Penyakit Hirschsprung
Oleh:
Dodi Maulana, S. Ked
04054821517092
Dhilah Juas Ainun, S. Ked
04084821517066
Pembimbing:
dr. Sindu Saksono, Sp.B, Sp.BA
2016
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Penyakit Hirschsprung
Oleh:
Dodi Maulan, S. Ked
04054821517092
Dhilah Juas Ainun, S. Ked
04084821517066
Sebagai salah satu komponen/ syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Moh. Hoesin Palembang Periode 7 Desember 2015 15 Februari 2016.
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan presentasi kasus
dengan judul Penyakit Hirschsprung untuk memenuhi tugas laporan kasus yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya dalam
Departemen Ilmu Bedah.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Benny
Kusuma, SpB (K) Onk, MARS, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan presentasi kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah
penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan
tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatis Meissner dan Auerbach pada rektum
dan kolon, dimana defisiesi ini hampir selalu dimulai pada anus dan meluas ke
proksimal pada dinding usus dengan jarak bervariasi sehingga menyebabkak
gangguan peristaltik usus.4,5
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan
bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan
terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki laki dari
pada perempuan.
2.2. Insidensi
Insidensi penyakit hirschprung tidak diketahui secara pasti, akan tetapi
diperkirakan penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down
Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis
atau colon transversum pada 17% kasus.3
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar
1,5% sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih
tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara
diturunkan oleh ibu dibanding oleh ayah. Sebanyak 12,5% pasien mengalami
aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson).5
Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior.1
spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.1
Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal
ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3
kali/hari) serta refleks gastrokolik.
Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani
interna secara involunter.
Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat
kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi.1
2.4. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatik di myenterik dan pleksus submukosa dari rektum dan kolon (pleksus
auerbach dan meisner).1,2 Pada perkembangan embriologis normal, sel-sel
neuroenterik bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal atas lalu ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus pada minggu V kehamilan.
Pada kehamilan minggu VII di midgut, minggu XII mencapai kolon distal.7,8 Ada
2 teori dasar yg banyak dianut mengenai defek embriologis penyakit
Hirschsprung, yaitu:7
1. Teori kegagalan migrasi sel krista neural.
Pada penyakit Hirschsprung, fibronektin dan laminin suatu glikoprotein yg
penting untuk fasilitasi migrasi syaraf dan pertumbuhan sel neural,
reaktivitas
neural
cell
perkembangan dari sistem saraf enterik. Salah satu dari gen tersebut adalah RET
dengan tirosin kinase yang terlibat dalam perkembangan ganglion enterik yang
berasal dari sel-sel krista neuralis. Mutasi dari gen RET tercatat pada 50% kasus
familial dan 15-20% kasus sporadis dari penyakit Hirschsprung.7,8
Sindroma Down juga memiliki kecenderungan sebagai komponen genetik
penyebab penyakit Hirschsprung. Sindroma down adalah kelainan kromosom
yang paling sering terkait dengan aganglionosis dan terjadi pada 4,5-16% dari
seluruh kasus penyakit Hirschsprung. Kelainan kromosom lainnya yang juga
terkait dengan penyakit Hirschsprung, diantaranya: delesi interstitial dari 13q
distal, delesi parsial dari 2p dan translokasi resiprokal, serta trisomi mosaik 18.
Sejumlah kelainan sindroma herediter juga pernah dilaporkan pada penderita
penyakit Hirschsprung, diantaranya: sindroma Waardenburg, sindroma Von
Recklinghausen, brakidaktili tipe D dan sindroma Smith-Lemli-Optiz.5
2.5.Patogenesis
Perengangan kolon sampai garis tengahnya lebih dari 6 atau 7 cm (megakolon)
dapat terjadi sebagai gangguan kongenital atau didapat. Penyakit Hirschsprung
10
(megakolon kongenital) terjadi bila, saat perkembangan, migrasi sel yang berasal
dari neural crest ke arah kaudal di sepanjang saluran cerna terhenti di suatu titik
sebelum mencapai anus. Oleh karena itu, terbentuk suatu segmen aganglionik
yang tidak memiliki pleksus submukosa Meissener dan pleksus mienterikus
Auerbach. Hal ini menyebabkan obstruksi fugsional dan peregangan progresif
daripada kolon yang terletak proksimal dari segmen yang terkena. Pada sebagian
besar kasus, hanya rektum dan sigmoid yang aganglionik, tetapi pada sekitar
seperlima kasus yang terkena adalah segmen yang lebih panjang, dan bahkan
keseluruhan kolon (walaupun jarang).
Secara genetis, penyakit Hirschsprung ini bersifat heterogen, dan diketahui
terdapat beberapa defek berlainan yang menimbulkan akibat yang sama. Sekitar
50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan
jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak
kasus sisanya terjadi akibat mutasi di endotelin 3 dan reseptor endotelin.4
2.6.Diagnosis
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran
klinis perut
Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran meconium yang
11
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat
hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis,
bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Pada penyakit
hirschsprung umumnya pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan terasa
ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan terdapat feses yag menyemprot
saat jari dikeluarkan.
Periode anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.
12
Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi. (1)
Gambar 6. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan definitif
bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.(1)
13
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.1
Gambar 7. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit Hirschsprung. Tampak
rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid serta pelebaran di bagian atas dari zona
transisi.1
14
b. Anorektal manometri
Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan riwayat
atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional, manometri
anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada spinkter ani interna
dalam menanggapi inflasi balon dubur. 7
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien
yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 9
c. Biopsi rektum
Merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirschprung. Pada bayi
baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan
suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm
diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi
umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.10,11
Gambar 8. Hasil pemeriksaan biopsy rectal. Kekuatan medium menunjukkan bagian proksimal
kolon dengan ganglion cell yang normal pada submucosal plexus (a) dan myenteric plexus (b).
15
2.8.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan
Meconium ileus
o
Simple
Incarcerated hernia
Jejunoileal atresia
Colonic atresia
Intestinal duplication
Intussusception
NEC
Obstruksi fungsional
Sepsis
Intracranial hemorrhage
16
Hypothyroidism
Adrenal hemorrhage
Hypermagnesemia
Hypokalemia
2.9.
Tatalaksana
17
swenson
dan Bill
(1948)
adalah
yang mula-mula
spinkterektomi
posterior,
yaitu
dengan
hanya
Swenson
dimulai dengan
approach
ke
intra
melalui saluran
anal.
Dilakukan
ini
diperkenalkan
Duhamel
tahun
1956
untuk
18
Fonkalsrud
dkk,1997).
Prosedur
Duhamel
asli
memiliki
Modifikasi
Talbert
dan
Ravitch:
Modifikasi
berupa
Modifikasi
Ikeda:
Ikeda
membuat
klem
khusus
untuk
disini
lebih
19
c. Prosedur Soave
Prosedur
Rehbein
ini
sebenarnya
tahun 1959
untuk
pertama
tindakan
sekali
bedah
diperkenalkan
pada
malformasi
kemudian
menarik terobos
kolon proksimal
yang
awal
periode
post
operatif
sesudah
PERPT
(Primary
2.10.
Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dini yang dapat terjadi setelah operasi pull-
through jenis apapun meliputi infeksi luka operasi, striktur anastomosis, retraksi
20
21
dengan terapi lokal dan resolusi diare. Pemberian krim barier diatas kulit
perianal sangat dianjurkan segera setelah operasi dan dilanjutkan selama
minggu pertama. Resolusi diare akan mempercepat pembersihan iritasi
kulit perianal.12
2.10.4. Enterokolitis
Enterokolitis terkait penyakit Hirschsprung adalah komplikasi dari
penyakit Hirschsprung baik sebelum maupun sesudah periode operasi.
Enterokolitis dapat terjadi kapan saja dari masa neonatus sampai dewasa.
Insiden terjadinya enterokolitis bervariasi dari 20-58%. Untungnya, angka
kematian telah menurun selama 30 tahun terakhir dari 30% ke 1%.
Turunnya angka kematian ini berkaitan dengan diagnosis dini dari
penyakit Hirschsprung dan enterokolitis, dekompresi rektal, resusitasi
yang benar dan terapi antibiotik.12
2.10.5. Konstipasi
Konstipasi biasa terjadi setelah perbaikan definitif dari penyakit
Hirschsprung dan dapat disebabkan oleh sisa-sisa aganglionosis dan
tingginya tonus anal. Dilatasi anal yang berulang dan kuat atau injeksi
toksin Botulin kedalam spinchter dalam anestesi umum bisa mengatasi
masalah tersebut. Pada beberapa penderita, myektomi spinchter mungkin
diperlukan.12
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit hirschsprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meissners pada kolon. Tidak adanya ganglion sel
ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon
yang lebih proksimal, sehingga menimbulkan keabnormalan gerakan peristaltik
serta tidak adanya evakuasi usus spontan.
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal.
Patofisiologi dari penyakit hirschsprung adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar. Diagnosis penyakit ini berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus.
Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk
dikeluarkan dalam waktu 24 jam setelah lahir. Dalam diagnosis penyakit
hirschprung dikenal istilah trias klinis, yaitu keterlambatan mekonium, muntah
hijau, dan ditensi abdomen. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi
abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting.
Pemeriksaan radiologi menggunakan barium enema didapatkan gambaran
daerah transisi antara usus ganglionik dan usus aganglionik. Penyakit
Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan
adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Selain pemeriksaan barium enema
terdapat pemeriksaan anorectal manometry dapat digunakan dan pemeriksaan
biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung.
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Prinsip dari pengobatan
21
22
termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus
ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan
melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan mukosa
rektum.
Terapi definitif yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 4 metode
yaitu metode Swenson, Duhamel, Soave, dan Rehbein. Setelah operasi pasienpasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang
ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada
pascaoperasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi Irawan. 2003. Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal
pada penderita penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu
bedah
fakultas
kedokteran
Universitas
Sumatera
Utara.
Halaman
(AMS)
and
the
International
Foundation
For
Functional
22
23
12. Puri P dan Hollwarth M (eds). 2009. Hirschsprungs Disease and Variants.
Dalam: Pediatric Surgery: Diagnosis and Management. New York: SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Halaman 453-462.