Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN


APLIKASI KITOSAN TERHADAP REDUKDI BEBAN
PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN

Disusun oleh :
Asterina Wulan Sari
12/335195/PN/13030

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Meningkatanya industrialisasi dan aktifitas manusia, khusunya di
bidang perikanan memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat
dan memberikan peningkatan nilai sektor industri perikanan. Dampak negative
juga terjadi karena industri pengolahan ikan belum semua menerapkan
pengelollah lingkungan yang baik. Hal ini mengakibatkan bertambahnya
limbah yang masuk ke lingkungan khususnya di perairan, pada konsentrasi
tertentu limbah dapat memberikan dampak negative bagi kualitas air dan
kelangsungan hidup organisme yang ada di perairan (Wibowo et al., 2013)
Limbah industri pangan dapat menimbulkan masalah dalam
penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein dan
lemak, garam-garam mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam
pengolahan dan pembersihan. Limbah dari industri perikanan merupakan salah
satu industri yang limbahnya dapat menimbulkan bau yang tidak diinginkan
apabila tidak diberi perlakuan yang tepat. Pada umumnya limbah industri
pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, namun kandungan bahan
organiknya yang tinggi dapat bertindak sebagai sumber makanan untuk
tumbuhnya mikrobia (Jenie dan Rahayu, 1993).
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas ekspor
sektor perikanan Indonesia yang dijual dalam bentuk rajungan beku atau
kemasan dalam kaleng. Dari aktivitas pengambilan dagingnya oleh industri
pengolahan rajungan dihasilkan limbah kulit keras (cangkang) cukup banyak
yang jumlahnya dapat mencapai sekitar 40-60 % dari total berat rajungan.
limbah cangkang rajungan masih mengandung senyawa kimia cukup banyak,
diantaranya adalah protein 30 40 % mineral (CaCO3) 30 50 % dan khitin
20 30 % (Srijanto, 2003).
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk reduksi limbah cair adalah
penggunaan kitosan. Limbah berkitin di Indonesia yang dihasilkan saat ini
sekitar 56.200 ton pertahun (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000).
Kitosan tidak bercun dan mempu menghasilkan flok-flok yang akan
mengendap bersama partikel-partikel yang ada pada air limbah. Unsusr-unsur

kitosan sangat berperan dalam mengabsorbsi limbah cair dengan gugus amino
dan hidroksil terikat dapat menyebabkan sifat polielektronik kation yang
berperan sebagai absorben limbah (Harahap, 2011)

2. Tujuan Praktikum
Mempelajari kemampuan kitosan dalam mereduksi beban pencemaran limbah
cair industri perikanan.

3. Manfaat Praktikum
Mahasiswa dapat mengetahui dan dapat mengaplikasikan fungsi kitosan
sebagai agen pereduksi beban pencemaran limbah cair industri perikanan baik
yang organik maupun anorganik.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kitin Kitosan
Kitin yang terkandung dalam cangkang dapat diproses lebih lanjut
menghasilkan kitosan yang mempunyai banyak manfaat di bidang industri.
Kitosan merupakan biopolymer yang banyak digunakan di berbagai industri
kimia antara lain dipakai sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan
pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, anti kanker
atau anti tumor, anti kolestrol, komponen tambahan pakan ternak, sebagai lensa
kontak, pelarut lemak dan pengawet makanan (Mekarwati et al., 2000)
Kitosan merupakan polimer dengan nama kimia 2-amino-2-deoksi-Dglukosa, mengadung gugus amino bebas dalam rantai karbonnya. Rantai
karbon dari kitosan bermuatan positif sehingga menyebabkan molekul tersebut
bersifat resisten terhadap stress mekanik. Gugus amino bebas inilah yang
banyak memberikan kegunaan bagi kitosan (Prayudi dan Susanto, 2000).
Kitosan diperoleh dari kitin melalui proses deasetilasi. Sedangkan kitin
merupakan bahan yang dapat diperoleh dari proses pengolahan bahan yang
dapat diperoleh dari proses pengolahan limbah industri perikanan seperti kulit
udang, kulit dan kepala kepiting dan lainnya. Semakin banyak gugus asetil
yang hilang dari polimer kitin, semakin kuat interaksi ikatan hidrogen dan ion
dari kitosan sehingga kitosan bermuatan positif dan berlawanan dengan
polisakarida alam lainnya (Atmojo, 2007).
Kitosan memiliki gugus amino bebas yang dapat mengikat partikelpartikel koloid yang terkandung dalam limbah cair sehingga membentuk flokflok yang dapat mengendap. Pengikatan partikel partikel tersebut akan
menurunkan nilai-nilai polutan yang terdapat pada limbah cair sehingga air
dapat dibuang ke perairan umum tanpa mencemari lingkungan (Prayudi dan
Susanto, 2007).

2. Mekanisme Perubahan Kitin Menjadi Kitosan


Menurut Robert (1992), proses ekstraksi kitosan terdiri dari tiga tahap,
yaitu deproteinasi, demineralisasi dan deasetilisasi. Tahap deproteinasi dan
demineralisasi

akan

menghasilkan

senyawa

kitin,

sedangkan

tahap

deasetilisasi akan merubah kitin menjadi kitosan. Semakin banyak gugus asetil
yang hilang akan semakin kuat interaksi hidrogen dan ion dari kitosan.
Deproteinasi merupakan tahap penghilangan guus protein. Pelarut yag
biasa digunakan antara laian adalah NaOH, KOH, Na2CO3 dan K2CO3.
Penggunaan pelarut basa kuat dalam waktu tertentu akan melepas ikatan antara
protein dan kitin (Sedjati, 2006). Proses deproteinasi bertujuan mengurangi
kadar protein dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang
cukup (Yunizal, 2001).
Demineralisasi merupakan tahapa penghilangan gugus mineral.
Mineral dehilangan dengan pelarut asala anatara lain adalah HCl, HNO3,
H2SO4, CH3COOH dan HCOOH, namun umunya digunakan HCl. Pada proses
demineralisasi senyawa kalsium yang umunya berupa CaCO3 akan bereaksi
dengan HCl dan membentuk kalsium klorida, asam karbonat dan asam fosfat
yang larut dalam air sedangkan residu yang tidak larut air adalah senyawa kitin
(Sedjati, 2006).
Untuk memperoleh senyawa kitosan, maka serbuk kitin dideasetilisasi.
Deasetilisasi merupakan proses penghilangan gugus asetil dengan cara
penambahan larutan basa atau alkali. Beberapa larutan yang sering digunakan
adalah KOH, Ca(OH)2, LiOH dan Na3PO4. Proses deasetisasi kitin akan
membebaskan gugus asetil yang terikat pada gugus NH menjadi NH2 bebas.
Kitosan merupakan senyawa yang biodegradable sehingga ramah lingkungan
(Laksono, 2015).

3. Mekanisme Kitosan sebagai Pereduksi Limbah Organik


Mekanisme kitosan sebagai pereduksi limbah organik adalah dengan
mekanisme koagulasi partikel koloid. Koagulasi berfungsi untuk menimbulkan
proses koagulasi yaitu hilangnya stabilitas partikel koloid di dalam air
(desabilisasi partikel). Tahap selanjutnya adalah tahap flokulasi yaitu saling
bergabungnya partikel yang telah mengalami koagulasi (tidak stabil). Partikelpartikel tersebut saling ergabung sehinnga diperoleh ukuran partikel yang lebih
besat dari semula. Gabungan partikel ini kemudian akan mengendap secara
berkelompok dan membentuk sedimen di dasar perairan (Hammer, 1986).

Menurut Rahmi (2007), mekanisme penjernihan limbah cair


pengolahan ikan melewati tiga tahap, yaitu :
a. Koagulasi atau destabilisasi partikel
Tahap ini tejadi ketika kitosan sebagai koagulan menurunkan gaya tolak
menolak dan meningkakan gaya tarik menarik antar partikel sehingga
terjadi ikatan antar oartikel membentuk senyawa kompleks.
b. Flokulasi
Pada tahap flokulasi akan terbentuk flok-flok partikel dengan masa dan
ukuran yang lebih besar.
c. Agregasi atau sedimentasi
Agregasi merupakan tahap akhir dari proses yaitu terjadinya pengendapan
semua partikel secara berkelompok di dasar perairan.

4. Mekanisme Kitosan sebagai Pereduksi Limbah Anorganik


Kitosan mampu menangani limbah cair anorganik seperti Pb, Hg, Cr,
Cd, Cu dan Zn yang tdak dapat terdekomposisi oleh alam. Limbah cair
anorganik banyak dihasilkan oleh industri non pangan seperti industri tekstil.
Gugus amina (NH2) pada kitosan menjadi penentu kemampuan kitosan dalam
menangani limbah anorganik (Marganof, 2003). Menurut Sormin et al. (2001),
kitosan dapat melarutkan limbah cair berupa HgSO4 dan dengan derajat
deasetilisasi tinggi memberikan sisa Hg rendah dalam limbah.
Menurut Mekarwati et al. (2000), proses deasetilasi dengan
menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan terlepasnya gugus
asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin. Gugus amida pada kitin akan berikatan
dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk gugus
amina bebas NH2. Kitosan membentuk kompleks (khelat) dengan ion logam
berat dan ion logam transisi terutama Cu2+, Ni2+ dan Hg2+ dengan pengaturan
pH. Dengan adanya gugus amina bebas, kitosan dapat mengadsorpsi ion logam
dengan membentuk senyawa kompleks (khelat) (Rahayu dan Purnavita, 2007).

5. Pemanfaatan dan Perkembangan Kitosan


Kitin yang terkandung dalam cangkang dapat diproses lebih lanjut
menghasilkan kitosan yang mempunyai banyak manfaat di bidang industri.
Kitosan merupakan biopolimer yang banyak digunakan di berbagai industri
kimia antara lain dipakai sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan
pelembab, pelapis benih yang akan ditanam, adsorben ion logam, anti kanker
atau anti tumor, anti kolestrol, komponen tambahan pakan ternak, sebagai lensa
kontak, pelarut lemak dan pengawet makanan (Mekarwati et al., 2000).
Kitosan sering dimanfaatkan dalam beberapa bidang, antara lain :
1. Kitosan kitosan sebagai pengawet alami aman untuk dikonsumsi karena
kitosan merupakan polisakarida dan biodegradable (mudah didegradasi
secara biologis). Pada uji daya awet ikan asin yang diberikan perlakuan
kitosan mempunyai daya awet sampai 3 bulan, sedangkan dengan
penggaraman biasa sampai 2 bulan dan formalin sampai 3 bulan 2 minggu.
2. Pemberian pengawet alami kitosan pada produk pasca panen pertanian
diperkirakan mampu meningkatkan mutu simpan produk. Salah satu yang
mendasari hal

ini

karena kitosan menginduksi

tanaman untuk

meningkatkan biosintesis lignin dan lignifikasi dinding sel tanaman


sehingga menjadi lebih kuat dan menghambat penetrasi cendawan
pengganggu. Kelebihan kitosan dibandingkan lilin biasa antara lain
sifatnya yang ramah lingkungan dan mudah terdegradasi di alam dan tidak
membahayakan kesehatan manusia.
2. Menurut (Waluyo, 2005), sifat polikationik dari kitosan dapat
dimanfaatkan sebagai agensia pengumpul (coagulating agensia) dalam
penanganan limbah, terutama limbah berprotein termasuk yang berasal dari
industri perikanan karena gupalang protein tersebut dapat dimanfaatkan
untuk pakan ternak.
3. Penanganan limbah cair, berdasarkan sifat konfigurasinya dalam sisteme
berair maka kitosan dapat dimanfaatkan sebagai chelating agent yang dapat
menyerap logam beracun seperti merkuri, timah, tembaga, plutonium dan
uranium dalam perairam (Waluyo, 2005).

III.

HIPOTESIS

Konsentrasi kitosan yang terbaik dalam mereduksi limbah cair industry


perikanan adalah 2%, semakin tinggi konsentrasi kitosan maka semakin baik dalam
mereduksi limbah cair.

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah erlenmeyer 250 dan
1000 ml, gelas beker, kertas saring, corong, timbangan analitik, stopwatch atau
jam, Automatic Absorbtion Spectofotometry (AAS).

2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari sampel limbah
cair organik dari UKM Mina Tayu, air, aquades, kitosan, larutan asam asetat
glasial, kertas saring dan kertas lakmus.

3. Tata Laksana Praktikum


3.1 Tahap pembuatan kitosan
250 mL akuades + 2 mL asam asetat glasial

Distirer sampai homogen

+ serbuk kitosan komersial (0,5% = 1,25 g; 1% =


2,5 g; 1,5% = 3,75 g; 2% = 5 g). Distirer sampai
homogen
3.2 Aplikasi kitosan pada limbah cair industri perikanan
Limbah cair 500 ml

Limbah cair 250 ml + air 250 ml

Analisis pH, TSS dan kekeruhan


limbah sebelum perlakuan

Tambahkan larutan 250 ml kitosan


(0,5%; 1%; 1,5% dan 2%)

Ukur pH

Masukan dalam 500 ml limbah cair


di Erlenmeyer 1000 ml

Diaduk 10 menit (9 menit aduk


cepat dan 1 menit aduk lambat)

Endapkan 60 menit

Analisis pH, TSS dan kekeruhan


limbah setelah perlakuan

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil
Tabel 1. Data Hasil Pengamatan Tanpa Pengenceran
Larutan Kitosan

Parameter

I
1

pH Larutan
Kitosan
pH
TSS (mg/L)
Kekeruhan

II
2

3
7
0,4
+++

III
2

4
4
0,2
+++

7
0,4
+++

IV
2

4
5
0,2
+++

7
0,4
+++

2
4

5
0,7
+++

7
0,4
+++

5
0,6
+++

Tabel 2. Data Hasil Pengamatan dengan Pengenceran


Larutan Kitosan

Parameter

I
1

pH Larutan
Kitosan
pH
TSS
Kekeruhan

II
2

3
8
3,3
++++

III
2

4
4
0,1
+++

8
3,3
++++

IV
2

4
5
0,5
++

8
3,3
++++

2
4

5
0,6
++

8
2,3
++++

Keterangan :
Kekeruhan :

Perlakuan

: Bening

: Kitosan 0,5%

++

: Agak Bening

: Kitosan 1,0%

+++

: Keruh

: Kitosan 1,5%

++++ : Sangat Keruh

: Kitosan 2,0%

+++++ : Sangat Keruh Sekali

2. Pembahasan
2.1 Limbah Organik
2.1.1

Cara kerja dan fungsi perlakuan


Praktikum manajemen limbah industri perikanan acara aplikasi
kitosan terhadap reduksi beban pencemaran limbah cair organik
menggunakan limbah cair dari Mina Tayu. Reduksi limbah cair

5
0,6
+

dengan kitosan dilakukan dua perlakuan yaitu tanpa pengenceran


dan pengenceran. Perlakuan pengenceran limbah dilakukan
pengenceran terlebih dahulu dengan perbandingan limbah dan air
1:2 (v/v). Limbah yang sudah diencerkan dan limbah tanpa
pengenceran dilakukan pengecekan kadar TSS, pH dan tingkat
kekeruhan untuk membandingkan dengan setelah pemberian
kitosan.
Pembuatan

larutan

kitosan

dilakukan

dengan

menghomogenkan 250 ml aquades dan 2ml asam asetat dengan cara


distirer didalam erlenmeyer. Setelah larutan tersebut homogen,
ditambahkan serbuk kitosan komersial sesuai dengan perlakuan
yaitu 0,5; 1,0; 1,5 dan 2% dengan cara distrirer sampai homogen
dan diukur pH tersebut. Menurut Rahmi (2007), kitosan tidak dapat
larut dalam air alkali ataupun asam kuat, namun kitosan dapat larut
dalam pelarut organic seperti asam asetat.
Limbah cair yang telah diencerkan diambil 500 ml dan
ditambahkan larutan kitosan yang telah dibuat. Selanjutanya
dilakukan pengadukan 10 menit di dalam Erlenmeyer, yaitu 9 menit
pengadukan cepat dan 1 menit pengadukan lambat. Pengadukan
cepat berfungsi mempercepat proses kaogulasi sedangkan
pengadukan lambat berfungsi mempercepat flokulasi. Koagulasi
dan flokulasi diperlukan untuk menghilangkan material limbah
berbentuk suspensi atau koloid (Medcalf, 1991).
Sampel kemudian diendapkan selama 60 menit untuk
mengendapkan flok-flok partikel yang terbentuk saat flokulasi.
Gabungan partikel ini kemudian akan mengendap secara
berkelompok dan membentuk sedimen di dasar (Hammer, 1986).
Setelah pengendapan, air limbah dilakukan pengukuran pH, TSS
dan kekeruhan limbah untuk membandingkan sebelum dan sesudah
diberi perlakuan terdapat perubahan atau tidak.

2.1.2

Karakteristik dan bahaya limbah organik


Kandungan bahan organik

dalam suatu

limbah akan

menimbulkan masalah polusi karena akibat pengambilan oksigen


terkarut untuk proses kimia dan mikrobiologi akan mengganggu
seluruh keseimbangan ekologik dan menyebabkan kematian ikan
dan biota air. Kelebihan nitrogen dan fosfor dalam air yang berasal
dari industri pangan dapat menyebabkan eutrofikasi. Penanganan
biologi cocok dilakukan pada limbah cair yang mengandung bahan
padatan organik terlarut (Gintings, 1992).
Limbah cair indutri perikanan mengandung bahan organik yang
dapat mengkontamninasi organisme dan lingkungan dalam bentuk
larutan, koloid mapun partikel lainnya. Kandungan bahan-bahan
organik dalam limbah cair dapat memberikan efek negatif terhadap
lingkungan melalui berbagai cara. Bahan organik yang terlarut
selain menghabiskan oksigen dalam air juga dapat menimbulkan
rasa dan bau yang tidak sedap pada penyediaan air bersih (Darsono,
1994).

2.1.3

Mekanisme kitosan dalam mereduksi limbah organik


Kitosan tidak dapat larut dalam air alkali ataupun asam kuat,
namun kitosan dapat larut dalam pelarut organik seperti asam
asetat. Larutan asam asetat akan memberikan proton (H+) dalam air
limbah. Proton akan saling berikatan secara koordinasi dengan
amina membentuk molekul amina (NH3) yang bersifat ionik
sehingga kitosan bersifat reaktif terhadap senyawa bemuatan
negatif. Keruhnya air limbah disebabkan oleh partikel protein yang
tersuspensi dan tidak dapat mengendap sebab partikel tersebut
terlalu kecil ukurannya untuk mengendap dalam suatu periode
tertentu, gugus amino kitosan (NH3+) akan berikatan dengan sisi
negatif protein (-COO-). Terikatnya senyawa protein oleh kitosan
akan membentuk kompleks senyawa gabungan kitosan dan protein
selanjutnya kan saling berkelompok membentuk flok dan akhirnya

akan

mengendap.

Mengendapnya

partikel

protein

akan

menyebabkan air limbah menjadi lebih jernih (Rahmi, 2007).

2.1.4

Pembahasan parameter
Perlakuan aplikasi kitosan 2% terhadap reduksi beban
pencemaran limbah industri perikanan saat dicampur dengan asam
asetat memiliki pH 4. Menurut Mekarwati et al. (2000), kitosan
bersifat polimer kationik yang tidak laut dalam air dan larutan alkali
dengan pH diatas 6,5, namun mudah larut dalam asam organik
seperti asam formiat, asam asetat dan asam sitrat. Menurut Angka
dan Suhartono (2000), sifat fleksibiltas kitosan membantu daya
gunanya di dalam berbagai produk. Sifat reologis dari kitosan
menyebabkan sensitive terhadap perubahan pH dan kekuatan ion.
Limbah cair sebelum diberi perlakuan meiliki pH 8 dan setelah
pemberian kitosan 2% yang telah diencerkan pada limbah cair dan
pengadukan pH berubah menjadi 5. Menurut Atmojo (2007),
apabila kitosan dilarutkan salam asam, maka kitosan akan menjadi
polmer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan
dalam

proses

flokulasi,

Kelebihan

polielektrolit

kationik

dibandingkan dengan kogulan lain adalah jumlah flok yang


dihasilkan lebih sedikit karena polielektrolit tidak membentuk
endapan, flok terbentuk lebih kuat dan tidak memerlukan
pengaturan pH. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH limbah
setelah diberi kitosan yang telah diencerkan dalam asam asetat tidak
signifikan mempengaruhi reduksi beban pencemaran.
TSS sesudah diberi perlakuan penambahan kitosan 2%
mengalami penurunan dari 2,3 menjadi 0,6 mg/L. Menurut Harahap
(2011), penurunan kadar TSS pada air limbah terjadi karena
pemberian kitosan ke dalam air sampel ammpu menyerap
(mengabsorbsi) bahan-bahan organik pada air limbah. Kitosan
mampu membentuk suatu ikatan aniaon-anion pada air limbah
sehingga akan membentuk suatu endapan yang dapat meningkatkan

kecerahan dan akan mempengaruhi kandungan TSS, mengurangi


BOD5, COD serta menetralkan pH.
Limbah cair memiliki intensitas kekeruhan yang sangat keruh
(++++) sedangkan setelah pemberian kitosan 2% intensitasnya
kekeruhannya berkurang menjadi bening (+). Menurut Harahap
(2011), kitosan tidak bercacun dan mampu menghasilkan flok-flok
yang akan mengendap bersama partikel-partikel yang ada pada
limbah, sehingga hal ini akan mengurangi efek negatif terhadap
kehidupan biota perairan. Dengan kata lain, kitosan mampu
menurunkan padatan teruspensi yang dapat menyebabkan air
semakin keruh.
Baku mutu limbah untuk TSS menurut aturan perhitungan
PERMEN LH No. 06 tahun 2007 adalah 210.000 kg. Beban
pencemaran limbah sebelum diberi perlakuan adalah 4.830 kg dan
setelah diberi perlakuan kitosan 2% adalah 1.260 kg. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kitosan 2% dapat
menurunkan beban pencemaran sebanyak 3.570 kg dan tidak
melebihi baku mutu limbah yaitu 210.000 kg.
Limbah sebelum diberi perlakuan memiliki pH 8 dan sesudah
diberi perlakuan kitosan 2% mengalami penurunan pH menjadi 5.
Menurut aturan PERMEN LH No. 06 tahun 2007, baku mutu pH
limbah adalah 6-9. Berdasarkan baku mutu, limbah sebelum dan
sesudah diberi perlakuan kitosan 2% tidak melewati ambang batas
baku mutu limbah yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa limbah dengan perlakuan maupun tanpa perlakuan
tidak melebihi ambang batas baku mutu TSS maupun pH.

2.1.5

Pembahasan perlakuan pengenceran dan tanpa pengenceran


limbah
Limbah yang diencerkan sebelum diberi perlakuan maupun
tanpa pengenceran memberikan perbedaan hasil yang signifikan
pada intensitas kekeruhan dan TSS setelah pemberian kitosan 2%.

Hasil akhir intensitas kekeruhan pada limbah yang diencerkan


adalah jernih (+) sedangkan tanpa pengenceran memberikan hasil
keruh (+++). TSS tanpa pengenceran mengalami peningkatan dari
0,4 menjadi 0,6 mg/L dan dengan pengenceran mengalami
penurunan dari 2,3 menjadi 0,6 mg/L. Menurut Yusuf (2008),
pengenceran limbah memberikan efektivitas pengolahan limbah
dan penurunan kadar TSS yang signifikan dibandingkan tanpa
pengenceran.

2.1.6

Perlakuan terbaik
Perlakuan terbaik diantara 4 perlakuan adalah pemberian
kitosan 2% yang memberikan hasil jernih pada limbah yang
direduksi. Pemberian kitosan 2% memberikan penurunan TSS
menjadi 0,6 ppm. Menurut Harahap (2007), jumlah kitosan yang
ditambahkan pada air sampel mempengaruhi peluang kontak antar
kitosan dengan bahan-bahan organik atau anorganik pada limbah.

2.2 Limbah Anorganik


Kitosan mampu menangani limbah cair anorganik seperti Pb, Hg, Cr,
Cd, Cu dan Zn yang tdak dapat terdekomposisi oleh alam. Limbah cair
anorganik banyak dihasilkan oleh industri non pangan seperti industri
tekstil. Gugus amina (NH2) pada kitosan menjadi penentu kemampuan
kitosan dalam menangani limbah anorganik. Kitosan dapat melarutkan
limbah cair berupa HgSO4 dan dengan derajat deasetilisasi tinggi
memberikan sisa Hg rendah dalam limbah (Sormin et al.,2001),.
Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan
menyebabkan terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul kitin.
Gugus amida pada kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang
bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina bebas NH2. Kitosan
membentuk kompleks (khelat) dengan ion logam berat dan ion logam
transisi terutama Cu2+, Ni2+ dan Hg2+ dengan pengaturan pH. (Mekarwati
et al., 2000). Dengan adanya gugus amina bebas, kitosan dapat

mengadsorpsi ion logam dengan membentuk senyawa kompleks (khelat)


(Rahayu dan Purnavita, 2007).

VI.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Perlakuan kitosan 2% memberikan hasil terbaik dalam mereduksi beban
pencemaran limbah cair industri perikanan dengan TSS 0,6 mg/L dan limbah
menjadi bening dibandingkan dengan perlakuan 1,0 dan 1,5% yang
menghasilkan limbah agak bening dan masih keruh pada perlakuan 0,5%.
2. Saran
Diharapkan pada praktikum berikutnya dapat dilakukan penambahan
perlakuan berdasarkan perbedaan konsentrasi asam asetat yang digunakan
untuk menambah wawasan praktikan dalam aplikasi kitosan dalam mereduksi
beban pencemaran limbah industri perikanan.

DAFTAR PUSTAKA
Angka S.T., M.T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumber
Daya Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor.
Atmojo, M.Y. 2007. Pemanfaatn lembaran kitosan sebagai adsorber pada pengolahan
limbah cair perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Skripsi.
Darsono V. 1994. Pengantar Ilmu Lingkungan. Universitas Atamajaya, Yogyakarta.
Hammer, M.J. 1986. Water and Waste Technoloy. John Wiley & Sons, New York.
Harahap, S. 2011. Penggunaan kitosan dari kulit udang dalam menurunkan kadar total
suspended solid (TSS) pada limbah cair industri plywood. Jurnal Akuatika 2 :
116-125.
Jenie, B.S.L. dan W.P. Rahayu.1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Laksono, E.W. 2015. Kajian terhadap aplikasi kitosan sebagai adsorben ion logam
dalam

limbah

cair.<http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Endang%20Widjajanti
%20L.FX,%20M.S.%20Dr.%20/Kajian%20%20Ap.kitosan.pdf.>. Diakses 3
April 2015
Mekarwati, E. Fachriyah dan Sumardjo, D. 2000. Aplikasi kitosan terhadap hasil
transformasi kitin limbah udang (Panaeus merguiensis) untuk adsorpso ion
logam timbal. Jurnal Sains dan Matematika 2 : 51-54.
Medcalf, Eddy. 1991. Wastewater Enginering Treatment, Disposal and Reuse.
McGraw Hill. Inc., Singapore
Prayudi, T. dan J.P. Susanto. Chitosan sebagai bahan koagulan limbah industri tekstil.
Jurnal Teknologi Lingkungan 2 : 121 125.
Rahayu, L.H. dan S. Purnavita. 2007. Optimasi pembuatan kitosan dari kitin limbah
cangkang rajungan (Portunus pelagicus) untuk adsorben ion logam merkuri.
Reaktor 1 : 45-49.
Rahmi. 2007. Penggunaan kitosan sebagai agen penjernih limbah cair industri
penyemakan kulit dan fillet ikan. Universitas Gadjah Mada. Skripsi.
Robert, G.A.F. 1992. Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltf., London

Sedjati, S. 2006. Pengaruh konsentrasi kitosan terhadap mutu ikan teri (Stolephorus
heterolobus) asin kering selama penyimpanan suhu kamar. Universitas
Diponegoro. Skripsi.
Sormin, R.B.D., Winarno F.G., Heruwati E.S dan Assik A.N. 2001. Rendemen, sifat
fisikokimia dan aplikasi dari limbah beberapa jenis udang. Jurnal Perikanan
UGM 1 : 09-16.
Srijanto, B., 2003. Kajian pengembangan teknologi proses produksi kitin dan kitosan
secara kimiawi. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia 1 : 1-5.
Yunizal, T., M. Nur dan W. Thamrin. 2001. Ekstraksi kitosan dari kepala udang putih
(Panaeus merguensis). Jurnal Agrikultur 3: 113-117.
Yusuf, G. 2008. Bioremidiasi limbah rumah tangga dengan sistem simulasi tanaman
air. Jurnal Bumi Lestari 2: 136-144.
Wibowo, T.S., Purwanto dan B. Yulianto. 2013. Pengelolaan lingkungan industri
pengolahan limbah fillet ikan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai