BIOREMEDIASI
TUGAS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Magister Sains (M.Si)
pada Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Diponegoro Semarang
Oleh:
Kenanga Sari
24020115420014
DEPARTMENT BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
II.
PEMBAHASAN
Selain itu, pemanfaatan alga yang paling dikembangkan saat ini adalah
kemampuannya sebagai sumber makanan tambahan dan sumber energi alternatif
pengganti bahan bakar fosil seperti biodiesel. Mikrolaga dapat digunakan untuk
pengolahan tersier limbah karena kapasitas mereka untuk menyerap nutrisi. pH
meningkat (dimediasi oleh oleh pertumbuhan alga juga) menyebabkan presipitasi fosfor
dan stripping ammonia keudara dan bertindak juga sebagai desinfektan pada air limbah.
2.1.1 Kelebihan Mikroalga Sebagai Agen Fikoremediasi
Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan limbah
cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan alami
seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak
menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur
ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (De la noue et al., 1992).
Pengelolaan limbah dengan menggunakan mikroalga atau biasa disebut
fikoremediasi dipilih sebagai upaya mengurangi pencemaran lingkungan. Salah
satu organisme yang paling banyak digunakan adalah C. pyrenoidosa H.Chick.
Mikroalga C. pyrenoidosa H.Chick dipilih karena mampu tumbuh dengan cepat
dan mudah untuk dikultur selain itu berukuran kecil sehingga terdapat area
penyerapan yang lebih banyak dan mempunyai kemampuan penyerapan yang
lebih baik dibandingkan dengan sel yang memiliki ukuran besar (Khoshmanesh
et al., 1997).
Penggunaan mikroalga sebagai pengolah limbah juga memiliki
keuntungan lain yaitu biomasa yang dihasilkannya dapat diekstraksi untuk
menjadi minyak biodiesel. Alga yang digunakan dalam produksi minyak
biodiesel biasanya adalah alga hijau uniseluler. Alga tipe ini adalah alga
melalui biosorpsi, adsorpsi dan bioakumulasi (Gin et.al., 2002; Boswell et.al.,
2002; Rehman and Shakoori, 2003; Davis et.al., 2003; Chojnacka et.al., 2004).
Beberapa
mikroalga
seperti
Scenedesmus,
Synechoccystis,
Gleocapsa,
Kelemahan
Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara
bioremediasi.
membutuhkan pemantauan yang insentif
Berpotensi menghasilkan produk yang tidak
dikenal
Membutuhkan lokasi tertentu
II.2
yaitu unsur hara mikro dan unsur hara makro. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K, S,
Na, Si, dan Ca. Sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co,
B, dan lainnya. Setiap unsur hara memiliki fungsi khusus, seperti N, P, dan S berfungsi
untuk pembentukan protein, sedangkan Na dan Fe untuk pembentukan klorofil dan
sebagainya.
Faktor jenis medium ini memiliki pengaruh cukup penting, karena masingmasing jenis medium memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri pada kandungan unsur
hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga hijau Chlorella sp. oleh karena itu,
laju pertumbuhan mikroalga hijau Chlorella sp. akan berbeda-beda untuk setiap jenis
medium yang digunakan. Media pertumbuhan juga harus mengandung elemen
inorganik yang berfungsi dalam pembentukan sel, seperti nitrogen, phospor, dan besi.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan teknik, prosedur dan proses
produksi mikroalga dalam jumlah besar. Open ponds system dan photobioreactor
system merupakan teknik budidaya mikroalga yang paling sering digunakan.
II.2.3 Pembiakan Kultur
Tujuannya adalah selain untuk memperbanyak stok yang ada, juga untuk membuat
Chlorella vulgaris beradaptasi dalam medium baru sebelum digunakan (melewati
fasa lag). Cara pembiakan medium kultur murni :
1. Menyiapkan medium serta peralatan pembiakan (wadah, selang udara, tutup
wadah) lau disterilkan terlebih dahulu.
2. Stock murni Chlorella vulgaris Buitenzorg dimasukan kedalam wadah bersih
dan dicampur dengan medium Benneck. Perbandingan antara jumlah stock
Chlorella dengan medium dapat diatur sesuai kebutuhan riset. Pemindahan ini
harus dijaga tetap bersih agar meminimalisasi kontaminan. Lalu medium
kultur tersebut di-bubbling dengan menggunakan kompresor udara. Pada tahap
ini juga harus diberikan cahaya namun dengan intensitas 5000 lx.
10
3. Pembiakan dapat dilakukan selama satu minggu atau lebih bila bertujuan
untuk memperbanyak stok yang ada, tetapi jika hanya untuk melewati lag time
dapat dilakukan selama 2-3 hari atau 60 jam, tergantung jumlah selnya.
II.2.4 Pengukuran Faktor Lingkungan
Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan
pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon anorganik,
mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Ganggang umumnya
hidup dengan baik pada pH netral, kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang
optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 79 (Wijanarko dkk, 2005).
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi
ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah (Rajasri et al., 2013).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika,
peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga di perairan. Pada suhu
antara 20 dan 25 C merupakan suhu optimal untuk kultur. Suhu di bawah 16 oC dapat
menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat
menyebabkan kematian(Arajo dan Garcia,2005).
Pengaturan cahaya bertujuan untuk menghindari intensitas cahaya yang terlalu
tinggi pada kultur mikroalga sehingga menghambat pertumbuhan mikroalga. Selain itu,
alasan penggunaan tabung fluorescent ini adalah karena tabung jenis ini mampu
memancarkan spektrum biru atau lampu merah dengan baik (Rajasri et al.,2013).
11
12
DAFTAR PUSTAKA
Arajo, S. de C. and Garcia, V. M. T. 2005. Growth and biochemical composition of the
diatom Chaetoceroscf. wighamiibrightwell under different temperature, salinity and
carbon dioxide levels. I. Protein, carbohydrates and lipids. Aquaculture 246 405-412.
Boswel,C., N. C. Sharma dan S.V. Sahi. 2002. Cooper Tolerance and Accumulation Potential
of Chlamydomonas reinhardtii. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 69: 546-553
Campbell, M.N.. Biodiesel: Algae as A Renewable Source for Liquid Fuel. Guelph
engineering journal 1:(2008):2-7.
Chisti, Y. Biodiesel from microalgae. Biotechnology advances 25: (2007): 294-306.
Chojnacka,K., A. Chojnacki dan H. Gorecka. 2004. Trace Element Removal by Spirulina sp.
From Copper Smelter and Refinery Effluent. Hydrometallurgy, 73 : 147-153
Davis, T.A., B. Volesky dan A. Mucci. 2003. A Review of The Biochemistry of Heavy Metal
Biosorption by Brown Algae. Water Res., 37 : 4311- 4330
De la noue J., G. Laliberte and D. Proulx. 1992. Algae and waste water. J. of Appl. Phycol.,
4:247-254
De, J., Ramaiah, N., & Vardanyan, L. (2008). Detoxification of Toxic Heavy Metals by
Marine Bacteria Highly Resistant to Mercury. Marine Biotechnology , 10 (4), 471-477.
Gin, K.Y., Y.Z. Tang dan M.A. azis. 2002. Derivation and Application of a New Model for
Heavy Metal Biosorption by algae. Water Res., 36 : 1313 1323
Giyatmi, K., Zaenul, M., .Damajati. 2008. Penurunan Kadar Cu,Cr dan Ag Dalam Limbah
Cair Industri Perak di Kotagede detelah Diadsorpsi dengan Tanah Liat dari Daerah
Godean. Jurnal Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir ISSN 1978-0176.
Khoshmanesh, A., Lawson, F., Prince, I.G., 1997. Cell surfacearea as a major parameter in
the uptake of cadmium by unicellular green microalgae. Chem. Eng. J. 1, 1319.
13