dan tanpa menimbulkan
efek samping (Rismana,2001).
Beberapa tahun yang lalu, chitosan dan beberapa tipe modifikasinya dilaporkan
penggunaannya untuk aplikasi biomedis, seperti artificial skin, penembuh luka, anti
koagulan, jahitan pada luka (suuture), obat-obatan, bahan vaksin, dan dietary fiber.
Baru-baru ini, penggunaan chitosan dan derivatnya telah diterima banyak perhatian
sebagai tempat penggantungan sementara untuk proses mineralisai, atau pembentukan
tulang stimulin endokrin (Irawan,2007).

II. MATERI & METODE


3.1

MATERI PRAKTIKUM
3.1.1 Waktu & Tempat Praktikum
Hari/Tanggal

: Kamis 3 Desember 2015

Waktu

: 16.00 21.00

Tempat

: Lab. Kimia, Gedung E Fakultas Perikanan dan


Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

3.1.2 Alat Praktikum


Tabel 1. Alat
No

Nama Alat

1.

Gelas Baker

Sebagai wadah campuran

Pengaduk

Alat menghomogenkan

2.

Gambar

Fungsi

campuran

3.

Thermometer

4.

Kompor

Indikator suhu/pengukur
suhu

Alat pemanas campuran

5.

6.

7.

8.

Loyang

Wadah saat pengeringan


sampel

Tissue

Untuk membersihkan wadah

Kertas Saring

Untuk menyaring sampel

Alat Tulis

Untuk mencatat hasil


praktikum

3.1.3 Bahan Praktikum


Tabel 2. Bahan
N
o

1.

2.

3.

Nama Bahan

Cangkang Kerang

Hcl 1 N

Gambar

Fungsi

Sebagai sampel uji

Pelarut dalam proses


demineralisasi

N2OH 3,5%

Pelarut dalam proses


deproteinase

4.

3.2

NaoH

Pelarut dalam proses


deasetilisasi

H2O2

Aquadest

Pelarut dalam proses


bleaching

Pembilas untuk
menetralkan pH

Metode Praktikum
3.2.1

Demineralisasi
Disiapkan cangkang kerang yang telah
dihaluskan, ditimbangkan sebanyak 300 gram
lalu dimasukkan ke gelas beker.

HCL 1N disiapkan sebanyak 900mL kemudian


campurkan ke dalam gelas beker yang sudah
berisi bubuk cangkang

Campuran tersebut dipanaskan 90C selama 60


menit sembari diaduk secara berkala agar proses
demineralisasi berlangsung dengan sempurna.

Setelah dipanaskan, campuran tersebut disaring


menggunakan kertas saring

Kemudian sampel di bilas menggunakan aquades


atau dicuci 3-5 kali untuk menetralkan pH dan
dianginkan
3.2.2

Deproteinase
1800 ml NaOH 3,5% ditambahkan ke cangkang
kerang yang sudah di demineralisasi.

Kemudian campuran dipanaskan dengan suhu


90oC dan di aduk secara berkala agar proses
deproteinase berlangsung secara sempurna
(selama 60 menit).

Masukkan kembali larutan NaOH 35% sebanyak


90 pada sisa bubuk cangkang yang ada di gelas
beker. kemudian di panaskan dengan suhu 90C
kembali selama 30 menit.

Setelah 30 menit pemanasan, campuran di


dekantasi menggunakan kertas saring.

Sampel di bilas menggunakan aquadest sampai


pH netral.

3.2.3 Proses Deasetilasi


Kitin ditambahkan dengan NaOH, lalu dipanaskan pada suhu
80o C selama 1 jam

Kitin yang sudah dipanaskan berubah


menghasilkan kitosan

Lalu, kitosan dicuci menggunkan aquadest sebanyak 2


kali dan disaring

Selanjutnya, kitosan dikeringkan di atas alumunium


foil dan dihasilkan bubuk/ serbuk kitosan.

III.
4.1

HASIL & PEMBAHASAN

Hasil
Dari praktikum yang dilakukan, didapatkan kitosan dengan 2 tekstur yang

berbeda yaitu dengan tekstur kasar (gambar 1.) dan tekstur halus (gambar 2.).

Gambar 1. Kitosan dengan tekstur kasar

Gambar 2. Kitosan dengan tekstur halus

4.2

Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, produk kitin dan kitosan dibuat
dari bahan dasar cangkang kerang. Cangkang kerang yag digunakan adalah
kerang simping, warna cangkang kerang simping yang berwarna merah muda
kecoklatan, menjadikan hasil produk kitin masih berwarna putih kecoklatan.
Kitin merupakan bahan yang mirip dengan sellulosa yang sama-sama memiliki

sifat-sifat dalam hal kelarutannya dan reaktifitasnya yang rendah. Kitin yang
berwarna putih, keras, tidak elastis, polisakarida yang mengandung nitrogen.
Kitin dapat larut dalam HCl, H2SO4, H3PO4, dikoloroasetat, trikloroasetat dan
asam formiat. Kitin juga larut dalam larutan pekat garam netral yang panas
(Synowiecki,2003).
Bentuk kitin masih dalam bentuk basah karena tidak sampai pada tahap
pengeringan. Untuk memperoleh hasil produk kitosan, dilakukan bleaching
agar hasil produk kitosan berwarna putih. Kitosan adalah padatan amorf putih
yang tidak larut dalam alkali dan asam mineral kecuali pada keadaan tertentu.
Kitosan merupakan molekul polimer yang mempunyai berat molekul tinggi.
Kitosan dengan berat molekul yang tinggi didapati dengan mempunyai
vikositas yang baik dalam suasana asam. Kitosan hasil destilasi kitin, larut
dalam asam encer seperti asam asetat, asam formiat, dll. Kitosan dapat
membentuk gel dalam n-metilmorpin n-oksida yang dapat digunakan dalam
formulasi pelepasan obat terkendali.
Kandungan nitrogen dalam kitin berkisar 5-8% tergantung pada tingkat
deasetilasi sedangkan nitrogen pada kitosan kebanyakan dalam bentuk gugus
amino. Maka kitosan bereaksi melalui gugus amino dalam pembentukan
Nasilasi dan reaksi Schiff yang merupakan reaksi yang penting (Kumar, 2000).
Hasil produk kitosan berupa serbuk putih halus.

IV.

5.1

PENUTUP

Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum Potensi Kitosan Sebagai Pengawet Alami

Makanan Menggunakan Metode TPC (Total Plate Counter), dapat diambil beberapa
kesimpulan yaitu :

1. Kitosan digunakan sebagai pengawet alami pada bahan makanan tahu


2. Kitosan mampu mengawetkan tahu dan tidak mengubah citarasa dari tahu
3. Pengamatan bakteri pada media dilakukan dengan metode TPC (Total Plate
Contol) dan jumlah bakteri banyak ditemukan pada bahan uji yang tidak
memakai kitosan sebahgai pengawet
5.2

Saran
Setelah melakukan praktikum Potensi Kitosan Sebagai Pengawet Alami

Makanan Menggunakan Metode TPC (Total Plate Counter), dapat diambil beberapa
saran yaitu :
1. Asisten sebaiknya mendampingi praktikan saat melakukan praktikum
2. Modul disesuaikan dengan sistematika praktikum

DAFTAR PUSTAKA
Altschul, A.M. 1976. New Protein Food. Academic Press Ltd. London

Eka rahmawati. 2007. Pemanfaatan Kitosan Hasil Deasetilasi Kitin Cangkang


Bekicot Sebagai Adsorben Zat Warna Remazoll Yellow. Sripsi. Jurusan Kimia.
Fakultas MIPA. Universitas Sebelas Maret
Hartati, F. K., 2002. Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Deproteinasi
Menggunakan Enzim Protease Dalam Kitin Dari Cangkang Rajungan (Portunus
Pelagicus), Biosain, 2.
Muzzarelli RAA. Chitin. Oxford: Pergamon Press; 1977. Prashanth KVH,
Tharanathan RN. Chitin/chitosan: modifications and their unlimited application
potentialan overview. Trends Food Sci Technol 2007;18:11731.
Rinaudo, M., 2006, Chitin and Chitosan: Properties and Applications, Prog. Polym.
Sci., 31, 603632.
Tsigos I, Bouriotis V (1995) Purification and characterization of chitin deasetilase
from Colletotrichum lindemuthianum. J Biol Chem, 270: 26286-26291 Winan.
2010.

Chitin

&

Chitosan.

Winan08s

blog

(http://winan08.student.ipb.ac.id/2010/06/19/chitin-chitosan/,diakses tanggal 12
Desember 2015)
Yunizal et al, (2001), "Extraction of Chitosan from the Head White shrimp
(Penaeus merguensis). "J. Agric. Vol. 21 (3), p 113-117

Anda mungkin juga menyukai