Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein kuat yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani. Dalam keadaan yang menguntungkan seperti luka kotor, luka nekrosis, basil
ini akan memproduksi tetanospasmin yang merupakan neurotoksin yang kuat. Toksin tetanus
akan menghambat neurotransmitter di system saraf pusat yang mana akan menyebabkan
kekakuan pada otot dan spasmeyang merupakan suatu yang khas dari tetanus. Tetanus dapat
menyerang semua golongan dan kasus kematian akibat tetanus masih stinggi ( 10-80%). Tidak
ada antibodi alami untuk tetanus, perlindungan dari tetanus didapat dari imunisasi aktif dengan
vaksin tetanus toksoid (TT) atau anti tetanus antibody ( TIG).
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia.
Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang
berkisar dari 6% hingga 60%. Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT
(randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus. 3 Pada tahun 2000,
hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO. Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya
negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang
lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.
Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari
Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus
per tahun.4
Meskipun insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka
kematian dapat mencapai angka 60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun
setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan
dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan

TETANUS

Page 1

kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka
kematian penderita tetanus, khususnya pada anak. 700.000 1.000.000 kasus per tahun.

1.2 Tujuan Pembahasan


Penulisan paper ini bertujuan untuk mengetahui tentang tetanus yang mencakup definisi,
epidemiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnose, pengobatan dan pencegahan sehingga
penulis mampu menangani kasus tetanus sesuai kompetensi dokter umum yang telah ditetapkan.
Disamping itu guna penulisan ini yaitu untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian
Pediatric Rumah Sakit Haji Medan

TETANUS

Page 2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung tetapi sebagai dampak
eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion, sambungan tulang
belakang, sambungan neuromuscular dan saraf autonom.2 ,5

2.2 ETIOLOGI
C.tetani adalah obligat anaerob pembentuk spora, gram-positif, bergerak, yang tempat
tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu di tanah, debu dan saluran pencernaan
berbagai binatang. Pada ujungnya ia membentuk spora sehingga secara mikroskopis tampak
seperti pukulan gendering atau raket tenis. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air
mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf , tetapi sel vegetatif terbunuh oleh antibiotik, panas dan
desinfektan baku. Tidak seperti banyak klostridia, C.tetani bukan organism yang menginvasi
jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang
lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua paling beracun
yang diketahui, hanya di ungguli kekuatannya oleh toksin botulinum; dosis letal toksin tetanus
diperkirakan 10-6 mg/kg.1

Gambar : Spora Clostridium tetani

TETANUS

Page 3

2.3 EPIDEMIOLOGI
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang berkembang,
tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering, tetanus neonatorum (umbilikus),
membunuh sekurang kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak terimunisasi; lebih
dari 70 % kematian ini terjadi pada sekitar 10 negara Asia dan Afrika tropis. Lagipula,
diperkirakan 15.000 - 30.000 wanita yang tidak terimunisasi di seluruh dunia meninggal setiap
tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan C.tetani luka pascapartus,
pascaabortus atau pascabedah. Sekitar 50 kasus tetanus dilaporkan setiap tahun di Amerika
Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar
jalan dan kasus neonatus juga terjadi.1

2.4 PATOGENESIS
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anaerobik, berubah
menjadi bentuk vegetative dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang
anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan atau akibat adanya benda asing seperti
bamboo, pecahan kaca dan sebagainya.2
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate
dan aksis silinder saraf tepi kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke seluruh susunan
saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin
ini melewati saraf motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion
menyebabkan fragmen C.toksin tetaus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut kearah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan
potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga
kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade
pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang terutama pada otot
yang besar.2,5

TETANUS

Page 4

2.4.1 DAMPAK TOKSIN


a. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku
b. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel cerebral gangglio
diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus
c. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block atau takikardia.2,5

2.5 DERAJAT KEPARAHAN


Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philips, Dakar, Udwadia) yang
dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem yang paling sering dipakai
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett :
Derajat I ( Ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generralisata, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II ( Sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang tampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih
dari 30.
Derajat III (Berat)

Trismus

berat,

spastisitas

generalisata,

spasme

reflex

berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat dan
takikardia lebih dari 120

TETANUS

Page 5

Derajat IV (Sangat Berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskular. Hipertensi

berat dan takikardia terjadi berselingan dengan

hipotensi, salah satunya dapat menetap.3

2.6 MANIFESTASI KLINIS


Tetanus mungkin terlokalisasi atau menyeluruh, yang terakhir ini lebih lazim. Periode
inkubasi khas 2-14 hari, tetapi dapat selama berbulan bulan sesudah jejas. Pada tetanus
menyeluruh, trimus (spasme muskulus masseter atau rahang terkunci) merupakan gejala yang
ada pada sekitar 50 % kasus. Nyeri kepala,gelisah, dan irritabilitas merupakan gejala awal, sering
disertai oleh kekakuan, sukar mengunyah, disfagia, dan spasme otot leher. Apa yang disebut
senyuman sengit ( risus sardonikus) tetanus akibat dari spasme otot-otot muka dan mulut yang
tidak henti-henti. Bila paralisis meluas ke otot-otot perut, punggung, pinggang dan paha,
penderita dapat berpostur lengkung, opistonus dimana hanya punggung kepala dan tumit yang
menyentuh dasar (tanah). 1
Opistotonus adalah posisi seimbang yang adalah akibat dari kontraksi yang tidak hentihentinya semua otot yang berlawanan, semuanya menampakkan kekakuan tetanus khas seperti
papan. Spasme otot-otot laring dan pernafasan dapat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan
dan asfiksia. Karena toksin tetanus tidak mengenai saraf sensoris atau fungsi korteks sayangnya
penderita tetap sadar, dalam nyeri yang sangat, dan dalam harapan ketakutan kejang tetani
berikutnya. Kejang kejang ini ditandai dengan kontraksi otot tonik berat, mendadak dengan tinju
menggenggam, lengan fleksi dan adduksi serta hiperekstensi kaki. Tanpa pengobatan, kisaran
kejang dari beberapa detik sampai beberapa menit lamanya dengan massa berhenti diantaranya,
tetapi ketika penyakit menjelek spasme menjadi bertahan dan melelahkan.1
Gangguan paling kecil pada pandangan, suara atau sentuhan dapat memicu spasme tetani.
Disuria dan retensi urin akibat dari spasme sfingter kandung kemih; mengejan waktu bertinja
dapat terjadi. Demam, kadang-kadang setinggi 40 C, adalah lazim karena banyak energy
metabolik dihabiskan oleh otot-otot spastic. Pengaru autonom yang utama adalah takikardi,
aritmia, hipertensi labil, diaphoresis, dan vasokontriksi kulit. Paralisis tetanus biasanya menjadi

TETANUS

Page 6

lebih berat pada minggu pertama sesudah mulai, stabil pada minggu kedua dan sedikit demi
sedikit menjadi lebih baik selama masa 1-4 minggu.1
Tetanus neonatus, bentuk infantile tetanus generalisata, khas tampak dalam 3-12 hari
kelahiran sebagai makin sukar dalam pemberian makanan ( yaitu, mengisap dan menelan),
dengan disertai lapar dan menangis. Paralisis atau kehilangan gerakan, kekakuan pada sentuhan,
dan spasme, dengan atau tanpa opistotonus, menandai penyakit. Sisa umbilicus dapat menahan
sisa-sisa kotoran, kotoran sapi darah membeku atau serum, atau ia dapat tampak relative benigna.
Tetanus terlokalisasi mengakibatkan spasme otot dekat tempat luka, nyeri dan
mendahului tetanus generalisata.
Tetanus sefalika merupakan bentuk jarang tetanus terlokalisasi melibatkan muskulatur
bulbar yang terjadi akibat luka atau benda asing di kepala, lubang hidung atau muka. Ia juga
terjadi bersama dengan otitis media kronis. Tetanus sefalika ditandai oleh kelopak mata yang
retraksi, penglihatan menyimpang, trismus, risus sardonikusdan paralisis spastic otot lidah dan
faring.1

TRISMUS DAN RISUS SARDONICUS

TETANUS

OPISTOTONUS

Page 7

2.7 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis tetanus ditetapkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sedang
pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak banyak diperlukan. Keluhan utama yang lazim
adalah kejang, anak tidak bisa buka mulut/ tidak dapat makan (kesulitan mengunyah dan
menelan) atau bayi tidak dapat menyusu. Kejang timbul / menjadi lebih kuat terkait dengan
adanya rangsangan berupa suara, sinar dan perabaan. Anak belum / tidak lengkap mendapat
imunisasi tetanus (DPT) atau ibu tidak mendapat suntikan tetanus toksoid pra kehamilan.
Temuan fisis ialah anak sadar, kejang tonik atau klonik, risus sardonicus, trismus, kaku
kuduk, opistotonus, ekstremitas spastic, otot perut kaku. Kemungkinan dapat ditemukan tempat
masuk ( port of entry) dari C.tetani yaitu luka, infeksi telinga, gigitan binatang, dan perawatan
tali pusar tidak aseptic (pada tetanus neonatorum). Tidak dijumpai adanya kelainan yang khusus
pada pemeriksaan laboratorium darah tepi. Bila jumlah leukosit meningkat mungkin karena
infeksi sekunder atau karena spasme otot.
C. tetani sulit ditemukan dengan pemeriksaan mikroskop terhadap sediaan hapus luka
dengan pengecatan gram. Isolasi kuman dengan biakan dapat ditemukan pada 30% kasus. Foto
rontgen vertebra dan foto rontgen thoraks juga dibuat bila ada kecurigaan komplikasi pada paru.
Pemeriksaan cairan serebrospinal hanya menunjukkan sedikit peningkatan tekanan,
sedangkan pemeriksaan EMG dan EEG adalah normal. Sebagai diagnosis differensialnya adalah
abses pada parafaring, retrofaring dan gigi, ensefalitis, rabies, keracunan strikinin, hipokalsemia,
keracunan narkotik dan efek samping obat.

Rabies dapat dibedakan dengan tetanus oleh

hidrofobianya, disfagia yang mencolok, kejang-kejang klonik yang dominan,serta pleositosis


CSS. Walaupun keracunan strikinin dapat berakibat spasme otot dan aktivitas kejang
menyeluruh, keracunan ini jarang menimbulkan trismus dan tidak seperti tetanus relaksasi umum
biasanya terjadi antara spasmus. Hipokalsemia dapat menghasilkan tetani, ditandai oleh spasme
laring dan karpopedal, tetapi trismus tidak akan ada. Kadang-kadang kejang epileptik,
penghentian narkotik atau reaksi obat lain dapat memberi kesan tetanus.2,3,4

TETANUS

Page 8

2.8 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan
sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus
dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat
diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada
kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan
angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk
memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas
tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya
terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga
pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia
atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan
cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan
luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana
khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.5,6

TETANUS

Page 9

2.8.1 TATALAKSANA UMUM


a. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan,
dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian
nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk
makanan dan obatobatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
b. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
c. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
d. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis
diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun 8 mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan
pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB> 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk
anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan
dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien.
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7
hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak
dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai
gangguan pernapasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme
atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernapasan mekanik.
Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis
yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis lakukan
secara bertahap (berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus,

TETANUS

Page 10

fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka diperlukan konsultasi
dengan dokter gigi/THT.5

2.8.2 TATALAKSANA KHUSUS


1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU I.M dan 50.000 IU I.V
Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak, pemberian anti
serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.
Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM)
dalam dosis tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis
tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan
toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf.
Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat
digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.

2. Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan
yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara IV dengan
dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama
7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama
7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50

TETANUS

Page 11

mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif
C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000
U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus.
Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).5

2.9 PENCEGAHAN
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk
pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat
efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi
pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama
Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau
dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10- 12 Lf dapat diberikan pada anak yang
memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari
golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS
yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status
imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan
imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai
berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan
kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan
4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah

TETANUS

Page 12

dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak
dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak
dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.

2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus
dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada
penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari
imunisasi ibu.Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :
a. Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke
dalam punting tali pusat
b. Mengoleskan alkohol/povidon

iodine

masih

diperkenankan

tetapi

tidak

dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab

3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis


Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus
segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga
dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM
dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.6

BAB III

TETANUS

Page 13

PENUTUP

KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit akut dengan gejala spasme disebabkan oleh
tetanospasmin suatu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus
merupakan masalah kesehatan di dunia. Di Negara maju beberapa kasus terjadi tiap
tahun pada pasien-pasien yang tidak diimunisasi. Penatalaksanaan intensif jangka
panjang mungkin diperlukan, tetapi sebagian besar terapi didasarkan pada bukti-bukti
yang terbatas. Tantangan terapi utama adalah pengendalian rigiditas dan spasme otot,
terapi terhadap gangguan otonomik dan pencegahan komplikasi berkaitan dengan
masa kritis berkepanjangan. Pasien yang selamat dari tetanus dapat kembali ke fungsi
normalnya.

DAFTAR PUSTAKA

TETANUS

Page 14

1. Behrman, Kliegman,dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak.Edisi 15.Vol 2.


Jakarta : EGC, 2000
2. Aru, W Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing 2009
3. www.tetanus who+guidelines/for treatment/di download tanggal 13 juni 2015
4. World Health Organization. Progress towards the global elimination of neonatal
tetanus.1990- 1998. Wkly Epidemiol Rec 1999;74:73-80 [Medline].
5. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
6. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus.
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal 99-108

TETANUS

Page 15

Anda mungkin juga menyukai