DISUSUN OLEH
Ni Putu Dhita Putri Indriani
09700109
PEMBIMBING
dr. Bambang Praseno Sp.B
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul Benigna Prostat
Hiperplasia. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan
klinik Ilmu Bedah Rumah Sakit Daerah Bangil.
Dalam usaha penyelesaian tugas ini, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Bambang Praseno,Sp.B selaku pembimbing dalam
penyusunan lapsus ini, paramedik serta seluruh staf di SMF Ilmu Bedah dan
semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan referat, serta kepada teman
teman yang selalu ada untuk berbagi dalam berbagai hal.
Saya
kekurangannya. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya menerima
semua saran dan kritik yang membangun guna penyempurnaan tugas ini.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bangil,12 November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
Definisi
Epidemiologi
Anatomi dan fisiologi
Etiologi
Patofisiologi
Gambaran klinis
Diagnosis
Diagnosis banding
Tatalaksana
Komplikasi
Prognosis
Daftar Pustaka
3
3
3
6
8
9
13
23
24
37
47
49
BAB I
PENDAHULUAN
Pembesaran prostat atau hiperplasia prostat benigna (benign prostatic
hyperplasia) merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Hiperplasia prostat benigna ini dapat
dialami oleh sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat
hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun. Meskipun jarang mengancam jiwa,
BPH memberikan keluhan yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini
akibat dari pembesaran kelenjar prostat atau benign prostate hyperplasia (BPH)
yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO).1
Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat
disebut sebagai benign prostate obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan
dapat menimbulkan perubahan struktur buli-buli maupun ginjal sehingga
menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah. Keluhan yang
disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary tract
3
symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi
(storage symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia,
pancaran miksi lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak
puas sehabis miksi, dan tahap selanjutnya terjadi retensi urine.2
Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat kompleks. Tidak semua
pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak semua keluhan
miksi disebabkan oleh BPH. Banyak faktor yang diduga berperan dalam
pertumbuhan jinak kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria
yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi
normal menghasilkan testosteron. Di samping itu pengaruh hormon lain (estrogen,
prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga
berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Terapi
yang akan diberikan pada pasien tergantung pada tingkat keluhan pasien,
komplikasi yang terjadi, sarana yang tersedia, dan pilihan pasien.3
Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta,
bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar
prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria. Jika dilihat
secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di
lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita
penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam
rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan
diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%. Akan tetapi,
jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria
pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90%
pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun,
dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit
PPJ atau BPH ini.
Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan
usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat
indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yangberusia 60
tahun dan ke atas adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya
dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH atau
PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan berkembangnya
sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang
makin maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut
meningkat.
BAB II
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Hiperplasia Prostat Benigna atau Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
adalah pembesaran kelenjar prostat yang dapat menyumbat uretra pars prostatika
dan menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli buli. 4 BPH adalah
tumor jinak yang umum terjadi pada pria dan angka kejadian meningkat seiring
bertambahnya usia.1 Proses patologis yang terjadi pada BPH akan memberikan
kontribusi, walaupun bukan satu-satunya penyebab dari gejala saluran kemih
bawah / lower urinary tract symptoms (LUTS).2 Meskipun tidak mengancam jiwa,
manifestasi klinis sebagai gejala saluran kemih bawah (LUTS) pada BPH akan
mengurangi kualitas hidup pasien.5,6
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)
menurut beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar
prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter)
dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
5
yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian
periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika
yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50
tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu
prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian
kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
II. EPIDEMIOLOGI
Pembesaran prostat dianggap sebagai bagian dari proses pertambahan usia.
Prevalensi BPH sekitar 20% pada pria berusia 41 50 tahun, 50% pada pria
berusia 51 60 tahun, dan lebih dari 90% pada pria lebih tua dari 80 tahun. 1,4
Meskipun bukti klinis penyakit lebih jarang terjadi, gejala obstruksi prostat juga
berkaitan dengan usia. Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria dilaporkan
mempunyai gejala berkemih obstruktif. Pada usia 75 tahun, 50% pria mengeluh
pancaran urin yang melemah saat berkemih.1
Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta,
bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar
prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria. Jika dilihat
secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di
lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita
penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam
rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan
diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa sehingga 90%. Akan tetapi,
jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan 20% pria
pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an, dan 90%
pada usia 70 .
6
Bagian uretra yang menembus prostat dari vesika urinaria sampai sfingter
eksternus, yaitu bangunan yang terletak pada apeks prostat yang terdiri dari
serabut otot lurik yang kira-kira berada pada membran urogenitalis, disebut uretra
posterior atau uretra pars prostatika. Kemudian uretra ini meneruskan diri ke distal
dari membran urogenitalis dan dimulai dari bulbus uretra sampai orificium uretra
eksternus disebut uretra anterior. 6
Prostat pada umur dewasa muda berukuran 3x4x5cm. Pada pembesaran
prostat jinak, pembesaran prostat bisa sampai 200% atau lebih. Struktur prostat
terdiri dari bagian fibromuskular, kira-kira 30-50% dan glanduler kira-kira 5070%. Bagian fibromuskuler terletak sebagian besar di daerah anterior, sedang
glanduler di bagian posterior. 6
McNeal membagi prostat menjadi beberapa bagian yaitu, zona perifer (PZ)
yang terletak di luar, zona sentral (CZ), zona transisional (TZ), zona
fibromuskular anterior, dan zona periuretra. 1,4
Zona Transisional (TZ) yang terletak periuretral sekitar verumontanum
yang merupakan hanya 5% dari seluruh volume prostat dan tampaknya bagian ini
yang dapat mengalami hiperplasia dan menimbulkan gejala-gejala BPH. Sedang
keganasan prostat 60-70 % berasal dari PZ, 10-20 % dari TZ dan 5-10% dari CZ.
Sebagian besar BPH terdapat pada TZ, sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat
berasal dari PZ. 1,
menuju
corpus
perinealis.
banyakkelenjar.
Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang
mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Kedua zat ini ditambahkan ke
caioran semen pada saat ejakulasi. Otot polos pada stroma dan kapsula
berkontraksi dan sekret yang berasawl bersama kelenjar diperas masuk ke uretra
pars prostatid. Sekret prostat bersifat alkali yang membantu menetralkan
keasaman vagina
Pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung dari hormon testosteron, yang
di dalam sel kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5-reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memacu m-RNA di dalam sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor memacu pertumbuhan dan proliferasi sel kelenjar prostat. 4
Persarafan Prostat
Kelenjar prostat mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik
(kolinergik) dan simpatik (noradrenergik) melalui pleksus pelvicus otonomik yang
terletak dekat prostat. Pleksus ini mendapat asupan dari medula spinalis setinggi
S2-S4 dan serat-serat simpatik dari nervus hipogastrik presacralis (T10-L2). 4
Reseptor adrenergik alfa banyak terdapat pada daerah trigonum, leher
vesika, di dalam otot polos prostat. Adanya reseptor alfa adrenergik ini dipakai
sebagai dasar pengobatan BPH dengan memakai penghambat alfa adrenergik
sehingga akan menyebabkan relaksasi otot polos di daerah tersebut, sehingga
tekanan uretra akan menurun sehingga pengeluaran urine dari vesika akan
menjadi mudah. 4
Fisiologi Prostat
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini
masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah,
sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua
bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang
sehingga kadar estrogen relatif bertambah.
10
IV. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti. Faktor resiko yang
dominan untuk berkembangnya BPH adalah bertambahnya usia pada pria dan
adanya androgen atau dengan kata lain berfungsi baiknya testis oleh karena sel
Leydig di testis merupakan penghasil androgen yang utama. 5
Beberapa hipotesis yang menyebutkan bahwa BPH erat kaitannya dengan
peningkatan kadar DHT dan proses aging. Beberapa hipotesisnya antara lain: (1)
teori DHT (dihidrotestoteron), (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogentestosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) berkurangnya
kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel. 4
Teori DHT
11
12
diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter.
Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari
buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh
ke dalam gagal ginjal.2,4
Hiperplasia prostat
Buli-buli
Ginjal dan Ureter
Hipertrofi otot detrusor
- Refluks vesikoureter
Trabekulasi
- Hidroureter
Selula
- Hidronefrosis
Divertikel buli-buli
- Pionefrosis
Gagal ginjal
Pada
terdapat
dua
komponen
yang
BPH
14
kelenjar periuretra (massa prostat) yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan
komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang
merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor
akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi saraf simpatis, yang juga
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.4
VI. GEJALA KLINIS
Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih. 2
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala
obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus.4,8
Gejalanya yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
15
a.
Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa
urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan
membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal
sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat
melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada
penderita prostat hipertrofi.2,6
b.
Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran
grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan
baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml.
Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12
ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi
ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik,
sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik atau kurang. Dengan
pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor
dengan obstruksi infravesikal.6,7
c.
16
1. Grade I
2. Grade II
3. Grade III
penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen
dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia
atau hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat
terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. Disamping pembentukan batu, retensi kronik
dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi sistitis dan apabila
terjadi refluks dapat terjadi juga pielonefritis. 2,7,8
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas
berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang
merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda dari
infeksi atau urosepsis.4
3. Gejala di luar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia
inguinalis atau hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.4
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus
dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International Consultation on BPH (ICBPH) membagi kategori pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi:
pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional),
sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU membagi pemeriksaan itu dalam:
mandatory, recommended, optional, dan not recommended.2,4,5
a. Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya.
18
19
b. Pemeriksaan fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada
regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan
prostat.
Mengukur
volume
prostat
20
Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan
fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan
pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan
adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral. 1,2
Pada perabaan prostat harus diperhatikan yaitu konsistensi prostat (pada
hiperplasia prostat konsistensinya kenyal), simetris atau asimetris, nodul pada
prostate, batas atau pool atas dapat diraba dan perabaan sulkus medianus.
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba
membesar, konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan
rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke
dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit
untuk diraba. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan
atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu
prostat akan teraba krepitasi. 1
21
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan
untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan
miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus. 5
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh
dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis. 5
c. Pemeriksaan Laboratorium
Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya:
karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis
menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada kecuri-gaan adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat
kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi
urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai
kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah
ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.
Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan
tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak9.
Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises
0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat
22
kelainan kadar kreatinin serum10. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas.4
Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi
bukan cancer specific18. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan
penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan
volume prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih
jelek, dan (c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume
kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh
Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju
pertumbuhan prostat. Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan
usia adalah: 4,5
o 40-49 tahun
o 50-59 tahun
o 60-69 tahun
o 70-79 tahun
: 0-2,5 ng/ml
: 0-3,5 ng/ml
: 0-4,5 ng/ml
: 0-6,5 ng/ml
23
terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75%
tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan
yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan
penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih
bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika
pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: (a) hematuria, (b) infeksi saluran
kemih, (c) insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), (d) riwayat
urolitiasis, dan (e) riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran
urogenitalia.4,7
Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna memperkirakan
besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak
direkomendasikan. Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya
striktura uretra.4
Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat,
dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi
prostat tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak
menjalani terapi: (a) inhibitor 5- reduktase, (b) termoterapi, (c) pemasangan
stent, (d) TUIP atau (e) prostatektomi terbuka. Menilai bentuk dan ukuran kelenjar
prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun
transrektal (TRUS). Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG
melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya
karsinoma prostat. Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai (1)
perkiraan volume prostat; (2) panjang protusi prostat ke buli-buli atau intra
prostatic protrusion (IPP); (3) mungkin didapatkan kelainan buli-buli (massa,
batu, bekuan darah); (4) menghitung sisa urine pasca miksi; atau (5) hidronefrosis
atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat. Pada TRUS dicari kemungkinan
adanya fokus keganasan prostat berupa area hipoekoik dan kemudian sebagai
penunjuk dalam biopsi prostat. 7,8
IPP diukur dari ujung protrusi prostat di dalam buli-buli hingga dasar
sirkumferensia buli-buli. Derajat 1: besar 1,5 mm; derajat 2: besar 5-10 mm;
derajat 3: besar 10 mm. Besarnya IPP berhubungan dengan derajat obstruksi pada
leher buli-buli (BOO), jumlah urine sisa pasca miksi, dan volume prostat. 4
24
Uretrosistoskopi
Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika
dan bulibuli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher bulibuli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu
sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi.
Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan
komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak
dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH. Uretrosistoskopi dikerjakan pada
saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan
TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai
dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat
membantu dalam mencari lesi pada buli-buli. 4
e. Pemeriksaan Lain
Catatan harian miksi (voiding diaries)
Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus
urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik.
Pencatatan miksi ini sangat ber-guna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai
keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan
yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat
diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat
obstruksi infra-vesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih.
Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil
yang baik, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4
hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor. 4
Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi
secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi
saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh
informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran ratarata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai 4 pancaran maksimum, dan
lama pancaran. Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai
25
90% BOO
67% BOO
30% BOO
untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien
tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan
karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan
pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta
terdapat variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri
menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada
kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk
menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et
al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya
dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali. 4
Pemeriksaan volume residual urine
Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine
yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada
orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan
persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria
normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL. 7
Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan
melaku-kan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah
pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui
USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat
dibandingkan dengan USG, tetapi tidak meng-enakkan bagi pasien, dapat
menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi
bakteriemia. 7
Pengukuran dengan cara apapun, volume residual urine mempunyai
variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual
urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang
berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.
Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang
cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu
banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama. 7
Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang
cukup banyak (Wasson et al 1995), demikian pula pada volume residual urine
lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi
medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. 7
27
28
3.
neuropati perifer
diabetes mellitus
alkoholisme
farmakologik
(obat
penenang,
parasimpatolitik)
Obstruksi fungsional :
dissinergi detrusor-sfingter
penghambat
terganggunya
alfa
koordinasi
dan
antara
4.
5.
6.
IX. TATALAKSANA
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh
penyakitnya.1,2
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk
menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate
symptom score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan
mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15.
Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi
bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.1,2
Selain itu, derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I IV digunakan
untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu biasanya
belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan
secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada
indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih
dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang
derajat dua penderita masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti
29
ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR
masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup berpengalaman melakukan
TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60
gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan
selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka. Pada
hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan
ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang
kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR
P atau operasi terbuka.1,2
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang
berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia
prostat (lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir
dikembangkan pula beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan
kurang invasif dibandingkan dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik
hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu pembesaran kelenjar periuretral,
menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya kekuatan detrusor, maka
pengobatan gejala klinik ditujukan untuk : 1,7,8
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa terapi (watchful waiting), (2)
medikamentosa, dan (3) terapi intervensi (Tabel 1).4 Di Indonesia, tindakan
Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan
terpilih untuk pasien BPH. 8
30
1. Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun
tetapi perkembangan penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas seharihari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien
BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan
sedang hingga berat (skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12
mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram tentunya tidak
banyak memberikan respon terhadap watchful waiting. 1,4
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun
dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat
memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli buli
(kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan
(5) jangan menahan kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta
untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan
keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun
31
mengganggu,
direkomendasikan
apalagi
pemberian
membahayakan
medikamentosa.
Dalam
kesehatannya,
menentukan
32
pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi. Namun obat ini tidak
disenangi oleh pasien karena menyebab-kan komplikasi sistemik yang
tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan menyebabkan
penyulit lain pada sistem kardiovaskuler. 4,5
Diketemukannya obat antagonis adrener-gik- 1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada-2 dari
fenoksibenzamin.9 Beberapa golongan obat antagonis adrenergik 1 yang
selektif mempu-nyai durasi obat yang pendek (short acting) di antaranya
adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu,
terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali
sehari.10,11
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti
dapat memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang
mengganggu, meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan meningkatkan
pancaran urine.13 Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki skor
gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 1530% dibandingkan dengan sebelum terapi Perbaikan gejala meliputi
keluhan iritatif maupun keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam
setelah pemberian obat. Golongan obat ini dapat diberikan dalam jangka
waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi dan
takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan.12
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis
adrenergik- lebih efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang
ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan laju pancaran urine.
Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian
antagonis adrenergik- saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik-
tidak perlu memperhatikan ukuran prostat serta memperhatikan kadar
PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5- reduktase. 13
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang
hampir sama dalam memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempu-nyai
efektifitas yang hampir sama, namun masing masing mempunyai
33
34
35
36
Reseksi
kelenjar
prostat
dilakukan
transuretra
dengan
38
40
41
42
X. KOMPLIKASI
Apabila gejala LUTS oleh karena pembesaran prostat jinak dibiarkan
tanpa pengobatan maka dapat menimbulkan komplikasi seperti trabekulasi yaitu
penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan intravesika yang selalu tinggi akibat
obstruksi, dapat terjadi sakulasi mukosa buli-buli menerobos diantara serat-serat
detrusor, dan apabila sakulasi menjadi besar dapat
Komplikasi lain ialah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa kencing
post miksi, sehingga terjadi pengendapan batu. Selain itu, apabila tekanan intra
vesikal yang selalu tinggi tersebut diteruskan ke ureter dan ginjal akan terjadi
hidroureter dan hidronefrosis yang akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal. 4
Tahap akhir adalah tahap dekompensasi dari detrusor, dimana buli-buli sama
sekali tidak dapat mengosongkan diri dan terjadi retensi urin total dan apabila
tidak segera ditolong akan terjadi overflow incontinence.4,5
XI.
PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat.21 Lebih dari 1000 orang yang
diikuti selama 30 tahun dengan penilaian menurut keluhan, gejala klinis,
kuesioner, dan pemeriksaan fisik, disimpulkan bahwa usia, pengosongan kandung
kemih yang tidak tuntas, perubahan ukuran prostat dan kekuatan aliran urin adalah
faktor faktor yang terkait dengan risiko operasi pada prostat. Dalam sebuah
penelitian serupa, nokturia dan hambatan dalam miksi merupakan faktor risiko
dari operasi prostat pada 1868 pria berusia 49-68 tahun yang diikuti selama lebih
dari 20 tahun. Usia dan lima LUTS (disuria, inkontinensia, sulit berkemih,
nokturia, dan aliran urin lambat) dikaitkan dengan risiko operasi pada 16.219 pria
yang lebih tua dari 40 tahun di California, 1.027 orang diantaranya menjalani
prostatektomi. Dalam kurun waktu 4 tahun, kemungkinan dilakukannya operasi
untuk penanganan BPH meningkat dari 10% pada orang-orang yang didiagnosis
dengan BPH yang memiliki gejala ringan, meningkat 24% pada mereka dengan
gejala sedang dan 39% pada mereka dengan gejala berat.2
43
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanagho Emil A, McAnich Jack W, editors. Chapter 22: Neoplasm of the
Prostate Gland. In: Smiths General Urology, Lange Urology Book; 16 th
ed. San Fransisco: McGraw Hill Companies. 2007; p. C22.
2. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, pathophysiology, epidemiology
and natural history of benign prostatic hyperplasia. In: Campbells
Urology. 9th ed. Volume 1. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p. C38.
3. Kaplan SA. AUA Guidelines and Their Impact on the Management of
BPH: Reviews in Urology 2004; 6(9). S46-52.
4. Basuki B. Purnomo, editors. Batu Saluran Kemih. In: Dasar-dasar Urologi.
3rd ed; Jakarta: Sagung Seto; 2012; p.93-101.
5. J. de la Rosette, G Alivizatos, S Madersbacher, C Rioja Sanz, J Nordling,
M. Emberton, et al. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European
Association of Urology 2008; p. 5 59.
6. Glenn, James F, Graham, Sam D, Keane, Thomas E, editors. Section IV:
Prostate Anatomy. Glenn's Urologic Surgery. 6th ed. Lippincott Williams &
Wilkins; 2004. p. SIV.
7. Campbell, Walsh. In: Wein, Kavussi, Novick, Partin, Peters, editors.
Sections XVI: Prostate. Urology. 9th ed. Volume 1. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007.
8. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan BPH di
Indonesia. Available at: www.iaui.or.id/ast/file/bph.pdf. Accessed on:
November 10, 2014.
9. Kirby R, Roehrborn C, Boyle P et al: Efficacy and tolerability of
doxazosin and finasteride, alone or in combination, in treatment of
symptomatic benign prostatic hyperplasia: the Prospective European
Doxazosin and Combination Therapy (PREDICT) trial. Urology 2003; 61:
119.
10. Vallancien G, Emberton M, Alcaraz A et al: Alfuzosin 10 mg once daily
for treating benign prostatic hyperplasia: a 3-year experience in real-life
practice. BJU Int 2008; 101: 847.
11. Chung B, Hong S: Long-term follow-up study to evaluate the efficacy and
safety of the doxazosin gastrointestinal therapeutic system in patients with
benign prostatic hyperplasia with or without concomitant hypertension.
BJU Int 2006; 97: 90.
12. Roehrborn C, Siami P, Barkin J et al: The effects of dutasteride, tamsulosin
and combination therapy on lower urinary tract symptoms in men with
benign prostatic hyperplasia and prostatic enlargement: 2-year results from
the CombAT study. J Urol 2008; 179: 616.
13. Kramer B, Hagerty K, Justman S et al: Use of 5--Reductase Inhibitors for
Prostate Cancer Chemoprevention: American Society of Clinical
Oncology/American Urological Association 2008 Clinical Practice
Guideline Summary. J Clin Oncol 2009; 27: 1502.
45
46