Oleh :
Pembimbing :
Dr. dr.Yulia Farida Yahya, Sp.KK (K), FINSDV
HALAMAN PENGESAHAN
Referat dengan judul:
Nekrolisis Epidermal Toksik
oleh
Dodi Maulana, S.Ked
04054821517092
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.
KATA PENGANTAR
Puji sukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat
Nya saya dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul Nekrolisis Epidermal
Toksik. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan kelulusan
kepaniteraan klinik senior Bagian Dermatologi dan Venerologi RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr.
Penulis
PENDAHULUAN
Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit mukokutaneus yang
jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis
dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan
dengan konsumsi obat. NET terjadi tanpa dapat diprediksi. Pada NET, saat awal
kana dermatosis yang tampak tidak berbahaya tetapi dapat menjadi progresif
dalam watu singkat. Risiko kematian NET dapat diprediksi secara akurat dengan
menggunakan
Severity-of-Illness
Score
for
Toxic
Epidermal
Necrolysis
(SCORTEN).1
Nekrolisis Epidermal Toksik sangat jarang terjadi, insidensi NET pertahun
adalah 1,8 setiap satu juta orang, NET lebih banyak terjadi pada perempuan
dibanding laki-laki, rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah
1,5:1. NET lebih sering terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan usia diatas 65
tahun.1,2 Insidensi NET di Asia Tenggara sebagaian besar masih belum diketahui
karena belum ada penelitian yang dipubliksikan. Berdasarkan penelitian secara
retrosepektif di rumah sakit di Singapura didapatkan insidensi NET setidaknya
adalah 1,4 kasus setiap satu juta orang.3
Nekrolisis Epidermal Toksik merupakan penyakit yang dapat mengancam
nyawa dan menimbulkan berbagai komplikasi sehingga diperlukan penanganan
yang tepat, tetapi sampai saat ini belum ada terapi spesifik yang efektif untuk
NET.1
Referat ini akan membahas mengenai NET dalam hal etiopatogenesis,
gambaran klinis, cara menegakkan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan
komplikasi, dan prognosis, sehingga teman-teman sejawat dapat mendiagnosis
dan menatalaksana NET dengan tepat.
ETIOPATOGENESIS
Pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi NET antara lain, pasien
yang memiliki genotip slow-acetylator, immunocompromised (HIV),menjalani
radioterapi, antikonvulsan, atau yang memiliki alel spesifik HLA (Human
Leukocyte Antigen). Pada pasien dengan AIDS, risiko terjadinya NET meningkat
1000 kali lebih tinggi dari populasi umum.1,4
Pada lebih dari 95% pasien NET, dilaporkan disebabkan penggunaan obat.
Penyebab lain yang jarang dapat berupa infeksi dan vaksinasi. Lebih dari 100
jenis obat telah diidentifikasi berhubungan dengan NET1. Obat penyebab tersering
dan merupakan risiko tinggi penyebab NET yaitu, Antibiotik (terutama golongan
long acting sulfa dan penicilin), obat-obat anti kejang, obat-obat anti inflamasi
(NSAID), dan obat-obat allopurinol.2 Pada umumnya risiko terjadinya NET paling
tinggi pada minggu awal terapi dan pada penggunaan obat dengan waktu paruh
lebih lama.1
Berdasarkan studi case-control yang dilakukan secara multinational di
Eropa, obat-obat yang diduga dapat menjadi penyebab NET dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu; Risiko tinggi, risiko rendah, risiko meragukan, dan tidak terbukti
berisiko (Tabel 2).4
Tabel 2. Pengobatan-pengobatan yang berisiko menimbulkan NET4
Risiko tinggi
Allopurinol
Sulfamethoxazol
e
Sulfdiazine
Sulfapyridine
Sulfadoxine
Sulfasalazine
Carbamazepine
Lamotigrine
Phenobarbital
Phenytoin
Phenylbutazone
Nevirapine
Risiko diragukan
Paracetamol
Analgesik
pyrazolone
Corticosteroid
Sertraline
Oxicam NSAIDs
Thiacetazone
Patogenesis dari NET sampai saat ini masih belum jelas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa NET terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam
detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon
imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut
dengan jaringan tubuh tertentu.1 Patogenesis utama diduga akibat adanya proses
hipersensitivitas tipe II (sitotoksik), swlain itu.
memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi alel HLA spesifik terkait obat
(specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan
SSJ dan NET.1,4
Interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan timbulnya SSJ atau
NET adalah 1-3 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan
menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara
signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya
mengakibatkan NET. Sel T sitotoksik yang mengekspresikan skin-homing
receptor, cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada
lesi awal kutaneus. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat
(drug-spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-,
interferon , IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang
mengalami kelainan atau cairan bula dari pasien dengan NET, dan kerja dari
sitokin-sitokin
ini
dapat
menjelaskan
sebagian
dari
gejala
NET
dan
GAMBARAN KLINIS
Gejala awal NET menyerupai gejala flu seperti demam, malaise, rhinitis,
dan konjungtivitis, selain itu dapat ditemukan keluhan mata perih, nyeri menelan,
dan terkadang dapat disertai kesulitan berkemih yang mendahului timbulnya lesi
kulit 1-3 hari pertama. Manifestasi sistemik yang dapat terjadi meliputi
limfadenopati, hepatitis dan sitopenia. Lesi kulit biasanya muncul pertama kali
pada batang tubuh yang kemudian menyebar ke leher, wajah dan ekstremitas
proksimal. Bagian distal ekstremitas atas dan bawah biasanya jarang terkena,
tetapi telapak tangan dan kaki dapat menjadi lokasi lesi awal. Pada lebih dari 90%
pasien ditemukan eritema dan erosi mukosa buccal, okular dan genital. Pada 25%
pasien terdpat keterlibatan saluran pernapasan dan gastrointestinal. Lesi kulit
biasanya lunak dan nyeri, dan erosi mukosa terasa sangat nyeri.1,5
Mula-mula lesi tampak sebagai makula eritema atau purpura dengan
bentuk dan ukuran yang irregular serta mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan lesi di dekatnya. Pada beberapa pasien lesi macular dapat
mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like
appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang
mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion
yang papular pada EM.1 Nekrolisis epidermal toksik dapat mengenai semua
permukaan kulit, kecuali kulit kepala yang ditumbuhi rambut.5
Tabel 1. Gejala klinis yang membedakan antara SSJ, NET, dan SSJ-NET1
Gejala Klinis
SSJ
SSJ-NET
NET
Lesi primer
Kehitaman atau
merah kehitaman,
flat atypical targets
Kehitaman atau
merah kehitaman,
flat atypical targets
Gambaran plak
eritematosa yang
buruk, pelepasan
epiderma(spontan
atau oleh gesekan),
Kehitaman atau lesi
merah kehitaman,
flat atypical targets
Distribusi
Lesi terisolasi
Konfluen (+) pada
wajah dan batang
tubuh
Lesi terisolasi
Konfluen (++) pada
wajah dan batang
tubuh
Lesi terisolasi
Konfluen (+++) pada
wajah dan batang
tubuh
Keterlibatan mukosa
Gejala sistemik
Luas permukaan kulit
Ada
Ada
Ada
Sering
Selalu
Selalu
<10
10-30
>30
Seiring dengan progresifitas kearah full thickness necrosis maka lesi makula
eritem kehitaman akan berubah warna menjadi keabuan yang khas. Proses ini
dapat terjadi sangat cepat (dalam hitungan jam) atau dalam beberapa hari.
Epidermis yang nekrosis kemudian akan terlepas dari lapisan dermis dibawahnya
dan cairan akan mengisi rongga di antara kedua lapisan tersebut, sehingga
terbentuk bula yang memiliki ciri khas berupa mudah pecah dan dapat terjadi
spontaneus epidural detachment, dapat meluas ke lateral dengan penekanan
ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis sehingga
memberikan tanda Asboe-Hansen yang positif. Pada lesi yang tidak terjadi
detachment, dapat dilakukan tekanan mekanis ringan dengan jari sehingga
menimbulkan detachment yang disertai dengan tanda Nikolsky positif Keadaan
kulit menyerupai gambaran kertas rokok basah (wet cigarette paper), yang dapat
lepas dengan adanya trauma, sehingga terlihat dermis kemerahan dan berdarah,
yang disebut sebagai scalding.1
10
DIAGNOSIS
Nekrolisis Epidermal Toksik dengan Sindroma Steven-Johnson (SSJ)
memiliki kesamaan dalam gejala klinis, gambran histopatologi, faktor risiko,
penyebab, dan mekanisme, dua kondisi ini dianggap sebagai tingkat keparahan
dari suatu proses yang identik, hanya berbeda dalam hal luas permukaan tubuh
yang terlibat. NET dan SSJ ditandai dengan keterlibatan lapisan kulit dan
membran mukosa. Berdasarkan luas lesi pelepasan lapisan epidermis, klasifikasi
pasien dibagi menjadi 3 grup.1
1. SJS
: >30% BSA
11
Pengukuran harus
meliputi lesi kulit yang terlepas baik secara spontan maupun tidak (Nikolsky sign
+), dan tidak termasuk area yang hanya berupa eritema saja (Nikolsky sign -).
Berdasarkan luas lesi skin detachment, klasifikasi pasien terbagi menjadi 3 grup,
SSJ, SSJ-NET, dan NET.1
Pemeriksaan
penunjang
pada
pasien
NET
adalah
pemeriksaan
DIAGNOSIS BANDING
13
Pengelupasan
(eksfoliasi)
yang
terjadi
lebih
superfisial,
meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak dan bukan jaringan dermis
yang basah dan berwarna merah terang seperti pada NET. Pada SSSS sering
didapatkan adanya nasal discharge yang purulent.1
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP), yang juga
merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area eritema yang luas
dengan pustul kecil (< 3mm) multipel di atasnya. Adanya neutrofilia dan
eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis NET.
Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi
adalah salah satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan
infiltrat neutrofil yang padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun
14
tidak ada full thickness epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed
drug eruption dapat menyerupai SSJ naik secara klinis maupun histologis, untuk
itu perlu ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali.1
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan optimal dari SSJ dan NET memerlukan diagnosis secara
dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan
terapi spesifik. Identifikasi sepenuhnya didasarkan pada evident-based tentang
obat yang berhubungan dengan SSJ atau NET
ditentukan probabilitasnya dalam mencetuskan SSJ atau NET, hal ini karena pada
penggunaan patch test akan menyebabkan paparan kembali terhadap obat
pencetus dan dapat menimbukan reaksi yang berbahaya.1
Perawatan suportif yang dilakukan serupa dengan perawatan suportif pada
luka bakar dan bertujuan untuk mencegah komplikasi, yang merupakan sebab
utama kematian. Perawatan luka setiap hari, hidrasi dan nutritional support sangat
penting dan sebaiknya dilakukan dalam intensive care unit bila lesi meliputi 1020% (atau lebih) dari BSA. Penggunaan tempat tidur dengan pengatur suhu
(thermoregulated bed) dengan alas alumunium lebih disarankan daripada
penggunaan tempat tidur dan alas yang biasa. Semua tindakan atau manipulasi
terhadap pasien harus dilakukan secara steril dan kateter vena, bila
memungkinkan, harus dipasang pada regio yang tidak ada lesi.1
15
16
terjadi reepitelisasi lesi, namun permukaannya tetap harus dibersihkan setiap hari
dengan NaCl steril. Pilihan lainnya adalah menempatkan penutup yang tidak
melekat (non-adherent dressing) misalnya Exu-Dry di atas kulit pasien dan di atas
tempat tidur.1
Penggantian cairan (makromolekul atau larutan salin fisiologis Ringer
lactate dan dekstrose 5% dalam perbandingan 1:1:1) harus dimulai sesegera
mungkin dan jumlah cairan yang dibutuhkan disesuaikan tiap hari. Volume infus
biasanya lebih sedikit daripada kasus luka bakar dengan luas lesi yang sama (2/3 kebutuhan kasus luka bakar), karena pada NET tidak ada edema interstitial.
Jumlah cairan tersebut (20-30 tetes/menit), untuk memelihara output urine 0.5-1
ml/kg/jam atau minimal 50-80 ml/jam, atau 30-50 ml/jam. Transfusi diberikan
bila Ht < 30% (normal: : 39-49%, : 35-45%), Hb 9 g/dl, dan/atau fibrin
degradation product (FDP) (normal: < 10 g/mL). Pertimbangan pemberian
transfuse lain adalah bila infus gagal dan didapati purpura luas. Hari pertama 300
ml, setelah habis, diberikan 10 cc kalsium glukonat 10% (lewat infus lain); hari
kedua: 300 ml.6
Pemberian nutrisi awal (hari ke-2 rawat inap) melalui nasogastric tube
untuk mempercepat penyembuhan dan menurunkan risiko translokasi bakteri dari
saluran pencernaan,3 selain menurunkan risiko stress ulcer dan memungkinkan
penghentian awal nutrisi melalui jalur vena. Jumlah kalori yang dibutuhkan
adalah 1500 kalori dalam 1500 ml, pada 24 jam pertama, dinaikkan 500 kalori/
hari sampai mencapai 3500-4000 kalori/hari.7
Untuk menghindari stress ulcer, sebaiknya tidak diberikan antacid (dapat
meningkatkan risiko infeksi bakteri lambung), tetapi diberikan sucralfate oral 6 x
1g/hari atau ranitidin i.v. 3 x 50 mg/hari, atau 2 x 1 ampul/24 jam, i.v.6
Apabila terdapat keluhan batuk dan sesak nafas moderat, dan pada pemeriksaan
oksimetri didapatkan pO2 56% (normal: 75-105 mg Hg; O2 saturasi: 95-99%),
dilakukan terapi oksigen via nasal canula dengan kecepatan aliran 8 L/menit. Apabila
terjadi perbaikan kondisi pernafasan, pemberian oksigen diturunkan menjadi 4
L/menit.6 Untuk mengurangi risiko infeksi, diperlukan penanganan aseptik.
Specimen kulit, darah, dan urine harus di kultur dalam interval tertentu.1
17
18
Secara teori, terapi yang mampu memblok secara selektif dari apoptosis
keratinosit akan mempunyai potensial efek dalam mengobati SSJ maupun NET.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa Fas-mediated cell death (yang diinduksi
secara in-vitro pada kulit yang berlesi pada pasien dengan NET) dapat dihambat
dengan antibody monoclonal terhadap FasL atau Fas, mengindikasikan bahwa
antibody ini dapat berguna dalam pengobtan NET. Bila digunakan dalam dosis
tinggi (0.75 g/kg/hari selama 4 hari) untuk mengobati pasien dengan NET, IVIg
secara konsisten dan cepat dapat menghambat progresivitas penyakit dan
pelepasan epidermis (epidermal detachment) pada 10 dari 10 pasien dalam studi1,2.
Penelitian lainnya juga menunjukkan efektivitas yang kurang lebih sama, bila
digabungkan, 8 dari 11 studi menunjukkan bahwa IVIg (pada dosis total >2g/kg
diberikan dalam 3-4 hari) dapat mengurangi angka kematian akibat NET.1
KOMPLIKASI
Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi
umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian
besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari
area reservoir seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan
folikel rambut. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak
sempurna, dan sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion,
scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis,
sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.1
Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia antara lain
bronkopneumonia
(16%
kasus),
lainnya
dapat
berupa
hipovolemia,
secara
statistic
berhubungan
dengan
prognosis
buruk.
19
Nilai
1
1
1
1
1
1
1
Mortality Rate
3,2
12,1
35,8
58,3
90
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Revuz J, Allanore LV. Drug Reaction. In : Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer
J. Textbook of Dermatology. 2nd edition. 2008. London: Mosby Elsevier:
291-9.
2. James WD., Berger, T., Elston D. Bullous drug reactions (Stevens
Johnson syndrome [SJS] and toxic epidermal necrolysis [TEN]). In:
21
Immunol. 2011;7(6):803-15.
22