Anda di halaman 1dari 34

Inflasi dan Deflasi

Pengertian
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus (kontinu), akibat tidak seimbangnya arus barang dan arus
uang. Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi
atau bahkan spekulasi, atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata
lain, inflasi merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Artinya, tingkat harga yang tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Kenaikan harga
dari satu atau dua barang saja belum dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan itu
berlangsung secara terus-menerus, meluas, dan saling mempengaruhi (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Sebagai contoh, kenaikkan
harga minyak, biasanya selalu diikuti kenaikkan harga barang-barang lainnya. Inflasi
adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan. Kebalikan dari inflasi
disebut deflasi.
Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang
kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga
Konsumen (IHK).Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan
harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Ada banyak cara
untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan
adalah CPI dan GDP Deflator.
Pada suatu negara yang sedang mengalami inflasi akan dapat dijumpai hal-hal
sebagai berikut:

1. harga barang pada umumnya akan naik terus-menerus


2. jumlah uang yang beredar melebihi kebutuhan
3. nilai uang mengalami penurunan
Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat rendah terhadap barang sehingga hasil
produksi banyak yang tidak sampai ke masyarakat akibatnya masyarakai tidak bisa
sejahtera dan tidak bagus buat ekonomi negara.
Jenis

Inflasi dapat digolongkan menjadi :


Inflasi ringan, terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10%
setahun
inflasi sedang antara 10%30% setahun
Inflasi berat antara 30%100% setahun
Hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada
di atas 100%
Dampak Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya
inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti
dapat mendorong perekonomian menjadi lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan
nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan
investasi.
Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak
terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian
dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau
mengadakan investasi dan produksi, karena harga meningkat dengan cepat.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau
karyawan swasta serta kaum buruh, inflasi sangat merugikan juga akan
menyebabkan mereka kewalahan menanggung dan mengimbangi kenaikan harga,
sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990,
uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003
-atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal
setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan
keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi.
Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji
mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung, karena nilai mata uang
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung,

dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia
usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena
pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan
pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan
mengalami kerugian, karena nilai uang pengembalian lebih rendah, jika
dibandingkan pada saat peminjaman.
Di

lain

pihak

ada

yang

diuntungkan

dengan

adanya

inflasi:

- orang yang persentase pendapatannya melebihi persentase kenaikan inflasi


- mereka yang memiliki kekayaan bukan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam
bentuk barang atau emas.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih
tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong
untuk melipat gandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya
merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila
tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan
bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,
mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat
spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.

Dampak inflasi terhadap efisiensi,


proses produksi dalam penggunaan faktor-faktor produksi menjadi tidak
efesien pada saat terjadi inflasi
perubahan daya beli masyarakat yang berdampak terhadap struktur
permintaan masyarakat terhadap beberapa jenis barang
Dampak inflasi terhadap output (hasil produksi):
inflasi bisa menyebabkan kenaikan produksi. Biasanya dalam keadaan inflasi
kenaikan harga barang akan mendahului kenaikan gaji, hal ini yang menguntungkan
produsen
bila laju inflasi terlalu tinggi akan berakibat turunnya jumlah hasil produksi,
dikarenakan nilai riil uang akan turun dan masyarakat tidak senang memiliki uang
tunai, akibatnya pertukaran dilakukan antara barang dengan barang.
Dampak inflasi terhadap pengangguran
Suatu negara yang berusaha menghentikan laju inflasi yang tinggi, berarti pada saat
yang sama akan menciptakan pengangguran. Untuk melihat laju inflasi dengan
tingkat pengangguran, dapat diperlihatkan dalamKurva Philips:

Keterangan Gambar:

Kurva philip adalah kurva yang menggambarkan hubungan negatif antara inflasi dan
pengangguran.
semakin tinggi tingkat inflasi, maka tingkat pengangguran semakin rendah
semakin rendah tingkat inflasi, maka tingkat pengangguran semakin tinggi
Pada titik E, tingkat inflasi nol dan pengangguran ada tingkat pengguna tenaga kerja
penuh (full employment)
pada titik A, tingkat inflasi negatif (deflationary gap), tingkat pengangguran
lebih tinggi
pada titik B, tingkat inflasi positif (inflationary gap), tingkat pengangguran lebih
rendah.
Penyebab Inflasi

Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas
/ uang / alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) biaya produksi dan /
atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan / atau kurangnya
distribusi), dan dari ekspektasi inflasi.
Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter
(Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara
dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah
(Goverment) seperti fiscal perpajakan / pungutan / insentif / disinsentif, kebijakan
pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
Demand pull inflation
Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya
permintaan total akan barang dan jasa yang berlebihan. Hal ini biasanya dipicu oleh
membanjirnya likuiditas di pasar, sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan
memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau
likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa, akan
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut.
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar
dari pada kapasitas perekonomian. Misalnya, karena bertambahnya pengeluaran
pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, atau kenaikan permintaan
luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi
swasta karena kemudahan untuk mendapatkan kredit atau kredit yang murah.
Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan
permintaan total, sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full
employment, dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas
di pasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh
banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur
peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi
spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Cost push inflation
Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan
produksi dan / atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan
secara umum tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Adanya ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata
permintaan normal, dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum
permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian
yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.
Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti meningkatnya
biaya produksi, adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll),
bencana alam, huru-hara, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan

produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dan lain-lain, sehingga memicu


kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama
dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan
peranan yang sangat penting.
Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai
tukar, dampak inflasi luar negeri (terutama negara-negara partner dagang),
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah(administered
price), kenaikan biaya produksi, kenaikan harga barang yang disertai menurunnya
produksi barang, berkurangnya penawaran agregatif, dan terjadi negative supply
shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi atau karena kenaikan
bahan bakar minyak.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu kenaikan harga,misalnya
bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan
mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Inflasi campuran
Inflasi campuran, terjadi karena kombinasi unsur inflasi tarikan dan inflasi dorongan
biaya.
Ekspektasi inflasi
Ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam
menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.
Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward
looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang, terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran,
natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar
dari pada kapasitas perekonomian. Meskipun ketersediaan barang secara umum
diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga
barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari
kondisi supply-demand tersebut.
Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan
harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mendorong peningkatan permintaan.
Penggolongan

Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu


Inflasi berasal dari dalam negeri (domestic inflation), misalnya terjadi
akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang

baru dan gagalnya panen yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal atau
gagalnya pasar yang berakibat harga kebutuhan pokok menjadi mahal.
Inflasi berasal dari luar negeri (imported inflation) adalah inflasi yang
terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya
produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula terjadi melalui kenaikan
harga barang-barang ekspor dan saluran-salurannya, hanya sedikit berbeda dengan
penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga.
Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang
tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila
kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut
sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi
demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat
sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia, dikelompokan ke dalam 7 kelompok
pengeluaran (berdasarkanthe Classification of individual consumption by
purpose - COICOP), yaitu :
1.
Kelompok Bahan Makanan
2.
Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3.
Kelompok Perumahan
4.
Kelompok Sandang
5.
Kelompok Kesehatan
6.
Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7.
Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disagregasi Inflasi
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga
mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang
dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari
faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1.
Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor
fundamental, seperti:

Interaksi permintaan-penawaran

Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi


mitra dagang
Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2.
Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri
dari :

Inflasi
Komponen
Bergejolak (Volatile
Food)
:
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok
bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan
harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas
pangan internasional.

Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered


Prices)
:
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan
harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan,
dll.
Mengukur inflasi

Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah


indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya:
Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah
indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh
konsumen.
Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari
barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP
sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan, karena perubahan
harga bahan baku akan meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan
meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari
komoditas-komoditas tertentu.
Indeks harga barang-barang modal
Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level
harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi
(negeri). Deflator PDBmenunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang
baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator PDB dihasilkan dengan
membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari
suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar
pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada
pasar pertama atas suatu komoditas. IHPB merupakan indikator yang
menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di
suatu daerah.
Pentingnya Kestabilan Harga

Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang


berkesinambungan, yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif
kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan
terus turun, sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan
semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi
pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan
bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam
melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif,
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Penanggulangan
Bila terjadi inflasi, Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan
inflasi. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat
inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan
yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh
pihak di luar bank sentral, termasuk pemerintah. Sejumlah studi menunjukkan
bahwa bank sentral yang kurang independen -- salah satunya disebabkan intervensi
pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong
perekonomian justru akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku
bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral juga
berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh
tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting banyak
diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.
Cara mengendalikan Inflasi:
Usaha untuk mengatasi terjadinya inflasi harus dimulai dari penyebab terjadinya
inflasi supaya dapat dicari jalan keluarnya. Secara teoritis untuk mengatasi inflasi
relatif mudah, yaitu dengan cara mengatasi pokok pangkalnya, mengurangi jumlah
uang yang beredar.
1. Kebijakan Moneter.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan nasional dengan cara mengubah jumlah uang yang beredar. Penyebab
inflasi diantaranya adalah jumlah uang yang beredar terlalu banyak, sehingga
dengan kebijakan ini diharapkan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi menuju
kondisi normal.
Kebijakan ini adalah kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar,
salah satunya adalah dengan cara mengendalikan pemberian kredit oleh Bank
Umum
kepada
masyarakat.
Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui instrument-instrumen berikut:
a. Politik diskonto (Discount Policy = Politik uang ketat): adalah kebijakan Bank
Sentral untuk mempengaruhi peredaran uang dengan jalan menaikkan suku bunga,
agar masyarakat tertarik untuk menabung atau menyimpan uangnya, dengan
harapan jumlah uang yang beredar dan permintaan kredit dapat dikurangi. Kenaikan
suku bunga simpanan, pada akhirnya juga dapat mengurangi keinginan badanbadan pemberi kredit untuk mengeluarkan pinjaman guna memenuhi permintaan
pinjaman dari masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang dikeluarkan oleh badanbadan kredit akan berkurang, yang pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.
b. Politik pasar terbuka (Open Market Policy): bank sentral menjual obligasi atau
surat berharga ke pasar modal untuk menyerap uang dari masyarakat dan dengan
menjual surat berharga bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang
beredar, sehingga jumlah uang beredar dapat dikurangi dan laju inflasi dapat lebih
rendah. Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-surat
berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank. Akibatnya,
jumlah uang beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit
(bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi

c. Politik Persediaan Kas (Cash Ratio Policy) atau Peningkatan cash


ratio: Politik Bank Sentral untuk mempengaruhi peredaran uang dengan jalan
menaikkan dan menurunkan perbandingan minimum antara uang tunai yang dimiliki
oleh bank umum dengan uang giral yang boleh dikeluarkan oleh bank yang
bersangkutan. Dengan menaikkan cadangan uang kas yang ada di bank, maka
jumlah uang bank yang dapat dipinjamkan kepada debitur/masyarakat menjadi
berkurang. Hal ini berarti dapat mengurangi jumlah uang yang beredar.
RUMUS : M=1/CK x L
Dimana
m
=
ck
L

jumblah
=
=

uang
%
alat

yang

diedarkan
cadangan
likuiditas
/

oleh
Bank
minimum
cadangan

Umum
kas
kas

d. Kredit selektif, politik bank sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
dengan cara memperketat pemberian kredit
e. Politik sanering, ini dilakukan bila sudah terjadi hiper inflasi, ini pernah dilakukan
BI pada tanggal 13 Desember 1965 yang melakukan pemotongan uang dari
Rp.1.000 menjadi Rp.1
2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang berhubugan dengan finansial pemerintah.


Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui instrument berikut:
Mengatur penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemerintah menjaga
penggunaan anggaran negara sesuai dengan perencanaan dan tidak menambah
pengeluarannya agar anggaran tidak defisit.
Menaikkan pajak. Dengan menaikkan pajak, konsumen akan mengurangi
jumlah konsumsinya karena sebagian pendapatannya untuk membayar pajak. Dan
juga akan mengakibatkan penerimaan uang masyarakat berkurang dan ini
berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun, dan tentunya permintaan
akan barang dan jasa yang bersifat konsumtif tentunya berkurang.
Peningkatan Pinjaman Pemerintah. Meningkatkan pinjaman pemerintah
dengan jalan tanpa paksaan atau dengan pinjaman paksa, misalnya pemerintah
memotong gaji pegawai negeri 10% untuk ditabung, ini terjadi pada masa orde lama.
3. Kebijakan Non Moneter
Kebijakan non moneter adalah kebijakan yang tidak berhubungan dengan finansial
pemerintah maupun jumlah uang yang beredar, cara ini merupakan langkah
alternatif untuk mengatasi inflasi. Kebijakan non moneter dapat dilakukan melalui
instrument berikut:

Mendorong agar pengusaha menaikkan hasil produksinya. Pemerintah


memberikan subsidi kepada industri untuk lebih produktif dan menghasilkan output
yang lebih banyak, sehingga harga akan menjadi turun. Cara ini cukup efektif
mengingat inflasi disebabkan oleh kenaikan jumlah barang konsumsi tidak seimbang
dengan jumlah uang yang beredar. Oleh karena itu pemerintah membuat prioritas
produksi atau memberi bantuan (subsidi) kepada sektor produksi bahan bakar,
produksi beras.
Menekan tingkat upah. Pemerintah menghimbau kepada serikat buruh untuk
tidak meminta kenaikan upah disaat sedang inflasi, dalam pengertian bahwa upah
tidak sering dinaikkan, karena kenaikan yang relatif sering dilakukan akan dapat
meningkatkan daya beli dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap
barang-barang secara keseluruhan dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi.
Pemerintah melakukan pengawasan harga dan sekaligus menetapkan harga
maksimal.
Pemerintah melakukan distribusi secara langsung. Dimaksudkan agar harga
tidak terjadi kenaikan, hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam menetapkan
harga tertinggi (harga eceran tertinggi/HET). Pengendalian harga yang baik tidak
akan berhasil tanpa ada pengawasan. Pengawasan yang tidak baik biasanya akan
menimbulkan pasar gelap. Untuk menghindari pasar gelap maka distribusi barang
harus dapat dilakukan dengan lancar, seperti yang dilakukan pemerintah melalui
Bulog atau KUD.
Penanggulangan inflasi yang sangat parah (hyper inflation) ditempuh dengan
cara melakukansanering (pemotongan nilai mata uang). Sanering berasal dari
bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Sanering ini
pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1960-an pada saat inflasi mencapai
650%. Pemerintah memotong nilai mata uang pecahan Rp. 1.000,00 menjadi Rp.
1,00.
Kebijakan yang berkaitan dengan output. Kenaikan output dapat memperkecil
laju inflasi. Kenaikan jumlah output ini dapat dicapai misalnya dengan kebijakan
penurunan bea masuk, sehingga impor barang cenderung meningkat.
Bertambahnya jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
Kebijakan penentuan harga dan indexing. Ini dilakukan dengan
penentuan ceiling price.
Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata
uang luar negeri. Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi
agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan
dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.
Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang
sendiri terhadap mata uang asing.
4. Kebijakan Sektor Riil

Kebijakan sektor riil dapat dilakukan melalui instrument berikut:


Pemerintah menstimulus bank untuk memberikan kredit lebih spesifik kepada
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Contohnya bank BRI pernah mencanangkan
Microyear.

Menekan arus barang impor dengan cara menaikkan pajak.

Menstimulus masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri.


Inflasi dan Pengangguran
Kurva yang menggambarkan hubungan antara inflasi dan tingkat pengangguran
dinamakan Kurva Philip. Sifat umum dari Kurva Philip adalah pada mulanya
kurvanya menurun sangat curam, tetapi semakin lama bertambah landai. Kurva
yang demikian menggambarkan sifat perkaitan sebagai berikut:
1.
Apabila tingkat pengangguran sangat rendah, tingkat upah semakin cepat
kenaikannya. Perhatikan titik E dan F. Titik E menggambarkan pengangguran adalah
3% dan kenaikan upah 9%. Sedangkan titik F menggambarkan tingkat
pengangguran adalah 4% dan tingkat kenaikan upah mencapai 6,5%.
2.
Apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan upah relatif lambat
berlakunya. Keadaan ini ditunjukkan dengan jelas oleh pergerakan dari titik C ke titik
D. pengurangan tingkat pengangguran dari 10% ke 8% hanya menaikkan upah
sebanyak hamper satu setengah persen.
Inflasi yang disahkan : inflasi yang dibiarkan berlangsung terus-menerus, karena
pemerintah mengizinkan penambahan suplai uang.Inflasi yang tidak disahkan: inflasi
yang tidak disertai dengan kenaikan suplai uang
Beberapa hal yang berhubungan dengan inflasi:

Deflasi, daya beli uang yang mengalami peningkatan, karena jumlah uang
yang beredar relatif lebih sedikit dari jumlah barang dan jasa yang tersedia. Tujuan
dari devaluasi adalah untuk
meningkatkan ekspor barang, neraca pembayaran
menjadi surplus.
Defresiasi, penurunan nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing yang
terjadi di pasar uang.
Apresiasi, kenaikan nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang asing
yang terjadi di pasar uang.
Inflasi Terbuka, keadaan dimana harga-harga bergerak tak terkendali, serta
terdapat kelebihan permintaan terhadap barang.
Sanering, pemotongan nilai mata uang yang dilakukan oleh pemerintah.
Revaluasi, kebijakkan pemerintah untuk menaikkan nilai mata uang dalam
negeri terhadap valuta asing.
Devaluasi, kebijakkan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam
negeri terhadap valuta asing dengan sengaja. Deflasi dapat di atasi dengan cara
pemerintah menambah pembelanjaan masyarakat, menambah pengeluaran.
Pengertian

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara
umum dan terus-menerus (kontinu), akibat tidak seimbangnya arus barang dan arus
uang. Inflasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi
masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu konsumsi
atau bahkan spekulasi, atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata
lain, inflasi merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga.
Artinya, tingkat harga yang tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Kenaikan harga
dari satu atau dua barang saja belum dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan itu
berlangsung secara terus-menerus, meluas, dan saling mempengaruhi (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Sebagai contoh, kenaikkan
harga minyak, biasanya selalu diikuti kenaikkan harga barang-barang lainnya. Inflasi
adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan. Kebalikan dari inflasi
disebut deflasi.
Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang
kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga.

Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga
Konsumen (IHK).Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan
harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Ada banyak cara
untuk mengukur tingkat inflasi, dua yang paling sering digunakan
adalah CPI dan GDP Deflator.
Pada suatu negara yang sedang mengalami inflasi akan dapat dijumpai hal-hal
sebagai berikut:
1. harga barang pada umumnya akan naik terus-menerus
2. jumlah uang yang beredar melebihi kebutuhan
3. nilai uang mengalami penurunan

Inflasi menyebabkan daya beli masyarakat rendah terhadap barang sehingga hasil
produksi banyak yang tidak sampai ke masyarakat akibatnya masyarakai tidak bisa
sejahtera dan tidak bagus buat ekonomi negara.
Jenis

Inflasi dapat digolongkan menjadi :


Inflasi ringan, terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10%
setahun
inflasi sedang antara 10%30% setahun
Inflasi berat antara 30%100% setahun
Hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada
di atas 100%
Dampak Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau tidaknya
inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti
dapat mendorong perekonomian menjadi lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan
nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan
investasi.
Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak
terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian
dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau
mengadakan investasi dan produksi, karena harga meningkat dengan cepat.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau
karyawan swasta serta kaum buruh, inflasi sangat merugikan juga akan
menyebabkan mereka kewalahan menanggung dan mengimbangi kenaikan harga,
sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Kita ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990,
uang pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003
-atau tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal
setengah. Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan
keuntungan, seperti misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi.
Begitu juga halnya dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji
mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung, karena nilai mata uang
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung,
dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia
usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena
pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan

pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan
mengalami kerugian, karena nilai uang pengembalian lebih rendah, jika
dibandingkan pada saat peminjaman.
Di

lain

pihak

ada

yang

diuntungkan

dengan

adanya

inflasi:

- orang yang persentase pendapatannya melebihi persentase kenaikan inflasi


- mereka yang memiliki kekayaan bukan dalam bentuk uang tunai, tetapi dalam
bentuk barang atau emas.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih
tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong
untuk melipat gandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya
merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila
tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan
bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,
mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat
spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat.

Dampak inflasi terhadap efisiensi,


proses produksi dalam penggunaan faktor-faktor produksi menjadi tidak
efesien pada saat terjadi inflasi
perubahan daya beli masyarakat yang berdampak terhadap struktur
permintaan masyarakat terhadap beberapa jenis barang
Dampak inflasi terhadap output (hasil produksi):
inflasi bisa menyebabkan kenaikan produksi. Biasanya dalam keadaan inflasi
kenaikan harga barang akan mendahului kenaikan gaji, hal ini yang menguntungkan
produsen
bila laju inflasi terlalu tinggi akan berakibat turunnya jumlah hasil produksi,
dikarenakan nilai riil uang akan turun dan masyarakat tidak senang memiliki uang
tunai, akibatnya pertukaran dilakukan antara barang dengan barang.
Dampak inflasi terhadap pengangguran
Suatu negara yang berusaha menghentikan laju inflasi yang tinggi, berarti pada saat
yang sama akan menciptakan pengangguran. Untuk melihat laju inflasi dengan
tingkat pengangguran, dapat diperlihatkan dalamKurva Philips:

Keterangan Gambar:

Kurva philip adalah kurva yang menggambarkan hubungan negatif antara inflasi dan
pengangguran.
semakin tinggi tingkat inflasi, maka tingkat pengangguran semakin rendah
semakin rendah tingkat inflasi, maka tingkat pengangguran semakin tinggi
Pada titik E, tingkat inflasi nol dan pengangguran ada tingkat pengguna tenaga kerja
penuh (full employment)
pada titik A, tingkat inflasi negatif (deflationary gap), tingkat pengangguran
lebih tinggi
pada titik B, tingkat inflasi positif (inflationary gap), tingkat pengangguran lebih
rendah.
Penyebab Inflasi

Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (kelebihan likuiditas
/ uang / alat tukar) dan yang kedua adalah desakan (tekanan) biaya produksi dan /
atau distribusi (kurangnya produksi (product or service) dan / atau kurangnya
distribusi), dan dari ekspektasi inflasi.
Untuk sebab pertama lebih dipengaruhi dari peran negara dalam kebijakan moneter
(Bank Sentral), sedangkan untuk sebab kedua lebih dipengaruhi dari peran negara
dalam kebijakan eksekutor yang dalam hal ini dipegang oleh Pemerintah
(Goverment) seperti fiscal perpajakan / pungutan / insentif / disinsentif, kebijakan
pembangunan infrastruktur, regulasi, dll.
Demand pull inflation
Inflasi tarikan permintaan (Ingg: demand pull inflation) terjadi akibat adanya
permintaan total akan barang dan jasa yang berlebihan. Hal ini biasanya dipicu oleh
membanjirnya likuiditas di pasar, sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan
memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau
likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa, akan
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut.
Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar
dari pada kapasitas perekonomian. Misalnya, karena bertambahnya pengeluaran
pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, atau kenaikan permintaan
luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi
swasta karena kemudahan untuk mendapatkan kredit atau kredit yang murah.
Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena adanya kenaikan
permintaan total, sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full
employment, dimana biasanya lebih disebabkan oleh rangsangan volume likuiditas
di pasar yang berlebihan. Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh
banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur
peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi
spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan.
Cost push inflation
Inflasi desakan biaya (Ingg: cost push inflation) terjadi akibat adanya kelangkaan
produksi dan / atau juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan
secara umum tidak mengalami peningkatan secara signifikan. Adanya ketidaklancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata
permintaan normal, dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum
permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian
yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru.
Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti meningkatnya
biaya produksi, adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik, perkebunan, dll),
bencana alam, huru-hara, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan

produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), dan lain-lain, sehingga memicu


kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama
dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan
peranan yang sangat penting.
Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai
tukar, dampak inflasi luar negeri (terutama negara-negara partner dagang),
peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah(administered
price), kenaikan biaya produksi, kenaikan harga barang yang disertai menurunnya
produksi barang, berkurangnya penawaran agregatif, dan terjadi negative supply
shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi atau karena kenaikan
bahan bakar minyak.
Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu kenaikan harga,misalnya
bahan baku dan kenaikan upah/gaji,misalnya kenaikan gaji PNS akan
mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Inflasi campuran
Inflasi campuran, terjadi karena kombinasi unsur inflasi tarikan dan inflasi dorongan
biaya.
Ekspektasi inflasi
Ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam
menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya.
Ekspektasi inflasi tersebut apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward
looking.
Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang, terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran,
natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).
Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang
melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar
dari pada kapasitas perekonomian. Meskipun ketersediaan barang secara umum
diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga
barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari
kondisi supply-demand tersebut.
Demikian halnya pada saat penentuan UMR, pedagang ikut pula meningkatkan
harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mendorong peningkatan permintaan.
Penggolongan

Berdasarkan asalnya, inflasi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu


Inflasi berasal dari dalam negeri (domestic inflation), misalnya terjadi
akibat terjadinya defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang

baru dan gagalnya panen yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal atau
gagalnya pasar yang berakibat harga kebutuhan pokok menjadi mahal.
Inflasi berasal dari luar negeri (imported inflation) adalah inflasi yang
terjadi sebagai akibat naiknya harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya
produksi barang di luar negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri bisa pula terjadi melalui kenaikan
harga barang-barang ekspor dan saluran-salurannya, hanya sedikit berbeda dengan
penularan lewat kenaikan harga barang-barang impor.
Inflasi juga dapat dibagi berdasarkan besarnya cakupan pengaruh terhadap harga.
Jika kenaikan harga yang terjadi hanya berkaitan dengan satu atau dua barang
tertentu, inflasi itu disebut inflasi tertutup (Closed Inflation). Namun, apabila
kenaikan harga terjadi pada semua barang secara umum, maka inflasi itu disebut
sebagai inflasi terbuka (Open Inflation). Sedangkan apabila serangan inflasi
demikian hebatnya sehingga setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat
sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia, dikelompokan ke dalam 7 kelompok
pengeluaran (berdasarkanthe Classification of individual consumption by
purpose - COICOP), yaitu :
1.
Kelompok Bahan Makanan
2.
Kelompok Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau
3.
Kelompok Perumahan
4.
Kelompok Sandang
5.
Kelompok Kesehatan
6.
Kelompok Pendidikan dan Olah Raga
7.
Kelompok Transportasi dan Komunikasi.
Disagregasi Inflasi
Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga
mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang lainnya yang
dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk
menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih menggambarkan pengaruh dari
faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1.
Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor
fundamental, seperti:

Interaksi permintaan-penawaran

Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi


mitra dagang
Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2.
Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya
karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non inti terdiri
dari :

Inflasi
Komponen
Bergejolak (Volatile
Food)
:
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok
bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan
harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas
pangan internasional.

Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered


Prices)
:
Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan
harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan,
dll.
Mengukur inflasi

Inflasi diukur dengan menghitung perubahan tingkat persentase perubahan sebuah


indeks harga. Indeks harga tersebut di antaranya:
Indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI), adalah
indeks yang mengukur harga rata-rata dari barang tertentu yang dibeli oleh
konsumen.
Indeks biaya hidup atau cost-of-living index (COLI).
Indeks harga produsen adalah indeks yang mengukur harga rata-rata dari
barang-barang yang dibutuhkan produsen untuk melakukan proses produksi. IHP
sering digunakan untuk meramalkan tingkat IHK di masa depan, karena perubahan
harga bahan baku akan meningkatkan biaya produksi, yang kemudian akan
meningkatkan harga barang-barang konsumsi.
Indeks harga komoditas adalah indeks yang mengukur harga dari
komoditas-komoditas tertentu.
Indeks harga barang-barang modal
Deflator Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level
harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi
(negeri). Deflator PDBmenunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang
baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator PDB dihasilkan dengan
membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). Harga Perdagangan Besar dari
suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar
pertama dengan pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada
pasar pertama atas suatu komoditas. IHPB merupakan indikator yang
menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di
suatu daerah.
Pentingnya Kestabilan Harga

Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang


berkesinambungan, yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada
pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif
kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan
terus turun, sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan
semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi
pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan
bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam
melakukan konsumsi, investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di
negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif,
sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.
Penanggulangan
Bila terjadi inflasi, Bank sentral memainkan peranan penting dalam mengendalikan
inflasi. Bank sentral suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat
inflasi pada tingkat yang wajar. Beberapa bank sentral bahkan memiliki kewenangan
yang independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh
pihak di luar bank sentral, termasuk pemerintah. Sejumlah studi menunjukkan
bahwa bank sentral yang kurang independen -- salah satunya disebabkan intervensi
pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter untuk mendorong
perekonomian justru akan mendorong tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Bank sentral umumnya mengandalkan jumlah uang beredar dan/atau tingkat suku
bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu, bank sentral juga
berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik. Hal ini
disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal (dicerminkan oleh
tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation targeting banyak
diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk oleh Bank Indonesia.
Cara mengendalikan Inflasi:
Usaha untuk mengatasi terjadinya inflasi harus dimulai dari penyebab terjadinya
inflasi supaya dapat dicari jalan keluarnya. Secara teoritis untuk mengatasi inflasi
relatif mudah, yaitu dengan cara mengatasi pokok pangkalnya, mengurangi jumlah
uang yang beredar.
1. Kebijakan Moneter.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan nasional dengan cara mengubah jumlah uang yang beredar. Penyebab
inflasi diantaranya adalah jumlah uang yang beredar terlalu banyak, sehingga
dengan kebijakan ini diharapkan jumlah uang yang beredar dapat dikurangi menuju
kondisi normal.
Kebijakan ini adalah kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang beredar,
salah satunya adalah dengan cara mengendalikan pemberian kredit oleh Bank
Umum
kepada
masyarakat.
Kebijakan moneter dapat dilakukan melalui instrument-instrumen berikut:
a. Politik diskonto (Discount Policy = Politik uang ketat): adalah kebijakan Bank
Sentral untuk mempengaruhi peredaran uang dengan jalan menaikkan suku bunga,
agar masyarakat tertarik untuk menabung atau menyimpan uangnya, dengan
harapan jumlah uang yang beredar dan permintaan kredit dapat dikurangi. Kenaikan
suku bunga simpanan, pada akhirnya juga dapat mengurangi keinginan badanbadan pemberi kredit untuk mengeluarkan pinjaman guna memenuhi permintaan
pinjaman dari masyarakat. Akibatnya, jumlah kredit yang dikeluarkan oleh badanbadan kredit akan berkurang, yang pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.
b. Politik pasar terbuka (Open Market Policy): bank sentral menjual obligasi atau
surat berharga ke pasar modal untuk menyerap uang dari masyarakat dan dengan
menjual surat berharga bank sentral dapat menekan perkembangan jumlah uang
beredar, sehingga jumlah uang beredar dapat dikurangi dan laju inflasi dapat lebih
rendah. Operasi pasar terbuka (open market operation), biasa disebut dengan
kebijakan uang ketat (tight money policy), dilakukan dengan menjual surat-surat
berharga, seperti obligasi negara, kepada masyarakat dan bank-bank. Akibatnya,
jumlah uang beredar di masyarakat dan pemberian kredit oleh badan-badan kredit
(bank) berkurang, yang pada akhirnya dapat mengurangi tekanan inflasi

c. Politik Persediaan Kas (Cash Ratio Policy) atau Peningkatan cash


ratio: Politik Bank Sentral untuk mempengaruhi peredaran uang dengan jalan
menaikkan dan menurunkan perbandingan minimum antara uang tunai yang dimiliki
oleh bank umum dengan uang giral yang boleh dikeluarkan oleh bank yang
bersangkutan. Dengan menaikkan cadangan uang kas yang ada di bank, maka
jumlah uang bank yang dapat dipinjamkan kepada debitur/masyarakat menjadi
berkurang. Hal ini berarti dapat mengurangi jumlah uang yang beredar.
RUMUS : M=1/CK x L
Dimana
m
=
ck
L

jumblah
=
=

uang
%
alat

yang

diedarkan
cadangan
likuiditas
/

oleh
Bank
minimum
cadangan

Umum
kas
kas

d. Kredit selektif, politik bank sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
dengan cara memperketat pemberian kredit
e. Politik sanering, ini dilakukan bila sudah terjadi hiper inflasi, ini pernah dilakukan
BI pada tanggal 13 Desember 1965 yang melakukan pemotongan uang dari
Rp.1.000 menjadi Rp.1
2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang berhubugan dengan finansial pemerintah.


Kebijakan fiskal dapat dilakukan melalui instrument berikut:
Mengatur penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemerintah menjaga
penggunaan anggaran negara sesuai dengan perencanaan dan tidak menambah
pengeluarannya agar anggaran tidak defisit.
Menaikkan pajak. Dengan menaikkan pajak, konsumen akan mengurangi
jumlah konsumsinya karena sebagian pendapatannya untuk membayar pajak. Dan
juga akan mengakibatkan penerimaan uang masyarakat berkurang dan ini
berpengaruh pada daya beli masyarakat yang menurun, dan tentunya permintaan
akan barang dan jasa yang bersifat konsumtif tentunya berkurang.
Peningkatan Pinjaman Pemerintah. Meningkatkan pinjaman pemerintah
dengan jalan tanpa paksaan atau dengan pinjaman paksa, misalnya pemerintah
memotong gaji pegawai negeri 10% untuk ditabung, ini terjadi pada masa orde lama.
3. Kebijakan Non Moneter
Kebijakan non moneter adalah kebijakan yang tidak berhubungan dengan finansial
pemerintah maupun jumlah uang yang beredar, cara ini merupakan langkah
alternatif untuk mengatasi inflasi. Kebijakan non moneter dapat dilakukan melalui
instrument berikut:

Mendorong agar pengusaha menaikkan hasil produksinya. Pemerintah


memberikan subsidi kepada industri untuk lebih produktif dan menghasilkan output
yang lebih banyak, sehingga harga akan menjadi turun. Cara ini cukup efektif
mengingat inflasi disebabkan oleh kenaikan jumlah barang konsumsi tidak seimbang
dengan jumlah uang yang beredar. Oleh karena itu pemerintah membuat prioritas
produksi atau memberi bantuan (subsidi) kepada sektor produksi bahan bakar,
produksi beras.
Menekan tingkat upah. Pemerintah menghimbau kepada serikat buruh untuk
tidak meminta kenaikan upah disaat sedang inflasi, dalam pengertian bahwa upah
tidak sering dinaikkan, karena kenaikan yang relatif sering dilakukan akan dapat
meningkatkan daya beli dan pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap
barang-barang secara keseluruhan dan pada akhirnya akan menimbulkan inflasi.
Pemerintah melakukan pengawasan harga dan sekaligus menetapkan harga
maksimal.
Pemerintah melakukan distribusi secara langsung. Dimaksudkan agar harga
tidak terjadi kenaikan, hal ini seperti yang dilakukan pemerintah dalam menetapkan
harga tertinggi (harga eceran tertinggi/HET). Pengendalian harga yang baik tidak
akan berhasil tanpa ada pengawasan. Pengawasan yang tidak baik biasanya akan
menimbulkan pasar gelap. Untuk menghindari pasar gelap maka distribusi barang
harus dapat dilakukan dengan lancar, seperti yang dilakukan pemerintah melalui
Bulog atau KUD.
Penanggulangan inflasi yang sangat parah (hyper inflation) ditempuh dengan
cara melakukansanering (pemotongan nilai mata uang). Sanering berasal dari
bahasa Belanda yang berarti penyehatan, pembersihan, reorganisasi. Sanering ini
pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1960-an pada saat inflasi mencapai
650%. Pemerintah memotong nilai mata uang pecahan Rp. 1.000,00 menjadi Rp.
1,00.
Kebijakan yang berkaitan dengan output. Kenaikan output dapat memperkecil
laju inflasi. Kenaikan jumlah output ini dapat dicapai misalnya dengan kebijakan
penurunan bea masuk, sehingga impor barang cenderung meningkat.
Bertambahnya jumlah barang di dalam negeri cenderung menurunkan harga.
Kebijakan penentuan harga dan indexing. Ini dilakukan dengan
penentuan ceiling price.
Devaluasi adalah penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata
uang luar negeri. Jika hal tersebut terjadi biasanya pemerintah melakukan intervensi
agar nilai mata uang dalam negeri tetap stabil. Istilah devaluasi lebih sering dikaitkan
dengan menurunnya nilai uang satu negara terhadap nilai mata uang asing.
Devaluasi juga merujuk kepada kebijakan pemerintah menurunkan nilai mata uang
sendiri terhadap mata uang asing.
4. Kebijakan Sektor Riil

Kebijakan sektor riil dapat dilakukan melalui instrument berikut:


Pemerintah menstimulus bank untuk memberikan kredit lebih spesifik kepada
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Contohnya bank BRI pernah mencanangkan
Microyear.

Menekan arus barang impor dengan cara menaikkan pajak.

Menstimulus masyarakat untuk menggunakan produk dalam negeri.


Inflasi dan Pengangguran
Kurva yang menggambarkan hubungan antara inflasi dan tingkat pengangguran
dinamakan Kurva Philip. Sifat umum dari Kurva Philip adalah pada mulanya
kurvanya menurun sangat curam, tetapi semakin lama bertambah landai. Kurva
yang demikian menggambarkan sifat perkaitan sebagai berikut:
1.
Apabila tingkat pengangguran sangat rendah, tingkat upah semakin cepat
kenaikannya. Perhatikan titik E dan F. Titik E menggambarkan pengangguran adalah
3% dan kenaikan upah 9%. Sedangkan titik F menggambarkan tingkat
pengangguran adalah 4% dan tingkat kenaikan upah mencapai 6,5%.
2.
Apabila tingkat pengangguran relatif tinggi, kenaikan upah relatif lambat
berlakunya. Keadaan ini ditunjukkan dengan jelas oleh pergerakan dari titik C ke titik
D. pengurangan tingkat pengangguran dari 10% ke 8% hanya menaikkan upah
sebanyak hamper satu setengah persen.
Inflasi yang disahkan : inflasi yang dibiarkan berlangsung terus-menerus, karena
pemerintah mengizinkan penambahan suplai uang.Inflasi yang tidak disahkan: inflasi
yang tidak disertai dengan kenaikan suplai uang
Beberapa hal yang berhubungan dengan inflasi:

Deflasi, daya beli uang yang mengalami peningkatan, karena jumlah uang
yang beredar relatif lebih sedikit dari jumlah barang dan jasa yang tersedia. Tujuan
dari devaluasi adalah untuk
meningkatkan ekspor barang, neraca pembayaran
menjadi surplus.
Defresiasi, penurunan nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing yang
terjadi di pasar uang.
Apresiasi, kenaikan nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang asing
yang terjadi di pasar uang.
Inflasi Terbuka, keadaan dimana harga-harga bergerak tak terkendali, serta
terdapat kelebihan permintaan terhadap barang.
Sanering, pemotongan nilai mata uang yang dilakukan oleh pemerintah.
Revaluasi, kebijakkan pemerintah untuk menaikkan nilai mata uang dalam
negeri terhadap valuta asing.
Devaluasi, kebijakkan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang dalam
negeri terhadap valuta asing dengan sengaja. Deflasi dapat di atasi dengan cara
pemerintah menambah pembelanjaan masyarakat, menambah pengeluaran.
http://nurulfatimah-helend.blogspot.com/2011/10/inflasi-dan-deflasi.html
Selasa, 16 Juli 2013 - 08:22 WIB

MENGEREM LAJU INFLASI PASCA KENAIKAN HARGA


BBM

Oleh : ARIEF KHUMAEDY DAN TRIKAWAN JATI ISWONO*)


- Dibaca: 2129 kali

Bulan yang lalu tepatnya pada tanggal 22 Juni 2013 Pemerintah melalui
Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor: 07.PM/12/MPM/2013
telah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kenaikan BBM ini diperkirakan akan
memberikan dampak yang cukup signifikan pada pembentukan laju inflasi tahun
2013. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri dalam pengendaliannya
agar inflasi tetap berada pada rentang target yang telah ditetapkan. Bank
Indonesia memprediksi laju inflasi pasca kenaikan harga BBM berada pada level
7,8 persen dengan perkiraan kenaikan harga BBM bersubsidi menyumbang
inflasi sebesar 2,46 persen. Pemerintah sendiri di dalam APBN-P 2013 mematok
target inflasi pada kisaran 7,2 persen.
Berkaca pada sejarah, kenaikan harga BBM bersubsidi biasanya memberikan
sumbangan kenaikan inflasi yang cukup besar. Pada tahun 2005 lalu, kenaikan
harga BBM bersubsidi memberikan sumbangan kenaikan inflasi sebesar 3,74
persen (Bank Indonesia, 2005). Ini disebabkan oleh besaran kenaikan yang cukup
tinggi, dimana cakupan komoditi BBM bersubsidi meliputi premium, solar dan
minyak tanah, serta bobot komponen inflasi.
Secara historis, Bank Indonesia juga mencatat bahwa second round effect lebih
tinggi daripada first round effect. Pada waktu itu, first round effect untuk tiap
kenaikan 10 persen pada premium, solar, dan minyak tanah sebesar 0,37

persen, sedangkan dampak lanjutannya (second round) untuk tiap kenaikan 10


persen mencapai 0,41 persen, sehingga total dampak untuk tiap 10 persen
kenaikan harga BBM mencapai 0,78 persen.
Polapola transmisi dampak kenaikan harga BBM tersebut diprediksi akan
kembali berulang pada pembentukan laju inflasi tahun 2013, namun dengan
besaran (magnitude) yang tentu saja berbeda. Perbedaan besaran ini karena
persentase kenaikan dan jenis komoditi BBM yang mengalami peningkatan juga
berbeda, dimana minyak tanah tidak lagi termasuk jenis BBM yang disubsidi.
Selain itu, faktor-faktor domestik dan eksternal yang melingkupi situasi
perekonomian juga berbeda, seperti misalnya pengaruh waktu kenaikan harga
BBM yang berdekatan dengan kenaikan tahun ajaran baru, bulan Ramadhan dan
Lebaran yang secara historis memberikan sumbangan inflasi cukup tinggi. Faktor
eksternal yang cukup berpengaruh adalah situasi perekonomian global tahun
2013 juga berbeda dibandingkan tahun 2005.
Laju inflasi bulan Januari Juni 2013 saat ini telah mencapai 3,35 persen, dimana
inflasi bulan Juni 2013 sebesar 1,03 persen. Inflasi Juni 2013 di atas 1 persen
merupakan inflasi tertinggi bulan Juni dalam 5 tahun terakhir (Inflasi Juni 2009
2010 selalu di bawah 1 persen). Perhitungan BPS menunjukkan bahwa inflasi Juni
2013 lebih banyak dipicu oleh kenaikan harga pasca kenaikan harga BBM pada
22 Juni 2013, sedangkan perubahan harga-harga pada 3 minggu pertama Juni
2013 rata-rata relatif tidak signifikan. Ini menunjukkan bahwa kenaikan harga
BBM bersubsidi belum terekam sepenuhnya pada laju inflasi Juni 2013. Second
round effect yang biasanya lebih tinggi baru akan terlihat pada bulan Juli dan
Agustus.
Melihat kondisi seperti ini dan untuk menjaga laju laju inflasi agar berada pada
kisaran 7,2 persen seperti yang telah di targetkan pada APBNP 2013, serta
memperhatikan perkembangan faktor-faktor yang ada, terdapat beberapa aspek
yang perlu mendapatkan perhatian bersama.
Pertama, laju inflasi volatile foods yang dipicu oleh harga-harga bahan makanan
pokok. Datangnya bulan Ramadhan biasanya diikuti dengan kenaikan harga
bahan-bahan pokok seiring dengan kenaikan konsumsi masyarakat. Kondisi ini
semakin diperkuat dengan datangnya tahun ajaran baru dimana ada kenaikan
biaya sekolah yang secara historis turut mengerek laju inflasi. Dampak lanjutan
kenaikan harga BBM (second round effect) akan semakin mengeskalasi laju
inflasi

melalui

kenaikan

biaya

transportasi.

Dengan

kondisi

memperkirakan inflasi bulan Juli 2013 akan mencapai puncaknya.

ini,

BPS

Untuk meredam kenaikan laju inflasi Juli 2013, langkah yang diperlukan adalah
pengamanan pasokan bahan makanan menjadi faktor yang sangat krusial.
Koordinasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia melalui Tim Pengendali Inflasi
di tingkat daerah (TPID) serta Pokjanas TPID diharapkan dapat berkontribusi
dalam meredam gejolak kenaikan harga harga bahan kebutuhan pokok.
Pelaksanaan operasi pasar bahan bahan kebutuhan pokok yang mempunyai
bobot cukup tinggi dalam inflasi perlu ditingkatkan frekuensi dan cakupannya.
Kelancaran distribusi barang dan jasa juga hendaknya menjadi prioritas.
Kedua, inflasi administered price atau harga komoditi yang ditentukan oleh
pemerintah. Inflasi kelompok ini masih berpotensi terjadi, terutama berkaitan
dengan kenaikan listrik tahap kedua dan kelangkaan LPG, khususnya LPG 3 KG.
Selain itu, kenaikan harga BBM juga berimbas pada kenaikan tarif angkutan
berdasarkan keputusan dari masing-masing Kepala Daerah.
Sebagai

upaya

untuk

meredam

kenaikan

inflasi administered

price, perlu

dipertimbangkan dan dihitung secara mendalam mengenai waktu kenaikan tarif


listrik tahap kedua. Khusus untuk LPG 3 Kg yang dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah, agar dijaga keamanan pasokannya agar
tidak terjadi kelangkaan yang akan semakin memukul daya beli masyarakat
miskin. Sedangkan penetapan tarif angkutan juga harus mempertimbangkan
daya beli masyarakat. Dalam jangka menengah, perlu dirumuskan skema
pemberian

subsidi

maupun

insentif

untuk

mendorong

pengembangan

transportasi publik yang nyaman dan terjangkau, serta terlindung dari gejolak
kenaikan harga BBM bersubsidi, misalnya dengan penyediaan infrastruktur BBG
bersubsidi untuk transportasi publik.
Ketiga, stabilitas nilai tukar rupiah. Kenaikan harga BBM diperkirakan akan
membantu mengurangi defisit perdagangan akibat berkurangnya impor BBM,
mendorong

apresiasi

rupiah,

yang

pada

akhirnya

akan

mengurangi

dampak imported inflation akibat depresiasi nilai tukar rupiah. Namun dalam
perkembangannya, kenaikan harga BBM tidak serta merta akan memperbaiki
nilai tukar rupiah mengingat perkembangan pasar yang cukup dinamis.
Salah satunya adalah pergerakan respon pasar terhadap rencana Bank Sentral
Amerika Serikat (The Fed) yang akan menghentikan kebijakan quantitative
easing seiring dengan

mulai

membaiknya

perekonomian

Amerika

Serikat.

Implikasinya, suku bunga acuan The Fed diperkirakan akan dinaikkan sehingga
kemudian mendorong meningkatnya arus modal keluar dari negara-negara
emerging market, termasuk Indonesia, sehingga akan memperlemah rupiah.
Ekspektasi pasar akibat rencana perubahan ini terbukti telah membuat rupiah

sudah berada pada posisi tertekan pada saat kebijakan kenaikan harga BBM
bersubsidi mulai diterapkan oleh pemerintah. Ke depan pergerakan respons
pasar harus disikapi dan diantisipasi dengan baik oleh Pemerintah dan Bank
Indonesia melalui bauran kebijakan fiscal dan moneter.
Selain situasi eksternal, depresiasi nilai tukar rupiah juga akan dipengaruhi oleh
perubahan perilaku konsumsi BBM masyarakat. Bila kenaikan harga BBM
bersubsidi tidak berdampak banyak pada perubahan perilaku konsumsi BBM
bersubsidi, asumsi perbaikan fiskal dalam bentuk perbaikan keseimbangan
primer, serta pengurangan defisit perdagangan yang akan mendukung apresiasi
rupiah

sulit untuk

pengawasan

untuk

terpenuhi.

Oleh

meminimalisasi

karena itu,

upaya-upaya pengetatan

penyelundupan

BBM

bersubsidi

perlu

ditingkatkan efektifitasnya. Selain itu, upaya pengendalian konsumsi BBM


bersubsidi

melalui

penerapan

RFID (Radio

Frequency

Identification)pada

kendaraan dinas dan pribadi dapat memberikan dampak yang cukup besar
dalam menurunkan konsumsi BBM bersubsidi.
Dengan serangkaian langkah-langkah pengamanan pasokan bahan makanan,
pengelolaanadministered price, dan antisipasi terhadap gejolak situasi eksternal
melalui bauran kebijakan fiskal dan moneter, serta pengendalian konsumsi BBM
bersubsidi, diharapkan realisasi inflasi 2013 dapat berada pada kisaran yang
ditetapkan dalam APBN-P 2013. Diharapkan memasuki tahun 2014 inflasi yang
meninggi sebagai dampak kenaikan BBM ini mulai menunjukkan kestabilan.
Perekonomian Indonesia yang stabil kembali, yang tumbuh, berkembang dan
membawa kesejahteraan bersama. Semoga.
*) Penulis adalah staf pada kedeputian bidang perekonomian
http://www.setkab.go.id/artikel-9493-.html
BERITA INDUSTRI
2013, Kenaikan BBM Tak Terelakan

VLADIVOSTOK - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi


tidak terelakan pada 2013. Situasi ekonomi dunia yang belum menentu
dan kebutuhan pembangunan infrastruktur dalam negeri perlu direspon
dengan penurunan biaya subsidi BBM.
Untuk mendorong akselerasi pembangunan infrastruktur dan sejumlah
sektor vital di Tanah Air, harga BBM bersubsidi sebaiknya dinaikkan
hingga mendekati harga pasar. Kompensasi kenaikan harga BBM bag!

rakyat miskin dan hampir miskin bisa diberikan secara langsung berupa
bahan pangan dan bantuan lainnya.
"Kalau harga BBM tetap disubsidi seperti sekarang, pembangunan
infrastruktur dan sektor vital akan terus tertinggal, anggaran negara
terbebani, dan rakyat akan hidup tidak realistis," ujar Ketua Umum Kadin
Indonesia Suryo Bambang Sulisto kepada Investor Daily di Vladivostok,
Rusia, Senin (10/9).
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan, apa pun alasannya, harga
BBM tahun depan harus dinaikkan kalau subsidi meningkat melampaui
kuota. Sedangkan Wakil Menkeu Mahendra Siregar tidak berani
menyebutkan sikap pemerintah. "Semuanya itu tergantung hasil
pembahasan dengan DPR Oktober ini," kilah Mahendra.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dunia, Gubernur Bank Indonesia (BI)
Darmin Nasution mengatakan, kenaikan harga BBM kemungkinan tidak
dapat dihindari. Meski begitu, pemerintah hendaknya menaikkan harga
BBM secara bertahap dan konsisten.
BI menyarankan kenaikan harga BBM berlangsung selama tiga kali agar
dampaknya tidak terlalu memberatkan masyarakat "Setiap kenaikan Rp
1.000 per liter, maka akan ada tambahan inflasi 0,3V ujar dia dalam rapat
kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (10/9).
Darmin memprediksi, asumsi inflasi 2013 yang ditetapkan pemerintah
sebesar 4,9% akan meleset karena belum memasukkan dampak kenaikan
tarif listrik. "Kenaikan tarif listrik sebesar 15% akan menyebabkan
tambahan inflasi sebesar 0,25% hingga 0,3%," jelas Gubernur BI.
Selama ini, rencana kenaikan harga BBM selalu digagalkan oleh DPR RI.
Pemerintah hingga kini juga belum memiliki tekad yang bulat untuk
menaikkan harga BBM.
Wacana kenaikan harga BBM -yang selalu muncul saat harga minyak
mentah dunia meroket- acapkali memicu pro kontra. Atas nama inflasi dan
rakyat miskin, sejumlah kalangan, termasuk mayoritas anggota DPR,
menolak keras kenaikan harga BBM.
Mereka khawatir, kenaikan harga BBM akan memicu inflasi tinggi dan
inflasi tinggi akan menyengsarakan rakyat miskin, melahirkan orang
miskin baru, mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
mengganggu stabilitas ekonomi makro. Kenaikan harga BBM kerap
mendorong aksi demonstrasi yang biasanya disusupi oleh berbagai
kepentingan politik.
Menghadapi gerakan penolakan ini, pemerintah diimbau lebih gencar
melakukan sosialisasi, termasuk meningkatkan lobi dengan DPR. Selama
ada alasan kuat dan sosialisasi yang baik, dukungan terhadap kenaikan

harga BBM akan besar.


Dukungan terhadap rencana kenaikan harga BBM juga akan mengalir jika
pada saat yang sama, pemerintah gencar melakukan penghematan,
diversifikasi energi, mengembangkan energi terbarukan, dan siap dengan
rencana aksi pembangunan infrastruktur serta pembangunan sektor vital
lainnya.
Setelah tidak dinaikkan beberapa tahun, muncul desakan kuat dari
berbagai kalangan, termasuk para pengusaha, agar harga BBM pada 2013
dinaikkan. Suryo Bambang Sulisto malah menyarankan agar harga BBM
sekaligus disesuaikan dengan harga internasional. Ketika biaya produksi
naik -karena lonjakan harga minyak mentah-, harga BBM juga dinaikkan.
Demikian pula sebaliknya.
Menambah Dana Daerah
Suryo Bambang Sulisto menilai, subsidi BBM lebih dari cukup untuk
menambah dana ke setiap provinsi ratarata Rp 5 triliun setahun. Dengan
jumlah 33 provinsi, dana yang ditambahkan ke daerah sekitar Rp 165
triliun atau lebih ketil dibanding subsidi BBM tahun ini yang diproyeksikan
mencapai Rp 216 triliun dan rencana subsidi BBM 2013 sebesar Rp 167
triliun. "Kalau setiap provinsi mendapat dana tambahan Rp 5 triliun
setahun, pembangunan infrastruktur daerah akan mengkilap dan berbagai
sektor vital di daerah akan berkembang cepat," kata Suryo Bambang
Sulisto.
Dalam APBNP 2012, subsidi BBM dipatok Rp 137,4 triliun. Selama
semester 12012, realisasi subsidi BBM sudah mencapai Rp 88,9 triliun
atau 64,7% dari pagu APBNP 2012. Melihat kenyataan itu, pemerintah
memproyeksikan realisasi belanja subsidi BBM pada 2012 mencapai Rp
216,8 triliun atau 157,8% di ates pagu APBNP 2012.
Meski secara eksplisit belum mengusulkan kenaikan harga BBM, Menten
Keuangan Agus DW Martowardojo meminta DPR untuk memangkas
anggaran-anggaran yang sifatnya tidak produktif seperti anggaran subsidi
energi, yaitu subsidi listrik dan BBM. "Subsidi energi ini harus dialihkan
untuk anggaran yang memberi nilai tambah lebih besar kepada
masyarakat," jelas Menkeu dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di
Jakarta, Senin (10/9).
Untuk meningkatkan kualitas belanja dan memperluas ruang gerak
anggaran, Menkeu juga meminta DPR untuk tidak meningkatkan lagi
jumlah anggaran mandatori. "Akhir-akhir ini ada tendensi meningkatnya
upaya untuk mengalokasikan dana APBN dalam suatu persentase tertentu
demi kepentingan tertentu dan sektor tertentu dalani sejumlah RUU,"
jelas Agus.
Sejak 2007, jelas Agus, postur APBN selalu dipenuhi oleh anggaran wajib

atau mandatori, yang telah ditetapkan UU. Akibatnya, sisa uang yang bisa
dialokasikan untuk kegiatan produktif sangat terbatas. "80% dari total
dana APBN habis untuk anggaran yang sifatnya wajib tersebut Dengan
demikian, hanya tinggal tersisa sekitar 20% dari anggaran kita yang tidak
mengikat yang dapat kita manfaatkan bagi kegiatan-kegiatan yang lebih
produktif," ujar Agus.
Dukungan dan Penolakan
Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati mengingatkan,
subsidi BBM dan listrik yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
masih belum adil dan tepat sasaran. "Subsidi BBM hanya dinikmati oleh
pemilik kendaraan dan pengguna kendaraan umum saja. Sementara
masih banyak warga masyarakat yang tidak memiliki kendaraan atau
menggunakan kendaraan umum," kata dia.
Dia menjelaskan, masyarakat di perdesaan dan pegunungan masih
banyak yang tidak memiliki dan menggunakan kendaraan. "Masih ada
sepertiga dari masyarakat yang belum bisa niengakses listrik PLN. Dengan
begitu, pemerintah hanya menyubsidi masyarakat dari golongan ekonomi
ke atas saja. Sebab, golongan itulah yang bisa memiliki banyak mobil dan
menggunakan banyak listrik," jelas Nina.
Oleh karena itu, Nina Sapti menyarankan agar subsidi BBM yang
mencapai Rp 250 triliun bisa dievaluasi, dikurangi, dan lebih diarahkan
untuk pembangunan infrastruktur di perdesaan yang lebih tepat sasaran.
Wakil Direktur ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengakui,
Indonesia menghadapi persoalan yang cukup pellk di sektor energi. Selain
terbebani subsidi, impor BBM memberikan kontribusi besar terhadap
defisit perdagangan. Saat ini, 40% kebutuhan BBM dan minyak mentah
nasional diperoleh melalui impor. "Upaya jangka pendek yang paling
rasional agar neraca perdagangan Indonesia tetap surplus tahun depan
adalah menaikkan harga BBM subsidi di awal tahun," jelas dia.
Komaidi menjelaskan, penaikan harga BBM merupakan keputusan politis
antara pemerintah, dan parlemen. "Kalau pemerintah bisa memberikan
alasan yang masuk akal, kami kira parlemen tidak keberatan ada
kenaikan harga BBM tahun depan," ungkap dia.
Menurut Komaidi, kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi Rp 6.000 per
liter tidak akan mampu menekan impor BBM secara signifikan. Sebaliknya,
bila pemerintah berani menaikkan harga BBM hingga di atas Rp 10 ribu
atau bahkan sampai mendekati level keekonomian, pengurangan impor
BBM bisa memadai.
Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES)
Kurtubi mencatat, nilai impor BBM dan minyak mentah Indonesia setiap
tahunnya bisa mencapai US$ 35 miliar atau Rp 1 triliun per hari. Dengan

nilai yang demikian besar, bukan hanya menyedot devisa negara yang
pada akhirnya juga membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi
defisit.
"Daripada pemerintah mewajibkan masyarakat menggunakan BBM
nonsubsidi jenis pertamax atau membiarkan masyarakat mengantre BBM
di SPBU sebagai dampak tidak adanya penambahan kuota BBM, kenapa
tidak dinaikkan saja harga BBM subsidi. Untuk tahun depan kami kira bisa
dilakukan karena kalau tahun ini terganjal UU APBN 2012 yang
menyebutkan harga minyak harus 15% harga. patokan," kata Kurtubi.
Pandangan berbeda disampaikan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi
Golkar Bobby Rizaldi dan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDIP
Ismayatun. Keduanya justru mempertanyakan alasan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi. Terlebih lagi, asumsi Indonesia Crude
Price (ICP) tahun depan justru dipatok lebih rendah, yakni hanya US$ 100
per barel dari sebelumnya US$ 105/barel. "Jadi kenapa harus dinaikkan.
Tim ekonomi pemerintah yang harus diganti karena inkompeten," kata
Bobby.
Ismayatun juga tidak menyetujui adanya kenaikan harga BBM bersubsidi
tahun depan. "Penuhi duhi kebutuhan transportasi. Jangan salahkan
masyarakat menggunakan BBM subsidi karena tidak ada alternatif," kilah
dia.
Untuk mengurangi subsisi BBM, Badan Pengatur HiHr Minyak dan Gas
Bumi (BPH Migas) mengusulkan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi
oleh mobil mewah di wilayah DKI Jakarta. BPH Migas menargetkan aturan
pelarangan itu dapat segera keluar pada bulan ini. "Itu akan dibahas di
sidang komite. Drafnya sudah disiapkan oleh mereka, tapi belum
ditetapkan," kata Kepala BPH Migas Andy Noorsaman Someng di Jakarta,
Senin (10/9).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Rubiandini,
mendukung rencana BPH Migas tersebut "BPH tidak perlu memerinci,
namun mereka berhak, karena mempunyai kreativitas dan punya ide,"
kilah dia.
sumber : Investor Daily
http://www.kemenperin.go.id/artikel/4349/2013,-Kenaikan-BBM-TakTerelakan

Anda mungkin juga menyukai