Anda di halaman 1dari 23

Bab 2

Ekonomi Pertanian Indonesia


2.1 Pendahuluan
Bab 2 ini adalah penjelasan lebih rinci tentang ekonomi pertanian
Indonesia, dari konteks ekonomi makro dan konteks ekonomi mikro. Secara
makro, sektor pertanian telah berjasa menjadi salah satu basis ekonomi yang
cukup tangguh sepanjang sejarah Indonesia modern. Pada masa lalu, sektor
pertanian bahkan menjadi penyumbang pertumbuhan sampai satu persen pada
kinerja pertumbuhan ekonomi yang pernah mencapai 7 persen per tahun.
Produksi pertanian penting dan penerimaan devisa dari sektor pertanian pernah
dimanfaatkan untuk memperkuat neraca pembayaran dan neraca perdagangan.
Seluruh bangsa Indonesia tidak akan lupa bagaimana pada tahun 1985 Presiden
Soeharto sampai naik ke atas mimbar untuk menerima penghargaan medali
emas dari Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) karena telah berhasil
mengubah status negara importir beras terbesar di dunia menjadi negara yang
mencapai swasembada beras. Ekonomi pertanian Indonesia tentu bukan hanya
fokus pada komoditas beras sebagai pangan pokok, karena sangat banyak
produk pertanian dalam arti luas: tanaman pangan, perkebunan, peternakan,
kehutanan dan perikanan yang menentukan kinerja perekonoman Indonesia.
Secara mikro, ekonomi pertanian Indonesia juga membahas kinerja skala
usaha ekonomi petani, beserta konsekuensi dan tingkah laku yang
menyertainya. Petani dan pelaku ekonomi lain di bidang apa pun pasti bekerja
berdasarkan ekspektasi untuk memperoleh tambahan pendapatan yang lebih
tinggi. Apabila ekspektasi positif ini tidak dapat terpenuhi, maka agak sulit bagi
siapa pun untuk berharap bahwa petani akan termotivasi untuk meningkatkan
produksi dan produktivitas pertanian. Dari aspek mikro seperti ini, proses
pengambilan keputusan ekonomi akan menentukan kinerja makro seperti
peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan tingkat pendapat rumah
tangga, peningkatan produktivitas tenaga kerja, sampai pada pengurangan
angka kemiskinan dan tingkat pengangguran. Pembangunan pertanian
dikatakan berhasil apabila telah mampu menjadi pengganda pendapatan
(income multiplier) dan pengganda lapangan kerja (employment multiplier) bagi
perekonomian keseluruhan.
Setelah mempelajari Bab 2 ini, Anda diharapkan mampu menjelaskan
kondisi dan masa depan ekonomi pertanian Indonesia. Secara khusus, setelah
mempelajari Bab 2 ini, Anda diharapkan mampu:
(1)

Menjelaskan kondisi dan masa depan ekonomi pertanian Indonesia.

(2)

Menjelaskan kinerja komoditas pertanian strategis di Indonesia.

(3)

Menjelaskan faktor skala ekonomi usahatani pada dimensi kesejahteraan


2-1

2.2 Peran Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi


Persepsi umum selama ini adalah bahwa Indonesia adalah negara
agraris, karena lebih dari 40 persen penduduknya sangat tergantung pada sektor
pertanian. Persepsi seperti ini tidak selamaya salah karena sejak masa Presiden
Soeharto pembangunan pertanian (dalam arti luas) hampir selalu menjadi
prioritas pembangunan nasional. Di dalam ekonomi pembangunan, sektor
pertanian itu meliputi lima sub-sektor yang sampai saat ini digunakan dalam
nomenklatur dan statistik resmi negara, yaitu: tanaman pangan, perkebunan,
peternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor pertaian yang tangguh digunakan
sebagai landasan utama menuju industrialisasi dan modernisasi pada sektor
industri pengolahan, plus sektor jasa dan keuangan yang menjadi ciri-ciri negara
modern. Pentahapan pembangunan cukup jelas dilaksanakan secara gradual
dalam periode lima tahunan, sehingga istilah Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) cukup melegenda sebagai acuan perencanaan pembangunan.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sektor pertanian
juga kembali memperoleh perhatian dalam proses perumusan kebijakan
pembangunan ekonomi. Strategi revitalisasi pertanian pernah dicanangkan pada
tahun 2005 untuk menghidupkan kembali pembangunan pertanian, yang pernah
mewarnai kisah keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. Indonesia juga
saat ini memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang
disusun setiap lima tahun, mirip dengan Repelita pada masa lalu. Secara makro
dan jangka panjang, Indonesia juga memiliki Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) untuk periode 2005-2024 sebagai panduan perumusan RPJM di
dalam periode pemerintahan yang berbeda, kemungkinan dengan prioritas
pembangunan yang berbeda pula.
Sektor pertanian berperan sangat penting bagi pembangunan ekonomi
Indonesia setidaknya dalam dalam lima hal berikut ini: (1) penyedia bahan
pangan, (2) sumber devisa negara, (3) penyedia tenaga kerja bagi sektor lain, (4)
pembentukan modal dan investasi, dan (5) stimulus terjadinya industrialisasi.
Secara singkat pembahasan peran sektor pertanian dalam pembangunan
ekonomi itu akan diuraikan sebagai berikut:
(1) Penyedia bahan pangan. Pangan utama bagi umat manusia (dan
pakan bagi binatang) dihasilkan dari sektor pertanian. Pertanian menghasilkan
produk biji-bijian seperti: beras, jagung, kedelai, gula, gandum, sorgum, barley,
dan lain-lain. Pertanian menghasilkan minyak nabati, seperti minyak sawit,
minyak kelapa, minyak matahari, minyak kanola, dan lain-lain. Pertanian
menghasilkan minuman dan rempah seperti kopi, kakao, teh, cincau, cengkeh,
lada, kayu manis, kemiri, dan sebagainya. Pertanian menghasilkan daging dan
sumber protein nabati lain dari sapi, kerbau, ayam, unggas, babi, telur dan
sebagainya. Pertanian juga menghasilkan sandang dan bahan baku industri
yang berasal dari serat seperti: kapas, rami, abasa, dan lain. Sampai saat ini
belum banyak industri yang mampu memproduksi pangan tiruan menggunakan

2-2

zat kimia, sebagaimana yang dipergunakan oleh pekerja luar angkasa. Namun
demikian, sudah cukup banyak industri yang mampu menghasilkan produk
sandang tiruan yang terbuat dari polyester dan bahan sintesis yang diolah dari
minyak bumi. Oleh karena itu, sampai sekian tahun ke depan, peran penting
bagi sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan masih tidak akan
tergoyahkan. Hal ini juga berimplikasi jika sektor pertanian terganggu, suplai
pangan juga akan terganggu.
(2) Sumber devisa negara. Komoditas perkebunan lebih banyak yang
digunakan untuk memenuhi tujuan pasar ekspor dan menghasilkan devisa bagi
pembangunan ekonomi makro Indonesia. Indonesia adalah produsen dan
eksportir terbesar untuk minyak kelapa sawit mentah (CPO=crude palm oil), dan
telah melampaui produksi dan ekspor minyak kelapa sawit Malaysia sejak tahun
2006. Ekspor CPO Indonesia pada tahun 2011 mencapai hampir 17 juta ton
dengan devisa senilai US$ 16 juta, suatu jumah yang sangat besar dan mungkin
belum terbayangkan 30 tahun yang lalu, ketika pertama kali kelapa sawit
dikembangkan. Indonesia adalah eksportir karet nomor dua terbesar setelah
Thailand, dengan total ekspor sekitar 2 juta ton dan devisa di atas US$ 3,2 juta
karena harga karet dunia yang fluktuatif. Indonesia adalah eksportir kakao
nomor tiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Tanzania, dengan total
ekspor sekitar 440 ribu ton dan devisa di atas US$ 1 juta. Indonesia adalah
eksportir kopi nomor empat terbesar di dunia setelah Brazil, Kolombia dan
Vietnam, dengan total ekspor sekitar 510 ribu ton dan devisa sekitar US$ 1 juta.
Indonesia juga dikenal sebagai eksportir komoditas perkebunan dan tanama
rempah lain yang sangat khas tropis, seperti lada kayu manis, minyak atsiri, dan
lain-lain yang nyaris tidak ada tandingannya. Hal yang perlu dicatat adalah
bahwa menggantungkan sepenuhnya pada pasar ekspor juga tidak baik, apalagi
dalam produk mentah atau setengah jadi, karena risiko ekonomi dunia yang
semakin tidak menentu. Indonesia telah saatnya berusaha meningkatkan nilai
tambah dari ekspor komoditas pertanian seperti disebutkan di atas.
(3) Penyedia tenaga kerja bagi sektor lain. Sektor pertanian, yang
sebenarnya juga berhubungan dengan sektor perdesaan, juga telah lama dikenal
sebagai penyedia tenaga kerja bagi sektor lain. Sumber tenaga kerja sektor
pertanian bagi sektor lain dapat berupa faktor pendorong (push-factor) dan
dapat berupa faktor penarik (pull-factor). Push-factor berkonotasi negatif, karena
menunjukkan adanya kemiskinan di sektor pertanian dan pedesaan, sehingga
mereka yang bekerja di sektor industri dan jasa merasa terdorong atau terlempar
dari desanya sendiri. Hal ini juga berimplikasi bahwa sektor pertanian di
desanya tidak mampu menghasilkan produk yang mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Dalam istilah ekonomi, elastisitas suplai tenaga kerja
sektor pertanian di sini hampir mencapai elastis sempurna, bahwa berapa pun
jumlah tenaga kerja yang ditambah, produksi dan produktivitas tidak banyak
bertambah. Sebaliknya, pull-factor berkonotasi positif karena sektor nonpertanian lebih atraktif bagi tenaga kerja pertanian dan perdesaan pertanian
yang memiliki ketrampilan tertentu. Mereka bekerja di sektor industri dan jasa
karena memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang lebih tinggi, sehingga
berkontribusi bagi peningkatan produksi dan produktivitas perekonomian. Di
2-3

sinilah proses pembangunan yang bervisi peningkatan nilai tambah dan


produktivitas itu mulai terjadi.
(4) Sumber pembentukan modal dan investasi. Produksi pertanian dan
hasil samping lain dari penjualan produk pertanian (setelah dikurangi konsumsi
sendiri) dapat dipergunakan untuk pembentukan modal baru dan investasi pada
sektor pertanian dan sektor lain yang relevan. Pada tahap awal proses
pembangunan, laju pembentukan modal baru ini sebenarnya tergantung pada
jenis lapangan kerja yang dapat diisi oleh limpahan tenaga kerja sektor
pertanian. Apabila orientasi produksi pertanian masih subsisten atau untuk
memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya, maka laju pembentukan modal
itu akan rendah. Akan tetapi, apabila orientasi produksi pertanian telah semakin
modern, komersial dan bervisi pasar dengan berbagai macam tantangan yang
dihadapinya, maka laju pembentukan modal akan lebih besar, karena di sana
terdapat perbedaan produktivitas tenaga kerja yang terlibat. Kata kunci yang
utama di sini adalah peningkatan produktivitas di sektor pertanian, yang mampu
berkontribusi pada pembentukan modal untuk pembangunan infrastruktur dan
pembangunan industri manufaktur. Peningkatan produktivitas ini dapat juga
berimplikasi penggunaan input yang lebih kecil, harga produk yang semakin
terjangkau, dan penerimaan petani yang semakin besar. Dari sinilah
pembentukan modal atau investasi baru di bidang pertanian dan non-pertanian
seperti industri dan jasa dapat bergulir.
(5) Stimulus terjadinya industrialisasi. Dengan semakin banyaknya uang
yang beredar di sektor pertanian dan perdesaan, maka kondisi tersebut menjadi
salah satu stimulus terjadinya industrialisasi atau peningkatan nilai tambah
sektor pertanian. Benar bahwa keputusan investasi untuk peningkatan nilai
tambah itu tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan modal di pedesaan, tapi
juga oleh kondisi permintaan dan tingkat keuntungan yang akan diperoleh dari
peningkatan kapasitas produksi. Sebaliknya, dengan semakin banyaknya uang
yang beredar di sektor pertanian dan perdesaan, maka sektor ini akan menjadi
salah satu pasar potensial bagi produk-produk sektor industri dan jasa.
Peningkatan daya beli petani dan penduduk pedesaan menjadi salah satu kunci
penting dalam proses pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang,
tidak terkecuali di Indonesia. Pembahasan lebih lanjut tentang stimulus
terjadinya industrialisasi ini sebenarnya masih tergantung pada ukuran pasar,
yang akan mementukan keputusan investasi untuk industrialisasi. Dengan kata
lain, kontribusi pembentukan modal dan industrialisasi dalam sektor pertanian ini
menjadi salah satu faktor penting dalam proses transformasi struktural
pereknomian suatu negara. Semakin mulus proses transformasi struktural
tersebut, maka perjalanan pembangunan ekonomi akan memberikan manfaat
tambahan efisiensi dan dampak kesejahteraan bagi segenap pelaku yang terlibat
dan warga negara secara umum.
Proses transformasi struktural yang dimaksudkan adalah bahwa pangsa
(share) sektor pertanian dalam perekonomian negara atau Produk Domestik
Bruto (PDB) pasti semakin menurun, seiring dengan majunya suatu bangsa atau
seiring dengan pertambahan pendapatan warga negara. Di negara-negara

2-4

miskin, data Bank Dunia menunjukkan bahwa pangsa sektor pertanian terhadap
PDB menurun dari sekitar 60 persen pada tahun 1965 menjadi sekitar 20 persen
pada tahun 2010. Demikian pula di kelompok negara middle-income, persentase
di atas menurun dari 22 persen menjadi 13 persen. Sementara di negara-negara
maju, angka penurunannya tercatat dari 5 persen menjadi 2 persen untuk
periode yang 1965-2010.
Di Indonesia, penurunan itu juga terekam dalam data Badan Pusat
Statistik (BPS) yang menujukkan bahwa kontribusi sektor pertanian juga
mengalami penurunan, dari sekitar 50 persen pada tahun 1960-an, 20.2 persen
pada tahun 1988, turun menjadi 17.2 persen pada tahun 1996. Pangsa sektor
pertanian tersebut terus menurun menjadi hanya 15.6 persen pada tahun 2000
dan hanya 14,7 persen pada tahun 2011 (sebagian termuat pada Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Pangsa Sektoral dalam PDB Indonesia (dalam persen)

Pertanian
Tanaman Pangan
Perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan-Penggalian
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
Konstruksi
Perdaga, Hotel-Restoran
Transportasi Komunikasi
Keuangan, Jasa & Bisnis
Jasa-Jasa Lainnya
Total PDB

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011


14,3
13,1
13,0
13,7
14,4
15,3
15,3
14,7
7,2
6,5
6,4
6,7
7,0
7,5
7,5
7,1
2,2
2,0
1,9
2,1
2,1
2,0
2,1
2,1
1,8
1,6
1,5
1,6
1,7
1,9
1,9
1,7
0,9
0,8
0,9
0,9
0,8
0,8
0,8
0,7
2,3
2,1
2,2
2,5
2,8
3,2
3,1
3,1
8,9
11,1
11,0
11,2
11,0
10,6
11,2
11,9
28,1
27,4
27,5
27,1
27,9
26,4
24,8
24,3
1,0
1,0
0,9
0,9
0,8
0,8
0,8
0,7
6,6
7,0
7,5
7,7
8,5
9,9
10,3
10,2
16,1
15,6
15,0
14,9
14,0
13,3
13,7
13,8
6,2
6,5
6,9
6,7
6,3
6,3
6,6
6,6
8,5
8,3
8,1
7,7
7,4
7,2
7,2
7,2
10,3
10,0
10,1
10,1
9,8
10,2
10,2
10,5
100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

Sumber: Badan Pusat Statistik (berbagai tahun terbitan)


Sebenarnya, fakta penurunan pangsa itu merupakan fenomena alamiah
biasa. Makin berkembang suatu negara, maka akan makin kecil kontribusi sektor
pertanian atau sektor tradisional dalam PDB. Penjelasan tentang proses
penurunan kontribusi ini dapat dirunut balik jauh pada Hukum Engle, yang
mengatakan bahwa jika pendapatan meningkat, maka proporsi pengeluaran
terhadap bahan-bahan makanan yang nota bene diproduksi sektor pertanian
akan makin menurun. Dalam istilah ekonomi, elastisitas permintaan terhadap
makanan lebih kecil dari satu atau tidak anjal (inelastic), sehingga peningkatan
permintaan terhadap bahan makanan tidaklah sebesar permintaan terhadap

2-5

barang-barang hasil sektor industri dan jasa. Dengan sendirinya kontribusi sektor
pertanian terhadap PDB akan makin kecil dengan semakin besarnya tingkat
pendapatan. Siapa pun yang belajar ekonomi pertanian pasti tidak akan
membuat kesimpulan bahwa karena penurunan pangsa di atas, maka sektor
pertanian menjadi semakin tidak penting. Justeru seballiknya yang terjadi,
bahwa sektor pertanian menjadi landasan pembangunan ekonomi yang paling
penting, yang akan mementukan perjalanan dan keberhasilan sektor industri dan
jasa, apalagi untuk negara agararis dan berbasis maritim seluas Indonesia.
Pembangunan pertanian modern dapat ditelusuri dari meningkatnya
penggunaan input produksi pertanian, terutama penggunaan pupuk kimia (anorganik) dan benih unggul, sejak Revolusi Hijau. Pada saat ini Indonesia juga
mengembangkan kebijakan dan program bimbingan massal (Bimas) dan
intensifikasi massal (Inmas), sejak akhir dekade 1960an. Kemudian pada dekade
1970an, masyarakat tani telah banyak mengenal prinsip-prinsip budidaya
tanaman yang baik, yang dikenal dengan Panca Usaha: (1) benih unggul, (2)
pupuk dan pemupukan, (3) sistem irigasi dan pengelolaan air, (4), pengaturan
jarak tanam, dan (5) penanggulangan hama dan penyakit tumbuhan. Metode
Panca Usaha kemudian disempurnakan menjadi tujuh aspek atau Sapta Usaha,
dengan memasukkan komponen (6) panen dan panca usaha, seperti
pemasaran, pembiayaan, serta (7) penyuluhan pertanian.
Saat ini Indonesia menggunakan instrumen strategis dalam pembangunan
ekonomi pertanian: subsidi harga output melalui harga pembelian pemerintah
(HPP) dan subsidi input melalui subsidi pupuk, benih, modal kerja, seperti kredit
ketahanan pangan dan energi (KKPE), kredit koperasi primer kepada
anggotanya (KKPA), bantuan langsung kepada masyarakart (BLM) seperti
pengembangan usaha agribisnis pedesaan (PUAP), lembaga usaha ekonomi
pedesaan (LUEP) dan lain-lain. Secara ideologi, subsidi digunakan adalah
melindungi petani dan mengurangi risiko panen dan risiko fluktuasi harga, plus
untuk mengamankan rezim atau suatu administrasi pemerintahan. Logikanya,
harga output yang tinggi diharapkan mampu menjadi insentif bagi peningkatan
produksi dan produktivitas; sedangkan ketersediaan input diharapkan
mengurangi beban petani karena fluktuasi harga dan gejolak eksternal. Secara
umum dapat dikatakan bahwa subsidi pertanian, baik input maupun subsidi
output, telah cukup efektif walaupun belum dapat dievaluasi secara menyeluruh
(Arifin, 2009).
Pada RAPBN 2012, total subsidi pertanian sekitar Rp 32,8 triliun yang
terdiri dari subsidi pupuk Rp 16,9 triliun, subsidi pangan Rp 15,6 triliun dan
subsidi benih Rp 0.3 triliun. Jika ditambahkan dengan subsidi kredit program Rp
1,2 triliun, yang juga banyak dialokasikan untuk sektor pertanian, maka total
subsidi perrtanian telah mencapai Rp 34 triliun, suatu jumlah yang tidak kecil.
Lonjakan angka subsidi pupuk dari Rp 6,3 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp
15,2 triliun pada tahun 2008, lalu melonjak sampai Rp 18,8 triliun pada 2011
tentu menimbulkan pertanyaan lebih strategis tentang efisiensi dan efektivitas
subsidi tersebut. Demikian pula tentang angka subsidi pupuk pada RAPBN 2012
sampai mendekati Rp 17 triliun tersebut tentu menjadi pusat perhatian karena

2-6

masih sering terdengar berita kelangkaan pupuk pada saat musim tanam.
Subsidi pupuk yang selama ini diberikan kepada pabrik pupuk yang kebanyakan
dimiliki oleh negara (BUMN), karena harus menanggung lonjakan kenaikan
harga gas di pasar internasional, walaupun bahan baku utama industri pupuk
tersebut diproduksi oleh BUMN. Angka subsidi benih menjadi Rp 0,3 triliun pada
tahun 2012 (yang sebenarnya menurun drastis dibandingkan dengan Rp 1,3
triliun pada saat Pemilihan Umum 2009 ) sebagai upaya untuk meningkatkan
penggunaan benih bersertifikat oleh petani tanaman pangan.

2.3 Pertumbuhan Sektor Pertanian

Perjalanan pertanian Indonesia selama empat dasa terakhir, proses jatuhbangun sektor utama perekonomian juga berhubungan dengan unsur-unsur
yang disebutkan di atas. Pertanian Indonesia pernah tumbuh tinggi sejak dekade
1970 dan 1980an, lalu melambat dan stagnan pada awal 1990an, kemudian
terakumulasi krisis ekonomi Asia, dan mencoba bangkit pada era desentralisasi,
walaupun kembali harus menabrak tembok krisis ekonomi dan krisis keuangan
global. Faktor sukses dari pertumbuhan pertanian Indonesia adalah interaksi
antara sains, teknologi, budaya, sumberdaya, infrastruktur, kewirausahaan,
bisnis, pasar, kelembagaan, dukungan kebijakan, dan sebagainya. Faktor
kegagalan juga dapat dilihat dari sisi lain faktor sukses di atas, ditambah dengan
kelalaian pemihakan, pengabaian hak-hak dasar petani serta ketidaktepatan
strategi kebijakan ekonomi makro umumnya.
Pada era 1980an, kinerja pertumbuhan pertanian Indonesia 5,8 persen
per tahun tidak dapat dilepaskan dari kematangan inovasi dan perubahan
teknologi pertanian, terutama di Jawa dan sentra produksi pangan lainnya.
Tidak secara kebetulan pula, apabila sentra produksi padi dan palawija di Jawa,
Bali, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan lain-lain pada
waktu itu sangat identik tingkat kemakmuran masyarakat. Perlambatan
pertanian sejak awal 1990an dapat dijelaskan dengan kegagalan Indonesia
melakukan pelembagaan (institusionalisasi) inovasi dan perubahan teknologi
baru. Sektor pertanian tumbuh cukup lambat setelah era krisis ekonomi tahun
1998 dan era otonomi daerah saat ini. Banyak kaum awam mengira bahwa era
reformasi dan desentralisasi akan menjadi pintu masuk untuk melakukan
reformasi dan pembenahan kelembagaan perubahan teknologi pertanian.
Nampaknya, ekspektasi tersebut masih harus tertunda karena pembenahan
governansi dan kualitas kebijakan pembangunan pertanian memerlukan waktu
yang tidak sebentar.

2-7

Tabel 2.2 Kinerja Pertumbuhan Sektor Pertanian, 2004-2011 (persen)


Uraian

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2,82

2,72

3,36

3,43

4,77

3,96

2,99

2,95

Tan. Pangan

2,89

2,60

2,98

3,35

5,91

4,97

1,64

1,26

Perkebunan

0,40

2,48

3,79

4,40

3,84

1,73

3,41

3,94

Peternakan

3,35

2,13

3,35

2,36

3,89

3,45

4,27

4,49

Kehutanan

1,28

-1,47

-2,85

-1,10

-0,39

1,82

2,41

0,65

Perikanan

5,56

5,87

6,90

5,39

4,81

4,16

6,04

6,72

5,03

5,69

5,50

6,35

6,01

4,63

6,20

6,46

PDB Pertanian

PDB Total

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), berbagai tahun


Selama dua tahun terakhir, sektor pertanian tumbuh di bawah 3 persen
per tahun, setelah tumbuh cukup tinggi pada tahun 2006-2009 (Tabel 2.2).
Kecuali sektor kehutanan, keempat sektor pertanian sebenarnya menunjukkan
kinerja yang cukup baik, walaupun masih banyak kendala di lapangan. Angka
pertumbuhan sempat mencatat angka pertumbuan 4.8 persen per tahun tahun
2008 karena kinerja produksi padi yang membaik serta lonjakan harga produk
perkebunan pada saat krisis finansial global, seperti kelapa sawti, kelapa, kopi,
kakao, karet dan lain-lain. Setelah harga di tingkat global kembali pada tingkat
normal pada tahun 2010, kinerja pertumbuhan sektor pertanian kembali stabil
pada angka rendah, di bawah 3 persen per tahun.
Dalam ilmu ekonomi, faktor produksi benih dianggap satu kesatuan
dengan faktor produksi pupuk, pengelolaan air, pengendalian hama-penyakit,
teknik budidaya dan lain-lain. Perubahan teknologi itu adalah faktor endogen
dalam proses produksi, bukan semata faktor eksogen, apalagi yang berbau
mistik. Inovasi dan teknologi baru tidak akan muncul pada masyarakat dengan
kualitas sumberdaya manusia ala kadarnya, kualifikasi pemulia tanaman tidak
tangguh, kelembagaan riset dan pengembangan (R&D) primitif, dan sistem
administrasi serampangan, apalagi dengan budaya instan. Dengan aransemen
kelembagaan yang beradab, dukungan organisasi sosial-kemasyarakatan yang
menjunjung tata-pamong (governance) yang memadai, serta proses industrial
dengan falsafah kesetaraan stakeholders politik, maka benih unggul akan benarbenar menjadi produk perubahan teknologi yang membawa kemaslahatan umat
manusia.
Para Founding Fathers bangsa ini sebenarnya telah meletakkan dasardasar pembangunan ekonomi pertanian untuk menjawab tantangan ke depan.
Pada waktu meletakkan batu pertama pembangunan kampus Institut Pertanian
Bogor (IPB) di Baranangsiang tahun 1952, Presiden Soekarno mengatakan
bahwa pangan adalah urusan hidup atau mati suatu bangsa. Ungakapan itu
2-8

sekaligus berfungsi sebagai fondasi semangat kemandirian dan kedaulatan


bangsa Indonesia. Pada waktu menerima penghargaan swasembada beras dari
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma tahun 1985, Presiden
Soeharto menyebutkan ketangguhan petani dan kelembagaan masyarakat
sebagai salah satu kunci keberhasilan Indonesia. Peningkatan produktivitas padi
tidak akan banyak berarti jika tidak ada kelembagaan masyarakat yang mampu
beradaptasi dengan perubahan lingkungan internal dan eksternal.
Indonesia telah lama memiliki banyak daerah lumbung pangan pokok,
khususnya beras, mulai dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, Lombok dan
sebagian Nusa Tenggara Timur. Daerah lain sebenarnya juga menghasilkan
pangan pokok, walau tidak cukup besar untuk disebut sebagai lumbung pangan.
Tidak secara kebetulan apabila daerah lumbung pangan juga mejadi simbol
kemakmuran. Tingkat pendikan dan kesejehteraan masyarakat sentra produksi
beras relatif lebih tinggi, dibandingkan daerah lain non-sentra beras. Pada akhir
masa administrasinya, Presiden Soekarno menggulirkan program Bimbingan
Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas) yang dianggap sebagai inovasi
kelembagaan tiada tandingan, di belahan bumi mana pun. Perubahan besar
teknologi pertanian yang terjadi di tingkat global diterjemahkan secara sederhana
tapi brilian, dengan bantuan para mahasiswa tingkat akhir di IPB dan perguruan
tinggi lain, menjadi langkah-langkah pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan produktivitas padi sebagai pangan pokok.
Presiden Soeharto menyempurnakannya dengan program Intensifikasi
Khusus (Insus) dan turunannya dengan secara disiplin melalui birokrasi
pemerintah, untuk melaksanakan pengolahan lahan, penggunaan benih unggul,
pengelolaan air irigasi, pupuk dan pemupukan, dan pengendalian hama-penyakit
(Panca Usahatani). Program ini kemudian dilengkapi penanganan panen-pasca
panen dan pemasaran hasil (Sapta Usahatani). Kelembagaan petani, kelompok
tani dan organisasi masyarakat di pedesaan juga dibentuk dan didampingi
secara spartan oleh para penyuluh pertanian lapangan (PPL) dengan kualifikasi
akademik dan integritas pengabdian yang mengagumkan. Para PPL ini bersama
akademisi berbagai universitas telah menjadi jembatan penghubung yang
mumpuni antara dunia teori dan dunia praktis di tingkat lapangan.
Petani dibuat lebih nyaman menerapkan teknik-teknik budidaya pertanian
sesuai anjuran karena negara cukup konsisten menyediakan prasyaratnya.
Negara membangun bendungan besar dan kecil, yang tidak hanya berfungsi
mengatur air untuk keperluan irigasi persawahan, tetapi juga berfungsi sebagai
pembangkit listrik. Siapa yang tidak kenal Bendungan Asahan, Singkarak, Way
Seputih, Jatiluhur, Kedong Ombo, Jeratunseluna dan sebagainya. Negara juga
mencetak sawah-sawah baru beririgasi teknis, untuk menjawab tantangan
peningkatan permintaan pangan. Kelembagaan perkumpulan petani pemakai air
(P3A) juga dikembangkan dan dihidupkan, sehingga pengelolaan air irigasi
mampu lebih operasional di lapangan. Menariknya, kelembagaan tradisional
yang telah lama ada seperti sistem irigasi subak pada masyarakat Bali tetap
dilestarikan sehingga mekanisme governansi pelaksanaan program seakan
memperoleh check and balances yang efektif dan tidak terlalu riuh.

2-9

Dalam ekonomi pertanian, proses perubahan teknologi biologi-kimiawi


serta teknologi mekanis yang begitu progresif tersebut sebagai teori inovasi yang
dirangsang atau induced innovation. Perubahan teknologi ini juga merangsang
inovasi kelembagaan, perubahan sistem nilai, tingkat efisiensi dan tambahan
pendapatan serta kesejehteraan petani yang sangat signifikan. Misalnya,
produktivitas padi Indonesia rata-rata saat ini baru tercatat 4,7 ton per hektar,
cukup jauh dari produktivitas ideal di tingkat percobaan yang dapat mencapai 8,3
ton per hektar. Dalam beberapa kasus percobaann benih baru, produktivitas
varietas unggul bahkan mencapai dua digit. Kesenjangan (gap) antara hasilhasil riset di laboratorium/ stasiun percobaan dan di tingkat lapangan/kehidupan
petani terasa semakin tinggi karena institusi yang ada tidak mampu
menjembataninya dengan memadai. Pada skala percobaan, tentu saja
ketersediaan air, kebutuhan input dan teknologi baru dapat tersedia denga cepat,
serta kombinasi faktor produksi tersebut sangat sesuai dengan tingkat anjuran
atau kaidah-kaidah buku teks. Sedangkan pada tingkat lapangan, petani
Indonesia justru sering menghadapi kelangkaan pupuk, ketidaktersediaan benih
unggul, dan rusaknya infrastruktur irigasi, jalan produksi, jalan desa dan lain-lain,
sehingga produksi pertanian di lapangan tidak mampu menyamai produksi di
tingkat kebun percobaan.
Selama dua dekade terakhir, bioteknologi seakan menjadi harapan baru
dalam upaya meningkatkan kapasitas produksi pertanian, produksi dan
produktivitas pangan dan pertanian secara umum. Para ilmuwan dan peneliti
telah bekerja keras untuk menghasilkan temuan-temuan yang spektakuler di
bidang teknologi produksi pangan. Mereka sedang mengembangkan Revolusi
Hijau Generasi Kedua dengan bioteknologi pertanian dan perubahan aransemen
kelembagaan yang diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yang berubah
demikian cepat. Esensinya adalah bahwa para perumus kebijakan dan dunia
usaha perlu lebih pro-aktif dan berlapang dada untuk memanfaatkan hasil-hasil
penelitian dan inovasi teknologi yang dihasilkan. Petani sebagai pelaku utama
memiliki keterbatasan dalam mengelola dan memodifikasi lingkungan biofisik
dan sosial ekonomi sistem produksi pertanian. Petani sulit sekali untuk mampu
mempengaruhi lingkungan kebijakan, apalagi untuk mengubah landasan
ekonomi makro, yang menentukan tingkat kesejahteraannya.
Logika teori ekonomi dalam konteks peningkatan kapasitas produksi
pangan itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada level kapasitas yang sama,
pengaturan teknik budidaya, penanggulangan hama dan penyakit, dan
pengelolaan air irigasi hanya mampu meningkatkan produksi pertanian
sekadarnya. Berbeda halnya jika kapasitas produksinya ditingkatkan, apalagi
jika dikombinasikan dengan langkah intensifikasi, maka produksi pertanian akan
melompat berlipat-lipat. Kisah lonjakan produktivitas jagung tidak dapat
dilepaskan dari penggunaan dan adopsi benih jagung hibrida. Para ilmuwan dan
peneliti telah mampu mengembangkan inovasi dan perubahan teknologi,
termasuk pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi pertanian, yang
sebenarnya mampu meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas
pertanian.

2-10

Dalam hal ini, bioteknologi pertanian meliputi juga produk hibrida dan
produk rekayasa genetika (PRG), memang diharapkan memberikan lonjakan
produksi pangan yang signifikan. Dalam bahasa ekonomi, bioteknologi itu
adalah perubahan teknologi yang mampu menggeser kurva produksi ke atas
sehingga kapasitas produksinya meningkat. Pada suatu proses yang normal,
masyarakat dapat melakukan langkah penyesuaian dan keseimbangan baru,
sehingga menghasilkan budaya dan kelembagaan baru untuk memanfaatkan
atau berinteraksi dengan produk bioteknologi. Fenomena ini mirip dengan
fenomena Revolusi Hijau empat dasa warsa lalu atau perubahan teknologi
biologi-kimiawi yang mampu melonjakkan produktivitas pangan berlipat-lipat.
Pada waktu itu, hanya sedikit yang mampu menduga bahwa umat manusia
dapat terlepas dari Jebakan Malthus (Malthusian Trap) dan minimal mampu
bertahan hingga sekarang.
Dalam kasus pengembangan bioteknologi dengan modifikasi organisme
atau rekayasa genetika, langkah seperti itu sering juga disebut transgenik karena
prosedurnya melibatkan perubahan struktur gen benih dan/atau bagian lain dari
tanaman untuk tujuan tertentu, seperti peningkatan produksi dan produktivitas,
ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman, perbaikan kandungan protein,
modifikasi kandungan lemak, kolesterol dan kualitas nutrisi lainnya. Para
ilmuwan Indonesia sebenarnya telah banyak menghasilkan temuan-temuan baru
varietas pangan unggul, walaupun masih pada skala laboratorium dan kebun
percobaan, sehingga belum mampu disebarluaskan kepada masyarakat luas.
Hampir semua perguruan tinggi besar dan lembaga riset milik negara telah
mengembangkan bioteknologi pertanian, walau pun hasil penelitiannya belum
dapat dinikmati langsung oleh petani dan masyarakat luas. Risiko bisnis dan
konsekuensi sosial-ekonomi-politik yang perlu diantisipasi dalam pengembangan
biotenologi untuk meningkatkan produksi pangan tentu harus mampu
dikuantifikasi secara baik. Kegagalan mengidentifikasi risiko ini dapat berdampak
lebih buruk karena menyangkut sekian macam pemangku kepentingan, bahkan
strategi pembangunan ekonomi nasional secara keseluruhan.
2.4 Perkembangan Produksi Pangan
Perkembangan produksi pangan Indonesia kembali memperoleh
tantangan yang cukup berat setelah sekian macam faktor eksternal seperti
perubahan iklim, eskalasi harga pangan strategis, dan lain-lain semakin nyata
mengancam kinerja produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri.
Tantangan itu menjadi semakin berat setelah perkembangan ekonomi pangan di
tingkat global juga bergerak ke arah yang semakin tidak menentu. Struktur
perdagangan komoditas pangan pokok, terutama beras, semakin sulit dipercaya
setelah negara-negara produsen beras lebih banyak terfokus untuk mengatasi
persoalan-persoalan di dalam negerinya sendiri. Mereka tidak jarang melakukan
kejutan-kejutan perdagangan (trade shock) seperti restriksi ekspor dan proteksi
berlebihan, sehingga Indonesia tidak pantas menggantungkan urusan ketahanan

2-11

pangannya hanya kepada beras impor. Sementara itu, di dalam negeri, dampak
perubahan iklim dan inkonsistensi kebijakan pangan telah mulai terlihat nyata
pada kinerja produksi pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai tahun
2011. Produksi pangan akan menjadi cerah atau suram sebenarnya banyak
ditentukan oleh kesungguhan pemerintah sebagai pemilik kewenangan eksekusi,
beserta seluruh pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun dan
melaksanakan rencana pembangunan pertanian yang telah dirumuskan.
Perlu disampaikan di sini bahwa pada krisis pangan global tahun 2008,
Indonesia mampu meredam dampak kenaikan harga pangan di tingkat global
karena iklim dan cuaca agak bersahabat. Pada waktu itu kinerja produksi pangan
pokok, terutama beras, dan manajemen stok pangan cukup baik, sehingga
kenaikan harga pangan di dalam negeri tidak sedahsyat yang diperkirakan.
Tidak berlebihan untuk disamapikan bahwa kini dunia kembali dikhawatirkan
dengan persoalan ketahanan pangan, terutama dari dimensi ketersediaan,
aksesibilitas, dan stabilitas harga pangan, mengingat fenomena perubahan iklim
tidak mampu sepenuhnya diantisipasi dengan baik. Beberapa analisis
memperikirakan, jika pun terjadapat persoalan ketahanan pangan, maka skala
dan besaran (magnitude), serta tingkat kedalamannya tidak seburuk seperti pada
waktu krisis pangan global 2008. Namun, beberapa analisis lain justru lebih
pesimis dan memprediksi bahwa saat ini dan beberapa tahun ke depan dapat
saja terjadi krisis pangan yang lebih buruk dari pada krisis pangan pada tahun
2008. Lembaga-lembaga publik di tingkat internasional seperti Organisasi
Pangan Dunia (FAO), Organisasi ekonomi negara-negara naju (OECD), Bank
Dunia, dan lain-lain tampak sangat hati-hati memaknai fenomena ekonomi
pangan akhir-akhir ini.
Secara makro, neraca keseimbangan pangan juga ditentukan oleh
permintaan dan kinerja produksi atau suplai pangan. Berdasarkan hasil Sensus
Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia tercatat 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun. Laju pertumbuhan
sebesar itu tentu merupakan lonjakan yang signifikan dari laju pertumbuhan
penduduk satu dekade sebelumnya yang tercatat 1,29 persen per tahun. Dalam
ekonomi pertanian, terdapat suatu persamaan permintaan pangan (food demand
equation) yang digunakan sebagai acuan berapa besar laju suplai atau produksi
pangan yang harus dicapai. Menurut persamaan tersebut, laju permintaan
pangan (D) dapat dihitung dengan cara menjumlahkan laju pertumbuhan
penduduk (p) dengan hasil perkalian pertumbuhan pendapatan (g) dan
elastisitas pendapatan terhadap pangan (). Untuk tahun 2011, laju permintaan
pangan adalah 4,87 persen per tahun; karena pertumbuhan penduduk 1,5 per
tahun, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen per tahun dan elastisitas
pendapatan terhadap pangan 0,52. Dengan demikian, laju suplai pangan
setidaknya harus mencapai 5 persen per tahun. Jika tidak mampu mencapai
suplai pangan sebesar 5 persen, maka Indonesia pasti akan kembali bergantung
pada impor. Jika impor pangan sulit dilakukan, misalnya karena negara-negara
produsen pangan lebih mementingkan kebutuhan di dalam negerinya masingmasing, maka Indonesia mungkin akan jatuh pada Jebakan Malthus (Malthusian
trap) yang lebih buruk. Istilah jebakan ini mengacu pada fenomena klasik yang
2-12

disampaikan oleh Thomas Robert Malthus sekitar dua abad lalu, bahwa
penduduk akan bertambah dengan deret ukur, sedangkan pangan hanya akan
bertambah dengan deret hitung. Pada kuliah ekonomi pertanian tingkat lanjutan,
pembahasan terhadap fenomena ini dibahas lebih mendalam.
Tabel 2.3 Sentra Produksi Beberapa Pangan Penting di Indonesia

No.

Komoditas

Wilayah Sentra Produksi

1.

Padi

2.

Jagung

3.

Kedalai

4.

Kacang Tanah

5.

Sayuran

6.

Buah-buahan

7.

Minyak sawit

8.

Gula tebu

9.

Daging

10.

Telur

11.

Hasil Perikanan

Jabar+Banten (20,7%), Jatim (17,8%), Jateng


(16,3%), Sulsel (7,1%), Sumut (6,7%), dan Sumbar,
Sulsel, Lampung (masing-masing >3%).
Jatim (36,0%), Jateng (17,7%), Lampung (11,6%),
Sumut (6,9%), Sulsel (6,5%); Jabar, NTT (masingmasing >4%)
Jatim (37,9%), Jateng (20,1%), NAD (7,0%), Jabar
(5,4%), Sulsel (4,2%), dan Lampung (2,2%)
Jatim (24,4%), Jateng (21,7%), Jabar (14,8%),
Sulsel (6,5%), dan Sumut, NTB (masing-masing
>3%)
Jabar (36,6%), Sumut (19,6%), Jateng (15,1%),
Jatim (9,6%), Sumbar, Bengkulu, Bali, Sulsel
(masing-masing >3%)
Jabar (26,9%), Jatim (21,1%), Jateng (12,6%),
Sumut (5,9%), Sulsel (5,5%), dan Sumsel+ Babel,
Lampung, NTT (masing-masing >3%)
Sumut (39,9%), Riau (21%), Kalbar (6,1%), NAD
(6,1%) dan Sumbar (5,4%)
Jatim (44,1%), Lampung (33,3%), Jateng (7,5%),
Jabar (4,2%), dan Sumut (3,9%)
Jabar (21,1%), Jatim (15,6%), Jateng (12,0%), Bali
(8,1%), Jakarta (7,7%), Sumut (6,3%)
Jabar (20,8%), Jatim (15,3%), Jateng (14,2%),
Sumut (15,0%), Sumbar, Sumsel, Lampung, Sulsel
(masing-masing >4%)
Sumatera (27%), Jawa (25%), Sulawesi (18%)

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah


Data produksi pangan pada tahun 2011 yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik (BPS) tidak terlalu memuaskan, walau pun pada saat tulisan ini dibuat
(tahun 2012), tanda-tanda perbaikan itu mulai tampak. Pada tahun 2011
produksi padi menurun sampai 65,8 juta ton gabah kering giling (GKG) atau

2-13

sekitar 37,3 juta ton beras dengan laju konversi 0,57. Jika tingkat konsumsi
beras sebesar 139,15 kg per kapita, maka total konsumsi beras 237,6 juta
penduduk Indonesia seharusnya 33 juta ton. Dengan data resmi seperti tersebut,
maka Indonesia seharusnya menglamai surplus beras lebih 4 juta ton.
Masyarakat tentu semakin kritis terhadap akurasi data tersebut karena pada
tahun 2011, Indonesia melakukan impor beras sekitar 2 juta ton. Oleh karena
itu, metode estimasi produksi beras di Indonesia perlu disempurnakan untuk
memberikan kepastian usaha dan kredibilitas perumusan kebijakan ekonomi
nasional. Masalah akurasi estimasi produksi beras di Indonesia terletak pada
konversi dari data luas tanam padi, yang diambil dari areal baku sawah
berdasarkan data citra satelit, menjadi luas panen padi, yang dihitung
berdasarkan angka indeks pertanaman (IP) yang mempertimbangkan data curah
hujan, tingkat intensifikasi budidaya, penggunaan pupuk, pestisida dan lain-lain.
Kinerja produksi jagung pada 2011 mencapai 17,8 juta ton jagung pipilan
kering atau mengalami penurunan 3,7 persen per tahun dibandingkan produksi
jagung pada tahun 2010. Produksi jagung di Indonesia banyak dihasilkan di
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawes Selatan dan sebagainya karena
di sana banyak terdapat industri pakan ternak yang menjadi konsumen utama
produksi jagung di Indonesia. Mirip dengan beras, data produksi jagung mungkin
juga mengalami persoalan akurasi karena banyak industri pakan ternak
mengalami kesulitan memperoleh pasokan jagung sebagai buhan baku industri.
Konsekuensi ketergantungan impor jagung ini, apalagi pada saat krisis ekonomi
global, pasti berpengaruh pada industri pakan dan sektor peternakan secara
umum, termasuk tingkat pemenuhan protein hewani juga terganggu. Apalagi,
sepanjang 2011, banyak pelaku industri pakan ternak justru mengimpor jagung
dari Thailand yang mencapai sekitar 2 juta ton. Akurasi estimasi ini berhubungan
dengan beberapa variabel telah berubah, seperti pola tanam jagung,
penggunaan benih hibrida, sistem tumpangsari, tingkat konsumsi jagung oleh
industri pakan ternak, konsumsi langsung oleh manusia dan lain-lain. Indonesia
harus kembali fokus pada penggunaan bioteknologi: benih hibrida yang secara
historis telah mengangkat laju komoditas jagung sepanjang satu dekade terakhir.
Indonesia seharusnya tidak alergi terhadap pembahasan dan teknologi modfikasi
genetika (GMO=genetically modified organism), sebagai salah satu alterntif
peningkatan produksi dan produktivitas jagung di masa yang akan datang,
sepanjang tidak merugikan dan meminggirkan petani kecil.

2-14

Tabel 2.4 Produksi Pangan Strategis Indonesia, 2007-2011


Komoditas
Beras
Luas Panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton GKG)
Jagung
Luas Panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton pipil kering)
Kedelai
Luas Panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton biji kering)
Gula
Luas Panen (ha)
Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton hablur)

2007

2008

2009

2010

2011

12.147.637
4,71
57.157.435

12.327.425
4,89
60.325.925

12.883.576
5,00
64.389.890

13.244.184
5,01
66.411.469

13.203.643
4,98
65.756.904

3.630.324
3,66
13,287,527

4.001.724
4,08
16,317,252

4.160.659
4,23
17,629,748

4.131.676
4,43
18,327,636

3.864.692
4,56
17.643.250

459.116
1,29
592.534

590.956
1,31
775.710

722.791
1,25
974.512

660.823
1,24
907.031

622.254
1,39
851.286

427.799
6,13
2.623.786

436.505
6,11
2.668.428

441.040
5,70
2.517.374

435.000
5,11
2.300.000

440.000
5,16
2.270.000

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), berbabagi tahun


Kinerja produksi kedelai masih sulit untuk ditingkatkan karena hanya
mencapai 850 ribu ton dan jauh dari target swasembada kedelai 2014, yang
seharusnya mencapai 2,5 - 3 juta ton kedelai kering. Kinerja produksi beberapa
tahun terakhir adalah penurunan permanen dari angka produksi di atas 1,8 juta
ton pada awal 1990an. Pengurangan luas panen dan penurunan produksi
kedelai yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini sering disebut sebagai
fenomena dekadelaisasi karena sumber utama pangan rakyat seperti tahu,
tempe dan kecap sering tidak memperoleh perhatian memadai. Saat ini agak
sulit meyakinkan petani Indonesia untuk kembali menanam kedelai ketika tingkat
permintaan terhadap kebutuhan pokok seperti beras dan komoditas bernilai
timbah tinggi lain semain meningkat. Hal ini terlihat dari penurunan areal panen
kedelai yang cukup signifikan, yaitu 20 persen. Pada dekade 1980an, Indonesia
melaksanakan suatu program sistematis untuk meningkatkan produksi dan
produktivitas palawija, tidak hanya sebagai sumber tambahan pendapatan
petani, tapi juga untuk meningkatkan kualitas dan kesuburan tanah. Secara
agronomis, tanaman dari kelompok legum (kacang-kacangan) mampu mengikat
Nitrogen dari udara, sehingga mengurangi biaya penggunaan pupuk kimia
buatan. Namun demikian, peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara
baik di Indonesia. Produktivitas kedelai di Indonesia hanya 1,3 ton/ha atau
setengah dari produktivitas kedelai di luar negeri, seperti di Brazil, Argentina dan
Amerika Serikat. Brazil secara mengagumkan telah menjalankan program
strategi tropkilisasi kedelai, maksudnya mengembangkan varietas kedelai yang
cocok ditamam di daerah tropis, bukan sub-tropis, tahan kering dan tahan banjir,

2-15

sehingga mudah diadopsi oleh petani kedelai. Indonesia seharusnya mampu


melaksanakan program yang lebih baik dari Brazil dalam produksi kedelai.
Kinerja produksi gula tahun 2011 mencapai 2,27 juta ton, belum cukup
untuk memenuhi target pemenuhan konsumsi gula di dalam negeri yang terus
menerus naik. Saat ini konsumsi gula rata-rata di Indonesia mencapai lebih dari
12 kg per kapita per tahun, terutama karena pertambahan jumlah penduduk dan
perkembangan pendapatan masyarakat (baca: pertumbuhan ekonomi)
Indonesia. Konsumsi gula industri diperkirakan sekitar 2,15 juta ton, terdiri dari
1,1 juta industri besar dan 1,05 juta ton industri kecil dan usaha kecil menengah
(UKM), sehingga total konsumsi gula di Indonesia diperkirakan 4,85 juta ton atau
lebih. Nampaknya, akurasi prediksi dan statistik produksi dan konsumsi gula
mengalami persoalan yang sama peliknya dengan statistik beras dan beberapa
pangan strategis lain. Aplikasi teknologi produksi, teknik budidaya, serta
sensitivitas usahatani tebu (lahan basah) terhadap fenomena perubahan iklim
juga dapat menjelaskan fluktuasi produksi tebu di Indonesia. Pada skala tebu
rakyat, persoalan teknik keprasan yang berulang sampai belasan kali juga
menjadi masalah tersendiri karena insentif pendanaan pembongkaran ratoon
cukup pelik untuk dapat dicerna petani tebu. Disamping itu, basis usahatani tebu
semakin tergeser oleh komoditas lain, terutama padi, palawija dan hortikultura
yang menghasilkan pendapatan ekonomi tinggi berlipat.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dapat ditarik suatu benang merah
bahwa bahwa proses peningkatan produksi yang tidak bertumpu pada
perubahan teknologi tidak akan dapat diandalkan untuk menjawab tantangan
penyediaan pangan yang semakin kompleks. Beberapa faktor kunci (driver)
dalam peningkatan produksi beras justru tampak tidak saling mendukung.
Misalnya, perbaikan jaringan irigasi sangat lambat, gangguan banjir di sentra
produksi, atau berita kelangkaan pupuk makin sering dijumpai. Dalam teori
ekonomi pertanian, tingkat produksi pertanian ditentukan dari interaksi yang
cukup kompleks antara faktor luas lahan, curahan tenaga kerja, manajemen air,
alokasi pupuk, pestisida, dan teknologi pertanian lainnya. Kemudian titik optimal
dari alokasi faktor-faktor produksi di atas masih ditentukan oleh kombinasi harga
output dan harga input. Petani masih harus memperhitungkan sistem insentif
(dan disinentif) yang tersedia di pasar (atau disediakan oleh pemerintah),
misalnya pada kasus meningkatnya harga jual produk pangan (dan kesulitan
memperoleh air karena peluang kekeringan yang semakin nyata).
Bagi Indonesia, sistem dan jaringan irigasi mengalami kendala serius
karena kapasitas simpan air yang dimiliki tanah-tanah di Indonesia menurun
drastis dan sangat mengkhawatirkan. Praktik kebiasaan pasca panen dengan
membakar jerami dan sisa tanaman, penggunaan bahan kimia yang berlebihan
juga turut mempengaruhi kandungan bahan organik tanah, sehingga kekeringan
sedikit saja telah membuat tanah mudah pecah dan kerontang. Ditambah
dengan kualitas wilayah hulu sungai atau daerah tangkapan air yang semakin
buruk karena deforestasi, maka lengkaplah sudah fenomena perubahan iklim
yang menimpa Indonesia. Pada masa lalu, Indonesia pernah menjadi role model
negara-negara berkembang lain, karena mampu mengembangkan padi gogo

2-16

rancah, atau tanaman padi di lahan kering yang mengandalkan tadah hujan.
Dengan teknologi dan pengembangan varietas baru yang lebih tahan musim
kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, memang tidak mustahil
bahwa suatu waktu, padi gogo akan menjadi alternatif. Langkah untuk
melaksanakan strategi adaptasi perubahan iklim untuk komoditas pangan
strategis saat ini pasti murah dari pada melakukan rehabilitasi dan
menanggulangi bencana karena perubahan iklim tersebut.
Produksi daging sapi, daging ayam dan produk sektor peternakan atau
yang menjadi sumber protein hewani di Indonesia tidaklah terlau besar, sehingga
masih harus menggantunkan pada daging impor, terutama dari Australia,
Selandia Baru dan negara-negara lain yang bebas penyakit hewan, seperti
penyakit mulut dan kuku (PMK), antraks, sapi gila, dan lain-lain. Produksi
daging sapi pada tahun 2011 tercatat 280 ribu ton, sedangkan konsumsinya
mencapai konsumsi 400 ribu ton. Indonesia masih harus melakukan impor sapi
dari Australia sekitar 300-500 ribu ekor sapi hidup (30-40%) dari total kebutuhan.
Hasil Sensus Sapi yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2011
menujukkan bahwa jumlah sapi (dan kerbau) mencapai 15,6 juta ekor, yang
sebenarnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging di
dalam negeri. Tingkat konsumsi daging dan susu di Indonesia dan negara
berkembang memang tergolong memang masih 4-5 kali lebih rendah
dibandingkan tingkat konsumsi di negara-negara maju.
Penjelasan kinerja produksi daging sapi, daging unggas dan produk
peternakan lainnya berbeda dengan kinerja produksi tanaman pangan dan
perkebunan. Tingginya angka pertumbuhan produksi peternakan yang juga
terjadi di belahan lain di muka bumi, sering dinamakan Revolusi Peternakan
(Livestock Revolution), yang sebenarnya telah dimulai sejak awal 1970-an.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah Revolusi Peternakan karena pada
saat bersamaan industri pakan ternak skala kecil dan besar pun berkembang
cukup besar, yang tentu saja mensyaratkan perbaikan tingkat efisiensi ekonomi.
Revolusi Peternakan amat berbeda secara fundamental dengan Revolusi Hijau
(Green Revolution) di sektor tanaman biji-bijian yang lebih banyak didorong oleh
sisi suplai (supply driven) produksi dengan karakter perubahan teknologi baru
biologi dan kimiwai seperti varietas unggul, pupuk, pestisida dan sebagainya.
Revolusi peternakan didorong oleh sisi permintaan (demand-driven) karena
perubahan konsumsi dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis
kandungan protein tinggi, dan persyaratan kualitas nutrisi dan kesehatan lainnya.
Untuk itu, perubahan lingkungan eksternal yang demikian cepat tersebut
pastilah menuntut kemampuan ekstra para perumus kebijakan dan para pelaku
ekonomi untuk mengantisipasi kompleksitas proses transformasi tersebut yang
terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan permintaan,
keterbatasan lahan pertanian dan tuntutan kualitas higienis produk peternakan
serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Strategi revitalisasi sektor
pertanian dan pembangunan pedesaan dapat dilaksanakan dengan baik jika
perhatian segera dicurahkan pada penanggulangan persoalan-peroalan di
lapangan, serta perrhatian secara all-out terhadap penyakit menular pada

2-17

peternakan seperti pada kasus wabah flu burung yang amat menghebohkan.
Tidak berlebihan untuk disampaikan bahwa sektor peternakan adalah salah satu
sektor andalan dalam sistem dan usaha agribisnis di Indonesia yang telah
menerapkan strategi demand-driven yang sebenarnya. Sektor stratgis yang
melibatkan usaha rumah tangga dan menyerap jutaan lapangan kerja di
pedesaan dan perkotaan tersebut tidak semata menjalankan sistem produksi
dengan supply-oriented yang sangat rentan tehadap anjloknya harga karena
kelebihan penawaran.
Sektor peternakan memang sejak awal perkembangannya tumbuh dan
berkembang karena merespons tingginya permintaan terhadap daging, telur dan
produk berkualitas lainnya, suatu pergeseran sangat substansial dari pangan
berbasis karbohidrat menjadi berbasis protein dan kandungan nutrisi tinggi.
Sektor peternakan tercatat sebagai salah satu sektor yang memiliki keterkaitan
ke belakang (backward linkages) yang tinggi, terutama subsektor unggas dengan
industri pakan ternak. Ketergantungan dan tingkat sensitivitas yang demikian
tinggi antara keduanya telah mewarnai pasang-surut sektor peternakan
Indonesia. Kinerja cukup baik dengan tingkat pertumbuhan di atas 6 persen per
tahaun pada dekade 1980an sampai awal 1990an pasti tidak dapat dilepaskan
dari kemampuan dan kegigihan para peternak dalam mengantisipasi perubahan
dan inovasi baru dalam teknologi sektor peternakan. Sesuatu yang perlu
ditekankan di sini adalah bahwa industri pakan ternak ini nyaris identik dengan
investasi dan kapasitas produksi domestik. Maksudnya, apabila terganggu
sedikit saja, maka strategi untuk memperkuat fondasi pemulihan ekonomi juga
pasti terganggu.

2.5 Petani dan Skala Usahatani

Tema sentral lain yang perlu dijadikan acuan dalam pembahasan ekonomi
pertanian Indonesia adalah petani sebagai pelaku terpenting dalam sektor
pertanian beserta skala usahatani yang melingkupinya. Pembahasan ekonomi
pertanian secara makro pembangunan tanpa mengupas posisi petani, terutama
tingkat kesejahteraannya sebagai subyek utama pembangunan ekonomi tentu
tidaklah lengkap. Apabila petani tidak meningkat tingkat kesejahteraannya,
maka sangat mungkin proses pembangunan ekonomi pertanian di Indonesia
berjalan tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, petani harus menjadi subyek
utama dalam pembangunan pertanian, petani harus dientaskan statusnya dari
jeratan kemiskinan yang selama ini membelenggunya, dan petani harus
ditingkatkan kesejahteraannya. Kelalaian melakukan hal tersebut di atas hanya
akan membawa kesengsaraan dalam pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 30 juta
orang atau sekitar 12,5 persen dari total penduduk Indonesia. Sebanyak 19 juta
penduduk miskin itu tinggal di pedesaan (63 persen) dan 11 juta sisanya tinggal
di perkotaan (37 persen). Sebagian besar (55 persen) dari jumlah penduduk
2-18

miskin di Indonesia adalah petani, dan 75 persen dari petani miskin itu adalah
petani tanaman pangan. Di satu sisi, sektor pertanian berperan penting dalam
penyediaan pangan bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan jika produk pangan
itu diekspor, maka sektor pertanian juga berjasa menyedediakan bahan pangan
bagi bangsa-bansga lain di dunia. Namun di sisi lain, sebagian besar dari petani
tanaman ini masih terjerat dalam kemiskinan, suatu fakta ironi yang segera
memerlukan penanggulangan yang lebih serius.
Setiap sepuluh tahun sekali, Indonesia melakukan Sensus Pertanian,
yang mencacah jumlah petani berikut kepemilikan lahan dan skala usahataninya.
Sensus Pertanian terakhir yang dilakukan adalah pada tahun 2003 yang
menghasilkan beberapa fakta kehidupan petani dan skala usahataninya. Pada
tahun 2013, Badan Pusat Statistik akan melakukan Sensus Pertanian 2013
(ST13) yang akan berupaya memutakhirkan fakta kehidupan petani Indonesia.
Sampai dengan tahun 2003, jumlah rumah tangga pertanian tercatat sekitar 24,9
juta atau meningkat sebesar 1,8 persen per tahun dari 20,8 juta pada tahun 1993
(Tabel 2.5). Jumlah petani gurem atau petani yang hanya menggarap lahan 0,5
hektar atau kurang juga ikut meningkat dari 10,8 juta rumah tangga (51,3 persen)
pada tahun 1993 menjadi menjadi 13,2 juta rumah tangga (53,3 persen) pada
tahun 2003. Hal yang menarik lagi adalah bahwa jumlah rumah tangga petani
padi dan palawija juga meningkat dari 17,5 juta rumah tangga pada tahun 1993
menjadi 18,3 juta rumah tangga pada tahun 2003. Akan tetapi, persentase
rumah tangga petani tanaman panga tersebut menurun dari 84,2 persen pada
tahun 1993 menjadi 73,4 persen pada tahun 2003.

Tabel 2.5 Jumlah Rumah Tangga Pertanian, 1993-2003

1993

2003

Uraian Struktur

Delta
(% / th)

Jumlah
(ha)
17.548.000

Pangsa
(%)
84,24

Jumlah
(ha)
18.258.858

Pangsa
(%)
73,42

Rumah tangga petani


gurem (< 0,5 ha)

10.696.111

51,34

13.253.310

53,29

2,17

Total rumah tangga


pertanian Indonesia

20.832.000

100,00

24.868.675

100,00

1,79

Rumah tangga petani


padi dan palawija

Luas tanah dikuasai


rumah tangga petani

0,80

0,72

Sumber: Hasil Sensus Pertanian, 1993 dan 2003

2-19

0,40

-1,05

Sebagaimana dapat diduga, sebagian besar dari petani gurem tersebut


berada di Jawa karena 75 persen petani Jawa tergolong gurem atau meningkat
dari 70 persen pada satu dekade lalu. Maksudnya, saat ini hanya 25 persen dari
seluruh petani di Jawa yang dapat dikatakan berkecukupan dan tidak terjerat
kemiskinan. Potret petani sebaliknya terjadi terjadi di Luar Pulau Jawa. Rumah
tangga petani di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain umumnya
menguasai lahan rata-rata cukup besar, dan hanya 34 persen dari rumah tangga
petani di sana yang tercatat menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Namun
demikian, kecenderungan peningkatan jumlah petani gurem di Luar Jawa ini pun
perlu diperhatikan dengan seksama mengingat, terutama apabila ancaman
penurunan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani dapat menjadi
semakin besar. Proses pemiskinan petani seperti ini dapat berimplikasi sangat
luas, baik secara ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan.
Indonesia memerlukan kebijakan pertanahan yang lebih berorientasi pada
peningkatan pemerataan akses pada lahan pertanian agar dicapai skala
usahatani yang lebih menguntungkan. Indonesia perlu segera menyelesaikan
berbagai pekerjaan rumah tentang reforma agrarian yang terbengkalai, tanpa
harus kehilangan esensi utama dari strategi tiga jalur di atas. Setidaknya, skala
usahatani yang mampu memberikan penghasilan ekonomi yang layak bagi
petani tanaman pangan di Indonesia adalah sekitar 2 hektar per rumah tangga
petani. Akses terhadap lahan usahatani menjadi prioritas pembangunan
ekonomi pertanian yang memerlukan langkah konkrit di tingkat lapangan.
Pada tahap berikutnya upaya pemberdayaan masyarakat dari lapisan
yang bawah yang masih aktif, peningkatan usaha ekonomi produktif dan
pemberian akses (lahan, pasar, informasi, sumber keuangan dan lain-lain) yang
lebih memadai dapat menjadi pendongkrak berharga bagi pengentasan
kemiskinan, terutama di daerah pedesaan. Oleh karena itu, diperlukan
pemilahan program yang tegas antara misi sosial dari pengentasan kemiskinan
dari misi ekonomi produktif dan pemberdayaan skala komersial menuju
peningkatan akses pasar, sistem insentif dan informasi harga yang bermanfaat
bagi segenap lapisan masyarakat. Demikian pula sebaliknya, jika pendapatan
petani meningkat (dan kesadarannya pun membaik), maka motivasi untuk
mendidik anaknya pastilah akan semakin tinggi.
Di sisi lain, strategi pengentasan kemiskinan pun harus dikaitkan dengan
peningkatan usaha ekonomi produktif dan perbaikan infrastruktur vital di
pedesaan. Tanpa perbaikan infrastruktur ini, maka alokasi dana pendidikan
menjadi tidak efisien karena biaya per unit menjadi sangat mahal. Sumberdaya
sektor pertanian dengan pendidikan yang cukup pastilah amat penting bagi
pengembangan institusi untuk pembangunan pertanian. Tidak berlebihan jika
disimpulkan bahwa sektor pertanian tidak akan tumbuh baik pada lokasi dengan
tingkat pendidikan rendah dan kelembagaan yang primitif dan tidak responsif
terhadap perubahan.

2-20

2.6 Latihan Pemahaman


Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi dalam Bab 2 tentang
Ekonomi Pertanian Indonesia di atas, kerjakanlah latihan berikut! Jawablah soal
dengan prinsip-prinsip menulis esai menggunakan Bahasa Indonesia yang benar
dan baik. Catatan Tertutup.
1. Jelaskan peran penting pertanian dalam pembangunan ekonomi!
2. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan transformasi strutural
perekonomian?
3. Apa yang Anda ketahui tentang Persamaan Permintaan Pangan? Jelaskan!
4. Menurut Anda, apakah Indonesia akan mencapai swasembada lima
komoditas strategis yang dicanangkan Pemerintah? Jelaskan jawaban
Anda.
5. Apa yang dimaksud dengan reforma agraria? Jelaskan peluang
keberhasilannya di Indonesia
Panduan Jawaban
1.

Inilah kesempatan Anda untuk menunjukkan pada diri sendiri, bahwa Anda
mampu memahami substansi dari Bab 2 ini. Peran pertanian pada
pembangunan ekonomi setidaknya menjadi: 1) penyedia bahan pangan, (2)
sumber devisa negara, (3) penyedia tenaga kerja bagi sektor lain, (4)
pembentukan modal dan investasi, dan (5) stimulus terjadinya
industrialisasi. Apabila penjelasan yang Anda temui dalam buku ini terlalu
teknis-ekonomis, silakan saja menguraikan jawaban nomor 1 pada Latihan
Pemahaman ini menggunakan bahasa Anda sendiri yang mudah dicerna
oleh kalangan umum sekalipun.

2.

Transformasi struktural perekonomian itu adalah berubahnya komposisi


strategi dan prioritas pembangunan suatu bangsa dari ekonomi yang
berbasis pertanian menjadi ekonomi berbasis industri dan jasa, tanpa harus
meninggalkan basis utama pembangunan sektor pertanian itu. Indonesia
juga mengalami transformasi struktural itu, walaupun terkadang berlangsung
tidak seperti yang dimaksudkan. Secara teknis-ekonomis, pangsa sektor
pertanian terhadap produk domestik bruto total semua ekonomi pada tahap
awal pembangunan cukup besar, kemudian menurun agak drastis seiring
makin majunya suatu bangsa. Demikian pula, pangsa tenaga kerja yang
terlibat di sektor pertanian seharusnya menurun seiring dengan penurunan
pangsa sektoral tersebut. Jika penurunan ini tidak smooth, biasanya proses
pembangunan ekonomi agak terganggu. Demikian dampak kesejahteraan
yang ditimbulkan oleh aktivitas ekonomi warga negara.

2-21

3.

Persamaan Permintaan Pangan (Food Demand Equation) pertama kali telah


disampaikan oleh John Mellor dan Bruce Johnston pada tahun 1961, dan
masih dianggap valid untuk mengestimasi laju permintaan pangan saat ini.
Anda perlu memahami rumus sederhana: D=p+.g. Dari sanalah jawaban
Anda berkembang.

4.

Untuk menjawab pertanyaan ini, Anda perlu menelusuri dan mempelajari


data atau kinerja lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula dan
daging sapi, perhatikan fakta dan penjelasan dalam buku, kemudian buatlah
analisis apakah target-target swasemabda pada tahun 2014 tercapai atau
tidak. Jawaban Anda dapat saja benar, tapi mungkin saja salah, tergantung
pandangan dan pemahaman Anda terhadap kinerja ekonomi pertanian
Indonesia.

5.

Reforma Agraria adalah keputusan kebijakan (politik) untuk memperluas


akses lahan bagi penduduk miskin, yang sebenarnya telah dicanangkan
melalui Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria. Di dalam ekonomi pertanian, skala ekonomi usahatani menjadi
sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat.

2.7 Rangkuman
Bab 2 tentang Ekonomi Pertanian Indonesia ini telah membahas kondisi
dan masa depan ekonomi pertanian Indonesia, berikut perkembangan kinerja
pangan strategis dan solusi skala usaha ekonomi petani Indonesia.
Beberapa pokok penting Bab 2 Ekonomi Pertanian Indonesia sebagai berikut:

Negara Indonesia yang berbasis pertanian, sumberdaya alam dan maritim


akan terus mengandalkan pembangunan pertanian (dalam arti luas) untuk
membangun perekonomiannya. Ekonomi pertanian telah menguraikan
secara baik, bahwa dalam konteks negara modern, sektor pertanian memilik
peran sangat penting pada pembangunan ekonomi, di antaranya sebagai: 1)
penyedia bahan pangan, (2) sumber devisa negara, (3) penyedia tenaga
kerja bagi sektor lain, (4) pembentukan modal dan investasi, dan (5) stimulus
terjadinya industrialisasi.

Perkembangan pertumbuhan pertanian Indonesia ditentukan oleh interaksi


antara sains, teknologi, budaya, sumberdaya, infrastruktur, kewirausahaan,
bisnis, pasar, kelembagaan, dukungan kebijakan, dan sebagainya. Demikian
pula, faktor kegagalan juga dapat dilihat dari sisi lain faktor sukses di atas,
ditambah dengan kelalaian pemihakan, pengabaian hak-hak dasar petani
serta ketidaktepatan strategi kebijakan ekonomi makro umumnya. Akhir-akhir
ini, para ilmuwan dan perumus kebijakan sedang mengembangkan
bioteknologi, mulai dari teknolog kultur jaringan, teknologi hibrida, sampai
teknologi rekayasa genetika untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
pangan dan pertanian.

2-22

Kinerja lima komoditas strategis: beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi
dalam lima tahun terakhir tidak terlalu stabil sehingga mempengaruhi target
pencapaian swasembada yang telah dicanangkan pemerintah. Beberapa
komoditas mungkin akan mencapai swasembada, walau pun beberapa lagi
tidak mampu meningkatkan produksi di dalam negeri untuk memenuhi
tambahan permintaan pangan yang berkmbang pesat, mengikuti laju
pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan dan elastisitas permintaan
pangan terhadap tambahan pendapatan.

Ekonomi pertanian sangat peduli terhadap skala ekonomi usahatani di


Indonesia karena apabila proses produksi pertanian berlangsung pada skala
yang tidak efisien, maka seberapa pun upaya untuk meningkatkan produksi
dan produktivitas, hal tersebut sangat sulit untuk meningkatkan kesejahteraan
petani, sebagai subyek utama dalam ekonomi pertanian pertanian Indonesia.
Kebijakan atau intervensi negara dalam reforma agraria amat diharapkan
untuk mengurangi ketimpangan pemilikan dan penguasaan lahan pertanian di
Indonesia.

Daftar Pustaka
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku KOMPAS
Arifin, Bustanul. 2013. Ekonomi pembangunan Pertanian. Bogor: IPB Press

2-23

Anda mungkin juga menyukai