Anda di halaman 1dari 5

NEAR DROWNING

Near drowing merupakan suatu trauma akibat tenggelam dimana korban dapat bertahan hidup dalam
24 jam pertama. Menginggat keadaan Indonesia yang dikelilingi air (laut, danau atau sungai) dan
banyaknya kolam renang tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan dalam air seperti hanyut
dan terbenam yang belum diberitahukan dan ditanggulangi sebaik-baiknya.
Perubahan patofisiologi akibat tenggelam tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhipas serta
lamanya hipoksemia terjadi, setiap jaringan pada tubuh mempunyai respon yang berbeda-beda
terhadap hipoksia dimana kepekaan jaringan otok merupakan organ yang dominan mengalami
disfungsi sistim organ pada tubuh terhadap hipoksia.
Berhubung near drowning bisa menyebabkan kegagalan berbagai organ dan dalam
penatalaksanaannya belum ada pengobatan klinis yang lebih unggul maka selain tindakan
pencegahan mengetahui berbagai faktor lainnya yang menyebabkan kejadian near drowning seperti
epilepsi, sinkop, kurangnya kewaspadaan/tidak ada pengalaman, ketidakmampuan berenang,
tindakan resusitasi awal di rumah sakit atau di luar rumah sakit harus difokuskan kepada terjadinya
oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan gas darah arteri, keadaan asam basa, saluran
nafas harus bebas dari bahan muntah dan benda asing yang dapat menimbulkan sumbatan dan
aspirasi.
Kemajuan yang pesat dalam tehnologi kesehatan sekarang ini, banyak korban near drowning dapat
bertahan hidup dan sembuh sempurna, sedangkan yang memerlukan perawatan Intensive Care Unit
bisa bertahan hidup dengan mengalami kerusakan otak yang berat.
Pendahuluan
Near drowing adalah suatu trauma akibat tenggelam, di mana pasien dapat bertahan hidup dalam 24
jam pertama1-4. Morbiditas near drowing sangat erat hubungannya dengan susunan saraf pusat
yang diakibatkan oleh gangguan paru berupa hipoksia, hipoperfusi, dan asidosis. Dalam keadaan
yang paling berat, near drowning bisa menyebabkan kegagalan berbagai organ5-7.
Di negara maju seperti Amerika Serikat, 15% dari anak sekolah mempunyai risiko meninggal akibat
tenggelam dalam air. Ini dihubungkan dengan perubahan musim. Pada musim panas anak-anak lebih
tertarik bermain di kolam renang, danau, sungai, dan laut karena mereka menganggap bermain air
sama dengan santai sehingga mereka lupa terhadap tindakan pengamanan8-11.
Di Indonesia, kita tidak banyak mendengar berita tentang anak yang mengalami kecelakaan di kolam
renang sesuai dengan keadaan sosial ekonomi negara kita. Tetapi, mengingat keadaan Indonesia
yang dikelilingi air, baik lautan, danau, maupun sungai, tidak mustahil jika banyak terjadi kecelakaan
dalam air seperti hanyut dan terbenam yang belum diberitahukan dan ditanggulangi dengan sebaikbaiknya6.
Kejadian hampir tenggelam, 40% terjadi pada sebagian besar anak-anak laki-laki untuk semua
kelompok usia dan umumnya terjadi karena kurang atau tidak adanya pengawasan orangtua.
Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kejadian hampir tenggelam pada anak adalah tidak ada
pengalaman/ketidakmampuan berenang, bernapas terlalu dalam sebelum tenggelam, penderita
epilepsi, pengguna obat-obatan dan alkohol, serta kecelakaan perahu mesin dan perahu dayung1215.
Tujuan tulisan ini adalah menerangkan gambaran klinis, patofisiologi, penanganan, dan prognosa
near drowning 'hampir tenggelam'.
Patofisiologi

Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri secara panik disertai
berhentinya pernapasan (breath holding). Sepuluh sampai 12% korban tenggelam dapat langsung
meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena tidak dijumpai aspirasi air di dalam paru. Mereka
meninggal akibat asphiksia waktu tenggelam yang disebabkan spase larings2. Menurut Giammona
(dikutip dari Hassan R.), spasme laring tersebut akan diikuti asphiksia and penurunan kesadaran
serta secara pasif air masuk ke jalan napas dan paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan
kematian yang disertai aspirasi cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih
banyak terjadi, yakni 80--90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam, tergantung
pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Setiap jaringan pada
tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak
merupakan organ yang dominan mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap
hipoksia5,6,16.
Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru, karena air laut bersifat
hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan
masih bisa menjalankan fungsi perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas.
Sedangkan air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan segera
didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan surfaktan paru sehingga ventilasi
alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan
meningkatkan hipoksia. Di samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru
yang berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru5,16,17,18.
Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam terutama akibat dari
perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam basa. Sedangkan faktor lain yang juga
berpengaruh adalah perubahan volume darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir
tenggelam kadang-kadang telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer yang intensif
sebelumnya. Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik jantung
terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks diving fisiologis pada air dingin, sedangkan vasokonstriksi
perifer bisa juga terjadi akibat hipotermi atau peninggian kadar katekolamin2,3,5,19.
Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai ventilasi, oksigenasi, dan perfusi
diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung lama bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun
telah dilakukan resusitasi jantung paru yang adekuat. Dedem cerebri yang difus sering terjadi akibat
trauma sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang menyeluruh.
Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2 sampai 3 menit terjadi apnoe dan
hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini
memberikan gambaran bahwa hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang tenggelam,
diikuti oleh berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan kembali
berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia walaupun telah dilakukan tindakan resusitasi2. Anoksia
dan iskemia serebri yang berat akan mengurangi aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan
intrakranial serta perfusi serebri yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat
sekunder1,2,16.
Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit serum normal atau
mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia bisa terjadi karena kerusakan jaringan
akibat hipoksemia yang menyeluruh2,8.
Pasien hampir tenggelam setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti albuminuria, Hb
uria, oliguria, dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubular akut2,7,17,20.
Gambaran Klinik
Gambaran klinik korban tenggelam sangat bervariasi berhubungan dengan lamanya tenggelam. Conn
dan Barker mengembangkan suatu klasifikasi (dikutip oleh Aoky By) yang dianggap bermanfaat untuk
pedoman penilaian dan pengobatan pasien tenggelam. Klasifikasi ini berdasarkan status neurologis
dan sangat berguna bila digunakan dalam 10 menit pertama5.

Tabel 1. Gambaran Klinik Mennurut Conn dan Barker (dikutip oleh Aoky
By)
Kategori A (Awake)
Sadar (GCS 15) sianosis, apnoe
beberapa menit dilakukan
pertolongan kembali bernapas
spontan
Hipotermi ringan
Perubahan radiologis ringan
pada dada
Laboratorium AGDA: asidosis
metabolik, hipoksemia, pH < 7,1

Kategori B
(Blunted)
Stupor (fungsi kortek
memburuk)
Respons terhadap
rangsangan.
Distress pernapasan,
sianosis, tachypone,
perubahan auskultasi dada.
Perubahan radiologis
dada
Laboratorium AGDA:
asidosis metabolik,
hipercarbia, hipoksemia.

Kategori C (Comatase)
Koma (desfungsi batang otak)
Respons abnormal terhadap
rangsangan nyeri.
Pernapasan sentral abnormal
(disfungsi batang otak)
Hipotermi
Laboratorium AGDA abnormal
Pembagian:
C1 (dekortikasi): fleksi bila
dirangsang nyeri, pernapasan
cheyne-stokes.
C2 (deserebrasi): ekstensi
terhadap rangsangan nyeri,
hiperventilasi central (GCS 4)
C3 (flaccid): tidak ada respons
terhadap nyeri, apnoe, atau gagal
napas (GCS 3)
C4 (deceased): flaccid, apnoe,
sirkulasi tidak teraba.

Pada hipoksia berat (G3, C4) mengalami kegagalan organ multisistem dan gambaran laboratorium
yang abnormal seperti gangguan kardiovaskuler (shock, dysritmia), gangguan metabolik (Bic-Net,
kalium, glukosa, calcium), diseminated intravaskuler coagulation, gagal ginjal, dan gangguan
gastrointestinal (perdarahan, pengelupasan mukosa)5.
Penanganan
Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat memperbaharui hasil
penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum ada pengobatan klinis yang lebih unggul
dari penanganan supportif yang konvensional. Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada
keadaan hipoksia selain tindakan pencegahan dan resusitasi segera1,2,8,21.
Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban tenggelam harus difokuskan
kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang adekuat, tekanan gasa darah arteri, keadaan
asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah dan benda asing yang dapat
mengakibatkan abstruksi dan aspirasi. Penekanan perut tidak boleh dilakukan secara rutin untuk
mengeluarkan cairan di paru apabila tidak terbukti effektif karena bisa meningkatkan risiko regurgitasi,
aspirasi, dan kehilangan kontrol akan memperberat trauma spinal7. Kecepatan dan efektivitas dalam
melaksanakan resusitasi ini sangat menentukan kelangsungan hidup neuron-neuron korteks,
khususnya pada pasien-pasien yang sangat kritis. Transfer oksigen yang tidak efektif akibat fungsi
paru yang memburuk bisa mengakibatkan hipoksia yang lebih berat dan berlanjut karena kerusakan
organ yang multipel.
Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak pada korban dilakukan
dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan resusitasi jantung paru dasar harus dilakukan. Ini
perlu segera dilakukan karena hipoksia dengan cepat berkembang dalam beberapa detik ke keadaan
apnoe. Oleh karena itu, apabila tidak mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya ventilasi mulut
ke mulut harus dilakukan segera setelah penolong menarik korban. Kemudian harus segera diberikan
oksigen inspirsi yang tinggi. Dukungan oksigen harus diberikan tanpa memandang keadaan pasien.
Apabila korban dicurigai mengalami trauma leher maka harus dibuat posisi netral dan melindunginya
dengan gips cervical (cervical colar)1,5,7.
Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori A dan B biasanya
hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien kategori C membutuhkan
tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif. Penolong juga harus mencari
dan menangani trauma yang timbul seperti trauma kepala dan leher serta mengatasi masalah yang
melatarbelakanginya seperti masalah kejang5.
Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan PaO2 arteri,
PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen thorax. Pada asidosis metabolik yang belum
terkompensasi, dapat diberikan O2, pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak
memerlukan pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang
tidak mempunyai masalah dapat dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang bermasalah dapat
diobservasi dan diberi pengobatan simptomatik di ruang perawatan sampai baik. Biasanya korban
dirawat selama 12 sampai 24 jam5,16,20,22.
Kategori B
Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf dan pernapasan.
Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain pemberian oksigen perlu diberikan:
Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B
simptometik untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang terkontaminasi.
Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi pernapasan dan neurologi yang baik
dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan. Sebagian kecil korban tenggelam
mengalami kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia
yang mengiritasi sehingga korban ini membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian infus sering
diberikan untuk meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan
isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas (40--43oC) untuk
pasien hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa memancing timbulnya hipotermi.
NGT harus dipasang sejak pertama pasien ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung
dari air yang terhisap. Status neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin.
Perawatan biasanya memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru5,7,13,18.
Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi. Vetilasi mekanis
direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama, termasuk mereka yang usaha
bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia
dari pernapasan yang tidak efektif. Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan selama fase
stabilisasi dan transfer. Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali kecepatan pernapasan normal
sesuai dengan usia korban, tekanan espirasi 4 sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus dilakukan
untuk mendapatkan nilai gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100 mmHg atau 20--30 mmHg. BicNat, bronchodilator, diuretik, dan antibiotik diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian
membuktikan bahwa mortalitas setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai
35%. Surfactan yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB
diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama priode pengobatan2,23.
Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer oksigen yang adekuat
ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada korban yang mengalami hipotensi dan
syok setelah membaiknya ventilasi dan denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid 20
ml/kgBB. Tindakan ini harus diulangi bila tidak memberikan respons yang memuaskan1,5. Apabila
tekanan darah tetap rendah, obat inotropik IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus
digunakan pada pasien yang mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan pada pasien
bradikardi. Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan untuk menjamin fungsi
jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal diberikan benzodiazepin diikuti dengan
pemberian phenobarbital seperti Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV bisa digunakan
untuk pasien yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien, mengurangi kebutuhan metabolik,

serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak terencana akibat trauma jalan napas. Bila pasien
tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1 mg/kgBB IV atau Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan
setiap 1--2 jam untuk sedasi. Pasien kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan
untuk mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan neurologis serta
dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai5.
Prognosis
Dengan kemajuan teknologi sekarang ini, banyak penderita hampir tenggelam berat berhasil
diselamatkan, 80% anak korban meninggal dapat bertahan hidup, dan 92% di antaranya sembuh
sempurna. Tetapi, mereka yang memerlukan perawatan di ICU 30% meninggal dan 10--30% yang
bertahan hidup mengalami kerusakan otak yang berat6,7. Hal ini erat hubungannya dengan lama
hipoksia yang terjadi dan usaha kita menanggulanginya. Di samping itu, faktor lain yang dapat
memperberat prognosa adalah usia 3 tahun, lama tenggelam diperkirakan maksimal 10 menit,
tidak ada restitusi jantung paru dalam 10 menit setelah ditolong, koma ketika masuk ke ruang gawat
darurat, dan pH < 7,11 (sesuai dengan kriteris Orlowsky). Penderita yang tenggelam di air dingin
mempunyai prognosa jauh lebih baik. Untuk mencegah terjadinya gejala sisa pada korban hampir
tenggelam maka peranan pertolongan resusitasi jantung paru pada saat kejadian memegang peranan
yang sangat penting2,19,24,25.
Kesimpulan
Korban dikatakan hampir tenggelam apabila korban dapat bertahan hidup dalam 24 jam pertama.
Apabila tidak dilakukan penanganan segera maka sebagian besar pasien mengalami kerusakan
organ yang multipel dimana otak merupakan organ yang sangat peka dalam hal ini.
Patofisiologi korban hampir tenggelam sangat tergantung kepada jumlah dan sifat cairan yang
terhisap serta lamanya hipoksemia terjadi. Oleh sebab itu, tindakan di luar rumah sakit atau di tempat
kejadian tenggelam menentukan hasil tindakan di rumah sakit dan prognosa selanjutnya.
Untuk pengelolaan, korban hampir tenggelam dikategorikan berdasarkan status neurologis. Kategori
A dan B biasanya membutuhkan perawatan medis supportif sedangkan penderita yang termasuk
dalam kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan intensif.
Juga harus dicari dan ditangani trauma yang timbul, seperti masalah kejang.

Anda mungkin juga menyukai