Anda di halaman 1dari 14

Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) = Disseminated Intravascular Coagulation

(DIC)
Definisi
DIC ialah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh deposisi fibrin sistemik dan pada saat yang
sama terjadi kecenderungan perdarahan. Keadaan ini mengakibatkan berikut:
a. konsumsi berlebihan faktor pembekuan darah dan trombosit sehingga menimbulkan
defisiensi faktor pembekuan dan trombositopenia.
b. fibrinolisis sekunder yang menghasilkan FDP (fibrin/fibrinogen degradation product)
yang bekerja sebagai antikoagulan.
Patogenesis
DIC dapat dijumpai pada 3 jenis kelainan:
1. Infeksi berat terutama oleh sepsis gram negatif, Closnidium tuelchii, malaria berat dan
infeksi virus tertentu.
2. Pada komplikasi kehamilan terdiri atas:
a. solution Placentae
b. emboli cairan amnion
c. IUFD (innauterine foetal death)
d. abortus septik atau abortus yang dirangsang dengan cairan hipertonik
e. endotoksinemia, misalnya pada septic abortion
3. Pada penyakit keganasan:
a. "mucous tecreting carcinoma": pankreas, prostat' kolon dan paru
b. leukemia promielositik akut
Penyebab lain adalah reaksi transfusi, syok anafilaktik, kerusakan jaringan yang luas
seperri pada trauma atau luka bakar, kerusakan hati berat dan gigitan ular. DIC akan
mengakibatkan antara lain:
1. trombositopenia
2. defisiensi faktor pembeku
3. munculnya FDP dalam plasma
4. microangiopathic haemolttic anemia
Gejala Klinik
Gejala klinik DIC yang dapat dijumpai ialah,
1. Perdarahan: kulit (petechie dan echymoizs), perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis, dan lainlain), easy bruising dan perdarahan organ;
2. Hemorrhagic tissue necrosis dan oklusi multipel pembuluh darah kecil sehingga menimbulkan
muhiple organ failure antara lain:
a. ginjal: menimbulkan gagal ginjal
b. adrenal dan kulit: Vaterltouse-Fredricksen syndrome.
c. pembuluh darah tepi menimbulkan gangrene
d. hati menimbulkan ikterus
e. otak menimbulkan kesadaran menurun
3. Gejala penyakit dasar yang menjadi penyebab DIC
Manifestasi Laboratorik DIC
1. trombositopenia-dapat diketahui dari hitung trombosit dan evaluasi trombosit pada
apusan darah tepi;
2. APTT, PPT dan thrombin time memaryang, APTT lebih sensitif dibandingkan dengan
PPT pada DIC;
3. fibrinogen plasma menurun;
4. FDP dalam serum meningkat;
5. faktor VIII dan faktor V menurun;
6. apusan darah tepi: anemia mikroangiopatik dengan dijumpai adanya fragmentosit dan
mikrosferosit;
7. D-dimer (hasil pemecahan fibrin ikat silang) positif;
8. tes parakoagulasi positif.
Diagnosis
Bick membuat kriteria diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan laborarorik. Kriteria klinis
minimal adalah:
1. Bukti klinis adanya perdarahan, thrombosis, atau keduanya
2. Gejala tersebut harus terjadi pada setting klinis tertentu, seperti yang sudah disebutkan
didepan
Kriteria laboratorik untuk DIC adalah:
1. Tes grup I (bukti adanya aktivasi prokoagulasi)
a. peningkatan fragmen prothrombin l+2
b. peningkatan fibrinopeptida A
c. peningkatan fibrinopeptida B
d. peningkatan kompleks TAT (thrombin-antithrombin)
e. peningkatan D-dimer
2. Tes grup II (bukti adanya aktivasi sistem fibrinolitik)
a. peningkatan D-dimer
b. peningkatan FDP
c. peningkatan plasmin
d. peningkatan kompleks plasmin-antiplasmin
3. Tes grup III (bukti adanya konsumsi inhibitor)
a. penurunan AT-III
b. penurunan alpha-2-antiplasmin
c. penurunan heparin kofaktor .II
d. penurunari protein C dan S
e. peningkatan kompleks TAT
4. Tes grup IV (bukti adanya kerusakan atau gagal end-organ)
a. peningkatan LDH
b. peningkatan kreatinin serum
c. penurunan pH
d. penurunan pAO2
Untuk menegakkan diagnostik laboratorik DIC hanya diperlukan satu dari masing-masing
grup I, II, dan III dan paling sedikit dua dari grup IV. D-dimer yang paling reliabel untuk
pemeriksaan tes grup I dan II jika diperiksa dengan cara yang benar.
Terapi
Terapi DIC bersifat sangat kompleks, tetapi pada prinsipnya dapat berupa berikut:
1. terapi terhadap penyakit dasar merupakan tindakan yang paling penting;
2. terapi suportif dengan darah segar, fesh frozen plasma, fibrinogen, atau platelet
concentrate;
3. pemberian heparin. Sampai saar ini pemberian heparin masih kontroversial karena dapat
menimbulkan/menambah perdarahan
Mielodisplasia Syndrome
Definisi
Merupakan sekelompok penyakit neoplastik didapat pada sel induk hemopoietik multipoten yang
ditandai oleh meningkatnya kegagalan sumsum tulang dengan kelainan kuantitatif dan kualitatif
di ketiga jalur sel mieloid. Ciri khasnya adalah hemopoiesis yang infektif sehingga sitopenia
seringkali menyertai sumsum tulang dengan selularitas yang normal atau meningkat (apoptosis
yang meningkat dalam sumsum)
Etiologi
Kelainan sitogenetik lebih sering terdapat pada MDS sekunder dibanding primer dan paling
sering terdiri dari hilangnya kromosom 5, 7, atau Y parsial atau total, atau trisomi 8.
Hilangnya pita q13 sampai q33 kromosom 5 pada wanita tua dengan anemia makrositik, hitung
trombosit yang normal atau meningkat, serta mikromegakariosit telah diberi nama sindrom 5q -
dan prognosisnya juga baik. Mutasi onkogen RAS (N-RAS) terjadi pada sekitar 20% kasus dan
mutasi FMS terjadi pada sekitar 15% kasus.
Epidemiologi
Kebanyakan terjadi pada umur diatas 60 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita. 1 dari 3
pasien MDS berkembang menjadi AML dalam bulan maupun tahun. Jumlah penderita tidak
diketahui karena tidak terdiagnosa. Di Amerika diperkirakan 10.000-20.000 kasus per tahun.
insiden ini mungkin meningkat pada populasi yang umurnya meningkat dan dilaporkan bahwa
insiden pada pasien dibawah 70 tahun dapat setinggi 15 kasus setiap 100.000 orang per tahun.
Faktor Resiko
1. Radiasi, kemoterapi (alkylating agent, topoisomerase inhibitor) menjadi faktor resiko
Hodgkin’s disease, non Hodgkin’s lymphoma, multiple myeloma, Ca ovarium, dan Ca
mamae
2. NH3, diesel, benzene
3. Anemia aplastik, paroksismal nokturnal hemoglobinuria
4. Fanconi’s anemia, Down’s syndrome, Turner’s syndrome, Bloom’s syndrome

Klasifikasi
Darah tepi Sumsum tulang Harapan hidup rata2
(bulan)
Anemia refrakter Blas <1% Blas <5% 50
RA dengan cincin Blas <1% Blas <5% 50
sideroblas (RARS) Sideroblas cincin
>15% eritroblas total
RA dengan kelebihan Blas <5% Blas 5-20% 11
blas (RAEB)
RAEB dalam Blas >5% Blas 20-30% atau 5
transformasi (RAEB- terdapat batang Auer
t)
Leukimia Seperti salah satu Seperti salah satu 11
mielomonositik diatas dengan diatas dengan
kronik (CMML) monosit >1 x109/L promonosit

Klasifikasi menurut WHO(2008) didasarkan pada penemuan genetik meskipun asal sel dari
darah tepi, aspirasi sumsum dan biopsi sumsum
Old system New system
Anemia refrakter (RA) Sitopenia refrakter dengan displasia
unilineage (anemia refrakter, neutropenia dan
trombositopenia)
Anemia refrakter dengan cincin sideroblas Anemia refrakter dengan cincin sideroblas
(RARS) (RARS)
Anemia refrakter dengan cincin sideroblas-
trombositosis (RARS-t) yang penting dalam
gangguan mielodisplastik atau
mieloproliferatif dan biasanya memiliki
mutasi JAK2
Sitopenia refrakter dengan displasia
multilineage (RCMD) termasuk sitopenia
refrakter dengan displasia multilineage dan
cincin sideroblas (RCMD-RS). RCMD
termasuk pasien perubahan patologi yang
tidak terbatas pada displasia eritroblas
(seperti adanya prekursor leukosit dan
trombosit megakariosit)
Anemia refrakter dengan kelebihan blas Anemia refrakter dengan kelebihan blas I dan
(RAEB) II. RAEB dibagi menjadi RAEB I(blas 5-9%)
dan RAEB II(blas 10-19%) yang memiliki
prognosis lebih buruk daripada RAEB I.
Batang Auer dapat terlihat di RAEB II yang
sulit dibedakan dengan AML
Anemia refrakter dengan kelebihan blas Kategori ini dieliminasi karena pasien ini
transformasi (RAEB-T) dianggap menderita leukimia akut. Sindrom
5q- dapat terlihat pada wanita tua dengan
jumlah platelet normal atau tinggi dan delesi
lengan panjang kromosom 5 yang terisolasi
pada sel sumsum tulang yang ditambahkan
dalam klasifikasi
Leukimia mielomonositik kronik CMML dihapuskan dari klasifikasi dan
ditambahkan dalam kategori sindrom overlap
mielodisplastik-mieloproliferatif
Sindrom 5q-
Mielodisplasia unclassifiable ( pada kasus
displasia megakariosit dengan fibrosis dll)
Sitopenia refrakter pada anak-anak

Patofisiologi
MDS disebabkan paparan lingkungan seperti radiasi dan benzene yang merupakan faktor
resikonya. MDS sekunder terjadi pada toksisitas lama akibat pengobatan kanker biasanya dengan
kombinasi radiasi dan radiomimetik alkylating agent seperti busulfan, nitrosourea atau
procarbazine ( dengan masa laten 5-7 tahun) atau DNA topoisomerase inhibitor (2 tahun). Baik
anemia aplastik yang didapat yang diikuti dengan pengobatan imunosupresif maupun anemia
Fanconi’s dapat berubah menjadi MDS.
MDS diperkirakan berasal dari mutasi pada sel sumsum tulang yang multipoten tetapi
defek spesifiknya belum diketahui. Diferensiasi dari sel prekursor darah tidak seimbang dan ada
peningkatan aktivitas apoptosis sel di sumsum tulang. Ekspansi klonal dari sel abnormal
mengakibatkan sel yang telah kehilangan kemampuan untuk berdiferensiasi. Jika keseluruhan
persentasi dari blas sumsum berkembang melebii batas (20-30%) maka ia akan bertransformasi
menjadi AML. Pasien MDS akan menderita sitopenia pada umumnya seperti anemia parah.
Tetapi dalam beberapa tahun pasien akan menderita kelebihan besi. Komplikasi yang berbahaya
bagi mereka adalah pendarahan karena kurangnya trombosit atau infeksi karena kurangnya
leukosit.
Beberapa penlitian menyebutkan bahwa hilangnya ungsi mitokondria mengakibatkan
akumulasi dari mutasi DNA pada sel stem hematopoietik dan meningkatkan insiden MDS pada
pasien yang lebih tua. Dan adanya akumulasi dari besi mitokondria yang berupa cincin
sideroblas merupakan bukti dari disfungsi mitokondria pada MDS.
Manifestasi klinis
Manifestasinya seringkali lambat dan ditemukan secara kebetulan saat diperiksa hitung
darahnya. Gejalanya jika ada adalah adalah gejala anemia, infeksi, mudah memar atau
berdarah. Pada beberapa pasien, anemia yang tergantung transfusi mendominasi perjalanan
penyakit sedangkan pada pasien lainnya infeksi rekuren atau memar dan pendarahan spontan
merupakan masalah klinis utama. Neutrofil, monosit, dan trombosit seringkali terganggu secara
fungsional sehingga dapat terjadi infeksi spontan pada beberapa kasus atau memar, atau
pendarahan yang tidak sebanding dengan beratnya sitopenia. Limpa biasanya tidak membesar
kecuali pada CMML pada keadaan ini juga dapat terjadi hipertrofi gusi dan limfadenopati.
Cara diagnosis
Umur pasien antara 60-75 tahun, beberapa pasien lebih muda dari 50 tahun dan jarang
didiagnosa pada anak-anak dan lebih banyak terjadi pada laki-laki. Adanya riwayat paparan
kemoterapi atau radiasi. Sign dan symptom tidak spesifik dan secara umum berhubungan dengan
sitopenia darah
1. Anemia : kelelahan kronik, sesak nafas, rasa mengigil, dan kadang nyeri dada
2. Neutropenia : meningkatnya resiko infeksi
3. Trombositopenia : mudah untuk berdarah dan ekimosis, semudah hemorrhagic
subkutaneus pada purpura atau petekie
Kebanyakan individu adalah asimptomatik dan sitopenia darah atau masalah lain yang
diidentifikasi sebagai bagian dari hitung darah rutin
1. Neutropenia, anemia, dan trombositopenia
2. Splenomegali dan hepatomegali
3. Granule abnormal di sel, bentuk inti,warna abnormal
4. Abnormalitas kromosom, termasuk translokasi kromosom dan abnormalitas jumlah
kromosom
Dengan adanya demam dan berat badan yang menurun perlu diwaspadai mieloproliferatif
daripada mielodisplasia. Anak dengan sindrom Down lebih cenderung terkena MDS dan adanya
riwayat keluarga dapat mengindikasikan adanya anemia sideroblastik dan anemia Fanconi
herediter. Apabila dari hasil lab yang sering ditemukan pada MDS adalah sitopenia darah,
hematopoiesis inefektif, diseritropoiesis, disgranulopoiesis, dismegakaropoiesis, dan peningkatan
mieloblast. Displasia dapat mempengaruhi 3 jalur pembentukan pada sumsum. Cara terbaik
mendiagnosa displasia adalah dengan pewarnaan khusus dan morfologi (PAS) pada aspirasi
sumsum dan darah tepi. Displasia pada mieloid dapat ditunjukkan dengan :
1. Granulositik
a. Neutrofil hipersegmentasi ( dapat terlihat pada defisiensi folat atau vitamin B12)
b. Neutrofil hiposegmentasi (Pseudo-Pelger Huet)
c. Neutrofil hipogranular atau granula besar pseudo Chediak Higashi
d. Batang Auer, secara otomatis termasuk RAEB II (jika blas <5% pada darah tepi dan
<10% pada aspirasi sumsum) dan batang Auer dapat terlihat juga pada neutrofil matur
pada AML dengan translokasi (8;21)
2. Eritroid
a. Prekursor eritroid inti ganda dan karryorhexis
b. Erythroid nuclear budding
c. Erythroid nuclear strings atau internuclear bridging (terlihat juga pada anemia
diseritropoietik)
d. Kehilangan E-cadherin dalam normoblas sebagai tanda adanya aberasi
e. PAS ( pewarnaan sitoplasmik difus atau globular dalam vakuola) dengan prekursor
eritrosit pada aspirasi sumsum. Hasil positif vakuola PAS dapat terlihat dalam blas L1
dan L2
f. Cincin sideroblas terlihat pada pewarnaan iron blue Prussian ( 10 atau lebih granula besi
yang mengelilingi 1/3 nukleus atau lebih dan >15% cincin sideroblas yang terdapat pada
prekursor eritrosit)
3. Megakariositik
a. Inti hiposegmentasi pada platelet menjadi megakariosit (kurang berlobus)
b. Megakariosit hipersegmentasi (tampak osteoklas)
c. Penggelembungan dari platelet
Pada pemeriksaan laboratorium :
1. Darah tepi
Pansitopenia sering ditemukan. Eritrosit biasanya makrositik atau dimorfik tetapi kadang-
kadang hipokrom, mungkin ditemukan normoblas. Hitung retikulosit rendah. Jumlah granulosit
seringkali menurun dan memeperlihatkan tidak adanya granulasi. Fungsi kemotaktik, fagositik
dan adhesinya terganggu. Kelainan Pelger (inti tunggal atau berlobus dua) seringkali ditemukan.
Pada CMML monosit >1,0x109 /L dalam darah dan jumlah leukosit total mungkin >100x109 /L.
Trombosit dapat sangat besar atau kecil dan biasanya berkurang jumlahnya tetapi meningkat
pada 10% kasus. Pada kasus yang memiliki prognosis buruk, ditemukan mieloblas dengan
jumlah yang bervariasi dalam darah.
2. Sumsum tulang
Selularitas biasanya meningkat. Sideroblas cincin dapat ditemukan pada kelima tipe French-
American-British (FAB) tetapi secara definisi mencakup >15% normoblas pada anemia refrakter
dengan sideroblas cincin. Ditemukan normoblas berinti banyak dan gambaran diseritropoiesis
lain. Prekursor granulosit memperlihatkan adanya gangguan granulasi primer dan sekunder dan
sering ditemukan sel-sel yang sulit diidentifikasi apakah sebagai mielosit agranular, monosit atau
premonosit. Megakariosit abnormal dengan bentuk mikronuklear, binuklear kecil, atau
polinuklear. Biopsi sumsum tulang memperlihatkan fibrosis pada 10% kasus.

Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan
survival, dan mengurangi transformasi menjadi AML.
1. Pada sindrom mielodisplastik resiko rendah
Pasien yang memiliki jumlah sel blas kurang dari 5% dalam sumsum tulang didefinisikan
sebagai penderita sindrom mielodisplastik resiko rendah. Sehingga ditangani dengan konservatif
dengan transfusi eritrosit, trombosit, atau pemberian antibiotik sesuai keperluan. Upaya
memperbaiki fungsi sumsum dengan faktor pertumbuhan hemopoietik sedang dilakukan.
Eriotropoietin dosis tinggi dapat meningkatkan konsentrasi Hb sehingga transfusi tidak perlu
dilakukan. Siklosporin atau globulin antilimfosit (GAL) kadang membuat pasien lebih baik
terutama pasien dengan sumsum hiposelular. Untuk jangka panjang penimbunan besi transfusi
berulang harus diatasi dengan chelasi besi setelah mendapat transfusi 30-50unit. Pada pasien usia
muda kadang transplantasi alogenik dapat memberikan kesembuhan permanen.
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak transfusi RBC adalah level
serum ferritin yang dapat berakibat disfungsi organ dan harus dikontrol <1000mcg/L. Dan ada 2
macam chelasi besi seperti deferoxamine IV dan deferasirox per oral. Pada kasus yang jarang,
deferasirox dapat menyebabkan gagal ginjal dan hati yang berakhir pada kematian.
2. Pada sindrom mielodisplastik resiko tinggi
Pada pasien yang memiliki jumlah sel blas lebih dari 5% dalam sumsum dapat diberi
beberapa terapi
a. Perawatan suportif umum sesuai diberikan untuk pasien usia tua dengan masalah medis
mayor. Transfusi eritrosit dan trombosit, terapi antibiotik dan obat anti jamur diberikan
sesuai kebutuhan.
b. Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin, azasitidin, atau sitosin
arabinosida dosis rendah dapat diberikan dengan sedikit manfaat pada pasien CMML
atau anemia refrakter dengan kelebihan sel blas (RAEB) atau RAEB dalam transformasi
dengan jumlah leukosit dalam darah yang tinggi
c. Kemoterapi intensif seperti pada AML. Kombinasi fludarabin dengan sitosin arabinosida
(ara-C) dosis tinggi dengan faktor pembentuk koloni granulosit (G-CSF)(FLAG) dapat
sangat bermanfaat untuk mencapai remisi pada MDS. Topetecan, ara-C, dan G-
CSF(TAG) juga dapat membantu. Remisi lengkap lebih jarang dibandingkan pada AML
de novo dan resiko pembeerian kemoterapi intensif seperti untuk AML lebih besar karena
dapat terjadi pansitopenia berkepajangan pada beberapa kasus tanpa regenerasi
hemopoietik yang normal, diperkirakan karena tidak terdapat sel induk yang normal
d. Transplantasi sel induk. Pada pasien berusia lebih muda (kurang dari 50-55tahun) dengan
saudara laki-laki atau perempuan yang HLA nya sesuai atau donor yang tidak berkerabat
tetapi sesuai HLAnya. SCT memberikan prospek kesembuhan yang lengkap dan biasanya
dilakukan pada MDS tanpa mencapai remisi lengkap dengan kemoterapi sebelumnya,
walaupun pada kasus resiko tinggi dapat dicoba kemoterapi awal untuk mengurangi
proporsi sel blas dan resiko kambuhnya MDS. SCT hanya dapat dilaksanakan paa
sebagian kecil pasien karena umumnya pasien MDS berusia tua.
Tiga agen yang diterima oleh FDA sebagai pengobatan MDS :
1. 5-azacytidine: rata-rata bertahan hidup 21 bulan.
2. Decitabine: Respons komplit dilaporkan setinggi 43% dan pada AML decitabine lebih
efektif apabila dikombinasika dengan asam valproat
3. Lenalidomide: efektif dalam mengurangi transfusi sel eritrosit pada pasien MDS dengan
delesi kromosom 5q
Sistem Imun
Tubuh manusia memiliki suatu sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen yang
disebut sebagai sistem imun. Respon imun timbul karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-
sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem imun terdiri atas sistem imun
alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
Baik sistem imun non spesifik maupun spesifik memiliki peran masing-masing, keduanya
memiliki kelebihan dan kekurangan namun sebenarnya ke dua sistem tersebut memiliki kerja
sama yang erat.
Sistem Imun non Spesifik
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan memiliki respon
langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang sehat. Sistem imun ini
bertindak sebagai lini pertama dalam menghadapi infeksi dan tidak perlu menerima pajanan
sebelumnya, bersifat tidak spesifik karena tidak ditunjukkan terhadap patogen atau mikroba
tertentu, telah ada dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan
mampu melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial. Manifestasi respon imun alamiah
dapat berupa kulit, epitel mukosa, selaput lendir, gerakan silia saluran nafas, batuk dan bersin,
lisozim, IgA, pH asam lambung.
Pertahanan humoral non spesifik berupa komplemen, interferon, protein fase akut dan
kolektin. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan
proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen juga berperan
sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis yang dapat menimbulkan lisis bakteri dan
parasit. Tidak hanya komplemen, kolektin merupakan protein yang berfungsi sebagai opsonin
yang dapat mengikat hidrat arang pada permukaan kuman.
Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag yang
diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons
terhadap infeksi virus.1 Peningkatan kadar Creactive protein dalam darah dan Mannan Binding
Lectin yang berperan untuk mengaktifkan komplemen terjadi saat mengalami infeksi akut. Sel
fagosit mononuklear dan polimorfonuklear serta sel Natural Killer dan sel mast berperan dalam
sistem imun non spesifik selular.
Neutrofil, salah satu fagosit polimorfonuklear dengan granula azurophilic yang
mengandung enzyme hidrolitik serta substansi bakterisidal seperti defensins dan katelicidin.
Mononuklear fagosit yang berasal dari sel primordial dan beredar di sel darah tepi disebut
sebagai monosit. Makrofag di sistem saraf pusat disebut sebagai sel mikroglia, saat berada di
sinusoid hepar disebut sel Kupffer, di saluran pernafasan disebut makrofag alveolar dan di tulang
disebut sebagai osteoklas.
Sel Natural Killer merupakan sel limfosit yang berfungsi dalam imunitas nonspesifik
terhadap virus dan sel tumor. Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan imunitas terhadap parasit
dalam usus serta invasi bakteri.
Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang dianggap
asing. Benda asing yang pertama kali muncul akan segera dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel
sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat dan
kemudian dihancurkan. Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan sensitisasi
oleh antigen namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap antigen yang sama. Sistem imun
ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T yang berasal dari sel progenitor limfoid.
Sistem imun spesifik humoral
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B yang
mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama antibodi
sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi
toksinnya.1 Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen dan
dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19, CD21 dan MHC II.
Sistem imun spesifik selular
Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Pada orang dewasa, sel T
dibentuk di sumsung tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di kelenjar timus.
Persentase sel T yang matang dan meninggalkan timus untuk ke sirkulasi hanya 5-10%.
Fungsi utama sistem imun spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri intraselular,
virus, jamur, parasit dan keganasan.1 Sel T terdiri atas beberapa subset dengan fungsi
yang berbeda-beda yaitu sel Th1, Th2, Tdth, CTL atau Tc, Th3 atau Ts atau sel Tr. CD4+
merupakan penanda bagi sel T helper dan CD8 merupakan penanda dari CTL yang
terdapat pada membran protein sel.

Anda mungkin juga menyukai