Anda di halaman 1dari 12

PEMANFAATAN BIOTEKNOLOGI SSEBAGAI STRATEGI PERLINDUNGAN

DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS SUMBERDAYA LAUT


MASYARAKAT PULAU KECIL DI INDONESIA

Dosen Pengampu: Dr. Amiek Soermarni, S.H., M.Hum.

Disusun Oleh:

Misdiarso Wongsokarto
NIM. 12020219130086

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dijuluki sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri


dari 17.580 pulau baik itu pulau besar maupun pulau kecil yang tersebar mulai dari
ujung barat sampai dengan ujung timur negara Indonesia. Indonesia juga berada
dalam kawasan paling dinamis secara ekonomi maupun politik yaitu diantara
Kawasan Benua Astralia dan Asia serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia
(Soemarmi & Diamantina, 2019). Secara keseluruhan luas wilayah Indonesia adalah
seluas 7,82 juta km2, yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan laut
mencapai 5,8 juta km2 atau 70% dari keseluruhan wilayah Indonesia. Disamping
itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk dalam hal
biologi laut (Asuhadi et al., 2021; Chasanah, 2008; Marianingsih et al., 2013;
Tammu, 2018). Tercatat bahwa Indonesia memiliki 2000 dari 7000 spesies ikan
yang dikenal oleh masyarakat dunia (Arianto, 2020; Fatimah et al., 2017; Lasabuda,
2013). Perairan di bagian timur Indonesia atau yang lebih dikenal dengan perairan
Indo-Pasifik adalah sentra keanekaragaman terumbu karang dunia dimana lebih dari
400 spesies terumbu karang hidup di (Febriari & Ponimin, 2019), dan lebih dari 555
spesies rumput laut tersebar di perairan Indonesia (Sudarwati et al., 2020).
Indonesia sebgaia negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia,
menyimpan potensi perikanan tangkap di perairan umum Indonesia diperkirakan
mencapai 0,9 juta ton ikan per tahun dengan total luas sekitar 54 juta hektar yang
meliputi danau, waduk, sungai, rawa, dan genangan air lainnya (Soemarmi et al.,
2020).

Sejalan dengan potensi kelautan Indonesia yang sangat besar, Menteri


Kelautan dan Perikanan menargetkan peningkatan produksi perikanan nasional
sebesar 350 persen, hal ini menuntut segenap elemen berpikir keras dalam
menjawab tantangan tersebut. Disamping itu Besarnya potensi laut di Indonesia
ternyata masih belum dapat memberikan sumbangsih yang besar terhadap PDB
Nasional, dimana sektor perikanan hanya menyumbang 20% dari total PDB
Nasional (BPS, 2021), bahkan dalam satu dekade terakhir sektor ini belum mampu
meningkatkan persentase kontribusinya terhadap PDB Nasional hal ini karena
pengelolaan yang ada masih sporadis (Rustiadi et al., 2020).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah makalah ini adalah
1. Bagaimana pemanfaatan bioteknologi dalam meningkatkan produktivitas
sumberdaya laut masyarakat pulau kecil di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

Bioteknologi merupakan multidisiplin ilmu yang melibatkan berbagai disiplin


ilmu seperti biologi, kimia, biokimia, molekular, genetika, imunologi dan mikrobiologi.
Prinsip dasar bioteknologi adalah adanya agen biologis (mikroba, enzim, zat aktif, sel,
dll), pendayagunaan teknologi untuk memanipulasi DNA, produk dan jasa yang
diperolehserta penggunaan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan produk.
Bioteknologi laut sendiri merupakan salah satu teknik pemanfaatan biota laut untuk
kebutuhan modifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik dari organisme laut, serta
merekayasa organisme untuk kebutuhan tertentu termasuk dalam usaha perbaikan
lingkungan dan peningkatan produktivitas organisme itu sendiri (Angraini & Desmaniar,
2020). Pemanfaatan bioteknologi laut dalam pengembangan budidaya laut
(Aquaculture) untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya laut masyarakat pulau
kecil di Indonesia dapat dilakukan dengan beberapa usaha seperti bioremediasi dan
pengendalian hayati. (TAMBAHAN)
1. Bioremediasi
Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik atau
polutan biologis dalam kondisi yang terkendali (Eweis, 1989). Mikroorganisme (bakteri,
ragi, ganggang dan jamur) terlibat dalam pemecahan polutan ini. Perbaikan kualitas air,
seperti reduksi amoniak dan nitrit, dapat dicapai dengan memanfaatkan kemampuan
mikroorganisme yang disebut juga dengan bioremediasi (Devaraja et al., 2002; Lante &
Haryanti, 2006; Widiyanto 2006). Metode yang banyak digunakan untuk meningkatkan
kualitas air adalah dengan membuang air bekas budidaya ke tangki pengolahan air.
Tangki pengolahan limbah akuakultur biasanya dilengkapi dengan filter biologis yang
dirancang untuk mendorong perkembangan bakteri nitrifikasi. Beberapa spesies bakteri
nitrifikasi seperti Nitrosomonas dan Nitrobacter mampu mengurai amonia menjadi nitrit
dan kemudian menjadi nitrat (Chia-Fuang Tsai, 1989; Ruiz et al., 1994; Verschuere et
al., 2000).
Nitrifikasi merupakan langkah penting dalam siklus nitrogen alam (Atlas &
Bartha, 1998; Bothe et al., 2000; Beaumont et al., 2002; Nemergut & Schmidt, 2002).
Ketika nitrogen organik dipecah oleh mikroorganisme, maka terbentuk senyawa
amonium (NH4+ dan NH3), yang kemudian dioksidasi menjadi senyawa nitrat (NO3-)
terlebih dahulu diubah menjadi senyawa nitrit (NO2-) dalam proses nitrifikasi (Madigan
et al., 1997 ; Beaumont et al., 2002). Bakteri dari famili Nitrobacteriaceae merupakan
kelompok mikroorganisme yang dominan dalam proses nitrifikasi (Atlas & Bartha,
1998; Bothe et al., 2000; Nemergut & Schmidt, 2002).
Bakteri nitrifikasi chemolithotrophic Gram-negatif seperti Nitrosomonas,
Nitrosococcus, Nitrobacter, Nitrococcus, Nitrospira adalah bakteri nitrifikasi terpenting
di alam (Holt et al., 1994; Schramm et al., 1998; Pells & Lewis, 2000; 2005). Namun,
pertumbuhan bakteri nitrifikasi kemolitotrofik sangat lambat dan mudah ditekan oleh
keberadaan bakteri heterotrofik, sehingga relatif sulit diisolasi dan dipelihara dalam
kondisi bersih dalam waktu lama (Lewis & Premer, 1958; Bothe et al., 2000; Roberts &
Lewis, 2001). Beberapa bakteri heterotrof seperti Alcaligenes sp., Arthrobacter sp. dan
Pseudomonas sp. yang juga berperan dalam nitrifikasi (Castignetti & Holocher, 1984;
Schimel et al., 1984; Nemergut & Schmidt, 2002 Widiyanto, 2006). Bakteri nitrifikasi
heterotrofik memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dengan waktu generasi 8-10
jam dibandingkan dengan bakteri nitrifikasi autotrofik yang memiliki waktu generasi
24-48 jam (Golz, 1995; Brune et al., 2003). Beberapa spesies bakteri heterotrofik dapat
mengoksidasi amonia menjadi biomassa seluler tanpa menghasilkan senyawa nitrit
(Maier et al., 1999; Brune et al., 2003). Sifat fisiologis tersebut merupakan salah satu
faktor yang mendorong penelitian bakteri nitrifikasi heterotrofik (Schimel et al., 1984;
Widiyanto, 2006).
Kemampuan bakteri nitrifikasi untuk mengoksidasi senyawa amoniak dan nitrit
yang bersifat racun bagi organisme perairan telah banyak dipelajari (Akbar, 2003; Titah
& Slamet, 2004; Taufik et al., 2005; Widiyanto, 2006). Salah satu tujuan penelitian
adalah untuk mengatasi dampak negatif amoniak (NH3) dan nitrit terhadap organisme
perairan, khususnya perairan budidaya ikan. Dalam sistem budidaya ikan intensif,
penggunaan pakan buatan berprotein tinggi meningkatkan konsentrasi amonia dan nitrit,
menyebabkan penurunan pertumbuhan dan seringnya kematian ikan (Boyd, 1990;
Cheng et al., 2003; Foss et al., 2003; Mallasen). & Valentin, 2005). Nitrat juga
diharapkan, karena senyawa ini dapat diubah kembali menjadi nitrit melalui reaksi
denitrifikasi. Reduksi nitrat air dapat dilakukan dengan menginokulasi bakteri Spirulina
platensis, kelompok cyanobacteria (Chuntapa et al., 2003).
Salah satu lingkungan pertanian dengan konsentrasi amonia dan nitrit yang tinggi
adalah lingkungan pembenihan ikan dan udang (Aquacop, 1983; Yakoeb, 1989; New &
Valenti, 2004). Untuk mengatasi efek negatif dari kadar amonia dan nitrit yang tinggi
dalam operasi pembenihan, sistem daur ulang pembenihan dapat digunakan (Aquacop,
1983; Uusi, 2002). Sistem resirkulasi yang ditanam digunakan menggunakan biofilter
berdasarkan aktivitas bakteri nitrifikasi (Yongjiu Cai & Summerfelt, 1992; Summerfelt
et al., 2001), yang mengoksidasi amonia dari kotoran larva dan makanan yang tidak
dimakan menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrit. Nitrat (Yakoeb, 1989; Mallasen &
Valenti, 2006). Efisiensi biofilter dipengaruhi oleh jenis dan jumlah bakteri yang
tumbuh, sehingga sistem biofilter yang baru digunakan membutuhkan waktu yang
cukup lama, 4-6 minggu, agar biofilter bekerja dengan baik (Sumerfelt et al., 2001).
Salah satu upaya untuk mempercepat waktu aktivasi biofilter adalah dengan
menambahkan bakteri bioremediasi ke dalam biofilter (Mishra et al., 2001; Plaza et al.,
2001).
Efektivitas penggunaan bakteri untuk meningkatkan kualitas air limbah budidaya
ikan atau udang sangat dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan (Moriarty, 1999;
Verschuere et al., 2000; Suprapto, 2005). Karena lingkungan sangat mempengaruhi
kehidupan bakteri (Atlas & Bartha, 1998). Populasi bakteri pada lingkungan dengan
konsentrasi nutrisi dan sifat fisikokimia yang berbeda cenderung berbeda (Madigan et
al., 1997). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mikroorganisme sangat sensitif
terhadap suhu, pH, keberadaan senyawa toksik, kadar polutan, kelembaban, kadar nutrisi
dan kadar oksigen (Eweis et al., 1998). Berdasarkan sifat mikroorganisme tersebut,
diperkirakan bahwa penggunaan bakteri (indigenous) dari habitat tambak, tambak dan
bak penyaring limbah memiliki peluang yang lebih baik untuk mengoksidasi senyawa
amonium dari limbah budidaya. Hal ini dikarenakan bakteri indigenous memiliki daya
adaptasi yang lebih baik dibandingkan bakteri dari habitat lain, sehingga kemampuannya
lebih stabil (Isnansetyo, 2005).
Teknologi terkini untuk mengatasi masalah sampah organik pada sistem
budidaya ikan intensif sekaligus meningkatkan produktivitas budidaya adalah
penggunaan sistem heterotrof atau dikenal dengan teknologi bioflok (Anvimelech,
2007). Menghindari akumulasi limbah nitrogen (NH4, NO2) dari sisa pakan dan kotoran
ikan dicapai dengan penggunaan populasi bakteri heterotrofik yang dipertahankan
dengan mempertahankan rasio C/N di atas 10 dengan menambahkan sumber karbon
organik seperti tetes tebu. dan kekuatan. Dengan diterapkannya sistem ini, limbah yang
akan dikeluarkan dari kegiatan budidaya harus diminimalkan (zero-waste aquaculture).
2. Pengendalian Hayati (Bio-control)
Pengendalian hayati (biokontrol) pada hakekatnya adalah upaya memanfaatkan
dan menggunakan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan.
Pengelolaan organik didasarkan pada berbagai pengetahuan dasar ekologi, khususnya
teori pengendalian populasi pengendali alam dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami
selektif dalam tugas pengendalian hama mereka berdasarkan kepadatan, sehingga
efektivitasnya juga ditentukan oleh umur dan perkembangan hama tertentu.
Ketersediaan lingkungan yang cocok untuk berkembangnya musuh alami merupakan
prasyarat keberhasilan pengendalian hayati. Perbaikan teknik penanaman, pemuliaan
massal, dan pelepasan di luar ruangan mendukung dan meningkatkan aktivitas musuh
alami (Untung, 1995).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman secara biologis telah lama menjadi
pionir. Beberapa aspek yang terkait dengan sistem pengendalian terpadu, seperti B.
penggunaan predator, antagonis, parasit, patogen, virus, penggunaan bahan organik,
produksi benih yang tahan, imunisasi atau inokulasi dengan patogen non-ganas
(hifovirulen), bahan kimia selektif , penggunaan bahan alam hasil sampingan,
pengendalian. kondisi fisik seperti penyesuaian pH, pergiliran tanaman dan pengeringan
(Yusriadi, 1997). Dalam dunia "pengendalian biologis", keberhasilan besar telah dicapai
baik pada skala laboratorium maupun aplikasi lapangan. Dari perspektif manajemen
antimikroba, berbagai isolat antagonis, terutama bakteri, aktinomisetes dan jamur, telah
diidentifikasi dan diuji potensinya.
Dalam budidaya, penggunaan musuh alami sangat penting untuk menjaga
keseimbangan ekologi tangki atau kolam budidaya, karena mengembalikan sumber daya
tersebut ke alam dapat menjaga kualitas lingkungan, terutama dasar tambak. Di alam,
musuh alami dapat terus tumbuh selama nutrisi dan faktor lain seperti suhu dan pH
sesuai untuk pertumbuhannya. Proses pengendalian hayati pada dasarnya berkaitan
dengan ekologi alam untuk menciptakan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan
musuh alami tersebut. Rekayasa ekologi harus dilakukan, seperti manipulasi suhu dan
nutrisi dalam tangki atau kolam, agar sistem akuakultur dapat berlanjut. . Penambahan
bahan organik atau sumber karbon dengan pemupukan tambak dengan pupuk organik
atau pupuk hayati merupakan upaya untuk mendorong berkembangnya mikroba tahan
penyakit (Maeda, 1999). Selain itu, Maeda (1999) menyatakan bahwa kesehatan ikan
baik di tambak maupun di perairan alami sangat bergantung pada ketahanan alami
terhadap serangan mikroba dan keseimbangan biologis antara mikroorganisme yang
menguntungkan dan merugikan dalam ekosistem. Oleh karena itu dapat diartikan bahwa
keberadaan mikroba positif dan negatif (merugikan) di lingkungan perairan secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan ikan (Maeda, 1999).
Pengendalian penyakit pada budidaya ikan atau udang di Indonesia selama ini
cenderung bertumpu pada penggunaan disinfektan dan antibiotik, meskipun tingkat
keberhasilannya relatif rendah (Subasinghe, 1977, Irianto, 2003). Penggunaan antibiotik
yang bijaksana telah menimbulkan kekhawatiran tentang produk perikanan dan
kesehatan manusia. Beberapa negara industri pengimpor produk ikan Indonesia
melarang keras impor produk perikanan yang mengandung residu antibiotik. Murdjani
(2004) menyatakan bahwa pada era globalisasi pemasaran produk di pasar internasional
harus memenuhi beberapa kriteria antara lain tidak mengandung residu antibiotik,
pestisida dan bahan kimia lainnya. Bagi kami, ini adalah tanda bahwa dengan bantuan
konsep Biokontrol, penggunaan antibiotik secara bertahap mulai ditinggalkan demi
memerangi penyakit dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan sehat.
Austin & Austin (1999) dan Maeda (1999) menemukan bahwa pengendalian
hayati, yang meliputi penggunaan probiotik, merupakan strategi yang mungkin untuk
mengendalikan penyakit ikan. Pada dasarnya, cara kerja probiotik untuk pengendalian
biologis adalah untuk secara kompetitif menghambat populasi mikroba patogen dengan
memproduksi senyawa antimikroba atau dengan bersaing untuk mendapatkan nutrisi dan
tempat perlekatan di dinding usus, dan untuk merangsang kekebalan dengan
meningkatkan kadar antibodi organisme air atau aktivitas organisme air. Peningkatan
makrofag (Gram et al., 1999; Irianto, 2003). Beberapa senyawa yang dihasilkan oleh
mikroba memiliki aktivitas imunostimulan pada hewan air, misalnya lipopolisakarida
(LPS), peptidoglikan, dan glukan. Selain itu, penggunaan probiotik sebagai suplemen
makanan ikan atau udang menunjukkan aktivitas imunostimulasi, setidaknya tercermin
dari aktivitas lisozim yang dapat merusak dinding sel bakteri (Irianto, 2003). Widanarni
(2004) melaporkan bahwa larva udang windu yang diberi pakan Artemia yang
disuplementasi dengan probiotik (bakteri Vibrio alginolyticus) menunjukkan
pertumbuhan dibandingkan dengan kontrol tanpa suplementasi. Dikatakan juga bahwa
mekanisme kerja probiotik ini adalah melindungi tubuh larva agar bakteri Vibrio harveyi
tidak dapat menempel pada tubuh udang. Selain kemampuan untuk menghambat bakteri
lain, bakteri tertentu juga dapat menghambat virus patogen ikan dan udang (Maeda,
1999). Strain VKM-124, Pseudoalteromonas undina, adalah bakteri anti getaran dan
banyak digunakan dalam akuakultur. Tampaknya memiliki kemampuan untuk
menghambat virus seperti baculo dan iridovirus yang menyebabkan lesi epitel pada
udang, Penaeus undina. Vaseeharan & Ramasamy (2003) juga melaporkan bahwa
ekstrak sel Bacillus subtilis BT23 berpotensi sebagai agen biokontrol patogen Vibrio
harveyi, agen penyebab penyakit insang yang diisolasi dari media budidaya udang
windu (Penaeus monodon). . Perkembangan sistem perairan planktonik (green water) di
tambak udang windu juga dapat dikaitkan dengan V. harveyi (Huervana et al., 2006).

Penggunaan bioteknologi berbasis mikroorganisme semakin nyata perannya


dalam mendukung keberhasilan budidaya. Potensi mikroorganisme untuk mereduksi
limbah budidaya menjadi senyawa yang aman bagi ikan domestik dan lingkungan
kemungkinan akan semakin dikembangkan dengan tetap menjaga kesadaran pertanian
hijau dan berkelanjutan. Teknologi pemanfaatan limbah pertanian yang banyak
dihasilkan dari fermentasi juga menawarkan harapan untuk mengatasi harga pakan
sumber protein yang mahal dan masih impor.

Disisi lain diperlukan strategi guna mengejar target yang telah ditetapkan oleh
menteri KKP diatas. Adapun strategi tersebut merupakan adaptasi dari strategi yang
diusulkan oleh Professor Moch. Amin Alamsyah pada orasi ilmiah pengukuhan jabatan
guru besar beliau, berikut strategi yang dapat dilakukan (Alamsjah, 2014).

1. Transfer Teknologi, perlunya melakukan desiminasi dan akselerasi keilmuan


bioteknologi laut guna menghasilkan berbagai produk laut dan perikanan yang
memiliki daya saing.
2. Pemanfaatan teknologi pada industri, perlunya mempelajari manajemen dan
teknologi produksi pada beberapa industri sumberdaya kelautan yang maju (studi
banding) guna mengedukasi SDM terhadap penguasaan teknologi.
3. Social Improvement, perlunya upaya dan pemberian insentif serta melakukan
pendampingan dari instansi terkait guna menciptakan wirausaha di bidang
akuakultur yang handal, harapannya dapat meningkatkan persentase kontribusi
sektor perikanan dan kelautan pada PDB Nasional.
BAB III

PENUTUP

Pada dasarnya ilmu pengetahuan berperan penting dalam pengembangan


peradaban manusia, termasuk bioteknologi laut itu sendiri. Pemanfaatan bioteknologi
laut dalam pengambangan industri masyarakat pesisir terutama yang ada di pulau kecil
seharusnya disikapi dengan serius sehingga diperlukan kajian yang lebih mendalam
guna mendapatkan strategi yang lebih presisi sehingga peningkatan produktivitas yang
dibicarakan dapat terwujud.
DAFTAR PUSTAKA

Angraini, N., & Desmaniar, P. (2020). Optimasi penggunaan High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) untuk analisis asam askorbat guna menunjang kegiatan
Praktikum Bioteknologi Kelautan. Jurnal Penelitian Sains, 22(2), 69.
https://doi.org/10.56064/jps.v22i2.583
Arianto, M. F. (2020). Potensi Wilayah Pesisir di Negara Indonesia. Jurnal Geografi,
10(10), 1–7.
Asuhadi, S., Amir, A. B., & Sarira, N. H. (2021). Konservasi Keanekaragaman Hayati
Laut. Journal of Empowerment Community and Education, 1(2), 1–7.
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2021). Statistik Indonesia 2020.
https://www.bps.go.id/publication/2020/04/29/e9011b3155d45d70823c141f/statisti
k%02indonesia-2020.htm
Chasanah, E. (2008). Marine Biodiscovery Research in Indonesia : Challenges and
Rewards. Journal of Coastal Development, 12(1), 1410–5217.
Fatimah, F., Laxmi, G. F., & Eosina, P. (2017). Pengubahan Data Image Ikan Air Tawar
ke Data Vektor menggunakan Edge Detection Metode Canny. Jurnal Riset
Pendidikan Matematika, 9, 55–60.
Febriari, F., & Ponimin, P. (2019). Terumbu Karang Sebagai Ide Inspirasi Pembuatan
Kerajinan Keramik Hias. JADECS (Jurnal of Art, Design, Art Education &
Cultural Studies), 3(2), 59. https://doi.org/10.17977/um037v3i2p59-67
Isma, M. F. (2017). Pemanfaatan Potensi Bioteknologi Mikroorganisme Untuk
Meningkatkan Produktivitas Perikanan Di Kalangan Masyarakat. Jurnal Ilmiah
Samudra Akuatika, Vol 1 No 1 (2017), 45–54.
https://ejurnalunsam.id/index.php/jisa/article/view/368
Lasabuda, R. (2013). Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan Dalam Perspektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, 1(2), 92.
Marianingsih, P., Amelia, E., & Suroto, T. (2013). Inventarisasi dan Identifikasi
Makroalga di Perairan Pulau Untung Jawa. Prosiding Semirata FMIPA Universitas
Lampung, 1(1), 219–225.
Rustiadi, E., Adrianto, L., Anggraini, E., Faqih, A., Rahman, A., Muthohharoh, N. H.,
Sahara, Mulyati, H., & Mony, A. (2020). Kontribusi Pemikiran IPB untuk
Indonesia (Edisi Revisi 2019). https://sustainability.ipb.ac.id/wp-
content/uploads/2019/12/Buku_AgroMaritim4.0_Outline_Compiled_Final_031020
18.pdf
Soemarmi, A., & Diamantina, A. (2019). Konsep Negara Kepulauan Dalam Upaya
Perlindungan Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia. Masalah-Masalah
Hukum, 48(3), 241.
Soemarmi, A., Indarti, E., Pujiyono, P., Azhar, M., & Wijayanto, D. (2020). Teknologi
Vessel Monitoring System (Vms) Sebagai Strategi Perlindungan Dan
Pembangunan Industri Perikanan Di Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 49(3),
303–313. https://doi.org/10.14710/mmh.49.3.2020.303-313
Sudarwati, W., Hardjomidjojo, H., Machfud, & Setyaningsih, D. (2020). Literature
review: Potential and opportunities for the development of seaweed agro-industry.
IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 472(1).
https://doi.org/10.1088/1755-1315/472/1/012063
Tammu, R. M. (2018). Peran Pembelajaran Biologi Sel dan Molekuler dalam
Pengelolaan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia. Prosiding
Seminar Nasional Pendidikan Biologi, 2, 878–885.

Anda mungkin juga menyukai