Omsk Komplikasi Intrakranial
Omsk Komplikasi Intrakranial
Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan. Dalam makalah ini saya membahas
mengenai Otitis media supuratif kronis dan komplikasi intrakranial yang adalah infeksi kronis
pada telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga yang
dapat menyebabkan komplikasi intracranial.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagi CoAss Universitas
Pelita Harapan yang sedang menjalani program kepaniteraan klinik di bagian Ilmu THT (Telinga
Hidung Tenggorokan) Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam proses penyusunan makalah yang membahas tentang Otitis media supuratif kronis dan
komplikasi intrakranial ini, tentunya saya mendapatkan bimbingan, arahan dan saran, untuk itu
rasa terima kasih yang dalam-dalamnya saya sampaikan kepada pembimbing saya :
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak keterbatasan.
Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis maupun pembaca sekalian.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
BAB II...................................................................................................................................................2
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA TENGAH.........................................................................2
2.1 Anatomi Telinga Tengah............................................................................................................2
2.2 Fisiologi Telinga Tengah............................................................................................................7
BAB III...............................................................................................................................................10
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK..........................................................................................10
3.1 Definisi......................................................................................................................................10
3.2 Klasifikasi OMSK ....................................................................................................................10
3.3 Epidemiologi ...........................................................................................................................12
3.4 Etiologi .....................................................................................................................................13
3.5 Patogenesis...............................................................................................................................15
3.6 Patologi ...................................................................................................................................16
3.7 Gejala Klinis.............................................................................................................................16
3.8 Tanda Klinis .............................................................................................................................17
3.9 Diagnosis..................................................................................................................................17
3.10 Penatalaksanaan......................................................................................................................19
BAB IV...............................................................................................................................................23
KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK................................................................23
4.1 Penyebaran Penyakit................................................................................................................23
4 .2 Diagnosis Komplikasi yang Mengancam................................................................................25
4.3 Klasifikasi komplikasi OMSK..................................................................................................26
4.3.1 Komplikasi Intratemporal.................................................................................................26
4.3.2 Komplikasi Ekstratemporal...............................................................................................28
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks. Telinga dibagi atas
tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Otitis media supuratif kronis
(OMSK) adalah infeksi kronis pada telinga tengah dengan perforasi membran tympani dan sekret
keluar dari telinga terus menerus atau hilang timbul, sekret dapat encer atau kental, bening atau
berupa nanah.1 Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi dua jenis, yaitu OMSK tipe benigna
dan OMSK tipe maligna.4
Otitis media kronis merupakan penyakit THT yang paling banyak di negara sedang
berkembang. Di negara maju seperti Inggris sekitar 0, 9% dan di Israel hanya 0, 0039%. 3 Menurut
survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan insidens Otitis
Media Supuratif Kronik (atau yang oleh awam sebagai congek) sebesar 3% dari penduduk
Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6, 6 juta
penderita OMSK.2
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media kronis
yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan
tubuh yang rendah misalnya pada keadaan gizi buruk atau hygiene buruk.2 Gejala otitis media
supuratif kronis antara lain otorrhoe yang bersifat purulen atau mokoid, terjadi gangguan
pendengaran, otalgia, tinitus,rasa penuh di telinga dan vertigo. 3
Makalah ini saya buat untuk memenuhi syarat kelulusan kepaniteraan klinik bagian ilmu
THT (Telinga Hidung Tenggorokan) RS Bhayangkara Tingkat.I R. Said Sukanto agar menambah
pengetahuan saya mengenai anatomi telinga tengah dan penyakit otitis media supuratif kronik
beserta komplikasinya. Saya berharap agar makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi para
pembaca. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA TENGAH
2.1 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari :5,6
1) Membran timpani.
2) Kavum timpani.
3) Prosesus mastoideus.
4) Tuba eustachius
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang
telinga luar dari kavum timpani. Ketebalannya rata-rata 0, 1 mm .Letak membrana timpani tidak
tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar kemuka
2
dalam dan membuat sudut 45o dari dataran sagital dan horizontal. Dari umbo kemuka bawah
tampak refleks cahaya.5
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu: 7
1) Stratum kutaneum (lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2) Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3) Stratum fibrosum (lamina propria) yang letaknya antara stratum kutaneum dan mukosum7.
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian:
1) Pars tensa
2) Pars flasida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars
tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
a. Plika maleolaris anterior (lipatan muka).
b. Plika maleolaris posterior (lipatan belakang).
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf.
Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum
timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
1) Atap kavum timpani.
Dibentuk tegmen timpani, memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus
temporalis dari otak. bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan
sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama8.
2) Lantai kavum timpani.
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus
jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani
mudah merembet ke bulbus vena jugularis8.
3) Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga
merupakan dinding lateral dari telinga dalam8.
4) Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum.
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus
sigmoid8.
5) Dinding anterior
Dinding anterior bawah adalah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng
tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan
sebelum berbelok ke anterior9. Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis
superior dan inferior yang membawa serabut-serabut saraf simpatis kepleksus
timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri karotis interna1.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius8.
Berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus
karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna.12
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. Bentuknya seperti
huruf S. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah, depan dan medial dari
telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.5
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu: 5
1) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu: 5, 13
1) M. tensor veli palatini
2) M. elevator veli palatini
3) M. tensor timpani
4) M. salpingofaringeus
2.2 Fisiologi Telinga Tengah
2.2.1 Transmisi Energi Akustik melalui teliga tengah
7
Membran timpani menggerakan tangkai maleus. Prosesus longus inkus dan tangkai maleus
bergerak bersama karena sendi maleo-inkus terfiksasi. Sebaliknya sendi antara inkus dan stapes
sangat fleksibel. Selanjutnya karena stapes bagian postero-inferiornya melekat, maka membran
timpani akan menyebabkan stapes menggerakan fenestra ovalis ke luar- masuk. Perubahan tekanan
yang diakibatkan oleh gerakan stapes keluar masuk di fenestra ovalis tersebut akan dihantarkan
melalui perilimf ke sekat koklea, untuk kemudian keluar melalui fenestra rotundum. Transmisi
tekanan melalui sekat koklea mengakibatkan sekat tersebut menggelembung ke atas dan ke bawah,
tergantung pada perubahan tekanannya. Pengembungan sekat koklea ini akan mengakibatkan sel
rambut dalam organ korti merangsang ujung saraf auditorius.
Pada suara dengan intensitas tinggi, bentuk fibrasi rangkaian tulang pendengaran akan
berubah, tidak lagi berotasi terhadap sumbu pendeknya tetapi lempeng kaki stapes berotasi
terhadap sumbu panjangnya. Perubahan tersebut akan menyebabkan berkurangnya efisiensi
transmisi suara melalui telinga tengah, yang mungkin berfungsi untuk proteksi.
1) Fisiologi Gas
Pertukaran gas di telinga tengah merupakan proses perfusi dan difusi dari pembuluh darah
mukosa dan pertukaran udara intermiten melalui tuba eustachius. Sifat dinamik dari
8
campuran gas yang terlibat ( 80% N2, 6% O2, 6% CO2) pada keadaan seimbang sewaktu
tuba membuka. Telinga tengah sesuai dengan tekanan atmosfir berisi campuran gas yang
sama dengan alveoli. Tekanan parsial gas pada jaringan kira-kira 700 mmHg menyebabkan
tahap difusi keluar dari telinga tengah. Dalam keadaan normal, penyerapan gas 0,7-1,1
ml/hari. Kehilangan udara menyebabkan tekanan lebih rendah sehingga memaksa membran
timpani terdesak ke dalam dari posisi istirahatnya. Dengan kontraksi otot-otot faringeral,
tuba Eustachius mula-mula memanjang, menarik cairan dan gas dari telinga tengah dan
menambah retraksi membran timpani. Tuba kemudian membuka dan udara terinspirasi
sehingga masuk ke dalam oleh gerakan membran timpani yang kembali ke posisi istirahat.
Tekanan di bawah normal maksimum biasanya kurang dari 4 mmH2O dengan tekanan
negatif rata-rata 1 mmH2O. 15
2) Fungsi pembersih
Sebagai bagian dari saluran nafas atas, kegiatan mukosilia pada telinga tengah aktif dan
penting untuk homeostatis. Mukosa saluran nafas memiki fugsi sebagai penghantar udara,
menyediakan uap air untuk kelembaban udara dan sistem mukosilia sebagai pembersih.
Pelembaban telinga tengah penting karena kekeringan akan melumpuhkan pergerakan silia dan
merangsang peningkatan produksi dengan cara metaplasi merubah mukosa ke bentuk sekretori.
Fungsi pembersih membutuhkan sistem prtgerakan silia yang normal untuk dapat menggerakan
palut lendir dengan volume, viskositas dan elastisitas yang sesuai. Penyamaan tekanan juga
diperlukan untuk terjadinya pembersihan. Gangguan aktivitas silia dan perubahan fisika palut
lendir dapat mengganggu fungsi pembersihan. Bila hal ini terjadi, absorbsi udara yang terus
menerus dapat mengakibatkam pengisian cairan di rongga telinga tengah.15
BAB III
OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
3.1 Definisi
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi peradangan kronis dari
telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak (perforasi) dan ditemukan sekret
(otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah
dan berlangsung lebih dari 2 bulan. Letak perforasi pada membrana timpani ada beberapa jenis,
perforasi sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani atau sekurangkurangnya pada annulus, perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan
annulus atau sulkus timpanikum, dan perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.
Defek dapat ditemukan seperti pada anterior, posterior, inferior atau subtotal. Menurut
Ramalingam bahwa OMSK adalah peradangan kronis lapisan mukoperiosteum dari middle ear
cleft sehingga menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan patologis yang ireversibe.5,6,8
3.2 Klasifikasi OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu 6,22:
1) Tipe benigna = tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit.
Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam
telinga. 5,7
2) Tipe malignan = tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit atikoantral lebih
sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya kantong retraksi yang mana
bertumpuknya keratin sampai menghasilkan kolesteatom. Kolesteatom dapat dibagi atas 2
tipe yaitu :5,7
a.
Kongenital
Kolesteatoma kongenital adalah kista yang timbul di dalam salah satu tulang kepala
daerah temporal tanpa kontak dengan telinga luar. Dapat tumbuh di tulang temporal
bagian dalam atau skuama. Kongenital kolesteatom lebih sering ditemukan pada
telinga tengah atau tulang temporal, umumnya pada apeks petrosa. Dapat
menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat unilateral, dan gangguan
keseimbangan dan perkembangan.
b.
Didapat (acquired)
i. Koleastoma didapat primer
Jenis ini berkembang sebagai kelanjutan dari perforasi membran timpani pars
flasida. Mula-mula mengisi ruang Prussak, kemudian bisa membesar sehingga
memenuhi atik, antrum mastoid dan sebagian telinga tengah.
ii. Koleastoma didapat sekunder
Berkembang dari suatu kantong retraksi yang disebabkan peradangan kronis
biasanya bagian posterosuperior dari pars tensa. Khasnya perforasi marginal pada
bagian posterosuperior. Terbentuknya dari epitel kanal aurikula eksterna yang
masuk ke kavum timpani melalui perforasi membran timpani atau kantong
retraksi membran timpani pars tensa.
11
a. Perforasi sentral
Lokasi perforasi adalah pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan posterosuperior, kadang-kadang sub total. 5,6,8
b. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus fibrosus.
Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi total. Perforasi pada
pinggir postero-superior berhubungan dengan kolesteatom.5,6,8
c. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired cholesteatoma.5,6,8
3.3 Epidemiologi
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Misalnya, OMSK lebih sering dijumpai pada orang
Eskimo dan Indian Amerika, anak-anak aborigin Australia dan orang kulit hitam di Afrika
Selatan.16 Walaupun demikian, lebih dari 90% beban dunia akibat OMSK ini dipikul oleh negaranegara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. 17
Kehidupan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan kumuh dan status kesehatan serta gizi yang
12
jelek merupakan faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara
yang sedang berkembang.6
Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan
insidens Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang oleh awam sebagai congek) sebesar 3% dari
penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6, 6
juta penderita OMSK.2
Klasifikasi Negara Berdasarkan Prevalensi OMSK*
Kategori
Sangat tinggi (> 4%)
Populasi
Aborigin Australia, India, Kepulauan Salomon,
Tanzania
Thailand,
Filipina,
Malaysia,
Eskimo,
Indonesia,
Cina, Mozambique, Nigeria, Eskimo, Angola,
Rendah (1% - 2%)
Korea
Brazil, Kenya
* WHO,
2004
3.4 Etiologi
OMSK terjadi hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada anak, jarang
dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring (adenoiditis, tonsilitis,
rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang
abnormal merupakan faktor predisposisi yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Downs
syndrome. Adanya tuba patulous, menyebabkan refluks isi nasofaring yang merupakan faktor
insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated (seperti infeksi
HIV,
sindrom kemalasan
leukosit)
sekresi
telinga kronis.5,6
14
3.5 Patogenesis
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal menemukan bahwa
adanya disfungsi tuba eustachius, yaitu suatu saluran yang menghubungkan rongga di belakang
hidung (nasofaring) dengan telinga tengah (kavum timpani), merupakan penyebab utama
terjadinya otitis media18
Pada keadaan normal, muara tuba eustachius berada dalam keadaan tertutup dan akan
membuka bila kita menelan. Tuba eustachius ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara
telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum
sempurna, tuba yang pendek, penampang relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar
menjelaskan mengapa suatu infeksi saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke
telinga tengah sehingga lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.16, 19
Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring melalui tuba
Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari telinga tengah. Pada saat
ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator peradangan pada telinga tengah yang
dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti
keratinosit dan sel mastosit akibat proses infeksi tersebut akan menambah permeabilitas pembuluh
darah dan menambah pengeluaran sekret di telinga tengah.20
Selain itu, adanya peningkatan beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa
telinga tengah karena stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada
telinga tengah.21
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu lapisan,
epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory epithelium dengan banyak lapisan
sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia,
mempunyai stroma yang banyak serta pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan
hilangnya sel-sel tambahan tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.21
Terjadinya OMSK disebabkan oleh keadaan mukosa telinga tengah yang tidak normal atau
tidak kembali normal setelah proses peradangan akut telinga tengah, keadaan tuba eustachius yang
tertutup dan adanya penyakit telinga pada waktu bayi.16,19
15
3.6 Patologi
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap. Keadaan kronis ini
lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada keseragaman gambaran patologi.
Secara umum gambaran yang ditemukan adalah:
1) Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral.
2) Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit
3) Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya infeksi
sebelumnya.
4) Pneumatisasi mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid paling akhir terjadi antara 510 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti atau mundur oleh otitis media yang terjadi pada
usia tersebut atau lebih muda. Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses
sklerotik, sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang.5
3.7 Gejala Klinis
1) Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada OMSK tipe
jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi
iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga.
Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan
dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya
kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah
kemungkinan tuberkulosis. 6
2) Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Beratnya ketulian
tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli
konduktif berat.12
16
2) Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi dapat
pula dijumpai adanya tuli sensorineural, beratnya ketulian tergantung besar dan letak
perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitasnya.7
Derajat ketulian
Normal
: -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan
: 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang
: 41 dB sampai 55 dB
: 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat
: 71 dB sampai 90 dB
Tuli total
: lebih dari 90 dB
18
19
sebaiknya
dilakukan
operasi
rekonstruksi
(miringoplasti,
ii.
Pemberian antibiotika :
o Neomisin
Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif, misalnya :
Stafilokokus aureus, Proteus sp. Resisten pada semua anaerob dan
Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
o Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid
22
BAB IV
KOMPLIKASI OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK
Otitis media supuratif kronis mempunyai potensi untuk menjadi serius karena
komplikasinya yang sangat mengancam kesehatan dan dapat menyebabkan kematian. Tendensi
otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan otore.
Pemberian antibiotika telah menurunkan insiden komplikasi. Walaupun demikian organisme yang
resisten dan kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi
didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi
akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi akut dari OMSK yang
berhubungan dengan kolesteatom.27
4.1 Penyebaran Penyakit
Komplikasi OMSK terjadi apabila sawar ( barrier ) pertahanan telinga tengah yang normal
dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama
ini adalah mukosa kavum timpani yang juga seperti mukosa saluran nafas, mampu melokalisasi
infeksi. Bila sawar ini runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak disekitarnya akan terkena. Runtuhnya
periostium akan menyebabkan terjadinya abses subperiosteal, suatu komplikasi yang relatif tidak
berbahaya. Apabila infeksi mengarah ke dalam, ke tulang temporal, maka akan menyebabkan
paresis n.fasialis atau labirinitis. Bila ke arah kranial, akan menyebabkan abses ekstradural,
tromboflebitis sinus lateralis, meningitis dan abses otak.
Bila sawar tulang terlampaui, suatu dinding pertahanan ketiga yaitu jaringan granulasi akan
terbentuk. Pada OMSK penyebaran terjadi melalui erosi tulang. Cara penyebaran lainnya adalah
toksin masuk melalui jalan yang sudah ada, misalnya melalui fenestra rotundum, meatus akustikus
internus, duktus perilimfatik, dan duktus endolimfatik.
Dari gejala dan tanda yang ditemukan, dapat diperkirakan jalan penyebaran suatu infeksi telinga ke
intrakranial.27
23
1) Penyebaran Hematogen
Penyebaran melalui osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya komplikasi terjadi
pada awal suatu nfeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau kedua
sampai hari ke sepuluh. Gejala prodormal tidak jelas seperti didapatkan pada gejala
meningitis lokal. Pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga tegah utuh, dan tulang
serta lapisan mukoperiosteal meradan dan mudah berdarah, sehingga disebut juga
mastoiditis hemoragika.
2) Penyebaran melalui erosi tulang
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila komplikasi terjadi beberapa minggu
atau lebih setelah awal penyakit. Gejala prodormal infeksi lokal biasanya mendahului
gejala infeksi yang lebih luas, misalnya paresis n.fasial ringan yang hilang timbul
mendahului paresis n.fasialisyang total, atau gejala meningtis lokal mendahului meningitis
purulen. Pada operasi dapat ditemukan lapisan tulang yang rusak diantara fokus supurasi
dengan struktur sekitarnya. Struktur jaringan lunak yang terbuka biasanya dilapisi oleh
jaringan granulasi
3) Penyebaran melalui jalan yang sudah ada
Penyebaran melalui jalan ini dapat diketahui bila komplikasi terjadi pada beberapa
mingggu setelah awal penyakit, ada serangan labirinitis atau meningitis berulang, mugkin
dapat ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang atau riwayat otitis media yang
sudah sembuh. Komplikasi intrakranial mengikuti komplikasi labirinitis supuratif. Pada
operasi ditemukan jalan penjalaran melalui sawar tulang yang bukan oleh karena erosi.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial dapat melewati tiga lintasan :
1) Penyebaran ke selaput otak
Penyebaran melalui lintasan ini dapat terjadi akibat dari beberapa faktor. Melalui jalan
yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian tulang yang lemah atau defek
karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya infeksi. Labirin juga dapat dianggap
sebagai jalan penyebaran yang sudah ada, menyebabkan mudahnya infeksi ke fosa kranii
media. Jalan lain penyebaran ialah melalui tromboflebitis vena emisaria menembus dinding
mastoid ke duramater dan sinus duramater. Tromboflebitis pada susunan kanal haversian
24
yang (osteitis atau osteomielitis) merupakan faktor utama penyebaran menembus sawar
tulang daerah mastoid dan telinga tengah.
2) Penyebaran menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai duramater, menyebabkan pakimeningitis. Duramater
akan menebal, hiperemi, dan menjadi lebih melekat ke tulang. Jaringan granulasi terbentuk
pada bagian duramater yang tidak melekat, dan ruang subduramater akan terobliterasi.
3) Penyebaran ke jaringan otak.
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah di antara ventrikel dan permukaan korteks
atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke jaringan otak ini dapat terjadi
baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke ruang Virchow Robin yang berakhir
didaerah vaskular subkortek.
4 .2 Diagnosis Komplikasi yang Mengancam
Pengenalan yang baik terhadap perkembngan suatu penyakit telinga merupakan prasyarat
untuk mengetahui timbulnya komplikasi. Bila dalam medikamentosa tidak berhasil mengurangi
gejala klinik dengan tidak berhentinya otorea, dan pada pemeriksaan otoskopik tidak menunjukkan
berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan maka harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya komplikasi. Pada stadium akut, naiknya suhu tubuh, nyeri kepala atau adayna tanda
toksisitas seperti malaise, perasaan mengantuk, somnolen atau gelisah yang menetap dapat
merupakan tanda bahaya. Timbulnya nyeri kepala di daerah parietal atau oksipital dan adanya
keluhan mual, muntah yang proyektil serta kenaikan suhu badan yang menetap selam terapi
diberikan merupakan tanda komplikasi intrakranial.
Pada OMSK, tanda-tanda penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti keluar,
hal ini menandakan adanya sekret purulen yang terbendung. Pemeriksaan radiologik dapat
membantu memperlihatkan kemungkinan kerusakan dinding mastoid, tetapi untuk yang lebih
akurat diperlukan pemeriksan CT-Scan. Erosi tulang merupakan tanda nyata komplikasi dan
memerlukan tindakan operasi segera. CT scan bermanfaat menegakkan diagnosis sehingga terapi
dapat diberikan lebih cepat dan efektif.
Untuk melihat lesi otak, misalnya abses otak, hidrosefalus dan lain-lain dapat dilakukan
pemeriksaan CT scan otak dengan atau tanpa kontras.
25
26
27
Terdapat 2 bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan supuratif. Labirinitis serosa
dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis
supuratis dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik
difus. Pada labirinitis serosa toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang,
sedangkan pada labirinitis supratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi
kerusakan yang ireversibel, seperti fibrosis dan osifikasi.
Pada kedua bentuk labirinitis itu operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan
infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan juga drainase nanah dari labirin
untuk mencegah terjadinya meningitis. Pemberian antibiotika yang adekuat terutama
ditujukan kepada pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa kolesteatoma.
4) Petrositis
Kira-kira sepertiga dari populasi manusia, tulang temporalnya mempunyai sel-sel
udara sampai ke apeks os petrosum. Terdapat beberapa cara penyebaran infeksi dari telinga
tengah ke os petrosum. Yang sering ialah penyebaran langsung ke sel-sel udara tersebut.
Adanya pertositis sudah harus dicurigai, apabila pada pasien otitis media terdapat keluhan
diplopia, karena kelemahan n.VI sering kali disertai dengan rasa nyeri di daerah parietal,
temporal atau oksipital, oleh karena terkenanya n.V, ditambah dengan terdapatnya otore
yang persisten, terbentuklah suatu sindrom yang disebut sindrom Gradenigo.
Kecurigaan terhadap petrositis terutama bila terdapat nanah yang keluar terus
menerus dan rasa nyeri yan menetap pasca mastoidektomi. Pengobatan petrositis ialah
operasi serta pemberian antbiotika protokol komplikasi intrakranial. Pada waktu melakukan
operasi telinga tengah dilakukan juga eksplorasi sel-sel udara tulang petrosum serta
mengeluarkan jaringan patogen.
4.3.2 Komplikasi Ekstratemporal
1) Abses subperiosteal
28
Abses Otak
Abses otak otogenik merupakan salah satu komplikasi intrakranial yang sering
terjadi pada otitis media supuratif kronik tipe maligna1. Mortalitasnya masih sangat tinggi
yaitu sekitar 40%. Penyebaran infeksi melalui beberapa cara yaitu melalui tegmen timpani
yang membentuk temporal abses, melalui sinus sigmoid ke fossa kranii posterior yang
membentuk abses serebellum, dari labirin ke sakkus endolimfatikus yang membentuk abses
serebellum dan dapat juga melalui vena-vena dan meatus akustikus internus. Pada kasus
abses otak dimana Otitis Media Suppurativa Kronik (OMSK) sebagai faktor predisposisi,
abses sering berlokasi pada lobus temporalis kemudian diikuti oleh abses pada serebellum.
Diagnosis sampai sekarang masih merupakan masalah untuk para dokter karena baik
secara anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang sangat tidak spesifik.
Kecurigaan terdapatnya abses otak pada pasien OMSK adalah bila timbul sakit kepala yang
bersifat hemikranial atau yang paling sering pada seluruh kepala, menetap dan tidak
berespon dengan pengobatan penurunan kesadaran, papil edema, defisit neurologis fokal
tidak selalu dijumpai. Akan tetapi bila terdapat hal tersebut maka kecurigaan terhadap
abses otak menjadi lebih kuat.3
Gejala dan tanda klinis abses otak mengikuti patogenesis terjadinya abses seperti yang
digambarkan oleh Neely dan Mawson yaitu :3
1.
mengeluh sefalgia, malaise, menggigil, rasa mengantuk, mual dan muntah. Gejala
biasanya ringan, sering terabaikan dan kadang-kadang tampak sebagai eksaserbasi
otitis media supuratif kronik. Gejala ini dapat menghilang dalam beberapa hari.
2.
Stadium laten: secara klinis tidak jelas karena gejala berkurang, kadang-
kadang masih terdapat malaise, kurang nafsu makan dan sakit kepala yang hilang
timbul. Pada stadium ini abses terlokalisir dan terjadi pembentukan kapsul. Gejala
ini dapat timbul beberapa minggu dan kadang-kadang sampai beberapa bulan.
29
3.
menyebabkan gejala bertambah. Pada stadium ini dapat terjadi kejang fokal atau
afasia pada abses lobus temporalis sedangkan pada abses serebellum dapat terjadi
ataksia atau tremor yang hebat. Gejala klinik pada stadium ini terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial dan gangguan fungsi serebrum atau serebellum
yang menyebabkan tanda dan gejala fokal. Gejala dan tanda peningkatan tekanan
intrakranial berupa; sakit kepala hebat yang memburuk pada pagi hari, mual dan
muntah biasanya bersifat proyektil terutama bila lesi pada serebellum, perubahan
tingkat kesadaran berupa lethargi, kelemahan yang progresif, stupor edema
biasanya tidak tampak pada kasus dini. Gejala ini tampak bila peningkatan tekanan
intrakranial bertahan selama 2-3 minggu dan denyut nadi lambat dan temperature
subnormal.
4.
Stadium akhir: pada stadium ini kesadaran makin menurun dari stupor
sampai koma dan akhirnya meninggal yang disebabkan karena ruptur abses ke
dalam sistem ventrikel dan rongga subarakhnoid.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dapat berupa:
a. Laboratorium: umumnya jumlah lekosit normal atau meningkat (<15.000/m3);
b. Lumbal punksi: analisis liquor cerebro spinalis (LCS) pada abses otak tidak spesifik
dan tindakan ini merupakan kontraindikasi untuk membuktikan kecurigaan abses
otak.Penurunan kesadaran dapat terjadi pada 20% pasien yang dilakukan LP.
c. Foto polos kepala, kurang bermakna, mungkin dapat memperlihatkan pergeseran
kelenjar pineal yang mengalami kalsifikasi.
d. Computed tomography (CT) Scan kepala: pemeriksaan ini sangatlah penting untuk
menegakkan diagnosis abses otak merupakan pemeriksaan non invasif. Sebaiknya
dilakukan dengan kontras. Pada pemeriksaan dengan kontras, abses otak tampak
sebagai daerah hipodens yang dikelilingi oleh lingkaran yang disebut tanda cincin
(ring sign), penting untuk mengetahui ukuran dan lokasi abses serta membantu
memantau perkembangan abses selama pengobatan.
30
e.
Prinsip terapi abses otak adalah menghilangkan fokus infeksi dan efek massa. Terapi
medikamentosa dengan antibiotik dapat diberikan pada abses otak bila:3
1. Keadaan pasien akan menjadi buruk bila tindakan bedah dilakukan
2. Terdapatnya abses multipel terutama bila lokasinya saling berjauhan
3. Letak abses di sebelah dalam atau daerah yang membahayakan
4. Bersamaan dengan meningitis
5. Bersamaan dengan hidrosefalus yang memerlukan shunt yang dapat menyebabkan
infeksi pada tindakan bedah
6. Bila setelah pemberian antibiotik pada 2 minggu pertama ukuran abses menjadi
kecil. Pada penanganan medikamentosa diberikan antibiotik dosis tinggi secara
parenteral. Pemberian antibiotik dapat dikombinasikan karena biasanya terjadi
infeksi campuran dan diindikasikan pada infeksi yang berat.Pemilihan antibiotik
biasanya sulit karena adanya variasi bakteri penyebab abses otak. Biasanya
diberikan golongan penisilin untuk bakteri gram positif dan aminoglikosida untuk
bakteri gram negatif dan yang lebih penting bakteri anaerob. Kombinasi
penisilinase-resisten penisilin dan aminoglikosida dapat digunakan untuk bakteri
aerob gram positif dan gram negatif. Kombinasi sefalosforin generasi ketiga dan
metronidazol yang dapat melalui sawar darah otak dan merupakan efektif untuk
bakteri anaerob. Harus diusahakan agar dapat diperoleh bahan baku untuk kultur
dan tes kepekaan. Tes kepekaan dapat membantu pemilihan antibiotik dan
diberikan sampai suhu badan menjadi normal. Kortikosteroid diberikan sebagai
terapi tambahan untuk mengurangi pembengkakan otak dan efek desak ruang yang
disebabkan oleh abses. Dapat diberikan 4 mg tiap 6 jam secara intravena.
Mengenai kapan dilakukan tindakan bedah pada abses otogenik ada beberapa pendapat
dari para ahli. Saat kondisi pasien sudah stabil maka tindakan mastoidektomi dapat
dilakukan dan biasanya sesudah 3-4 hari sesudah kraniotomi atau dapat lebih cepat
31
tergantung keadaan umum pasien. Akan tetapi sebelum tindakan bedah dilakukan maka
diberikan dulu antibiotik spektrum luas selama 2 minggu .3
Pendapat yang lain mengatakan bahwa operasi mastoid dan bedah saraf dilakukan
pada waktu yang berdekatan. Kontaminasi infeksi yang terus menerus dari mastoid ke
jaringan otak akan menyebabkan respon pengobatan menjadi buruk. Selanjutnya ada
yang berpendapat bahwa idealnya kedua operasi tersebut dilakukan bersamasama.
Pada kasus-kasus berat tentu saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi bila
pengobatan infeksi telah berhasil mengurangi edema jaringan otak maka operasi
mastoid harus dilaksanakan. Untuk penanganan abses dilakukan oleh ahli bedah saraf
dengan pendekatan aspirasi melalui sawar, eksisi abses, insisi terbuka abses dan
evakuasi pus.3
2) Trombosis Sinus Lateralis
Invasi infeksi ke sinus sigmoid ketika melewati tulang mastoid akan menyebabkan
terjadinya trombosis sinus lateralis. Komplikasi ini sering ditemukan pada zaman praantibiotik, tetapi kini sudah jarang terjadi.
Demam yang tidak dpat diterangkan penyebabnya merupakan tanda pertama dari
infeksi pembuluh darah. Pada mulanya suhu tubuh turun naik, tetapi setelah penyakit
menjadi berat didapatkan kurve suhu yang naik turun dengan sangat curam disertai
dengan menggigil. Kurve suhu demikian menandakan adanya sepsis.
Rasa nyeri biasanya tidak jelas, kecuali bila sudah terdapat abses perisinus. Kultur
darah biasanya positif, terutama bila darah diambil ketika demam.
Pengobatan haruslah dengan jalan bedah, membuang sumber infeksi di sel-sel
mastoid, membuang tulang yang berbatasan dengan sinus (sinus plate) yang nekrotik,
atau membuang dinding sinus yang terinfeksi atau nekrotik. Jika sudah terbentuk
trombus harus juga dilakukan drenase sinus dan mengeluarkan trombus. Sebelum itu
dilakukan dulu ligasi vena jugulare interna untuk mencegah trombus terlepas ke paru
dan ke dalam tubuh lain.
3) Hidrosepalus Otikus
32
33
6) Abses Ekstradural
Abses ekstradural ialah terkumpulnya nanah diantara duramater dan tulang. Pada
otitis media supuratif kronis keadaan ini berhubungan dengan jaringan granulasi dan
kolesteatoma yang menyebabkan erosi tegmen atau mastoid.
Gejalanya terutama berupa nyeri telinga hebat dan nyeri kepala. Dengan foto
rontgen mastoid yang baik, terutama posisi schuller, dapat dilihat kerusakan di lempen
tegmen (tegmen plate) yang ,menandakan tembusnya tegemen. Pada umumnya abses
ini baru diketahui pada waktu operasi mastoidektomi.
7) Meningitis
Komplikasi otitis media ke susunan saraf pusat yang paling sering ialah meningitis.
Keadaan ini dapat terjadi oleh otitis media akut, maupun kronis , serta dapat
terlokalisasi, atau umum (general). Walau secara klinik kedua bentuk ini mirip, pada
pemeriksaan likuor serebrospinal terdapat bakteri pada bentuk yang umum (general),
sedangkan pada bentuk yang terlokalisasi tidak ditemukan bakteri.
Gambaran klinik meningitis biasanya berupa kaku kuduk,kenaikan suhu tubuh,
mual, muntah yang kadang-kadang muntahnya muncrat (proyektil), serta nyeri kepal
hebat. Pada kasus yang berat biasanya kesadaran menurun (delir smpai koma). Pada
pemeriksaan klinik terdapat kaku kuduk waktu difleksikan dan terdapat tanda kernig
positif. Biasnaya kadar gula menurun dan kadar protein meninggi di likuor
serebrospinal.
Pengobatan meningitis otogenik ini ialah dengan mengobati meningitisnya dulu
dengan antibiotik yang sesuai, kemudian infeksi di telinganya ditanggulangi dengan
operasi mastoidektomi.
34
BAB V
PROGNOSIS
Prognosis dengan pengobatan lokal adalah otorea dapat mengering. Tetapi sisa perforasi
sentral yang berkepanjangan memudahkan infeksi dari nasofaring atau bakteri dari meatus eksterna
khususnya terbawa oleh air, sehingga penutupan membrana timpani disarankan.25,26
Prognosis kolesteatom yang tidak diobati akan berkembang menjadi meningitis, abses otak,
paresis fasialis atau labirinitis supuratif yang semuanya fatal. Sehingga OMSK tipe maligna harus
diobati secara aktif sampai proses erosi tulang berhenti.25,26
Prognosis pada penyakit OMSK tergantung pada cepat lambatnya pengobatan. Semakin
cepat penanganan, maka prognosis pasien lebih baik. Pada pasien OMSK yang terlambat mendapat
penanganan akan memiliki prognosis yang lebih buruk, karena akan memperbesar resiko
timbulnya komplikasi.
35
BAB VI
KESIMPULAN
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah proses peradangan kronis yang terjadi pada
telinga tengah dan rongga mastoid yang digambarkan dengan keluarnya cairan oleh karena
perforasi dari membran timpani dan didapati adanya secret yang keluar dari telinga tengah lebih
dari 2 bulan baik terus menerus maupun hilang timbul.
Insiden OMSK ini bervariasi pada setiap negara. Secara umum, insiden OMSK dipengaruhi
oleh ras dan faktor sosioekonomi. Pada negara yang sedang berkembang, tingkat sosioekonomi
yang rendah menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK. Di negara berkembang dan
negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%, dengan prevalensi tertinggi terjadi pada
populasi di Eskimo (12-46%), sedangkan prevalensi terendah terdapat pada populasi di Amerika
dan Ingris kurang dari 1%. Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun
1996 ditemukan insidens Otitis Media Supuratif Kronik sebesar 3% dari penduduk Indonesia.
Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6, 6 juta penderita
OMSK.
OMSK ini sering didapati pada anak-anak. Hal ini dikarenakan infeksi akut dari telinga tengah
atau yang disebut juga dengan otitis media. Sering kali keterlambatan penanganan dan penanganan
yang kurang adekuat dalam infeksi telinga tengah ini menyebabkan otitis media supuratif kronis
ini. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring, adenoid, tonsil, rinitis, dan juga sinus yang
mencapai telinga tengah melalui tuba eustachius.
OMSK terdiri atas 2 macam yaitu tipe benigna atau jinak dan tipe maligna atau ganas.Tipe
benigna dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe aktif dan tipe non-aktif, sedangkan pada tipe maligna
juga dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe kongenital dan didapat.
Faktor yang menyebabkan infeksi menjadi kronik dapat berupa gangguan fungsi tuba
eustachius yang kronik akibat infeksi hidung dan tenggorok yang kronis atau berulang, obstruksi
anatomik tuba eustachius parsial atau total, perforasi membran timpani yang menetap dan faktor
konsistusi dasar seperti alergi dan imunodefisiensi
Gejala klinis OMSK pada umunya yaitu telinga berair, gangguan pendengaran, nyeri telinga
dan vertigo. Diagnosis OMSK dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik seperti
36
pada pemeriksaan otoskopi, dan pemeriksaan penunjang seperti audiometri, kultur bakteri, uji
resistensi.
Prinsip terapi OMSK ada dua yaitu terapi konservatif dan terapi operatif . Terapi konservatif
dapat berupa edukasi, ear toilet atau pembersihan liang telinga dan kavum timpani, pemberian
antibiotik topikal dan sistemik sesuai dosis dan jangka waktu yang ditetapkan. Sedangkan terapi
operatif adalah terapi pembedahan yang dilakukan sesuai tipe OMSK pada masing- masing
pasien. Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran
timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih
berat, serta memperbaiki pendengaran. Prognosis OMSK adalah baik apabila infeksinya dapat
dikontrol dan diatasi dengan baik.
37
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA
1. Lasminingrum L, (2000). Perjalanan klinis dan penatalaksanaan otitis media supuratif.
Available from:URL:http://www.mkbnline.org/index.php?option=268:perjalanan-klinisdan-penatalaksanaan-otitis-media-supuratif=1:kumpulan-artikel&Itemid=55. [Accessed 18
Mei 2011].
2. Boesoirie S, 2007. Gangguan Pendengaran. Available from:
http://www.ketulian.com/web/index.php?to=article&id=13. Diakses 18 Mei 2011.
3. Soepardi, dkk. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik. Dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6, FKUI, Jakarta;h 80-85.
4. Helmi, 2005. Otitis Media Supuratif Kronik. Dalam: Pengetahuan Dasar Terapi Medik
Mastoidektomi Timpanoplasti. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
5. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 4962
6. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
7. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam:
Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997:
88-118
8. Berman S. Otitis media ini developing countries. Pediatrics. July 2006. Available from
URL: http://www.pediatrics.org
9. Thapa N, Shirastav RP. Intracranial complication of chronic suppuratif otitis media, atticoantral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39 Available from
URL:http://www.jneuro.org
10. Yeds PD, Flood LM, Banerjee A, Cliford K. CT-scanning of middle ear cholesteatome:
what does the surgeon want to know? The British Journal of Radiology. 2002; 75: 847-852.
Available from URL: http://www.bjradio.org
38
11. Loy AHC, Tan AL, Lu PKS. Microbiology of chronis suppurative otitis media in
Singapore. Singapore Med J. 2002; 43: 296-9
12. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of ototopical antibiotics
for chronic suppurative otitis media in Aboriginal children: a community-based,
multicentre, double-blind randomised controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003.
Available from URL: http://www.mja.com.au
13. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media.Medical Journal of
Australia. 2004. Available from URL:http://www.mja.com.au
14. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intracranial complication of chronic suppuratif
otitis media in children. Brazillian Journal of Otorhinolaringology. 2005. Available from
URL:http://www.rborl.org.br
15. Ballenger JJ, (1997). Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Dalam:
Jilid 2, Edisi13, Alih Bahasa: Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI, Jakarta, Binapura
Aksara; h.107-118
16. Browning G.G. Aetiopathology of Inflammatory Conditions of the External and
MiddleEar. In: Scott-Browns Otolaryngology. 6th edition. Vol. 3. ButterworthHeinemann, 1997; 3/3/15.
17. World Health Organization. Chronic suppurative otitis media: Burden of Illness and
Management Options. Geneva, Switzerland, 2004.
18. Healy G.B., Rosbe K.W. Otitis Media and Middle Ear Effusions. In: Ballengers
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, Sixteenth edition, BC. Decker, Hamilton,
Ontario, p. 249-50.
19. Adenan A. Kumpulan Kuliah Telinga. Bagian THT Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
20. Ryan A.F., Juhn S.K., Andalibi A., et al. Biochemistry. In: Lim DJ, ed. Recent Advances in
Otitis Media Report of The Eighth Research Conference, The Annals of Otology,
Rhinology and Laryngology; Jan 2005; 114, 1; 50-4.
21. Sato K., Nonomura N., Kawana M., Nakano Y. Course of IL-1, IL-6, IL- 8, and TNF- in
the Middle Ear Fluid of the Guinea Pig Otitis Media Model Induced by Nonviable
Haemophilus Influenzae. The Annals of Otology, Rhinology & Laryngology; Jun 1999;
108, 6; 559-63.
39
40