(2)
(3)
2-2
zat kimia, sebagaimana yang dipergunakan oleh pekerja luar angkasa. Namun
demikian, sudah cukup banyak industri yang mampu menghasilkan produk
sandang tiruan yang terbuat dari polyester dan bahan sintesis yang diolah dari
minyak bumi. Oleh karena itu, sampai sekian tahun ke depan, peran penting
bagi sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan masih tidak akan
tergoyahkan. Hal ini juga berimplikasi jika sektor pertanian terganggu, suplai
pangan juga akan terganggu.
(2) Sumber devisa negara. Komoditas perkebunan lebih banyak yang
digunakan untuk memenuhi tujuan pasar ekspor dan menghasilkan devisa bagi
pembangunan ekonomi makro Indonesia. Indonesia adalah produsen dan
eksportir terbesar untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO=crude palm oil), dan
telah melampaui produksi dan ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sejak tahun
2006. Ekspor CPO Indonesia pada tahun 2011 mencapai hampir 17 juta ton
dengan devisa senilai US$ 16 juta, suatu jumah yang sangat besar dan mungkin
belum terbayangkan 30 tahun yang lalu, ketika pertama kali kelapa sawit
dikembangkan. Indonesia adalah eksportir karet nomor dua terbesar setelah
Thailand, dengan total ekspor sekitar 2 juta ton dan devisa di atas US$ 3,2 juta
karena harga karet dunia yang fluktuatif. Indonesia adalah eksportir kakao
nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Tanzania, dengan total
ekspor sekitar 440 ribu ton dan devisa di atas US$ 1 juta. Indonesia adalah
eksportir kopi nomor empat terbesar di dunia setelah Brazil, Kolombia dan
Vietnam, dengan total ekspor sekitar 510 ribu ton dan devisa sekitar US$ 1 juta.
Indonesia juga dikenal sebagai eksportir komoditas perkebunan dan tanama
rempah lain yang sangat khas tropis, seperti lada kayu manis, minyak atsiri, dan
lain-lain yang nyaris tidak ada tandingannya. Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa menggantungkan sepenuhnya pada pasar ekspor juga tidak baik, apalagi
dalam produk mentah atau setengah jadi, karena risiko ekonomi dunia yang
semakin tidak menentu. Indonesia telah saatnya berusaha meningkatkan nilai
tambah dari ekspor komoditas pertanian seperti disebutkan di atas.
(3) Penyedia tenaga kerja bagi sektor lain. Sektor pertanian, yang
sebenarnya juga berhubungan dengan sektor perdesaan, juga telah lama dikenal
sebagai penyedia tenaga kerja bagi sektor lain. Sumber tenaga kerja sektor
pertanian bagi sektor lain dapat berupa faktor pendorong (push-factor) dan
dapat berupa faktor penarik (pull-factor). Push-factor berkonotasi negatif, karena
menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, sehingga
mereka yang bekerja di sektor industri dan jasa merasa terdorong atau terlempar
dari desanya sendiri. Hal ini juga berimplikasi bahwa sektor pertanian di
desanya tidak mampu menghasilkan produk yang mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Dalam istilah ekonomi, elastisitas suplai tenaga kerja
sektor pertanian di sini hampir mencapai elastis sempurna, bahwa berapa pun
jumlah tenaga kerja yang ditambah, produksi dan produktivitas tidak banyak
bertambah. Sebaliknya, pull-factor berkonotasi positif karena sektor nonpertanian lebih atraktif bagi tenaga kerja pertanian dan perdesaan pertanian
yang memiliki ketrampilan tertentu. Mereka bekerja di sektor industri dan jasa
karena memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang lebih tinggi, sehingga
berkontribusi bagi peningkatan produksi dan produktivitas perekonomian. Di
2-3
2-4
miskin, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian terhadap
PDB menurun dari sekitar 60 persen pada tahun 1965 menjadi sekitar 20 persen
pada tahun 2010. Demikian pula di kelompok negara middle-income, persentase
di atas menurun dari 22 persen menjadi 13 persen. Sementara di negara-negara
maju, angka penurunannya tercatat dari 5 persen menjadi 2 persen untuk
periode yang 1965-2010.
Di Indonesia, penurunan itu juga terekam dalam data Badan Pusat
Statistik (BPS) yang menujukkan bahwa kontribusi sektor pertanian juga
mengalami penurunan, dari sekitar 50 persen pada tahun 1960-an, 20.2 persen
pada tahun 1988, turun menjadi 17.2 persen pada tahun 1996. Pangsa sektor
pertanian tersebut terus menurun menjadi hanya 15.6 persen pada tahun 2000
dan hanya 14,7 persen pada tahun 2011 (sebagian termuat pada Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Pangsa Sektoral dalam PDB Indonesia (dalam persen)
Pertanian
Tanaman Pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan-Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
Konstruksi
Perdaga, Hotel-Restoran
Transportasi Komunikasi
Keuangan, Jasa & Bisnis
Jasa-Jasa Lainnya
Total PDB
2-5
barang-barang hasil sektor industri dan jasa. Dengan sendirinya kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB akan makin kecil dengan semakin besarnya tingkat
pendapatan. Siapa pun yang belajar ekonomi pertanian pasti tidak akan
membuat kesimpulan bahwa karena penurunan pangsa di atas, maka sektor
pertanian menjadi semakin tidak penting. Justeru seballiknya yang terjadi,
bahwa sektor pertanian menjadi landasan pembangunan ekonomi yang paling
penting, yang akan mementukan perjalanan dan keberhasilan sektor industri dan
jasa, apalagi untuk negara agararis dan berbasis maritim seluas Indonesia.
Pembangunan pertanian modern dapat ditelusuri dari meningkatnya
penggunaan input produksi pertanian, terutama penggunaan pupuk kimia (anorganik) dan benih unggul, sejak Revolusi Hijau. Pada saat ini Indonesia juga
mengembangkan kebijakan dan program bimbingan massal (Bimas) dan
intensifikasi massal (Inmas), sejak akhir dekade 1960an. Kemudian pada dekade
1970an, masyarakat tani telah banyak mengenal prinsip-prinsip budidaya
tanaman yang baik, yang dikenal dengan Panca Usaha: (1) benih unggul, (2)
pupuk dan pemupukan, (3) sistem irigasi dan pengelolaan air, (4), pengaturan
jarak tanam, dan (5) penanggulangan hama dan penyakit tumbuhan. Metode
Panca Usaha kemudian disempurnakan menjadi tujuh aspek atau Sapta Usaha,
dengan memasukkan komponen (6) panen dan panca usaha, seperti
pemasaran, pembiayaan, serta (7) penyuluhan pertanian.
Saat ini Indonesia menggunakan instrumen strategis dalam pembangunan
ekonomi pertanian: subsidi harga output melalui harga pembelian pemerintah
(HPP) dan subsidi input melalui subsidi pupuk, benih, modal kerja, seperti kredit
ketahanan pangan dan energi (KKPE), kredit koperasi primer kepada
anggotanya (KKPA), bantuan langsung kepada masyarakart (BLM) seperti
pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP), lembaga usaha ekonomi
pedesaan (LUEP) dan lain-lain. Secara ideologi, subsidi digunakan adalah
melindungi petani dan mengurangi risiko panen dan risiko fluktuasi harga, plus
untuk mengamankan rezim atau suatu administrasi pemerintahan. Logikanya,
harga output yang tinggi diharapkan mampu menjadi insentif bagi peningkatan
produksi dan produktivitas; sedangkan ketersediaan input diharapkan
mengurangi beban petani karena fluktuasi harga dan gejolak eksternal. Secara
umum dapat dikatakan bahwa subsidi pertanian, baik input maupun subsidi
output, telah cukup efektif walaupun belum dapat dievaluasi secara menyeluruh
(Arifin, 2009).
Pada RAPBN 2012, total subsidi pertanian sekitar Rp 32,8 triliun yang
terdiri dari subsidi pupuk Rp 16,9 triliun, subsidi pangan Rp 15,6 triliun dan
subsidi benih Rp 0.3 triliun. Jika ditambahkan dengan subsidi kredit program Rp
1,2 triliun, yang juga banyak dialokasikan untuk sektor pertanian, maka total
subsidi perrtanian telah mencapai Rp 34 triliun, suatu jumlah yang tidak kecil.
Lonjakan angka subsidi pupuk dari Rp 6,3 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp
15,2 triliun pada tahun 2008, lalu melonjak sampai Rp 18,8 triliun pada 2011
tentu menimbulkan pertanyaan lebih strategis tentang efisiensi dan efektivitas
subsidi tersebut. Demikian pula tentang angka subsidi pupuk pada RAPBN 2012
sampai mendekati Rp 17 triliun tersebut tentu menjadi pusat perhatian karena
2-6
masih sering terdengar berita kelangkaan pupuk pada saat musim tanam.
Subsidi pupuk yang selama ini diberikan kepada pabrik pupuk yang kebanyakan
dimiliki oleh negara (BUMN), karena harus menanggung lonjakan kenaikan
harga gas di pasar internasional, walaupun bahan baku utama industri pupuk
tersebut diproduksi oleh BUMN. Angka subsidi benih menjadi Rp 0,3 triliun pada
tahun 2012 (yang sebenarnya menurun drastis dibandingkan dengan Rp 1,3
triliun pada saat Pemilihan Umum 2009 ) sebagai upaya untuk meningkatkan
penggunaan benih bersertifikat oleh petani tanaman pangan.
Perjalanan pertanian Indonesia selama empat dasa terakhir, proses jatuhbangun sektor utama perekonomian juga berhubungan dengan unsur-unsur
yang disebutkan di atas. Pertanian Indonesia pernah tumbuh tinggi sejak dekade
1970 dan 1980an, lalu melambat dan stagnan pada awal 1990an, kemudian
terakumulasi krisis ekonomi Asia, dan mencoba bangkit pada era desentralisasi,
walaupun kembali harus menabrak tembok krisis ekonomi dan krisis keuangan
global. Faktor sukses dari pertumbuhan pertanian Indonesia adalah interaksi
antara sains, teknologi, budaya, sumberdaya, infrastruktur, kewirausahaan,
bisnis, pasar, kelembagaan, dukungan kebijakan, dan sebagainya. Faktor
kegagalan juga dapat dilihat dari sisi lain faktor sukses di atas, ditambah dengan
kelalaian pemihakan, pengabaian hak-hak dasar petani serta ketidaktepatan
strategi kebijakan ekonomi makro umumnya.
Pada era 1980an, kinerja pertumbuhan pertanian Indonesia 5,8 persen
per tahun tidak dapat dilepaskan dari kematangan inovasi dan perubahan
teknologi pertanian, terutama di Jawa dan sentra produksi pangan lainnya.
Tidak secara kebetulan pula, apabila sentra produksi padi dan palawija di Jawa,
Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan lain-lain pada
waktu itu sangat identik tingkat kemakmuran masyarakat. Perlambatan
pertanian sejak awal 1990an dapat dijelaskan dengan kegagalan Indonesia
melakukan pelembagaan (institusionalisasi) inovasi dan perubahan teknologi
baru. Sektor pertanian tumbuh cukup lambat setelah era krisis ekonomi tahun
1998 dan era otonomi daerah saat ini. Banyak kaum awam mengira bahwa era
reformasi dan desentralisasi akan menjadi pintu masuk untuk melakukan
reformasi dan pembenahan kelembagaan perubahan teknologi pertanian.
Nampaknya, ekspektasi tersebut masih harus tertunda karena pembenahan
governansi dan kualitas kebijakan pembangunan pertanian memerlukan waktu
yang tidak sebentar.
2-7
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2,82
2,72
3,36
3,43
4,77
3,96
2,99
2,95
Tan. Pangan
2,89
2,60
2,98
3,35
5,91
4,97
1,64
1,26
Perkebunan
0,40
2,48
3,79
4,40
3,84
1,73
3,41
3,94
Peternakan
3,35
2,13
3,35
2,36
3,89
3,45
4,27
4,49
Kehutanan
1,28
-1,47
-2,85
-1,10
-0,39
1,82
2,41
0,65
Perikanan
5,56
5,87
6,90
5,39
4,81
4,16
6,04
6,72
5,03
5,69
5,50
6,35
6,01
4,63
6,20
6,46
PDB Pertanian
PDB Total
2-9
2-10
Dalam hal ini, bioteknologi pertanian meliputi juga produk hibrida dan
produk rekayasa genetika (PRG), memang diharapkan memberikan lonjakan
produksi pangan yang signifikan. Dalam bahasa ekonomi, bioteknologi itu
adalah perubahan teknologi yang mampu menggeser kurva produksi ke atas
sehingga kapasitas produksinya meningkat. Pada suatu proses yang normal,
masyarakat dapat melakukan langkah penyesuaian dan keseimbangan baru,
sehingga menghasilkan budaya dan kelembagaan baru untuk memanfaatkan
atau berinteraksi dengan produk bioteknologi. Fenomena ini mirip dengan
fenomena Revolusi Hijau empat dasa warsa lalu atau perubahan teknologi
biologi-kimiawi yang mampu melonjakkan produktivitas pangan berlipat-lipat.
Pada waktu itu, hanya sedikit yang mampu menduga bahwa umat manusia
dapat terlepas dari Jebakan Malthus (Malthusian Trap) dan minimal mampu
bertahan hingga sekarang.
Dalam kasus pengembangan bioteknologi dengan modifikasi organisme
atau rekayasa genetika, langkah seperti itu sering juga disebut transgenik karena
prosedurnya melibatkan perubahan struktur gen benih dan/atau bagian lain dari
tanaman untuk tujuan tertentu, seperti peningkatan produksi dan produktivitas,
ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman, perbaikan kandungan protein,
modifikasi kandungan lemak, kolesterol dan kualitas nutrisi lainnya. Para
ilmuwan Indonesia sebenarnya telah banyak menghasilkan temuan-temuan baru
varietas pangan unggul, walaupun masih pada skala laboratorium dan kebun
percobaan, sehingga belum mampu disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Hampir semua perguruan tinggi besar dan lembaga riset milik negara telah
mengembangkan bioteknologi pertanian, walau pun hasil penelitiannya belum
dapat dinikmati langsung oleh petani dan masyarakat luas. Risiko bisnis dan
konsekuensi sosial-ekonomi-politik yang perlu diantisipasi dalam pengembangan
biotenologi untuk meningkatkan produksi pangan tentu harus mampu
dikuantifikasi secara baik. Kegagalan mengidentifikasi risiko ini dapat berdampak
lebih buruk karena menyangkut sekian macam pemangku kepentingan, bahkan
strategi pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.
2.4 Perkembangan Produksi Pangan
Perkembangan produksi pangan Indonesia kembali memperoleh
tantangan yang cukup berat setelah sekian macam faktor eksternal seperti
perubahan iklim, eskalasi harga pangan strategis, dan lain-lain semakin nyata
mengancam kinerja produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri.
Tantangan itu menjadi semakin berat setelah perkembangan ekonomi pangan di
tingkat global juga bergerak ke arah yang semakin tidak menentu. Struktur
perdagangan komoditas pangan pokok, terutama beras, semakin sulit dipercaya
setelah negara-negara produsen beras lebih banyak terfokus untuk mengatasi
persoalan-persoalan di dalam negerinya sendiri. Mereka tidak jarang melakukan
kejutan-kejutan perdagangan (trade shock) seperti restriksi ekspor dan proteksi
berlebihan, sehingga Indonesia tidak pantas menggantungkan urusan ketahanan
2-11
pangannya hanya kepada beras impor. Sementara itu, di dalam negeri, dampak
perubahan iklim dan inkonsistensi kebijakan pangan telah mulai terlihat nyata
pada kinerja produksi pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai tahun
2011. Produksi pangan akan menjadi cerah atau suram sebenarnya banyak
ditentukan oleh kesungguhan pemerintah sebagai pemilik kewenangan eksekusi,
beserta seluruh pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun dan
melaksanakan rencana pembangunan pertanian yang telah dirumuskan.
Perlu disampaikan di sini bahwa pada krisis pangan global tahun 2008,
Indonesia mampu meredam dampak kenaikan harga pangan di tingkat global
karena iklim dan cuaca agak bersahabat. Pada waktu itu kinerja produksi pangan
pokok, terutama beras, dan manajemen stok pangan cukup baik, sehingga
kenaikan harga pangan di dalam negeri tidak sedahsyat yang diperkirakan.
Tidak berlebihan untuk disamapikan bahwa kini dunia kembali dikhawatirkan
dengan persoalan ketahanan pangan, terutama dari dimensi ketersediaan,
aksesibilitas, dan stabilitas harga pangan, mengingat fenomena perubahan iklim
tidak mampu sepenuhnya diantisipasi dengan baik. Beberapa analisis
memperikirakan, jika pun terjadapat persoalan ketahanan pangan, maka skala
dan besaran (magnitude), serta tingkat kedalamannya tidak seburuk seperti pada
waktu krisis pangan global 2008. Namun, beberapa analisis lain justru lebih
pesimis dan memprediksi bahwa saat ini dan beberapa tahun ke depan dapat
saja terjadi krisis pangan yang lebih buruk dari pada krisis pangan pada tahun
2008. Lembaga-lembaga publik di tingkat internasional seperti Organisasi
Pangan Dunia (FAO), Organisasi ekonomi negara-negara naju (OECD), Bank
Dunia, dan lain-lain tampak sangat hati-hati memaknai fenomena ekonomi
pangan akhir-akhir ini.
Secara makro, neraca keseimbangan pangan juga ditentukan oleh
permintaan dan kinerja produksi atau suplai pangan. Berdasarkan hasil Sensus
Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Laju pertumbuhan
sebesar itu tentu merupakan lonjakan yang signifikan dari laju pertumbuhan
penduduk satu dekade sebelumnya yang tercatat 1,29 persen per tahun. Dalam
ekonomi pertanian, terdapat suatu persamaan permintaan pangan (food demand
equation) yang digunakan sebagai acuan berapa besar laju suplai atau produksi
pangan yang harus dicapai. Menurut persamaan tersebut, laju permintaan
pangan (D) dapat dihitung dengan cara menjumlahkan laju pertumbuhan
penduduk (p) dengan hasil perkalian pertumbuhan pendapatan (g) dan
elastisitas pendapatan terhadap pangan (). Untuk tahun 2011, laju permintaan
pangan adalah 4,87 persen per tahun; karena pertumbuhan penduduk 1,5 per
tahun, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen per tahun dan elastisitas
pendapatan terhadap pangan 0,52. Dengan demikian, laju suplai pangan
setidaknya harus mencapai 5 persen per tahun. Jika tidak mampu mencapai
suplai pangan sebesar 5 persen, maka Indonesia pasti akan kembali bergantung
pada impor. Jika impor pangan sulit dilakukan, misalnya karena negara-negara
produsen pangan lebih mementingkan kebutuhan di dalam negerinya masingmasing, maka Indonesia mungkin akan jatuh pada Jebakan Malthus (Malthusian
trap) yang lebih buruk. Istilah jebakan ini mengacu pada fenomena klasik yang
2-12
disampaikan oleh Thomas Robert Malthus sekitar dua abad lalu, bahwa
penduduk akan bertambah dengan deret ukur, sedangkan pangan hanya akan
bertambah dengan deret hitung. Pada kuliah ekonomi pertanian tingkat lanjutan,
pembahasan terhadap fenomena ini dibahas lebih mendalam.
Tabel 2.3 Sentra Produksi Beberapa Pangan Penting di Indonesia
No.
Komoditas
1.
Padi
2.
Jagung
3.
Kedalai
4.
Kacang Tanah
5.
Sayuran
6.
Buah-buahan
7.
Minyak sawit
8.
Gula tebu
9.
Daging
10.
Telur
11.
Hasil Perikanan
2-13
sekitar 37,3 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Jika tingkat konsumsi
beras sebesar 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta
penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton. Dengan data resmi seperti tersebut,
maka Indonesia seharusnya menglamai surplus beras lebih 4 juta ton.
Masyarakat tentu semakin kritis terhadap akurasi data tersebut karena pada
tahun 2011, Indonesia melakukan impor beras sekitar 2 juta ton. Oleh karena
itu, metode estimasi produksi beras di Indonesia perlu disempurnakan untuk
memberikan kepastian usaha dan kredibilitas perumusan kebijakan ekonomi
nasional. Masalah akurasi estimasi produksi beras di Indonesia terletak pada
konversi dari data luas tanam padi, yang diambil dari areal baku sawah
berdasarkan data citra satelit, menjadi luas panen padi, yang dihitung
berdasarkan angka indeks pertanaman (IP) yang mempertimbangkan data curah
hujan, tingkat intensifikasi budidaya, penggunaan pupuk, pestisida dan lain-lain.
Kinerja produksi jagung pada 2011 mencapai 17,8 juta ton jagung pipilan
kering atau mengalami penurunan 3,7 persen per tahun dibandingkan produksi
jagung pada tahun 2010. Produksi jagung di Indonesia banyak dihasilkan di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawes Selatan dan sebagainya karena
di sana banyak terdapat industri pakan ternak yang menjadi konsumen utama
produksi jagung di Indonesia. Mirip dengan beras, data produksi jagung mungkin
juga mengalami persoalan akurasi karena banyak industri pakan ternak
mengalami kesulitan memperoleh pasokan jagung sebagai buhan baku industri.
Konsekuensi ketergantungan impor jagung ini, apalagi pada saat krisis ekonomi
global, pasti berpengaruh pada industri pakan dan sektor peternakan secara
umum, termasuk tingkat pemenuhan protein hewani juga terganggu. Apalagi,
sepanjang 2011, banyak pelaku industri pakan ternak justru mengimpor jagung
dari Thailand yang mencapai sekitar 2 juta ton. Akurasi estimasi ini berhubungan
dengan beberapa variabel telah berubah, seperti pola tanam jagung,
penggunaan benih hibrida, sistem tumpangsari, tingkat konsumsi jagung oleh
industri pakan ternak, konsumsi langsung oleh manusia dan lain-lain. Indonesia
harus kembali fokus pada penggunaan bioteknologi: benih hibrida yang secara
historis telah mengangkat laju komoditas jagung sepanjang satu dekade terakhir.
Indonesia seharusnya tidak alergi terhadap pembahasan dan teknologi modfikasi
genetika (GMO=genetically modified organism), sebagai salah satu alterntif
peningkatan produksi dan produktivitas jagung di masa yang akan datang,
sepanjang tidak merugikan dan meminggirkan petani kecil.
2-14
2007
2008
2009
2010
2011
12.147.637
4,71
57.157.435
12.327.425
4,89
60.325.925
12.883.576
5,00
64.389.890
13.244.184
5,01
66.411.469
13.203.643
4,98
65.756.904
3.630.324
3,66
13,287,527
4.001.724
4,08
16,317,252
4.160.659
4,23
17,629,748
4.131.676
4,43
18,327,636
3.864.692
4,56
17.643.250
459.116
1,29
592.534
590.956
1,31
775.710
722.791
1,25
974.512
660.823
1,24
907.031
622.254
1,39
851.286
427.799
6,13
2.623.786
436.505
6,11
2.668.428
441.040
5,70
2.517.374
435.000
5,11
2.300.000
440.000
5,16
2.270.000
2-15
2-16
rancah, atau tanaman padi di lahan kering yang mengandalkan tadah hujan.
Dengan teknologi dan pengembangan varietas baru yang lebih tahan musim
kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, memang tidak mustahil
bahwa suatu waktu, padi gogo akan menjadi alternatif. Langkah untuk
melaksanakan strategi adaptasi perubahan iklim untuk komoditas pangan
strategis saat ini pasti murah dari pada melakukan rehabilitasi dan
menanggulangi bencana karena perubahan iklim tersebut.
Produksi daging sapi, daging ayam dan produk sektor peternakan atau
yang menjadi sumber protein hewani di Indonesia tidaklah terlau besar, sehingga
masih harus menggantunkan pada daging impor, terutama dari Australia,
Selandia Baru dan negara-negara lain yang bebas penyakit hewan, seperti
penyakit mulut dan kuku (PMK), antraks, sapi gila, dan lain-lain. Produksi
daging sapi pada tahun 2011 tercatat 280 ribu ton, sedangkan konsumsinya
mencapai konsumsi 400 ribu ton. Indonesia masih harus melakukan impor sapi
dari Australia sekitar 300-500 ribu ekor sapi hidup (30-40%) dari total kebutuhan.
Hasil Sensus Sapi yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2011
menujukkan bahwa jumlah sapi (dan kerbau) mencapai 15,6 juta ekor, yang
sebenarnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging di
dalam negeri. Tingkat konsumsi daging dan susu di Indonesia dan negara
berkembang memang tergolong memang masih 4-5 kali lebih rendah
dibandingkan tingkat konsumsi di negara-negara maju.
Penjelasan kinerja produksi daging sapi, daging unggas dan produk
peternakan lainnya berbeda dengan kinerja produksi tanaman pangan dan
perkebunan. Tingginya angka pertumbuhan produksi peternakan yang juga
terjadi di belahan lain di muka bumi, sering dinamakan Revolusi Peternakan
(Livestock Revolution), yang sebenarnya telah dimulai sejak awal 1970-an.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah Revolusi Peternakan karena pada
saat bersamaan industri pakan ternak skala kecil dan besar pun berkembang
cukup besar, yang tentu saja mensyaratkan perbaikan tingkat efisiensi ekonomi.
Revolusi Peternakan amat berbeda secara fundamental dengan Revolusi Hijau
(Green Revolution) di sektor tanaman biji-bijian yang lebih banyak didorong oleh
sisi suplai (supply driven) produksi dengan karakter perubahan teknologi baru
biologi dan kimiwai seperti varietas unggul, pupuk, pestisida dan sebagainya.
Revolusi peternakan didorong oleh sisi permintaan (demand-driven) karena
perubahan konsumsi dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis
kandungan protein tinggi, dan persyaratan kualitas nutrisi dan kesehatan lainnya.
Untuk itu, perubahan lingkungan eksternal yang demikian cepat tersebut
pastilah menuntut kemampuan ekstra para perumus kebijakan dan para pelaku
ekonomi untuk mengantisipasi kompleksitas proses transformasi tersebut yang
terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan,
keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan kualitas higienis produk peternakan
serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Strategi revitalisasi sektor
pertanian dan pembangunan pedesaan dapat dilaksanakan dengan baik jika
perhatian segera dicurahkan pada penanggulangan persoalan-peroalan di
lapangan, serta perrhatian secara all-out terhadap penyakit menular pada
2-17
peternakan seperti pada kasus wabah flu burung yang amat menghebohkan.
Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa sektor peternakan adalah salah satu
sektor andalan dalam sistem dan usaha agribisnis di Indonesia yang telah
menerapkan strategi demand-driven yang sebenarnya. Sektor stratgis yang
melibatkan usaha rumah tangga dan menyerap jutaan lapangan kerja di
pedesaan dan perkotaan tersebut tidak semata menjalankan sistem produksi
dengan supply-oriented yang sangat rentan tehadap anjloknya harga karena
kelebihan penawaran.
Sektor peternakan memang sejak awal perkembangannya tumbuh dan
berkembang karena merespons tingginya permintaan terhadap daging, telur dan
produk berkualitas lainnya, suatu pergeseran sangat substansial dari pangan
berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan kandungan nutrisi tinggi.
Sektor peternakan tercatat sebagai salah satu sektor yang memiliki keterkaitan
ke belakang (backward linkages) yang tinggi, terutama subsektor unggas dengan
industri pakan ternak. Ketergantungan dan tingkat sensitivitas yang demikian
tinggi antara keduanya telah mewarnai pasang-surut sektor peternakan
Indonesia. Kinerja cukup baik dengan tingkat pertumbuhan di atas 6 persen per
tahaun pada dekade 1980an sampai awal 1990an pasti tidak dapat dilepaskan
dari kemampuan dan kegigihan para peternak dalam mengantisipasi perubahan
dan inovasi baru dalam teknologi sektor peternakan. Sesuatu yang perlu
ditekankan di sini adalah bahwa industri pakan ternak ini nyaris identik dengan
investasi dan kapasitas produksi domestik. Maksudnya, apabila terganggu
sedikit saja, maka strategi untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi juga
pasti terganggu.
Tema sentral lain yang perlu dijadikan acuan dalam pembahasan ekonomi
pertanian Indonesia adalah petani sebagai pelaku terpenting dalam sektor
pertanian beserta skala usahatani yang melingkupinya. Pembahasan ekonomi
pertanian secara makro pembangunan tanpa mengupas posisi petani, terutama
tingkat kesejahteraannya sebagai subyek utama pembangunan ekonomi tentu
tidaklah lengkap. Apabila petani tidak meningkat tingkat kesejahteraannya,
maka sangat mungkin proses pembangunan ekonomi pertanian di Indonesia
berjalan tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, petani harus menjadi subyek
utama dalam pembangunan pertanian, petani harus dientaskan statusnya dari
jeratan kemiskinan yang selama ini membelenggunya, dan petani harus
ditingkatkan kesejahteraannya. Kelalaian melakukan hal tersebut di atas hanya
akan membawa kesengsaraan dalam pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 30 juta
orang atau sekitar 12,5 persen dari total penduduk Indonesia. Sebanyak 19 juta
penduduk miskin itu tinggal di pedesaan (63 persen) dan 11 juta sisanya tinggal
di perkotaan (37 persen). Sebagian besar (55 persen) dari jumlah penduduk
2-18
miskin di Indonesia adalah petani, dan 75 persen dari petani miskin itu adalah
petani tanaman pangan. Di satu sisi, sektor pertanian berperan penting dalam
penyediaan pangan bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan jika produk pangan
itu diekspor, maka sektor pertanian juga berjasa menyedediakan bahan pangan
bagi bangsa-bansga lain di dunia. Namun di sisi lain, sebagian besar dari petani
tanaman ini masih terjerat dalam kemiskinan, suatu fakta ironi yang segera
memerlukan penanggulangan yang lebih serius.
Setiap sepuluh tahun sekali, Indonesia melakukan Sensus Pertanian,
yang mencacah jumlah petani berikut kepemilikan lahan dan skala usahataninya.
Sensus Pertanian terakhir yang dilakukan adalah pada tahun 2003 yang
menghasilkan beberapa fakta kehidupan petani dan skala usahataninya. Pada
tahun 2013, Badan Pusat Statistik akan melakukan Sensus Pertanian 2013
(ST13) yang akan berupaya memutakhirkan fakta kehidupan petani Indonesia.
Sampai dengan tahun 2003, jumlah rumah tangga pertanian tercatat sekitar 24,9
juta atau meningkat sebesar 1,8 persen per tahun dari 20,8 juta pada tahun 1993
(Tabel 2.5). Jumlah petani gurem atau petani yang hanya menggarap lahan 0,5
hektar atau kurang juga ikut meningkat dari 10,8 juta rumah tangga (51,3 persen)
pada tahun 1993 menjadi menjadi 13,2 juta rumah tangga (53,3 persen) pada
tahun 2003. Hal yang menarik lagi adalah bahwa jumlah rumah tangga petani
padi dan palawija juga meningkat dari 17,5 juta rumah tangga pada tahun 1993
menjadi 18,3 juta rumah tangga pada tahun 2003. Akan tetapi, persentase
rumah tangga petani tanaman panga tersebut menurun dari 84,2 persen pada
tahun 1993 menjadi 73,4 persen pada tahun 2003.
1993
2003
Uraian Struktur
Delta
(% / th)
Jumlah
(ha)
17.548.000
Pangsa
(%)
84,24
Jumlah
(ha)
18.258.858
Pangsa
(%)
73,42
10.696.111
51,34
13.253.310
53,29
2,17
20.832.000
100,00
24.868.675
100,00
1,79
0,80
0,72
2-19
0,40
-1,05
2-20
Inilah kesempatan Anda untuk menunjukkan pada diri sendiri, bahwa Anda
mampu memahami substansi dari Bab 2 ini. Peran pertanian pada
pembangunan ekonomi setidaknya menjadi: 1) penyedia bahan pangan, (2)
sumber devisa negara, (3) penyedia tenaga kerja bagi sektor lain, (4)
pembentukan modal dan investasi, dan (5) stimulus terjadinya
industrialisasi. Apabila penjelasan yang Anda temui dalam buku ini terlalu
teknis-ekonomis, silakan saja menguraikan jawaban nomor 1 pada Latihan
Pemahaman ini menggunakan bahasa Anda sendiri yang mudah dicerna
oleh kalangan umum sekalipun.
2.
2-21
3.
4.
5.
2.7 Rangkuman
Bab 2 tentang Ekonomi Pertanian Indonesia ini telah membahas kondisi
dan masa depan ekonomi pertanian Indonesia, berikut perkembangan kinerja
pangan strategis dan solusi skala usaha ekonomi petani Indonesia.
Beberapa pokok penting Bab 2 Ekonomi Pertanian Indonesia sebagai berikut:
2-22
Kinerja lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi
dalam lima tahun terakhir tidak terlalu stabil sehingga mempengaruhi target
pencapaian swasembada yang telah dicanangkan pemerintah. Beberapa
komoditas mungkin akan mencapai swasembada, walau pun beberapa lagi
tidak mampu meningkatkan produksi di dalam negeri untuk memenuhi
tambahan permintaan pangan yang berkmbang pesat, mengikuti laju
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan dan elastisitas permintaan
pangan terhadap tambahan pendapatan.
Daftar Pustaka
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku KOMPAS
Arifin, Bustanul. 2013. Ekonomi pembangunan Pertanian. Bogor: IPB Press
2-23