Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam menghadapi perkembangan penduduk, masyarakat modern menuntut
perbaikan kondisi kesehatan dan kehidupan, diantaranya gizi, pakaian, tempat
tinggal dan transportasi. Untuk memenuhi tujuan ini berbagai jenis bahan kimia
harus diproduksi dan dipergunakan, banyak diantaranya dalam jumlah yang besar.
Diperkirakan berpuluh-puluh ribu jenis bahan kimia kini diproduksi secara
komersial di negara-negara industri.
Dengan berbagai cara, bahan kimia ini bersentuhan dengan berbagai segmen
penduduk yang terlibat dalam proses pembuatannya, yang menanganinya, yang
menggunakannya

(misalnya

pelukis,

pemakaian

insektisida),

yang

mengkonsumsinya (misalnya obat-obatan, zat tambahan makanan) atau yang


menyalahgunakannya (misalnya bunuh diri, keracunan secara tidak sengaja).
Selain itu mungkin orang terpajan bahan kimia secara lebih menetap lewat
berbagai media lingkungan dan terpengaruh secara lebih perlahan.
Penelitian di wilayah kabupaten Banyumas, ditemukan prevalensi (frekuensi)
jumlah penderita keracunan insektisida tingkat sedang berkisar antara 20 50 %
dari jumlah yang diperiksa. Dari penelitian tersebut diperoleh gambaran
prevalensi keracunan tingkat sedang yang disebabkan pekerjaan, yakni antara 8,5
50 %. Dengan demikian dapat diperkirakan prevalensi angka keracunan tingkat
sedang para petani Indonesia bisa mencapai angka puluhan juta pada musim
penyemprotan
Karena banyaknya orang yang terpajan bahan-bahan kimia ini, maka kita
harus mencari upaya pengendalian yang tepat sebelum terjadi kerusakan yang
hebat.

1.2. Tujuan
Untuk memberikan gambaran tentang bahaya insektisida serta akibat-akibat
yang akan ditimbulkan apabila terpajan oleh bahan-bahan insektisida serta
penanggulan keracunan insektisida.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi insektisida
Insektisida berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol hama
serangga. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO 1986) mendefinisikan
insektisida adalah setiap zat atau campuran yang diharapkan sebagai pencegahan,
menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vector terhadap manusia
atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang
menyebabkan keruskan selama atau dalam proses pencampuran dengan produksi,
penyimpanan atau pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi
kayu, atau bahan makanan binatang, atau yang dapat dilakukan pada binatang
sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau hama lain di dalam atau pada
tubuh binatang tersebut. Insektisida pun bermacam macam berdasarakan cara
penggunaannya, ada yang di semprotkan (dengan alat penyemprot atau dengan
kaleng penyemprot Aerosol), di bakar (fumigant untuk ruang tertutup), di oleskan
(repellant, penolak serangga Attractant (penarik serangga seperti kertas lalat untuk
membunuhnya).
Insektisida di perkenalkan ke publik pertama kali di Jerman tahun 1945
dengan senyawa kimia Organoposphates dan di Prancis 1941 yaitu dalam bentuk
insektisida aerosol (Hexachlorocylohexane). Insektisida dengan jenis insektisida
memiliki angka presentase tertinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan
pemakaiannya untuk lahan pertanian. Insektisida dengan jenis insektisida ini dapat
diklasifikasikan atas dasar rumus kimia, mekanisme kerja dan jenis racun.
2.1. Jenis Insektisida
Menurut Ecobichon, dalam Ruchirawat (1996), klasifikasi insektisida
berdasarkan rumus kimianya:
1. Insektisida Organochlorines
Insektisida golongan ini masih banyak digunakan, meskipun beberapa
diantaranya telah dilarang beredar di Indonesia misalnya Endrin telah dilarang di

Indonesia kecuali dengan izin khusus dari Departemen Kesehatan dalam hal ini
Komisi Insektisida. Insektisida golongan organoklorin pada umumnya merupakan
racun perut dan racun kontak efektif terhadap larva, serangga dewasa, kepompong
dan telurnya. Penggunaan insektisida ini makin berkurang karena penggunaan
dalam waktu lama residunya persisten dalam tanah, tubuh hewan dan jaringan
tanaman. Akumulasi terutama terjadi pada jaringan lemak selain itu kerjanya juga
kurang efktif dan dapat menimbulkan resistensi, berbahaya bagi manusia terutama
absorpsi kulit dan terjadi penimbunan dalam tubuh. Keracunan insektisida ini
dapat melalui ; mulut, inhalasi dan kulit.
Terdiri atas carbon, chlorines, dan hidrogen,. Jenis ini sering disebut
chlorinated hydrocarbons, chlorinated organics, chlorinated insecticides atau
synthetics.
a. DDT (Dichloro Dihenyl Trichloroethane)
Merupakan insektisida yang sangat ampuh membunuh berbagai serangga
hama yang menyerang sayur sayuran, palawija dan juga tanaman perkebunan.
Di sampinng itu juga sangat ampuh untuk membunuh nyamuk penyebab malaria.
Insektisida ini harganya relatif murah, maka tidak mengherankan kalau banyak di
gunakan orang secara meluas. Namun tahun 1973 di ketahui DDT ini ternyata
membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena meninggalkan residu
yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan.
DDT sangat stabil baik di air maupun di tanah dan dalam jaringan tanaman dan
hewan. DDT tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas atau sinar
ultra violet. Golongan yang masih ada hubungannya dengan DDT adalah TDE
(DDD), methoxchylor, ethylan (perthane), dicofol (kelthane) dan chlorobenzilate.
Untuk dicofol dan cholobenzilate adalah insektisida, melainkan akarisida yaitu
yang dapat di gunakan untuk membunuh tungau.
b. Hexachlorocyclohexane (HCH)
HCH dulunya di kenal dengan nama benzene hexachloride (BCH), untuk
pertama kalinya ditemukan pada tahun 1825. Karena sifatnya menyerupai DDT
maka HCH penggunaanya juga dilarang.

c. Cylodienes
Cylodienes juga dikenal diene organochlorines insecticides, di
kembangkan sesudah perang dunia II. Yang tergolong dalam cylodienes adalah
chlordane, heptachlor, aldrin, endosulfan (thiodan), mirex, chlordecone (kepone),
dieldrin dan endrin. Cylodienes lain yang juga di kembangkan, namun kurang
begitu penting adalah isodrin, alodan, bromodan, dan telodrin. Cylodienes
merupakan insektisida yang persisten dan sangat stabil di tanah, untuk itu
Environmental

Protection

Agency

(EPA)

pernah

melarang

penggunaan

Cylodienes antara tahun 1975 dan 1980.


d. Polychloroterpene
Ada dua bahan dari polychloroterpene, yaitu taxophene dan stobane.
Taxophene pada mulanya digunakan dengan cara dikombinasikan dengan DDT
untuk mengendalikan hama kapas. Namun pada tahun 1965 diketahui beberapa
serangga

hama

kapas

resisten

terhadap

DDT,

selanjutnya

taxophene

penggunaannya di kombinasikan methyl parathion yaitu senyawa organophospate.

Gambar 1. Susunan kimia insektisida organochlorine

2. Insektisida Organophospates
Golongan ini makin banyak digunakan karena sifatnya-sifatnya yang
menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan
tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun
perut dan racun pernapasan. Dengan takaran rendah sudah memberikan efek yang
memuaskan, kerjanya cepat dan mudah terurai
Golongan ini disebut organic phospates, phosphorus inseticidies,
phosphates, phosphates insectidies phosphorus esters atau phosphorus acid esters.
Mereka itu adalah derivat phosphoric caid dan biasanya sangat toksik untuk
hewan bertulang belakang. Golongan organophosphates struktur kimianya dan
cara kerjanya berhubungan erat dengan syaraf. Organophosphates selain toksik
terhadap hewan bertulang belakang ternyata tidak stabil dan nonpersisten,
sehingga golongan ini dapat menggantikan organochlorines, khususnya untuk
menggantikan DDT. Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak
kulit, dan tertelan dengan jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit.
a.Derivat Aliphatic
Pada 1946 tetraethyl pyrophosphate (TEPP) yang pertama kali
diperkenalkan untuk keperluan pertanian. TEPP adalah sangat toksik, tetapi tidak
stabil di dalam air dan cepat terhidrolisasi atau terurai. Sedangkan malathion
dikenalkan pada tahun 1950 dan dengan cepat dipergunakan dalam bidang
pertanian untuk membunuh serangga hama pada sayuran, buah buahan dan juga
sering digunakan untuk keperluan perlidungan dari gangguan serangga di rumah
rumah. Sekitar 1981 malathion di gunakan secara besar besaran untuk
mengendalikan lalat buah di California. Malathion di campur dengan suatu protein
dari molasses dan yeast kemudian disemprotkan dengan menggunakan helikopter
pada daerah yang terserang lalat buah. Ternyata malathion cukup efektif untuk
membunuh lalat buah. Malathion yang penggunaanya di campur dengan umpan
tersebut juga ternyata juga berhasil diterapkan di Florida, Texas dan Los Angeles.
Monocrotophos

(azodrin)

adalah

suatu

derivat

aliphatic

yang

mengandung nitrogen, merupakan insektisida sistemik untuk tanaman, tetapi

terlalu toksik untuk hewan menyusui. Biasanya insektisida sistemik ditaruh dekat
akar kemudian insektisida akan di serap oleh tanaman bagian atas tanaman.
Apabila serangga mengisap cairan tanaman akan mati, namun untuk ulat biasanya
kurang terpengaruh. Contohlain yang bersifat sistemik adalah dimethoate,
oxydemethoate methyl, dicrotophos dan disulfoton.
Dichlorovos adalah suatu derivataliphatic yang biasa digunakan sebagai
fumigant, untuk memfumigasi benih dan biji. Biasanya digunakan untuk
mengendalikan serangga di rumah atau di tempat tempat tertutup.
Mevinphos adalah sangat toksik dipergunakan secara komersial pada
sayuran, karena mudah terurai. Bahkan dapat dipergunakan beberapa hari sebelum
panen, karena tidak meninggalkan residu.
Methamidophos (Monitor) dan Acephate (Orthene) adalah adalah juga
derivat aliphatic organophosphate, keduanya bisa digunakan secara meluas dalam
bidang pertanian, terutama untuk mengendalikan serangga hama pada sayuran.
b. Derivat Phenyl
Parathion merupakan phenyl oraganosphosphates yang paling di kenal
pada 1946. Ethyl parathion merupakan derivat phenyl yang pertama dikenalkan
secara komersial. Karena sifatnya yang sangat toksik tidak digunakan di rumah.
Methyl parathion dikenal pada 1949 dan lebih banyak digunakan daripada ethyl
parathion karena methyl parathion kurang toksik untuk manusia dan hewan
piaraan.
Insektisida sistemik juga ditemukan dalam phenyl organosphosphates,
seperti ronnel dan cruformate sebagai insektisida sistemik pada hewan atau ternak.
Profenophos dan sulprofos, keduanya mempunyai spektrum yang luas.
Isofrenphos sering digunakan sebagai insektisida tanah pada berbagai jenis
tanaman, sepeti pada sayuran untuk membunuh lalat dan juga uret.

c. Derivat Heterocyclic
Insektisida diazinon merupakan yang pertama dikenalkan pada 1952.
diazinon dapat digunakan di rumah, kebun dan tanaman hias. Azinphosmethyl di
kenalkan pada 1945 dan digunakan terutama untuk insektisida dan akarasida pada
tanaman kapas. Chlorpyrifos sering digunakan di rumah rumah untuk
melindungi gangguan serangga. Dialifor pertama kali dikenalkan pada tahun 1960
ntuk mengendalikan serangga hama pada buah buahan. Contoh lainnnya yang
termasuk derivat heterocyclic adalah methidathion dan phosmet.

Gambar 2. Susunan kimia insektisida organophospates


Mekanisme Kerja insektisida organophosphat
Konversi dari thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada
metabolism mikrosom hati sehingga okson menjadi insektisida bentuk aktif pada
hama binatang dan manusia. Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa
organofosfat ester, menghasilkan alkil fosfat dan fenol yang memiliki aktifitas
toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi.
Insektisida golongan organofosfat menimbulkan efek pada serangga,
mamalia dan manusia melalui inhibisi asetilkolinesterase pada saraf. Fungsi
normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan
pengetahuan lebih dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh).

Reseptor muskarinik dan nikotinik-asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat


dan perifer.
Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :
1. Sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik
2. Sinaps postgamglion parasimpatik
3. Neuromuscular junction pada otot rangka.
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting
toksisitas insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat
vasomotor. Ketika asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter
untuk memperbanyak konduksi saraf perifer dan saraf pusat atau memulai
kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui hidrolisis dengan munculnya
enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true cholinesterase
atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular
junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada
serum, plasma dan hati.
Insektisida golongan organofosfat menghambat AChE melalui proses
fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang
irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai enzim baru terbentuk atau
suatu

reaktivator

kolinesterase

diberikan.

Dengan

berfungsi

sebagai

antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfugnsi


menghidrolisa neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif.
Akibatnya terjadi penumpukan ACh pada sinaps-sinaps kolinergik, dan inilah
yang menimbulkan gejala-gejala keracunan organofosfat. Pajanan pada dosis
rendah, tanda dan gejala umumnya dihubungkan dengan stimulasi reseptor perifer
muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor nikotinik dan
reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau
empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai
beberapa bulan untuk eritrosit.

3. Insektisida Hydrocarbon
Golongan ini terdiri atas ikatan karbon, klorin, dan hydrogen. Insektisida
jenis ini masih digunakan di negara-negara yang sedang berkembang terutama
pada daerah ekuator, karena murah, daya kerja yang efektif dan sifatnya yang
resisten.. Contohnya Sichloheksan benzene terklorinasi, antara lain HCB, HCH.
Pembakaran hidrokarbon menghasilkan panas. Panas yang tinggi menimbulkan
peristiwa pemecahan (Cracking) menghasilkan rantai hidrokarbon pendek atau
partikel karbon. Gas hidrokarbon dapat bercampur dengan gas buangan lainnya.
Cairan hidrokarbon membentuk kabut minyak (droplet). Padatan hidrokarbon
akan

membentuk

asap

pekat

dan

menggumpal

menjadi

debu/partikel.

Hidrokarbon bereaksi dengan NO2 dan O2 mengahsilkan PAN (Peroxy Acetyl


Nitrates). Campuran PAN dengan gas CO dan O3 disebut kabut foto kimia (Photo
Chemistry Smog) yang dapat merusak tanaman. Daun menjadi pucat karena
selnya mati. Jika hidrokarbon bercampur bahan lain toksitasnya akan meningkat.
Berikut ini adalah toksitas benzena dan toluena:
Konsentrasi Pengaruhnya terhadap tubuh:
Benzena (ppm):
100 iritasi terhadap mukosa
3 000 lemas (0,5 - 1 jam)
7 500 paralysys (0,5 -1 jam)
20 000 kematian (5 - 10 menit)
Toluena (ppm):
200 pusing, lemah, pandangan kabur setelah 8 jam.
600 gangguan syaraf, dapat diikuti kematian jika waktu kontak lama.

10

Gambar 3. Susunan kimia insektisida hydrocarbon


2.3

Manfaat Insektisida
Insektisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan serangga.

Beberapa diantaranya berlaku sebagai vektor penyebab penyakit. Penyakitpenyakit yang sering ditularkan oleh vektor antara lain malaria, DBD ditularkan
pada

manusia

oleh

nyamuk.

Penggunaan

insektisida

dapat

membantu

mengendalikan penyakit ini. Serangga juga merusak berbagai tanaman dan hasil
panen. Karena itu insektisida digunakan secara luas untuk melindungi berbagai
tanaman dan produk lainnya.
2.4

Efek buruk Insektisida


Efek buruk ini dapat menyangkut kesehatan manusia dan atau

lingkungan. Efek yang paling dramatis pada manusia adalah keracunan akut
akibat insektisida. Keracunan insektisida organofosfat telah terjadi diberbagai
bagian dunia, mengakibatkan jatuhnya korban ribuan orang dan ratusan orang
yang meninggal.
Kasus keracunan akut individual biasanya terjadi akibat memakan
sejumlah

besar

insektisida

secara

tidak

sengaja

atau

bunuh

diri.

Pajanan insektisida ditempat kerja dapat mengenai para pekerja yang terlibat
dalam pembuatan, formulasi, dan penggunaan insektisida.

11

Biasanya insektisida masuk ke dalam tubuh melalui saluran napas dan


absorpsi kulit tetapi sejumlah kecil dapat memasuki saluran gastrointestinal (GI)
karena menggunakan tangan atau peralatan yang tercemar. Tetapi masalah utama
bagi kesehatan masyarakat adalah adanya resiko insektisida dalam makanan
karena ini dapat mengakibatkan sejumlah besar orang selama jangka waktu yang
panjang. Selain bahaya bagi kesehatan manusia, insektisida dapat mempunyai
dampak berbahaya bagi lingkungan.
2.5

Toksisitas Insektisida
Secara sederhana dan ringkas toksisitas atau toksikologi didefinisikan

sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efektifitas berbagai bahan terhadap
makhluk hidup dan sistem biologik lainnya. Ia juga membahas penilaian
kuantitatif tentang berat dan kekerapan efek ini sehubungan dengan terpajannya
makhluk tadi.
Tiap jenis insektisida memiliki sifat, karakteristik dan toksisitas yang
berbeda. Oleh sebab itu harus dipelajari, disamping itu insektisida yang ada
dipasaran dalam bentuk kemasan, sekurang-kurangnya ada tiga komponen bahan
kimia yaitu : active ingredient (a.i), stabilizer dan pewarna, pembau pelarut dan
lain-lain. Masing-masing bahan kimia tersebut memiliki potensi bahaya
kesehatan. Namun toksisitas umumnya hanya diperhitungkan terhadap active
ingredient.
Dampak dan patofisiologi keracunan insektisida tergantung jenis atau
sifat insektisida tersebut. Misalnya golongan organoklorin dapat mengganggu
fungsi susunan saraf pusat, golongan Carbamat dan organofosfat menimbulkan
gangguan susunan saraf pusat dan perifer melalui mekanisme ikatan
Cholinesterase.dan lain-lain.
Dari penelitian (Achmadi, 1985) diketahui bahwa dibawah ini merupakan
kelompok resiko tinggi sebagai pengguna insektisida organofosfat. Mereka antara
lain :
1.

Penderita anemia

2.

Penderita Noctural Hemoglobulinuria,

12

3.

Wanita,

4.

Asthenis,

5.

Secara

kongenital

tidak

memiliki

cholinesterase

dalam

darahnya.

2.6 Epidemiologi Kasus Keracunan Insektisida


Untuk mendapatkan gambaran jumlah korban keracunan insektisida di
Indonesia secara akurat, sangat sulit karena belum adanya sistem pelaporan dan
monitoring secara sistemik dan periodik. Apalagi dengan penerapan desentralisasi
pembangunan kesehatan, sistem pelaporan sama sekali tidak berjalan sehingga
sulit mengetahui kondisi kesehatan nasional termasuk gambaran keracunan
insektisida.
Biasanya gambaran dampak kesehatan diperoleh dari survei yang
insidentil yang tidak dilaksanakan secara sistemik. Namun demikian dapat
diketahui gambaran dampak (actual hazard) penggunaan insektisida sebagai
berikut.
2.6.1. Korban keracunan akut insektisida
Tahun 1976, penelitian yang mengumpulkan angka dari 13 rumah sakit di
Jakarta diperoleh angka 105 korban dengan case fatality rate 7,6 %. Kasus-kasus
di kota pada umumnya akibat bunuh diri dan kecelakaan rumah tangga.
Kasus-kasus serupa juga perlah dikumpulkan di Jogjakarta, Semarang dan
Surabaya. Secara insidentil kasus-kasus keracunan akut sering dijumpai oleh
Subdit Pengamanan Insektisida Direktorat PLP, Depkes (Kini direktorat Penyakit
Tidak Menular). Misalnya kasus Tiyudan (1983) dengan Case Fatality Rate 20 -50
%. Pada tiap KLB kemudian akasus Kikim, Tebing Tinggi Sumatera Selatan, 44
orang keracunan, 4 orang meninggal. Tahun 1990 subdid tersebut mencoba
menerapkan upaya pencatatan dan pelaporan melalui pilot project di beberapa
kabupaten, namun tidak ada kelanjutannya. Di Yogyakarta, sekitar 328 korban
keracunan akut insektisida dikumpulkan datanya dengan angka kematian 020 %.
Analisis epidemiologi penderita keracunan akut insektisida dari berbagai
provinsi di Jawa dan Bali bahwa, masalah keracunan akut insektisida adalah
masalah pekerjaan khususnya petani. Disamping itu ditemui pula kasus-kasus

13

korban golongan umur balita 3 % serta kejadian kecelakaan di rumah cukup


menonjol.
2.6.2. Kasus Keracunan Tingkat Sedang (Berhubungan dengan Pekerjaan)
Korban keracunan tingkat sedang umumnya merupakan pekerja yang
menggunakan

insektisida

seperti

petani

pengguna

insektisida,

pengecer

insektisida, pekerja pabrik insektisida dan lain-lain. Umumnya para korban


tingkat sedang tidak memberi gejala spesifik, namun jumlahnya sangat banyak.
Achmadi (1985) juga melakukan penelitian di wilayah kabupaten Banyumas,
ditemukan prevalensi (frekuensi) jumlahpenderita keracunan insektisida tingkat
sedang berkisar antara 2050 % dari jumlah yang diperiksa.
Ditemukan berbagai faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat
pemaparan (degree of exposure) bila seseorang bekerja menyemprot insektisida di
lapangan. Faktor-faktor itu antara lain:
1.

Tinggi rendahnya tanaman

2.

Pengalaman petani

3.

Pernah tidaknya ikut pelatihan

4.

Umur petani

Semua itu dapat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya behavioral


exposure atau tingkah laku pemaparan. Behavioral exposure ini pada akhirnya
akan berpengaruh pada dampak kesehatan akibat insektisida bila petani
menyemprot di sawah. Hingga tahun 2000 penelitian terhadap para pekerja atau
penduduk yang memiliki riwayat kontak insektisida banyak sekali dilakukan
(misalnya

Khoiri

1999,

Zamachsyari,

1994,

Nurhayati

1997)

Dari penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang


yang disebabkan pekerjaan, yakni antara 8,550 %. Dengan demikian dapat
diperkirakan prevalensi angka keracunan tingkat sedang para petani Indonesia
bisa

mencapai

angka

puluhan

juta

14

pada

musim

penyemprotan.

2.6.3. Keracunan Tingkat Samar


Penderita kelompok tingkat samar memperoleh atau exposed insektisida
dari lingkungan maupun residu dalam makanan seperti sayuran dan tanaman
hortikultural hasil penyemprotan. Berbagai penelitian pada badan air di beberapa
wilayah di Indonesia, mewujudkan bahwa beberapa sungai telah tercemar
insektisida (Lembaga Ekologi UNPAD, 1981)
Penelitian residu insektisida pada makanan juga pernah dilakukan. Dari
penelitian-penelitian residu insektisida dalam makanan dan sayuran telah terbukti
adanya residu beberapa insektisida. Berbagai temuan menunjukkan adanya
kandungan residu yang cukup tinggi bahkan melebihi angka ADI (Allowable
Daily Intake).
2.7

Gejala keracunan insektisida


Menurut Pandit (2006), tingkat keracunan insektisida jenis insektisida

dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:


Acute poisoning, yaitu keracunan yang terjadi akibat masuknya sejumlah
besar insektisida sekaligus ke dalam tubuh, missal kasus salah makan ataupun
bunuh diri. Gejala dari keracunan akut, mual, muntah-muntah, sakit kepala,
pusing, kebingungan/ panik, kejang otot, lemah otot, sawan.
Sub-acute poisoning, merupakan keracunan yang ditimbulkan oleh
sejumlah kecil insektisida yang masuk ke dalam tubuh, namun terjadinya secara
berulang-ulang.
Chronic poisoning, yaitu keracunan akibat masuknya sejumlah kecil
insektisida dalam waktu yang lama dan insektisida mempunyai kecenderungan
untuk terakumulasi dalam tubuh.
a. Gejala keracunan akibat golongan organofosfat
Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan.
Tanda dan gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten.
Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot

15

polos dan reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan


perkemihan, diare, defekasi, eksitasi, dan salivasi. Efek yang terutama pada sistem
respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas dan peningkatan sekresi
bronkus. Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi nikotinik pusat
daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara,
kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne Stokes dan coma. Pada umumnya
gejala timbul dengan cepat dalam waktu 6 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan
dapat menimbulkan kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah
lebih dari 6 jam,ini bukan keracunan organofosfat karena hal tersebut jarang
terjadi. Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa kegagalan
pernafasan. Oedem paru, bronkokonstriksi dan kelumpuhan otot-otot pernafasan
yang kesemuanya akan meningkatkan kegagalan pernafasan. Aritmia jantung
seperti hearth block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab kematian.
b. Gejala keracunan insektisida organochlorine
Gejala keracunan turunan halobenzen dan analog, terutama muntah,
tremor dan konvulsi. Pada keracunan akut melalui mulut disebabkan oleh 5 g
DDT akan menyebabkan muntah-muntah berat setelah 0,5 1 jam, selain
kelemahan dan mati rasa pada anggota badan yang terjadi secara bertahap, rasa
takut, tegang dan diare juga dapat terjadi. Dengan 20 g DDT dalam waktu 8 12
jam kelopak mata akan bergerak-gerak disetai tremor otot mulai dari kepal dan
leher, selanjutnya konvulsi klonik kaki dan tangan seperti gejala keracunan pada
strichnin. Nadi normal, pernapasan mula-mula cepat kemudian perlahan.

16

Tabel I. Cara bekerja dan gejala keracunan golongan insektisida


2.8

Penatalaksanaan keracunan insektisida


Penanganan keracunan insektsida harus secepat mungkin dilakukan.

Keragu-raguan dalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan meningkatkan


timbulnya korban akibat dosis letal. Beberapa puluh kali dosis letal mungkin
dapat diatasi dengan pengobatan cepat.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan :
1. Bila insektisida tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan penderita
dengan mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain,
dan /atau memberikan larutan garam dapur satu sendok makan penuh dalam
segelas air hangat. Bila penderita tidak sadar, tidak boleh dimuntahkan karena
bahaya aspirasi.
2. Bila penderita berhenti bernafas, segeralah dimulai pernafasan buatan. Terlebih
dahulu bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang menyumbat

17

jalan nafas. Bila insektisida tertelan, jangan lakukan pernafasan dari mulut ke
mulut.
3. Bila kulit terkena insektisida, segera lepaskan pakaian yang terkena dan kulit
dicuci dengan air sabun.
4. Bila mata terkena insektisida, segera cuci dengan banyak air selama 15 menit.
Pengobatan
1. Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini
tidak berbahaya pada keracunan insektisida dan harus dulang setiap 10-15 menit
sampai terlihat gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah,
kulit dan mulut kering, midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini
harus dipertahankan selama 24-48 jam, karena gejala-gejala keracunan insektisida
biasanya muncul kembali. Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg
atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1-2 mg selang beberapa jam,
tergantung kebutuhan. Atropin akan menghialngkan gejala-gejala muskarinik
perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan
diperbaiki karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus
dan melawan depresi pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala
kolinergik pada otot rangka yang berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk
kelumpuhan otot-otot pernafasan.
2. Pralidoksim
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator
enzim kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah
keracunan, keefektifannya dipertanyakan.
Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak
ada perbaikan, dosis dapat diulangi dalam 1 2 jam. Pengobatan umumnya
dilanjutkantidak lebih dari 24 jam kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan
tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. (1) Pralidoksim dapat mengaktifkan
kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk sinaps dengan otot
rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

18

2.9

Pencegahan dan penanggulangan keracunan insektisida


Cara-cara pencegahan keracunan insektisida yang mungkin terjadi pada

pekerja-pekerja pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut :


a. Penyimpanan insektisida :
1. Insektisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda, sebaiknya
tertutup dan dalam lemari terkunci.
2. Campuran insektisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan
dekat makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya.
Tanda-tanda harus jelas juga untuk mereka yang buta huruf.
3. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar
agar sisa insektisida musnah sama sekali.
4. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di
botol-botol, sangat besar bahayanya.
b. Pemakaian alat-alat pelindung :
1. Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama melakukan
pencampuran kering bahan-bahan beracun.
2. Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari
neopren, jika pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan tersebut
dengan minyak atau pelarut-pelarut organis. Pakaian pelindung harus dibuka
dan kulit dicuci sempurna sebelum makan.
3. Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan selama
menyiapkan dan menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol, jika kulit
atau paru-paru mungkin kontak dengan bahan tersebut.
c. Cara-cara pencegahan lainnya :
1. Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin membawa
bahan, sehingga terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja yang
bersangkutan.

19

2. Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat tertutup
dengan penguap termis, juga alat demikian tidak boleh digunakan di tempat
kediaman penduduk atau di tempat pengolahan bahan makanan.
3. Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia akan
bersentuhan dengannya.
Di bawah ini dikutip pedoman dan petunjuk-petunjuk pemakaian insektisida
yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi :
1. Semua insektisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil bila
diketahui cara-cara bekerja dengan aman dan tidak mengganggu kesehatan.
2. Bahaya insektisida terhadap pekerja lapangan ialah :
a. Pada waktu memindahkan insektisida dari wadah yang besar kepada wadah
yang lebih kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja.
b. Pada waktu mempersiapkannya sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan.
c. Pada waktu dan selama menyemprot.
d. Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap tingkat
pekerjaan tersebut di atas (waktu memindah-mindahkan, bongkar muat,
peredearan dan transportasi, penyimpanan, pengaduk, menyemprot atau
pemakaian lainnya).
3. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka perlu mendapat perhatian intensif :
a. Mereka yang bekerja dengan insektisida harus diberitahu bahaya yang akan
dihadapinya atau mungkin terjadi dan menerima serta memperhatikan
pedoman dan petunjuk-petunjuk tentang cara-cara bekerja yang aman dan
tidak mengganggu kesehatan.
b. Harus ada pengawasan teknis dan medis yang cukup.
c. Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan)
mengingat efek keracunan insektisida yang dapat berbahaya pada pekerja.
Bila dipakai insektisida golongan organofosfat harus tersedia atropin, baik
dalam bentuk tablet maupun suntikan. Untuk ini perlu adanya seorang
pengawas yang terlatih.

20

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam kehidupan modern, banyak produksi dan penggunaan bahan-bahan
kimia, misalnya insektisida. Awalnya, insektisida digunakan untuk membasmi
serangga namun ternyata insektisida juga memberikan pengaruh terhadap
kesehatan masyarakat, terutama pekerja yang kontak langsung dengan insektisida.
Angka kematian akibat keracunan insektisida tinggi. Hal ini dapat dicegah dengan
proteksi diri dan penyimpanan insektisida yang baik.
3.2

Saran
Untuk menurunkan angka keracunan insektisida, perlu diambil langkah-

langkah pencegahan misalnya pada pekerja yang berhubungan dengan insektisida


melakukan proteksi diri dari pajanan langsung insektisida. Selain itu, tenaga
kesehatan harus memiliki kemampuan untuk mendiagnosis dan menatalaksana
keracunan insektisida agar kasus kematian akibat insektisida dapat dihindari.

21

Daftar Pustaka
Lubis H.S. Jurnal deteksi dini dan penatalaksanaan keracunan pestisida golongan
organofosfat pada tenaga kerja. Fakultas kesehatan masyarakat program studi
keselamatan dan kesehatan kerja Universitas Sumatera Utara.
Frank C. Lu. Toksikologi Dasar. Edisi kedua. U.I. Press. Jakarta. 1995 : 266
268.
Anonim. Perubahan fungsi lahan dan pencemaran tanah. Environmental
sanitations journal July 12, 2009.
Pedoman Diagnosa dan Terapi Depkes 2007. Pustaka kedokteran. Available from:
http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/03/keracunan-makanan-daninsektisida/
Heri B. Agustriato. Epidemiologi kasus keracunan pestisida. Available from
http://puskesmas.com/2010/09/epidemiologi-kasus-keracunanpestisida.html

22

Anda mungkin juga menyukai