Anda di halaman 1dari 7

Mk.

Bioteknologi Hasil Perairan Hari/ Tanggal : Senin, 18 November 2021


Asisten : M. Tasbih Zulhamdi

LAPORAN BIOTEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


KAPANG LAUT SEBAGAI BIOKATALIS UNTUK DEPOLIMERISASI
HIDROKOLOID

Kelompok 4

Annisaa Putri C34190007


Salma Nabila C34190053
Annisa Diah Likandi C34190065
Fadilah Haya C34190066
Muhammad Farid Sudibyo C34190089

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan sumber biodiversitas yang
tinggi. Biodiversitas organisme dan bahan kimia dari laut merupakan salah satu
sumber potensial bagi industri dan kesehatan (Qin et al. 2017). Sumber daya laut
seperti kapang diketahui sebagai penyedia bahan aktif yang dapat dimanfaatkan di
bidang pangan fungsional, kosmeseutikal, maupun farmasi (Guillerme et al.
2017). Kapang merupakan anggota dari kingdom fungi yang berukuran
mikroskopik, multi seluler dan memproduksi filamen. Kapang laut merupakan
kapang yang diduga berasal dari lingkungan darat maupun perairan tawar yang
terbawa ke lingkungan laut, namun kapang ini tidak dapat tumbuh dan
berkembang pada lingkungan laut yang bersalinitas (Sibero et al. 2019). Kultivasi
kapang laut dibagi menjadi dua yaitu prekultur dan kultur massal. Tahap prekultur
bertujuan agar kapang dapat beradaptasi pada media pertumbuhan. Kapang laut
banyak menghasilkan enzim-enzim yang berfungsi sebagai biokatalis.
Biokatalis merupakan substansi biologis yang dapat berupa sel maupun
enzim yang memiliki fungsi untuk mempercepat laju suatu reaksi kimia
(Fathurahman 2019). Enzim merupakan biokatalis yang potensial untuk
dikembangkan karena efektivitasnya yang tinggi dan bersifat spesifik serta
mampu mengkatalisis berbagai reaksi kimia dengan efisien dan dengan kebutuhan
energi yang rendah. Penggunaan enzim sebagai katalis memiliki beberapa
perbedaan dengan penggunaan katalis anorganik. Enzim umumnya dioperasikan
pada kondisi operasi yang lunak sedangkan katalis anorganik biasanya
dioperasikan pada kondisi operasi yang ekstrem. Biokatalis enzim merupakan
katalis yang sangat selektif sehingga hanya dapat mereaksikan satu jenis reaktan
dan menghasilkan produk yang sangat selektif. Penggunaan biokatalis juga lebih
ramah lingkungan dibanding penggunaan katalis anorganik karena biokatalis yang
bersifat biodegradable (Mawaddah 2015). Kapang laut menghasilkan enzim-
enzim penting seperti enzim pendegradasi oligosakarida seperti selulase, xylanase,
mannase, inulinase dan amilase.
Enzim amilase dapat dijadikan sebagai biokatalis untuk depolimerisasi
hidrokoloid seperti kitosan. Enzim amilase memiliki peran dalam mendegradasi
rantai polimer hidrolisat dengan memotong ikatan glikosidik. Kitosan merupakan
konstituen penting sebagai pengawet makanan alami. Kitosan disintesis dari kitin
dengan metode deasetilasi parsial (Du et al. 2014). Kitosan mempunyai berat
molekul tinggi berkisar 100 -1.200 kDa, sehingga dalam aplikasi praktisnya
cenderung tidak larut pada pH di atas 6,3. Kitosan dapat didepolimerisasi menjadi
chito-oligosaccharide (COS) dengan hidrolisis enzim menggunakan enzim
amilase yang dihasilkan dari kapang laut. Polimer kitosan yang dihasilkan
berbentuk linear dengan struktur N-Asetil-D-Glukosamin (GlcNAc, Asetilasi Unit
A) dan D-Glukosamin (GlcN, Deasetilasi Unit D) yang dihubungkan oleh ikatan ß
(1,4) glikosidik (Ridho 2018).

1.2 Tujuan
Praktikum bertujuan mengetahui proses dan metode kultivasi kapang laut
penghasil enzim untuk depolimerisasi hidrokoloid kitosan
II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kapang Laut


Kapang merupakan organisme yang tidak dapat hidup bebas seperti
plankton ataupun jenis organisme lainnya sehingga membutuhkan organisme lain
sebagai sumber makanannya (Amend et al. 2019). Kapang laut umumnya diisolasi
dari tumbuhan yang hidup di dalam laut dan sekitarnya (Gladfelter et al. 2019).
Teknik isolasi pada senyawa bioaktif dari kapang laut hampir sama dengan teknik
isolasi senyawa bioaktif dari invertebrata laut dan juga biota-biota yang ada di
lingkungan darat. Beberapa hal yang berbeda dari teknik isolasinya, diantaranya
yaitu cara isolasi dan pengkulturan terutama pada komposisi media
pertumbuhannya, serta cara-cara pemanenannya. Mikroorganisme kapang endofit
dapat diisolasi menggunakan metode sterilisasi permukaan yang kemudian
dilanjutkan dengan kultivasi pada media yang dipilih sesuai dengan
mikroorganisme yang diinginkan. Media kultivasi yang umum digunakan untuk
kapang adalah media potato dextrose agar (PDA) (Setyaningsih et al. 2015).
Identifikasi pada kapang laut pada tingkat genus umumnya dilakukan berdasarkan
morfologi, kultur, fisiologis dan biokimia. Identifikasi kapang laut sampai tingkat
spesies umumnya dilakukan secara molekuler berdasarkan data sekuen nukleotida
dari daerah internal transcribed spacer (ITS) yang merupakan daerah kandidat
untuk barcoding kelompok kapang (Chay et al. 2017).

2.2 Metode Kultivasi Kapang Laut


Kultivasi pada kapang laut terdiri dari dua tahap, yaitu prekultur dan kultur
massal. Tahap prekultur bertujuan agar kapang dapat beradaptasi terhadap media
pertumbuhan. Media prekultur yang umum digunakan untuk melakukan kultivasi
kapang laut adalah PDB. Media PDB (Potato Dextrose Broth) merupakan media
pertumbuhan mikrobiologi yang terbuat dari kentang (Potato infusion) dan
dekstrosa. Infusi kentang pada media PDB berfungsi memberikan suplai vitamin,
mineral, protein, asam lemak, dan nutrisi lain yang dibutuhkan cendawan.
Dekstrosa (D-glukosa) yang merupakan karbohidrat sederhana berfungsi untuk
memicu pertumbuhan cendawan (jamur, kapang, dan khamir) (Hariati et al.
2018). Media lain yang dapat digunakan untuk kultivasi kapang laut yaitu medium
Malt Extract Broth (MEB), namun media yang paling baik digunakan untuk
mengkultur kapang laut adalah media PDB karena media tersebut memiliki
tingkat pemulihan kapang tertinggi (Ouhabughiro et al. 2020).

2.3 Kapang Laut Sebagai Biokatalis


Depolimerisasi merupakan proses pemutusan rantai panjang molekul
polimer menjadi rantai molekul yang lebih pendek (Prastanto 2014).
Depolimerisasi kitosan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu secara kimia,
fisik dan enzimatik. Depolimerisasi kitosan secara kimia dilakukan dengan asam
kuat H+ hingga terjadi proses hidrolisis yang memotong rantai polimer kitosan
atau dengan penambahan asam nitrit (HNO2) sehingga terjadi deaminasi yang
juga dapat memotong polimer kitosan. Depolimerisasi secara fisik dapat
dilakukan dengan radiasi (UV, γ), ultrasound dan microwave. Degradasi kitosan
dapat dilakukan menggunakan enzim chitinase, chitosanase, glucanase, lipase, dan
beberapa protease. Beberapa enzim non-spesifik yaitu lysozyme, cellulose,
amylase, papain, dan pectinase yang mendegradasi kitosan (Yulina et al. 2014).
Biokatalis merupakan substansi biologis dapat berupa sel maupun enzim
yang berfungsi untuk mempercepat laju suatu reaksi kimia (Fathurahman 2019).
Amilase adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisis dari alpha-1,4 glikosidik
polisakarida untuk menghasilkan dekstrin, oligosakarida, maltosa, dan D-glukosa.
Peran amilase yaitu mendegradasi rantai polimer hidrolisat dengan memotong
ikatan glikosidikbagian dalam, sehingga polisakarida terurai menjadi bentuk yang
lebih kecil dan menyebabkan penurunan berat molekul kitosan. Penurunan berat
molekul kitosan hasil hidrolisis menunjukkan bahwa aktivitas enzim amilase
mampu menghidrolisis ikatan glikosidik pada rantai polimer kitosan. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya rantai kitosan yang terdegradasi menghasilkan
depolimerisasi kitosan dengan berat molekul yang rendah.

2.4 Bagian Kapang Laut yang Dijadikan Produk dan Manfaat Lain dari
Kapang Laut
Kapang mampu menghasilkan enzim-enzim penting seperti enzim
pendegradasi oligosakarida selulase, xylanase, mannase, inulinase, dan amilase
yang memiliki banyak fungsi dan keuntungan dalam bidang industri maupun
bioteknologi (Andhikawati et al. 2014). Kitosan diketahui dapat didepolimerisasi
menjadi chito-oligosaccharide (COS) dengan hidrolisis enzimatik menggunakan
bantuan anzim amilase dari kapang sehingga menghasilkan produk yang mudah
larut. Potensi lain dalam pemanfaatan kapang laut yaitu sebagai bioethanol.
Kapang laut seperti Gelidium sp. mengandung karbohidrat yang cukup tinggi
yaitu berkisar 70-72% (Nahak et al. 2011). Hal ini yang membuat Gelidium sp.
memiliki potensi sebagai bahan baku bioethanol. Kapang laut juga berpotensi
sebagai antioksidan, antibakteri dan antikanker. Penelitian Tarman et al. (2011)
menyatakan bahwa ekstrak kapang laut Xylaria psidii memiliki aktivitas
antibakteri dan sitotoksisitas yang tinggi. Kapang laut juga berpotensi
dikembangkan dalam bidang farmasi. Penelitian Smitha et al. (2014) berhasil
mengisolasi 181 isolat kapang laut yang mampu memproduksi enzim diantaranya
60,2% memiliki aktivitas lipase, 67,22% amilase, 61,11% gelatinase, 40,22%
kitinase dan 43,33% menunjukkan aktivitas selulase. Enzim tersebut memiliki
potensi untuk dikembangkan pada bidang farmasi.

2.5 Perkembangan Riset dan Tantangan Pemanfaatan Kapang Laut


Teknologi proses ekstraksi terus diteliti dan dikembangkan untuk
menghasilkan hidrokoloid secara optimal dengan tingkat kemurnian yang lebih
tinggi. Hingga saat ini kebutuhan hirdokolid di dalam negeri masih diimpor.
Indonesia memiliki sumber hidrokoloid yang potensial, di antaranya dari tanaman
dan rumput laut. Pemanfaatan hidrokoloid yang tersedia secara optimal
diharapkan menurunkan ketergantungan impor produk polimer tersebut.
Penemuan dan karakterisasi senyawa aktif dari kapang endofit yang memiliki
aktivitas antivirus telah berkembang dan beberapa senyawa memiliki potensi yang
menjanjikan (Linnakoski et al. 2018). Tantangan untuk memanfaatatkan kapang
yaitu standarisasi biosintesis senyawa aktif secara biologis, serta peningkatan
produksi ke skala industri berkaitan dengan kompleksitas biologi dan ekologi
kapang. Interaksi antarspesies diketahui mempengaruhi metabolisme kapang di
lingkungan aslinya (Kusari et al. 2014), sehingga perlu strategi dalam
penumbuhan kapang. Tantangan selanjutnya adalah metode untuk mendapatkan
senyawa murni. Penapisan produk senyawa aktif dari bahan alam seperti kapang
akan membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Perbedaan
konsentrasi antara metabolit sekunder yang berbeda menimbulkan permasalahan
saat identifikasi (Ciesla dan Moaddel 2016).

III SIMPULAN

Kapang mampu menghasilkan enzim-enzim penting seperti enzim


pendegradasi oligosakarida selulase, xylanase, dan lain-lain yang memiliki banyak
fungsi bagi berbagai industri. Kultivasi pada kapang laut terdiri dari dua tahap,
yaitu prekultur dan kultur massal. Tahap prekultur bertujuan agar kapang dapat
beradaptasi terhadap media pertumbuhan. Media prekultur yang umum digunakan
untuk melakukan kultivasi kapang laut adalah PDB.
DAFTAR PUSTAKA

Amend A, Burgaud G, Cunliffe M, Edgcomb VP, Ettinger CL, Gutiérrez MH,


Heitman J, Hom EFY, Ianiri G, Jones AC, et al.. 2019. Fungi in the marine
environment: open questions and unsolved problems. Ecological and
Evolutionary Science. 10(2): 1-15.
Andhikawati A, Oktavia Y, Ibrahim B, Tarman K. 2014. Isolasi dan penapisan
kapang laut endofit penghasil selulase. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 6(1): 219-227.
Chay C, Dizon EI, Elegado FB, Norng C, Hurtada WA, Raymundo LC. 2017.
Isolation and identification of mold and yeast in medombae, a rice wine
starter culture from Kompong Cham province, Cambodia. Food Research
Journal. 1(6):213–220.
Ciesla L, Moaddel R. 2016. Comparison of analytical techniques for the
identification of bioactive compounds from natural products. Nat. Prod.
Rep. 33(10): 1131–1145.
Fathurrahman AT. 2019. Actinobacteria: sumber biokatalis baru yang potensial.
Jurnal Biotrends. 10(1): 28-35.
Gladfelter AS, James TY, Amend AS. 2019. Marine fungi. Current Biology.
29(6): 191-195.
Hariati S, Wahjuningrum D, Yuhana M, Tarman K, Effendi I, Saputra F. 2018.
Aktivitas antibakteri ekstrak kapang laut Nodulisporium sp. KT29 terhadap
Vibrio harveyi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 21(1): 250-
257.
Kusari S, Singh S, Jayabaskaran C. 2014. Biotechnological potential of
plantassociated endophytic fungi: hope versus hype. Trends Biotechnol. 32:
297–303.
Linnakoski R, Reshamwala D, Veteli P, CortinaEscribano M, Vanhanen H,
Marjomäki V. 2018. Antiviral agents from fungi: diversity, mechanisms and
potential applications. Front Microbiol. 9:2325.
Nahak S, Gayatri N, Itishree P, Sahu RK. 2011. Bioethanol from marine algae: a
solution to global warming problem. Journal Applied Environmental and
Biological Sciences. 1(4): 74-80.
Ohabughiro NB, Braide W, Okorondu SI, Nwanyanwu CE. 2020. Recovery rates
of moulds in stored products cultivated on three mycological media.
International Journal of Advanced Research in Biological Sciences. 7(1):
90-101.
Setyaningsih I, Desniar, Tarman K. 2015. Panduan Praktikum Mikrobiologi Hasil
Perairan. Bogor (ID): IPB Press.
Smitha SL, Correya NS, Philip R. 2014. Marine fungi as a potential source of
enxymes and antibiotics. International Journal of Research in Marine
Sciences. 3(1): 5-10.
Tarman K, Lindequist U, Wende K, Porzel A, Arnold, Ludger A. 2011. Isolation
of a new natural product and cytotoxic and antimicrobial activities of
extracts from fungsi of Indonesian marine habitats. Journal of Marine
Drugs. 9(3): 294-306.
Yulina R, Winiati W, Kasipah C, Septiani W, Mulyawan AS, Wahudi T. 2014.
Pengaruh berat molekul kitosan terhadap fiksasi kitosan pada kain kapas
sebagai antibakteri. Jurnal Arena Tekstil. 29(2): 81-90.

Anda mungkin juga menyukai