Anda di halaman 1dari 8

BAHAYA KONSUMSI CHITOSAN SEBAGAI BAHAN PENGAWET

MAKANAN

Menurut Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, salah satu bahan


tambahan pangan yang diizinkan digunakan pada makanan diantaranya pengawet
yaitu untuk memperpanjang masa simpan suatu makanan. Sebagian besar
kerusakan bahan makanan, khususnya hasil olahan, disebabkan oleh aktivitas
mikroba yang memanfaatkan bahan makanan untuk metabolismenya. Bahan
pengawet bersifat menghambat atau mematikan pertumbuhan mikroba penyebab
kerusakan ini sehingga sering juga disebut dengan senyawa antimikroba.
Pengawetan dan pengolahan bertujuan mengurangi kerugian fisik, gizi, dan
ekonomi, dengan mengurangi limbah dan memanfaatkannya, dan dengan
meningkatkan daya simpan dan nilai tambah. Jenis bahan pengawet diantaranya
asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan garamnya, nitrat, nitrit, sulfur
dioksida, nipagin, nipasol (Baliwati, 2004). Secara garis besar teknik pengawetan
dapat dibagi dalam tiga golongan yaitu pengawetan secara alami, pengawetan
secara biologis, dan terakhir dilakukan dengan pengawetan secara kimia.
Pertama pengawetan secara alami, Proses pengawetan secara alami meliputi
proses pemanasan dan pendinginan. Teknik liofilisasi atau teknik pengeringan beku
yang diperkenalkan oleh Perlman dan Kikuchi (1977) dan Heckly(1978)
merupakan teknik preservasi (pengawetan) yang sangat terkenal dan biasa
digunakan untuk mikroorganisme dengan kisaran yang luas. Kedua Pengawetan
Secara Biologis Proses pengawetan secara biologis dapat dilakukan dengan
fermentasi (peragian), yaitu proses perubahan karbohidrat menjadi alkohol.
Zat-zat yang bekerja pada proses ini adalah enzim yang dibuat oleh sel-sel
ragi. Lamanya proses peragian tergantung pada bahan yang akan diragikan. Ketiga
pengawetan secara kimia. Pada proses pengawetan secara kimia, digunakan bahan-
bahan kimia yang bersifat dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Sebagai
contoh adalah penggunaan gula pasir, garam dapur, nitrat, nitrit, natrium benzoat,
asam propionat, asam sitrat, garam sulfat, dan lain-lain. Sedangkan pada saat proses
pengasapan juga termasuk cara kimia, sebab bahan-bahan kimia dalam asap
dimasukkan ke dalam bahan makanan yang akan diawetkan.Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.
Namun, kekayaan keanekaragaman hayati yang kita miliki hingga saat ini belum
bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin. Saat ini budidaya dengan tambak telah
berkembang dengan pesat karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat
dihandalkan dalam meningkatkan jumlah ekspor non migas dan merupakan salah
satu jenis biota laut yang bisa bernilai ekonomis tinggi.
Dalam perkembangannya, Indonesia memasukkan udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) sebagai salah satu jenis udang budidaya tambak, selain
udang windu (Penaeus monodon) dan udang putih ata yang biasa disebut dengan
udang rebung (Penaeus merguiensis) yang sudah terkenal dikalngan masyarakat
umum. Udang windu saat ini tidak berkembang lagi karena terserang berbagai
macam penyakit udang diantaranya yang ganas adalah white spot atau virus bintik
putih. Petambak udang di Indonesia saat ini lebih banyak memelihara udang putih
(Pennaeus vannamei) dibanding udang jenis lain. Setelah melalui serangkaian
penelitian dan kajian akhirnya melalui SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI
No.41/2001 pemerintah secara resmi melepas udang vannamei sebagai varietas
unggul untuk dibudidayakan petambak di tanah air pada tanggal 12 Juli 2001.
Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian depan dan
bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari
bagian kepala dan dada yang menyatu. Oleh karena itu dinamakan kepala-dada
(cepholothorax). Bagian perut (abdomen) terdapat ekor di bagian belakangnya.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat
dari bahan yang biasa disebut dengan sebutan chitin atau kitin. Bagian kepala
beratnya kurang lebih 36-49%, bagian daging antara 24-41%, dan kulit 17-23% dari
total berat badan. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang,
pengalengan udang dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30-75% dari
berat udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan
udang cukup tinggi. Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang terdiri
dari protein, kalsium karbonat, chitin, pigmen, abu dan lain-lain. Meningkatnya
jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya agar bisa lebih bermanfaat kedepan. Hal ini bukan saja
memberikan nilai tambah pada usaha pengolahan udang akan tetapi juga dapat
menanggulangi masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah
tersebut. Perkembangan teknologi dan industri yang pesat dewasa ini ternyata
membawa dampak bagi kehidupan manusia, baik dampak yang bersifat positif
maupun dampak yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif memang
diharapkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas dan kenyamanan
hidup. Dalam usahanya untuk meningkatkan kualitas hidup, manusia berupaya
dengan segala daya untuk mengolah dan memanfaatkan kekayaan alam yang ada
demi tercapainya kualitas hidup yang diinginkan. Segala macam organisme yang
ada di alam ini selalu menghasilkan limbah atau bahan buangan.
Mengingat akan hal ini maka perlu pemikiran lebih lanjut bagaimana
mengurangi jumlah limbah dengan memanfaatkan kembali limbah tersebut untuk
kepentingan manusia melalui proses daur ulang limbah (bahan buangan), sekaligus
sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan. Pemanfaatan kembali limbah
ternyata banyak memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Limbah (bahan
buangan) yang semula tidak berharga, setelah dimanfaatkan kembali melalui proses
daur ulang, menjadi bernilai ekonomis. Dalam industri pembekuan udang ada dua
jenis limbah. Pertama adalah limbah cair yang berupa suspensi air dan kotoran
udang serta yang kedua limbah padat yang berupa kepala udang.
Limbah cair jika didiamkan akan menimbulkan bau tidak sedap dan akan
mencemari sungai atau areal persawahan yang ada di dekatnya. Begitu juga limbah
padat yang sarat akan bakteri jika didiamkan akan merupakan sumber kontaminan
yang akan mengganggu lingkungan. Limbah yang berbentuk cair sudah tidak bisa
dimanfaatkan lagi. Lain halnya dengan perlakuan untuk limbah padat. Limbah ini
masih bisa dimanfaatkan menjadi produk lanjut yang mempunyai nilai ekonomis
tinggi, misalnya chitin, tepung ikan untuk pakan ternak, dan flavor udang. Limbah
udang merupakan sumber yang kaya akan chitin, yaitu kurang lebih 30% dari berat
kering. Chitin dapat diproses lebih lanjut menjadi produk yang bernama chitosan.
Chitin merupakan poli (2-asetamido-2-deoksi--(14)-D-glukopiranosa) yang
paling melimpah di alam setelah selulosa. Chitin tidak beracun dan bahkan mudah
terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf
yang mempunyai warna putih. Keberadaan chitin di alam umumnya terikat dengan
protein, mineral, dan berbagai macam pigmen. Chitin banyak dijumpai pada jamur,
crustaceae, insecta, mollusca dan arthropoda. Dalam cangkang udang, adanya
kandungan chitin yang berstruktur sebagai mukopoli sakarida yang berikatan
dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan
juga beberapa lipida termasuk pigmen-pigmen. Sedangkan chitosan adalah poli-(2-
amino-2-deoksi--(1-4)-D-glukopiranosa) yang dapat diperoleh dari deasetilasi
dari chitin. Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih
kekuningan. Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses
deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (penghilangan mineral).
Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses
deasetilasi (penghilangan gugus asetil). Deproteinasi chitin merupakan reaksi
hidrolisis dalam suasana asam dan basa. Umumnya hidrolisis dilakukan dalam
suasana basa dengan menggunakan larutan NaOH. Demineralisasi secara umum
dilakukan dengan larutan HCl atau asam lain seperti H2SO4 pada kondisi tertentu.
Keefektifan HCl dalam melarutkan kalsium 10% lebih tinggi daripada H2SO4. Hal
yang terpenting dalam tahap penghilangan mineral adalah jumlah asam yang
digunakan. Secara stoikiometri, perbandingan antara padatan dan palarut dapat
dibuat sama atau dibuat berlebih pelarutnya agar reaksinya berjalan sempurna.
Urutan dari proses deproteinasi dan juga demineralisasi akan sangat
berperan penting. Deproteinasi sebaiknya dilakukan lebih dahulu jika protein yang
terlarut akan dimanfaatkan lebih lanjut. Deproteinasi pada tahap awal dapat
memaksimumkan hasil dan mutu protein serta mencegah kontaminasi protein pada
proses demineralisasi. Kandungan gugus asetil pada chitin secara teoritis ialah
sebesar 21,2%. Deasetilasi secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan
basa kuat NaOH atau KOH. Cara pembuatan chitin dan chitosan dari cangkang
udang sebagai bahan pengawet alami pada makanan dapat dilihat melalui tahapan
deproteinasi, demineralisasi dan deasetilasi pada skema di bawah ini. Saat ini
aplikasiproduk chitin dan juga produk chitosan sangat banyak dan meluas. Chitin
dan chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang industry biokimia, obat-
Obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air
limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain
sebagainya. Di bidang industri, chitin dan chitosan berperan antara lain sebagai
koagulan polielektrolit pengolahan limbah cair, pengikat dan penjerap ion logam,
mikroorganisme, mikroalga, pewarna, residu pestisida, lemak tanin, PCB
(poliklorinasi bifenil), mineral dan asam organik, media kromatografi afinitas, gel
dan pertukaran ion, penyalut berbagai serat alami dan sintetik, pembentukan film
dan membran sangat mudah terurai, meningkatkan kualitas kertas, pulp, dan begitu
juga dengan produk-produk industry tekstil.
Sementara di bidang pertanian dan pangan, chitin dan chitosan digunakan
antara lain untuk pencampur ransum pakan ternak, antimikroba, antijamur, serat
bahan pangan, penstabil, pembentuk gel, pembentuk tekstur, pengental dan
pengemulsi produk olahan pangan, pembawa zat aditif makanan, flavor, zat gizi,
pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasidifikasi buah-buahan, sayuran dan
penjernih sari buah. Di dalam pangan chitosan dapat dijadikan sebagai bahan
antimikroba untuk memperpanjang waktu penyimpanan makanan karena chitosan
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharide yang dapat
menghambat pertumbuhan-pertumbuhan mikroba yang merugikan.
Fungsinya sebagai antimikroba dan antijamur juga diterapkan dibidang
kedokteran. Chitin dan chitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans
dan Staphvcoccus aureus. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai
antikoagulan, antitumor, antivirus, pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan
pembuat lensa kontak, aditif kosmetik, membran dialisis, bahan shampoo dan
kondisioner rambut, zat hemostatik, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut
luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan
tubuh terhadap penyakit, dan yang terakhir digunakan sebagai antiinfeksi.
Pengawetan merupakan cara untuk menghambat pertumbuhan atau
membunuh mikroorganisme. Makanan yang dimasak akan membunuh organisme
tetapi tidak dijamin menjadi awet. Makanan yang mengandung formalin umumnya
awet dan dapat bertahan lebih lama, tetapi dapat membahayakan dan merugikan
kesehatan masyarakat. Sejak meningkatnya penggunaan formalin pada bahan
makanan sebagai pengawet maka banyak pihak yang mencari alternatif pengganti
formalin. Pengawetan tahu tanpa formalin dapat dilakukan dengan cara: Pertama
tahu direndam dalam air yang sudah diberi dahulu garam dapur 3% atau cuka 0,1%
atau campuran keduanya. Maka tahu akan awet sampai 3-4 hari.
Kemudian tahu dikukus atau direbus dan direndam dengan air perebusannya
juga dapat memperpanjang daya awetnya. Salah satu pengawetan tahu tanpa
formalin, tetapi dengan bahan alami juga dapat dilakukan dengan cara perendaman
tahu pada larutan chitosan. Aplikasi chitosan juga sudah dilakukan peneliti dari
Departemen teknologi hasil perairan (THP) fakultas perikanan dan ilmu kelautan
Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB) yang telah berhasil memanfaatkan limbah dari
udang dan rajungan sebagai bahan pengawet makanan yang alami.
Keunggulan penggunaan chitosan sebagai bahan pengawet ikan
berdasarkan indikator parameter daya awet hasil pengujian antara lain: Pertama
pada keefektifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, di mana pada
konsentrasi chitosan 1,5 %, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan, Kedua
pada keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, di mana hasil riset
menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating atau pelapisan. Penggunan
chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan penggunaan ikan asin tanpa formalin
sebagai bahan pengawet dan ikan asin dengan pengawet dari formalin.
Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan tanpa formalin dan pelakuan formalin pada
penyimpanan minggu ke delapan. Ketiga pada keefektifan dalam menghambat
pertumbuhan bakteri yang merugikan, di mana nilai TPC (bakteri) sampai pada
minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar
Nasional Indonesia) ikan asin (telah mengawetkan ikan pindang layang dengan
larutan chitosan 0,25% sehingga masih dapat dikonsumsi sampai hari kedua.
Demikian juga Wardaniati dan Setyaningsih (2009) menggunakan larutan chitosan
untuk mengawetkan bakso dengan konsentrasi mencapai 1,5% sehingga dapat
disimpan sampai hari ketiga. Chitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena
sifat-sifat yang dimilikinya yaitu sifat dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga
Terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya.
Mekanisme kerja chitosan lewat dua cara. Pertama, chitosan bisa membunuh
bakteri, dengan cara mengikat organisme patogen dengan polikation bermuatan
positif. Organisme pun tidak bisa tumbuh atau bergerak. Kedua, chitosan akan
melapisi kulit luar produk yang diawetkan, sehingga rasa dari dalam tidak bisa
keluar dan kontaminan dari luar juga tidak akan bisa masuk lagi.

1. Chitosan Tidak Berbahaya Untuk Dikonsumsi


Chitosan adalah serbuk yang dihasilkan dari deasetilasi chitin, senyawa yang
banyak diperoleh di kerangka luar (eksoskeleton) hewan Crustacea seperti udang,
kerang, dan kepiting. Serbuk yang telah dilepaskan asetilnya merupakan zat murni,
tinggi sifat basanya, serta mengandung banyak molekul glukosa. Dalam chitosan
terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah
didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Dengan
demikian, butylosar dapat diserap oleh tubuh. Zat itu merupakan satu-satunya
selulosa yang dapat dimakan manusia. Zat ini mempunyai muatan positif yang kuat,
dan juga dapat mengikat muatan-muatan ikatan negatif dari senyawa lain.
Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak
beracun (Nasir, 2008). Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan
disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat
kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama
dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi
dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi
berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau juga kertas yang tidak akan
stabil terhadap penagruh adanya gangguan dari udara, panas dan sebagainya.
Selain telah memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi
kimiawi juga aman karena dalam prosesnya chitosan cukup dilarutkan dengan asam
asetat encer (1%) hingga membentuk larutan chitosan homogen yang relatif lebih
aman. Masalah utama yang dihadapi dalam memproduksi chitin dan chitosan di
Indonesia adalah kualitas produk masih rendah, kontinuitas suplainya belum pasti
dan belum bisa diakses oleh semua kalangan. Selain itu banyak masyarakat yang
belum mengetahui fungsi dari produk chitin begitu juga dengan chitosan.
DAFTAR PUSTAKA

Darnell, J,. D. 1993. Molecular Cell Biology, 2nd Edition. USA: Scientific American
Books.
Dahlan, Hatta. 2010. Penuntun Praktikum Teknologi Bioproses. Indralaya.
Laboratorium Teknologi Biproses Jurusan Teknik Kimia Universitas
Sriwijaya.
Harjanti, S., R. 2010. Journal Kitosan Limbah Kulit Udang sebagai Bahan
Pengawet Ayam Goreng. Yogyakarta: Politeknik LPP.
Priyani, Nunuk. 2003. Sejarah Penemuan Mikroba. Universitas Sumatera Utara :
Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam.
Sugiarto, R., A. 2012. Jurnal Aplikasi Chitosan sebagai Pengawet. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
Volk dan Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar I. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai