Anda di halaman 1dari 29

Referat

Penyakit Hirschsprung

Oleh:
Dodi Maulana, S. Ked
04054821517092
Dhilah Juas Ainun, S. Ked
04084821517066

Pembimbing:
dr. Sindu Saksono, Sp.B, Sp.BA

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2016

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Penyakit Hirschsprung
Oleh:
Dodi Maulan, S. Ked
04054821517092
Dhilah Juas Ainun, S. Ked
04084821517066
Sebagai salah satu komponen/ syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik
Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Moh. Hoesin Palembang Periode 7 Desember 2015 15 Februari 2016.

Palembang, Januari 2016

dr. Sindu Saksono, Sp.B, Sp.BA

ii

iii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan presentasi kasus
dengan judul Penyakit Hirschsprung untuk memenuhi tugas laporan kasus yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya dalam
Departemen Ilmu Bedah.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Benny
Kusuma, SpB (K) Onk, MARS, selaku pembimbing yang telah membantu
memberikan ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan presentasi kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah
penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Januari 2016

Penulis

iii

iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................i


Halaman Pengesahan .............................................................................................ii
Kata Pengantar...................................................................................................... iii
Daftar Isi ................................................................................................................iv
BAB I Pendahuluan .................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................3
BAB III Kesimpulan..............................................................................................21
Daftar Pustaka .......................................................................................................23

iv

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik


usus, mulai dari spinkter ani interna ke arah proksimal dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum
dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. Pasien dengan penyakit
Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691,
namun publikasi secara resmi pertama kali dilakukan oleh Herald Hirschsprung
tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara
jelas hingga tahun dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian usus akibat defisiensi ganglion.1
Hirschsprung atau Megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Tidak adanya sel-sel
ganglion ini menimbulkan keabnormalan gerakan peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan.2
Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup,
Insidensi penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200
juta dan tingkat kelahiran 35 per ibu hamil, maka diprediksikan setiap tahun akan
lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien
penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo, Jakarta. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidens pada kasus-kasus familial yang ratarata mencapai sekitar 6%. Dari jumlah kasus yang didapatkan, 94% daripadanya
adalah pada bayi yang berusia di bawah 5 tahun. Kasus yang melibatkan orang
dewasa itu sedikit dan sangat jarang. Penyakit ini juga sangat sering ditemukan

pada bayi-bayi dengan kelainan kongenital lain seperti hidrosefalus, ventricle


septal defect, dan divertikulum Merckel.
Kelainan pada penyakit ini biasanya ditemukan mulai dari bagian distal
kolon yaitu di peralihan antara usus dengan anus. Panjang dari bagian segmen
yang tidak mempunyai sel ganglion (aganglionik) itu biasanya berbeda-beda ;
75% pasien terbatas pada bagian rektum dan sigmoid, 8% pasien mengalami
segmen aganglionik pada seluruh bagian kolon, dan jarang melibatkan usus kecil.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan
tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatis Meissner dan Auerbach pada rektum
dan kolon, dimana defisiesi ini hampir selalu dimulai pada anus dan meluas ke
proksimal pada dinding usus dengan jarak bervariasi sehingga menyebabkak
gangguan peristaltik usus.4,5
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan. Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan
bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan
terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki laki dari
pada perempuan.

2.2. Insidensi
Insidensi penyakit hirschprung tidak diketahui secara pasti, akan tetapi
diperkirakan penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down
Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis
atau colon transversum pada 17% kasus.3
Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko
terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar
1,5% sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih
tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara
diturunkan oleh ibu dibanding oleh ayah. Sebanyak 12,5% pasien mengalami
aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson).5

2.3. Anatomi Fisiologi Anorektal

Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior.1

Gambar 1. Rektum dan saluran anal (anal canal). 6


Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh

spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan.1

Gambar 2. Muskulus spinkter ani externa: pandangan sisi penrineum. 6


Persarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis
(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Kontinensia
sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (saraf
parasimpatis).1

Gambar 3. Saraf pada perineum (laki laki).6

Sistem saraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada


ketiga-tiga pleksus tersebut.1

Gambar 4. Pleksus autonomik intrinsik pada usus.6


Fungsi Saluran Anal
Pubo-rektal sling dan tonus spinkter ani eksterna bertanggung jawab atas
penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat, akan
menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan
peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan kontraksi spinkter
eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and sling dapat membedakan
antara gas, benda padat, benda cair, maupun gabungan, serta dapat mengeluarkan
salah satu tanpa mengeluarkan yang lain.

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.


Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu
dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,
namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:

Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal
ke rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3
kali/hari) serta refleks gastrokolik.

Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex,
yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani
interna secara involunter.

Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.
Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat
kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.

Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi.1

2.4. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan oleh tidak adanya sel-sel ganglion
parasimpatik di myenterik dan pleksus submukosa dari rektum dan kolon (pleksus
auerbach dan meisner).1,2 Pada perkembangan embriologis normal, sel-sel
neuroenterik bermigrasi dari krista neural ke saluran gastrointestinal atas lalu ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus pada minggu V kehamilan.
Pada kehamilan minggu VII di midgut, minggu XII mencapai kolon distal.7,8 Ada
2 teori dasar yg banyak dianut mengenai defek embriologis penyakit
Hirschsprung, yaitu:7
1. Teori kegagalan migrasi sel krista neural.
Pada penyakit Hirschsprung, fibronektin dan laminin suatu glikoprotein yg
penting untuk fasilitasi migrasi syaraf dan pertumbuhan sel neural,

ditemukan dalam distribusi yg abnormal sehingga migrasi sel ganglion


terhambat atau tidak terjadi.
2. Teori Hostile Environment & Imunologis
Hilangnya adhesi sel normal oleh karena

reaktivitas

neural

cell

adhesion molecule (NCAM) menurun sehingga menghambat migrasi sel


neural ke kolon. Juga didapatkan peningkatan antigen kelas II pd mukosa
dan submukosa pada penderita penyakit Hirschsprung.
Faktor genetik juga terlibat pada etiologi penyakit Hirschsprung. Penyakit
Hirschsprung bisa terjadi di dalam keluarga. Angka kejadian pada kasus-kasus
familial bervariasi dari 3,6% sampai 7,8%. Angka kejadian familial sebesar 1521% telah dilaporkan pada total kolon aganglionosis dan 50% pada total
instestinal aganglionosis yang jarang terjadi. Beberapa gen dan molekul telah
diidentifikasi sebagai pengendali morfogenesis dan diferensiasi dari sistem saraf
enterik.

Ketika gen-gen ini bermutasi atau terhapus akan mempengaruhi

perkembangan dari sistem saraf enterik. Salah satu dari gen tersebut adalah RET
dengan tirosin kinase yang terlibat dalam perkembangan ganglion enterik yang
berasal dari sel-sel krista neuralis. Mutasi dari gen RET tercatat pada 50% kasus
familial dan 15-20% kasus sporadis dari penyakit Hirschsprung.7,8
Sindroma Down juga memiliki kecenderungan sebagai komponen genetik
penyebab penyakit Hirschsprung. Sindroma down adalah kelainan kromosom
yang paling sering terkait dengan aganglionosis dan terjadi pada 4,5-16% dari
seluruh kasus penyakit Hirschsprung. Kelainan kromosom lainnya yang juga
terkait dengan penyakit Hirschsprung, diantaranya: delesi interstitial dari 13q
distal, delesi parsial dari 2p dan translokasi resiprokal, serta trisomi mosaik 18.
Sejumlah kelainan sindroma herediter juga pernah dilaporkan pada penderita
penyakit Hirschsprung, diantaranya: sindroma Waardenburg, sindroma Von
Recklinghausen, brakidaktili tipe D dan sindroma Smith-Lemli-Optiz.5

2.5.Patogenesis
Perengangan kolon sampai garis tengahnya lebih dari 6 atau 7 cm (megakolon)
dapat terjadi sebagai gangguan kongenital atau didapat. Penyakit Hirschsprung

10

(megakolon kongenital) terjadi bila, saat perkembangan, migrasi sel yang berasal
dari neural crest ke arah kaudal di sepanjang saluran cerna terhenti di suatu titik
sebelum mencapai anus. Oleh karena itu, terbentuk suatu segmen aganglionik
yang tidak memiliki pleksus submukosa Meissener dan pleksus mienterikus
Auerbach. Hal ini menyebabkan obstruksi fugsional dan peregangan progresif
daripada kolon yang terletak proksimal dari segmen yang terkena. Pada sebagian
besar kasus, hanya rektum dan sigmoid yang aganglionik, tetapi pada sekitar
seperlima kasus yang terkena adalah segmen yang lebih panjang, dan bahkan
keseluruhan kolon (walaupun jarang).
Secara genetis, penyakit Hirschsprung ini bersifat heterogen, dan diketahui
terdapat beberapa defek berlainan yang menimbulkan akibat yang sama. Sekitar
50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan RET, karena merupakan
jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk pleksus saraf mienterikus. Banyak
kasus sisanya terjadi akibat mutasi di endotelin 3 dan reseptor endotelin.4

2.6.Diagnosis
Anamnesis perjalanan penyakit yang khas dan gambaran

klinis perut

membuncit merupakan kunci untuk diagnosis. Pada pemeriksaan colok dubur,


terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit. Penyakit Hirschsprung harus
dipertimbangkan pada setiap anak dengan riwayat konstipasi saat neonatus. Umur
rata-rata anak dengan diagnosis penyakit Hirschsprung semakin meningkat, dari
usia 2-3 tahun pada beberapa dekade pertama abad ini sampai dengan rata-rata
usia 3-6 bulan selama tahun 1950-1970, yang terbaru ditemukan pasien penyakit
Hirschsprung 90% pada masa neonatus.2,5
Penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis
mulai terlihat :

Periode Neonatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran meconium yang

11

terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman
komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat
menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat
hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis,
bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. Pada penyakit
hirschsprung umumnya pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan terasa
ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan terdapat feses yag menyemprot
saat jari dikeluarkan.

Gambar 5. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen


sangat distensi dan pasien kelihatan menderita sekali.(1)

Periode anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces
biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.

12

Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi. (1)

Gambar 6. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan definitif
bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.(1)

2.7. Pemeriksaaan Radiologis


2.7.1. Foto polos abdomen (BNO)
Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus
kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan
dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi
yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini. 8
2.7.2. Pemeriksaan barium enema
Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;

13

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah


daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi

Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daereah rectum dan
sigmoid.1

Gambar 7. Pemeriksaan barium enema pada penderita dengan penyakit Hirschsprung. Tampak
rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid serta pelebaran di bagian atas dari zona
transisi.1

2.7.3. Pemeriksaan lain


a. Laboratorium Studi
CBC count: Tes ini dilakukan untuk mendeteksi terjadinya komplikasi
seperti enterokolitis yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung. Peningkatan
WBC count atau bandemia harus dicurigai terjadinya enterokolitis.7

14

b. Anorektal manometri
Pada anak berusia lebih lanjut dengan keluhan sembelit kronis dan riwayat
atipikal baik untuk penyakit Hirschsprung atau konstipasi fungsional, manometri
anorektal dapat membantu dalam membuat diagnosis. Anak-anak dengan penyakit
Hirschsprung gagal untuk menunjukkan reflex relaksasi pada spinkter ani interna
dalam menanggapi inflasi balon dubur. 7
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat refleks anorektal pada pasien
yang dicurigai dengan penyakit Hischsprung. Orang yang menderita penyakit ini
biasanya akan kehilangan atau berkurang refleks anorektalnya. Penurunan refleks
anorektal yang dimaksudkan adalah kurangnya relaksasi pada bagian anus setelah
dilakukan inflasi balon di bagian rektum. Bagaimanapun, terdapat banyak
perbedaan pendapat tentang penilaian pada tes diagnostik ini. 9
c. Biopsi rektum
Merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit hirschprung. Pada bayi
baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal karena menggunakan
suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan sample biasanya diambil 2 cm
diatas linea dentate dan juga mengambil sample yang normal jadi dari yang normal
ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi
umum karena contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.10,11

Gambar 8. Hasil pemeriksaan biopsy rectal. Kekuatan medium menunjukkan bagian proksimal
kolon dengan ganglion cell yang normal pada submucosal plexus (a) dan myenteric plexus (b).

15

Gambar 9. Pemeriksaan biopsy rectal menunjukkan hipertropi saraf di submucosa (a)dan


myenteric (b) plexus

2.8.

Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Hirschprung harus meliputi seluruh kelainan dengan

obstruksi pada distal usus kecil dan kolon, meliputi:


Obstruksi mekanik

Meconium ileus
o

Simple

Complicated (with meconium cyst or peritonitis)

Meconium plug syndrome

Neonatal small left colon syndrome

Malrotation with volvulus

Incarcerated hernia

Jejunoileal atresia

Colonic atresia

Intestinal duplication

Intussusception

NEC

Obstruksi fungsional

Sepsis

Intracranial hemorrhage

16

Hypothyroidism

Maternal drug ingestion or addiction

Adrenal hemorrhage

Hypermagnesemia

Hypokalemia

2.9.

Tatalaksana

Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.

2.9.1. Tindakan Bedah Sementara


Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah
enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari
kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan
bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita penyakit
Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomosis.

Gambar 13. Teknik pembedahan pada Hirschprung Disease

17

2.9.2. Tindakan Bedah Definitif


a. Prosedur Swenson
Orvar

swenson

dan Bill

(1948)

adalah

yang mula-mula

memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan


bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang
dilakukan

adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani.

Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya


adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan
pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan.
Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964)
dengan melakukan

spinkterektomi

posterior,

yaitu

dengan

hanya

menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior.


Prosedur

Swenson

dimulai dengan

approach

ke

intra

abdomen, melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah


hingga dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding
rektum, kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal
ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar

melalui saluran

anal.

Dilakukan

pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian


anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos
tadi. Anastomose dilakukan dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan seromuskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke kavum
pelvik/ abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan kavum
abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
b. Prosedur Duhamel
Prosedur

ini

diperkenalkan

Duhamel

tahun

1956

untuk

mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar


prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal
melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding
posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal

18

yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end


to side

Fonkalsrud

dkk,1997).

Prosedur

Duhamel

asli

memiliki

beberapa kelemahan, diantaranya sering terjadi stenosis, inkontinensiadan


pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila
terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur
Duhamel diantaranya:

Modifikasi Grob (1959) : Anastomosis dengan pemasangan 2


buah klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk
mencegah inkontinensia;

Modifikasi

Talbert

dan

Ravitch:

Modifikasi

berupa

pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side yang


panjang;

Modifikasi

Ikeda:

Ikeda

membuat

klem

khusus

untuk

melakukan anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;

Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal


dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong
kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem
dilepas

5 hari berikutnya. Pemasangan klem

disini

dititikberatkan pada fungsi hemostasis.

Gambar 15. Teknik pembedahan dengan prosedur Duhamel

lebih

19

c. Prosedur Soave
Prosedur
Rehbein

ini

sebenarnya

tahun 1959

untuk

pertama

tindakan

sekali

bedah

diperkenalkan

pada

malformasi

anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan


untuk tindakan bedah definitive Penyakit Hirschsprung. Tujuan utama
dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang
aganglionik,

kemudian

menarik terobos

kolon proksimal

yang

ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.


d. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm

diatas anal verge), menggunakan

jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca


operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.

2.9.3. Post Operasi


Pada

awal

periode

post

operatif

sesudah

PERPT

(Primary

Endorectal pull-through), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan


pada bentuk short segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan
kolostomi terlebih dahulu dan beberapa bulan kemudian baru dilakukan
operasi definitif dengan metode Pull Though Soave, Duhamel maupun
Swenson. Apabila keadaan memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu
tahap tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk memfasilitasi adaptasi usus dan
penyembuhan anastomosis. Pemberian makanan rata-rata dimulai pada hari
kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral secara penuh dimulai
pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering muntah pada
pemberian makanan. Intoleransi protein dapat terjadi selama periode ini dan
memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.1,9

2.10.

Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dini yang dapat terjadi setelah operasi pull-

through jenis apapun meliputi infeksi luka operasi, striktur anastomosis, retraksi

20

dari rektum, adhesi intestinal dan ileus.

Komplikasi yang lama meliputi

konstipasi, enterokolitis, inkontinensia, masalah-masalah anastomosis, obstuksi


usus adhesif dan komplikasi urogenital.12

2.10.1. Kebocoran Anastomosis


Komplikasi pascaoperasi dini yang paling berbahaya setelah
prosedur pull-through abdominoperineal definitif adalah kebocoran dari
garis jahitan anastomosis. Faktor-faktor yang berperan pada kebocoran
anastomosis terdiri dari iskemia bagian paling distal dari segmen pullthrough kolon, tegangan pada anastomosis, garis jahitan anastomis yang
tidak sempurna. Jika kebocoran terjadi pada penderita tanpa kolostomi
disarankan untuk melakukan kolostomi pengalihan segera, memberikan
antibiotik intravena dan melakukan irigasi rektum dengan cairan antibiotik
beberapa kali sehari.

Terlambatnya dalam pengalihan feses dapat

menyebabkan abses pelvis yang luas dan memerlukan laparotomi dan


drainase transabdominal.12

2.10.2. Retraksi Pull-Trough


Retraksi sebagian atau keseluruhan segmen kolon dari anastomosis
dapat terjadi dan biasanya pada 3 minggu setelah operasi. Penilaian dalam
anestesi umum sangat diperlukan. Pada kebanyakan pasien, penjahitan
kembali anastomosis mungkin dapat dikerjakan dengan mudah melalui
transanal. Untuk pemisahan yang kurang 50% dari anastomosis tetapi
dengan vaskularitas kolon yang baik, diperlukan kolostomi pengalihan
selama sekitar 3 bulan. Untuk penderita dengan pemisahan yang luas pada
anastomosis, disarankan untuk dilakukan rekonstruksi pull-through
transabdominal segera.12

2.10.3. Ekskoriasi Perianal


Ekskoriasi perianal terjadi hampir pada setengah penderita yang
dilakukan prosedur pull-through, tetapi dapat diatasi selama 3 bulan

21

dengan terapi lokal dan resolusi diare. Pemberian krim barier diatas kulit
perianal sangat dianjurkan segera setelah operasi dan dilanjutkan selama
minggu pertama. Resolusi diare akan mempercepat pembersihan iritasi
kulit perianal.12

2.10.4. Enterokolitis
Enterokolitis terkait penyakit Hirschsprung adalah komplikasi dari
penyakit Hirschsprung baik sebelum maupun sesudah periode operasi.
Enterokolitis dapat terjadi kapan saja dari masa neonatus sampai dewasa.
Insiden terjadinya enterokolitis bervariasi dari 20-58%. Untungnya, angka
kematian telah menurun selama 30 tahun terakhir dari 30% ke 1%.
Turunnya angka kematian ini berkaitan dengan diagnosis dini dari
penyakit Hirschsprung dan enterokolitis, dekompresi rektal, resusitasi
yang benar dan terapi antibiotik.12
2.10.5. Konstipasi
Konstipasi biasa terjadi setelah perbaikan definitif dari penyakit
Hirschsprung dan dapat disebabkan oleh sisa-sisa aganglionosis dan
tingginya tonus anal. Dilatasi anal yang berulang dan kuat atau injeksi
toksin Botulin kedalam spinchter dalam anestesi umum bisa mengatasi
masalah tersebut. Pada beberapa penderita, myektomi spinchter mungkin
diperlukan.12

BAB III
KESIMPULAN
Penyakit hirschsprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meissners pada kolon. Tidak adanya ganglion sel
ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi ileus
fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon
yang lebih proksimal, sehingga menimbulkan keabnormalan gerakan peristaltik
serta tidak adanya evakuasi usus spontan.
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf
parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal.
Patofisiologi dari penyakit hirschsprung adalah tidak adanya gelombang
propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar. Diagnosis penyakit ini berdasarkan adanya konstipasi pada neonatus.
Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya mekonium untuk
dikeluarkan dalam waktu 24 jam setelah lahir. Dalam diagnosis penyakit
hirschprung dikenal istilah trias klinis, yaitu keterlambatan mekonium, muntah
hijau, dan ditensi abdomen. Gejala lain yang biasanya terdapat adalah: distensi
abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting.
Pemeriksaan radiologi menggunakan barium enema didapatkan gambaran
daerah transisi antara usus ganglionik dan usus aganglionik. Penyakit
Hirschsprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan
adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,
spasme, ulserase dari dinding intestinal. Selain pemeriksaan barium enema
terdapat pemeriksaan anorectal manometry dapat digunakan dan pemeriksaan
biopsy rectal merupakan gold standard untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung.
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari
diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Prinsip dari pengobatan

21

22

termasuk menentukan lokasi dari usus di mana zona transisi antara usus
ganglionik dan aganglionik, reseksi bagian yang aganglionik dari usus dan
melakukan anastomosis dari daerah ganglionik ke anus atau bantalan mukosa
rektum.
Terapi definitif yang dilakukan pada penyakit hirschprung ada 4 metode
yaitu metode Swenson, Duhamel, Soave, dan Rehbein. Setelah operasi pasienpasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang
ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada
pascaoperasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budi Irawan. 2003. Bab 1 dan Bab 2 dalam; Pengamatan fungsi anorektal
pada penderita penyakit Hirschprung pasca operasi pull- through .Bagian ilmu
bedah

fakultas

kedokteran

Universitas

Sumatera

Utara.

Halaman

1,3,4,5,6,7,8,9,10,11 dan 15.


2. Warner B.W. 2004. Chapter 70 Pediatric Surgery dalam TOWNSEND
SABISTON TEXTBOOK of SURGERY. 17th edition. Elsevier-Saunders.
Philadelphia. Halaman 2113-2114.
3. Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility
Society

(AMS)

and

the

International

Foundation

For

Functional

Gastrointestinal Disorders (IFFGD)


4. Erik Peltz, D.O. 2010. Sabiston Textbook of. Surgery, 18th Ed. University of
Colorado Health Science Center. Department of surgery. Halaman 1505-1515.
5. Holschneider A., Ure B.M., 2000. Chapter 34 Hirschsprungs Disease dalam:
Ashcraft Pediatric Surgery 3rd edition W.B. Saunders Company. Philadelphia.
Halaman 453-468.
6. Frank H. Netter, MD ;Atlas of Netter 4th Edition 2006. Plate 312, Plate 369,
plate 371, dan plate 386
7. Grosfeld J, ONeill J, Fonkalsrud E,Coran A.2006. Pediatric Surgery, 6th ed.
Mosby, Inc. Philadelphia. Halaman 1400-1415.
8. Moses S.2008. Hirschsprung's Disease. Family Practice Notebook, LLC.
Halaman 79-90.
9. Alberto Pena dan Marc A Levitt.2006 Surgical Therapy of Hirschprung
Disease dalam Constipation Etiology, Evaluation and Management. Ditulis
oleh; Steven Wexner dan Graeme S. Duthie. Springer- Verlag London
Limited. Halaman 2014-2022.
10. Chen, Fayu MD, et al. 2006. Hirschsprungs Disease in Young Adult. Science
Direct. Ohio, USA.
11. Kim, Hye J, et al. 2008. Hirschsprungs Disease and hypoganglionosis in
Adults. RSNA. Poongnap-dong, Seoul, Korea.

22

23

12. Puri P dan Hollwarth M (eds). 2009. Hirschsprungs Disease and Variants.
Dalam: Pediatric Surgery: Diagnosis and Management. New York: SpringerVerlag Berlin Heidelberg. Halaman 453-462.

Anda mungkin juga menyukai