Anda di halaman 1dari 13

1

BIOREMEDIASI

TUGAS
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Magister Sains (M.Si)
pada Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Diponegoro Semarang

Oleh:
Kenanga Sari
24020115420014

DEPARTMENT BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Berkembangnya Industri yang ada di Indonesia akan memberikan dampak
positif bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, kegiatan industri juga dapat
memberikan dampak negatif yaitu munculnya masalah pencemaran lingkungan.
Setiap kegiatan Industri akan menghasilkan limbah baik limbah padat, gas maupun
cair. Limbah limbah domestik maupun limbah industri yang di buang ke lingkungan
secara terus menerus tanpa dikelolah dengan baik dapat mencemari lingkungan. Salah
satu bahan pencemaran yang berbahaya bagi lingkungan yang terdapat dalam limbah
industri sekitar adalah logam berat. Logam berat berasal dari industri-industri yang
tidak mengatur dan mengolah limbahnya sebelum di lepas ke lingkungan seperti
limbah pertanian, (Niczyporuk et al., 2012).
Limbah cair yang mengandung bahan berbahaya tersebut apabila dibuang ke
perairan akan merusak ekosistem yang ada di perairan tersebut. Karena di dalam
limbah mengandung logam berat. Logam berat sengaja ditambahkan dalam proses
produksi sebagai bahan tambahan untuk memperbaiki sifat fisik. Logam berat jika
dibuang di lingkungan tidak dapat membusuk sehingga akan sulit untuk didegradasi
dan apabila masuk ke dalam lingkungan perairan akan meningkatkan jumlah ion
logam dalam air (Giyatmi et al., 2008).
Limbah yang mengandung logam berat perlu mendapatkan perhatian khusus
sebelum dibuang ke lingkungan perairan. Terdapat beberapa cara untuk mengurangi
kandungan logam berat dalam air yaitu secara fisika, dan kimia. Pengelolaan limbah
secara fisika dan kimia memerlukan biaya yang mahal dan tidak efisien (Lasat,
2002). Belakangan ini teknik remediasi lingkungan tersemar banyak menggunakan

cara biologis (bio-remediasi), karena pertimbanagn efek samping yang dihasilkannya


dan biaya operasional. Remediasi logam berat pada lingkungan oleh bakteri (Zahoor
& Rehman, 2009; (De, Ramaiah, & Vardanyan, 2008). Penellitian menggunakan
mikroalga sebagai agen bioremediasi telah banyak dikembangkan salah satunya
adalah dengan menggunakan mikroalge Chlorella sp
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1 Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan metode fikoremediai
I.2.2 Bagaimanakah prosedur yang dilakukan dalam metode fikoremediasi skala
laboratorium
I.3 Tujuan
I.3.1 Mengkaji kelebihan dan kelemahan metode fikoremediai
I.3.2 Mengkaji prosedur yang dilakukan dalam metode fikoremediasi skala
laboratorium

II.

PEMBAHASAN

2.1 Mikroalga Sebagai Agen Fikoremediasi


Alga atau ganggang merupakan sekelompok organisme autotrof yang tidak
memiliki organ dengan perbedaan fungsi yang nyata, bahkan dapat dianggap tidak
memiliki organ seperti yang dimiliki tumbuhan seperti akar, batang, daun, dll.
Meskipun demikian, pemanfaatan alga ternyata sangatlah luas. Alga dapat digunakan
sebagai pakan ternak dan kerang laut, pupuk dan penyubur tanah, pewarna kimia, zat
stabilisator pada susu, dan pengendali polutan, kemampuan dalam mengubah gas
karbon dioksida menjadi oksigen.

Selain itu, pemanfaatan alga yang paling dikembangkan saat ini adalah
kemampuannya sebagai sumber makanan tambahan dan sumber energi alternatif
pengganti bahan bakar fosil seperti biodiesel. Mikrolaga dapat digunakan untuk
pengolahan tersier limbah karena kapasitas mereka untuk menyerap nutrisi. pH
meningkat (dimediasi oleh oleh pertumbuhan alga juga) menyebabkan presipitasi fosfor
dan stripping ammonia keudara dan bertindak juga sebagai desinfektan pada air limbah.
2.1.1 Kelebihan Mikroalga Sebagai Agen Fikoremediasi
Beberapa keuntungan penggunaan alga dalam proses pengolahan limbah
cair dalam industri antara lain, prinsip proses pengolahannya berjalan alami
seperti prinsip ekosistem alam sehingga sangat ramah lingkungan dan tidak
menghasilkan limbah sekunder. Keunggulan lainnya adalah pada proses ini daur
ulang nutrien berjalan sangat efisien dan menghasilkan biomass yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan (De la noue et al., 1992).
Pengelolaan limbah dengan menggunakan mikroalga atau biasa disebut
fikoremediasi dipilih sebagai upaya mengurangi pencemaran lingkungan. Salah
satu organisme yang paling banyak digunakan adalah C. pyrenoidosa H.Chick.
Mikroalga C. pyrenoidosa H.Chick dipilih karena mampu tumbuh dengan cepat
dan mudah untuk dikultur selain itu berukuran kecil sehingga terdapat area
penyerapan yang lebih banyak dan mempunyai kemampuan penyerapan yang
lebih baik dibandingkan dengan sel yang memiliki ukuran besar (Khoshmanesh
et al., 1997).
Penggunaan mikroalga sebagai pengolah limbah juga memiliki
keuntungan lain yaitu biomasa yang dihasilkannya dapat diekstraksi untuk
menjadi minyak biodiesel. Alga yang digunakan dalam produksi minyak
biodiesel biasanya adalah alga hijau uniseluler. Alga tipe ini adalah alga

eukariotik fotosintetik yang dikarakterkan oleh tingkat pertumbuhan yang tinggi


dan kerapatan populasi yang tinggi pula. Sebagai tambahan alga hijau dapat
memiliki kandungan lipid yang tinggi, biasanya diatas 50% (Chisti, 2007;
Schneider, 2006). Alga hijau memiliki struktur yang hampir sama dengan
tumbuhan, salah satunya ialah dinding selnya.
Chlorella juga mempunyai dinding sel yang tersusun atas selulosa.Selain
tersusun atas selulosa, beberapa spesies Chlorella mempunyai dinding sel yang
juga tersusun atas sporopollenin. Sporopollenin juga terdapat pada spora dan
serbuk sari yang merupakan suatu biopolimer dari karotenoid yang mempunyai
kemampuan resisten yang luar biasa terhadap degradasi oleh enzim atau reagenreagen kimia yang kuat (Rahat and Reich, 1985).
Selain mempunyai kemampuan resisten yang sangat kuat, Sporopollenin
ini juga mempunyai kemampuan untuk mengadsorbsi ion logam dari suatu
larutan membentuk kompleks logam dengan ligan (Pehlivan, 1995). Hal ini
menyebabkan alga hijau ini disebut sebagai filter feeder, yaitu organisme yang
mampu menyaring partikel yang berasal dari suspensi di lingkungan hidupnya
Bioremediasi menggunakan mikroalga banyak digunakan untuk
mengatasi pencemaran limbah di perairan karena ketersediaannya yang banyak
di perairan, cepat reproduksinya, rentang toksisitas mikroalga yang lebar,
banyak limbah yang dapat diremediasi, dan bersifat non patogen. Mikroalga
menggunakan limbah sebagai sumber nutrisi dan pendegradasi polutan secara
enzimatis. Nitrogen dan fosfor yang terkandung dalam limbah tersebut
digunakan sebagai sumber karbonnya (Muthukumaran et al., 2005; Olguin,
2003). Mikroalga mampu menurunkan konsentrasi logam dari medium biasanya

melalui biosorpsi, adsorpsi dan bioakumulasi (Gin et.al., 2002; Boswell et.al.,
2002; Rehman and Shakoori, 2003; Davis et.al., 2003; Chojnacka et.al., 2004).
Beberapa

mikroalga

seperti

Scenedesmus,

Synechoccystis,

Gleocapsa,

Chroococcus, Anabaena, Lyngbya, Oscillatoria, dan Spirulina telah digunakan


sebagai agen bioremediasi
Kemampuan remediasi logam berat oleh alga sangat baik bila di
bandingkan dengan beberapa mikroba, jamur, karena struktur dinding sel alga
terbentuk dari berbagai serat metrik polisakarida (Niczyporuk et al., 2012)
Beberapa mikroalga mempunyai kemampuan untuk menjadi agen remediasi
logam berat diantaranya adalah Nanochlorphis, Scenedesmus quadricauda
dapat menyerap logam berat diantaranya Cd, Hg, Cr, Pb dan As dan juga
Chlorella sp, kemampuan serap logam berat oleh Nannochloropsis sp lebih
besar dibandingkan dengan Chlorella sp tetapi Chlorella memiliki kemampuan
tumbuh pada lingkungkungan tercemar lebih baik dari Nannochloropsis sp.
Kemampuan tumbuh Chlorella sp pada lingkungan tercemar karena
Chlorella sp memiliki Phytohormon dan Polyamine untuk adaptasi pada
ekosistim air yang tercemar dengan logam berat (Niczyporuk et al., 2012)
Kemampuan Chlorella sp dalam menyerap logam berat ini didukung dengan
kemampuan beradaptasi, bertumbuh dan juga ekonomis untuk di jadikan Agen
remediasi pada lingkungan tercemar. Selain dapat digunakan juga untuk
bioremediasi logam berat mikroalga chlorella sp juga dapat di gunakan untuk
sebagai prekursor biodiesel karena mengandung 20-50% lemak (Mata et
al.,2010).
2.1.2 Kelemahan mikroalga sebagai agen fikoremediasi

Sebaliknya, kelemahan dari pengunaan alga adalah prosesnya memakan waktu


yang relatif lama, memerlukan cahaya dan beberapa fisiologi alga yang belum
diketahui secara jelas (De la noue et al., 1992). Penggunaan Chlorell vulgaris hidup
dalam proses remediasi perairan memang masih perlu ditingkatkan mengingat masih
banyak kelemahan dalam proses ini. Penggunaan sel bebas ini cocok untuk kepentingan
laboratorium tetapi untuk penggunaan di lapangan kurang aplikatif.
Selnya yang relatif kecil, kekuatan mekanisnya yang rendah, tekanan hidostatik
yang berlebihan mengurangi kemampuan sel untuk melakukan remediasi. Maka sistem
ini perlu ditingkatkan mungkin dengan penambahan nutrisi dan sejumlah sel C.
vulgaris pada fase stasioner. Pemanfaatan imobilisasi sel dengan menggunakan
beberapa matriks dapat juga menjadi solusi yang baik namun berbiaya relatif lebih
mahal. Imobilisasi sel dapat memuat lebih banyak biomassa, meminimalkan
penyumbatan, lebih tahan tekanan, tidak butuh perawatan dan nutrisi, dapat digunakan
berulang-ulang, bahkan kemungkinan mampu menurunkan konsentrasi bahan pencemar
lebih besar (Purnamawati et al., 2015). Secara umum kelebihan dan kelemahan
bioremediasi adalah
Tabel 1. Kelebihan dan Kelemahan Bioremediasi
Kelebihan
Bioremediasi sangat aman digunakan karena
menggunakan mikroba yang secara alamiah sudah
ada di lingkungan
Bioremediasi tidak menggunakan atau
menambahkan bahan kimia berbahaya (ramah
lingkungan).
Tidak melakukan proses pengangkatan polutan
Teknik pengolahannya mudah diterapkan dan murah
biaya
Dapat dilaksanakan di lokasi atau di luar lokasi
Menghapus resiko jangka panjang

Kelemahan
Tidak semua bahan kimia dapat diolah secara
bioremediasi.
membutuhkan pemantauan yang insentif
Berpotensi menghasilkan produk yang tidak
dikenal
Membutuhkan lokasi tertentu

II.2

Teknik Bioremediasi Skala Laboratorium


Kultivasi merupakan suatu teknik untuk menumbuhkan mikroalga dalam

lingkungan tertentu yang terkontrol. Kultivasi bertujuan untuk menyediakan spesies


tunggal pada kultur masal mikroalga untuk tahap pemanenan. Teknologi bioproses
adalah teknologi yang berkaitan dengan segala operasi dan proses yang memanfaatkan
mikroorganisma baik dalam fasa hidupnya maupun produk-produk enzimnya. Teknologi
bioproses merupakan gabungan antara bioteknologi dan teknik kimia (Lasat et al., 2002).
Pengembangan kultivasi dan bioproses dilakukan mulai dari skala laboratorium
oleh mahasiswa hingga penerapan yang dilakukan di industri sebagai wujud pemanfaatan
CO2 buangan dari pabrik. Sebagian besar mikroalga menggunakan cahaya dan karbon
dioksida (CO2) sebagai sumber energi dan sumber karbon (organisme photoautotrophic).
Pertumbuhan optimum mikroalga membutuhkan temperatur air berkisar 15 - 30C.
II.2.1 Sterilisasi Media
Kegiatan sterilisasi ini dengan membersikan ruangan terlebih dahulu dari debu
maupun partikel kotor lainnya dengan cara menyapu, mengepel ruangan yang akan
dijadikan tempat kultivasi agar steril. Kegiatan sterilisasi ini dengan mencuci dengan
deterjen atau sabun cuci lainnya, kemudian keringkan. Setelah kering semprotkan
dengan alkohol. Kegiatan sterilisasi dimulai dengan merebus masing-masing air laut
dan air tawar sampai tepat mendidih, kemudian didinginkan setelah itu disaring.
II.2.2 Penyiapan Media Pertumbuhan
Ada banyak jenis medium yang dapat digunakan sebagai medium hidup
mikroalga hijau Chlorella sp., seperti N-8 Medium, Beneck, BG-11, M4N, ASN III,
MN Medium, Fitzgerald Medium, dan lain sebagainya. Semua jenis medium yang telah
disebutkan diatas, memiliki kandungan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroalga hijau Chlorella sp. menurut Smith (1950), secara garis besar terbagi dua,

yaitu unsur hara mikro dan unsur hara makro. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K, S,
Na, Si, dan Ca. Sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co,
B, dan lainnya. Setiap unsur hara memiliki fungsi khusus, seperti N, P, dan S berfungsi
untuk pembentukan protein, sedangkan Na dan Fe untuk pembentukan klorofil dan
sebagainya.
Faktor jenis medium ini memiliki pengaruh cukup penting, karena masingmasing jenis medium memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri pada kandungan unsur
hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroalga hijau Chlorella sp. oleh karena itu,
laju pertumbuhan mikroalga hijau Chlorella sp. akan berbeda-beda untuk setiap jenis
medium yang digunakan. Media pertumbuhan juga harus mengandung elemen
inorganik yang berfungsi dalam pembentukan sel, seperti nitrogen, phospor, dan besi.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan teknik, prosedur dan proses
produksi mikroalga dalam jumlah besar. Open ponds system dan photobioreactor
system merupakan teknik budidaya mikroalga yang paling sering digunakan.
II.2.3 Pembiakan Kultur
Tujuannya adalah selain untuk memperbanyak stok yang ada, juga untuk membuat
Chlorella vulgaris beradaptasi dalam medium baru sebelum digunakan (melewati
fasa lag). Cara pembiakan medium kultur murni :
1. Menyiapkan medium serta peralatan pembiakan (wadah, selang udara, tutup
wadah) lau disterilkan terlebih dahulu.
2. Stock murni Chlorella vulgaris Buitenzorg dimasukan kedalam wadah bersih
dan dicampur dengan medium Benneck. Perbandingan antara jumlah stock
Chlorella dengan medium dapat diatur sesuai kebutuhan riset. Pemindahan ini
harus dijaga tetap bersih agar meminimalisasi kontaminan. Lalu medium
kultur tersebut di-bubbling dengan menggunakan kompresor udara. Pada tahap
ini juga harus diberikan cahaya namun dengan intensitas 5000 lx.

10

3. Pembiakan dapat dilakukan selama satu minggu atau lebih bila bertujuan
untuk memperbanyak stok yang ada, tetapi jika hanya untuk melewati lag time
dapat dilakukan selama 2-3 hari atau 60 jam, tergantung jumlah selnya.
II.2.4 Pengukuran Faktor Lingkungan
Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan
pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon anorganik,
mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Ganggang umumnya
hidup dengan baik pada pH netral, kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang
optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 79 (Wijanarko dkk, 2005).
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan
mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi
ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah (Rajasri et al., 2013).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika,
peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga di perairan. Pada suhu
antara 20 dan 25 C merupakan suhu optimal untuk kultur. Suhu di bawah 16 oC dapat
menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat
menyebabkan kematian(Arajo dan Garcia,2005).
Pengaturan cahaya bertujuan untuk menghindari intensitas cahaya yang terlalu
tinggi pada kultur mikroalga sehingga menghambat pertumbuhan mikroalga. Selain itu,
alasan penggunaan tabung fluorescent ini adalah karena tabung jenis ini mampu
memancarkan spektrum biru atau lampu merah dengan baik (Rajasri et al.,2013).

11

Karbondioksida diperlukan oleh mikroalga untuk membantu proses fotosintesis.


Pasokan CO2 merupakan hal yang penting untuk keberlangsungan hidup ganggang,
khususnya dalam aktivitas fotosintesis. Romera (2006) menyatakan bahwa melalui
proses fotosintesis, ganggang mikro menggunakan energi matahari untuk mengubah
CO2 menjadi biomassa dan membentuk karbohidrat, lipid, dan protein.
Setelah Proses kultur skal laboratorium selesai dilakukan tahapan selanjutnya
adalah memindahkan kultur stok kedalam kolam yang berisi limbah. Tujuan dari kultur
skala laboratorium adalah untuk mendapatkan mikroalgae yang tangguh sebelum
dikultur ke dalam skala yang lebih tinggi. Gmbar 1 merupakan proses perbanyakan
kultur pada media limbah skala masal

Gambar 1. Skema Bioremediasi dengan mikroalgae

12

DAFTAR PUSTAKA
Arajo, S. de C. and Garcia, V. M. T. 2005. Growth and biochemical composition of the
diatom Chaetoceroscf. wighamiibrightwell under different temperature, salinity and
carbon dioxide levels. I. Protein, carbohydrates and lipids. Aquaculture 246 405-412.
Boswel,C., N. C. Sharma dan S.V. Sahi. 2002. Cooper Tolerance and Accumulation Potential
of Chlamydomonas reinhardtii. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 69: 546-553
Campbell, M.N.. Biodiesel: Algae as A Renewable Source for Liquid Fuel. Guelph
engineering journal 1:(2008):2-7.
Chisti, Y. Biodiesel from microalgae. Biotechnology advances 25: (2007): 294-306.
Chojnacka,K., A. Chojnacki dan H. Gorecka. 2004. Trace Element Removal by Spirulina sp.
From Copper Smelter and Refinery Effluent. Hydrometallurgy, 73 : 147-153
Davis, T.A., B. Volesky dan A. Mucci. 2003. A Review of The Biochemistry of Heavy Metal
Biosorption by Brown Algae. Water Res., 37 : 4311- 4330
De la noue J., G. Laliberte and D. Proulx. 1992. Algae and waste water. J. of Appl. Phycol.,
4:247-254
De, J., Ramaiah, N., & Vardanyan, L. (2008). Detoxification of Toxic Heavy Metals by
Marine Bacteria Highly Resistant to Mercury. Marine Biotechnology , 10 (4), 471-477.
Gin, K.Y., Y.Z. Tang dan M.A. azis. 2002. Derivation and Application of a New Model for
Heavy Metal Biosorption by algae. Water Res., 36 : 1313 1323
Giyatmi, K., Zaenul, M., .Damajati. 2008. Penurunan Kadar Cu,Cr dan Ag Dalam Limbah
Cair Industri Perak di Kotagede detelah Diadsorpsi dengan Tanah Liat dari Daerah
Godean. Jurnal Seminar Nasional IV SDM Teknologi Nuklir ISSN 1978-0176.
Khoshmanesh, A., Lawson, F., Prince, I.G., 1997. Cell surfacearea as a major parameter in
the uptake of cadmium by unicellular green microalgae. Chem. Eng. J. 1, 1319.

13

Lasat, M. M. 2002. Phytoextraction of toxic metals: a review of biological mechanisms. J.


Environ. Qual. 31, 109-120.
Lasat, M. M. 2002. Phytoextraction of toxic metals: a review of biological mechanisms. J.
Environ. Qual. 31, 109-120
Mata, T. M., Martins, A. A., & Caetano, N. S. (2010). Microalgae for biodiesel production
and other applications: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews , 14 (1),
217-232.
Muthukumaran, M.,V.V. Subramanian dan V. Sivasubramanian.2005.Utilization of algal
Biomass For Colour Removal, pH Correction and Sludge reduction in Dyeing Effluent.
Sustainable Utilization of Tropical Plant Biomass : 127-130
Niczyporuk, A. P., Bajguz, A., Zambrzycka, E., & ykiewiczb, G. B. (2012). Phytohormones
as regulators of heavy metal biosorption and toxicity in green alga Chlorella vulgaris
(Chlorophyceae). Plant Physiology and Biochemistry , 52, 52 65.
Olguin , E.J. 2003. Phycoremediation : Key Issues for Cost ewffective Nutrient Removal
Processes. Biotechnol Adv. 22(1-2) : 81-90
Pehlivan, E., Ersoz, M., Pehlivan, M., Yildiz, S., Duncan, H.J. (1995). The effect of pH and
temperature on the sorption of zinc(II), cadmium(II), and aluminum(III) onto new
metal-ligand complexes of sporopollenin. J Coll Inter Sci, 170, 320325.
Purnamawti, F.S , Soeprobowati, T.R. Munifatul, I. 2015. Potensi Chlorella vulgaris dalam
remediasi logam berat Cd dan Pb skala laboratorium. Bioma Desember vol. 16 No. 2
Rahat, M., Reich, V. (1985). Correlation between characteristic of some free-living Chlorella
sp. And their ability to form stable symbioses with Hydra viridis (pdf). J. Cell Sci, 71,
257266.
Rajasri.Y. Ramgopal. R.S and C. S. Rao. 2013. Lipid Productivity of Chlorella
pyrenoidosaIn A Customized Lab Scale Photobioreactor Under Stress Conditions.India.
International Journal of ChemTech Research CODEN( USA): IJCRGG ISSN : 09744290.
Rehman, A. dan A.R.Shakoori. 2003. Isolation, Growth, Metal Tolerance and Metal Uptake
of The Green Alga, Chlamydomonas (Chlorophyta) and Its Role in Bioremediation of
Heavy Metals. Pakistan J Zool., 35 : 337 341
Wijanarko, A., Dianursanti, Andika, S. M. K., Asami, K., Witarto, A. B., Ohtaguchi, K..
Soemantojo, R. W., 2005. Alteration of light illumination during microbial growth, an
enhancement effort of Carbon dioxide fixation and biomass production by Chlorella
vulgaris Buitenzorg, (Abstract) Book of 8th International Conference on Carbon Dioxide
Utilization, University Oslo, Blindern Campus, Oslo, Norway, June 20-23, OC 06, 4849.
Zahoor, A., & Rehman, A. (2009). Isolation of Cr(VI) reducing bacteria from industrial
effluents and their potential use in bioremediation of chromium containing wastewater.
Journal of Environmental Sciences , 21 (6), 814 820.

Anda mungkin juga menyukai