Anda di halaman 1dari 8

POTENSI ALGAE DALAM BIOREMEDIASI (DI INDONESIA)

Tujuan penulisan esai yaitu untuk memberitahu reader tentang potensi algae dalam
bioremediasi.

Outline Esai

Pendahuluan
Mengapa harus phycoremediation?
- Algae ketersediannya melimpah mikro dan makro alga, di Indonesia misalnya di Pesisir
Barat Lampung
- Ketersedian melimpah tetapi belum banyak dibudidayakan terlebih untuk bioremediasi,
alih-alih malah dibiarkan saja terserak di pantai (sesuai pengalaman penulis di Pesisir
Barat)

Isi
- Ternyata algae mempunyai mekanisme bioremediasi yang menguntungkan (tulis
penjelasan dari PPT Pak Eko) kaitannya dengan simbiosis bakteri, jabarkan bagaimana
jika kerjanya ditambah dengan makroalga
- Jabarkan potensi algae sebagai agen bioremediasi sesuai jurnal international yang
diperoleh dikaitkan dengan penelitian penemuan berbagai jenis algae makro dan mikro di
pesisir barat didukung dengan teknik bioremediasi dan kultivasi yang sesuai dan
menguntungkan sesuai ekonomi dan cocok diterapkan di Indonesia (khususnya di
Lampung), jelaskan tekniknya dan keuntungannya dikaitkan juga jika simbiosis dengan
bakteri atau kombinasi makroalga-makroalga yang banyak ditemukan di Pesisir Barat
Lampung.

Cari algae yang untuk agar-agar apa, apakah memunculkan kompetisi dengan algae untuk
agar-agar?

Kesimpulan
Di pesisir barat Lampung perlu dieksplor, tidak hanya makro algae tetapi mikroalga juga.
Apakah lebih baik mikro atau makro algae untuk bioremediasi. Makroalgae untuk biofuel
bisa nggak?
Tugas Esai
Dea Putri Andeska
(NIM: 20/464815/PBI/01711)
Mata Kuliah Bioremediasi dan Biodegradasi
(Dr. Eko Agus Suyono, M.App.Sc.)

POTENSI ALGA DALAM BIOREMEDIASI

Ketersediaan alga di Indonesia melimpah tetapi belum banyak diketahui


potensinya, salah satunya yaitu pemanfaatan alga tersebut untuk bioremediasi limbah
industri atau bahan pencemar lain termasuk logam berat. Penggunaan alga sebagai agen
bioremediasi mudah untuk dilakukan dan aman, mudah diaplikasikan, mudah dikultivasi,
toleran terhadap metals, renewable, dan mudah untuk dipisahkan saat proses treatment,
hemat biaya (cost effective) serta tidak menghasilkan polusi sekunder. Penggunaan
makroalga sebagai agen bioremediasi belum mendapatkan perhatian khusus di Indonesia,
karena terlihat bahwa kebanyakan di wilayah pesisir masih banyak ditemui makroalga
yang berserakan di pantai tanpa pemanfaatan (sebagai contoh Sargassum di Pesisir Barat
Lampung).
Penggunaan alga untuk bioremediasi biasa disebut dengan phycoremediation.
Phycoremediation yaitu teknik bioremediasi menggunakan alga untuk mentransformasi
polutan seperti limbah industri dan CO2 dari waste air. Alga dapat melakukan fotosintesis,
sehingga efektif untuk bioremediasi, terlebih karena dapat bersimbiosis dengan bakteri dan
melakukan kerja secara simultan yaitu di waktu bersamaan dapat mengambil material
organik dari polutan dan CO2 dari udara. Simbiosis alga dan bakteri sangat
menguntungkan karena bakteri dapat mengambil material organik dan mengoksidasi
material organik tersebut, kemudian dihasilkan CO 2 yang bisa digunakan alga untuk
fotosintesis menghasilkan O2, selanjutnya O2 bisa digunakan untuk mendukung proses
oksidasi kembali material organik oleh bakteri dan siklus ini terus berlanjut.
Piccini et al (2019) menyebutkan bahwa makroalga jenis Sargassum sp. sangat
efektif untuk bioremediasi logam berat (Zn, Cu, Ni, Cd) dengan nilai efisiensi 73-89% dan
mampu melakukan bioabsorpsi terhadap logam berat sebesar 81%. Paling tinggi
dibandingkan dengan Spirulina (69%), Chlorella (61%) dan Ulva (45%). Sargassum
merupakan Phaeophyta atau alga cokelat yang mempunyai dinding sel yang kaya
phycocoloids yang menyebabkan alga ini mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih tinggi
karena afinitas ion logam secara langsung berhubungan dengan polymer binding sites.
Makroalga dapat mengambil makronutrien (seperti P dan N) dan metals (seperti Fe, Zn,
Ni, Cu, Mn dan Co) sebagai sumber untuk pertumbuhan serta pada permukaannya secara
pasif menempel berbagai ion beracun lainnya. Sargassum melakukan proses bioakumulasi
yaitu suatu mekanisme menangkap makronutrien dan polutan seperti logam berat secara
instraseluler, terdiri dari proses penggabungan unsur-unsur yang berpotensi beracun,
imobilisasi dalam organel seperti vakuola dan vesikel lainnya melalui proses enzimatik.
Dalam penelitian Yu et al (2014, 2016), disebutkan bahwa Sargassum merupakan kandidat
potensial untuk bioremediasi limbah beracun, bioakumulasi yang dilakukan Sargassum
juga mengurangi dampak eutrofikasi dan polusi logam berat pada ekosistem. Selain itu,
setelah proses bioabsorpsi, akan diperoleh biomassa makroalga yang dapat dikonversi
menjadi bio-fuel. Teknologi yang efektif dan mendukung untuk digunakan yaitu HTL
(Hydrothermal liquefaction), merupakan suatu proses untuk mereduksi biomassa menjadi
liquid fuel dengan energi rendah dan ramah lingkungan. HTL berjalan sangat efektif saat
digunakan dengan proses bioremediasi menggunakan alga.
Jadi, makroalga, khususnya jenis Sargassum bisa digunakan sebagai agen
bioremediasi yang menjanjikan serta mampu menghasilkan bio-fuel. Perlu dilakukan
techno-economic anaylis untuk mengestimasi secara tepat terkait initial capital dan profit.
Limbah industri yang biasanya mengandung bahan organik yang dapat mencemari
lingkungan dan merusak ekologi. Jika limbah tersebut masuk ke dalam badan air maka
akan menyebabkan oxygen depletion/oksigen berkurang. Efek langsung, limbah yang rilis
sebelum diolah akan dioksidasi oleh bakteri/secara aerobik. Maka kekurangan oksigen ini
akan mengganggu pertumbuhan biota seperti ikan dsb. Efek tidka langsung bisa
menyebabkan eutrofikasi. Jadi perlu dilakukan treatment. Metode konvensional:
1. Primary treatment-removal of large and suspended particles, such as precipitation,
flocculation, filtration, etc.
2. Secondary treatment-chemical methods such as pH stabilization, oxidation, etc.
3. Tertiary treatment-removing organic and inorganis nutrients, such as biological
methods.
Kekurangan dari metode konvensional:
Metode fisika dan kimia biasanya perlu cost tinggi jadi kurang tepat untuk perusahaan-
perusahaan. Penambahan berbagai bahan kimia bisa meningkatkan salinitas/konduktivitas
air. Bisa terbentuk sludge yang sulit untuk dibuang/di dewater, karena sludge merupakan
padatan yang memang sulit untuk diperlakukan.

Bisa menggunakan Bioremediasi memakai organisme/mikroorganisme, untuk merombak


atau meng-imobilisasi material limbah. Bisa diaplikasikan secara in situ/di lokasi limbah
berada, lebih murah, bisa meminimalisasi kerusakan pada lokasi limbah berada (pasca
pengolahan dsb), greater public acceptance, bisa dikombinasikan dengan metode fisika dan
kimia.

Phycoremediation yaitu teknik bioremediasi menggunakan algae baik mikro ataupun


makro algae untuk mentransformasi polutan termasuk nutrient dan xenobiotik dari
wastewater dan CO2 dari waste air. Algae dapat melakukan fotosintesis, dalam hidupnya,
mereka bersimbiosis dengan bakteri (bagaimana bisa bersimbiosis?)

Siklusnya adalah:
Material organik diambil oleh bakteri yang bersimbiosis pada algae, bakteri mengoksidasi
material organik tsb dan menghasilkan CO2, CO2 dipakai algae untuk fotosintesis
menghasilkan O2 dan O2 akan diambil lagi untuk oksidasi bakteri. Selain itu juga akan
dihasilkan biomassa alagae, biomassa ini dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai
macam produk.

Kenapa harus phycoremediation?


Karena mikroalgae dapat melakukan kerja secara simultan. Sebagai contoh dalam satu
waktu mikroalgae dapat mengambil material limbah organik secara bersamaan dapat
mengambil CO2 dari udara ataupun senyawa-senyawa lainnya. Menguntungkan secara
komersial karena menghasilkan biomassa yang dapat digunakan untuk memproduksi
produk laiinya ataupun biofuel/biofertilizer. Bisa juga mengambil CO2 sehingga bisa
menjadi solusi terkait global warming. Oxygenation of environment karena dapat
menghasilkan oksigen ke lingkungan. Selektif dalam mengurangi limbah tertentu jadi
komponen lain tidak akan terganggu. Sustainable dan eco-friendly dalam perspective
ekologi. Kompatibel dengan teknik yang telah ada. Cost effective untuk saves power dan
lot of chemicals. Mengurangi automisasi, maintenance dan tidak perlu skill operator (ini
terkait dengan perusahaan yang tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk membayar
operator).

Algae merupakan organisme fotosintetik, tanaman non vaskular, mengandung klorofil a


dan mempunyai struktur reproduktif yang sederhana. However deskripsi tsb tidak
menunjukkan fakta yang asli, aslinya mempunyai jenis yang beraneka ragam, ukuran,
bentuk beranekamacam dan dapat hidup di berbagai lingkungan baik pasir, air, gunung api
serta tempat-tempat ekstrim lainnya.

Ada berbagai macam algae yang dapat melakukan removal limbah berbahaya.

Sistem kultivasi mikroalgae


1. Open culture system
2. Closed culture system (biasanya photobioreactor)
3. Co-culture method
- Mikroalgae exist di alam sebagai bagian dari komunitas, benefiting from the
interaction among microorganisms.
- Pada co-culture method, lebihd ari satu spesie ditumbuhkan dalam medium
yang sama, jadi spesies-spesies yang terseleksi mempunyai kebutuhan
pertumbuhan yang mirip/sama.
- Co-culture mikroalgae dengan yeast atau bakteri telah menunjukkan
potensialnya untuk meningkatkan phycoremediation dan biomass yiled.
- Sintesis mikroalgae lebih tinggi kandungan exopolysaccharides (EPS) untuk
mendukung pertumbuhan bakteri dalam kondisi mencekam.

4. Immobilized method

Transgenic algae. Merupakan proses yang kompleks tetapi teksik yang fast
growing, dilakukan untuk meningkatkan kemampuan detoksifikasi. Dsb.

Strategi bisa menggunakan Batch, semi-continuous, continuous. Di negara-negara


maju sudah mulai dikembangkan bioremediasi menggunakan mikrolalgae.

In this study, two microalgal feedstocks, Chlorella vulgaris (Chlorella)


and Arthrospira platensis (Spirulina), and two macroalgal species, Ulva lactuca (Ulva)
and Sargassum muticum (Sargassum) were selected. All four species have been
demonstrated to have an affinity for heavy metals, and display good removal efficiencies,
as well as being established feedstocks for the HTL process. 12,29,35

First, the impact of the target metals on the HTL conversion of the four feedstocks was
assessed at 340 °C by directly combining biomass with varying concentrations of the four
metals of interest (0, 10, 50, 150 mmol L−1).

Pesisir Barat Lampung merupakan salah satu daerah perairan di Indonesia yang
memiliki banyak spesies alga baik makroalga maupun mikroalga. Jenis makroalga
mudah dilihat secara langsung, banyak ditemukan di tepi pantai Pesisir Barat
Lampung seperti Turbinaria sp., Sargassum sp., Ulva sp., Gracillaria sp., Padina
sp., Halimeda sp., dan Fucus sp.

Anda mungkin juga menyukai