Krisis Tiroid
Krisis Tiroid
Assignment
dr.
Ananda
W
Ginting
Telah
Dibacakan
DR.
dr.
Dharma
Lindarto
Sp.PD
KEMD
KRISIS
TIROID
(THYROID
STORM)
Ananda
W.
Ginting,
Dharma
Lindarto
PENDAHULUAN
sebagai
penyakit
yang
penting.
Krisis
Tiroid
(thyroid
storm)
merupakan
suatu
keadaan
hipertiroid
yang
mengalami
eksaserbasi
sehingga
mengancam
kehidupan
yang
ditandai
dengan
dekompensasi
dari
satu
atau
lebih
sistem
organ,
dengan
keadaan
status
hipermetabolik.1,4
Angka
kejadian
krisis
tiroid
jarang.
Biasanya
krisis
tiroid
merupakan
komplikasi
penyakit
grave,
namun
terkadang
dapat
muncul
pada
keadaan
toksik
multinoduler
goiter.
Keadaan
krisis
tiroid
juga
dapat
dipresipitasi
oleh
keadaan
akut,
seperti:
trauma,
infeksi,
tindakan
operatif,
pemberian
iodine
berlebihan,
kehamilan.
1,3,4
Tidak
ada
nilai
patokan
kadar
hormon
tiroid
yang
bersirkulasi
untuk
mendefinisikan
krisis
tiroid,
sejak
hasil
laboratorium
menunjukkan,
bahwa
pada
kebanyakan
kasus,
kadar
TH
serum
cenderung
sama
dibandingkan
pada
tirotoksikosis
tanpa
komplikasi.
Oleh
karena
krisis
tiroid
cenderung
fatal,
penting
untuk
mendiagnosa
cepat
krisis
tiroid
dan
pengobatan
yang
adekuat
untuk
membatasi
morbiditas
dan
mortalitas.5
Insidensi
tiroid
storm
dikatakan
tidak
lebih
dari
10%
(1-2%)
pasien
yang
dirawat
dengan
tirotoksikosis.
Namun,
angka
kematian
oleh
krisis
tiroid
masih
tinggi,
dengan
rentang
(20-30%).
Presentasi
klinis
termasuk
demam,
takikardia,
hipertensi,
abnormalitas
neurologi
dan
gastrointestinal.
Burch
dan
Wartofsky
lebih
spesifik,
telah
menggambarkan
sistem
poin
untuk
menilai
derajat
disfungsi
dari
berbagai
sistem
organ
(regulasi
suhu
tubuh,
saraf
pusat,
pencernaan,
dan
kardiovaskular).
Gambaran
klinis
lebih
memiliki
arti
penting
dibandingkan
dengan
kadar
hormon
tiroid
untuk
mengasumsikan
bahwa
seseorang
dengan
tirotoksikosis
akan
jatuh
ke
keadaan
krisis
tiroid.1,2,6
Diagnosis
utama
adalah
dengan
gambaran
klinis,
dan
tidak
ada
tes
laboratorium
spesifik
untuk
pasien
ini.
Gambaran
klinis
yang
ditunjukkan
merupakan
manifestasi
dari
dekompensasi
organ.
Pengobatan
termasuk
pemberian
cairan,
menghambat
sintesis
hormon
tiroid,
pelepasan
1
hormon
dan
menghambat
efek
dari
kelebihan
hormon
tiroid
di
jaringan,
dan
menurunkan
konversi
T4
menjadi
T3
di
jaringan.1,2,3,5,6
Hampir
semua
kasus
diawali
faktor
pencetus.
Tidak
ada
satu
indikator
biokimiawipun
mampu
meramalkan
terjadinya
krisis
tiroid,
sehingga
tindakan
kita
didasarkan
pada
kecurigaan
atas
tanda-tanda
krisis
tiroid
membakat.
Karena
mortalitas
amat
tinggi,
kecurigaan
krisis
saja
cukup
untuk
menjadi
dasar
mengadakan
tindakan
agresif.5
ETIOLOGI
DAN
PATOGENESIS
Penyebab
paling
sering
tirotoksikosis
pada
krisis
tiroid
adalah
penyakit
grave.
Penyakit
grave
dimediasi
oleh
antibodi
reseptor
tirotropin
yang
menstimulasi
sintesis
hormon
tiroid
menjadi
berlebihan
dan
tidak
terkendali
(T3
dan
T4).
Kebanyakan
kejadian
ini
dijumpai
pada
wanita
muda,
namun
dapat
juga
muncul
pada
semua
jenis
kelamin
dan
umur.
Krisis
tiroid
juga
dapat
muncul
pada
adenoma
soliter
toksik
atau
toksik
multinoduler
goiter.
Penyebab
jarang
krisis
tiroid
termasuk
hipersekresi
karsinoma
tiroid,
thyrothropin-secreting
pituitary
adenoma,
teratoma,
HCG-secreting
hydatiform
mole.
Penyebab
lain
antara
lain
interferon
alfa,
dan
interleukin
2,
terpapar
iodin,
dan
pemberian
amiodaron.
Pemberian
interferon
alfa
dan
interleukin
2
dapat
mengganggu
ikatan
tiroksin
dengan
globulin
sehingga
meningkatkan
kadar
tiroksin
bebas.1,2,3
krisis
tiroid.
Krisis
tiroid
dapat
dipresipitasi
oleh
pembedahan,
trauma,
infark
miokard,
emboli
paru,
gangguan
serebrovaskular,
DKA,
toksemia
gravidarum
dan
infeksi
yang
berat.
Krisis
tiroid
juga
dilaporkan
dapat
disebabkan
oleh
penghentian
obat
antitiroid,
atau
dosis
obat
yang
inadekuat
(biasanya
dikarenakan
kepatuhan
pasien
yang
buruk).
Kelebihan
mengkonsumsi/pemberian
iodine
intravena
eksogen
(zat
kontras
teriodinasi
dan
amiodaron)
dan
palpasi
kelenjar
tiroid
yang
terlalu
kuat.
Penggunaan
salisilat
juga
dilaporkan
meningkatkan
kadar
tiroid
hormon
bebas.
Pada
beberapa
dekade
lalu,
operasi
tiroid
pada
pasien
dengan
hipertiroidism
yang
tidak
terkontrol,
merupakan
penyebab
utama
krisis
tiroid.
Namun
pengobatan,
dan
persiapan
yang
tepat
sebelum
operasi
tiroid
dapat
menurunkan,
namun
tidak
menghilangkan
kejadian
krisis
tiroid
perioperatif.1,2,4
Penyebab tirotoksikosis yang sering dijumpai adalah hiperaktivitas kelenjar tiroid. Salah satu
hipotesis
yang
dapat
menyebabkan
kejadian
krisis
tiroid
adalah
peningkatan
kadar
hormon
tiroid
yang
bebas.
Tentu
saja,
peningkatan
kadar
hormon
ini
disertai
dengan
penekanan
kadar
tirotropin,
sehingga
serum
tirotropin
umumnya
tidak
terdeteksi,
terkecuali
pada
pituitary
thyrotropin-secreting
adenoma).
Pada
satu
studi
membandingkan
keadaan
krisis
tiroid
dengan
tirotoksikosis,
Brooks
dan
kolega
menemukan
bahwa
konsentrasi
F4
bebas
lebih
tinggi
pada
subjek
dengan
krisis
tiroid,
2
sementara
kadar
T4
total
cenderung
sama
pada
kedua
grup.
Teori
lain
yang
mungkin
dapat
menjelaskan
patogenesis
dari
krisis
tiroid
adalah
peningkatan
densitas
pada
reseptor
beta-
adrenergik
sel
target
sehingga
meningkatkan
ekspresi
adrenoreseptor
selular
atau
modifikasi
jalur
signal
post-receptor
yang
menyebabkan
hipersensitivitas
jaringan
terhadap
katekolamin.1,5,6
sensitivitas
terhadap
katekolamin,
sehingga
setiap
keadaan
stress
yang
dapat
menyebabkan
peningkatan
kadar
katekolamin,
krisis
tiroid
dapat
muncul.1,3
GAMBARAN
KLINIS
Krisis tiroid perdefinisi, merupakan suatu keadaan spektrum tirotoksikosis yang ekstrim,
dimana
dekompensasi
fungsi
organ
dapat
terjadi.
Oleh
karena
itu,
salah
satu
dari
tanda-tanda
dan
gejala
klasik
dari
keadan
tirotoksik
dapat
dijumpai.
Gambaran
klinis
dari
krisis
tiroid
dikarakteristikkan
dengan
4
gambaran
utama:
(1)
demam,
(2)
sinus
takikardia
atau
variasi
aritmia
supraventrikular
(takikardia
atrial
parkosismal,
atrial
fibrilasi,
atrial
flutter),
dan
dapat
dijumpai
gagal
jantung
kongestif,
(3)
Gejala
susunan
saraf
pusat
(agitasi,
kegelisahan,
kebingungan,
delirium,
dan
koma,
dan
terakhir
(4)
gejala
gastrointestinal,
yang
kebanyakan
berupa
muntah,
diare.
Mengehebatnya
gejala
dari
tirotoksikosis
dapat
dipertimbangkan
sebagai
salah
satu
gejala
tirotoksikosis.2,5
GANGGUAN
KONSTITUSIONAL
Salah
satu
gejala
yang
paling
sering
dijumpai
pada
pasien
krisis
tiroid
adalah
kehilangan
berat
badan,
walaupun
asupan
kalori
cukup.
Keadaan
hipermetabolisme
menyebabkan
ketidakseimbangan
antara
produksi
energi
dan
energi
yang
digunakan,
sehingga
menyebabkan
peningkatan
produksi
panas
dan
pembuangan
panas,
keringat
berlebihan.
Gejala
konstitusional
lain
termasuk
kelelahan
dan
kelemahan
otot.
Keadaan
ini
dapat
menyebabkan
ketidakseimbanagn
elektrolit
dan
dehidrasi,
peningkatan
suhu
tubuh
dan
sebagainya.1
3
NEUROPSIKIATRI
Manifestasi
neuropsikiatri
dari
tirotoksikosis
termasuk
ketidakstabilan
emosi,
kegelisahan,
kecemasan,
agitasi,
kebingungan,
psikosis,
dan
bahkan
koma.
Studi
perilaku
mengungkapkan
kinerja
memori
dan
konsentrasi
yang
buruk
sebanding
dengan
derajat
keparahan
tirotoksikosis.1
GASTROINTESTINAL
Gejala
gastrointestinal
termasuk
peningkatan
frekuensi
pergerakan
usus,
dikarenakan
peningkatan
kontraksi
usus
kecil,
sehingga
menyebabkan
pembuangan
isi
usus
lebih
cepat.1
GEJALA
REPRODUKSI
Gejala
reproduksi
termasuk
perubahan
siklus
menstruasi,
seperti
oligomenorrhoe
dan
anovulasi.
Pada
pria,
gejala
dapat
berupa
penurunan
libido,
ginekomastia.1
RESPIRASI
DAN
KARDIOLOGI
Gejala kardiorespirasi pada pasien tirotoksikosis termasuk palpitasi dan sesak pada saat
beraktivitas.
Sesak
nafas
bisa
bersifat
multifaktorial
oleh
karena
berkurangnya
komplians
paru,
dan
kegagalan
jantung
kiri.
Pasien
tirotoksikosis,
juga
dapat
mengalami
nyeri
dada
yang
identik
dengan
angina
pektoris,
hal
ini
dikarenakan
peningkatan
kebutuhan
penggunaan
oksigen
dan
spasme
arteri
koroner.
Takikardia,
peningkatan
tekanan
darah,
pleuropericardial
rub
dan
gagal
jantung
kongestif
dapat
dijumpai.
Takiaritmia
umum
dijumpai,
dan
umumnya
berasal
dari
atrium.1
KELENJAR
TIROID
Gambaran kelenjar tiroid dapat bervariasi, tergantung dari penyebab tirotoksikosis. Penyakit
grave,
Merupakan
penyebab
utama,
ditandai
dengan
pembesaran
kelenjar
yang
difus,
dan
dapat
dijumpai
bruit
(peningkatan
vaskularitas
dan
aliran
darah).
Inflammatory
ophthalmopathy
juga
dapat
dijumpai.
Toksik
multinoduler
goiter
dapat
memberikan
gambaran
nodul
yang
mungkin
lebih
dari
satu
pada
kelenjar
tiroid.1
Disfungsi liver, merupakan salah satu gejala yang sering dijumpai pada krisis tiroid. Disfungsi
liver,
dapat
dikarenakan
sekuder
oleh
karena
keadaan
gagal
jantung
dengan
kongesti
hati
atau
hipoperfusi,
atau
efek
langsung
dari
kelebihan
hormon
tiroid
itu
sendiri.
Hal
ini
ditandai
dengan
abnormalitas
panel-panel
biokimia
fungsi
liver.
Pada
beberapa
literatur
mengemukakan
bahwa
ikterik
yang
tidak
bisa
dijelaskan
penyebabnya,
merupakan
petanda
prognostik
buruk
pada
krisis
tiroid.1,2
Pada individu lain, gejala tipikal dari tirotoksikosis mungkin tidak terlihat begitu nyata.
Pasien
usia
tua,
dapat
memberikan
gambaran
apathetic
tirotoksikosis,
dengan
gambaran
gejala
atipikal,
termasuk
kehilangan
berat
badan,
palpitasi,
kelemahan,
sinkope,
atau
kehilangan
ingatan,
dan
pemeriksaan
fisik
dijumpai
takikardia
atau
atrial
fibrilasi.
Pada
keadaan
apatetik
krisis
tiroid,
gejala
tirotoksikosis
sangat
minimal.1,2,3,5
Secara
etiologi,
krisis
tiroid
bukan
merupana
suatu
kuantitas
yang
berbeda
dari
tirotoksikosis,
melainkan
merupakan
salah
satu
akhir
dari
spektum
keparahan
hipertiroid.
Sistem
penilaian
Burch
dan
Wartofsky
(1993)
merupakan
sistem
skoring
untuk
membantu
dalam
DIAGNOSIS
Pada
keadaan
krisis
tiroid,
pola
peningkatan
kadar
T4
dan
T3
bebas
dengan
penekanan
kadar
tirotropin
(kurang
dari
0.05
U/mL)
sebanding
dengan
kadar
hormon
tersebut
pada
tirotoksikosis.
Setelah
sintesis
hormon
tiroid,
kelenjar
tiroid
utamanya
mensekresikan
T4.
Diperkirakan
80%
dari
T3
yang
bersirkulasi
berasal
dari
monodeiodinasi
T4
di
jaringan
perifer,
dimana
hanya
20%
T3
yang
5
aslinya
disekresikan
oleh
kelenjar
tiroid.
Baik
T4
dan
T3
berikatan
denagn
protein:
thyroxine-binding
globulin,
transthyretin,
dan
albumin.
Hanya
fraksi
kecil
dari
hormon,
0.025%
T4
dan
0.35%
T3
dalam
bentuk
bebas
dan
tidak
terikat.
Oleh
karena
pemeriksaan
laboratorium
T3
total
dan
T4
total,
pengukuran
tersebut
terutama
untuk
konsentrasi
hormon
yang
berikatan
dengan
protein,
sehingga
dapat
dipengaruhi
oleh
kondisi
yang
dapat
mempengaruhi
ikatan
protein.
Thyroxin-binding
globulin
meningkat
pada
keadaan
hepatitis
dan
kehamilan,
dan
pada
pasien
yang
mendapat
estrogen,
opiat.
Sebagai
tambahan,
banyak
obat
yang
mengganggu
ikatan
protein,
termasuk
heparin,
furosemid,
fenitoin,
karbamazepin,
diazepam,
salisilat,
dan
obat-obat
NSAID.
Oleh
karena
gangguan
ini
berefek
pada
kadar
hormon
tiroid
total,
konsentrasi
hormon
bebas
lebih
baik
dalam
mendiagnosis
tirotoksikosis.1,2,3
Kadar serum total dan konsentrasi T3 bebas meningkat pada kebanyakan pasien
tirotoksikosis
oleh
karena
peningkatan
produksi
T3
tiroidal
dan
konversi
ekstra
tiroidal
dari
T4
menjadi
T3
lebih
cepat.
Gambaran
laboratorium
lain
yang
mungkin
berhubungan
dengan
tirotoksikosis
termasuk
hiperglikemia,
hiperkalsemia,
leukositosis,
abnormalitas
enzil
liver,
peningkatan
kadar
alkalin
fosfatase,
dan
peningkatan
glikogenolisis.
Hiperkalsemia
ringan
dan
peningkatan
alkalin
fosfatase
dapat
muncul
oleh
karena
hemokonsentrasi
dan
hormon
tiroid
itu
sendiri
yang
dapat
menstimulasi
resorpsi
tulang.1,2,3,4
Gambaran radiologis, tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis tirotoksikosis atau krisis
tiroid.
Namun,
pada
saat
kita
mengevaluasi
krisis
tiroid,
radiografi
dada
(atau
CT
toraks
tanpa
kontras
ketika
memungkinkan),
mungkin
akan
membantu
untuk
melihjat
kemungkinan
sumber
infeksi
sebagai
pencetus.
Walaupun
tidak
selalu
diindikasikan
untuk
diagnosis,
mengingat
urgensi
dan
konteks
klinis,
tekhnik
pencitraan
kedokteran
nuklir
dengan
penyerapan
iodium
radioaktif
dan
6
scanning
dapat
menunjukkan
peningkatan
uptake
dari
radioiodine
yang
besar,
hal
ini
mengindikasikan
proses
turnover
iodin
intra-glandular
yang
sangat
cepat.
Sonogram
tiroid
dengan
Doppler
dapat
menilai
ukuran
kelenjar
tiroid,
vaskularitas,
dan
nodul
yang
mungkin
membutuhkan
perhatian
lebih
lanjut.
Khasnya,
kelenjar
tiroid
mensekresikan
hormon
yang
berlebihan
akan
membesar,
dan
aliran
doppler
(doppler
flow)
akan
meningkat.1,2
Gambaran elektrokardiogram dari tirotoksikosis paling banyak dijumpai sinus takikardia dan
atrial
fibrilasi.
Sinus
takikardia
muncul
pada
40%
kasus,
sementara
atrial
fibrilasi
muncul
pada
10%
-
20%
kasus
tirotoksikosis.
Keadaan
ini
cenderung
lebih
sering
dijumpai
pada
usia
>
60
tahun,
dan
mungkin
memiliki
penyakit
jantung
struktural
sebagai
penyebabnya.1,3
PENGOBATAN
Penatalaksanaan medis dari krisis tiroid terdiri dari suatu rangkaian pengobatan yang
bertujuan
untuk
menghentikan
sintesis
hormon
yang
baru
di
kelenjar
tiroid,
menghambat
pelepasan
hormon
yang
disimpan
dari
kelenjar
tiroid,
dan
menghambat
efek
hormon
tiroid
di
jaringan
perifer
dengan
cara
pencegahan
konversi
dari
T4
menjadi
T3;
mengendalikan/mengontrol
simptom
adrenergik
yang
berhubungan
dengan
tirotoksikosis,
dan
mengontrol
dekompensasi
sistemik
dengan
terapi
suportif.1,2,3,4,5,6
Urutan terapi pada krisis tiroid sangat penting, sehubungan dengan penggunaan
thionamide
dan
terapi
yodium.
Pada
kebanyakan
pasien,
menghambat
sintesis
hormon
tiroid
yang
baru
dengan
thionamide
harus
dilakukan
terlebih
dahulu
sebelum
terapi
iodin
dilakukan,
untuk
mencegah
stimulasi
pembentukan/sintesis
hormon
tiroid
baru
yang
hal
ini
dapat
muncul
jika
iodine
diberikan
terlebih
dahulu.
Namun,
waktu
penundaan
pemberian
agen
antitiroid
dan
pemberian
yodium
masih
merupakan
kontroversi,
dan
hanya
dapat
diberikan
dalam
waktu
30-60
menit.1,2,4
Obat antitiroid; dalam hal ini tionamid, telah digunakan untuk pengobatan tirotoksikosis
sejak
pengenalan
klasifikasi
obat
ini
tahun
1943.
Dua
spesifik
kelas
obat
antitiroid
adalah
tiourasil
dan
imidazol.
Propiltiourasil
(PTU)
adalah
tiourasil,
sementara
methimazole
dan
karbimazole
adalah
imidazole.
Walaupun
PTU
dan
metimazol
digunakan
sangat
luas
di
US,
karbimazol
hanya
umum
dijumpai
di
eropa.
Karbimazol
dimetabolisme
sangat
cepat
menjadi
metimazole.1,2,6
Tionamid
juga
mempunyai
efek
menghambat
fungsi
dan
pertumbuhan
dari
sel
folikular
tiroid.
Diluar
dari
kelenjar
tiroid,
PTU,
tetapi
bukan
metimazol,
menghambat
konversi
dari
T4
menjadi
T3.
Tionamid
juga
mempunyai
peran
klinis
yang
penting
untuk
menekan
antibodi
reseptor
antitirotropin
dan
menurnkan
molekul-molekul
imunologis
seperti
ICAM-1
dan
IL-2.
Obat
antitiroid
juga
menginduksi
apoptosis
dari
limfosit
intratiroidal
dan
menurunkan
ekspresi
HLA
antigen
kelas
II.
1,2,6
Metimazol memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari PTU, sehingga frekuensi
pemberiannya
lebih
sedikit.
Obat-obat
lain
juga
dapat
dipertimbangkan
dalam
pengobatan
krisis
tiroid.
PTU
mempunyai
efek
tambahan
yang
menguntungkan
yaitu
menghambat
konversi
dari
T4
menjadi
T3.
Durasi
aksi
dari
metimazole
lebih
panjang,
sehingga
dapat
diberikan
dengan
frekuensi
lebih
sedikit,
dibandingkan
dengan
pemberian
3-4x
PTU.
Penulis
merekomendasikan
pemberian
dosis
krisis
tiroid
PTU
adalah
800-1200
mg/hari
yang
terbagi
atas
200-300
mg
setiap
6
jam.
Dosis
untuk
metimazole
adalah
80-100
mg/hari
terbagi
atas
dosisi
20-25
mg
setiap
6
jam
(sekali
stabil,
frekuensi
dari
dosis
dapat
diturunkan
menjadi
1-2x
sehari).
Pemberian
kedua
obat
ini
melalui
oral,
namun,
metimazol
dan
PTU
juga
dapat
diberikan
per
rektal.
Pemberian
agen
ini
intravena
juga
dapat
dipertimbangkan
sejak
ditemukan
bahwa
farmakokinetik
obat
ini
cenderung
sama
baik
untuk
oral
ataupun
intravena.
1,2,6
Banyak penelitian menunjukkan efektivitas dari sediaan suppositoria agen obat-obat ini.
Bentuk
sediaan
enema
memberikan
hasil
yang
lebih
baik
dari
segi
bioavailabilitas
dan
efektivitas
daripada
sediaan
suppositoria.
Namun,
kedua
sediaan
ini
mempunyai
efek
terapeutik
yang
sebanding.
1,2,6
Efek samping yang sering dijumpai dari obat antitiroid termasuk abnormalitas pengecapan,
pruritus,
urtikaria,
demam
dan
arthralgia.
Efek
sampin
yang
lebih
jarang
dan
lebih
serius
adalah
agranulositosis,
hepatotoksisitas,
dan
vaskulitis.
Dapat
dipertimbangkan
pemberian
granulocyte
colony-stimulating
factor
(G-CSF)
untuk
pengobatan
dari
agranulositosis
yang
disebabkan
oleh
pengobatan
antitiroid.
1,2,6
Dalam settingan pengobatan krisis tiroid, terapi iodin melengkapi efek dari terapi tionamid.
Terapi
tionamid
menurunkan
sintesis
dari
produksi
hormon
yang
baru;
terapi
idone
menghambat
pelepasan
hormon
yang
disimpan,
dan
menurunkan
transportasi
iodida
dan
oksidasi
di
sel
folikular.
Penurunan
ini,
dikarenakan
peningkatan
dosis
iodida
inorganik
yang
dikenal
sebagai
efek
Wolff-
Chaikoff
atau
menghambat
proteolisis
tiroglobulin.
Kenaikan
kecil
dari
iodida
yang
tersedia,
menyebabkan
peningkatan
pembentukan
hormon
tiroid,
namun,
jumlah
besar
iodida
eksogen
menghambat
pembentukan
hormon.
Pada
konsentrasi
iodida
lebih
dari
1mol/L,
proses
iodinasi
dihambat.
Walaupun
efek
pemberian
ini
dapat
berguna,
kelenjar
tiroid
akhirnya
akan
lolos
(escape)
setelah
administrasi
iodide
paling
tidak
dalam
48
jam,
hal
ini
dikarenakan
kelenjar
tiroid
akhirnya
akan
lolos
dari
penghambatan
ini.
Proses
ini
terjadi
oleh
karena
sistem
transportasi
iodida
menyesuaikan
diri
dengan
konsentrasi
iodida
yang
lebih
tinggi
melalui
modulasi
aktivitas
simporter
natrium-iodida
(Escape
effect).
Walaupun
iodide
efektif
menurunkan
kadar
hormon
tiroid
dengan
cepat,
biasanya
dalam
waktu
7-14
hari,
kebanyakan
efek
ini
akan
hilang
(escape)
dan
akan
kembali
ke
keadaan
hipertiroid
dalam
2-3
minggu,
jika
tidak
ada
pengobatan
lain
diberikan.
Oleh
karena
itu,
penggunaan
iodide
untuk
mengobati
tirotoksikosis
masih
terbatas,
dan
oleh
sebab
itu
hanya
digunakan
pada
tirotoksikosis
berat/
krisis
tiroid
dengan
kombinasi
dengan
terapi
tionamid.
1,2,6
Formula oral dari iodine inorganik termasuk larutan lugol dan saturated solution of
potassium
iodide.
Dosis
untuk
sediaan
ini
(krisis
tiroid)
adalah
0.2
sampai
2
gram
perhari,
dengan
4-8
tetes
larutan
lugol
(20
drops/ml,
8
mg
iodine/tetes)
setiap
6-8
jam
dan
5
tetes
saturated
solution
of
potassium
iodide
(20
tetes/mL,
38
mg
iodide/tetes)
setiap
6
jam.
Pemberian
agen
kontras
teriodinasi
peroral,
asam
iopanoic,
dan
sodium
ipodate,
mempunyai
efek
multipel
pada
hormon
tiroid
di
perifer
dan
didalam
kelenjar
tiroid.
Agen
kontras
teriodinasi
ini
kompetitif
menghambat
enzim
5
monodeiodimnase
tipe
1
dan
2
di
hati,
otak,
dan
tiroid,
menghambat
konversi
T4
menjadi
T3,
sehingga
menyebabkan
penurunan
kadar
T3
sangat
cepat.
Agen
ini
juga
dijumopai
menghambat
ikatan
T3
dan
T4
pada
reseptor
seluler.
Pada
krisis
tiroid,
sodium
ipodate
(3087
mg
iodine/500
mg
kapsul)
diberikan
1
sampai
3
gram/hari.
Biasanya,
asam
iopanoic
diberikan
dengan
dosis
1
gram
setiap
8
jam
untuk
24
jam
pertama,
diikuti
degnan
500
mg
dua
kali
sehari.
Sayangnya
agen
antitiroid
yang
efektif
ini,
tidak
dipasarkan
secara
komersial
lagi.
1,2,6
Penghambat beta, penting untuk mengontrol aksi perifer dari hormon tiroid. Penggunaan
antagonis
reseptor
beta-adrenergik
dalam
penatalaksanaan
krisis
tiroid
pertama
kali
dilaporkan
pada
tahun
1966
dengan
menggunakan
obat-obatan
pronetalol.
Tidak
lama
kemudian,
propranolol
9
menjadi
obat
beta
bloker
yang
palin
sering
digunakan
di
US.
Pada
krisis
tiroid,
propranolol
digunakan
dalam
dosis
60-80
mg
setiap
4
jam,
atau
80-120
mg
setiap
4
jam.
Onset
aksi
setelah
pemberian
oral
membutuhkan
waktu
1
jam.
Untuk
efek
lebih
cepat,
propranolol
dapat
diberikan
parenteral,
dengan
bolus
0.5
sampai
1
mg
dalam
10
menit
diikuti
dengan
1
sampai
3
mg
dalam
waktu
10
menit.
Esmolol
juga
dapat
diberikan
parenteral
dengan
dosis
50-100
g/kg/menit.
Dosis
propranolol
memerlukan
dosis
yang
relatif
lebih
besar
(ie:
tirotoksikosis)
oleh
karena
metabolisme
obat
lebih
cepat,
dan
mungkin
dikarenakan
reseptor
jantung
beta-adrenergik
lebih
banyak.
Pemberian
beta-bloker
intravena
harus
dilakukan
dengan
monitoring
yang
tepat.
Propranolol
dengan
dosis
besar
(>
160
mg/hari)
dapat
menurunkan
kadar
T3
sebanyak
30%.
Efek
ini,
dimediasi
oleh
inhibisi
5
monideiodinase.
Oleh
karena
propranolol
memiliki
waktu
paruh
yang
pendek,
dosis
lebih
besar
dengan
frekuensi
lebih
sering
diperlukan.
Atenolol
juga
dapat
digunakan
pada
tirotoksikosis,
dengan
rentang
dosis
50-200
mg/
hari,
namun
mungkin
membutuhkan
dua
kali
sehari
untuk
mencapai
kontrol
yang
adekuat.
Agen
oral
lain
yang
dapat
digunakan
antara
lain
metoprolol
100-200
mg/hari
dan
nadolol
40-80
mg/hari.
Kontraindikasi
relatif
penggunaan
antagonis
reseptor
antagonis
termasuk
riwayat
gagal
jantung
yang
berat
dan
dijumpai
penyakit
penyempitan
jalan
nafas.
1,2,6
Salah satu komplikasi kardiovaskular dari tirotoksikosis adalah atrial fibrilasi, yang muncul
pada
10%-35%
kasus.
Isu
penggunaan
antikoagulan
pada
atrial
fibrilasi
dalam
settingan
tirotoksikosis
masih
kontroversi.
Pada
suatu
studi
retrospektif,
pasien
tirotoksikosis
dengan
atrial
fibrilasi,
tidak
dalam
keadaan
status
embolik,
dibandingkan
dengan
pasien
yang
memiliki
atrial
fibrilasi
dikarenakan
penyebab
lain.
Konsensus
mengatakan
bahwa
pada
pasien
tirotoksik
yan
gmengalami
atrial
fibrilasi,
terapi
antitrombotik
dilakukan
jika
dijumpai
faktor
resiko
untuk
stroke.
Usia
dan
penyakit
jantung
merupakan
faktor
resiko
tromboemboli
pada
krisis
tiroid.
Oleh
karena
itu,
warfarin
atau
aspirin
mungkin
dapat
digunakan.
Pasien
tirotoksik
membutuhkan
dosis
warfarin
lebih
kecil
daripada
pasien
eutiroid
oleh
karena
peningkatan
klirens
faktor
koagulasi
bergantung-vitamin
K.
1,2,6
Glukokortikoid, termasuk dalam hal ini deksametason dan hidrokortison, juga telah
digunakan
untuk
mengobati
krisis
tiroid,
oleh
karena
obat
ini
mempunyai
efek
menghambat
konversi
dari
T4
menjadi
T3.
Oleh
karena
itu,
glukokortikoid
efektif
mengurangi
kadar
T3
sebagai
terapi
adjuvantivus.
Dan
juga
glukokortikoid,
digunakan
pada
krisis
tiroid,
untuk
mengobati
kemungkinan
adrenal
insufisiensi
relatif.
Ada
beberapa
studi
menemukan
kadar
serum
kortisol
yang
rendah
pada
pasien
dengan
krisis
tiroid.
Pada
pasien
dengan
tirotoksikosis,
pengobatan
dengan
glukokortikoid
merupakan
standar
pengobatan
oleh
karena
kejadian
adrenal
insufisiensi
relatif,
atau
kemungkinan
misdiagnosis
penyakit
addison
atau
insufisiensi
renal.
Dosis
glukokortikoid
pada
krisis
10
tiroid
dapat
menggunakan
hidrokortison
100
mg
intravena
setiap
8
jam,
dengan
penurunan
dosis
(tappering
off)
sejalan
dengan
perbaikan
gejala
klinis
krisis
tiroid.1,2,5
TERAPI
ALTERNATIF
Beberapa
agen
terapeutik
yang
digunakan
dalam
pengobatan
tirotoksikosis,
dapat
dipertimbangkan
hanya
bila
terapi
lini
pertama
(tionamid,
iodide,
beta
bloker,
dan
glukokortikoid)
gagal
dalam
mengobati
pasien,
atau
tidak
bisa
digunakan
oleh
karena
toksisitasnya.
Ketika
terapi
dengan
iodida
tidak
bisa
digunakan,
agen
lain
yang
dapat
digunakan
untuk
menghambat
pelepasan
hormon
adalah
litium.
Litium
dapat
digunakan
ketika
pemberian
tionamid
dikontraindikasikan
oleh
karena
toksisitas
atau
efek
samping;
dan
juga
dapat
digunakan
dengan
kombinasi
dengan
PTU
atau
metimazol.
Sebagai
kesimpulan,
litium
mempunyai
beberapa
efek
pada
kelenjar
tiroid,
termasuk
efek
langsung
menurunkan
sekresi
hormon
tiroid,
dan
meningkatkan
kandungan
iodine
intratiroidal,
dan
menghambat
coupling
residu
iodotirosin
yang
membentuk
iodotironin
(T4
dan
T3).
Pada
keadaan
krisis
tiroid,
dosis
lithium
adalah
300
mg
setiap
8
jam.
Untuk
menghindari
keracunan
litium,
kadar
litium
haru
dimonitoring
secara
teratur
(mungkin
setiap
hari)
untuk
mempertahankan
konsentrasi
sekitar
0.6-1.0
mEq/L.1,2,3
Potasium perklorat merupakan agen yang dapat digunakan pada tirotoksikosis. Anion
perklorat,
CIO4,
merupakan
inhbitor
kompetitif
transport
iodida.
Namun
penggunaan
untuk
tirotoksikosis
masih
dipertimbangkan,
oleh
karena
kemungkinan
efek
samping
yaitu
anemia
aplastik
dan
sindroma
nefrotik.
Setelah
kehadiran
tionamid,
penggunaan
potasium
perklorat
dipertimbangkan
oleh
karena
keuntungannya.
Baru-baru
ini,
potasium
perklorat
sudah
dipertimbangkan
lagi
dalam
pengobatan
krisis
tiroid,
terutama
pasein
yang
mengalami
amiodarone-
induced
thyrotoxicosis
(AIT).
AIT
diklasifikasikan
kedalam
2
kategori;
tipe
1
dan
tipe
2.
Tipe
1
AIT
muncul
pada
individu
dengan
riwayat
abnormalitas
tiroid,
seperti
goiter
nodular.
Patogenesis
tirotoksikosis
disebabkan
oleh
karena
iodin
mempercepat
sintesis
hormon
tiroid.
AIT
tipe
II
dapat
dijumpai
pada
kasus
tiroiditis
destruktif
yang
disebabkan
amiodaron.
Glukokortikoid
terbukti
sukses
dalam
mengobati
AIT
tipe
II,
dan
kombinasi
potasium
perklorat
dengan
metimazol
telah
sukses
dalam
pengobatan
AIT
tipe
1.
Potasium
perklorat
bekerja
dengan
menghambat
uptake
iodin
oleh
kelenjar
tiroid
sementara
proses
organifikasi
dihambat
oleh
metimazol.
Rejimen
potasum
perklorat
(1
gram/hari)
dan
metimazol
(30-50
mg/hari)
dibuktikan
telah
sukses
mengembalikan
hormon
tiroid
ke
dalam
kadar
normal,
dengan
durasi
pengobatan
selama
4
minggu.
Dengan
waktu
pengobatan
11
yang
terbatas
(4
minggu(,
dan
dosis
dari
potasium
perklorat
yang
tidak
lebih
dari
1
gram/hari,
efek
samping
seperti
anemia
aplastik
dan
sindroma
nefrotik
tidak
dijumpai.1,2,3
Sebelum antagonis reseptor beta-adrenergik digunakan untuk mengatasi efek perifer dari
hormon
tiroid,
agen
antiadrenergik,
reserpin
dan
guanidin
telah
digunakan.
Reserpin
merupakan
suatu
alkaloid
yang
mengurangi
simpanan
katekolamin
pada
ujung
saraf
simpatik
dan
di
susunan
saraf
pusat.
Guanitidin
juga
menghambat
pelepasan
katekolamin.
Efek
samping
dari
pengobatan
ini
termasuk
hipotensi
dan
diare.
Reserpin
juga
mempunyai
efek
depresi
susunan
saraf
pusat.
Oleh
karena
itu,
obat
ini
diindikasikan
pada
keadaan
yang
jarang,
dimana
pemberian
antagonis
reseptor
beta
dikontraindikasikan,
dan
tidak
ada
bukti
hipotensi
atau
perubahan
status
mental
oleh
karena
depresi
saraf
pusat.
Dosis
untuk
guanitidin
pada
krisis
tiroid
30-40
mg
peroral
setiap
6
jam,
dan
untuk
reserpin
dosisnya
2.5-5
mg
intramuskular
setiap
4
jam.1,2,3
untuk
menurunkan
reabsorpsi
hormon
tiroid
dari
sirkulasi
enterohepatik.
Hormon
tiroid
dimetabolisme
terutama
di
hepar,
dimana
terjadi
konjugasi
menjadi
sulfat
dan
glukoronida.
Produk
konjugasi
ini
diekskresikan
di
garam
empedu.
Hormon
bebas
ini
dilepaskan
di
usus
dan
akhirnya
direabsorbsi
kembali
untuk
memasuki
sirkulasi
enterohepatik
hormon
tiroid.
Pada
keadaan
tirotoksikosis,
dijumpai
peningkatan
kadar
sirkulasi
enterohepatik
hormon
tiroid.
Terapi
kolestiramin
telah
banyak
dipelajari
dalam
pengobatan
tirotoksikosis
sebagai
terapi
adjuvantivus
dari
tionamid,
dan
terbukti
menurunkan
kadar
hormon
tiroid
dengan
cepat.
Pada
beberapa
percobaan,
terapi
kolestiramin
(kombinasi
dengan
metimazol
atau
PTU),
menyebabkan
penurunan
kadar
hormon
tiroid
lebih
cepat
dibandingkan
dengan
terapi
standar
dengan
tionaid
sendiri.
Kolestiramin
juga
terbukti
berguna
untuk
menurunkan
kadar
hormon
tiroid
dengan
cepat
pada
kasus
hipertiroidsme
iatrogenik.
Pada
percobaan
ini,
kolestiramin
diberikan
dengan
dosis
4
gram
peroral,
empat
kali
sehari.
1,2,3
Ketika perburukan klinis krisis tiroid terjadi, meskipun telah menggunakan semua
pengobatan
,
membuang
hormon
tiroid
yang
berlebih
dari
sirkulasi
dapat
dipertimbangkan
sebagai
pengobatan.
Plasmapheresis,
charcoal
hemoperfusion,
resin
hemoperfusion,
dikatakan
efektif
untuk
mengurangi
kadar
hormon
tiroid
sangat
cepat
pada
krisis
tiroid.1,2,4
TERAPI
PENDUKUNG/TERAPI
FAKTOR
PRESIPITASI
Terapi suportif merupakan bagian penting daalam pendekatan terapi multi sistem pada
krisis
tiroid.
Oleh
karena
demam
merupakan
gejala
yang
umum
pada
krisis
tiroid,
antipiretik
harus
digunakan;
asetaminofen
merupakan
pilihan
yang
dianjurkan.
Salisilat
harus
dihindari
pada
12
tirotoksikosis
oleh
karena
salisilat
dapat
menurunkan
thyroid
protein
binding,
sehingga
menyebabkan
peningkatan
kadar
hormon
tiroid
bebas.
Peralatan
pendingin
seperti,
spon
alkohol,
selimut
pendingin
dan
ice
packs
juga
dapat
digunakan.
Kehilangan
cairan
dan
dehidrasi
juga
sering
dijumpai
pada
krisis
tiroid.
Kehilangan
cairan
merupakan
hasil
dari
kombinasi
demam,
mual,
muntah,
dan
diare.
Cairan
intravena
dengan
dekstrosa
(normal
salin
dengan
dekstrosa
5%
atau
10%)
dapat
diberikan
untuk
menggantikan
glikogen
yang
terpakai.1,2,3
Pengobatan faktor pencetus krisis tiroid merupakan bagian yang penting, mengingat bahwa
faktor
pencetus
yang
paling
sering
dijumpai
adalah
infeksi.
Jika
faktor
pencetus
tidak
dijumpai,
maka
pencarian
lebih
jauh
untuk
kemungkinan
sumber
infeksi
dianjurkan
pada
pasien
krisis
tiroid
yang
demam;
hal
ini
dapat
dilakukan
dengan
pemeriksaan
darah,
urin,
kultur
dahak,
dan
radiografi
dada
atau
CT
non-kontras.
Antibiotik
empirik
tidak
dianjurkan
tanpa
ada
bukti
dijumpai
sumber
infeksi.
Pengobatan
penyakit
yang
mendasari
harus
dilakukan
sejalan
dengan
pengobatan
tirotoksikosis
itu
sendiri.1
13
PENGOBATAN PERIOPERATIF
Riwayat operasi tiroid, atau tindakan operasi dalam keadaan tirotoksikosis, menyebabkan
Manajemen preoperasi pasien tirotoksik, dapat dibagi menjadi dua kategori: persiapan
untuk
operasi
elektif
(nonurgensi)
dan
persiapan
untuk
prosedur
emergensi.
Pada
kasus
persiapan
operasi
elektif,
terapi
dengan
tionamid
direkomendasikan
dan
akan
memfasilitasi
timbulnya
eutiroid
dalam
beberapa
minggu.
Penggunaan
iodin
sebagai
metode
untuk
menurunkan
vaskularitas
tiroid
sebelum
operasi
tiroid.
Banyak
bukti
yang
menunjukkan
bahwa
pengobatan
iodin
menurunkan
vaskularitas
kelenjar
tiroid.
Oleh
karena
itu,
persiapan
pasien
tirotoksik
untuk
tindakan
operasi
non
14
mergensi,
iodine
dapat
diberikan
bila
tionamid
tidak
dapat
ditoleransi.
Pada
kasus
persiapan
preoperatif
emergensi,
waktu
merupakan
hal
yang
sangat
penting.
Menurunkan
kadar
hormon
tiroid
dengan
cepat,
mengendalikan
pelepasan
hormon
tiroid,
dan
mengontrol
manifestasi
klinis
dari
hormon
tiroid.
Pad
keadaan
ini,
beberapa
regimen
obat
telah
terbukti
sukses,
dengan
menggunakan
modalitas
terapeutik
yang
sama
seperti
krisis
tiroid.
Dengan
menurunkan
kadar
hormon
tiroid
dengan
cepat,
akan
mengahasilkan
outcome
yang
baik.1
Setelah dilakukan tindakan operasi tiroid pada pasien tirotoksik, terapi dengan antagonis
reseptor
adrenergik-beta,
masih
dibutuhkan
untuk
jangka
waktu
pendek,
karena
waktu
paruh
dari
T4
sekitar
7-8
hari.
Setelah
tiroidektomi,
tionamid
dapat
dihentikan
1
sampai
3
hari
setelah
postoperatif.
Manajemen
preoperatif
hipertiroid
bertujuan
untuk
membuat
kadar
hormon
dalam
keadaan
status
eutiroid
sebelum
tindakan
operatif.
Dengan
persiapan
yang
adekuat,
morbiditas
dan
mortalitas
dapat
ditekan
sangat
rendah.1
15
TERAPI
JANGKA
PANJANG
Terapi definit jangka panjang dipertimbangkan setelah aspek yang mengancam kehidupan
dari
krisis
tiroid
sudah
diatasi.
Perbaikan
gejala
klinis
biasanya
muncul
dalam
waktu
24-72
jam
setelah
pengobatan.
Sekali
hemodinamik,
termoregulator,
dan
stabilitas
neurologik
tercapai,
pertimbangan
untuk
terapi
jangka
panjang
harus
segera
dipikirkan.
Efek
Wolf-Chaikoff
biasanya
kelihatan
pada
hari
10-14
hari
setelah
pemberian
iodin,
dan
melanjutkan
terapi
iodin
sepertinya
tidak
menguntungkan
dan
dapat
mengeksaserbasi
keadaan
ini.
Glukokortikoid
dapat
diturunkan
dosisnya.
Terapi
tionamid,
harus
diturunkan
dosisnya
secara
bertahap,
dan
biasanya
membutuhkan
waktu
minggu
sampai
bulanan
untuk
mencapai
keadaan
eutiroid
setelah
krisis
tiroid.
Antagonis
respetor
sel
beta-adrenergik
masih
dibutuhkan
ketika
pasien
masih
tirotoksik.1
KESIMPULAN
Krisis
tiroid
merupakan
suatu
kegawatdaruratan
endokrin
dengan
prevalensi
yang
jarang
namun
berhubungan
dengan
mortalitas
lebih
tinggi.
Biasanya
muncul
pada
tirotoksikosis
grave,
dan
dapat
dipresipitasi
oleh
kejadian-kejadian
seperti
infeksi,
trauma,
infark
miokard.
Adalah
penting
untuk
mengetahui
gejala
klinis
dari
krisis
tiroid
karena
angka
mortalitasnya
yang
tinggi.
Proses
pemberian
obat
pada
setiap
langkah
memainkan
peranan
penting
dalam
keberhasilan
pengobatan.
Pengobatan
ditujukan
untuk
menghentikan
sintesis
hormon
baru
di
kelenjar
tiroid,
menghentikan
pelepasan
hormon
tiroid
yang
tersimpan
dari
kelenjar
tiroid,
mendegah
konversi
dari
T4
menjadi
T3,
dan
terapi
pendukung
yang
adekuat
dapat
membantu
pasien
keluar
dari
kegawatdaruratan.
Tidak
ada
biomarker
kimiawi
yang
dapat
meramalkan
kejadian
krisis
tiroid.
16
DAFTAR
PUSTAKA
1. Nayak
Bindu
MD,
Burman
Kenneth
MD.
Thyrotoxicosis
and
Thyroid
Storm.
Available
from:
Endocrinology
and
Metabolism
Clinics
of
North
America
(2006)
663-686.
Elsevier
journals
2. Migneco
A,
Ojetti
V
et
al.
Management
of
thyrotoxic
crisis.
Available
from:
European
Review
for
medical
and
Pharmacological
Sciences
2005;9:
69-74
3. Carroll
Richard,
Matfin
Glenn.
Review:
Endocrine
and
Metabolic
emergencies:
thyroid
storm.
Available
from:
Therapeutic
Advances
in
Endocrinology
and
Metabolism
2010
1:139.
http://tae.sagepub.co./content/1/3/39
4. Ross
Douglas
S.
Thyroid
Storm.
Available
from:
Uptodate
5. Djokomoeljanto
R.
Kelenjar
Tiroid,
Hipotiroidisme,
dan
Hipertiroidisme.
Buku
Ajar
Ilmu
Penyakit
Dalam.
Interna
Publishing
2010.
6. Rebecca
S,
Bahn
et
al.
Hyperthyroidism
and
other
causes
of
thyrotoxicosis:
management
guidelines
of
the
American
Thyroid
Association
and
American
Association
Of
Clinical
Endocrinologist.
Available
from:
Endocrine
Practice
Vol
17
No.
3
May/June
2011.
Copyright
2011
AACE
17