uroporfirinogen I dan menjadi uroporfirinogen III oleh uroporfirinogen (UP) III sintase. UP
III diubah menjadi koproporfirinogen III dibantu oleh UP dekarboksilase. Koproporfirinogen
III lalu memasuki mitokondria dan diubah menjadi protoporfirin III dikatalisis oleh CP III
oksidase. Kemudian menjadi protoporfirin IX, yang dikatalisis oleh protoporfirin III oksidase.
Tahap
terakhir
sintesis
heme
adalah
penggabungan
besi fero dengan
protoporfirin
dalam
suatu
reaksi
yang
dikatalisis
oleh
feroketalase.
Heme kemudian
bergabung dengan
rantai
globulin
dan membentuk
Gbr 2. Sintesis
hemoglobin. 85% sintesis heme terjadi di sel precursor eritroid di
Hemoglobin
sumsum tulang dan sebagian besarnya di hepatosit. Porfirin
tereduksi merupakan zat antara sejati dalam biosintesis porfirin dan heme.
1.4 Katabolisme
Hem
Eritrosit
hemolis
is
Hb
Globi
n
Protop
orfirin
CO
Fe
Asa
m
amin
o
biliverdi
n
bilirubi
n
urobilinog
en
urobilin
disimpan/
pool
digunaka
besi
n
pool
disimpan/
protei digunaka
n
n
Jika hemoglobin dihancurkan, globin diurai menjadi asam-asam amino pembentuknya yang
dapat digunakan lagi, dan besi memasuki kompartemen besi untuk didaur ulang. Bagian
protoporfirin yang bebas besi juga diuraikan di sel retikuloendotel hati, limpa, dan sumsum
tulang. Katabolisme heme dari semua protein heme dilaksanakan oleh suatu system enzim
kompleks yang disebut heme oksigenase. Besi fero dioksidasi menjadi bentuk feri. Dengan
penambahan oksigen lain, besi feri dibebaskan dan karbon monoksida dihasilkan serta
terbentuk biliverdin. Biliverdin reduktase mereduksi jembatan metin antara pirol III dan pirol
IV ke gugus metilen untuk menghasilkan bilirubin, suatu pigmen kuning. Bilirubin di jaringan
perifer diangkut ke hati oleh albumin plasma. Metabolisme bilirubin berlangsung di hati
melalui 3 proses:
Penyerapan bilirubin oleh sel parenkim hati
Konjugasi bilirubin dengan glukuronat di reticulum endoplasma
Sekresi bilirubin terkonjugasi ke dalam empedu
Sebagian besar bilirubin yang diekskresikan dalam empedu berada dalam bentuk bilirubin
diglukuronida. Sewaktu bilirubin terkonjugasi mencapai ileum terminal dan usus besar,
glukoronida dikeluarkan oleh enzim bakteri khusus (-glukuronidase) dan pigmen tersebut
kemudian direduksi oleh flora feses menjadi sekelompok senyawa tetrapirol tak-berwarna yang
disebut urobilinogen. Di ileum terminal dan usus besar, sebagian kecil urobilinogen
direabsorbsi dan diekskresi ulang melalui hati sehingga membentuk siklus urobilinogen
enterohepatik. Pada keadaan normal, urobilinogen tak-berwarna dioksidasi menjadi urobilin
(senyawa berwarna) dan diekskresikan ke tinja. Pada keadaan abnormal, terutama jika pigmen
empedu berlebihan atau ada penyakit hati yang mengganggu siklus ini, urobilinogen dapat juga
diekskresikan ke urin.
2. Memahami dan menjelaskan tentang eritrosit
2.1 Definisi dan morfologi
Eritrosit matang merupakan suatu cakram bikonkaf dengan diameter sekitar 7 mikron. Eritrosit
merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membrane dan
sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri atas:
a. Membrane eritrosit
b. System enzim
Yang terpenting terdapat dalam Embden Meyerhoff pathway; pyruvat kinase; pentose pathway;
dan enzim G6PD (glukosa 6 phosphat dehydrogenase)
c. Hemoglobin
Perubahan struktur eritrosit akan menimbulkan kelainan. Kelainan yang timbul karena kelainan
membrane disebut sebagai membranopati. Kelainan akibat gangguan system enzim eritrosit
disebut ensimopati. Dan, kelainan akibat gangguan struktur hemoglobin disebut
hemoglobinopati.
2.2 Eritropoesis
Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel termuda dalam sel
eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan kromatin yang halus. Dengan
pulasan Romanowsky inti berwarna biru kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru.
Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam
sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti.
Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Pada pewarnaan
kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau tidak tampak, sitoplasma sedikit
mengandung hemoglobin sehingga warna biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit
kemerah-merahan. Ukuran lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 %
dari seluruh sel berinti.
Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik. Inti sel ini
mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di beberapa tempat tampak
daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil
daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena
kandungan asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan
hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang
orang dewasa normal adalah 10-20 %.
Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel ini kecil
padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah
walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam
keadaan normal adalah 5-10 %.
Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk
melepaskan sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam
sumsum tulang dan sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses maturasi
akhir, eritrosit selain mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai
fragmen mitokondria dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut
retikulosit atau eritrosit polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini
hanya dapat dilihat dengan pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya
retikulum ini juga dapat terlihat sebagai bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan
apus biasa. Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang
kebiru-biruan dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan
oleh bahan ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal
akan beredar sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit
matang selama 120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.
Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran diameter 7-8 um
dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan
Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan karena mengandung
hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan sangat berubah bentuk selama
beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan
dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa. Banyak dinamika yang
terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik mengalami trauma,
gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di makan oleh Parasit.
3. Memahami dan menjelaskan tentang anemia
3.1 Definisi
Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai baik di klinik maupun di
lapangan. Anemia ialah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau masa hemoglobin yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar hemoglobin, hitung
eritrosit dan hematokrit (packed red cell). Untuk menjabarkan definisi anemia di atas, maka
perlu ditetapkan batas hemoglobin atau hematokrit yang kita anggap sudah terjadi anemia.
Batas ini disebut sebagai cut off point (titik pemilah) yang sangat dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin, ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut,dan lain-lain. Cut off point yang
dipakai ialah kriteria WHO tahun 1968. Dinyatakan anemia bila:
-Laki-laki
: Hb < 13 g/dl
-Wanita dewasa tak hamil
: Hb < 12 g/dl
-Wanita hamil
: Hb < 11 g/dl
-Anak umur 6 14 tahun
: Hb < 12 g/dl
-Anak umur 6 bulan-6 tahun : Hb < 11 g/dl
Criteria anemia di Indonesia umumnya:
-Hb < 10 g/dl
-Ht < 30 %
-Eritrosit < 2,8 juta/mm3
3.2 Klasifikasi
Klasifikasi yang paling sering dipakai adalah:
a) Klasifikasi morfologik berdasarkan morfologi eritrosit pada pemeriksaan sediaan apus
darah tepi atau dengan melihat indeks eritrosit.
Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80 fl; MCH < 27 pg) :
Anemia defisiensi besi, thalasemia, anemia akibat penyakit kronik, anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg):
Anemia pascaperdarahan akut, aplastik-hipoplastik, hemolitik-terutama bentuk yang
didapat,akibat penyakit kronik, mieloptisik, pada gagal ginjal kronik, pada mielofibrosis,
pada sindrom mielodisplastik, pada leukemia akut
Anemia makrositer (MCV > 95 fl):
Megaloblastik (anemia def. folat dan vit B12), nonmegaloblastik (anemia pada penyakit
hati kronik, hipotiroid, dan sindroma mielodisplastik)
b) Klasifikasi etiopatogenesis berdasarkan etiologi dan patogenesis terjadinya anemia.
Produksi eritrosit menurun :
Kekurangan bahan untuk eritrosit (anemia def. besi, anemia megaloblastik), gangguan
utilisasi besi (anemia akibat penyakit kronik, anemia sideroblastik), kerusakan jaringan
sumsum tulang (atrofi dengan penggantian oleh jaringan: lemakanemia aplastik,
fibrotic/tumoranemia mieloptisik/leukoeritroblastik), fungsi sumsum tulang yang kurang
baik karena tidak diketahui (anemia diseritropoetik, pada sindrom mielodisplastik)
Kehilangan eritrosit dari tubuh :
Anemia pasca perdarahan akut dan kronik
Peningkatan penghancuran eritrosit dalam tubuh (hemolisis):
Factor ekstrakorpuskular (Ab terhadap eritrositautoantibodi-AIHA & isoantibodi-HDN,
hipersplenisme, pemaparan terhadap bahan kimia, akibat infeksi parasit/bakteri, kerusakan
mekanik), factor intrakorpuskular (gangguan membranehereditary spherocytosis &
hereditary elliptocytosis, gangguan enzim def. pyruvat kinase & G6PD, gangguan
Hbhemoglobinopati structural & thalassemia
Bentuk campuran
Bentuk yang patogenesisnya belum jelas
a)
b)
c)
d)
3.3 Derajat
Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang umum
dipakai adalah sebagai berikut:
Ringan sekali
: Hb 10 g/dl - cut off point
Ringan
: Hb 8 g/dl 9,9 g/dl
Sedang
: Hb 6 g/dl 7,9 g/dl
Berat
: Hb < 6 g/dl
System kardiovaskuler : lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina
pectoris, dan gagal jantung
System saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang,
kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas
System urogenital : gangguan haid dan libido menurun
Epitel : warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tipis dan
halus.
a)
b)
c)
d)
4.2 Etiologi
Anemia def. besi dapat disebabkan oleh:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahunpaling sering pada orang dewasa, yang
dapat berasal dari:
Saluran cerna (sering pada laki-laki): akibat tukak peptic, kanker lambung, kanker kolon,
divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang(pada negara tropic)
Saluran genitalia wanita (sering pada wanita): menorrhagia atau metrorhagia
Saluran kemih: hematuria
Saluran nafas: hemoptoe
Faktor nutrisi jarang: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi
(bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vit.C, rendah daging)
Kebutuhan besi meningkat jarang : seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan
Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik
4.3 Patofisiologi
Di negara maju, defisiensi besi dari makanan jarang menjadi penyebab tunggal terjadinya
anemia. Besi dalam makanan terdapat pada daging khusunya hati. Sumber besi ini lebih baik
daripada sayuran, telur atau produk susu. Penyebab utama anemia defisiensi besi adalah
perdarahan kronik, biasanya dari uterus atau saluran cerna.
Patogenesanya terbagi atas tiga fase:
1.
2.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali,
penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut iron deficient
erythropoesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan
total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter spesifik ialah kadar reseptor
transferin dalam serum yang meningkat.
3.
Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoesis akan makin terganggu sehingga
kadar hemoglobin akan menurun, akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer. Disebut
juga iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta
berbagai gejala lainnya.
Riwayat gizi.
Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia fisik serta riwayat pemakaian
obat.
b) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik terhadap pasien pada konjungtiva mata, warna kulit, kuku, mulut, dan papil
lidah apakah terdapat gejala umum anemia/ sindrom anemia.
c) Pemeriksaan laboratorium
Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia def. besi dapat dipakai criteria
diagnosis sebagai berikut:
Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31%
dengan salah satu dari:
a) Dua dari tiga parameter di bawah ini:
Besi serum <50 mg/dl
TIBC >350 mg/dl
Saturasi transferin <15%
b) Feritin serum <20 g/dl
c) Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi (butir
hemosiderin) negative
d) Sumsum tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik dengan normoblast kecil-kecil
(micronormoblast) dominan.
Berdasarkan pemeriksaan-pemeriksaan diatas kita dapat membedakan anemia defisiensi
besi menjadi :
1. Anemia dengan status besi cukup : bila didapatkan kadar Hb 10 g/dL,
hematokrit 30%, saturasi transferin > 20% dan kadar feritin serum > 100 ng/L
2. Anemia defisiensi besi absolute : bila didapatkan saturasi transferin < 20% dan
kadar feritin serum < 100 ng/L
3. Anemia defisiensi besi fungsional : bila didapatkan saturasi transferin < 20% dan
kadar feritin serum 100 ng/L
Zat besi
TIBC
Feritin serum
Protoporfirin sel
darah
Anemia
Turunan
Anemia karena
Anemia
defisiensi besi
talasemia
penyakit kronik
sideroblastik
N
N
N
N
N atau
HbA2
4.7 Penatalaksanaan
Terapi terhadap anemia def. besi dapat berupa:
a) Terapi kausal: tergantung penyebabnya. Misalnya pengobatan cacing tambang, pengobatan
hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, jika tidak anemia akan
kambuh.
b) Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
Besi per oral merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah dan aman. Preparatnya,
yaitu:
-Ferrous sulphat (sulfat ferosus)pilihan pertama. Dosis: 3 x 200 mg
-Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate. Lebih mahal, tapi
efektivitas dan efek samping hampir sama.
Sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tapi efek samping lebih banyak dibanding dengan
pemberian setelah makan. Efek samping: mual, muntah, dan konstipasi. Pengobatan diberikan
sampai 6 bulan setelah kadar Hb normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Kalau tidak,
anemia akan kambuh.
Besi parenteral
Efek sampingnya lebih berbahaya dan lebih mahal. Indikasi, yaitu:
-Intoleransi oral berat
-Kepatuhan obat berkurang
-Colitis ulserativa
-Perlu peningkatan Hb secara cepat
Preparatnya yaitu: iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex. Dapat diberikan
secara IM atau IV pelan. Efek samping: reaksi anafilaksis, felbitis, sakit kepala, flushing, mual,
muntah,
nyeri
perut,
dan
sinkop.
Dosis:
dihitung
berdasarkan
rumus
Kebutu h an besi ( mg )=( 15Hb sekarang ) x BB x 3
c) Pengobatan lain
Diet diberikan makanan tinggi protein, terutama protein hewani
Vit. C diberikan 3 x 100 mg/hari untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfuse darah. Indikasi: adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah jantung,
anemia yang sangat simptomatik, penderita perlu peningkatan Hb yang cepat, seperti pada
kehamilan trimester akhir atau pascaoperasi. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed
red cell)untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi, dapat diberikan furosemid
IV.
a)
b)
c)
d)
4.8 Pencegahan
Tindakan pencegahan dapat berupa:
Pendidikan kesehatan, yaitu:
Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, dan perbaikan lingkungan kerja,
misalnya pemakaian alas kaki.
Penyuluhan gizi: untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi.
Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik paling sering di
daerah tropic
Suplementasi besi: terutama untuk segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak
balita
Fortifikasi bahan makanan dengan besi
4.9 Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Jika terjadi kegagalan dalam
pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut :
Diagnosis salah
Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlangsung menetap
Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (infeksi, keganasan,
penyakit hati, penyakit ginjal,penyakit tiroid,penyakit defisiensi vitamin B12, asam folat)
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, Made I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Hal 9-18. Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Bakta, Made I. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Hal 30-39. Buku Kedokteran EGC, Jakarta
http://metiychan.wordpress.com/2010/05/06/anemia-defisiensi-besi-dan-anemia-aplastik/
http://oryza-sativa135rsh.blogspot.com
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/penatalaksanaan_anemi_defissiensi_besi.pdf
http://ripanimusyaffalab.blogspot.com
Murray, K Robert , Daryl K Granner, Peter A Mayes. 2009. Biokimia Harper Ed.27. hal 288290. Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Murray, K Robert , Daryl K Granner, Peter A Mayes. 2009. Biokimia Harper Ed.27. hal 296299. Buku Kedokteran EGC, Jakarta