Anda di halaman 1dari 5

Near Drowning

Tenggelam (drowning) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah
peristiwa tenggelam di air, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah korban masih
dalam keadaan hidup lebih dari 24 jam setelah setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi,
tenggelam (drowning) merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir tenggelam (near
drowning)mungkin dapat berakibat fatal. Sedangkan WHO mendefinisikan sebagai proses
gangguan pernapasan akibat tenggelam/hampir tenggelam dalam cairan.
Berdasarkan temperatur air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi tiga:
1. Tenggelam di air hangat (warm water drowning), bila temperatur air ≥ 20°C
2. Tenggelam di air dingin (cold water drowning), bila temperatur air 5-20°C
3. Tenggelam di air sangat dingin (very cold water drowning), bila temperatur air < 5°C
Berdasarkan osmolaritas air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi dua:
1. Tenggelam di air tawar
2. Tenggelam di air laut
Kejadian tenggelam atau submersed accident dapat memberikan dua hasil:
 immersion syndrome, yang merupakan kematian mendadak setelah kontak dengan air
dingin,
 submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah kejadian tenggelam,
survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian tenggelam.
Patofisiologi
Keselamatan seseorang yang tenggelam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah
ketahan fisik, kemampuan berenang, keberadaan bantuan alat pelampung, jarak untuk mencapai
tempat yang aman, suhu air, usia, dan lain-lain. Serangkaian proses akan terjadi sebagai berikut:
pertama terjadi suatu periode panik dan usaha yang hebat dengan berhenti bernapas selama 1- 2
menit, selajutnya terjadi refleks menelan sejumlah air diikuti laringospasme, hipoksia
menyebabkan apnea, penurunan kesadaran, lalu relaksasi laring dan air masuk ke dalam paru-
paru dalam jumlah lebih banyak akhirnya menjadi asfiksia dan kematian. Pada sebagian besar
kasus, terjadi aspirasi air yang banyak ke dalam paru, tetapi pada lebih kurang 10% korban tetap
terjadi laringospasme, dan terjadi apa yang disebut dry drowning. Secara teoritis, berdasarkan
tonisitas cairan yang masuk ke ruang alveolus, kasus tenggelam dibedakan menjadi tenggelam di
air laut dan di air tawar. Selain itu ada juga pembagian kasus tenggelam berdasarkan temperatur
airnya. Luas permukaan tubuh anak lebih besar daripada dewasa, dan secara proporsional
memiliki jumlah lemak subkutan yang lebih sedikit. Hal ini akan memudahkan timbulnya
hipotermia. Beberapa teori menyatakan bahwa pada hipotermia atau pada keadaan tenggelam di
air dingin akan terjadi refleks “diving” pada anak. Refleks tersebut terdiri dari bradikardi,
penurunan atau penghentian laju pernapasan, dan perubahan dramatis pada sirkulasi, sehingga
terjadi redistribusi darah ke organ-organ seperti jantung, paru dan otak. Patofisiologi hampir
tenggelam berhubungan erat dengan hipoksemia multiorgan.
1. Efek Terhadap Paru
Pada korban tenggelam di air tawar, terjadi perpindahan (absorpsi) air secara besar-besaran
dari rongga alveolus ke dalam pembuluh darah paru. Hal ini dikarenakan tekanan osmotik di
dalam pembuluh darah paru lebih tinggi daripada tekanan osmotik di dalam alveolus.
Perpindahan tersebut akan menyebabkan hemodilusi. Air akan memasuki eritrosit, sehingga
eritrosit mengalami lisis. Eritrosit yang mengalami lisis ini akan melepaskan ion kalium ke
dalam sirkulasi darah dan mengakibatkan peningkatan kadar kalium di dalam plasma
(hiperkalemi).
Keadaan hiperkalemi ditambah dengan beban sirkulasi yang meningkat akibat penyerapan air
dari alveolus dapat mengakibatkan fibrilasi ventrikel. Apabila aspirasi air cukup banyak, akan
timbul hemodilusi yang hebat. Keadaan ini akan menyebabkan curah jantung dan aliran balik
vena bertambah, sehingga mengakibatkan edema umum jaringan termasuk paru. Aspirasi air
tawar hipotonik dapat mengurangi konsentrasi surfaktan sehingga dapat menyebabkan
instabilitas alveolar sehingga terjadi kolaps paru.
Pada inhalasi air laut, tekanan osmotik cairan di dalam alveolus lebih besar daripada di dalam
pembuluh darah. Oleh karena itu, plasma darah akan tertarik ke dalam alveolus. Proses ini dapat
mengakibatkan berkurangnya volume intravaskular, sehingga terjadi hipovolemia dan
hemokonsentrasi. Hipovolemia mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan darah dengan laju
nadi yang cepat, dan akhirnya timbul kematian akibat anoksia dan insufiensi jantung dalam 3
menit. Keluarnya cairan ke dalam alveolus juga akan mengurangi konsentrasi surfaktan.
Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli dan sistem kapiler, sehingga terjadi penurunan
kapasitas residu fungsional dan edema paru. Akibat lebih lanjut lagi, dapat terjadi atelektasis
karena peningkatan tekanan permukaan alveolar.
Bila korban mengalami aspirasi atau edema paru, dapat terjadi acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Saluran respiratorik yang tersumbat oleh debris di dalam air akan
menyebabkan peningkatan tahanan saluran respiratorik dan memicu pelepasan mediator-
mediator inflamasi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan proses pertukaran gas
menjadi terhambat.
2. Efek Terhadap Kardiovaskular
Sebagian besar korban tenggelam mengalami hipovolemia akibat peningkatan permeabilitas
kapiler yang disebabkan oleh hipoksia. Hipovolemia selanjutnya akan mengakibatkan hipotensi.
Keadaan hipoksia ini juga akan mempengaruhi fungsi miokardium, sehingga dapat terjadi
disritmia ventrikel dan asistol. Selain itu, hipoksemia juga dapat menyebabkan kerusakan
miokardium dan penurunan curah jantung. Hipertensi pulmoner dapat terjadi akibat pelepasan
mediator inflamasi.
3. Efek Terhadap Susunan Saraf Pusat
Kerusakan pada susunan saraf pusat berhubungan erat dengan lamanya hipoksemia, dan
pasien dapat jatuh dalam keadaan tidak sadar. Efek lain dari hipoksia diantaranya adalah
disseminated intravascular coagulation (DIC), insufisiensi ginjal dan hati, serta asidosis
metabolik. Pada penelitian kasus-kasus hampir tenggelam dilaporkan terdapat kelainan elektrolit
yang ringan. Perubahan yang mencolok dan penting adalah perubahan gas darah dan asam-basa
akibat insufisiensi respirasi, diantaranya adalah hipoksemia, hiperkapnia, serta kombinasi
asidosis metabolik dan respiratorik. Kelainan yang lebih banyak terjadi adalah hipoksemia.
Keadaan yang segera terjadi setelah tenggelam dalam air adalah hipoventilasi dan kekurangan
oksigen. Pada percobaan binatang, tekanan parsial O2 arterial (PaO2) menurun drastis menjadi
40 mmHg dalam satu menit pertama, menjadi 10 mmHg setelah 3 menit, dan 4 mmHg setelah 5
menit.
Disfungsi serebri dapat terjadi akibat kerusakan hipoksia awal, atau dapat juga karena
kerusakan progresif susunan saraf pusat yang merupakan akibat dari hipoperfusi serebri pasca
resusitasi. Hipoperfusi serebri paska resusitasi terjadi akibat berbagai mekanisme, antara lain
yaitu peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri sitotoksik, spasme anteriolar serebri yang
disebabkan masuknya kalsium ke dalam otot polos pembuluh darah, dan radikal bebas yang
dibawa oksigen.
Tatalaksana
Pada prinsipnya, tata laksana kasus hampir tenggelam adalah mengatasi gangguan
oksigenisasi, ventilasi, sirkulasi, keseimbangan asam basa, dan mencegah kerusakan sistim saraf
pusat yang lanjut. Segera setelah korban ditolong, harus dilakukan resusitasi jantung paru.
Oksigen harus diberikan secepatnya dan dilanjutkan dalam perjalanan ke rumah sakit. Setiap
menit yang dilalui tanpa pernapasan dan sirkulasi yang adekuat menurunkan secara dramatis
kesempatan luaran yang baik. Semua korban hampir tenggelam harus dirawat di rumah sakit,
bagaimanapun kondisi pasien. Pasien yang tidak bergejala harus diobservasi, minimal selama 24
jam di rumah sakit. Kematian yang lambat dapat terjadi akibat atelektasis yang luas, edema paru
akut, dan hipoksemia setelah pasien meninggalkan ruang gawat darurat.
Jalan napas harus bersih dari muntahan dan benda asing. Abdominal thrusts tidak
dianjurkan untuk mengeluarkan cairan dari paru. Bila diduga adanya benda asing, manuver chest
compression atau back blows lebih dianjurkan. Bila pasien dapat bernapas spontan, berikan
oksigen 100% yang dilembabkan, dengan menggunakan masker. Jika korban tidak bernapas,
ventilasi darurat segera dilakukan, setelah membersihkan jalan napas. Pemberian oksigen
selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan analisis gas darah arteri. Spina servikal dijaga
bila terdapat kemungkinan cedera tulang leher. Leher diposisikan dalam posisi netral.
Pemantauan tanda vital, penilaian kardiopulmonal dan neurologis berulang, x-ray dada,
dan penilaian oksigenisasi melalui AGD atau oksimetri perifer harus dilakukan pada semua
korban tenggelam. Pemeriksaan lainnya bergantung kondisi klinis dan tempat kejadian. Pada
korban yang asimptomatikatau gejala minimal, hampir setengahnya perburukan atau hipoksemia
pada 4-8 jam setelah peristiwa tenggelam. Pemantauan suhu inti tubuh merupakan hal penting,
pengukuran terbaik dilakukan pada membrane timpani karena berkorelasi kuat dengan suhu otak.
Alat untuk menghangatkan penderita dapat digunakan selimut penghangat atau radiant warmer.
Gejala pernapasan atau edema paru lambat yang ringan sampai berat dapat terjadi meski
awalnya penderita menunjukkan pemeriksaan fisik dan x-ray dada normal. Sebaliknya,
kebanyakan anak dengan gejala minimal saat ke UGD dapat menjadi asimptomatik dalam 18 jam
setelah tenggelam. X-ray dada biasanya didapatkan gambaran edema antar sel atau edema
alveolar. Sebagian besar menunjukkan adanya infiltrate nodular yang berkonfluensi pada 1/3
medial lapangan paru.
70% kasus mengalami asidosis metabolik. Bila pasien menunjukkan hipotensi atau tidak
ada respons, dianjurkan pemberian natrium bikarbonat dengan dosis 1 mEq/kg BB secara
intravena. Jika pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan, natrium bikarbonat diberikan
sesuai dengan rumus:
Na bikarbonat (mEq) = berat badan (kg) x deficit basa (mEq) x 0,3
Jalan napas harus dibersihkan dari kotoran dan dijamin tetap terbuka. Pada korban
hampir tenggelam yang banyak menelan air, risiko aspirasi muntahan sangat besar. Oleh karena
itu, lambung harus cepat dikosongkan dengan memakai pipa nasogastrik. Pengobatan selanjutnya
bergantung pada hasil evaluasi PaO2, PaCO2, dan pH darah. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
merupakan indikasi untuk melakukan bantuan pernapasan. Bila terjadi kegagalan oksigenisasi
meskipun telah diberikan oksigen, perlu dilakukan intubasi endotrakeal. Inisial positive end-
expiratory pressure (PEEP) dimulai sekitar 5 cm H2O, dapat di naikkan bertahap hingga 10-15
cm H2O bila oksigenisasi masih belum adekuat (target SaO2>90%).
Pengobatan lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemberian bronkodilator dan
antibiotik. Jika pada pemeriksaan fisis didapatkan bronkospasme, pemberian bronkodilator
seperti aminofilin intravena atau nebulisasi agonis-β2 akan memberikan hasil yang baik.
Pemberian antibiotik pada saat awal tidak dianjurkan, meskipun seringkali air yang diaspirasi
mengalami kontaminasi. Oleh karena itu perlu pemeriksaan kultur darah, kultur sputum, jumlah
lekosit, dan analisis tanda vital. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kultur darah atau
sputum. Penggunaan obat steroid tidak dianjurkan karena tidak ada bukti baik secara klinis
maupun eksperimental yang menunjukkan bahwa penggunaannya bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai