Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

BIOREMEDIASI

Mata Kuliah : Bioteknologi


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sumardi, M.Si
Berti Yolida, S.Pd., M.Pd.
Nadya Meriza, S.Pd., M.Pd

Oleh Kelompok 4 (B):


1. Nofyana Safitri (2013024006)
2. Redhita Maharani A.Kodir (2013024012)
3. Sasi Rahmawati (2013024020)
4. Nurul Hidayah (2013024022)
5. M. Abi Fathur Rohman (2013024030)
6. Shinta Aulia Adesta (2013024032)
7. Fara Dila Puteri (2013024048)
8. Fariska Salam Fadhila (2053024002)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
PEMBAHASAN

1. Pengertian Bioremediasi

Bioremediasi adalah suatu strategi atau proses detoksifikasi polutan yang terdapat dalam
lingkungan dengan bantuan mikroba, tumbuhan, atau biokatalisator (Waluyo, 2018).
Detoksifikasi merupakan proses menurunkan tingkat meracun. saat bioremediasi terjadi enzim
yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur
kimia polutan tersebut. Peristiwa ini dinamakan biotransformasi. Proses biotransformasi pada
banyak kasus berujung pada biodegradasi, di mana polutan beracun terdegradasi strukturnya
menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun
(Waluyo, 2018). Bioremediasi dapat dikatakan sebagai proses degradasi biologis dari sampah
organik pada kondisi terkontrol menjadi suatu bahan yang tidak berbahaya atau konsentrasinya
di bawah batas yang ditentukan oleh lembaga berwenang. Definisi bioremediasi menurut United
Enviromental Protection Agency, adalah suatu proses alami untuk membersihkan bahan-bahan
kimia berbahaya. Ketika mikroba mendegradasi bahan berbahaya tersebut akan dihasilkan air
dan gas tidak berbahaya seperti CO2.
Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran dan cukup menarik. Selain
hemat biaya dapat juga dilakukan secara in situ langsung di tempat dan prosesnya alamiah. Laju
degradasi mikroba terhadap logam berat tergantung pada beberapa faktor yaitu aktivitas mikroba,
nutrisi, derajat keasaman dan faktor lingkungan (Waluyo, 2018).
Sejak tahun 1900 mikroorganisme sudah digunakan untuk mengelola air pada saluran air. Secara
alami teknologi bioremediasi telah digunakan orang sejak dahulu. Teknologi bioremediasi
dengan menggunakan mikroorganisme telah dilakukan oleh George M. Robinson tahun 1960
dengan membuat eksperimen dengan bejana kotor dan memakai berbagai macam campuran
mikroba. teknologi ini pada saat sekarang telah berkembang pada perawatan limbah buangan
yang berbahaya (senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan
kegiatan industri (Waluyo, 2018).
Bidang bioremediasi telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis
mikroorganisme yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi
melalui teknologi genetik. Bioremediasi dapat dilakukan di tempat terjadinya penyebaran
lingkungan (in situ) atau harus diolah di tempat lain (ex situ). pada tingkat pencemaran yang
rendah mikroba setempat mampu melakukan bioremediasi tanpa campur tangan manusia yang
dikenal sebagai bioremediasi intrinsik, tetapi jika tingkat pencemaran tinggi maka mikrobas
setempat perlu distimulasi atau dibantu dengan memasukkan mikroba yang telah diadaptasikan
(Waluyo, 2018).

2. Tujuan Bioremediasi

Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan


mikroorganisme. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbondioksida dan air) dengan
memanfaatkan aktivitas mikroba agar tidak menimbulkan lebih lanjut dan mengembalikan
kondisi lingkungan seperti kondisi alaminya (Wahyuni, 2014). Sebagian bakteri dapat
memanfaatkan pestisida, baik sebagai sumber C, N, dan P (Awad et al., 2011) atau sebagai ko-
metabolisme dengan substrat lain yang dapat mendukung pertumbuhan bakteri tersebut (Castillo,
2006). Bakteri inilah yang memegang peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang
tercemar limbah minyak bumi (Kamwal 2017). Bioremediasi merupakan alternatif pengolahan
limbah minyak bumi dengan cara degradasi oleh mikroorganisme yang menghasilkan senyawa
akhir yang stabil dan tidak beracun.

Bioremediasi telah memberikan manfaat yang luar biasa pada berbagai bidang, diantaranya
adalah sebagai berikut:

1. Bidang Lingkungan
Pengolahan limbah yang ramah lingkungan dan bahkan mengubah limbah tersebut
menjadi ramah lingkungan. Contoh bioremediasi dalam lingkungan yakni telah
membantu mengurangi pencemaran dari limbah pabrik, misalnya pencemaran limbah oli
di laut Alaska berhasil diminimalisir dengan bantuan bakteri yang mampu mendegradasi
oli tersebut.
2. Bidang Industri
Bioremediasi telah memberikan suatu inovasi baru yang membangkitkan semangat
industri sehingga terbentuklah suatu perusahaan yang khusus bergerak dibidang
bioremediasi, contohnya adalah Regenesis Bioremediation Products, Inc., di San
Clemente, Calif.3.
3. Bidang Ekonomi
Karena bioremediasi menggunakan bahan-bahan alami yang hasilnya ramah lingkungan,
sedangkan mesin-mesin yang digunakan dalam pengolahan limbah memerlukan modal
dan biaya yang jauh lebih murah,sehingga bioremediasi memberikan solusi ekonomi
yang lebih baik.
4. Bidang Pendidikan
Penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi dapat membantu penelitian terhadap
mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas. Pengetahuan ini akan
memberikan sumbangan yang besar bagi dunia pendidikan sains

3. Mikroorganisme Yang Berperan Dalam Proses Bioremediasi

Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan
dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme. Adapun mikroorganisme yang berperan dalam
proses bioremediasi yakni:

A. Jenis-jenis Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon pada Minyak Bumi.


Ada berbagai macam mikrobia yang berperan dalam proses degradasi bahan pencemar
berupa hidrokarbon yang berasal dari tumpahan minyak bumi seperti:
1. Pseudomonas sp.
Pseudomonas berbentuk batang dengan diameter 0,5 – 1 x 1,5 – 5,0 mikrometer.
Bakteri ini merupakan organisme gram negatif yang motilitasnya dibantu oleh satu
atau beberapa flagella yang terdapat pada bagian polar. Kebanyakan spesies ini tidak
bisa hidup pada kondisi asam pada pH 4,5 dan tidak memerlukan bahanbahan
organik. Bersifat oksidasi negatif atau positif, katalase positif dan kemoorganotropik.
Dapat menggunakan H2 dan CO sebagai sumber energi. Bakteri pseudomonas yang
umum digunakan sebagai pendegradasi hidrokarbon antara lain Pseudomonas
aeruginosa, Pseudomonas stutzeri, dan Pseudomonas diminuta.
Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat kelarutannya yang rendah, sehingga
sulit mencapai sel bakteri.
2. Arthrobacter sp.
Pada kultur yang masih muda Arthrobacter berbentuk batang yang tidak teratur 0,8 –
1,2 x 1 – 8 mikrometer. Pada proses pertumbuhan batang segmentasinya berbentuk
cocus kecil dengan diameter 0,6 – 1 mikrometer. Gram positif, tidak berspora, tidak
suka asam, aerobik, kemoorganotropik. Memproduksi sedikit atau tidak sama sekali
asam dan gas yang berasal dari glukosa atau karbohidrat lainnya. Katalase positif,
temperatur optimum 25 – 30oC.
3. Acinetobacter sp.
Berbentuk bulat panjang pada fase stasioner pertumbuhannya. Bakteri ini tidak dapat
membentuk spora. Tipe selnya adalah gram negatif, tetapi sulit untuk diwarnai.
Bakteri ini bersifat aerobik, sangat memerlukan oksigen sebagai terminal elektron
pada metabolisme. Bersifat oksidasi negatif dan katalase positif. Bakteri ini memiliki
kemampuan untuk menggunakan rantai hidrokarbon sebagai sumber nutrisi, sehingga
mampu meremidiasi tanah yang tercemar oleh minyak. Bakteri ini bisa menggunakan
amonium dan garam nitrit sebagai sumber nitrogen, akan tetapi tidak memiliki
pengaruh yang signifikan.
4. Bacillus sp
Mempunyai ukuran lebar 1,0-1,2 m dan panjang 3-5 m. Merupakan bakteri gram
positif dan bersifat aerob. Bakteri ini mempunyai kemampuan dalam mendegradasi
minyak bumi, dimana bakteri ini menggunakan minyak bumi sebagai satu-satunya
sumber karbon untuk menghasilkan energi dan pertumbuhannya. Pada konsentrasi
yang rendah, bakteri ini dapat merombak hidrokarbon minyak bumi dengan cepat.
Jenis Bacillus sp. yang umumnya digunakan seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus,
Bacillus laterospor.

B. Jenis-jenis mikroba pendegradasi logam


1. Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens
Bakteri ini mampu mengubah Cr (VI) menjadi Cr (III) dengan bantuan senyawa-
senyawa hasil metabolisme, misalnya hidrogen sulfida, asam askorbat, glutathion,
sistein, dll.
2. Desulfovibrio sp.
Bakteri ini membentuk senyawa sulfida dengan memanfaatkan hidrogen sulfida yang
dibebaskan untuk mengatasi pencemaran logam Cu.
3. Desulfuromonas acetoxidans
Bakteri ini merupakan bakteri anerobik laut yang menggunakan sulfur dan besi
sebagai penerima elektron untuk mengoksidasi molekul organik dalam endapan yang
bisa menghasilkan energi.
4. Desulfotomaculum sp.
Bakteri ini merupakan bakteri yang mereduksi sulfat. Dalam melakukan reduksi
sulfat, bakteri ini menggunakan sulfat sebagai sumber energi yaitu sebagai akseptor
elektron dan menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon. Karbon tersebut
selain berperan sebagai sumber donor elektron dalam metabolismenya juga
merupakan bahan penyusun selnya.
5. Thiobacillus ferroxidans
Bakteri ini merupakan bakteri belerang banyak berperan pada logam-logam dalam
bentuk senyawa sulfida untuk menghasilkan senyawa sulfat.
6. Spirulina sp.
Spirulina sp. merupakan salah satu jenis alga dengan sel tunggal yang termasuk
dalam kelas Cyanophyceae. Sel Spirulina sp. berbentuk silindris, memiliki dinding
sel tipis. Alga ini mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengikat ion-ion logam
dari larutan dan mengadsorpsi logam berat karena di dalam alga terdapat gugus fungsi
yang dapat melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama
gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril imadazol, sulfat dan sulfonat yang
terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
7. Jamur Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp.
Jamur-jamur ini dapat mengakumulasikan Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan
Rhizopus arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium. Penggunaan jamur
mikoriza juga telah diketahui dapat meningkatkan serapan logam dan menghindarkan
tanaman dari keracunan logam berat.

4. Proses Bioremediasi

Bioremediasi mengacu pada segala proses yang menggunakan mikroorganisme seperti


bakteri, fungi (mycoremediasi), yeast, alga dan enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba
tersebut untuk membersihkan atau menetralkan bahan-bahan kimia dan limbah secara aman dan
salah satu alternatif dalam mengatasi masalah lingkungan. Pada saat proses bioremediasi
berlangsung, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan
beracun menjadi tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.
Proses bioremediasi dengan menggunakan mikrob yang hidup di tanah dan air tanah memakan
senyawa hidrokarbon atau minyak mentah. Setelah senyawa minyak dimakan, proses hasil
penguraian minyak oleh mikrob tersebut mengubah senyawa minyak menjadi air dan gas yang
tidak berbahaya dan aman bagi lingkungan.
Contoh dari proses bioremediasi dalam pengolahan secara biologi pada prinsipnya meniru
proses alami self purification di sungai dalam mendegradasi polutan melalui peranan
mikroorganisma. Pengolahan air tercemar dengan mikroba yang berperan dalam pertumbuhan
mikroorganisma menempel dan tersuspensi dan pertumbuhan mikroorganisma yang tersuspesi.
a. Pertumbuhan mikroorganisme menempel
Mikroorganisme menempel pada suatu permukaan misalnya pada batuan ataupun
tanaman air. Selanjutnya diaplikasikan pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPA)
misalnya dengan sistem trickling filter. Selama pengolahan aerobik air limbah domestik,
genus bakteri yang sering ditemukan berupa Gram-negatif berbentuk batang heterotrofik
organisme, termasuk Zooglea, Pseudomonas, Chromobacter, Achromobacter,
Alcaligenes dan Flavobacterium. Filamentous bakteri seperti genera Beggiatoa, Thiotrix
dan Sphaerotilus juga ditemukan dalam biofilm, sebagaimana organisme seperti
Nitrosomonas dan nitrifikasi Nitrobacter.
b. Pertumbuhan mikroorganisme yang tersuspesi
Mikroorganisme ini keberadaannya dalam bentuk suspensi di dalam air yang tercemar.
Selanjutnya diaplikasikan pada IPAL dengan sistem lumpur aktif konvensional
menggunakan bak aerasi maupun sistem SBR (Sequence Batch Reactor). Berbeda dengan
mikroorganisma yang menempel, sistem pertumbuhan mikroorganisma yang tersuspensi
terdiri dari agregat mikroorganisma yang pada umumnya tumbuh sebagai flocs dalam
kontak dengan air limbah pada waktu pengolahan. Agregat atau flocs, yang terdiri dari
berbagai spesies mikroba, berperan dalam penurunan polutan. Umumnya spesies mikroba
ini terdiri dari bakteri, protozoa dan metazoa.

5. Jenis-jenis Bioremediasi

Teknologi bioremediasi ada dua jenis yaitu ex-situ dan in-situ.

A. Teknik Bioremediasi In-Situ


Bioremediasi In situ melibatkan pengolahan polutan lansung di tempat yang tercemar.
Teknik ini umumnya lebih disenangi karena dianggap lebih murah dibandingkan teknik
bioremediasi eks situ karena tidak diperlukan biaya tambahan untuk memindahkan dan
mengeduk polutan. Meskipun demikian, untuk beberapa kasus teknik ini tetap membutuhkan
biaya yang tidak sedikit untuk desain dan instalasi peralatan canggih dalam rangka
meningkatkan aktivitas mikrob selama remediasi di tempat yang tercemar.
Telah banyak penelitian yang membuktikan keberhasilan bioremediasi in situ dalam
mengurangi berbagai polutan seperti pewarna, logam berat, dan hidrokarbon terklorinasi
pada situs yang tercemar Kesuksesan bioremediasi in situ dipengaruhi kondisi lingkungan
seperti status akseptor elektron, kelembaban, ketersediaan nutrisi, pH dan temperatur ). Ada
beberapa teknik dalam bioremediasi in-situ yaitu:
a) Natural attenuation (pemulihan secara alami)
Perbaikan secara alami terkait dengan aktivitas degradasi mikroorganisme indigenous.
Beberapa keuntungan dari pengunaan metode ini yaitu kerusakan habitat bisa
dihindarkan, memungkinkan ekosistem kembali ke kondisi aslinya dan memungkinkan
detoksifikasi senyawa beracun. Natural attenuation adalah opsi tanpa tindakan yang
memungkinkan polutan dihilangkan dan didegradasi dengan cara alami. Metode ini
biasanya diterapkan pada kasus tumpahan minyak di lokasi terpencil atau tidak dapat
diakses dengan tingkat penghilangan alami cepat, atau tumpahan di situs sensitif di mana
tindakan pembersihan dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan daripada perbaikan.
Perlu juga dicatat bahwa ketika teknik ini diterapkan, program pemantauan masih
diperlukan untuk menilai kinerja proses ini.
b) Fitoremediasi
Fitoremediasi adalah teknologi bioremediasi dengan pemanfaatkan tanaman untuk
menghilangkan kontaminan dari tanah dan air . Fitoremediasi dianggap sebagai
teknologi yang effektif untuk mengkonsentrat unsur atau senyawa seperti logam berat
dan polutan lainnya dari lingkungan dengan menggunakan tanaman. Dalam ekosistem
alami, tanaman bertindak sebagai filter dan memetabolisme zat yang dihasilkan oleh
alam. Kadang- kadang, tanaman juga digunakan untuk mempercepat laju degradasi atau
untuk menghilangkan kontaminan, baik sendiri atau bersama dengan
mikroorganisme.Keberhasilan fitoremediasi tergantung pada interaksi eksudat akar dan
mikroorganisme in-situ.
c) Bioventing
Bioventing adalah suatu metode dengan menggunakan mikroba indigenous dalam
mendegradasi kontaminan organik dengan menambahkan nutrisi dan atau tingkat udara
untuk menyediakan oksigen agar proses biodegradasi meningkat. Bioventing dikenal
sebagai teknik atau metode remediasi yang low-impact karena hanya menambahkan
stimulan untuk meningkatkan kemampuan biodegradasi mikroba indigenous. Aktivitas
bakteri secara alami ditingkatkan dengan injeksi udara (atau oksigen) ke zona tak jenuh
(menggunakan sumur ekstraksi atau injeksi) dan jika perlu dengan menambahkan nutrisi.
Bioventing adalah penggunaan induksi gerakan udara melalui tanah tak jenuh, dengan
atau tanpa nutrien. Selain itu metode ini bersifat cost-effective dimana hanya
membutuhkan teknologi minimal dan monitoring setelah aplikasi sehingga metode ini
sangat cocok untuk wilayah-wilayah yang terkontaminasi dengan kontaminan yang
bersifat low accessibility seperti petroleum hidrokarbon (PH) dan Polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs). Bioventing telah terbukti secaara dramatis mengurangi bagian
dari senyawa-senyawa yang dikenal sebagai BTEX (benzene, toluene, etil benzene dan
xilena), yang telah terdeteksi dalam waktu satu tahun. Keberhasilan bioremediasi
berbasis bioventing bergantung pada jumlah titik injeksi udara, yang membantu
mencapai distribusi udara yang seragam. Selain itu dapat digunakan untuk proses
bioremediasi anaerob terutama dalam mengobati zona vadose (zona tidak jenuh) yang
tercemar dengan senyawa terklorinasi, yang sangat susah didegradasi dalam kondisi
aerob.
d) Bioaugmentasi
Bioaugmentasi adalah teknikbioremdiasi yang menambahakan mikroba (bakteri, fungi
ataupun alga) pada situs tercemar yang berfungsi sebagai pembersih kontaminan yang
ada di daerah tersebut. Pendekatan bioaugmentasi digunakan jika populasi mikroba
indigenous pendegradasi polutan dilingkungan tersebut rendah, polutan tersebar cukup
banyak dan merupakan senyawa komplek sehingga mikroba indigenous tak mampu
mendegradasi secara sempurna dan ketika kecepatan biodegradasi merupakan kunci
kesuskesan, dan biaugmentasi dapat mempersingkat proses bioremediasi.
Teknik bioaugmentasi dilaporkan telah berhasil menyisihkan berbagai jenis polutan
seperti senyawa terklorinasi dan terflorinasi, lignin, quinolin dan piridin, pewarna
sintetik, sianida, nicotin, Diethylene Glycol Monobutyl Ether (DGBE), dan Polycyclic
Aromatic Hydrocarbons (PAHs). Meskipun demikian, terdapat beberapa keterbatasan
dari teknik ini, yang paling umum adalah terkadang mikroorganisme yang ditambahkan
tidak bisa berkompetisi dengan mikroba indigenous sehingga efektivitasnya tidak
terlihat. Selain itu fakor protozoan grazing, infeksi bakteriofage, dan ukuran inokulum
bisa menjadim faktor pembatas dalam teknik ini (Nzila et al2016). Teknik
bioaugmentasi disarankan bisa dikerjakan secara efektif ketika kondisi lingkungan
terkontrol dengan baik, tetapi tidak ada jaminan jika metode ini digunakan skala
lapangan. Beberapa penelitian menyarankan pemanfaatan mikroba hasil rekayasa
genetika dalam proses bioaugmentasi tetapi hal inipun masih menjadi dilema karena
daya tahan mikroba hasil rekaysa genetik di lingkungan masih dipertanyakan. Hal yang
paling penting adalah isu keselamatan dan potensi kerusakan ekologi, serta persepsi
publik tentang mikroorganisme hasil rekayasa genetik.

e) Biosparging
Teknik ini sangat mirip dengan bioventing dimana udara disuntikkan ke bawah
permukaan tanah untuk merangsang aktivitas mikroba untuk meningkatkan kecepatan
degradasi polutan dari situs tercemar. Namun, tidak seperti bioventing, udara
disuntikkan ke zona jenuh, yang dapat menyebabkan pergerakan senyawa organik yang
mudah menguap ke atas menuju zona tak jenuh. Efektivitas biosparging tergantung pada
dua faktor utama yaitu: permeabilitas tanah, yang menentukan bioavailabilitas polutan
untuk mikroorganisme, dan biodegradabilitas polutan . Biosparging merupakan
teknologi populer untuk memperbaiki situs yang terkontaminasi hidrokarbon
melaporkan bahwa biosparging akifer yang terkontaminasi benzena, toluena,
etilbenzena, dan xilen (BTEX) menghasilkan pergeseran dari kondisi anaerob ke aerob.
Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan oksigen terlarut, potensial redoks, nitrat,
sulfat, dan mikrob heterotrof . Kondisi ini seiring dengan penurunan besi terlarut,
sulfida, metana dan total mikrob anaerob dan methanogen. Secara keseluruhan
penurunan BTEX (70%), menunjukkan bahwa biosparging dapat digunakan untuk itu
meremediasi air tanah yang terkontaminasi BTEX. Namun keterbatasan teknik
bisosparging, adalah bagaimana memprediksi arah aliran udara.

B. Teknik Bioremediasi Ex-Situ


Teknik bioremediasi eks situ melibatkan penggalian polutan dari situs yang tercemar
untuk dibawa ke tempat lain untuk melakukan proses remediasi. Hal yang bisa menjadi
pertimbangan teknik bioremediasi eks situ adalah biaya perawatan, kedalaman polusi, jenis
polutan, tingkat polusi, lokasi geografis dan geologi situs yang tercemar. Salah satu
keuntungan yang utama dari bioremediasi eks situ yaitu tidak membutuhkan penilaian
pendahuluan situs terpolusi yang ekstensif sebelum remediasi. Hal ini membuat tahap
pendahuluan menjadi lebih pendek dan lebih murah. Adanya proses penggalian yang terkait
dengan bioremediasi eks situ menyebabkan ketidakhomogenan polutan sebagai akibat dari
kedalaman, konsentrasi dan distribusi yang tidak seragam, dapat dengan mudah diatasi
dengan mengoptimalkan beberapa proses parameter (suhu, pH, pencampuran) secara efektif
dari setiap teknik eks situ untuk meningkatkan proses bioremediasi. Teknik-teknik eks situ
memungkinkan modifikasi kondisi biologis, kimia dan fisikokimia dan parameter yang
diperlukan supaya bioremediasi berjalan secara efektif dan efisien. Ada beberapa teknik
dalam bioremediasi ex-situ yaitu:
a) Bioreaktor
Istilah bioreaktor digunakan untuk menggambarkan tempat yang digunakan untuk
mengkonversi suatu bahan baku menjadi produk spesifik dengan mengikuti serangkaian
reaksibiologi. Bioreaktor dibutuhkan untuk menciptakan kondisi lingkungan yang
optimal dan terkendali sehingga sel dapat melakukan interaksi dengan lingkungan dan
nutrisi didalamnya. Terdapat beberapa jenis biorekator yaitu batch, fed-batch, batch
sequencing, kontinyu dan bertingkat. Kondisi dalam bioreaktor mendukung proses alami
sel dengan cara menciptaan kondisi yang mirip dengan alaminya sekaligus
mempertahankan kondisi tersebut sehingga dapat memberikan kondisi pertumbuhan
optimum untuk sel. Sampel yang terpolusi bisa dimasukkan ke dalam bioreaktor baik
dalam bentuk bahan kering atau bubur.Penggunaan teknik bioreaktor mempunyai
beberapa keuntungan dibandingkan teknik bioremediasi eks situ lainnya yaitu kita bisa
mengontrol, mengendalikan dan memanipulasi dengan baik semua parameter yang
terlibat dalam proses seperti suhu, pH, agitasi dan laju aerasi, konsentrasi substrat dan
inokulum sehingga dapat meningkatkan efektiftas proses bioremediasi. Selain itu teknik
bioreaktor menjadikan bioremediasi menjadi lebih efisisen karena bioaugmentasi yang
terkontrol, penambahan nutrisi, peningkatan bioavaibilitas polutan, dan transfer masa
(interaksi antara polutan dengan mikroba) yang merupakan faktor pembatas pada proses
bioremediasi umumnya dapat diatasi dengan adanya teknik ini. Lebih jauh lagi teknik
bioreaktor dapat digunakan untuk mengolah tanah atau air yang tercemar volatile
organic compounds (VOCs) termasuk benzene, toluene, ethylbenzene and xylenes
(BTEX). Fleksibilitas dari desain bioreaktor memungkinkan degradasi biologis
maksimum dan meminimalkan kerugian abiotik.
Teknik bioreaktor mempunyai beberapa keterbatasan untuk diaplikasikan secara skala
penuh karena beberapa alasan. Berhubungan dengan volume sampel. Jika volume
sampel cukup besar maka metode ini tidak cost effective. Hal ini disebabkan karena
bioreaktor merupakan teknik eks situ, volume tanah yang tercemar atau zat lain yang
akan diolah jika terlalu besar, akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, modal dan
langkah-langkah keselamatan untuk pengangkutan polutan ke tempat pengolahan. Lalu
karena beberapa parameter bioproses atau variabel bioreaktor, parameter apa pun yang
tidak benar dikendalikan dan/atau dipertahankan secara optimal, dapat menjadi faktor
pembatas sehingga akan mengurangi aktivitas mikroba dan akan membuat proses
bioremediasi berbasis bioreaktor lebih sedikit efektif. Terakhir, polutan cenderung
merespons secara berbeda untuk bioreaktor yang berbeda sehingga dibutuhkan
ketersediaan desain yang paling cocok sangat penting. Tetapi yang bisa menjadi catatan
penting untuk teknik bioremediasi bioreaktor adalah teknik ini menjadi bersifat padat
modal.
b) Landfarming
Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang cukup sederhana. Teknik ini
membutuhkan biaya yang cukup murah dan peralatan yang sedikit. Landfarming juga
dikenal sebagai teknologi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan teknologi
reemdiasi lainnya. Selain iitu teknologi landfarming bisa diintergrasikan dengan teknik
remediasi lainnya seperti biaugmentasi, biostimulasi ataupun composting untuk
meningkatkan hasil bioremediasi secara umum. Landfarming dikembangkan dengan
mempertimbangkan beberpa faktor untuk remediasi tanah berkelanjutan seperti biaya,
kebutuhan ruang, waktu, permintaan energi, penggunaan bahan baku dan penerimaan
publik. Prinsip yang mendasari proses landfarming adalah penggunaan komunitas
mikroba untuk menghilangkan kontaminan organik dikonversi menjadi CO2 dan air
dengan mekanisme utama adalah volatilisasi Volatil Organic Compouds (VOCs),
biodegradasi dan adsoption.
Dalam kebanyakan kasus, landfarming dikategorikan sebagai teknik bioremediasi eks
situ, sementara dalam beberapa kasus, dianggap seperti teknik bioremediasi in situ. Hal
ini tergantng dimana dilakukannya treatmen. Kedalaman polutan menjadi kunci penting
apakah landfarming dapat dilakukan secara eks situ atau in situ. Dalam teknik
landfarming tanah yang tercemar biasanya digali, tetapi situs atau tempat treatmen
tampaknya menentukan jenis bioremediasi. Ketika tanah yang tercemar digali dan di
treatmen di tempat, itu bisa dianggap sebagai in situ, jika tidak, maka dikategorikan itu
eks situ landfarming. Landfarming eks situ membutuhkan waktu perawatan yang lebih
singkat, lebih mudah dikendalikan, dan bisa diaplikasikan untuk kisaran kontaminan
yang lebih luas dibandingkan dengan teknik landfarming in situ. Namun, teknik
landfarming eks situ membutuhkan tambahan biaya untuk penggalian dan transportasi
untuk pemindahan material terkontaminasi serta biaya modal untuk membangun dan
melengkapi struktur perawatan yang pada akhirnya dibutuhkan biaya tenaga kerja dan
energi tambahan. Teknik landfarming dilaporkan sukses diterapkan secara komersial
dalam skala besar dalam menghilangkan kontaminan PAHs dan tumpahan minyak pada
tanah dan sedimen. Kesuksesan landfarming tergantung kepada kondisi spesifik seperti
seperti drainase tanah yang baik, biodegradabilitas polutan oleh mikroorganisme yang
ada dan keberadaan mikroorganisme yang melimpah. Selain itu kondisi tempat yang
tertutup seperti rumah kaca diperlukan untuk meminimalkan erosi tanah dan limpasan air
hujan serta mengontrol emisi udara. Kondisi lingkungan yang sesuai termasuk nilai pH,
ketersediaan nutrisi, dan kadar air juga menjadi faktor penting untuk kesuksesan
landfarming.
c) Vermicomposting
Teknik composting merupakan teknik bioremediasi eks situ yang melakukan kombinasi
antara tanah terkontaminasi dengan tanah yang mengandung pupuk (kompos) atau
senyawa organik yang dapat meningkatkan populasi mikroorganisme. sehingga terjadi
proses biodegradasi bahan organik yang ada di dalam campuran bahan tersebut.
Komposting atau vermicomposting adalah teknik yang ideal untuk mentransformasi
bahan organik yang diinginkan dengan cepat dan untuk menciptakan lingkungan yang
optimal untuk biodegradasi. Vermicomposting dianggap sebagai bioteknologi inovatif
vermikultur yang menyediakan pengelolaanlimbah yang hemat biaya secara
berkelanjutan.Meskipun mikroorganisme bertanggung jawab untuk sebagian besar
degradasi biokimia bahan organik, proses degradasi biokimia yang dikenal sebagai
vermicomposting dipengaruhi terutama oleh biokimia dan aktivitas fisik cacing tanah.
Cacing tanah menelan bahan organik dengan cepat, membuat kompos berkualitas lebih
tinggi daripada kebanyakan metode pengomposan tradisional dan menghasilkan bahan
yang kaya akan unsur-unsur penting untuk tanaman seperti nitrogen, fosfor, magnesium,
belerang, dan kalium Telah banyak penelitian yang melaporkan kemempuan teknik
vermicomposting dalam mendegradasi limbah padat organik khususnya PAHs
(Polycyclic Aromatic Hydrocarbons) dan logam berat.
Beberapa jenis cacing tanah yang dipalorkan banyak digunakan dalam vervikomposting
adalah Eisenia fetida, Eisenia andreii, Eudrilus eugeniae, Amynthas gracilus dan
Perionyx excavates; Lumbricus rubellus. Teknis bioremediasi vermicomposting
memberikan beberapa keuntungan yaitu ekonomis dan ramah lingkungan, metode cukup
sederhana, menghasilkan produk samping (kompos) yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut
untuk pertanian dan cacing tanah yang bisa dijual untuk berbagai kepentingan (kesehatan
(obat) , kecantikan, dll).

6. Faktor Yang Mempengaruhi Bioremediasi

Faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas proses bioremediasi adalah faktor


lingkungan, fisik, dan kimia. Faktor lingkungan meliputi suhu, pH, ketersediaan oksigen, nutrisi,
dan kelembapan. Faktor fisik terdiri atas ketersediaan air, kesesuaian jumlah mikroorganisme
dengan senyawa pencemar, dan tersedianya akseptor yang sesuai. Sementara faktor kimia terdiri
atas bentuk struktur kimia dari senyawa pencemar yang akan memengaruhi sifat fisik dan kimia
pencemar tersebut (Eweis et al., 1998).

a) Kadar Oksigen
Bakteri yang biasa digunakan untuk mendegradasi hidrokarbon adalah bakteri aerob, yaitu
bakteri yang membutuhkan oksigen dalam aktivitasnya. Oksigen dalam tanah dapat diperoleh
dari proses difusi antara udara dengan tanah. Oksigen ini mudah habis terutama jika jumlah
mikroorganisme yang memanfaatkan oksigen tersebut sangat banyak sedangkan proses difusi
sendiri membutuhkan waktu yang lama. Keterbatasan jumlah oksigen diperkirakan dapat
menjadi faktor penghambat biodegradasi minyak bumi di bawah tanah (Nugroho, 2006).
Pada proses pengolahan yang dilakukan secara aerob, pemberian oksigen (aerasi) perlu
dilakukan dengan cara mengalirkan oksigen melalui pipa-pipa, pengadukan manual atau
dengan alat berat (Kementerian Lingkungan Hidup, 2003). Kebutuhan oksigen juga dapat
diperoleh melalui proses pengadukan dan pembalikan secara berkala yang bertujuan untuk
menjaga suhu tanah tetap ideal serta untuk menghomogenitaskan campuran pada tanah
(Thapa et al., 2012).
b) Kadar Air
Kondisi tanah yang lembab mengakibatkan degradasi bakteri dapat optimal karena
terpenuhinya nutrient dan substrat. Kelembaban ideal bagi pertumbuhan bakteri adalah 25-
28% (Thapa et al., 2012), sedangkan kelembaban optimum untuk bioremediasi tanah
tercemar adalah sekitar 80% kapasitas lapang atau sekitar 15% air dari berat tanah. Ketika
kelembaban tanah mencapai 70%, hal tersebut dapat mengganggu proses transfer gas oksigen
secara signifikan sehingga mengurangi aktivitas aerobik (Cookson, 1995). Kadar air yang
terkandung dalam tanah juga akan mempengaruhi keberadaan dan tingkat toksisitas
kontaminan, transfer gas, serta pertumbuhan dan distribusi dari mikroorganisme (Cookson,
1995).
c) Suhu
Suhu tanah dapat memberi efek pada aktivitas mikroorganisme dan laju biodegradasi
kontaminan senyawa hidrokarbon. Suhu optimum bagi hampir semua mikroorganisme tanah
umumnya pada kisaran 10-40°C, walaupun ada beberapa yang dapat hidup hingga suhu 60°C
(bakteri termofilik) (Retno dan Mulyana, 2013). Pada keadaan suhu rendah (< 5°C) maka
akan memperlambat atau menghentikan proses biodegradasi (Antizar et al., 2007). Pada suhu
rendah hanya fraksi hidrokarbon tertentu yang didegradasi, sedangkan pada suhu hangat
berbagai fraksi dapat didegradasi pada kecepatan yang sama (Atlas dan Bartha, 1995).
d) pH
Nilai pH tanah berpengaruh pada kondisi optimum mikroorganisme pendegradasi karbon.
Nilai pH akan mempengaruhi kemampuan mikroorganisme untuk menjalankan fungsi-fungsi
sel, transpor sel membran maupun keseimbangan reaksi yang terkatalis oleh enzim
(Notodarmojo, 2005). Pertumbuhan mikroorganisme akan meningkat apabila pH berada pada
kisaran 6-9 (Eweis et al., 1998). Penelitian biodegradasi endapan minyak yang dilakukan
oleh Dibble dan Bartha (1979) juga menunjukkan bahwa pH 7,8 menghasilkan biodegradasi
yang mendekati optimum.
e) Nutrien
Nutrisi merupakan faktor yang berpengaruh besar dalam sintesis dan pertumbuhan sel serta
aktivitas enzim yang dihasilkan bakteri untuk mendegradasi polutan. Penambahan nutrien
juga diketahui dapat mempercepat pertumbuhan mikroba lokal yang terdapat pada daerah
tercemar (Komarawidjaja dan Lysiastuti, 2009). Beberapa nutrisi penting yang dibutuhkan
mikroorganisme adalah karbon, nitrogen, dan fosfor (Wulan dkk., 2012). Nutrisi yang paling
sering ditambahkan untuk bioremediasi adalah nitrogen. Nitrogen biasanya ditambahkan
sebagai sumber nitrogen untuk pertumbuhan sel, tetapi juga dapat berfungsi sebagai akseptor
elektron alternatif. Sebagai sumber nutrisi, nitrogen biasanya ditambahkan dalam bentuk urea
atau garam amonia (Cookson, 1995). Kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan
emisi dari nitrogen sebagai amonium sehingga dapat menghalangi perkembangbiakan dari
bakteri. Sebaliknya jika kandungan unsur N relatif rendah maka akan menyebabkan proses
degradasi berlangsung lebih lambat karena nitrogen akan menjadi faktor penghambat
(growth-rate liming factor) (Alexander, 1994). Untuk mengatasi keterbatasan nitrogen dan
fosfor di dalam tanah dapat diatasi dengan penambahan pupuk NPK, garam amonium dan
garam fosfat (Nugroho, 2006).

7. Kekurangan dan Kelebihan Bioremediasi

Kesuksesan metode bioremediasi ditentukan oleh penggunaan mikroba yang tepat, di


tempat yang tepat dengan faktor-faktor lingkungan yang tepat untuk terjadinya degradasi.
Kelebihan bioremediasi adalah dapat dilakukan pada lokasi (perlakuan lapangan) kurangnya
biaya dan gangguan Bioremediasi dapat menghilangkan polutan secara permanen dan dapat
diterima masyarakat, dengna didukung peraturan dapat digabung dengan metode perlakuan fisika
dan kimia (Madonna, 2022). Bioremediasi mempunyai keterbatasan (Madonna, 2022). Residu
yang dihasilkan merupakan senyawa yang tidak berbahaya meliputi CO2, air , dan sel biomassa.
Banyak senyawa yang dianggap berbahaya dapat dirubah menjadi tidak berbahaya dan
memindahkan kontaminan dari satu medium lingkungan ke tempat lain.
KESIMPULAN

Bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan


mikroorganisme. Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar
menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbondioksida dan air) dengan
memanfaatkan aktivitas mikroba agar tidak menimbulkan lebih lanjut dan mengembalikan
kondisi lingkungan seperti kondisi alaminya. Bioremediasi telah memberikan manfaat yang luar
biasa pada berbagai bidang yaitu lingkungan dengan Pengolahan limbah yang ramah lingkungan
dan bahkan mengubah limbah tersebut menjadi ramah lingkungan., pada bidang industri dengan
terbentuknya perusahaan khusus yang bergerak dibidang bioremediasi, pada bidang ekonomi dan
juga bidang pendidikan dengan pengetahuan penggunaan mikroorganisme dalam bioremediasi
dapat membantu penelitian terhadap mikroorganisme yang masih belum diketahui secara jelas.

Proses bioremediasi dengan menggunakan mikrob yang hidup di tanah dan air tanah
memakan senyawa hidrokarbon atau minyak mentah. Setelah senyawa minyak dimakan, proses
hasil penguraian minyak oleh mikrob tersebut mengubah senyawa minyak menjadi air dan gas
yang tidak berbahaya dan aman bagi lingkungan. Mikroorganisme yang berperan dalam
proses bioremediasi terdiri dari dua jenis yaitu bakteri pendegradasi hidrokarbon pada minyak
bumi seperti Pseudomonas sp., Arthrobacter sp., Acinetobacter sp., Bacillus sp.Lalu jenis
mikroba pendegradasi logam seperti Enterobacter cloacae dan Pseudomonas fluorescens,
Desulfovibrio sp., Desulfotomaculum sp., Thiobacillus ferroxidans, Spirulina sp., Jamur
Saccharomyces cerevisiae dan Candida sp. Teknologi bioremediasi ada dua jenis yaitu ex-situ
dan in-situ. Ada beberapa teknik dalam bioremediasi in situ yaitu: Natural attenuation
(pemulihan secara alami) dan melalui peningkatan (Fitoremediasi, bioventing, bioaugmentasi
dan biosparging). Beberapa teknik bioremediasi eks situ yaitu bioreaktor, landfarming dan ver
micomposting.
DAFTAR PUSTAKA

Waluyo, Lud. 2018. Bioremediasi Limbah. UMM Press. Malang

Hasyimuddin, A., Djide, M. N., & Samawi, M. F. 2016. Isolasi Bakteri Pendegradasi Minyak
Solar Dari Perairan Teluk Pare-Pare. Biogenesis: Jurnal Ilmiah Biologi, 4(1), 41-46.

Marzuki, I., Syahrir, M., Ramli, M., Harimuswarah, M. R., Artawan, I. P., & Iqbal, M.
2022. Operasi dan Remediasi Lingkungan (Vol. 1). TOHAR MEDIA.

Prawitasari, S., Jannah, S. N., & Akhdiya, A. 2018. Seleksi dan Identifikasi Secara Molekuler
Bakteri Pendegradasi Insektisida Piretroid dari Tanah. Indonesia Journal of Halal, 1(1),
8-14.

Lumbanraja, P. 2014. Mikroorganisme dalam Bioremediasi. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Christofer,F., Sari, S. P., Sapulette, K., Anggayni, M., Hutagalung, E., & Irawati, W.. 2022.
Mikorizoremediasi: Asosiasi Fungi Mikoriza Arbuskula dalam Meningkatkan
Kemampuan Penyerapan Logam pada Tanaman Hiperakumulator di Lahan
Pertambangan: Mycorizoremediation: Association of Arbuscular Mycorrhizal Fungi to
Increase Metal Absorption Ability in Hyperaccumulator Plants at Mining Land. Jurnal
Teknologi Lingkungan, 23(1), 118-125.

Liu, S. H., Zeng, G. M., Niu, Q. Y., Liu, Y., Zhou, L., Jiang, L. H., & Cheng, M. 2017.
Bioremediation mechanisms of combined pollution of PAHs and heavy metals by
bacteria and fungi: A mini review. Bioresource technology, 224, 25-33.

Priadie, B. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatif dalam upaya pengendalian pencemaran
air. Jurnal ilmu lingkungan, 10(1), 38-48.

Eweis, J.B., Ergas, S.J., Chang, D.P., Schoroeder, E.D. 1998. Bioremediation Principles. New
York : Mc-Graw Hill.

Nugroho, Astri. 2006. Bioremediasi Hidrokarbon Minyak Bumi. Yogyakarta : Penerbit Graha
Ilmu.

Thapa, Bijay., Kumar, Ajay K.C., Ghimire, Anish. 2012. A Review on Bioremediation of
Petroleum Hydrocarbon Contaminants in Soil. Journal of Science, Engineering, and
Technology. 8 (1) : 164-170.

Cookson, John T. 1995. Bioremediation Engineering. New York : Mc-Graw Hill.


Atlas, R.M., Bartha, R. 1985. Microbial Ecology. London : Benjamin/Cummings Publising.

Retno, Tri D.L., Mulyana, Nana. 2013. Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Lumpur Minyak
Menggunakan Campuran Bulking Agents yang Diperkaya Konsorsia Mikroba Berbasis
Kompos Iradiasi. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 9 (2) : 139-150.

Notodarmojo, S. 2005. Pencemaran Tanah & Air Tanah. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Wulan, Praswati P., Gozan, Misri., Arby, Berly., Achmad, Bustomy. 2012. Penentuan Rasio
Optimum C:N:P sebagai Nutrisi pada Proses Biodegradasi Benzena-Toluena dan Scale
Up Kolom Bioregenerator. Jurnal Repository Universitas Indonesia.

Henggar H.,Teddy K., Susi S. 2011. Bioremediasi Logam Timbal (Pb) Dalam Tanah
Terkontaminasi Limbah Sludge Industri Kertas Proses Deinking. Jurnal Selulosa, Vol. 1,
No. 1: 31 – 41

Irma M.2020.Teknik Bioremediasi: Keuntungan, Keterbatasan, dan Prospek Riset. Prosiding


Seminar Nasional Biotik 2020. 272-286

Anda mungkin juga menyukai